230110097030_4_6970

Upload: tika

Post on 17-Feb-2018

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 7/23/2019 230110097030_4_6970

    1/26

    34

    BAB IV

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    4.1 Deskripsi Produk

    Tuna loin beku merupakan salah satu hasil penanganan ikan tuna yang

    diproduksi oleh PT. Awindo Internasional. Jenis bahan baku yang digunakan yaitu

    yellowfin tuna, albacore tuna, big eye tuna tergantung permintaan konsumen.

    Sasaran ekspor tuna loin beku yang diproduksi yaitu ke negara Asia, Amerika,

    dan Uni Eropa. Tuna loin beku merupakan daging ikan tuna yang paling tebal dan

    mengalami pembekuan mencapai suhu pusat -18oC. PT. Awindo Internasional

    mempunyai rata-rata kapasitas produksi tuna loin beku 10 ton perhari dengan

    deskripsi produk sebagai berikut:

    Tabel 5. Deskripsi Produk Tuna Loin Beku di PT. Awindo Internasional

    1. Nama Produk Tuna Loin Beku

    2. Nama spesies Yellowfin tuna( Thunnus albacares )Albacore Tuna( Thunnus alalunga )Big Eye Tuna( Thunnus abesus )

    3. Produk akhir Tuna Loin Beku

    4. Tahapan pengemasan Kemasan dalam: dimasukkan dalam kantongplastikKemasan luar : Karton

    5. Persyaratan

    penyimpanan

    Disimpan dalam cold storage dengan suhumaksimum -20oC

    6. Umur simpan Dua tahun disimpan dalam cold storagedengan suhu maksimum -20oC

    7. Label/spesifikasi Nama perusahaan, Negara asal, ukuran, nama

    produk, berat bersih, kode produksi dankandungan nutrisi

    8. Penggunaan Produk Dimasak terlebih dahulu sebelum dimakan9. Pelanggaan Masyarakat umum

    ASIA : Jepang, Malaysia, CinaAmerikaEropa

    Sumber: PT. Awindo Internasional (2013)

    4.1.1 Bahan Baku Tuna Loin Beku

    Bahan baku yang digunakan adalah ikan tuna yellowfin yang diterima

    dalam bentuk segar utuh dan telah mengalami penyiangan, pembuangan sirip, dan

    pembuangan insang. Asal bahan baku ditangkap dengan menggunakan rawai di

  • 7/23/2019 230110097030_4_6970

    2/26

    35

    Samudera Hindia dan lautan Indonesia. Bahan baku yang diperoleh berasal dari

    transit atau pemasok (supplier) di Ujung Penjaringan, komplek pelabuhan Nizam

    Zachman. Menurut Fadly (2009), proses penerimaan bahan baku yang dilakukan

    di transit Pelabuhan Perikanan Nizam Zachman adalah sebagai berikut:

    1) Pembongkaran Ikan Tuna

    Ikan tuna yang didaratkan pada lokasi transit adalah ikan tuna jenis

    yellowfin tuna (Thunnus albacares) dan big eye tuna (Thunnus obessus). Ikan tuna

    didaratkan dalam bentuk ikan utuh yang sudah disiangi isi perut dan insangnya

    dengan menggunakan kapal berkapasitas sampai dengan 120 GT (Gross Ton).Daerah penangkapan ikan tuna meliputi perairan Samudra Indonesia, pantai utara

    Jawa, dan perairan selatan Jawa hingga mencapai wilayah Sulawesi. Kapal

    penangkap tuna yang digunakan sudah dilengkapi dengan sistem pendingin

    refrigerated sea water (RSW).

    Waktu yang digunakan untuk melaut adalah 25 hari sampai dengan 6

    bulan. Jumlah ikan yang berhasil didaratkan setiap kali operasi mencapai 100-600

    ekor ikan tuna. Kualitas ikan tuna dapat dipertahankan apabila penanganan yang

    diterapkan di atas kapal dilakukan dengan hati-hati, bersih, cepat dan dingin. Ikan

    tuna yang didaratkan dalam keadaan dingin, dengan maksimal suhu ikan adalah

    3oC. Pengukuran suhu ikan tuna menggunakan thermometercouple(Lampiran 5).

    2) Pembongkaran

    Pembongkaran ikan dari palka kapal dilakukan setelah kapal merapat ke

    tempat pembongkaran. Proses pembongkaranfresh tuna dilakukan pada pagi hari

    sekitar jam 09.00 WIB sampai dengan 14.00 WIB. Pembongkaran ikan tuna

    dilakukan dengan dua cara, yaitu menggunakan alat katrol dan tali tambang.

    Proses pengangkatan ikan satu persatu dari palka kapal dan dipindahkan ke bagian

    geladak, kemudian ikan disemprot dengan air bersih.

    3) Pemindahan Ikan Tuna ke Transit

    Ikan tuna yang sudah dibongkar dipindahkan ke tempat transit yang telah

    tersedia. Lokasi pendaratan ikan tuna di Muara Baru berjumlah 28 transit. Proses

    pemindahan ikan diperlukan fasilitas khusus, yaitu atap plastik dan papan

  • 7/23/2019 230110097030_4_6970

    3/26

    36

    peluncur. Fasilitas ini untuk melindungi ikan agar tidak terkena sinar matahari

    langsung, karena jarak kapal yang bersandar di dermaga dengan tempat transit

    cukup jauh, yaitu 100 meter. Ikan yang sudah dikeluarkan dari palka diangkat ke

    geladak, diangkut satu persatu ke papan peluncur. Penarikan dilakukan oleh dua

    orang, satu orang bertugas menarik ikan ke papan peluncur dan satu orang lagi

    mendorong ikan masuk ke dalam ruangan transit.

    4) Sortasi (Seleksi)

    Sortasi ikan ditujukan untuk mengklasifikasi ikan tuna segar yang

    memenuhi persyaratan kualitas ekspor. Faktor-faktor yang dapat menyebabkanperbedaan tersebut adalah adanya perbedaan waktu kematian, cara kematian, cara

    penanganan, sanitasi, lama melaut serta penerapan rantai dingin. Proses sortasi

    dilakukan secara organoleptik (penampakan, kulit, mata, tekstur dan kekenyalan

    daging, serta warna daging). Penilaian organoleptik tekstur, kekenyalan, serta

    warna, dilakukan terhadap sampel daging ikan yang diambil dari bagian ekor dan

    belakang sirip ventral. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi kerusakan fisik

    terhadap ikan tuna yang akan di ekspor. Kualitas mutu ikan tuna pada tempat

    transit dibedakan menjadi empat kategori, yaitugrade/kualitas A, B, C, dan D.

    Kegiatan sortasi dilakukan oleh seorang pemeriksa (checker) dari

    perusahaan yang akan membeli ikan tuna dengan menggunakan alat coring tube

    (Lampiran 5) yaitu semacam alat yang berbentuk batang, tajam dan terbuat dari

    besi. Pengambilan sampel dilakukan pada kedua sisi ikan (bagian belakang sirip

    ventral atau ekor pada sisi kanan dan kiri) dengan cara menusukan coring tube ke

    tubuh ikan, sehingga didapatkan potongan daging ikan tuna. Sampel daging ikan

    tuna selanjutnya dilakukan pengujian organoleptik.

    5) Transportasi Ikan ke Perusahaan

    Ikan yang telah disortasi kemudian diangkut menuju perusahaan untuk

    diproses lebih lanjut (pembentukan loin, saku, dan lain-lain). Hanya ikan-ikan

    yang memenuhi kriteria yang dibutuhkan oleh perusahaan yang akan dibeli yaitu

    ikan dengan grade B dan C. Ikan kemudian dimasukkan dalam truk berisolasi

    dengan suhu -20oC dan langsung dibawa menuju perusahaan dengan jarak 2 km.

  • 7/23/2019 230110097030_4_6970

    4/26

    37

    4.1.2 Bahan Penolong Penanganan Tuna Loin Beku

    Bahan penolong penanganan tuna loin beku merupakan bahan yang

    digunakan untuk membantu kelancaran proses produksi yang meliputi air, es, dan

    klorin (Rachmawati 2009). Air merupakan bahan pembantu yang sangat penting

    dalam pencucian, pembersihan tempat produksi serta pembersihan alat kerja yang

    dibutuhkan dalam jumlah besar. Menurut Thaheer (2005), air dalam penanganan

    pangan terdiri dari air pengolahan, air minum, dan air bersih.

    Air yang digunakan di PT. Awindo internasional adalah air PDAM dan air

    sumur yang telah diuji terlebih dahulu melalui laboratorium Balai Pengujian Mutu

    dan Pengolahan Hasil Perikanan (BPMPHP) Jakarta. Kualitas air di PT. Awindo

    Internasional telah sesuai dengan standar yang ditetapkan pemerintah yaitu

    Permenkes RI No.907/MENKES/SK/VII/2002 mengenai syarat-syarat dan

    pengawasan kualitas air minum. Standar baku mutu air dan es yang digunakan

    oleh PT. Awindo Internasional tertera pada Tabel 6.

    Tabel 6. Standar Mutu Air dan Es dalam Pabrik

    No. Parameter Hasil Uji PersyaratanAir Es

    1 ALT (koloni/ml) 10 10 100

    2 Escherichia coli(MPN/ml)

  • 7/23/2019 230110097030_4_6970

    5/26

    38

    menggunakan bahan dasar air PDAM yang telah sesuai standar yang ditetapkan

    Permenkes RI No.907/MENKES/SK/VII/2002.

    Klorin digunakan sebagai desinfektan yang mempunyai kemampuan untuk

    membunuh mikroba (Rachmawati 2009). Desinfektan ini bekerja secara cepat

    terhadap sejumlah mikroorganisme dan harganya yang relatif murah (Thaheer

    2005). Klorin yang ditambahkan ke dalam air digunakan untuk berbagai macam

    keperluan. Konsentrasi klorin yang digunakan berbeda-beda sesuai dengan

    keperluan (Tabel 7).

    Tabel 7. Konsentrasi Penggunaan Klorin dalam Pabrik

    Pemakaian Konsentrasi (ppm)

    Toilet Pria 200Toilet Wanita 200Bak cuci kaki proses 200Bak pencucian ikan 200Bak cuci tanganstainless 100Bak penampungan air 200

    Sumber: PT. Awindo Internasional (2013)

    4.2 Alur Proses Penanganan Tuna Loin BekuAlur proses penanganan di PT. Awindo Internasional telah menerapkan

    GMP (Good Manufacturing Practice) dan SSOP (Sanitation Standard Operating

    Procedure) (Lampiran 6 dan 7). Diagram alur proses penanganan tuna loin beku

    di PT. Awindo Internasional dapat dilihat pada Lampiran 8. Setiap tahapan proses

    penanganan tuna loin beku di PT. Awindo Internasional dilakukan monitoring

    menggunakan lembar pencatatan (Lampiran 9 sampai 19).

    4.2.1 Penerimaan Bahan Baku dan Penimbangan 1

    Hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan bahan baku adalah mutu

    bahan baku atau kesegarannya, mutu bahan baku akan mempengaruhi mutu

    produk akhir yang dihasilkan (Hadiwiyoto 1993). Proses pengolahan tidak dapat

    meningkatkan mutu tetapi hanya dapat mempertahankan mutu dan menghambat

    pertumbuhan bakteri. Tahap penerimaan bahan baku dan penimbangan I

    dilakukan beberapa proses:

  • 7/23/2019 230110097030_4_6970

    6/26

    39

    a)Pembongkaran

    Proses pembongkaran dilakukan di ruang penerimaan. Kendaraan yang

    digunakan untuk mengangkut tuna segar utuh ke unit pengolahan adalah truk

    berisolasi dengan suhu -20oC yang dapat mempertahankankan suhu dibawah 3oC

    dengan kapasitas ikan tuna 500-750 kg. Wadah yang digunakan untuk menyimpan

    ikan tuna adalah bak penyimpanan ikan tuna di dalam ruangan penyimpanan

    sementara. Pembongkaran ikan tuna dilakukan secara cepat dan hati-hati. Suhu

    ikan tuna dipertahankan di bawah 3oC dalam rantai dingin untuk menjaga ikan

    tuna tetap segar dan mencegah kemunduran mutu (Purwaningsih 1995).

    b)

    Pengujian mutu bahan baku

    Mutu bahan baku sangat menentukan kualitas dari tuna loin beku. Ikan

    tuna yang diterima di PT. Awindo International telah disortir berdasarkan grade

    daging ikan tuna dari transit. Hasil sortir bahan baku berdasarkangradeyang telah

    dilakukan di transit, selanjutnya dilakukan pengujian mutu bahan baku tuna loin

    beku. Pengujian mutu bahan baku yang dilakukan yaitu dengan melakukan

    monitoringpenerimaan bahan baku menggunakan laporan monitoring penerimaanbahan baku sesuai nomor dokumen QA/AII/HACCP/01A (Lampiran 9).

    Monitoring ini dilakukan untuk menguji sifat organoleptik daging ikan tuna, dan

    mengukur suhu pusat daging ikan tuna.

    Indikator terjadinya pembusukan yang ditetapkan PT. Awindo

    International yaitu batas suhu pusat ikan maksimal 3oC serta tidak memiliki bau

    busuk. Ikan tuna yang memiliki bau busuk serta suhu pusat di atas 3oC tidak akan

    dijadikan bahan baku tuna loin beku dan langsung ditolak karena telah terjadi

    penguraian dalam daging ikan tuna (BSN 2006). Pengukuran suhu pusat selain

    merupakan indikator terjadinya penguraian, merupakan indikator tingginya kadar

    histamin (Price et al 2001). Pengukuran suhu dan pengujian organoleptik

    dilakukan oleh QC perusahaan bagian penerimaan bahan baku menggunakan

    thermometercouple sertascoresheetorganoleptik milik PT. Awindo International

    (Lampiran 10). Monitoring penerimaan bahan baku ini selain dilakukan pengujian

  • 7/23/2019 230110097030_4_6970

    7/26

    40

    organoleptik dan pengukuran suhu, dilakukan juga pencatatan nama pemasok,

    kode pemasok, tanggal penerimaan, berat total dangrade ikan.

    Ikan tuna yang diterima di PT. Awindo International selain dilakukan

    monitoring penerimaan bahan baku, juga dilakukan pengujian kadar histamin dan

    kadar Hg, Pb, dan Cd di laboratorium Balai Pengujian Mutu dan Pengolahan Hasil

    Perikanan (BPMPHP) Jakarta Utara. Pengujian ini dilakukan setiap 3 bulan sekali

    pada sampel ikan tuna dari masing-masing transit yang mensuplai bahan baku.

    4.2.2 Pencucian

    Menurut Hadiwiyanto (1994), perlakuan pencucian ditujukan untuk

    menghilangkan kotoran, disamping itu pencucian menggunakan air bersih dapat

    mengurangi jumlah bakteri yang ada. Teknik pencucian ikan tuna yang dilakukan

    di PT. Awindo Internasional adalah dengan cara menyiram ikan tuna dengan air

    dingin dengan suhu 10oC yang mengandung klorin 50 ppm dan membersihkan

    seluruh bagian tubuh ikan tuna. Air pencucian yang digunakan sudah memenuhi

    persyaratan umum sesuai dengan persyaratan air minum. Air pencucian ini selalu

    dilakukan monitoring oleh QC perusahaan untuk mengawasi kadar klorin yangterkandung dalam air agar memenuhi standar. Monitoring residu klorin dilakukan

    dengan mengukur persentase jumlah klorin yang digunakan dengan jumlah air.

    Laporan monitoring residu klorin dapat dilihat di Lampiran 11.

    4.2.3 Pemotongan Kepala, Pembuatan Loin dan Pembuangan Tulang

    Pemotongan kepala yang dilakukan di PT. Awindo Internasional

    dilakukan secara manual oleh tangan pekerja menggunakan pisau besar yang telah

    dicuci menggunakan air klorin dengan konsentrasi 200 ppm. Teknik pemotongan

    yang dilakukan yaitu dengan memotong bagian antara perut bawah dan kepala dan

    ditarik ke bagian atas kepala mengikuti bentuk lingkar insang. Tahap selanjutnya

    memotong tulang belakang ikan yang menghubungkan bagian kepala dan tubuh

    ikan. Pemotongan kepala dilakukan secara hati-hati dan cepat agar tidak terjadi

    pengurangan rendemen dan menjaga suhu pusat ikan tetap di bawah 3oC.

    Tahap selanjutnya dilakukan pembuatan loin dengan cara memotong

    bagian tubuh ikan tuna secara melintang menjadi 2 bagian filet, selanjutnya setiap

  • 7/23/2019 230110097030_4_6970

    8/26

    41

    filet dibagi menjadi dua bagian lagi sehingga didapat 4 bagian loin tuna.

    Pemotongan ikan tuna dilakukan menggunakan pisau filet dengan panjang mata

    pisau 30 cm dan telah dicuci menggunakan air dingin dengan konsentrasi klorin

    200 ppm.

    Pembuangan tulang dilakukan secara manual setelah ikan dilakukan

    pemfiletan. Pembuangan tulang bertujuan untuk memisahkan bagian daging ikan

    tuna dengan tulang yang masih menempel. Tahap selanjutnya tulang yang telah

    dibuang, diambil bagian daging ikan tuna yang masih menempel pada sela sela

    tulang ikan tuna untuk dijadikan bahan dasar daging tuna giling. Pemisahan

    daging yang menempel dilakukan dengan cara manual menggunakan sendok yang

    telah dicuci bersih menggunakan air yang mengandung klorin 100ppm.

    Tahap pemotongan kepala dan loin dilakukan monitoring menggunakan

    laporan monitoring pembuatan loin dengan nomor dokumen QA/AII/HACCP/03

    (Lampiran 12). Monitoring ini pada dasarnya dilakukan dengan pengecekan

    pengerjaan pemotongan kepala dan pembuatan loin apakah sesuai standar GMP

    atau tidak. Laporan pembuatan loin dilakukan juga pengecekan suhu ikan untuk

    memantau suhu ikan agar tidak melebihi 3oC. Proses deheading dan loining

    dilakukan dengan cepat dan mempertahankan rantai dingin untuk

    mempertahankan suhu pusat ikan. Monitoring ini tidak hanya dilakukan pada

    pengerjaan pemotongan kepala dan pembuatan loin, namun meliputi proses

    pengerjaan pembuatan loin dari tahap pembuangan kepala hingga suntik CO.

    4.2.4 Pembuangan Kulit

    Pembuangan kulit pada dasarnya dilakukan tergantung permintaan

    konsumen. Filet ikan yang tidak dibuang kulitnya memiliki masa simpan lebih

    panjang dibanding filet ikan tanpa kulit, namun pembuangan kulit dilakukan

    untuk mempermudah proses pengolahan tuna loin beku selanjutnya. Pembuangan

    kulit dilakukan dengan cara memotong kulit ikan tuna yang masih menempel pada

    loin dari bagian ekor dan dipotong hingga bagian punggung ikan tuna.

    Pembuangan kulit dilakukan secara manual oleh tangan pekerja menggunakan

    pisau filet dengan panjang mata pisau 30 cm dan telah dicuci menggunakan air

  • 7/23/2019 230110097030_4_6970

    9/26

    42

    dingin yang mengandung klorin 200 ppm. Pembuangan kulit harus dilakukan

    dengan cepat agar suhu ikan tidak meningkat.

    4.2.5 Perapihan

    Tahap perapihan dilakukan untuk membuang bagian daging hitam yang

    terdapat pada daging ikan tuna, merapihkan bentuk loin, membuang kulit ikan

    tuna yang masih menempel pada daging ikan tuna. Tahap ini merupakan tahap

    akhir dari pembuatan loin sehingga tahap ini merupakan tahap yang memperbaiki

    apabila terdapat kesalahan pemotongan pada tahap sebelumnya.

    Monitoring pada tahap perapihan dilakukan dengan menggunakan laporan

    monitoring pembuatan loin dengan nomor dokumen QA/AII/HACCP/03

    (Lampiran 12). Monitoring ini dilakukan untuk mengontrol cara kerja perapihan

    dan mengontrol suhu loin pada tahap ini.

    4.2.6 Penyuntikan CO

    PT. Awindo Internasional melakukan CO treatment atau suntik CO

    (karbonmonoksida) pada loin ikan tuna untuk mempertahankan warna merah

    daging ikan tuna selama penyimpanan dan transportasi. Menurut Livingston dan

    Brown (1981), suntik CO pada daging ikan dapat mempertahankan warna asli

    ikan dengan cara pengikatan senyawa karbonmonoksida pada mioglobin menjadi

    senyawa karboksimioglobin. Senyawa karboksimioglobin dapat mencegah

    terjadinya proses oksidasi pada daging ikan yang dapat merubah warna daging

    ikan dari merah menjadi coklat. Daging ikan tuna yang mengalami perlakuan

    suntik CO pada dasarnya untuk memenuhi permintaan konsumen dari Amerika

    serikat karena warna merah daging ikan tuna sangat mempengaruhi daya beli

    konsumen (Pivarni et al.2011). Suntik CO dilakukan menggunakan injektor CO

    dengan konsentrasi CO 99,8% dan ukuran jarum suntik 0,3 mm.

    Alat yang akan digunakan terlebih dahulu dicuci menggunakan air dingin

    yang mengandung klorin 200 ppm untuk mencegah kontaminasi silang. Loin tuna

    yang akan disuntik sebelumnya dimasukkan terlebih dahulu ke dalam plastik yang

    telah diberi gas CO dan didiamkan selama 5 menit. Tahap selanjutnya loin

    dikeluarkan dari plastik, dan dilakukan penyuntikan CO di seluruh permukaan

  • 7/23/2019 230110097030_4_6970

    10/26

    43

    loin tuna. Loin tuna hasil penyuntikan dimasukkan kembali ke dalam plastik besar

    berisi gas CO yang telah diberi busa untuk menyerap darah yang masih keluar dari

    daging lalu di susun dalam rak.

    4.2.7 Pendinginan Loin

    Loin tuna yang telah mengalami perlakuan suntik CO selanjutnya

    didinginkan pada suhu 0o-2oC selama 1-2 hari. Pendinginan selama 2 hari

    bertujuan untuk pembentukan senyawa karboksimioglobin dari reaksi CO dan

    myoglobin. Pembentukan senyawa karboksimioglobin pada dasarnya tidak

    memerlukan proses pendinginan, namun dikarenakan proses pembentukannya

    memerlukan waktu 1-2 hari maka perlu suhu dingin untuk mencegah terjadinya

    peningkatan suhu loin yang dapat mengakibatkan pertumbuhan mikroba dalam

    dalam loin tuna.

    Selama proses pendinginan suhu dalam ruang pendingin dipantau setiap

    satu jam sekali untuk menghindari peningkatan suhu ruang pendingin.

    Pemantauan dilakukan menggunakann alat data logger (Lampiran 5) yang dapat

    merekam suhu ruang pendingin setiap satu jam sekali secara otomatis. Hasilpemantauan data logger ini selanjutnya dimasukkan dalam laporan pemantauan

    suhu pendingin (Lampiran 13).

    4.2.8 Pemeriksaan Akhir dan Penentuan Ukuran

    Loin yang disimpan dalam ruangan chilling selama 1-2 hari dikeluarkan

    dari ruang pendingin dan dilakukan pemeriksaan untuk memastikan bahwa mutu

    loin sesuai standar baik secara organoleptik maupun secara fisik. Pemeriksaan

    secara fisik dilakukan dengan cara mengukur suhu pusat loin, selain itu dilakukan

    pemeriksaan jika masih terdapat tulang, daging hitam, daging perut, kulit, dan

    sisik yang masih menempel. Selama tahap ini berlangsung monitoring

    pemeriksaan akhir dilakukan untuk mencatat kondisi suhu loin dan karakteristik

    organoleptik (Lampiran 14).

    Penentuan ukuran dilakukan untuk menseragamkan ukuran dan bobot loin

    sesuai dengan permintaan konsumen. Tahap ini dilakukan dengan cara memotong

    loin apabila ukuran loin melebihi ukuran yang diminta. Alat yang digunakan yaitu

  • 7/23/2019 230110097030_4_6970

    11/26

    44

    pisau filet yang telah dicuci menggunakan air dingin dengan konsentrasi klorin

    200 ppm. Tahap pemeriksaan akhir dan penentuan ukuran dilakukan dengan cepat

    untuk mempertahankan rantai dingin dan mencegah terjadinya pertumbuhan

    mikroba dalam loin.

    4.2.9 Vacuuming

    Vacuming merupakan salah satu cara pengawetan ikan dengan cara

    memasukan loin ke dalam plastik hampa udara, selanjutnya direkat agar tidak

    terdapat kontaminasi langsung dari lingkungan. Vacuuming dilakukan

    menggunakan mesin vacuum sealer. Proses vakum dilakukan dengan cepat,

    cermat, dan saniter untuk mempertahankan rantai dingin agar suhu ikan tidak

    melebihi 3oC. Setiap loin yang telah divakum dilakukan pengecekan untuk

    memastikan tidak terdapat kerusakan dalam plastik yang menyebabkan

    kontaminasi langsung dari lingkungan.

    4.2.10 Pembekuan (Freezing)

    Tuna loin yang telah di vakum selanjutnya disusun dalam keranjang

    plastik dan dimasukkan ke dalam ruang ABF (Air Blast Freezer) untuk dibekukan

    dengan suhu ABF mencapai -35oC. Pembekuan dilakukan untuk membuat suhu

    pusat loin tuna mencapai maksimal -18oC sehingga tidak terdapat organisme

    mikrobiologi yang dapat hidup dalam daging tuna. Proses pembekuan dilakukan

    selama 4 jam untuk mencegah terjadinya dehidrasi pada loin tuna. PT. Awindo

    Internasional membuat tuna loin beku dengan dua perbedaan suhu, yaitu -18oC

    dan -20oC tergantung permintaan konsumen. Ruang ABF dilakukan monitoring

    suhu setiap satu jam sekali untuk mencegah terjadinya peningkatan suhu.

    Monitoring suhu menggunakan data logger yang selanjutnya dicatat dalam

    dokumen monitoring suhu ruang pembekuan (Lampiran 13).

    4.2.11 Penimbangan II

    Tahap penimbangan 2 dilakukan dengan cara mengukur bobot tuna loin

    beku menggunakan neraca digital dengan satuan lbs (libras). Penimbangan 2

    bertujuan untuk mengetahui rendemen tuna loin yang telah dibekukan, selanjutnya

  • 7/23/2019 230110097030_4_6970

    12/26

    45

    hasil penimbangan akan dituliskan dalam label. Penimbangan dilakukan dengan

    cepat dan hati-hati untuk mempertahankan rantai dingin dan menghindari

    terjadinya peningkatan suhu.

    4.2.12 Pengemasan dan Pemberian Label

    Tuna loin beku selanjutnya dilakukan pengemasan untuk mencegah

    terjadinya kontaminasi silang dengan lingkungan. Tahap pengemasan dilakukan

    secara cepat, cermat, dan saniter untuk mencegah terjadinya peningkatan suhu dan

    kerusakan pada produk. Pengemasan tuna loin beku menggunakan karton yang

    telah diberi label yang bertuliskan nama perusahaan, spesifikasi produk, Negara

    asal, ukuran, berat bersih, dan kode produksi. Tahap pengemasan dan pemberian

    label dilakukan monitoring pengemasan untuk memantau kondisi suhu tuna loin

    beku. Monitoring pengemasan dan pemberian label menggunakan laporan

    monitoring pengemasan dan pemberian label dengan nomor dokumen

    QA/AII/HACCP/06 (Lampiran 15).

    4.2.13 Pemeriksaan Logam

    Tahap pemeriksaan logam dilakukan untuk mencegah terjadinya

    kontaminasi dari serpihan logam. Tuna loin beku yang telah dikemas dan diberi

    label selanjutnya dilakukan pemeriksaan logam dengan cara melewatkan karton

    tuna loin beku pada mesin pendeteksi logam (metal detector). Sensitifitas mesin

    pendeteksi logam diperiksa setiap jam untuk mencegah lolosnya tuna loin beku

    yang mengandung logam. Standar sensitifitas logam untuk ferrous (Fe) yaitu 2,5

    mm, sedangkan untuk stainless steel sebesar 3,0 mm. Sensitifitas mesin

    pendeteksi logam diperiksa dan dicatat dalam laporan monitoring metal detector

    dengan nomor dokumen QA/AII/HACCP/11 (Lampiran 16).

    4.2.14 Penyimpanan dalam Cold Storage

    Tuna loin beku yang telah lolos dari pendeteksian logam selanjutnya

    disimpan pada ruang beku dan disusun dengan baik agar sirkulasi udara dingin

    merata. Suhu maksimum dari cold storageyaitu -20oC untuk mencegah terjadinya

  • 7/23/2019 230110097030_4_6970

    13/26

    46

    dehidrasi pada tuna loin beku. Suhu ruang cold storage dilakukan pemeriksaan

    dan pencatatan setiap satu jam sekali menggunakan data logger.

    4.2.15 Pengangkutan

    Tuna loin beku yang siap ekspor selanjutnya diangkut ke dalam kontainer

    dengan sesegera mungkin dan hati-hati untuk mencegah produk dari kerusakan

    fisik dan peningkatan suhu. Pengangkutan ini perlu penerapan GMP agar tidak

    membahayakan konsumen yang mengkonsumsinya. Suhu kontainer merupakan

    faktor penting dalam menjaga suhu pusat ikan selama transportasi, maka dari itu

    pada pengangkutan dilakukan monitoring suhu kontainer pada saat awal

    pengangkutan hingga kontainer berangkat. Selain itu pada pengangkutan

    dilakukan monitoring kondisi kemasan (karton dan perekat) dan sanitasi dari

    kontainer. Monitoring ini dilakukan dan dicatat pada laporan pengecekan

    kontainer dengan nomor dokumen QA/AII/HACCP/8 (Lampiran 17).

    4.3 Analisis Bahaya

    Setelah dilakukan pengamatan alur proses penanganan tuna loin beku diPT. Awindo Internasional maka dapat dianalisis bahaya yang mungkin terjadi

    pada tahapan proses penanganan tuna loin beku. Tabel analisis bahaya dapat

    dilihat pada Lampiran 20.

    4.3.1 Penerimaan Bahan Baku dan Penimbangan I

    Bahaya yang mungkin terjadi pada tahap penerimaan bahan baku adalah

    penguraian yang telah terjadi oleh mikroorganisme pembusuk dalam tubuh ikan.

    Bahaya ini disebabkan oleh terjadinya peningkatan suhu ikan saat ikan sampai di

    transit (Seargant 2007). Kategori bahaya penguraian ini termasuk ke dalam

    bahaya keamanan pangan (food safety) dengan tingkat keparahan yang

    ditimbulkan sedang, namun bahaya ini dapat dikendalikan oleh GMP. Tindakan

    pencegahan yang dilakukan yaitu cek suhu pusat ikan setiap ikan yang dipilih

    menggunakan thermometercouple. Menurut Murniyati dan Sunarman (2000),

    kebanyakan bakteri akan mati atau sekurang-kurangnya akan berhenti kegiatannya

    apabila suhu diturunkan sampai 0oC atau dinaikkan di atas 100oC.

  • 7/23/2019 230110097030_4_6970

    14/26

    47

    Batas suhu pusat ikan yang ditetapkan oleh PT. Awindo Internasional

    untuk dijadikan bahan baku tuna loin beku maksimal 3oC. Menurut BSN (2006)

    batas suhu pusat bahan baku tuna loin beku yang dapat diolah maksimal 4,4oC,

    apabila melebihi batas maksimal kemungkinan bahan baku yang digunakan telah

    terjadi penguraian.

    Bahaya lainnya yang mungkin terjadi pada tahap ini yaitu kadar histamin

    yang terkandung dalam ikan tuna. Histamin dapat terbentuk karena proses

    enzimatis histidin pada ikan scombrotoxinsejenis tuna. Kandungan histidin pada

    jaringan ikan tuna lebih tinggi dibandingkan dengan spesies ikan yang lainnya

    sehingga meningkatkan potensi bahaya peningkatan kadar histamin, khususnya

    untuk penyimpanan dan penanganan yang salah (Wahyuni 2011).

    Menurut hasil penelitian Price et al. (1991), pembentukan histamin akan

    terhambat pada suhu 0oC atau lebih rendah. Pada suhu 4,4oC terbentuk histamin

    sebanyak 0,5-1,5 mg/100 gram ikan. Konsentrasi tersebut memenuhi aturan SNI

    yaitu tidak melampaui 5 mg/100gram, oleh karena itu SNI menetapkan batas kritis

    suhu untuk pertumbuhan histamin pada ikan sebesar 4,4oC.

    Berdasarkan penelitian tersebut maka tindakan pencegahan yang dapat

    dilakukan yaitu dengan pemantauan suhu bahan baku setiap penerimaan bahan

    baku dan uji laboratorium internal setiap 3 bulan sekali. Bahaya ini dapat

    dikategorikan bahaya yang sering terjadi pada saat penerimaan bahan baku dan

    merupakan bahaya yang signifikan apabila tidak ditangani secara baik dengan

    menerapkan SSOP dan GMP.

    Bahaya lain yang mungkin timbul pada tahap penerimaan bahan baku

    yaitu kontaminasi logam berat Cd, Pb, Hg yang diakibatkan oleh kontaminasi dari

    lingkungan perairan. Bahaya ini dikategorikan ke dalam bahaya yang sering

    terjadi, dan dapat menyebabkan dampak yang serius apabila masuk ke dalam

    tubuh konsumen. Tindakan pencegahan yang dilakukan yaitu melakukan

    pengujian kadar Hg, Cd, dan Pb di laboratorium eksternal setiap 3 bulan sekali

    untuk memastikan ikan yang diterima memenuhi standar. Semua bahaya di atas

    dapat dikendalikan dan dicegah dengan penerapan GMP dan SSOP, hal ini

    menunjukan bahwa bahan baku layak untuk diolah lebih lanjut.

  • 7/23/2019 230110097030_4_6970

    15/26

    48

    4.3.2 Pencucian

    Bahaya yang mungkin terjadi pada tahap ini adalah pertumbuhan mikroba

    (TPC, Coliform, Esherichia coli, dan Salmonella) dan peningkatan histamin.

    Bahaya ini disebabkan oleh air pencucian yang digunakan tidak sesuai standar

    atau suhunya meningkat. Bahaya ini berhubungan dengan keamanan makanan,

    namun peluang terjadinya bahaya ini rendah karena bahaya dapat dikontrol

    dengan GMP dan SSOP selama pengolahan dengan semestinya. Tindakan

    pencegahan yang dilakukan yaitu mempertahankan suhu di bawah 3oC serta

    menggunakan peralatan yang bersih dan saniter.

    4.3.3 Pemotongan Kepala dan Pembuatan Loin

    Bahaya yang dapat terjadi pada tahap ini yaitu pertumbuhan dan

    kontaminasi mikroba Coliform, Esherichia coli, dan Salmonella. Penyebab

    timbulnya bahaya ini disebabkan oleh terjadinya kontaminasi silang dari peralatan

    yang digunakan dan peningkatan suhu pada ikan tuna. Bahaya ini termasuk ke

    dalam kategori bahaya yang tidak sering terjadi dan memiliki dampak yang tidak

    serius karena dapat dikendalikan oleh GMP dan SSOP. Tindakan pencegahanyang dilakukan yaitu peralatan yang digunakan selalu bersih dan saniter, serta

    mempertahankan suhu pusat tuna loin di bawah 3oC. Suhu ikan tuna

    dipertahankan dengan cara mempertahankan suhu ruang produksi maksimal 18oC

    serta proses pemotongan kepala dan pembuatan loin dilakukan dengan cepat dan

    hati-hati.

    4.3.4 Pembuangan Tulang

    Bahaya yang dapat terjadi pada tahap pembuangan tulang yaitu

    pertumbuhan mikroba (TPC, Coliform, Esherichia coli, dan Salmonella) dan

    peningkatan histamin yang terjadi dalam tuna loin. Bahaya ini disebabkan oleh

    peningkatan suhu tuna loin pada saat dilakukan proses pembuangan tulang.

    Bahaya ini termasuk kategori bahaya yang tidak sering terjadi dan tidak memiliki

    dampak yang serius, karena dapat dikendalikan oleh GMP. Tindakan pencegahan

    yang dilakukan yaitu dengan cara mempertahankan suhu pusat tuna loin di bawah

    3oC.

  • 7/23/2019 230110097030_4_6970

    16/26

    49

    4.3.5 Pembuangan Kulit

    Bahaya yang mungkin timbul pada tahap ini yaitu terjadinya peningkatan

    suhu pada tuna loin yang menimbulkan pertumbuhan mikroba (TPC, Coliform,

    Esherichia coli, dan Salmonella) dan peningkatan histamin. Bahaya ini

    berhubungan dengan keamanan pangan, namun peluang terjadinya rendah karena

    pada tahap ini dilakukan dengan cepat dan selalu menerapkan rantai dingin

    dengan mempertahankan suhu ruang produksi maksimal 18oC.

    Bahaya lain yang mungkin terjadi pada tahapan ini yaitu kontaminasi

    mikroba Coliform, Esherichia coli, dan Salmonella yang disebabkan oleh

    kontaminasi silang dari peralatan. Bahaya ini berhubungan dengan keamanan

    makanan namun dapat dikendalikan oleh SSOP dan GMP sehingga tidak

    termasuk bahaya potensial yang nyata. Tindakan pencegahan yang dilakukan

    yaitu proses pengulitan menggunakan peralatan yang bersih dan saniter.

    4.3.6 Perapihan

    Bahaya yang mungkin terjadi pada tahap ini yaitu tumbuhnya mikroba

    (TPC, Coliform, Esherichia coli, dan Salmonella) dan peningkatan histamin yangdiakibatkan oleh peningkatan suhu tuna loin. Bahaya ini berhubungan dengan

    keamanan makanan, namun peluang terjadinya rendah dan tidak memiliki dampak

    serius karena dapat dikendalikan oleh GMP. Tindakan pencegahan yang

    dilakukan yaitu dengan mempertahankan suhu ikan, dan diawasi prosesnya

    apabila terdapat tuna loin yang suhunya meningkat.

    Bahaya lain yang mungkin terjadi yaitu adanya kontaminasi mikroba

    Coliform, Esherichia coli, dan Salmonella, yang diakibatkan oleh kontaminasi

    silang dari peralatan. Bahaya ini berhubungan dengan keamanan pangan, peluang

    terjadinya rendah dan tidak memiliki dampak serius karena dapat dikendalikan

    oleh GMP dan SSOP. Tindakan pencegahan yang dilakukan yaitu dengan

    menggunakan alat yang bersih dan saniter pada tahapan proses perapihan.

    4.3.7 Penyuntikan CO

    Bahaya yang mungkin terjadi pada tahap ini yaitu pertumbuhan mikroba

    (TPC, Coliform, Esherichia coli, dan Salmonella) dan peningkatan histamin

  • 7/23/2019 230110097030_4_6970

    17/26

    50

    akibat peningkatan suhu tuna loin. Bahaya ini termasuk dalam kategori bahaya

    keamanan makanan, namun peluang terjadinya rendah dan tidak memiliki dampak

    yang serius karena dapat dikendalikan oleh GMP. Tindakan pencegahan yang

    dilakukan yaitu dengan mempertahankan suhu ruangan pada 18oC agar suhu tuna

    loin tidak meningkat melebihi 3oC.

    Bahaya lain yang dapat terjadi pada tahap ini yaitu terjadinya kontaminasi

    mikroba Coliform, Esherichia coli, dan Salmonella akibat kontaminasi dari

    peralatan. Bahaya ini termasuk dalam kategori bahaya keamanan makanan, namun

    peluang terjadinya rendah dan tidak memiliki dampak yang serius karena dapat

    dikendalikan oleh GMP dan SSOP. Tindakan pengendalian yang dilakukan yaitu

    dengan menggunakan peralatan bersih dan saniter, serta semua alat suntik

    diperiksa harus dalam kondisi baik dan bersih sebelum dan sesudah digunakan.

    4.3.8 Pendinginan Loin

    Penyebab bahaya yang mungkin terjadi pada tahap ini yaitu peningkatan

    suhu ruang pendingin loin. Bahaya ini akan mengakibatkan terjadinya

    peningkatan suhu ikan di atas 3o

    C dan akan berdampak pada pertumbuhanmikroba (TPC, Coliform, Esherichia coli, dan Salmonella) dan peningkatan

    histamin. Bahaya ini termasuk dalam bahaya keamanan pangan, namun peluang

    terjadinya rendah karena dapat dikendalikan oleh GMP dan SSOP. Bahaya ini

    memiliki dampak yang serius apabila tidak dilakukan sesuai GMP dan SSOP.

    Tahapan pencegahan yang dilakukan yaitu mempertahankan suhu ruang

    pendingin pada kisaran 0o(-2)oC dengan pengawasan suhu ruang pendinginan

    setiap jam.

    4.3.9 Pemeriksaan Akhir dan Penentuan Ukuran

    Bahaya yang mungkin terjadi pada tahap ini yaitu pertumbuhan mikroba

    (TPC, Coliform, Salmonella, danEsherichia coli) dan peningkatan histamin yang

    diakibatkan peningkatan suhu tuna loin. Bahaya ini termasuk dalam kategori

    keamanan makanan dan berdampak serius, namun peluang terjadinya rendah

    karena dapat dikendalikan oleh GMP dan SSOP. Tindakan pengendalian yang

  • 7/23/2019 230110097030_4_6970

    18/26

    51

    dilakukan yaitu dengan mempertahankan suhu ruangan pada tingkat 18oC, dan

    proses dilakukan dengan cepat.

    Bahaya lain yang mungkin terjadi pada tahap ini yaitu kontaminasi

    mikroba (TPC, Coliform, Salmonella, danEsherichia coli) yang diakibatkan oleh

    kontaminasi plastik. Bahaya ini termasuk dalam kategori keamanan pangan,

    namun peluang terjadinya rendah dan tidak berdampak serius karena dapat

    dicegah dengan SSOP. Tindakan pencegahan yang dilakukan yaitu pengawasan

    SSOP pengemasan yang harus dijaga kebersihannya.

    4.3.10 Vacuuming

    Bahaya yang dapat terjadi pada tahap ini yaitu dehidrasi fisik tuna loin

    yang diakibatkan oleh kerusakan mesin. Bahaya ini tidak termasuk ke dalam

    bahaya keamanan pangan, namun memiliki dampak yang serius apabila tidak

    dilakukan tindakan pencegahan. Peluang terjadinya bahaya ini termasuk rendah

    karena dapat dikendalikan oleh GMP. Tindakan pencegahan yang dilakukan yaitu

    pemeriksaan mesin vakum secara periodik, dan supervisor menginspeksi dan

    mengontrol selama proses vakum berlangsung

    4.3.11 Pembekuan (Freezing)

    Penyebab bahaya yang mungkin terjadi pada tahap ini yaitu peningkatan

    suhu ruang ABF. Bahaya ini akan mengakibatkan terjadinya peningkatan suhu

    ikan di atas 3oC dan akan berdampak pada pertumbuhan mikroba (TPC, Coliform,

    Esherichia coli, dan Salmonella) dan peningkatan histamin. Bahaya ini termasuk

    dalam kategori keamanan makanan dan berdampak serius, namun peluang

    terjadinya rendah karena dapat dikendalikan oleh GMP. Tahapan pencegahan

    yang dilakukan yaitu mempertahankan suhu ruang pendingin pada suhu -35oC

    dengan pengawasan suhu ruang pendinginan setiap jam.

    Bahaya lain yang mungkin terjadi pada tahap ini yaitu bahaya yang dapat

    terjadi pada tahap ini yaitu dehidrasi fisik tuna loin yang diakibatkan oleh waktu

    pembekuan yang terlalu lama. Bahaya ini tidak termasuk ke dalam bahaya

    keamanan pangan, namun memiliki dampak yang serius apabila tidak dilakukan

    tindakan pencegahan. Peluang terjadinya bahaya ini termasuk rendah karena dapat

  • 7/23/2019 230110097030_4_6970

    19/26

    52

    dikendalikan oleh GMP. Tindakan pencegahan yang dilakukan yaitu pemeriksaan

    suhu tuna loin setiap jam.

    4.3.12 Penimbangan II

    Bahaya yang mungkin terjadi pada tahap ini yaitu pertumbuhan mikroba

    (TPC, Coliform, Salmonella, danEsherichia coli) dan peningkatan histamin yang

    diakibatkan peningkatan suhu tuna loin. Bahaya ini termasuk dalam kategori

    keamanan makanan dan berdampak serius, namun peluang terjadinya rendah

    karena dapat dikendalikan oleh GMP dan SSOP. Tindakan pengendalian yang

    dilakukan yaitu dengan mempertahankan suhu ruang produksi maksimal 18oC dan

    proses dilakukan dengan cepat.

    4.3.13 Pengemasan dan Pemberian Label

    Bahaya yang mungkin terjadi pada tahap ini yaitu kesalahan pemberian

    label yang diakibatkan oleh kesalahan pekerja. Bahaya ini tidak termasuk dalam

    kategori keamanan makanan dan berdampak serius, namun peluang terjadinya

    bahaya rendah karena dapat dikendalikan oleh GMP. Tindakan pencegahan yang

    dilakukan yaitu proses pada tahap ini harus dilakukan oleh karyawan yang teliti,

    terampil, dan berpengalaman. Serta dilakukan monitoring pengemasan oleh QC

    dan supervisor produksi.

    4.3.14 Pemeriksaan Logam

    Bahaya yang mungkin terjadi pada tahap ini yaitu serpihan logam yang

    terdapat dalam tuna loin. Penyebab bahaya ini yaitu peralatan produksi yang

    tertinggal dalam daging loin. Bahaya ini termasuk dalam kategori bahayakeamanan pangan dan memiliki dampak bahaya yang sangat serius, namun

    peluang terjadinya bahaya ini termasuk kecil karena dapat dikendalikan oleh

    GMP. Bahaya ini termasuk bahaya signifikan sehingga diperlukan pengontrolan

    dengan baik. Tindakan pencegahan yang dilakukan yaitu dengan cara deteksi

    logam pada setiap kemasan yang akan diekspor dan cek sensitivitas mesin setiap

    jam.

  • 7/23/2019 230110097030_4_6970

    20/26

    53

    4.3.15 Penyimpanan dalam Cold Storage

    Bahaya yang mungkin terjadi pada tahap ini yaitu peningkatan suhu ruang

    penyimpanan beku. Bahaya ini akan mengakibatkan terjadinya peningkatan suhu

    ikan di atas 3oC dan akan berdampak pada pertumbuhan mikroba (TPC, Coliform,

    Esherichia coli, dan Salmonella) dan peningkatan histamin. Bahaya ini termasuk

    dalam bahaya keamanan pangan, namun peluang terjadinya rendah karena dapat

    dikendalikan oleh GMP dan SSOP. Bahaya ini memiliki dampak yang serius

    apabila tidak dilakukan sesuai GMP dan SSOP. Tahapan pencegahan yang

    dilakukan yaitu mempertahankan suhu ruang pendingin pada level -20oC dengan

    pengawasan suhu ruang pembekuan setiap jam.

    Bahaya lain yang mungkin terjadi pada tahap ini yaitu dehidrasi fisik tuna

    loin yang diakibatkan oleh waktu pembekuan yang terlalu lama. Bahaya ini tidak

    termasuk ke dalam bahaya keamanan pangan, namun memiliki dampak yang

    serius apabila tidak dilakukan tindakan pencegahan. Peluang terjadinya bahaya ini

    termasuk rendah karena dapat dikendalikan oleh GMP. Tindakan pencegahan

    yang dilakukan yaitu pemeriksaan suhu setiap jam.

    4.3.16 Pengangkutan

    Bahaya yang dapat terjadi pada tahap pengangkutan adalah bahaya

    pertumbuhan mikroba (TPC, Coliform, Salmonella, dan Esherichia coli) dan

    peningkatan histamin yang diakibatkan peningkatan suhu tuna loin. Bahaya

    termasuk dalam kategori bahaya keamanan makanan dan memiliki dampak yang

    serius, namun peluang terjadinya bahaya ini termasuk rendah karena dapat

    dikendalikan oleh GMP. Tindakan pencegahan yang dilakukan yaitu monitoring

    suhu kontainer dan ante roomselama proses pengangkutan. Selama ekspor suhu

    kontainer dipertahankan pada suhu -20oC.

    Bahaya lain yang mungkin terjadi yaitu kesalahan pengangkutan yang

    diakibatkan oleh kesalahan manusia. Bahaya ini dapat mengakibatkan kemasan

    produk rusak dan akan membahayakan tuna loin pada saat ekspor. Bahaya ini

    tidak termasuk dalam kategori bahaya keamanan makanan, namun memiliki

    dampak yang serius apabila tidak dilakukan dengan benar. Peluang terjadinya

  • 7/23/2019 230110097030_4_6970

    21/26

    54

    bahaya ini termasuk rendah karena dapat dikendalikan oleh GMP. Tindakan

    pencegahan yang dilakukan yaitu monitoring selama pengangkutan oleh QC

    perusahaan.

    4.4 Identifikasi Titik Kendali Kritis (CCP)

    Identifikasi titik kendali kritis (CCP) pada alur proses dilakukan untuk

    memudahkan pengendalian titik kritis terhadap bahaya yang telah teridentifikasi

    (Lampiran 21). Penentuan CCP dilakukan menggunakan diagram pengambilan

    keputusan (Decision tree). Berdasarkan diagram pengambilan keputusan terdapat

    dua titik kendali kritis (CCP) pada alur proses penanganan tuna loin beku yaitu

    pada tahap penerimaan bahan baku dan tahap pendeteksian logam. Identifikasi

    titik kendali kritis penanganan tuna loin beku dapat dilihat pada Tabel 8.

    Tabel 8. Identifikasi CCP Tuna Loin Beku

    Tahapan Proses Bahaya SignifikanIdentifikasi CCP

    CCPQ1 Q2 Q3 Q4

    Penerimaan

    Bahan Baku danPenimbangan I

    Penguraian pada ikan tuna Y Y CCP

    Histamin Y Y CCP

    Logam berat Y N N Not

    CCP

    Deteksi Logam Serpihan logam Y Y CCP

    Keterangan:

    Q1 : Adakah tindakan pengendalian? Jika tidak bukan CCP, jika ya lanjut ke Q2

    Q2 : Apakah tahapan dirancang secara spesifik untuk menghilangkan atau

    mengurangi bahaya yang mungkin terjadi sampai tingkat yang dapat

    diterima? Jika ya CCP, jika tidak lanjutkan ke Q3

    Q3 : Dapatkah kontaminasi dengan bahaya yang diidentifikasi terjadi melebihi

    tingkatan yang dapat diterima atau dapatkah ini meningkat sampai tingkatanyang tidak dapat diterima? Jika tidak bukan CCP, jika ya lanjutkan ke Q4

    Q4 : Akankah tahapan berikutnya menghilangkan atau mengurangi tingkatan

    kemungkinan terjadinya sampai tingkatan yang dapat diterima? Jika ya bukan

    CCP, jika tidak CCP.

    4.5 Pengawasan Terhadap Titik Kendali Kritis (CCP)

    Titik kendali kritis yang teridentifikasi selanjutnya dikendalikan dengan

    menentukan tindakan pemantauan/pengawasan yang sistematis dan menyeluruh

    pada setiap CCP. Tabel pengawasan terhadap setiap titik kendali kritis dapat

  • 7/23/2019 230110097030_4_6970

    22/26

    55

    dilihat pada Lampiran 22. Bahaya potensial nyata yang dapat terjadi pada tahap

    penerimaan bahan baku dan penimbangan I yaitu penguraian yang telah terjadi

    dalam tubuh ikan tuna. Tindakan pencegahan yang dilakukan yaitu dengan cara

    pengukuran suhu ikan menggunakan termometer serta dilakukan pengecekan

    secara organoleptik. Pengukuran suhu dan pengecekan secara organoleptik

    dilakukan pada setiap ikan yang diterima dari pemasok oleh QC bagian

    penerimaan. Batas kritis yang ditetapkan pada setiap upaya pencegahan yaitu

    batas maksimal suhu pusat ikan pada 3oC serta ikan telah mengalami kehilangan

    bau alami. Tindakan koreksi yang dilakukan yaitu penolakan ikan apabila terdapat

    ikan yang memiliki suhu pusat di atas 3oC serta telah mengalami kehilangan bau

    alami. Pengawasan ini dilakukan pencatatan pada laporan penerimaan bahan baku

    dengan nomor dokumen QA/AII/HACCP/01A (Lampiran 9) dan diperiksa oleh

    QA (Quality Assurance).

    Bahaya potensial nyata lainnya yang dapat terjadi pada tahap penerimaan

    bahan baku dan penimbangan I yaitu tingginya kadar histamin dalam tubuh ikan

    tuna. Tindakan pencegahan yang dilakukan yaitu dengan cara pengukuran suhu

    ikan menggunakan termometer serta dilakukan uji kadar histamin. Pengukuran

    suhu dilakukan pada setiap ikan yang diterima dari pemasok oleh QC bagian

    penerimaan. Pengujian kadar histamin dilakukan dengan cara tes laboratorium di

    laboratorium perusahaan. Batas kritis yang ditetapkan yaitu batas maksimal suhu

    pusat ikan pada 3oC serta kadar histamin tidak melebihi 50 ppm. Tindakan koreksi

    yang dilakukan yaitu penolakan ikan apabila terdapat ikan yang memiliki suhu

    pusat di atas 3oC serta kadar histamin ikan di atas 50 ppm. Pengawasan ini

    dilakukan dengan cara pencatatan pada laporan penerimaan bahan baku

    (Lampiran 9) serta laporan analisis laboratorium (Lampiran 25). Pengawasan ini

    diperiksa oleh QA (Quality Assurance) yang menyatakan bahwa pengawasan ini

    telah dilakukan dengan baik dan benar.

    Bahaya potensial nyata pada tahap deteksi logam yaitu bahaya teknis dari

    alat metal detektor. Tindakan pencegahan yang dilakukan yaitu uji sensitivitas alat

    pendeteksi logam setiap jam oleh staf QC. Batas kritis yang ditetapkan yaitu

    tingkat sensitivitas alat pendeteksi logam dalam mendeteksi logam dengan ukuran

  • 7/23/2019 230110097030_4_6970

    23/26

    56

    minimal Ferrous (Fe) sebesar 2,5 mm dan stainless steel sebesar 3 mm. Alat

    pendeteksi logam yang sensitivitasnya menurun dilakukan tindakan koreksi

    dengan cara perbaikan dan pengesetan ulang alat. Pengawasan ini dilakukan

    dengan cara pencatatan pada laporan pendeteksi logam (Lampiran 16) dan

    diperiksa oleh QA perusahaan.

    4.6 Hasil Uji pada Titik Kendali Kritis (CCP)

    Uji titik kendali kritis dilakukan untuk memantau tahapan penanganan

    ikan tuna yang diidentifikasi sebagai titik kendali kritis agar tidak melebihi atau

    melewati batas kritis yang ditetapkan. Titik kendali kritis yang teridentifikasi pada

    tahap penanganan tuna loin beku di PT. Awindo Internasional yaitu tahap

    penerimaan bahan baku dan deteksi logam. Hasil uji titik kendali kritis terdapat

    dalam Tabel 9 dan 10.

    Tabel 9. Hasil Uji Titik Kendali Kritis Tahap Penerimaan Bahan Baku (Suhu,

    Organoleptik, dan Histamin)

    No Lot KG CBatas Kritis

    Suhu

    Uji Organoleptik

    Histamin

    Batas

    Kritis

    KadarHistamin

    Bau Batas

    kritisbau

    Warna texture

    K674A 40 0,7

    3oC

    Segar

    Bau

    busuk

    Pink Daging

    Kenyal

    0,7 ppm 100ppmH308M 72 1,2 Segar Pink Daging

    Kenyal

    K310M 36 2,2 Segar Pink Daging

    Kenyal

    Pengujian titik kendali kritis pada tahap penerimaan bahan baku yang

    dilakukan pada lembar laporan penerimaan bahan baku (Lampiran 5) serta lembar

    laporan analisis laboratorium (Lampiran 13). Pengujian pada tahap deteksi logam

    dilakukan pada lembar laporan pendeteksi logam (Lampiran 11). Parameter yang

    diuji pada tahap penerimaan bahan baku yaitu suhu pusat ikan, sifat organoleptik,

    serta kadar histamin. Parameter yang diuji pada tahap deteksi logam yaitu alat

    pendeteksi logam.

    Suhu pusat sampel ikan tuna yang diukur yaitu 0,7oC, 1,2oC, dan 2,2oC,

    sehingga setiap ikan tuna yang diterima di PT. Awindo Internasional telah

    dilakukan pengawasan suhu secara ketat agar tidak didapatkan ikan tuna dengan

  • 7/23/2019 230110097030_4_6970

    24/26

    57

    suhu pusat di atas 3oC. Hasil uji organoleptik pada sampel ikan tuna di PT.

    Awindo Internasional tidak melebihi batas kritis yang ditetapkan yaitu ikan tuna

    yang diterima memiliki bau yang segar. Satu dari tiga sampel ikan tuna dilakukan

    pengujian histamin dengan hasil uji 0,7 ppm yang tidak melebihi batas kritis.

    Berdasarkan hasil uji CCP pada tahap penerimaan bahan baku dapat diambil

    kesimpulan bahwa setiap ikan tuna yang diterima memiliki suhu pusat, kadar

    histamin, serta sifat organoleptik yang tidak melebihi batas kritis serta PT.

    Awindo Internasional telah melakukan pengawasan menyeluruh pada tahap

    penerimaan bahan baku.

    Tabel 10. Hasil Uji Titik Kendali Kritis pada Tahap Deteksi Logam

    No.Waktu

    inspeksi

    Sensitifitas

    pendeteksi

    logamMenemukan

    Serpihan

    Logam

    Hasil

    Sesuai/Tidak

    Sesuai

    Batas Kritis

    BaikTidak

    Baik1 9.00 -

    Sensitivitas alat

    pendeteksi logam pada:

    Fe: 2,5mmStainless: 3,0mm

    2 10.00 -

    3 11.00 -

    4 12.00 -

    5 13.00 - 6 14.00 -

    7 15.00 -

    8 16.00 -

    Berdasarkan hasil uji di atas bahwa pada jam 9.00 sampai 16.00 tidak

    ditemukan adanya serpihan logam pada kemasan tuna loin beku. Setiap satu jam

    sekali dilakukan uji sensitivitas alat pendeteksi logam apakah dapat mendeteksi

    logam dengan ukuran 2,5 mm atau tidak. Apabila tidak dilakukan uji sensitivitas

    alat pendeteksi logam, kemungkinan besar lolosnya serpihan logam dengan

    ukuran 2,5 mm ke atas.

    4.7 Hasil Uji Tuna Loin Beku

    Pengujian terhadap hasil produk dilakukan di laboratorium BPMPHP

    (Balai Pengujian Mutu dan Pengolahan Hasil Perikanan) setiap 3 bulan sekali.

    Pengujian ini harus dilakukan karena sebagai persyaratan ekspor ke negara luar

    untuk menjamin bahwa produk tuna loin beku tidak membahayakan kesehatan

  • 7/23/2019 230110097030_4_6970

    25/26

    58

    konsumen dan menjaga keamanan pangan. Parameter uji pada pengujian tuna loin

    beku meliputi suhu pusat, jumlah bakteri (TPC, Esherichia coli, Salmonella,

    Cholera), organoleptik, histamin, serta logam berat (Tabel 11)

    Tabel 11. Hasil Uji Tuna Loin Beku di PT. Awindo International

    Sumber: BPMPHP (2013)

    Berdasarkan Tabel 11 bahwa hasil uji organoleptik pada tuna loin beku

    masih memenuhi persyaratan standar yang ditetapkan oleh SNI yaitu dengan nilai

    organoleptik 7. Hal ini dikarenakan pada tahap penerimaan bahan baku telah

    dilakukan sortir untuk penentuan grade ikan tuna dan pemilihan karakteristik

    bahan baku yang baik agar tidak didapatkan produk tuna loin beku yang memiliki

    skor organoleptik di bawah 7. Hasil ini dikarenakan pada tahap penanganan tuna

    loin beku dilakukan suntik CO untuk menghambat terjadinya oksidasi pada tuna

    loin beku yang akan mempertahankan warna merah dari tuna loin beku, sehingga

    kenampakan tuna loin beku tetap baik.

    Hasil uji mikrobiologi didapatkan hasil uji produk dengan jumlah ALT,

    E.Coli, Vibrio cholera, Salmonella, serta Colliform yang jauh di bawah standar

    SNI yang ditetapkan. Hal ini dikarenakan pada tahap penerimaan pahan baku

    yang teridentifikasi sebagai CCP telah dilakukan pengawasan suhu pusat ikan

    Jenis uji Persyaratan SNI

    01-4104.1-2006

    Hasil uji Metode Pengujian

    Uji Organoleptik minimal 7 7 SNI 2346:2011

    Uji Mikrobiologi:

    -ALT (koloni/g)-Escherichia coli (MPN/g)

    -

    Vibrio cholera(per25g)

    -Salmonella(per25g)

    -Coliform(MPN/g)

    500,000

  • 7/23/2019 230110097030_4_6970

    26/26

    59

    pada setiap bahan baku yang diterima, apabila didapatkan ikan tuna yang

    memiliki suhu pusat di atas batas yang ditentukan maka PT. Awindo Internasional

    langsung melaksanakan tindakan koreksi dengan cara menolak bahan bahan baku

    yang diteruma. Selain itu semua tahapan proses penanganan tuna loin beku

    dilakukan dengan menerapkan rantai dingin untuk menghambat laju proses

    pertumbuhan mikroba.

    Pengujian kimia didapatkan hasil uji histamin, kadmium, timbal, dan

    merkuri yang memenuhi standar SNI. Hal ini dikarenakan penanganan tuna loin

    beku di PT. Awindo International mempertahankan rantai dingin, serta menolak

    ikan tuna yang memiliki suhu pusat di atas 3oC.

    Hasil uji produk tuna loin beku tidak ditemukan adanya serpihan logam

    karena telah dilakukan tahapan deteksi logam pada seluruh tuna loin beku. Tuna

    loin beku yang terkontaminasi oleh serpihan logam tidak dipasarkan untuk

    menghindari terjadinya penolakan dari negara importir. Setiap alat pendeteksi

    logam dilakukan uji sensitivitas setiap jam untuk memantau apakah alat tersebut

    masih dapat mendeteksi logam dengan ukuran 2,5 mm atau tidak. Maka dari itu

    didapatkan tuna loin beku yang memenuhi standar SNI 01-4104.1-2006 tentang

    spesifikasi tuna loin beku.