laporan kemajuan kwartal i september-desember 2015

Upload: bccmcai

Post on 23-Feb-2018

236 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 7/24/2019 Laporan Kemajuan Kwartal I September-Desember 2015

    1/42

    1

    Laporan Kemajuan Kwartal I September-Desember 2015

    Prosiding Kick off Meeting dan Rapat

    Koordinasi TeknisProyek Pengelolaan Pengetahuan Wilayah Pesisir Rendah Emisi

    di Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur Project

  • 7/24/2019 Laporan Kemajuan Kwartal I September-Desember 2015

    2/42

    1

    DAFTAR ISI

    1. PENDAHULUAN..................................................................................................................... 2

    1.1.LATAR BELAKANG .......................................................................................................................... 2

    1.2.TUJUAN ....................................................................................................................................... 3

    1.3.KELUARAN ................................................................................................................................... 3

    2. PELAKSANAAN KEGIATAN ..................................................................................................... 4

    3. RUMUSAN HASIL KICK OFF MEETING ..................................................................................... 6

    3.1.PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT .................................................................................................. 6

    3.2.PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR .................................................................................................. 9

    4. RUMUSAN HASIL RAPAT KOORDINASI TEKNIS ..................................................................... 14

    6. HASIL-HASIL KESEPAKATAN ................................................................................................. 29

    7. PENUTUP ............................................................................................................................ 31

  • 7/24/2019 Laporan Kemajuan Kwartal I September-Desember 2015

    3/42

    2

    1. Pendahuluan

    1.1. Latar BelakangGrand Agreement (GA) Proyek Pengelolaan Pengetahuan Tata Kelola Sumberdaya Pesisir Rendah

    Emisi Provinsi NTB dan NTT telah dilakukan pada tanggal 18 September 2015 di Kantor Millennium

    Challenge Account Indonesia Jakarta.Momentum ini sekaligus menandakan para penerima hibah

    (grantee) secara resmi dapat merencanaan dan mengimplementasikan kegiatan di masing-masing

    lokasi target. Secara jelas disebutkan dalam Grand Agreement antara MCAI dan Pusat Kajian

    Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor (PKSPL IPB)Perkumpulan Pemberdayaan

    Masyarakat dan Pendidikan Konservasi Alam (Yapeka)Perkumpulan Training and Facilitation for

    Natural Resources Management (TRANSFORM) (selanjutnya disebut Blue Carbon Consortium atau

    disingkat dengan BCC) bahwa proyek akan berakhir pada Februari 2018. Sebagai langkah awal

    koordinasi pasca penandatanganan GA, maka telah diselenggarakan Kick off Meeting(KoM) di dualokasi target proyek, yaitu Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Provinsi Nusa Tenggara Timur.

    KoM telah dilaksanakan pada waktu dan tempat yang berbeda. Koordinasi dan konsolidasi di

    Provinsi NTB dilaksanakan pada tanggal 21-22 September 2015 bertempat di Kota Mataram.

    Selanjutnya penyelenggaraan KoM di Provinsi NTT dilakukan pada tanggal 12 dan 15 Oktober 2015

    di Kota Waingapu (Ibukota Kabupaten Sumba Timur) dan Kota Kupang (Ibukota Provinsi NTT).

    Banyak rekomendasi dan tindak lanjut yang harus dilakukan dari dua kegiatan KoM yang telah

    difasilitasi langsung oleh MCAI Jakarta. Sehingga BCC perlu menyiapkan forum strategis pasca

    kegiatan Kick off Meeting.

    Sebagai langkah awal implementasi proyek, telah dilakukan kegiatan sosialisasi kepada forum

    multi-stakeholders (FMS) di tingkat pemerintahan daerah. Pelaksanakan sosialsisasi dilakukan

    melalui Rapat Koordinasi Teknis (Rakornis) baik di Provinsi NTB dan NTB. Adapun fungsinya adalah

    mengkomunikasikan proyekKnowledge Management on Low Emission Development for Coastal

    Area of West and East Nusa Tenggara Projectkepada pihak pemerintah daerah dan mitra kerja

    lainnya seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Lembaga Lokal yang akan menjadi mitra

    kerja dalam implementasi kegiatan proyek. Fungsi lainnya adalah menyiapkan dan

    mengkondisikan peserta Rakornis untuk pelaksanaaninception workshop.

    Ada beberapa jastifikasi terhadap pentingnya pelaksanaan Rakornis. Pertama, dalam konteks

    knowledge management, tahap pertama yang harus dilakukan adalah memperoleh pengetahuan

    (acquiring knowledge). Pada tahap ini, interaksi dan komunikasi awal antara penerima hibah dan

    pengambil keputusan (decision maker) tentang pengetahuan low emissionperlu ada penyamaan

    persepsi dan pemahaman tujuan akhir dari implementasi proyek. Kedua, pengambil keputusan di

    tingkat Provinsi dan Kabupaten merupakan pihak yang mendapatkan mandat dalam pelaksanaan

    program pembangunan baik yang melibatkan langsung atau tidak langsung masyarakat, sehingga

    sangat memahami kebutuhan apa saja yang diinginkan masyarakat dalam implementasi kegiatan

    pembangunan yang rendah emisi karbon. Ketiga, GA antara Granteedalam hal ini BCC dan MCAI

  • 7/24/2019 Laporan Kemajuan Kwartal I September-Desember 2015

    4/42

    3

    yang menyebutkan bahwa implementasi proyek perlu melibatkan unsur pemerintah daerah baik di

    tingkat Provinsi maupun Kabupaten. Keempat, arahan Pemerintah Daerah (NTB dan NTT) agar

    mencapai keberhasilan implementasi proyek, maka perlu diperhatikan pelibatan masyarakat

    secara aktif, memperhatikan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat, dan mengoptimalkanmanfaat atau benefit proyek untuk meningkatkan ekonomi masyarakat lokal. Dan kelima,

    menindaklanjuti butir-butir kesepakatan granteedengan pihak Pemerintah Daerah (Provinsi dan

    Kabupaten) pada 21 September dan 16 Oktober 2015.

    Disamping itu pelaksanaan Rakornis yang lebih konfrehensif telah menumbuhkan harapan

    bersama dalam implementasi proyek. Pihak proyek dapat menyerap berbagai informasi, masukan,

    dan aspirasi untuk mensingkronkan dan mengharmonisasikan antara proposal dan

    program/kegiatan aktual (sudah-sedang-akan dilakukan) baik di kedua Provinsi maupun pada 7

    Kabupaten. Di sisi lain, pihak pemda dapat memahami apa yang menjadi tujuan, output, dan

    outcome proyek; sehingga dapat memberikan informasi dan merencanakan program dan kegiatan

    pembangunan yang berbasis kepada low carbon emissiondi masa mendatang. Hasil-hasil rumusandan kesepatan baik dalam forum KoM dan Rakornis telah ditindaklanjut dan disepakati pada

    forum Lokakarya Pendahuluan (Inception Workshop)

    1.2. Tujuan

    KoM bertujuan mensosialisasikan kegiatan tujuh penerima hibah yang dilakukan oleh MCAI,

    termasuk proyek BCC dan menjajaki kesepakatan awal antara granteedan pemerintah daerah.

    Adapun beberapa tujuan pelaksanaan Rapat Koordinasi Teknis, yaitu:

    1.

    Memaparkan proposal yang disetujui oleh pihak MCAI kepada Pemerintah Provinsi NTBdan Kabupaten yang menjadi sasaran proyek;

    2.

    Merumusakan kriteria pemilihan desa demplot dan mekanisme pemilihan desa demplot;

    3.

    Mengidentifikasi multi-stakeholders yang dapat mendukung implementasi proyek;

    4.

    Formulasi awal peran SKPD tingkat Provinsi dan Kabupaten untuk implementasi proyek;

    5.

    Merumuskan sistem koordinasi antara granteedan SKPD terkait; dan

    6.

    Merumuskan langkah-langkah persiapan pelaksanaan inception workshop

    1.3. Keluaran

    Output yang dihasilkan dalam pelaksanaan KoM adalah tersosialisasikannya rencana pelaksanaanproyek BCC dan dihasilkannya kesepakatan dengan forum multi stakeholders baik tingkat Provinsi

    maupun Kabupaten-Kabupaten yang menjadi target proyek.

    Adapun output yang dihasilkan dari pelaksanaan rapat koordinasi teknis di dua Provinsi dan 7

    Kabupaten adalah:

  • 7/24/2019 Laporan Kemajuan Kwartal I September-Desember 2015

    5/42

    4

    1.

    Masukan tertulis untuk penyempurnaan proposal dalam bentuk rencana implementasi

    program dan kegiatan untuk pencapaian outcome, output dan tujuan;

    2.

    Rumusan kriteria dan mekanisme penetapan desa demplot;

    3.

    Teridentifikasi multi-stakeholders terkait dengan implementasi proyek sampai dengantingkat desa;

    4.

    Terfomulasikannya peran SKPD tingkat Provinsi dan Kabupaten untuk implementasi

    proyek;

    5.

    Adanya sistem koordinasi tentatif antara granteedan SKPD terkait; dan

    6.

    Kesepakatan langkah-langkah persiapan pelaksanaan inception workshop.

    2. Pelaksanaan Kegiatan

    Kegiatan KoM di Provinsi Nusa Tenggara Barat di laksanakan pada tanggal 21-22 September 2015bertempat di Auditorium Kantor Gubernur dan Ruang Rapat BAPPEDA Provinsi Nusa Tenggara

    Barat (Foto kegiatan lihat lampiran A). Susunan acara dan agenda kegiatan Kick off Meeting(KoM)

    disajikan pada Lampiran 1 dan 2. Sebagai catatan, Gubernur NTB (Dr. Zainul Majdi) telah

    meresmikan pelaksanaan proyek-proyek GK di NTB. KoM dilanjutkan dengan rapat koordinasi di

    Kantor BAPPEDA Provinsi NTB yang dipimpin oleh Bapak Chairul Mahsul (Ketua Bappeda Provinsi)

    dan Dr. Poppy Ismalima (Associate Directore of MCAI). Kemudian KoM dilanjutkan dengan rapat

    koordinasi dengan FMS menggunakan pendekatan Focus Group Discussion (FGD). FGD diawali

    dengan perkenalan penerima hibah dan jenis-jenis proyek yang akan dilaksanakan di NTB. FGD

    dipimpin langsung oleh Bapak Ghafur dan Haris (manajer pada MCAI). Dalam rapat koordinasi ini,

    Konsorsium PKSPL IPB, YAPEKA, dan TRANSFORM mendeklarasikan nama konsorsiumnya yaitu

    Blue Carbon Consortium. Pada kesempatan FGD kali pertama ini, BCC diwakili oleh Bapak Prianto

    Wibowo (Manager PMU), Zulhamsyah Imran (Deputi Manajer PMU) dan Suyono (anggota advisory

    board BCC).

    KoM juga diikuti dengan kegiatan kunjungan lapang. Pada hari kedua, tepatnya 22 September

    2015 (Foto kegiatan lihat lampiran B), Tim MCAI yang terdiri dari Tim Komunikasi (Ibu Wulan dan

    Bapak Bogie) dan wali amanat (Ibu Tini Hadad, Ibu Zumratin, dan Bapak Luluk) bersama dengan

    District Manager MCAI Lombok Timur dan perwakilan BCC (Bapak Zulhamsyah Imran dan Bapak

    Suyono) melakukan kunjungan lapangan (field visit) ke Desa Jeruwaru. Tujuan dari kunjungan

    lapang ini adalah untuk melihat secara langsung kegiatan PKSPL IPB bekerjasama dengan Lembaga

    Pemberdayaan Sumberdaya Nelayan (LPSDN) Lombok Timur dalam melakukan revitalisasi dan

    pendampingan kelembagaan adat AWIG-AWIG.

    Kegiatan KoM di Provinsi Nusa Tenggara Timur di laksanakan pada tanggal 12 dan 15 Oktober

    2015 bertempat di Waingapu dan Kupang. KoM di Kabupaten Sumba Timur dibuka oleh PLT Bupati

    yang dijabat oleh Asisten Daerah Bidang Tata Praja. Dan peluncuran proyek kemakmuran hijau di

    Provinsi NTT dilakukan oleh Sekretaris BAPPEDA NTT. KoM dibagi kedalam dua group, yaitu FGD 1

    untuk BCC, BaKti dan Petuah; dan FGD 2 LPEM UI, HiVOS dan Green Consortium. Pada kesempatan

  • 7/24/2019 Laporan Kemajuan Kwartal I September-Desember 2015

    6/42

    5

    Kick off Meetingini, BCC diwakili oleh Bapak Prianto Wibowo (Manager PMU), Zulhamsyah Imran

    (Deputi Manajer PMU), Akbar Ario Digdo (Deput Manajer PMU), Warintoko (Manager Training),

    Eddy Hendras (anggota advisory board BCC) dan Suyono (anggota advisory board BCC)

    Sambutan PLT Bupati Lombok Timur dan Sekretaris BAPPEDA Provinsi NTT mengarahkan kepada

    pembangunan ekonomi dan mensejahterakan masyarakat. Dalam upaya-upaya pencapaian tujuan

    tersebut maka perlu diperhatikan tata guna lahan, pembangunan yang ramah lingkungan. Dan

    yang paling lagi adalah bagaimana kegiatan MCAI, termasuk proyek BCC, dapat mengadopsi dan

    beradaptasi dengan kondisi sosial-ekonomi masyarakat lokal dalam implementasi proyek.

    Berbeda dengan di NTB, sebelum kunjungan lapangan Tim BCC (Bapak Prianto Wibowo,

    Zulhamsyah Imran, Warintoko, dan Eddy Hendras) menyempatkan diri untuk koordinasi dengan

    Sekretaris Dinas Kelautan dan Perikanan Sumba Timur (Bapak Markus). Kegiatan kunjungan

    lapangan itu sendiri dilakukan lokasi tambak garam, ekosistem mangrove (Pantai Cemara), dan

    budidaya rumput laut pada 13 Oktober 2015.

    Peserta yang hadir pada dua rapat koordinasi yang difasilitasi oleh MCAI terdiri dari unsur MCAI

    Jakarta, MCAI Provinsi NTT dan NTB, Kabupaten Lombok Timur, Lombok Tengah, Lombok Utara,

    Sumba Timur, Sumba Tengah, Sumba Barat Daya, dan Sumba Barat; 7 Grantee, Satuan Kerja

    Pemerintah Daerah (SKPD) yang tergabung dalam FMS, NGO baik dari Provinsi dan Kabupaten

    target. Setiap unsur SKPD baik di tingkat Provinsi dan Kabupaten oleh 1-2 orang peserta.

    Menindaklanjuti hasil KoM, BCC melaksanakan kegiatan rakornis yang diselenggaraka pada 2

    waktu dan tiga tempat yang berbeda. Rakornis untuk Provinsi NTB dan tiga Kabupaten target

    diselenggarakan pada 20 Oktober 2015 bertempat di Hotel Santika, Mataram. Agenda acara dan

    kegiatan rakortek disajikan pada Lampiran 3. Adapun rakortek di Provinsi NTT diselenggarakan

    pada 29 Oktober 2015 bertempat di Restoran Warungku, Kota Waingapu-Kabupaten Sumba Timurdan Restoran Warungku, Kota Tambulaka-Kabupaten Sumba Barat Daya. Peserta yang hadir pada

    kedua kegiatan rakornis memenuhi unsur dari SKPD yang tergabung kedalam FMS, yaitu:

    (1)

    Provinsi NTB terdiri dari: Bappeda Provinsi NTB, BLHD Provinsi NTB, DKP Provinsi NTB, BPMD

    Provinsi NTB, Dinas Kehutanan Provinsi NTB, Bappeda Kabupaten Lombok Utara, BLHD

    Kabupaten Lombok Utara, DKP Kabupaten Lombok Utara, BPMD Lombok Utara, Dinas

    Kehutanan Kabupaten Lombok Utara, Bappeda Kabupaten Lombok Tengah, BLHD Kabupaten

    Lombok Tengah, DKP Kabupaten Lombok Tengah, BPMD Kabupaten Lombok Tengah, Dinas

    Kehutanan Kabupaten Lombok Tengah, Bappeda Kabupaten Lombok Timur, BLHD Kabupaten

    Lombok Timur, DKP Kabupaten Lombok Timur, BPMD Kabupaten Lombok Timur, dan Dinas

    Kehutanan Kabupaten Lombok Timur; BCC (Prianto, Zulhamsyah Imran, Akbar Digdo,Warintoko, Suyono, Markum, Sinta Hasriningtyas, dan Elly); MCAI Provincial Manager of NTB,

    MCAI District Manager (Lombok Timur, Lombok Tengah, dan Lombok Utara);

    (2)

    Provinsi NTT untuk Kabupaten Sumba Timur dan Tengah terdiri dari: Bappeda Kabupaten

    Sumba Timur, Bappeda Kabupaten Sumba Tengah, Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten

    Sumba Timur, Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sumba Tengah, Dishutbun Kabupaten

    Sumba Timur, Dishutbun Kabupaten Sumba Tengah, BLH Kabupaten Sumba Timur, dan BLH

  • 7/24/2019 Laporan Kemajuan Kwartal I September-Desember 2015

    7/42

    6

    Kabupaten Sumba Tengah (Priantor Wibowo dan Warintoko), MCAI Provincial Manager of

    NTT, MCAI District Manager (Sumba Timur dan Sumba Tengah);

    (3)

    Provinsi NTT untuk Kabupaten Sumba Barat dan Kabupaten Sumba Barat Daya terdiri dari:

    Bappeda Kabupaten Sumba Barat, Bappeda Kabupaten Sumba Barat Daya, Dinas Perikanandan Kelautan Kabupaten Sumba Barat, Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sumba Barat

    Daya, Dishutbun Kabupaten Sumba Barat, Dishutbun Kabupaten Sumba Barat Daya, BLH

    Kabupaten Sumba Barat, dan BLH Kabupaten Sumba Barat Daya (Zulhamsyah Imran dan

    Suyono), dan MCAI District Manager (Sumba Barat Daya dan Sumba Barat).

    Rakornis di masing-masing Provinsi dibuka oleh pejabat pemerintah daerah setempat. Di Provinsi

    NTB, rekornis dibuka langsung oleh Sekretaris BAPPEDA Provinsi. Berbeda dengan di Provinsi NTB,

    maka rakornis di Tambolaka dibuka oleh Ketua BAPPEDA Kabupaten Sumba Barat Daya (Ibu

    Elizabet) dan di Waingapu dibuka oleh BAPPEDA Kabupaten Sumba Timur. Pada kesempatan

    rakornis di masing-masing Provinsi, BCC juga sempat menyelenggarakan secara khusus rapat

    koordinasi dengan masing-masing perwakilan MCA baik di Provinsi NTB dan NTT serta dengan 7district managers (Lombok Timur, Lombok Tengah, Lombok Utara, Sumba Timur, Sumba Tengah,

    Sumba Barat Daya dan Sumba Barat).

    3. Rumusan Hasil Kick off Meeting

    3.1. Provinsi Nusa Tenggara Barat

    Kebutuhan Forum Koordinasi antar Grantee dan Pemerintah Daerah

    Proyek akan berjalan dengan baik jika disusun kedalam grand designdan dikoordinasikan dengan

    baik. Secara teknis, proyek kemakmuran hijau telah menyiapkan grand design, salah satunya

    melaluiproject green knowledge(GK) untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat. Agar grand

    designtersebut dapat diimplementasikan dengan baik, maka 7 penerima hibah perlu membentuk

    satu forum koordinasi untuk mengkomunikasikan kaahlian yang berbeda-beda guna meningkatkan

    kapasitas dan respon lokasi kerja dan masyarakat. MCAI berkomitmen untuk menfasilitasi

    berjalannya komunikasi baik antar grantee dan granteedengan pemerintah daerah melalui suatu

    mekanisme koordinasi yang terpadu, baik secara verticalmaupun horizontal.

    Disamping forum koordinasi, para penerima hibah GK perlu menerapkan pendekatan holistik,

    hamparan (landscape), melibatkan mitra ekonomi, kelestarian lingkungan, dan kesejahteraan

    sosial. Ditekankan bahwa proses pemilihan penerima GK dilakukan dengan reviu yang sangat

    konfrehensif dan melibatkan juga wali amanat. Dari 150 proposal, disaring menjadi 15 proposal

    yang masuk short listdan selanjutnya hanya 7 konsorsium atau lembaga yang mendapatkan hibah.

    Selanjutnya hibah diimplementasikan kepada target-target lokasi yang telah ditentukan. Provinsi

    NTB dan NTT merupakan dua Provinsi yang akan menjadi sasaran oleh ketujuh penerima hibah GK.

  • 7/24/2019 Laporan Kemajuan Kwartal I September-Desember 2015

    8/42

    7

    Untuk itu forum koordinasi juga sangat diperlukan baik antara penerima hibah dengan pemerintah

    daerah melalui FMS, maupun antara FMS di tingkat Provinsi dan Kabupaten.

    Implementasi berbasis Pendekatan Pembangunan Berkelanjutan

    Green Knowledge Projecttelah direncanakan selama 2 tahun dan pada tanggal 21 September 2015

    menjadi tonggak untuk memulai implementasinya. Pengetahuan hijau adalah stok pengetahuan,

    sehingga perlu ada motivasi yang kuat untuk mempertahankan pengetahuan tersebut agar dapat

    dimanfaatkan oleh generasi mendatang. Design project diarahkan untuk memberikan manfaat

    kepada pemetik manfaat (benefeciaries), dan akan tampak saat proyek diimplementasikan dan

    tersebar kepada masyarakat luas.

    Agar proyek berhasil guna, maka perlu diintegrasikan pendekatan pembangunan berkelanjutan.

    Setidaknya ada 4 aspek yang perlu diperhatikan dalam pendekatan pembangunan berkelanjutan.

    Pertama, implementasi proyek harus memperhatikan pemanfaatan sumberdaya alam dengan

    memperhatikan keberadaannya dimasa mendatang dan tidak merusak ekosistem yang

    mendukung pelestarian sumberdaya alam. Kedua, implementasi proyek harus dapat

    meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat yang ditandai dengan semakin menurunnya angka

    kemiskinan dan meningkatkan pendapatan para penerima manfaat. Ketiga, implementasi proyek

    harus lebih mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi Provinsi dan Kabupaten yang menjadi

    target lokasi proyek. Dan keempat, Pemerintah Daerah sebagai penguasa lokal dan kelembagaan

    lokal yang tumbuh dalam masyarakat perlu dijadikan pilar utama dalam menjembatani antara

    grantee dan masyarakat mulai dari proses perbaikan rencana dan pengendalian pelaksanaan

    proyek green knowledge.

    Aspek lingkungan janganlah menjadi kendala, namun harus dapat menjadi bagian keuntungan

    masyarakat dan pelaku bisnis secara jangka panjang. Implementasi proyek dalam jangka waktu 5

    tahun oleh 7 penerima GK diharapkan dapat mengembangkan role model, sehingga dapat

    direplikasi kepada daerah-daerah lain yang belum menjadi sasaran MCAI. Diharapkan bapak

    Gubernur Provinsi NTB dan NTT dapat mendorong partisipasi birokrasi dan masyarakat untuk

    mencapai kesepahaman yang telah dilalui dengan tahapan-tahapan pengelolaan proyek secara

    adaptif.

    Integrasi Muatan Lokal dan Partisipasi Aktif

    Bertambahnya jumlah penduduk miskin menjadi tantangan dalam implementasi Proyek. Misalnya

    jumlah penduduk miskin bertambah sebanyak 7,260 orang atau 0.06% pada September 2015 di

    Provinsi NTB. Diharapkan proyek GK dapat berkontribusi dalam menurunkan angka kemiskinan

    tersebut. Disampiang itu proyek GK dapat berkontribusi baik secara langsung dan tidak langsung

    dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sudah banyak proyek yang diinisasi di luar

    program pemerintah daerah, seperti proyek penanganan lahan kering, banyak NGO yang terlibat

  • 7/24/2019 Laporan Kemajuan Kwartal I September-Desember 2015

    9/42

    8

    dalam proyek ini, ada yang sukses dan tidak sedikit juga yang mengalami kegagalan. Pastinya,

    kesuksesan implementasi proyek sangat tergantung kepada seberapa jauh para implementer

    mengintegrasikan muatan-muatan lokal.

    Agar anggaran program GK dapat dikelola secara berkelanjutan, maka perlu memperhatikan

    bagaimanana menciptakan daya dorong dalam hal: pertama, memaksimalkan pelibatan

    masyarakat (partisipasi saja tidak cukup, sekedar ikut-ikutan, tidak aktif atau agar sekedar

    memenuhi kreteria proyek). Kedua, harus dipastikan agar masyarakat dapat merasakan manfaat

    secara kongkrit. Ketiga, perlu diformulasikan indikator atau kriteria dalam implementasi proyek.

    Dan keempat, sedapat mungkin memperhatikan dan menyerap nilai-nilai yang hidup dalam

    masyarakat. Contohnya: pengembangan pariwisata dan pertanian yang memperhatikan

    ketersediaan sumberdaya yang disediakan oleh masyarakat lokal agar menjamin kegiatan dapat

    berjalan dengan baik, mengadopsi nilai-nilai lokal, pelaksanaan program harus banyak

    berkonsultasi kepada tokoh masyarakat dan pemuda, menghormati nilai-nilai yang hidup dalam

    masyarakat.

    Ada program yang tidak berjalan dan ada yang sukses, hal ini sangat ditentukan oleh konsistensi

    pemerintah daerah, keterpaduan, adopsi nilai-nilai yang hidup, dan memaksimalkan benefit

    kepada masyarakat. Sehingga, kerjasama dan koordinasi antar MCAI, para granteedan Pemerintah

    Daerah menjadi kunci keberhasilan dalam implementasi proyek. Diharapkan para Sekda dan

    jajaranya di Provinsi NTB dan 3 Kabupaten (Lombok Timur-Lombok Tengah-Lombok Utara) untuk

    memastikan berjalannya proyek hibah pengetahuan hijau ini.

    Perubahan Kebijakan dalam Penyusunan RZWP3K

    Penyusunan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir Pantai dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) berubah dari

    kewenangan Kabupaten menjad kewenangan Provinsi. Kabupaten Lombok Tengah, Lombok Timur

    dan Lombok Utara (Kabupaten Target) telah menyiapkan draft RZWP3K yang siap difinalisasi,

    namun karena perubahan kewenangan dari Kabupaten ke Provinsi berdasarkan UU Nomor 23

    Tahun 2014, semua draft RZWP3K telah diserahkan ke Provinsi untuk diproses lebih lanjut.

    Finalisasi draft RZWP3K dilakukan dengan bantuan teknis tenaga konsultan, namun masih terdapat

    beberapa catatan kritis dari para pihak untuk penyempurnaannya. DKP Provinsi berharap Proyek

    dapat membantu dalam proses sosialisasi untuk penyempurnaan RZWP3K. Kaitannya dengan

    dokumen pendukung RZWP3K, maka proyek akan melakukan kajian KLHS-SPRE. Di samping

    sosialisasi KLHS-SPRE diharapkan dapat menjadi bahan masukan dalam menyusun RPWP3K.

    Integrasikan AWIG-AWIG dalam Implementasi Proyek

    Kunjungan lapangan dipersiapkan oleh MCAI yang diikuti oleh perwakilan dari Wali Amanah.

    PKSPL IPB bersama anggota konsorsiumnya, YAPEKA dan TRANSFORM, melakukan site visit ke

    Desa Jeruwaru, Kecamatan Jeruwaru, Kabupaten Lombok Timur pada 22 September 2015. Tujuan

  • 7/24/2019 Laporan Kemajuan Kwartal I September-Desember 2015

    10/42

    9

    dari site visit ini adalah mendiskusikan lebih jauh terhadap keberadaan awig-awig hasil revitalisasi

    PKSPL IPB pada tahun 2013. Beberapa informasi kunci dan isu terhadap keberadaan awig-awig

    adalah: (1) Awig-awig di Telur JOR dikembangkan sudah menggunakan pendekatan eksositem

    atau kawasan; (2) Kegiatan yang di atur dalam awig-awig mencakup kegiatan penangkapan ikan,Konservasi mangrove dan kegiatan budidaya pada keramba jaring apung; (3) Model kegiatan

    budidaya pada mangrove lebih dominan kepada kegiatan wana mina dengan menggunakan sistem

    empang parit dan jenis ikan yang dibesarkan adalah ikan bandeng; (4) Kesepakatan yang tertuang

    dalam awig-awig merupakan kesepatan dua desa dan 1 kecamatan; (5) Masalah yang muncul

    adalah konflik penggunaan ruang pesisir, praktek perikanan yang tidak efektif, dan konflik dengan

    masyarakat pendatang di luar kawasan; (5) Kawasan Teluk Jor dalam penegakkan awig-awig sudah

    ada Lembaga Pemangku Adat AwigAwig Teluk JOR; (6) Revitalisasi awig-awig dilakukan LPSDN

    bekerjasama dengan PKSPL IPB pada tahun 2013.

    Dalam revitalisasi awig-awig juga perlu mempertimbangkan beberapa isu lainnya. Isu-isu tersebut

    adalah: (1) Lokasi kepemilikan lahan di pesisir didasarkan pada sejarah penggunaan lahan untuktambak garam dan tanah negara (izin penggunaannya ada di pemerintah desa); (2) Status

    pengelolaan KJA sedapat mungkin lebih banyak melibatkan masyarakat lokal; (3) Jumlah keluarga

    yang terlibat dalam KJA saat ini lebih dari 1000 KK; (4) Koperasi Nelayan masih dalam proses

    pendirian; (5) BUMDES sudah ada yang beroperasi di Kecamatan Jeruwaru dan merupakan binaan

    TRANSFORM; (6) Pemilihan kelompok penerima manfaat perlu memperhatikan peran gender; (7)

    Pengembangan ekonomi masyarakat pesisir perlu menggunakan pendekatan cluster: nelayan,

    pemasaran, peran wanita, pengolah, sarana penunjang produksi (pabrik es dll); dan (8)

    Konsorsium dapat mengembangkan koperasi sebagai grand design dalam mengembangkan

    ekonomi masyarakat pesisir.

    3.2. Provinsi Nusa Tenggara Timur

    Berdasarkan hasil 2 kali rapat koordinasi pada forum Kick off Meetingdi Waingapu dan Kupang,

    maka terdapat beberapa isu yang mengemukan terkait dengan rencana implementasi proyek BCC

    di Provinsi NTT dan 4 Kabupaten di Sumba Daratan. Isu-isu strategis yang teridentifikasi sangat

    mendukung dalam memperkuat dan memperkaya proposal BCC yang telah disetujui oleh MCAI.

    Beberapa isu strategis tersebut adalah:

    Mencermati Potensi dan Isu Wilayah Pesisir di Kabupaten Sumba Daratan

    Kabupaten-Kabupaten di Sumba Daratan memiliki potensi sumberdaya alam wilayah pesisir dan

    lautan. Kabupaten Sumba Timur memiliki panjang pantai 430 km dengan 15 kecamatan pesisir

    dan 50 desa pesisir, bahkan ada desa pesisir yang akan dimekarkan. Kabupaten Sumba Barat

    disamping memiliki pantai 57 Km, 4 kecamatan pesisir (Foya Barat, Manukola, Lamboya Barat, dan

    Tana Ruwe) dan 13 desa pesisir di bagian utara, juga memiliki ekosistem mangrove disepanjang

    wilayah selatan- timur yang berbatasan dengan Desa Patialopu. Begitu juga Kabupaten Sumba

    Tengah dan Sumba Barat Daya (5 kecamatan pesisir), memiliki potensi pantai dan wilayah pesisir

  • 7/24/2019 Laporan Kemajuan Kwartal I September-Desember 2015

    11/42

    10

    yang sudah dimanfaatkan dan dikelola. Bahkan di Kabupaten Sumba Barat Daya pernah

    melakukan kegiatan rehabilitasi mangrove, namun mati semua dan belum diketahui penyebabnya.

    Pada forum FGD mengemuka bahwa terdapat kegiatan-kegiatan potensial yang memanfaatkan

    sumberdaya wilayah pesisir. Di Kabupaten Sumba Timur, kegiatan penangkapan ikan dengan

    2.545 rumah tangga nelayan (RTP), budidaya perikanan dengan 1.145 rumah tangga petambak,

    budidaya rumput laut 5.600 ha dengan jenis yang dibudidayakan Euchema cotonii dan

    pengolahannya (pabrik pengolahan rumput laut), silvo fisheries, dan produksi garam (merebus dan

    tambak garam). Fenomena yang menarik di Kabupaten Sumba Timur adalah adanya

    kecenderungan peningkatan produksi rumput laut setelah beroperasinya pabrik pengolahan

    rumput laut sejak tahun 2008 dengan kapasitas terpasang 10 ton/hari. Potensi lainnya yang juga

    perlu dicermati adalah kegiatan peternakan (sapi, kuda dan kambing) dan pertanian lahan kering

    (program jagung 35.000 ha di Kabupaten Sumba Barat Daya dan jambu mete) yang dilakukan juga

    di wilayah pesisir. Sebenarnya kegiatan yang sama juga ditemukan di tiga Kabupaten lainnya, yaitu

    Kabupaten Sumba Tengah, Sumba Barat Daya, dan Sumba Barat. Namun pada kesempatan FGDini belum dapat dieksplor lebih jauh.

    Disamping potensi, sumberdaya wilayah pesisir juga sudah mendapatkan tekanan dari kegiatan

    manusia dan cenderung terdegradasi. Wilayah pesisir dan laut di Provinsi NTT, termasuk di

    Kabupaten-Kabupaten Sumba daratan memang berlimbah, namun banyak mendapat ancaman

    dari berbagai kegiatan pemanfaatnnya. Sebagai contoh, ekosistem mangrove, kayunya

    dimanfaatkan untuk bahan bakar dalam proses produksi garam. Kondisi ini dapat ditemui di

    Kabupaten Sumba Timur sebagai salah satu penghasil garam rakyat untuk mensuplai garam ke

    Kabupaten-Kabupaten lain di Sumba daratan. Begitu juga penangkapan ikan yang tidak ramah

    lingkungan dengan menggunakan potassium dan pengeboman. Akibatnya, ekosistem terumbu

    karang semakin banyak yang mengalami kerusakan.

    Dalam kontek ini, setidaknya ada beberapa hal yang perlu dicermati BCC dalam merumuskan

    kembali kegiatan-kegiatannya. Diantaranya: perlu melakukan kompilasi data, isu, dan masalah

    aktual dan potensial di wilayah pesisir Pulau Sumba; dan memetakan tatakelola dan pemanfaatan

    wilayah pesisir yang telah dilakukan.

    Mendorong Percepatan Penetapan PERDA RZWP3K

    Pemerintah Daerah Provinsi NTT menuju penetapan Peraturan Daerah RZWP3K. Sebagai langkah

    awal penetapan perda tersebut, maka Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTT sudah

    menyiapkan draft perda RZWP3K yang disusun bersama dengan Fakultas Perikanan dan Ilmu

    Kelautan Universitas Cendana. Bahkan jauh sebelum penyusunan draft perda tersebut, Dinas KP

    telah melakukan konsultasi publik dengan Kabupaten-Kabupaten yang terdapat di Sumba daratan.

    Memang ada beberapa masukan dari hasil konsultasi publik yang telah dilakukan, diantaranya

    masih perlunya mengamodasi zonasi yang telah disusun dalam dokumen RZWP3K tingkat

    Kabupaten sebelum keluarnya UU Nomor 23 Tahun 2014. Bahkan Kabupaten Sumba Tengah

  • 7/24/2019 Laporan Kemajuan Kwartal I September-Desember 2015

    12/42

    11

    merasakan bahwa beberapa isu dalam dokumen hasil kajian untuk RZWP3K, namun belum

    diintegrasikan kedalam dokumen RZWP3K Provinsi NTT.

    Menurut catatan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sumba Timur, konsultasi publik hanya

    menfasilitasi 3 Kabupaten yang ada di Sumba daratan, yaitu Sumba Barat Daya, Sumba Tengah,

    dan Sumba Barat. Hal ini mengingat, belum semua Kabupaten di Sumba daratan telah memiliki

    dokumen RZWP3K. Misalnya, Kabupaten Sumba Timur belum ada dokumen RZWP3K. Begitu juga

    Kabupaten Sumba Barat Daya, sebagai Kabupaten baru, belum pernah menyusun RZWP3K

    Kabupaten. Memang sudah pernah dilakukan kajian awal dari PSPL Denpasar (salah satu UPT dari

    Kementerian Kelautan dan Perikanan) dengan konsep dokumen yang dihasilkan dalam jangka

    waktu 3 tahun. Pada tahun pertama akan dilakukan pengumpulan data awal, selanjutnya untuk

    tahun kedua pengumpulan data tambahan dan dokumen akhir RZWP3K, dan baru pada tahun

    ketiga penyusunan naskah akademik dan proses penetapan dokumen RZWP3K kedalam Perda

    Kabupaten Sumba Timur. Sebagai informasi data awal yang dikumpulkan adalah data di luar

    Taman Nasional Laut Sawu. Namun dengan keluarnya UU Nomor 23 Tahun 2014, skenariopenyusunan RZWP3K berubah dan dokumen yang sudah ada diserahkan kepada Dinas Kelautan

    dan Perikanan Provinsi NTT.

    Walaupun kewenangan berada di Provinsi NTT, diharapkan dokumen RZWP3K perlu

    mengakomodasi rencana pengembangan yang telah dikaji oleh setiap Kabupaten di Sumba

    daratan. Sebagai contoh, Kabupaten Sumba Barat telah merencanakan zonasi wilayah pesisir ke

    arah utara yang meliputi wilayah Lakaka dan Laboya. Namun rencana zonasi ini baru

    mengakomodasi kearah daratan dan belum ada rencana zonasi yang kearah laut. Disamping

    mengintegrasikan dokumen rencana zonasi, RZWP3K Provinsi juga harus mengamodasi arahan-

    arahan yang telah ditetapkan dalam master plan dan minapolitan yang ditelah disusun oleh

    Kabupaten Sumba Barat Daya dan Kabupaten Sumba Barat.

    BCC perlu mengambil peran strategis dalam proses akselerasi penetapan perda RZWP3K.

    Akselerasi sangat mungkin dilakukan, mengingat semua Kabupaen di Sumba daratan sudah dapat

    memahami adanya perubahan kewenangnan dalam menetapkan dan mengelola wilayah pesisir.

    Namun demikian Kabupaten-kabupaten masih merasa perlu bahwa setiap ada arahan dan izin

    pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir, mereka dimintakan rekomendasi atau pendapat untuk

    menghindari pemanfaatan yang berlebihi, keakurasian data dan informasi, dan proses

    pengendalian pemanfaatan ruang dan sumberdaya yang ada di dalamnya. Menuju proses

    akselerasi tersebut, maka diharapkan BCC dapat berkontribusi dalah hal mereviu dan paduserasi

    dokumen RZWP3K yang sudah ada dengan dokumen rencana spasial dan non spasial lainnya,

    mengidentifikasi kembali kemungkinan masih diperlukan atau tidaknya kegiatan konsultasi publik,dan memberikan pemahaman yang lebih konfrehensif kepada DPRD Provinsi NTT yang akan

    menetapkan RZWP3K kedalam Perda. Guna memperkaya dokumen RZWP3K ini, maka BCC dapat

    mensinkronkan dengan berbagai hasi survey pesisir yang telah dilakukan, termasuk yang lakukan

    oleh CBC dan TNC tentang survey biofisik dan sosek di Pesisir Selatan Sumba Barat sampai Sumba

    Timur.

  • 7/24/2019 Laporan Kemajuan Kwartal I September-Desember 2015

    13/42

    12

    Pengendalian Pemanfaatan Sumberdaya Wilayah Pesisir melalui Kelompol Pengawas

    Degradasi wilayah dan sumberdaya alam di wilayan pesisir telah mendorong Kabupaten-

    kabupaten di Sumba daratan membentuk kelompok-kelompok masyarakat pengawas

    (Pokmaswas). Pokmaswas memiliki tugas melakukan patroli sepanjang garis pantai dan pesisir

    untuk memantau dan mencegah terjadinya pengrusakan eksosistem di wilayah pesisir dan

    melarang penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan. Di beberapa Kabupaten,

    Pokmaswas dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Bupati. Berdasar SK inilah selanjutnya Dinas

    Kelautan dan Perikanan mengalokasikan dan menyediakan anggaran kepada Pokmaswas dalam

    menjalankan tugasnya. Belajar dari Kabupaten Sumba Timur, maka Kabupaten Sumba Tengah juga

    memiliki Pokmaswas, namun uniknya kelompok pengawas di Kabupaten mencoba mengawinkan

    dan mengintegrasikan dengan nilai-nilai kearifan lokal. Perbedaan juga terjadi di di Kabupaten

    Sumba Barat Daya yang sudah mengkukuhkan Kelompok Konservasi Perairan berdasarkan SK

    Bupati, namun belum ada kegiatan sampai dengan tahun 2015. Pada awal berdirinya kelompok

    pengawas di beberapa Kabupaten Sumba daratan, aktivitas pengawasan masih berjalan denganbaik, namun dalam kurun waktu 2 tahun belakangan sudah mulai tersendat karena alokasi dana

    sudah tidak tersedia lagi dari Dinas Kelautan dan Perikanan.

    Ada beberapa peran yang dapat dimainkan oleh BCC. BCC perlu merevitalisasi Pokmaswas yang

    potensial di Kabupaten-kabupaten Sumba Daratan. Revitalisasi Pokmaswas diikuti dengan

    melibatkan para anggotanya dalam kegiatan peningkatan kapasitas dan pelatihan-pelatihan yang

    bermuatan strategi pembangunan rendah emisi. Disamping itu, BCC dapat juga perlu mendorong

    Pokmaswas untuk lebih memperkuat nilai-nilai kearifan lokal dalam aturan-aturan pengelolaan

    wilayah pesisir, begitu juga sangsi-sangsi yang akan diberikan kepada para pelanggar. Disisi lain,

    BCC harus mendorong upaya-upaya penyediaan dana operasional yang memadai dalam

    melakukan kegiatan pengawasan. Hasil FGD menunjukkan bahwa dana pendamping untuk setiapPokmaswas hanya teralokasi IDR 250,000 untuk anggaran tahun 2015.

    Disamping revitalisasi Pokmaswas, BCC juga perlu mengidentifikasi kembali keberadaan dari

    Forum Kawasan Konservasi Perairan yang didirikan berdasarkan Surat Keputusan Bupati dan di

    perkuat dengan produk hukum turunannya dari Dewan Konservasi Perairan Provinsi NTT.

    Kondisinya saat ini belum diketahui perannya dalam melakukan kegiatan pengawasan dan

    Konservasi di Provinsi NTT, namun yang ada adalah sekedar papan nama dan mengantungi SK

    belaka.

    Pemilihan Desa Demplot harus Berdasarkan Kriteria

    Proses pembelajaran penerapan strategi pembangunan rendah emisi akan berujung pada

    implementasi pada desa demplot. Tidak semua desa di 4 Kabupaten Sumba daratan akan dijadikan

    sasaran program, hanya 2 desa terpilih setiap Kabupaten yang akan mendapatkan paket program

    peningkatan kapasitas pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya pesisir rendah emisi. Pemilihan

    kedua desa setiap Kabupaten akan mengikuti kriteria yang telah disepakati bersama. Pada proses

  • 7/24/2019 Laporan Kemajuan Kwartal I September-Desember 2015

    14/42

    13

    awal, kriteria diusulkan oleh BCC untuk dibahas pada forum KoM. Ada beberapa kriteria yang

    diusulkan, yaitu merupakan desa pesisir, terdapat ekosistem mangrove dan ekosistem pesisir

    lainnya, terdapat kegiatan menangkap ikan, adanya pranata sosial dan lokal wisdom, adanya

    pengetahuan ekologi tradisional, terdapat potensi pertanian di wilayah pesisir, adanya teknologitepat guna yang diterapkan, adanya unit ekonomi di tingkat masyarakat yang mendukung,

    merupakan desa yang menjadi target pembangunan pemda, adanya kegiatan perlindungan

    wilayah pesisir lokal (DPL), terdapat ekosistem mangrove atau ekosistem pesisir lainnya dan desa

    miskin menurut kriteria Badan Pusat Statistik.

    Disamping kriteria yang diusulkan BCC, mengemuka juga aspek desa aktual dan desa potensial.

    Desa aktual yang dimaksud disini adalah desa-desa telah memiliki kegiatan ekonomi yang

    bergantung kepada pemanfaatan sumberdaya alam wilayah pesisir dan dapat dikembangkan lebih

    lanjut menjadi desa yang mandiri. Sementara yang dimaksud desa potensial adalah desa-desa di

    wilayah pesisir yang memiliki potensi sumberdaya alam wilayah pesisir yang dapat dijadikan

    andalan dalam pengembangan ekonomi masyarakat di masa mendatang. Kriteria lainnya yangperlu dipertimbangkan adalah kesenjangan antar wilayah di setiap Kabupaten yang menjadi

    sasaran proyek.

    Dengan adanya kriteria awal dan tambahan kriteria dari forum Kick off Meetingdapat dijadikan

    dasar dalam pemilihan desa demplot. Berdasarkan kriteria yang telah disepakati, maka forum

    menyepakati desa-desa demplot secara tentatif, yaitu: (1) Kabupaten Sumba Tengah mengusulkan

    satu desa di utara dan satu desa di selatan; (2) Kabupaten Sumba Barat Daya mengusulkan Desa

    Umbu Ngero dan Kahale atau desa yang terdapat di Kecamatan Kodi, Kodi Balagar dan Kodi

    Bangedot; (3) Kabupaten Sumba Tengah mengusulkan Desa Waetana dan Pancalabawa; dan (4)

    Kabupaten Sumba Barat mengusulkan Desa Baliloho, Wehura, dan Patialagawa.

    Transformasi Status Kepemilikan Tanah di Wilayah Pesisir

    Dalam satu dekade, isu menarik yang patut menjadi perhatian di Sumba daratan adalah proses

    perubahan status kepemilikan tanah di wilayah pesisir dari masyarakat lokal kepada investor dari

    luar pulau. Seluruh peserta FGD mengemukakan fenomema transformasi kepemilikian tanah ini

    sedang marak terjadi di Kabupaten Sumba Timur, Sumba Tengah, Sumba Barat, dan Sumba Barat

    Daya. Keindahan pantai Sumba daratan dan isu pengembangan wisata pantai menjadi daya tarik

    tersendiri bagi para investor dari luar (terutama dari Bali) dan manca negara untuk menanamkan

    modalnya dalam membangun resort wisata dan pengembangan wisata bahari. Sebut saja

    beberapa lokasi potensial untuk dikembangkan wisata bahari seperti Pantai Cemara di KabupatenSumba Timur, Pantai di Wilayah Kodi Kabupaten Sumba Barat Daya sudah beralih tangan dari

    masyarakat lokal kepada investor luar pulau. Contoh lainnya di Kabupaten Sumba Tengah,

    sebahagian tanah di pantai sudah dikuasai oleh pihak luar. Kondisi ini juga dialami Kabupaten

    lainnya yang terdapat di Sumba daratan.

  • 7/24/2019 Laporan Kemajuan Kwartal I September-Desember 2015

    15/42

    14

    Perpindahan status kepemilikan lahan menyisakan konflik. Pemerintah Daerah, bahkan SKPD yang

    berwenang tahu akan adanya konflik dengan terjadinya perubahan status kepemilikan lahan.

    Namun mereka tidak dapat mencegah adanya kegiatan pembangunan baik untuk resort wisata

    ataupun pemagaran yang dilakukan oleh para investor, akibatnya akses menuju ke laut semakinsulit. Pada proses jual beli sekalipun acapkali terjadi konflik antar anggota keluarga, pembeli dan

    perantara, dan kadangkala perantara dan penyusup. Konflik ini jika dibiarkan akan menjadi

    masalah besar di kemudian hari. Namun, yang paling penting kaitannya dengan pengalihan status

    kepemilikan tanah adalah kondisi ekonomi masyarakat lokal akan lebih membaik atau sebaliknya,

    bahkan mereka akan terjebak kedalam petaka kemiskinan. Jika diperlukan, Pemerintah Daerah

    menetapkan status quo terhadap lahan-lahan yang masih dalam persengketaan para pihak agar

    dapat dicarikan resolusi konfliknya. Sebagai akibat jangka panjang, disamping tidak akan

    mendukung pengembangan ekonomi masyarakat lokal juga berpotensi semakin sulitnya akses

    masyarakat terutama nelayan ke laut untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

    Memperhatikan pada kondisi ini, maka BCC perlu melakukan kajian resolusi konflik dan statuskepemilikan tanah di wilayah pesisir untuk meningkatkan kemitraan antara masyarakat lokal dan

    investor. Kajian ini harus dilakukan dengan sangat hati-hati dan melibatkan pihak-pihak yang

    bersengketa, NGO, masyarakat lokal, investor, dan SKPD terkait.

    4. Rumusan Hasil Rapat Koordinasi Teknis

    Provinsi Nusa Tenggara Barat

    Mengoptimalkan Pemanfaatan Potensi Wilayah Pesisir dan Laut dan Meminimalkan Resiko

    Provinsi NTB memiliki potensi sumberdaya alam di wilayah pesisir dan lautan. Sebagai

    perbandingan BAPPEDA NTB memberikan gambaran dan perbandingan antara luat daratan dan

    lautan serta panjang pantai. Luas daratan yang dimiliki Provinsi NTB mencapai 20.000 km2,

    sementara lautan mencapai 29.000 km2 (sedikit lebih luas dari daratan). Luasnya lautan juga

    ditunjang dengan panjang pantai yang mencapa sekitar 3.000-an km, dengan 0-12 mil laut sebagai

    telah menjadi domain Provinsi.

    Di sisi lain, Pulau Lombok sebagai hamparan geopark yang tidak dapat dipisahkan dengan

    aktivitas vulkanik Gunung Rinjani. Hamparan geopark ini sudah menjadi satu kesatuan dalam

    pengelolaan wilayah pesisir dan laut Provinsi NTB. Fakta lain menunjukkan bahwa pesisir dan laut

    sudah menjadi isu strategis pembangunan daerah. Namun demikian optimalisasi pembangunanwilayah pesisir masih belum dapat mensejahterakan masyarakat pesisir. Data tahun 2014

    menunjukkan bahwa kesejahteraan masyarakat pesisir masih belum dapat ditingkatkan, bahkan

    ada peningkatan kemiskinan sebesar 0,2% per tahun secara menyeluruh di Provinsi NTB.

    Pemerintah Daerah NTB sudah mentargetkan pada akhir 2015, capaian kemiskinan bisa turun

    sampai dengan diangka 17%.

  • 7/24/2019 Laporan Kemajuan Kwartal I September-Desember 2015

    16/42

    15

    Dengan melihat pada besarnya potensi wilayah pesisir, diharapkan dapat memenuhi harapan

    untuk menurunkan angka kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi daerah. Potensi pesisir

    disamping dapat dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan ekonomi perikanan dan kelautan, saat ini

    juga berpotensi untuk kegiatan pariwisata. Sebenarnya ada juga kegiatan lain yang dapat digarap

    seperti tambang pasir dan off shore drilling oil, namun dapat dikategorikan beresiko tinggi dan

    berpotensi berdampak negatif terhadap lingkungan dan ekosistem pesisir.

    Potensi wilayah pesisir di 3 Kabupaten di Pulau Lombok jika digali lebih lanjut akan memberikan

    kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi dan penurunan angkat kemiskinan. Kabupaten

    Lombok Tengah terdapat beberapa kecamatan pesisir dari 12 kecamatan dan 11 desa pesisir. Dari

    beberapa wilayah pesisir dan laut yang berpotensi, Kabupaten Lombok Tengah telah

    mengembangkan menjadi tiga wilayah pengembangan perikanan, yaitu (1) Wilayah Tengah

    dipengaruhi oleh Gunung Rinjani dan diarahkan perikanan air tawar; (2) Wilayah Utara diarahakan

    perikanan tawar; dan (3) Wilayah Selatan diarahakan kepada kehidupan masyarakat pesisir,

    perhatikan teluk awing, teluk kumbang, punya magnit untuk wisata, pengembangan perikanan

    (rumput laut, lobster, udang, pangkapan ikan). Namun ketiga kawasan pengembangan tersebutbelum ada arahan pemanfaatan ruangnya.

    Ada beberapa kegiatan yang potensial untuk dikembangkan agar memberikan kontribusi ekonomi.

    Diantara kegiatan tersebut adalah budidaya udang vaname di Kidang, budidaya perikanan yang

    dikaitkan dengan pengembangan Mina Politan, budidaya rumput laut di Kecamatan Sengkol,

    produksi garam dengan teknologi yang dikembangkan di Teluk Bumbang, lobster dan Taman

    Wisata Laut. Dari sekian banyak kegiatan diprediksi dari kegiatan budidaya lobster berpotensi

    menghasilak IDR 170 milyar/tahun, namun disayangkan saat ini tidak boleh menangkap lobster

    dengan ukuran kurang dari 8 cm dengan adanya kebijakan dari Menteri Kelautan dan Perikanan.

    Kegiatan lain yang akan memberikan kontribusi ekonomi secara tidak langsung adalah kegiatan

    Konservasi ekosistem terumbu karang.

    Kabupaten Lombok Timur memiliki 6 Kecamatan Pesisir dari 20 Kecamatan dan didukung oleh

    keberadaan 38 Desa Pesisir. Secara potensi wilayah pesisir, Kabupaten Lombok Timur juga

    didukung dengan kegiatan penyodetan air tawar dari laut di Teluk Kayangan, mangrove,

    swasembada garam 20 ton per tahun, walaupun ada kendala pemasaran dan baru tergarap 250 ha

    dari potensi lahan 1.500 ha, menjadi daerah terpadu untuk rumput laut atau udang.

    Pengembangan potensi pesisir ini juga didukung dengan adanya Kawasan Konservasi Laut Daerah

    dengan andalan kegiatan transplantasi terumbu karang, kerjasama dengan grup diving (LSM)

    untuk pengamanannya. Pembangunan Jetty dari beton 300 meter di dalam Kawasan Mangrove

    juga memberikan harapan baru untuk pengembangan kegiatan wisata.

    Nampaknya Kabupaten Lombok Utara lebih mengembangkan pengelolaan wilayah pesisir dan

    pulau-pulau kecil untuk kegiatan wisata bahara dan industri minyak. Daerah ini sudah sangat

    terkenal dengan wisata bahari di Gugus Gili-Gili (Gili Air, Menu, dan Terawangan). Rencana

    pembangunan kilang dan eksplorasi minyak akan di garap oleh Pemda dengan memberikan

    kesempatan kepada investor PT Shanghai Cooperation (Kayangan). Walaupun demikian potensi

  • 7/24/2019 Laporan Kemajuan Kwartal I September-Desember 2015

    17/42

    16

    budidaya rumput laut masih dapat diandalkan. Hanya arah pengembangannya harus

    diintegrasikan kepada konsep pengembangan program mina wisata. Kegiatan ini akan didukung

    juga oleh kegiatan budidaya kerapu dalam keramba jaring apung.

    Tentunya upaya pemanfaatan potensi wilayah pesisir harus diikuti dengan meminimalkan potensi

    resiko. Resiko yang paling besar yang perlu diantisipasi selain kegiatan-kegiatan eksploitasi

    sumberdaya pesisir secara tidak ramah lingkungan adalah pembangunan kilang minyak, ekplorasi

    minyak lepas pantai, penambangan pasir laut untuk reklamasi Tanjung Benoa Bali. Dalam

    meminimalkan resiko ini, maka koordinasi antar SKPD perlu dioptimalkan, sosialisasi kepada para

    pihak yang berkepentingan terutama masyarakat pesisir, dan pelibatan NGO dan masyarakat lokal

    setiap pengambilan keputusan pemanfaatan dan pembangunan wilayah pesisir.

    Konsolidasi Penyusunan RZWP3K

    Tiga Kabupaten yang menjadi target proyek sudah selesai menyusun RZWP3K, namun dengan

    adanya perubahan kebijakan melalui terbitnya UU Nomor 23 Tahun 2014, Provinsi NTB harusmengkonsolidasikan kembali penyusunan RZWP3K kedalam kewenangan Provinsi. Momentum

    penyusunan RZWP3K dapat dijadikan suatu peluang mengingat pada tahun 2016 ketiga Kabupaten

    akan membuat dokumen perencanaan spasial dan non-spasial baru. Pada waktu yang sama,

    Provinsi NTB akan mereviu RTRW Provinsi dan 7 Kabupaten/kota akan ada pilkada dan akan ada

    dokumen 7 dokumen RPJM baru. Ditargetkan sampai akhir tahun 2016, semua dokumen rencana

    sudah dapat diselesaikan.

    Konsolidasi RZWP3K perlu memperhatikan beberapa isu dan masalah yang sedang berkembang.

    Sampai saat ini, ruang yang sudah banyak di atur adalah wilayah darat, tetapi masih sedikit yang

    mengakodasi kegiatan di wilayah laut, termasuk perhubungan, dan pertambangan (Dinas

    Perhubungan dan Pertambangan). Konflik di wilayah pesisir dan laut jauh tidak terkontroldibandingkan daratan. Setidaknya isu-isu strategis ini harus dapat diakomodasi dalam penyusunan

    RZWP3K Provinsi NTB. Dengan adanya dokumen RZW3K Kabupaten dan dokumen rencanan non-

    spasial lainnya diwilayah pesisir juga menjadi tantangan tersendiri dalam proses penyusunan

    RZWP3K Provinsi, karena harus melakukan kegiatan paduserasi dan konsultasi publik yang lebih

    intensif. Dalam penyusunan RZWP3K juga perlu mempertimbangkan isu dan masalah lainnya

    seperti Pergeseran wewenang di bidang tata ruang, pesisir dan konservasi, wilayah kelola 4 mil

    diserahkan kepada Provinsi, RZWP3K Kabupaten diserap dan diperkuat oleh Provinsi dan diberikan

    landasan hukum, dan arus informasi perlu dijaga agar tidak terjadi tumpang tindih (misalnya

    wisata dan perikanan)

    Tantangan terbesar untuk menyelesaikan dokumen RZWP3K Provinsi NTB adalah statusdokumennya yang masih pada tingkat penyusunan draft awal. Dengan demikian proses

    penyusunan dokumen final dan proses konsultasi publik masih memerlukan waktu yang cukup

    panjang.

    Dalam penyusunan RZWP3K juga perlu koordinasi dengan segala pihak. Kebutuhan koordinasi dan

    diskusi lintas sektor, sebagai bagian dari struktur koordinasi MCA di NTB perlu mempertimbangkan

  • 7/24/2019 Laporan Kemajuan Kwartal I September-Desember 2015

    18/42

    17

    karakteristik khusus daerah. Kebutuhan koordinasi ini secara umum meliputi pembagian peran

    dan fungsi masing-masing sesuai dengan tupoksi yang telah diatur. Bapeda dapat dijadikan titik

    koordinasi utama. Peran lembaga ini harus mampu mengkoordinasi peran-peran DKP dan

    kelompok-kelompok terkait (misalnya Pokmaswas serta keterkaitan dengan awik-awik); DinasKehutanan, Kantor LH-Kehutanan, BKSDA; Pariwisata (Lombok Tengah memberi arahan agar BCC

    melakukan follow up) dan kelompok terkait; BPMPD; Pelaku-pelaku di desa: Kepala Desa, Tokoh

    Masyarakat, HNSI; NGO; Private Sector (wisata)-CSR; BKKPN Gili Matra; dan Badan Penyuluhan

    Provinsi. Berbagai peran yang dimainkan oleh masing-masing kelompok SKPD harus bermuara

    kepada gerakan yang sinergis dan terpadu dalam penyusun RZWP3K Provinsi.

    Sehingga untuk menuju RZWP3K yang lebih baik dan penetapan perdanya, maka perlu ada

    sinkronisasi kembali antara Pemerintah Provinsi dan Kabupaten, baik kewenangan maupun

    integrasi RZWP3K Kabupaten yang telah disiapkan, mempertimbangkan berbagai kajian yang telah

    dilakukan, melakukan tahapan proses yang belum dilakukan untuk menetapkan kedalam Perda;

    dan tetap dalam bingkai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

    Potensi Pemanfaatan Kelembagaan Lokal dan Nilai-Nilai Kearifan Lokal

    Walaupun tidak dikemukakan secara gamplang, di Provinsi NTB sangat kuat peran kelembagaan

    lokal atau nilai-nilai kearifan lokal dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut. Sebut saja peran

    awig-awig yang sudah banyak dikaji dan direvitalisasi oleh lembaga penelitian, perguruan tinggi

    dan NGO. Keberadaan kelembagaan lokal ini jelas tersebar di tiga Kabupaten yang menjadi target

    proyek, mulai dari awig-awig yang mengawal Kawasan Teluk JOR sampai kepada awig-awig di

    Teluk Ekas yang didalamlan terdapat Teluk Awang dan Bumbang.

    Pertanyaan selanjutnya adalah pada seberapa besar kelembagaan lokal ini dapat dijadikan kuda

    tunggangan untuk mentransformasi konsep pembangunan rendah emisi di wilayah pesisir. Jika

    diperhatikan dari ruang lingkup aktivitasnya yang menata pemanfaatan sumberdaya ikan sampai

    konservasi ekosistem wilayah pesisir seperti mangrove dan terumbu karang, maka ada peluang

    untuk melakukan penguatan kapasitas dan meningkatkan peran lembaga lokal ini dalam

    mengintegrasikan konsep SPRE kedalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam di

    wilayah pesisir. Dengan demikian BCC perlu melibatkan kelembagaan lokal, pada proses

    selanjutnya penting untuk diperkuat dan diintegrasikan dalam proses perencanaan dan

    implementasi. Sehingga pengetahuan-pengetahuan tradisional diidentifikasi dan diserap dalam

    kegiatan pembangunan yang relevan.

    Desa-Desa Demplot Indikatif

    Rakornis berhasil menentukan desa-desa indikatif demplot sebagai unit uji coba implementasi

    SPRE. Dalam penentukan desa-desa indikatif ini, para pemangku kepentingan khususnya Dinas

    Kelautan dan Perikanan telah memperhatikan kepada kriteria yang telah disepakati pada forum

  • 7/24/2019 Laporan Kemajuan Kwartal I September-Desember 2015

    19/42

    18

    Kick off Meeting. Berdasarkan kriteria tersebut, masing-masing Kabupaten mengusulkan desa-desa

    indikatif sebagaimana disajiakan pada Tabel 1.

    Tabel 1. Desa-desa indikatif sebagai desa demplot proyek

    Lombok Timur Lombok Tengah Lombok Utara

    1 Jerowaru Mertak Medana

    2 Paremas Kidang Rempek

    3 Seruni Mumbul Tumpak Anyar

    4 Padak Goal Selong Belanak Akar-akar

    Sebagai catatan, pemilihan desa demplot akan mempertimbangkan kajian yang dilakukan

    konsorsium (KAP Survey), mempertimbangkan kriteria kunci, masing-masing Kabupaten

    mengusulkan 4 desa dominasi yang akan ditetapkan, penetapan diusulkan oleh Dinas Kelautan dan

    Perikanan dan ditetapkan oleh Bappeda Provinsi.

    Rekomendasi untuk Pelaksanaan Inception Workshop

    Berdasarkan hasil diskusi mendalam dengan para peserta rapat koordinasi teknis di Mataram,

    maka dapat rekomendasi beberapa hal untuk pelaksanaan inception workshop, yaitu:

    1)

    Ada beberapa stakeholders yang relevan setiap Kabupaten dalam kegiatan inception workshop,

    yaitu: (1) Lombok Tengah: BAPPEDA, DKKP, BKSDA, Dinas Kehutanan, Pariwisata, Kantor

    Lingkungan Hidup, Kecamatan, dan Desa, Balai Budidaya Laut; (2) Lombok Timur: Pokmaswas,

    Badan Penanaman Modal dan Lingkungan Hidup, DKKP, Universitas Gunung Rinjani, LSM

    LPSDN, LSM Dua Pulau, Sugian Diving Club, BPMD, Kepala Desa dan Camat, HNSI, Tokoh

    Masyarakat (Tuanku Guru); dan (3) Lombok Utara: Desa, Universitas Mataram (Vokasi

    Perikanan dan Kelautan), LMN NU, POKMASWAS, swasta (Balizoo, wisata tanam terimbu

    karang), Pramuka (kolobarasi dengan pramuka Australia) transplantasi TK, dengan Hotel

    Meidana Marina (ada kepudulian yang tinggi terhadap lingkungan), BKKPN (Balai Konservasi

    Kawasan Perairan Nasional), P3O LIPI, Dinas Perhubungan, Badan Penyuluh Perikanan

    Kehutanan;

    2)

    Mekanisme Koordinasi, kegiatan BCC akan dikoordinasikan oleh BAPPEDA, tahapan

    pelaksanaan teknis diarahkan kepada SKPD teknis, LSM Lokal, Kelembagaan Adat Awig-awig.

    Koordinasi dapat dilakukan juga melalui Tim Koordinasi MCA baik di tingkat Provinsi dan

    Kabupaten. Jalur koordinasi lainnya dapat ditempuh melalui pemangku amanah di tingkatProvinsi dan Kabupaten dan LSM ada di kelembagaan ini. Setiap ada kegiatan, koordinasi

    cukup dilakukan BAPPEDA dan BAPPEDA lah yang akan menentukan siapa yang akan

    diundang;

    3)

    Mekanisme usulan desa demplot dilakukan Dinas KKP Kabupaten, dan Bappeda Kabupaten

    yang menetapkan; Ditentukan berdasarkan hasil kajian KAB diserahkan kepada BAPPEDA

    Provinsi; dan

  • 7/24/2019 Laporan Kemajuan Kwartal I September-Desember 2015

    20/42

    19

    4)

    Tindak lanjut untuk Lokakarya perlu melakukan kegiatan penyusunan baseline data, kajian non

    fisik perlu dioptimalkan untuk membantu Pemerintah Daerah, tindaklanjut pendampingan

    kepada masyarakat, penguatakan kelembagaan ekonomi seperti koperasi, lembaga konservasi,

    pengembangan alternative livelihood, pendampingan untuk program CSR agar dapatdiimplementasikan, dan menentukan mekanisme kerja PMU dan koordinasi dengan tingkat

    Provinsi dan Kabupaten.

    5. Provinsi Nusa Tenggara Timur

    Potensi dan Isu Pemanfaatan dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Wilayah Pesisir

    Empat Kabupaten di Sumba daratan memiliki potensi sumberdaya pesisir dan lautan yang belum

    dioptimalkan. Sebagai contoh, Kabupaten Sumba Barat Daya, walaupun sudah memiliki

    pendapatan 1 trilyun per tahun, Kabupaten ini masih memiliki peluang untuk meningkatanpendapatan melalui pemanfaatan dan pengelolaan potensi sumberdaya wilayah pesisir. Beberapa

    potensi yang perlu menjadi perhatian adalah adanya kawasan hutan lindung dan produksi,

    kawasan wisata alam cagar budaya (laut dan Perairan); Taman Nasional Laut Sawu mulai Tanjung

    Seroso dan Tawiling (ada zona yang boleh dilalui kapal, namun tidak boleh melakukan aktivitas

    penangkapan).

    Menurut Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sumba Barat Daya, potensi sumberdaya alam

    wilayah pesisir yang sedang dikembangkan adalah rumput laut. Rumput laut mulai berkembang

    sejak tahun 2002-an dan telah dikembangkan di beberapa desa potensial, diantaranya Desa

    Wainyapu, Kubu Hiding, Karang Hita dan Ramadani. Masalah dalam pengembangan rumput laut

    dari alam (gelombang), hama (ikan), dan penyakit (ice-ice). Umumnya rumput laut dijual kepengepul, pengepul ke pabrik di Sumba Timur. Fluktuasi harga menjadi masalah; harga pada

    tahun 2015 adalah 7.500-8.000/kg, pada bulan September adalah 5.000/kg, harga tertinggi bisa

    mencapai 12.000/kg per okt 2011-2012. Alasan utama terjadinya fluktuasi harga adalah kualitas

    dan harga yang ditetapkan pembeli memang murah. Dengan potensi rumput laut yang sangat

    besar, maka tidak mengherankan jika penduduk di daerah utara membudidayakan rumput laut

    menjadi pekerjaan utama, terutama pada saat musim kering. Sedangkan pada saat musim hujan

    mereka akan beralih kepada kegiatan pertanian menanam jagung. Tentunya masih banyak lagi

    potensi wilayah pesisir yang masih dapat ditingkatkan, baik itu melalui kegiatan perikanan tangkap

    maupun perikanan budidaya.

    Begitu juga Kabupaten Sumba Barat, 4 Kecamatan dari 6 Kecamatannya adalah Kecamatan Pesisir(diantaranya Kecamatan Tamboya dan Tamboya Barat) yang didukung juga oleh 14 desa pesisir

    dengan membentuk 10 Pokmaswas. Potensi mangrove tersebar di Kecamatan Tamboya Barat

    sekitar 115 ha, Kecamatan Namboya di desa Patialabawa 60 ha (rusak 35 ha, sedang 10 ha, dan

    baik 15 ha). Sudah pernah ada kegiatan rehabilitasi mangrove yang mana melekat kepada BLH

    dan dilakukan setiap tahunnya. Pada tahun 2015 telah disiapkan 15 ribu bibit mangrove untuk

    ditananam. Potensi terumbu karang juga tersebar di Kabupaten Sumba Barat. Informsi data

  • 7/24/2019 Laporan Kemajuan Kwartal I September-Desember 2015

    21/42

    20

    kondisi terumbu karang dapat diperoleh pada lembaga TNC. Bahkan dalam menunjang

    pengelolaan TK, Dinas Kelautan dan Perikanan telah memiliki 2 staf yang dapat menyelam dan

    satu diantaranya sudah bersetifikat. Disamping itu, Dinas KP juga telah memiliki peralatan scuba

    divingsebanyak 2 set dan 5 set peralatan untuk snorkeling untuk menunjang kegiatan pengelolaanTK.

    Disamping besarnya potensi sumberdaya alam wilayah pesisir dan laut, terdapat banyak isu dan

    masalah yang perlu menjadi perhatian oleh Pemerintahan Daerah di 4 Kabupaten di Sumba

    daratan. Hasil rakornis di Tambulaka misalnya berhasil mengidentifikasi beberapa isu dan masalah

    yang menjadi faktor penghambat pengelolaan sumberdaya alam di wilayah pesisir dan lautan.

    Menurut Ketua BAPPEDA Kabupaten Sumba Barat Daya ada beberapa isu dan masalah yang perlu

    di respon cepat, diantaranya adalah (1) perubahan hutan mangrove 3.000 ha menjadi daerah

    wisata di sebelah utara SBD dan sepanjang pantainya, (2) penguasaan tanah rakyat oleh para

    investor di daerah-daerah pantai, (3) walaupun ada biaya untuk perizinan pemanfaatan ruang,

    namun tidak ada pajak pemanfaatan ruang, (4) perlu ada kajian pengembangan desa wisata bahariberbasis low carbon, (5) IMB dikelurkan setelah mendapatkan izin lingkungan.

    Perwakilan dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sumba Barat Daya menambahkan

    beberapa isu dan masalah yang lebih spesifik di wilayah pesisir. Isu dan masalah yang perlu

    ditangani diantaranya (1) pemboman terumbu karang dan meracun ikan, akibatnya banyak yang

    rusak disepanjang pantai SBD; (2) luas ekosistem mangrove mulai berkurang, dan paling banyak

    terjadi di sekitar muara, termasuk di Desa Katawel, Wainyapu, dan Kahale, survey mangrove untuk

    menentukan luasan dan jenisnya pernah dilakukan oleh TNC. Disisi lainnya perlu juga menyikapi

    adanya kelompok masyarakat yang dibina untuk melindungi peneluran penyu di Desa Tanjung

    Koroso (penangkaran penyu).

    Namun menurut BPLHD Kabupaten Sumba Barat Daya, justru isu yang mendesak yang perlu

    ditangai adalah masalah penambangan pasir laut. Lokasi penambangan pasir laut yang perlu

    segera ditangani adalah yang terletak di Katiwil dan Tenggarong. Upaya-upayan yang telah

    dilakukan untuk menyelesaikan masalah pasir laut adalah melakukan koordinasi dengan tim

    koordinasi tata ruang, Dinas Pertambangan melakukan survey untuk relokasi penambangan pasir

    laut karena kedua wilayah ini sudah masuk dalam Kawasan Taman Nasional Laut Lawu, alternatif

    lokasi yang diusulkan untuk penambangan pasir darat adalah di Dekir (pasir kali). Upaya lainnya

    adalah dengan membentuk tim pengawas terpadu yang melibatkan aparat keamanan (Polisi,

    Tentara, Brimob dan Dinas Pertambangan, Perikanan dan Kelautan, Pariwisiata, Bappeda).

    Fungsinya adalah pengawasan terhadap kegiatan tambang pasir tanpa izin, memberikan

    rekomendasi untuk mendapatkan izin kegiatan usaha dan izin lingkungan hidup, danmengendalikan alih fungsi tanah di wilayah pesisir.

    BPLHD Kabupaten Sumba Barat Daya juga menambahkan bahwa sudah ada beberapa upaya dalam

    menangani beberapa isu pengelolaan sumberdaya alam, diantaranya: (1) lahan kritis sumber-

    sumber mata air, ada kegiatan penanaman pohon jati putih dan mahoni, terambise, dan beringin;

    (2) penambangan pasir laut, dampaknya sudah mulai terjadinya abrasi, penanganannya dilakukan

  • 7/24/2019 Laporan Kemajuan Kwartal I September-Desember 2015

    22/42

  • 7/24/2019 Laporan Kemajuan Kwartal I September-Desember 2015

    23/42

    22

    Begitu juga dokumen Rencana Aksi Daerah-Gas Rumah Kaca (RAD-GRK) belum pernah disusun

    untuk empat Kabupaten di Sumba daratan. Sebagai contoh Kabupaten Sumba Barat Daya baru

    akan dalam RKA APBD 2016. Rencana membuat dokumen RAD-GRK di tahun 2016 akan dimulai

    dengan pengumpulan data dasar. Sebagai penunjang kegiatan penyusunan RAD-GRA, maka setiapKabupaten sudah mengirimkan staf BPLHD untuk mengikuti kegiatan bimbingan teknis yang

    diselenggarakan di tingkat Provinsi.

    BCC perlu lebih mengeksplorasi tentang status KLHS dan RAD-GRK baik tingkat Provinsi maupun

    Kabupaten. Koordinasi dan komunikasi dengan pihak Dinas Kelautan dan Perikanan dan BAPPEDA

    Provinsi dan Kabupaten sangat perlu dilakukan untuk mengidentifikasi status KLHS baik tingkat

    Provinsi dan Kabupaten. Dalam penyusunan KLHS dan RAD-GRK perlu juga diperhatikan metode

    dan tool yang akan digunakan. Pola-pola partisipatif dalam melibatkan masyarakat dan para

    pemangku kepentingan dalam mengelola dan pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir. Sedapat

    mungkin dalam penerapan metode dan tool ini perlu ditransfer kepada staf Pemda, baik tingkat

    Provinsi dan Kabupaten melalui kegiatan peningkatan kapasitas dan pelatihan.

    Membangun Sinergitas Program antar SKPD

    Ada beberapa Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) yang memiliki program di wilayah pesisir

    dan lautan, khususnya pengelolaan dan pemanfaatan ekosistem mangrove. Program pengelolaan

    dan rehabilitasi mangrove disamping digarap oleh Dinas Kehutanan, juga diimplementasikan oleh

    Dinas Pertanian dan Perkebunan, Dinas Kelautan dan Perikanan, dan Badan Lingkungan Hidup

    Daerah. Sebagai contoh, pada tahun 2016 Dinas Perkebunan dan Pertanian akan ada program

    rehabilitasi mangrove. Begitu juga BLHD Sumba Tengah sudah melakukan penanaman di 2 Desa

    dengan menanam 50 ribu anakan mangrove. Bahkan kerjasama penanaman mangrove jugadilakukan dengan pihak TNI di Kabupaten Sumba Tengah. Sementara Dinas Kehutanan Sumba

    Timur juga telah melakukan kegiatan rehabilitasi sepanjang pantai utara dengan luasan skala kecil.

    Walaupun demikian, di Kabupaten Sumba Barat dan Kabupaten Sumba Barat Daya, program dan

    kegiatan di wilayah pesisir sudah lebih sinergis antar SKPD. Berdasarkan hasil identifikasi pada

    rakornis di Tambulaka, maka dapat disimpulkan ada beberapa program dan kegiatan pemanfaatan

    dan pengelolaan di wilayah pesisir di kedua Kabupaten tersebut. Menurut para perwakilan dari

    SKPD yang hadir, program dan kegiatan direncanakan dan diimplementasi sesuai dengan potensi

    sumberdaya alam di wilayah pesisir. Sebagai contoh program dan kegiatan di Kabupaten Sumba

    Barat Daya dan Kabupaten Sumba Barat disajikan pada Tabel 2.

    Tabel 2. Program dan kegiatan di Kabupaten Sumba Barat Daya dan Kabupaten Sumba Barat

    No. Progam dan Kegiatan SKPD Pelaksana Lokasi Tahun

    Kabupaten Sumba Barat Daya

    1. Patroli pengawasan pantai untuk

    pengamanan

    Dinas Kelautan dan

    Perikanan

    Belum

    teridentifikasi

    2013, 2014,

    2015, dan

  • 7/24/2019 Laporan Kemajuan Kwartal I September-Desember 2015

    24/42

    23

    2016

    2. Pilot proyek Gemala Dinas Kelautan dan

    Perikanan

    Desa Wainyapu 2013, 2014,

    3. Pengadaan gill net untuk masyarakat Dinas Kelautan dan

    Perikanan

    Belum

    teridentifikasi

    2014,

    4. Pengembangan Kawasan buididaya

    rumput laut

    Dinas Kelautan dan

    Perikanan

    Desa Bondolohila 2014

    5. Pembibitan rumput laut unggul Dinas Kelautan dan

    Perikanan

    Desa Wainyapu,

    Kubu Hiding,

    Karang Hita dan

    Ramadani

    2014, 2015,

    dan 2016

    6. Pelatihan permesinan untuk nelayan Dinas Kelautan dan

    Perikanan

    Tidak

    teridentifikasi

    Tidak

    teridentifikasi

    7. Bantuan peningkatan kwalitas

    produksi rumput laut

    Dinas Kelautan dan

    Perikanan

    Tidak

    teridentifikasi

    Tidak

    teridentifikasi

    Kabupaten Sumba Barat

    1. Pengadaan kapal ketingting kurang 5GT

    Dinas Perikanan danKelautan

    Pantai Karewaei,Kecamatan

    Lamboya

    2013

    2. Pengadaan tambak bandeng Dinas Perikanan dan

    Kelautan

    Pantai Karewaei,

    Kecamatan

    Lamboya

    2013

    3. Pengawasan laut yang didukung oleh

    SDM yang sudah menjadi penyidik

    PNS (belum ada pelantikan dan sudah

    bisa merendam kegiatan

    penambangan pasir dengan cara

    menyisir pantai

    Dinas Perikanan dan

    Kelautan

    Sepanjang Pantai

    Kabupaten

    Sumba Barat

    2013, 2014,

    dan 2015

    4. Pengadaan peralatan tangkap dan

    pelatihan (dana yang tersedia sangat

    kurang (

  • 7/24/2019 Laporan Kemajuan Kwartal I September-Desember 2015

    25/42

    24

    pasokan air tawar;

    8. Pembinaan kegiatan budidaya air

    tawar (mengembangkan kolam air

    tawar dengan menggunakan terpal,

    kegiatan ini dapat menjangkaumasyarakat pesisir dan non-pesisir)

    Dinas Perikanan dan

    Kelautan

    Belum

    teridentifikasi

    Belum

    teridentifikasi

    9. Tempat Pembenihan Ikan Tawar untuk

    nila dan lele (khusus ikan lele belum

    berhasil dipijahkan)

    Dinas Perikanan dan

    Kelautan

    di wilayah Loli Belum

    teridentifikasi

    10. Pemantauan produksi garam secara

    tradisional (skala rumah tangga untuk

    memenuhi kebutuhan masyarakat

    sekitarnya)

    Dinas Perikanan dan

    Kelautan

    Belum

    teridentifikasi

    Belum

    teridentifikasi

    11. Pengadaan rumpon laut dangkal (200

    meter)

    Dinas Perikanan dan

    Kelautan

    di wilayah Ruwa,

    Patiala Bawah

    dan Waihura;

    Belum

    teridentifikasi

    Mengintegrasikan Dokumen Perencanaan Spasial dan Non-Spasial kedalam RZWP3K Provinsi

    Kabupaten-Kabupaten di Sumba daratan mendukung perubahan kewenangan penyusunan dan

    pengendalian RZWP3K ke Pemerintah Provinsi NTT. Ada bermacam-macam bentuk dukungan yang

    diberikan oleh Pemerintah Kabupaten di Sumba daratan. Di Kabupaten Sumba Barat Daya

    misalnya, walaupun dokumen RZWP3K belum pernah dituangkan dalam Perda, namun Kabupaten

    ini sudah memiliki RTRWK dengan Perda Nomor 15 tahun 2009. Begitu juga dalam penempatan

    tapal batas untuk Taman Nasional Laut Sawu, SBD sangat mendukung langkah-langkah yang sudah

    dikoordinasi oleh Provinsi NTT. Begitu juga Kabupaten-Kabupaten lainnya sangat berperan aktifdalam proses penyusunan dokumen RZWP3K, semua Kabupaten berpartisipasi dalam kegiatan

    konsultasi publik yang diselenggaran oleh Provinsi NTT pada September 2015 bertempat di

    Kabupaten Sumba Tengah.

    RZWP3K perlu memperhatikan arahan-arahan dokumen spasial dan non spasial yang telah

    dihasilkan setiap Kabupaten di Sumba daratan. Dengan telah ditetapkan RTRW Kabupaten Sumba

    Barat Daya, maka arahan pengembangan ruang di wilayah pesisir harus diakomodasi ke dalam

    RZWP3K Provinsi NTT. Diharapkan dokumen RZWP3K Provinsi NTT dapat mengintegrasikan aspek

    pembagian ruang dalam RTRWK sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Perda Nomor 15 tahun

    2009. Dalam Perda tersebut wilayah Kabupaten SBD terbagi kedalam beberapa wilayah

    pengembangan (WP), yaitu (1) WP Tambolaka, Lola dan Wiwa Utara, (2) WP Lolopada (WijawaTimur dan Tengah, (3) WPP Wodikodi (Kodi Utara, Kodi Belanggar, dan Kodi Bengek). Adapun

    peruntukannya: WPP 1 untuk pariwisata, perdagangan, jasa dan industry; WPP 2 Kota Lolopada

    untuk peternakan, pertanian, holtikultura, perkebunan, dan pertambangan galian C (batu-batuan,

    pertambangan batu potong), industri ramah lingkungan, dan WPP 3, Sumba Iconik Island (target

    menjadi maju 2020) bebas dari polusi, dan pengembangan biodesel dan PLTS. Rencananya RTRWK

    akan direviu pada akhir tahun 2015 oleh Institut Teknologi Nasional, pada 2016 akan disiapkan

  • 7/24/2019 Laporan Kemajuan Kwartal I September-Desember 2015

    26/42

    25

    naskah akademik dan di Perdakan pada masa sidang 1 (April 2017) sesuai dengan atauran-aturan

    baru dan perubahan peruntukan ruang. Metode skor akan diterapkan dalam melakukan reviu

    RTRTWK ini. Dalam reviu, perlu dilakukan kajian untuk mengintegrasikan Zonasi Kawasan Taman

    Nasional Laut Sawu dan RTBL Kawasan Ekonomi Waikelo.

    Begitu juga dari sisi dokumen Perencanaan non spasial atau lebih dikenal dengan Rencana

    Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2014-2019 yang telah ditetapkan berdasarkan perda

    Nomor 2 Tahun 2014. Jelas digambarkan bahwa visi Kabupaten SBD adalah mewujudkan

    masyarakat SBD yang aman dan sejahtera. Adapun misi-misinya adalah (1) meningkatkan

    kedaulatan pangan dan gizi masyarakat (termasuk dalam pengembangan wilayah pesisir) dan (2)

    melaksanakan pembangunan infrastruktur termasuk membuka akses ke laut. Sasaran program dan

    kegiatan misi 1 adalah meningkatakan produksi dan produktivitas pertanian termasuk perikanan,

    meningkatkan pengawasan dalam bidang perikanan, meningkatkan kualitas aparatur

    pemerintahan daerah, mendorong sektor kelautan dan perikanan, mendorong pemanfaatan

    sumberdaya ramah lingkungan (tidak merusak Terumbu Karang); meningkatkan akses pangan dankeragaman serta keamanan pangan, meningkatkan ketersediaan hasil olahan (nelayan dilatih

    untuk mengolah hasil produksi perikanan dan kelautan serta pertanian, sebagai contoh jika ada

    ikan yang berlebih dibuat abon atau diasinkan), meningkatkan ketersediaan hasil olahan melalui

    pemanfaatan sumberaya alam yang ada, meningkatkan strategi pengawasan, patrol yang intensif;

    dan memanfaatkan kolam-kolam rakyat untuk kegiatan budidaya air tawar. Sementara sasaran

    program dan kegiatan pada misi 2 akan dicapai melalui program Gemala (Gerakan Masuk Laut),

    program anak untuk mencintai laut, dan pemanfaatan biota laut yang ramah lingkungan

    Berdasarkan visi dan misi, maka arah kebijakan Kabupaten SBD berdasarkan hasil analisis SWOT

    adalah (1) optimalisasi pembukaan lahan tidur, budidaya rumput laut, sistem mina padi, (2)

    optimlisasi hasil laut, (3) optimalisasi sistem pengwasan dan pengamanan, (3) penanganan daerahrawan pangan dan lumbung pangan perikanan dengan penguatan kelembagaan, (4) pembinaan

    dan pengolahan hasil olahan ikan, (5) penguatan kegiatan Tempat Pembibitan Ikan (TPI ikan nila di

    Karoni dan Lai Kolo Sawah), (6) pengembangan usaha nelayan, (7) peningkatan nilai tambah

    produk perikanan, (8) peningkatan konsumsi ikan masyarakat (ada lomba makan ikan lokal yang

    dilaksanakan oleh Badan Ketahanan Pangan dan Ibu-ibu PKK), dan (9) perlindungan dan

    pengawasan ekosistem biota laut. Jika diperhatikan arah kebijakan ini, maka sangat sejalan

    dengan pengelolaan wilayah pesisir secara berkelanjutan.

    Contoh lainnya adalah Kabupaten Sumba Barat. RTRWK ditetapkan berdasarkan Perda Nomor 1

    Tahun 2012, dan rencananya akan direvisi pada tahun 2016. Revisi perlu dilakukan dengan

    memperhatikan adanya perubahan batas administrasi atau tapal batas (isu pemekaran),perubahan batas administrasi desa dalam kabupaten, dan pembangunan alih fungsi lahan untuk

    pasar. Beberapa isu strategis lainnya yang perlu dipertimbangkan adalah jika ada peruntukan

    ruang yang tidak sesuai, maka akan diberi batas waktu 1-2 tahun, sebelum dikembalikan kepada

    fungsi semula; Ada kasus perubahan peruntukan dari hutan menjadi pemukiman; dan Kebijakan

    wilayah pesisir, hampir semua lahan sudah dibeli oleh investor asing; dalam aturan 200 meter bibir

    pantai tidak boleh membangun; sebelum diberi izin ada survey dari tim Bappeda, BPMPT, dan BLH;

  • 7/24/2019 Laporan Kemajuan Kwartal I September-Desember 2015

    27/42

    26

    BPN ikut bermain dalam proses pengalihan tanah di wilayah pesisir. Dengan demikian RZWP3K

    Provinsi NTT perlu mempertimbangkan untuk memasukan isu-isu strategis tersebut.

    Walaupun belum pernah menetapkan RZWP3K kedalam Perda, Kabupaten Sumba Barat memiliki

    beberapa dokumen Perencanaan non-spasial lainnya. Salah satu diantaranya adalah dokumen

    mina politan bekerjasama dengan Institut Teknologi Nasional Malang.

    Potensi Matapencaharian dan Kelembagaan Lokal

    Proponen yang tak kalah penting lainnya dalam pemanfaatan sumberdaya alam wilayah pesisir

    adalah matapencaharian masyarakat dan kelembagan lokal yang masih eksis. Di Kabupaten Sumba

    Barat Daya ada beberapa kegiatan matapencaharian yang dominan dilakukan oleh masyarakat

    pesisir, diantaranya (1) nelayan utama yang menggunakan perahu bermotor dengan kapastas

    mesin 5 HP dan menjadi pekerjaan sambilan, hanya di Kawelo dan Katewel menjadi pekerjaan

    utama karena penduduk pendatang (Bima, Ende, dan bugis), (2) nelayan sambilan, (3) masak

    garam di Desa Katewel, Kenduwela, dan Owekelu; (4) pengolahan atau pasca panen, namun masih

    kurang teknologinya (penjemuran dilakukan di atas pasir dengan menggunakan terpal dan waring,

    paling maju menggunakan para-para dari bambu di Kenduwela, dan (5) pembudidayaan rumput

    laut. Pola matapencaharian seperti ini juga ditemukan di 3 Kabupaten target lainnya. Di Sumba

    Barat kharakteristik masyarakat merupakan bukan masyarakat nelayan yang sebenarnya, jadi

    masyarakat lebih banyak mengarahkan kegiatan matapencahariannya kepada kegiatan agraris dan

    bercocok tanam. Matapencaharain di Sumba Timur dan Tengah disamping menjadi nelayan,

    mereka juga melakukan kegiatan budidaya rumput laut, serta perebus dan petambak garam.

    Kelembagaan lokal akan menjadi salah satu pilar dalam kegiatan pembangunan berkelanjutan dan

    rendah emisi. Potensi kelembagaan yang terdapat di Kabupaten Sumba Barat Daya adalah

    Pokmaswas lingkungan pantai dan kapal-kapal luar, namun eksistensinya hanya bertahan sampai

    tahun 2013. Justru yang menarik adalah adanya nilai-nilai kearifan lokal yang sudah tumbuh dalam

    masyarakat pesisir di Kabupaten Sumba Barat Daya. Misalnya di Pantai Merapu, Kecamatan Kodi,

    ada aturan atau ritual dan tradisi Pasola (dilakukan setiap tahun). Fungsi dari ritual Pasola ini

    adalah untuk memberikan gambaran terhadap hasil panen padi dan lainnya. Jika jumlah cacing

    yang datang ke pantai banyak dan sehat, maka diperkirakan panen padi akan bagus; dan jika

    cacing-cacing tersebut menggigit, maka akan ada hama. Kegiatan ritual Pasola muncul pada sekitar

    bulan Februari-Maret setiap tahunnya dan sudah menjadi atraksi wisata. Kegiatan ritural Pasola

    juga ditemui di pantai Taroso.

    Di Kabupaten Sumba Barat ada 10 Pokmaswas, dan 6 Pokmawas yang masih bertahan sampai

    dengan tahun 2014. Setiap kelompok mendapatkan bantuan alat dari Dinas Kelautan dan

    Perikanan Provinsi NTT. Aktivitas yang mereka lakukan adalah pengawasan dan patroli termasuk

    mengawasi pengolahan ikan. Jika dibutuhkan, para kelompok ini masih bisa dimanfaatkan untuk

    kegiatan pengawasan. Kelompok-kelompok pengawas dibentuk dari tokoh masyarakat, agama,

    nelayan dan petani. Sebagai contoh di Desa Palamoko, ketuanya adalah seorang guru, sehingga

  • 7/24/2019 Laporan Kemajuan Kwartal I September-Desember 2015

    28/42

    27

    mudah diajak untuk bekerjasama dan berkoordinasi. Pokmaswas dibentuk karena adanya potensi

    kegiatan-kegiatan pengrusakan.

    Disamping adanya potensi Pokmaswas, kebiasaan-kebiasan lokal atau local kwowledge menarik

    untuk dikaji di Kabupaten Sumba Barat. Diantara kebiasaan-kebiasaan tersebut adalah (1)

    Rouwato di Wanukaka, merupakan kebiasaan dan kesepakatan dalam kelompok, dan dapat

    dikategorikan nilai-nilai kearifan, namanya, pelarangan atau pembatasan terhadap semua

    pemanfaatan SDA dan kelestariaan lingkungan, kesepakatan bisa jadi kesepakatan baru, selama

    tetua-tetua adat sepakat; (2) Tradisi Pasola, ada ritual di darat dan pantai. Tradisi ini masih

    bertahan di Wanukaka, Kerewel, Pantai Dhasang. Kegiatan Pasola biasanya diatur oleh tetua adat

    terkait dengan apakah masyarakat boleh turun atau tidak untuk menangkap sejenis cacing laut

    pada musim tertertu. Pasola dapat dikatakan semacam perang tanding, kegiatan ini dilakukan saat

    subuh yang disebut dengan nyale. Paginya dilakukan perang tanding di darat. Biasanya cacing hasil

    tangkapan di konsumsi oleh masyarakat. Pasola diselenggarakan selama satu hari, namun apabila

    kondisinya tidak aman, bisa dibubarkan lebih cepat. Jika ada sampai jatuh korban, makapertarungan akan dilakukan pada kegiatan Pasola berikutnya. Masyarakat mempercayai ada unsur

    magis yang berperan dalam tradisi Pasola. Para pemain ada yang menggunakan ilmu tertentu, tapi

    ada juga yang di back up oleh pawangnya. Aksi tarung bebas dilaksanakan satu hari sebelum

    Pasola dilakukan dan biasanya dilakukan antar wilayah. Sebagai contoh satu Wanukaka akan

    terlibat pada saat adanya Pasola, tradisi Pasola bisa bertahan karena adanya aturan-aturan adat,

    ada ketokohan dan struktur adat. Ketokohan dalam masyarakat Wanukaka masih sangat dihargai,

    begitu juga struktur feodalnya masih kuat. Jika diperhatikan dari sisi kedekatan etnis; maka

    kedekatan budaya dan etnisnya di Wanukaka lebih mirip ke Sumba Tengah. Nilai-nilai lokal

    (rounto) ini bisa diadopsi untuk pengembangan SDA yang rendah karbon diwilayah pesisir, selama

    tokoh adat dan tokoh formal mendukung. Pada tradisi Pasola ada sangsi sosial juga, artinya jika

    terjadi pelanggaran. Isu yang berkembang bahwa nilai-nilai tradisi ini semakin terkikis karena

    semakin tidak dihargai; (3) Ada tradisi weri, sangsi diberikan oleh adat atau alam kepada

    masyarakat jika ada pelanggaran

    Sebenarnya ada banyak contoh menarik dalam pengembangan nilai-nilai tradisi di Indonesia,

    diantaranya di Haruko, Ambon dan Lombok Utara ada pengelolaan hutan adat (ada sumber mata

    air). Namun ketika negara ikut campur dengan proses yang panjang, maka kadang membuat

    tradisi-tradisi lokal menjadi terkikis.

    Potensi Desa Demplot

    Dengan modal kriteria yang telah disepakati pada saat Kick off Meeting, maka setiap Kabupaten

    target mencoba mengusulkan beberapa desa demplot. Kabupaten Sumba Barat Daya

    mengusulkan Desa Pero Kecamatan Kodi dan Umbungeido Kecamatan Kodi Bangedo, sementara

    dua desa lainnya yang potensial adalah dua desa yang terletak diluar TNL Lawu, yaitu: Desa

    Embungedu dan Wainyapu.

  • 7/24/2019 Laporan Kemajuan Kwartal I September-Desember 2015

    29/42

    28

    Di Kabupaten Sumba Barat terdapat beberapa wilayah dan desa berpotensi. Wilayah Pantai

    Kerewe dengan Desa Patiala Bawa, Kecamatan Lamboya dapat disebut desa yang berpotensi

    karena ada kegiatan rumput laut, ada tambak bandeng, ada wisata bahari, pihak pemerintah

    belum bisa mengelola dengan baik, dan wilayah pantainya sudah beralih ke tangan investor.Namun disayangkan di Pantai Kerewe sudah tidak ada lagi kegiatan pemotongan/pemetikan

    kelapa karena sudah dialihfungsikan lahannya menjadi kegiatan wisata. Wilayah lainnya adalah

    Pantai Ruwa yang dikelola Pemda dan akan dipihak ketigakan. Pada wilayah ini ada gudang untuk

    pengeringan rumput laut, nelayan, water boom, dermaga untuk kapal barang dengan jarak sekitar

    1,5 jam atau 90 km dari SBD. Kedua wilayah pantai ini sangat berpotensi untuk Blue Carbon karena

    akan berefek kepada ekonomi masyarkat. Namun demikian Kabupaten Sumba Barat mengusulkan

    Desa Patialabawa Kecamatan Ramboya, dengan garis pantai 10 km; dan Desa Ruwa Kecamatan

    Rawukaka dengan garis pantai 2.25 km sebagai desa demplot. Keduanya desa ini suda ada data

    potensi yang disediakan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sumba Barat.

    Rekomendasi Untuk Pelaksanaan Inception Workshop

    Berdasarkan hasil diskusi mendalam dengan para peserta rapat koordinasi teknis, maka dapat

    rekomendasi beberapa hal untuk pelaksanaan inception workshop, yaitu:

    1)

    Stakeholders yang akan dilibatkan dalam diskusi dan konsultasi dalam implementasi adalah

    Dinas Pariwisata, Pertambangan, PU Tamben, BPN, BPMD, Dinas Kehutanan, dan Dinas

    Pertanian dan Perkebunan, Kantor Perizinan Terpadu Satu Pintu, Bagian Pembangunan Setda

    (Tim IMB), Yayasan Kasimo (SBD), Baktera (SB), Dondes (SBD), Dinas Keuangan, Komisi C DPRD;

    2)

    Ide Pengembangan Desa Wisata Pantai Rendah Emisi menjadi menarik untuk dikembangkan;

    3)

    Mekanisme koordinasi dilakukan lewat BAPPEDA, sebagai contoh jika ada kegiatan maka suratcukup dikirimkan ke BAPPEDA Kabupaten dengan tembusan ke Provinsi. Perlu ada koordinasi

    regular 3 bulan sekali yang difasilitasi BAPPEDA Kabupaten/Koordinator Kabupaten dan di

    tingkat Provinsi dilakukan dalam 1 tahun sekali yang dikoordinasikan oleh Bappeda Provinsi,

    4)

    Agenda-agenda yang akan dibahas dalam inception workshop:

    a.

    RZWP3K dan RPJM Desa berwawasan low carbon emission, implementasinya yang baik

    dengan kelembagaan yang kuat;

    b. Capacity buildingaparatur Permerintah Daerah sampai tingkat desa

    c. Capacity buildingmasyarakat;

    d.

    Mekanisme organisasi dan exit strategy;

    e.

    Singkronisasi aktivitas hasil perencanaan dan kebutuhan;

    f.

    Membangun kriteria pemilihan desa demplot dan mekanisme penetapannya;

    g.

    Membangun persfektif kebijakan yang berpihak kepada keberlanjutan

    5)

    Desa yang akan disurvey sebanyak 4 desa, dan perlu dipikirkan strategi agar 2 desa tidak

    terpilih tidak melakukan complain;

    6)

    Upayakan kegiatan yang akan diimplementasi diketahui sampai level pengambilan keputusan,

    termasuk Bupati dan Sekda;

  • 7/24/2019 Laporan Kemajuan Kwartal I September-Desember 2015

    30/42

    29

    7)

    Untuk menjamin Keberlanjutan, maka perlu dipikirkan adanya pelibatan dari pengambilan

    kebijakan tertinggi, termasuk DPRD, dan Dinas Keuangan;

    6. Hasil-Hasil Kesepakatan

    Kesepakatan Awal pada Forum Kick off Meeting Provinsi Nusa Tenggara Barat

    Ada dua tingkatan kesepakatan yang dihasilkan pada forum koordinasi Kick off Meetingdi NTB,

    yaitu kesepakatan yang dihasilkan pada FGD 1 dan FGD 2. Kesepakatan pada FGD 1 lebih kearah

    kesepakatan pada tingkat pelaksanaan program ditingkat Kabupaten, sementara kesepakatan

    pada FGD 2 lebih ke arah akselarasi implementasi proyek pada tingkat Provinsi sesuai dengan skala

    prioritas. Beberapa kesepakatan antara BCC dan FMS pada forum FGD 1 adalah:

    1)

    Secara umum para peserta FGD 1 dapat memahami proposal kegiatan yang diusulkan oleh

    Blue Carbon Consortium. Begitu juga sebaliknya; aspirasi yang berkembang selama jalannya

    diskusi masih dalam koridor dan rambu-rambu yang melingkupi kegiatan proyek; dan jika ada

    aspirasi yang perlu ditampung akan dikaji terlebih dahulu untuk melihat kemungkinan dapat

    diakomodasi ke dalam kegiatan proyek.

    2)

    Proyek akan melakukan kajian ulang terhadap draft dokumen RZWP3K yang sudah ada, dan

    akan menfasilitasi kegiatan sosialisasi dalam upaya penyempurnaan draft tersebut khususnya

    untuk 3 Kabupaten target (Lombok Utara, Lombok Timur dan Lombok Tengah), 7 Kabupaten

    lainnya akan di akomodasi oleh Provinsi sesuai dengan alokasi anggaran yang ada pada tahun

    tahun 2015 dan 2016; serta proyek akan bekerja sama dengan pihak-pihak yang terkait

    penyusunan RZWP3K baik ditingkat Provinsi maupun Kabupaten.

    3)

    Mekanisme koordinasi dalam penyempurnaan rencana zonasi akan menggunakan forum yang

    sudah dan sudah ditetapkan oleh Pemda, baik tingkat Provinsi maupun Kabupaten yaitu

    melalui forum BKPRD dan/atau forum BKPRD yang diperluas dan terkait sesuai dengan

    kepentingannya.

    4)

    Desa-desa terpilih diarahkan kepada desa-desa yang akan dikembangkan dalam suatu

    Kawasan tertentu. Untuk pemilihan desa demplot akan menggunakan kriteria yang akan

    dirumuskan oleh konsorsium, yang mekanisme pemilihan desa diprioritaskan kepada desa-

    desa dalam kawasan yang sudah dikembangkan dan/atau akan dikembangkan, ditetapkan

    oleh tim kolaboratif antara Pemerintah Daerah dan penerima hibah. Demplot akan diarahkankepada desa-desa yang secara teknis membutuhkan, sesuai dengan karatkteristik dan

    kebijakan Kabupaten masing-masing.

    5)

    Mekanisme komunikasi proyek akan dilakukan baik secara national dengan BAPPENAS cq

    Compact Program MCA-Indonesia, KK