chapter ii rlpp, obesitas
TRANSCRIPT
-
7/22/2019 Chapter II Rlpp, Obesitas
1/12
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sindroma Metabolik
2.1.1. Definisi Sindroma Metabolik
Sindroma metabolik merupakan suatu kumpulan faktor risiko metabolik yang
berkaitan secara langsung terhadap terjadinya penyakit kardiovaskuler
artherosklerotik. Faktor risiko tersebut antara lain terdiri dari dislipidemia
atherogenik, peningkatan tekanan darah, peningkatan kadar glukosa plasma,
keadaan prototombik, dan proinflamasi (Semiardji, 2004).
Saat ini berkembang beberapa kriteria definisi dari sindroma metabolik
yang pada akhirnya memiliki tujuan yang sama yaitu mengenali sedini mungkin
gejala gangguan metabolik sebelum seseorang jatuh ke dalam beberapa
komplikasi yang terjadi (Grundy S.M., 2006).
Beberapa kriteria definisi sindroma metabolik yang sering digunakan
antara lain WHO tahun 1998, European Group for The Study of Insulin
Resistance (EGIR) tahun 1999, National Cholesterol Education Program Third
Adult Treatment Panel (NCEP-ATP III) tahun 2001, danAmerican Associationof
Clinical Endocrinologist(AACE) tahun 2003 (Tjokroprawiro A., 2005).
2.1.2. Epidemiologi Sindroma Metabolik
Di luar negeri, angka-angka statistik yang didapat dari prevalensi sindroma
metabolik cukup mengejutkan. Menurut analisis AusDiab dengan menggunakan
kriteria IDF, 29, 1% populasi dewasa di Australia terkena sindroma metabolik
(Zimmet et al., 2005).
Terdapat beberapa penelitian mengenai prevalensi sindroma metabolik di
Indonesia. Di Semarang 297 penderita DM tipe 2 yang menjalani rawat jalan di
poliklinik Endokrinologi RS Dr. Kariadi, 52, 2% pasien memenuhi kriteria WHO
dan 73% memenuhi kriteria ATP III. Di RSUD Dr. Soetomo, Surabaya
didapatkan bahwa dari 100 orang, 29% memenuhi kriteria WHO dan 31%
memenuhi kriteria ATP III (Tjokroprawiro A., 2005).
Universitas Sumatera Utara
-
7/22/2019 Chapter II Rlpp, Obesitas
2/12
Di Makasar dilaporkan pada sebuah studi yang dilakukan John M.F. Adam
pada Oktober 2002 hingga Januari 2003, dari 227 pria berumur 21- 81 tahun,
56,4% memenuhi kriteria ATP III (Adam M.F., 2005).
2.1.3. Etiologi Sindroma Metabolik
Secara garis besar, terdapat kepentingan klinis dari kriteria-kriteria tersebut.
Antara lain disebutkan oleh WHO pada tahun 1998 yang menekankan bahwa
resistensi insulin merupakan penyebab primer dari sindrom metabolik. Selain itu,
WHO juga mengizinkan penggunaan terminologi sindroma metabolik untuk
digunakan pada pasien DM tipe 2 yang juga memenuhi kriteria lain
(Tjokroprawiro A., 2005; Grundy S.M., 2006).
Pada tahun 1999, EGIR mengajukan revisi dari definisi WHO. EGIR
menggunakan terminologi sindroma resistensi insulin (Tjokroprawiro A., 2005).
Pada tahun 2001, NCEP ATP III tidak memasukkan resistensi insulin dalam
kriteria (Tjokroprawiro A., 2005). Hal ini disebabkan sulitnya melakukan
pengukuran dan standardisasi resistensi insulin (Tjokroprawiro A., 2005).
AACE pada tahun 2003 merevisi kriteria ATP III untuk kembali berfokus
pada resistensi insulin sebagai penyebab primer dari faktor risiko metabolik.
Kriteria mayor lainnya adalah toleransi glukosa terganggu, peningkatan
trigliserida, penurunan HDL, peningkatan tekanan darah, dan obesitas (Grundy
SM, 2006).
2.1.4. Patogenesis Sindroma Metabolik
Menurut ATP III komponen-komponen sindroma metabolik terdiri dari (Grundy
S.M., 2006; Semiardji, 2004; Tjokroprawiro A., 2005) :
a. obesitas abdominal adalah bentuk dari obesitas yang paling kuat berhubungan
dengan sindroma metabolik. Hal ini dapat terlihat secara klinis dengan
meningkatnya lingkar perut/pinggang.
b. dislipidemia atherogenik bermanifestasi dengan penurunan kadar HDL-C,
peningkatan kadar trigliserid, dan small dense LDL.
Universitas Sumatera Utara
-
7/22/2019 Chapter II Rlpp, Obesitas
3/12
c. peningkatan tekanan darah berhubungan dengan obesitas dan biasanya terjadi
pada resistensi insulin.
d. resistensi insulin/intoleransi glukosa terjadi pada sebagian populasi dengan
sindroma metabolik. Hal ini berhubungan erat dengan komponen sindroma
metabolik lainnya, dan berbanding lurus dengan risiko penyakit kardiovaskular.
e. keadaan proinflamasi meningkatkan kadar hsCRP sebagai akibat dilepaskannya
sitokin proinflamasi merupakan pertanda risiko terjadinya infark myocard.
f. keadaan prototombik memiliki karakteristik peningkatanplasminogen activator
inhibitor(PAI-1), fibrinogen, dan faktor VII.
Peningkatan faktor risiko metabolik selalu berhubungan dengan tingginya
akumulasi jaringan adiposa abdominal, terutama jaringan lemak visceral
(Tjokroprawiro A., 2005). Salah satu karakteristik obesitas abdominal/lemak
visceral adalah terjadinya pembesaran sel-sel lemak, sehingga sel-sel lemak
tersebut akan mensekresi produk-produk metabolik, diantaranya sitokin
proinflamasi, prokoagulan, peptida inflamasi, dan angiotensinogen
(Tjokroprawiro A., 2005).
Produk-produk dari sel lemak dan peningkatan asam lemak bebas dalam
plasma bertanggung jawab terhadap berbagai penyakit metabolik seperti diabetes,
penyakit jantung, hiperlipidemia, gout, dan hipertensi (Semiardji, 2004; Widjaya
et al., 2004).
2.1.5. Manifestasi Klinis Sindroma metabolik
ATP III menyatakan bahwa penyakit kardiovaskular merupakan manifestasi
utama sindroma metabolik (Grundy S.M., 2006). Hal ini didukung oleh penelitian
yang dilakukan oleh NHANES yang menyebutkan bahwa sindroma metabolik
memiliki hubungan kuat dan konsisten dengan infark miokard/stroke atau infark
miokarddengan stroke (Ninomiya J.K. et al., 2004).
ATP III juga menyebutkan bahwa sindroma metabolik memiliki hubungan
dengan beberapa keadaan seperti policystic ovarii, fatty liver, batu empedu
kolesterol, asma, sleep apnea, dan beberapa jenis kanker (Pranoto A., 2005).
Universitas Sumatera Utara
-
7/22/2019 Chapter II Rlpp, Obesitas
4/12
2.2. Obesitas sebagai Faktor Risiko Sindroma Metabolik
2.2.1. Definisi Obesitas
Obesitasmerupakan kelebihan berat badan sebagai akibat dari penimbunan lemak
tubuh yang berlebihan. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor antara lain
faktor makanan, faktor genetik, faktor hormonal atau metabolisme, faktor
psikologis dan faktor aktivitas fisik. Dalam setiap orang memerlukan sejumlah
lemak tubuh untuk menyimpan energi, penyekat panas dan fungsi lainnya. Rata-
rata wanita memiliki lemak tubuh yang lebih banyak dibanding pria.
Perbandingan yang normal antara lemak tubuh dengan berat badan adalah sekitar
25-30% pada wanita dan 18-23% pada pria (Arisman, 2008).
Pada dasarnya obesitas berbeda dengan kelebihan berat badan atau
overweight. Kegemukan dapat juga diartikan penimbunan lemak tubuh yang
berlebihan sehingga berat badan remaja jauh diatas normal mencapai 20 % dari
berat badan ideal, sedangkan kelebihan berat badan (overweight) adalah suatu
keadaan terjadinya penimbunan lemak secara berlebih, hingga berat badannya
mencapai 10%-20% dari berat badan ideal. Obesitas merupakan peningkatan total
lemak tubuh, yaitu apabila ditemukan total lemak tubuh >25% pada pria dan
>33% pada wanita (Reilly J.J., 2006)
2.2.2. Epidemiologi Obesitas
Obesitas adalah suatu masalah kesehatan masyarakat yang sangat serius di seluruh
dunia karena berperan dalam meningkatnya morbiditas dan mortalitas (Flegal et
al., 2001). Prevalensi obesitas meningkat di setiap negara. Sebagai contoh, di
Amerika Serikat prevalensi meningkat dari 12% pada tahun 1991 menjadi 17,8%
pada tahun 1998. Obesitas meningkat di setiap negara, pada setiap jenis kelamin,
dan pada semua kelompok usia, ras, dan tingkat pendidikan (Arisman, 2008)
2.2.3. Etiologi Obesitas
Faktor-faktor penyebab obesitas masih terus diteliti. Baik faktor lingkungan
maupun genetik berperan dalam terjadinya obesitas (Mahan et al., 2000). Faktor
lingkungan antara lain pengaruh psikologi dan budaya. Dahulu, status sosial dan
Universitas Sumatera Utara
-
7/22/2019 Chapter II Rlpp, Obesitas
5/12
ekonomi juga dikaitkan dengan obesitas. Individu yang berasal dari keluarga
sosial ekonomi rendah biasanya mengalami malnutrisi. Sebaliknya, individu dari
keluarga dengan status sosial ekonomi lebih tinggi biasanya menderita obesitas.
Kini diketahui bahwa sejak tiga dekade terakhir, hubungan antara status sosial
ekonomi dengan obesitas melemah karena prevalensi obesitas meningkat secara
drastis pada setiap kelompok status sosial ekonomi (Zhang, 2004).
Faktor genetik menentukan mekanisme pengaturan berat badan normal
melalui pengaruh hormon dan neural. Selain itu, faktor genetik juga menentukan
banyak dan ukuran sel adiposa serta distribusi regional lemak tubuh (Mahan et al.,
2000). Obesitas berhubungan erat dengan distribusi lemak tubuh. Tipe obesitas
menurut pola distribusi lemak tubuh dapat dibedakan menjadi obesitas tubuh
bagian atas (upper body obesity) dan obesitas tubuh bagian bawah (lower body
obesity) (Vague J., 2006).
Obesitas tubuh bagian atas merupakan penimbunan lemak tubuh di
truncal. Terdapat beberapa kompartemen jaringan lemak pada truncal, yaitu
truncalsubcutaneus yang merupakan kompartemen paling umum, intraperitoneal
(abdominal), dan retroperitoneal (Tchernof A., 2007). Obesitas tubuh bagian atas
lebih banyak didapatkan pada pria, oleh karena itu tipe obesitas ini lebih dikenal
sebagai android obesity. Tipe obesitas ini berhubungan lebih kuat dengan
diabetes, hipertensi, dan penyakit kardiovaskuler daripada obesitas tubuh bagian
bawah (Boivin et al., 2007).
Obesitas tubuh bagian bawah merupakan suatu keadaan tingginya
akumulasi lemak tubuh pada regio gluteofemoral. Tipe obesitas ini lebih banyak
terjadi pada wanita sehingga sering disebut gynoid obesity. Tipe obesitas ini
berhubungan erat dengan gangguan menstruasi pada wanita (Bergman et al.,
2001).
2.2.4. Pengukuran Antropometri sebagai Skrining Obesitas
Obesitas dapat dinilai dengan berbagai cara. Metode yang lazim digunakan saat
ini antara lain pengukuran IMT (Indeks Massa Tubuh), lingkar pinggang, serta
perbandingan lingkar pinggang dan lingkar panggul (Caballero B., 2005).
Universitas Sumatera Utara
-
7/22/2019 Chapter II Rlpp, Obesitas
6/12
Sebuah studi menyatakan bahwa pengukuran lingkar leher dapat
digunakan sebagai skrining obesitas yang mudah dan murah (Sjostrom et al.,
2001). Berikut ini penjelasan masing-masing metode pengukuran antropometri
tubuh:
a. IMT
Metode yang sering digunakan adalah dengan cara menghitung IMT, yaitu
BB/TB dimana BB adalah berat badan dalam kilogram dan TB adalah tinggi
badan dalam meter (Caballero B., 2005). Klasifikasi IMT dapat dilihat pada tabel
di bawah ini.
Tabel 2.1. Klasifikasi IMT (International Diabetes Federation, 2005)
Kategori BMI (kg/m2) Resiko Comorbiditas
Underweight < 18.5 kg/m2
Rendah (tetapi resiko terhadap masalah-
masalah klinis lain meningkat
Batas Normal 18.5 - 24.9 kg/m2 Rata-rata
Overweight > 25 kg/m
2
-Pre-obese 25.0 29.9 kg/m
2Meningkat
Obese I 30.0 - 34.9kg/m2 Sedang
Obese II 35.0 - 39.9 kg/m2 Berbahaya
Obese III > 40.0 kg/m2
Sangat Berbahaya
b. Lingkar Pinggang
IMT memiliki korelasi positif dengan total lemak tubuh, tetapi IMT bukan
merupakan indikator terbaik untuk obesitas. Selain IMT, metode lain untuk
pengukuran antropometri tubuh adalah dengan cara mengukur lingkar pinggang
dan lingkar pinggul. (Grundy S.M., 2004).
Jadi, setelah dilakukan pengukuran keduanya, akan dibuat suatu
perbandingan atau rasio lingkar pinggang dan lingkar pinggul seperti tabel berikut
:
Universitas Sumatera Utara
-
7/22/2019 Chapter II Rlpp, Obesitas
7/12
Tabel 2.2. Nilai Perbandingan Lingkar Pinggang dan Lingkar Pinggul (Bell
et al., 2001)
Pengukuran PRIA WANITANormal Besar Normal Besar
Lingkar pinggang 94-102cm > 102cm 80-88cm > 88cm
Perbandingan lingkar
pinggang-pinggul
0.9 1.0 0.8 0.9
c. Lingkar Leher
Lingkar leher dapat menjadi metode pengukuran yang mudah dan murah untukskreening individu dengan obesitas (Liubov et al., 2001). Lingkar leher sebagai
index untuk obesitas tubuh bagian atas merupakan salah satu prediktor terjadinya
penyakit kardiovaskuler (Sjostrom et al., 2001).
The North Association for The Study of Obesity menyatakan bahwa dari uji
statistik, koefisien korelasi pearson menunjukkan hubungan erat antara lingkar
leher dengan IMT (laki-laki, r=0,83; perempuan, r=0,71; masing-masing,
p
-
7/22/2019 Chapter II Rlpp, Obesitas
8/12
Tabel 2.3. Nilai Perbandingan Lingkar Leher dan Lingkar Pinggang (Liubov
et al.,2001)
Pengukuran PRIA WANITA
Normal Besar Normal Besar
Lingkar leher 38-40cm >40cm 34-37cm >37cm
Lingkar pinggang 94-102cm >102cm 80-88cm >88cm
Perbandingan lingkar
leher dan lingkar
pinggang
0,39 >0,39 0,44 >0,44
2.3. Fisiologi Tekanan Darah
Menurut Dorlan (2000) tekanan darah adalah kekuatan yang ditimbulkan oleh
jantung yang berkontraksi seperti pompa sehingga darah terus mengalir dalam
pembuluh darah, kekuatan tersebut mendorong dinding pembuluh arteri (nadi).
Tekanan darah dinyatakan dalam dua angka misalnya 120/80 mmHg. Angka 120
disebut dengan tekanan darah atas (sistolik) dan angka 80 disebut dengan tekanan
darah bawah (diastolik). Tekanan sistolik menunjukkan tekanan pada pembuluh
arteri ketika jantung berkontraksi, sedangkan tekanan diastolik adalah tekanan
ketika jantung sedang berelaksasi.
Menurut Arisman (2008) pada umumnya batas tekanan darah normal atau
biasa disebut normotensi adalah 110/70 mmHg untuk wanita dan 120/80 mmHg
bagi pria. Tekanan darah akan sedikit naik sesuai dengan pertambahan usia dan
berat badan seorang.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tekanan darah adalah
kekuatan yang mendorong jantung memompa darah ke seluruh tubuh. Tekanan
darah berubah-ubah sepanjang hari sesuai dengan situasi. Tekanan darah akan
meningkat dalam keadaan gembira, cemas atau pada saat melakukan aktifitas
fisik. Setelah situasi ini berlalu tekanan darah akan kembali normal. Namun
apabila tekanan darah tetap tinggi, maka inilah yang disebut dengan tekanan darah
tinggi atau hipertensi.
Universitas Sumatera Utara
-
7/22/2019 Chapter II Rlpp, Obesitas
9/12
Dalam buku-buku bahasa Inggris digunakan istilah Hypertension yang
diambil dari kata latin hyperyang berarti super atau luar biasa dan kata tension
yang juga dari bahasa latin tensio berarti tekanan atau tegangan. Istilah lain yang
sering digunakan adalah High Blood Pressure yang berarti tekanan darah
tinggi.Tekanan darah tinggi terjadi apabila suatu tekanan yang berlebihan
menekan dinding pembuluh arteri. Sampai saat ini belum ada keseragaman
pengertian mengenai tekanan darah tinggi dan angka pasti yang menjadi patokan
seseorang terkena hipertensi (Sherwood, 2001)
2.4. Hipertensi sebagai Faktor Risiko Sindroma Metabolik
2.4. 1. Definisi Hipertensi
Berikut ini ada beberapa definisi hipertensi yang dikemukakan oleh para ahli.
Menurut Dorlan (2000) hipertensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan
darah yang tingginya tergantung umur individu yang terkena. Tekanan darah
berfluktuasi dalam batas-batas tertentu tergantung posisi tubuh, umur dan tingkat
stres yang dialami. Baughman (2000) menyebutkan bahwa hipertensi dapat
ditetapkan sebagai tekanan darah secara menetap dimana tekanan sistolik 140
mmHg dan tekanan diastolik 90 mmHg.
Pada populasi lanjut usia hipertensi ditetapkan sebagai tekanan sistolik di
atas 160 mmHg dan tekanan diastolik di atas 90 mmHg. Selanjutnya WHO (2008)
menjelaskan tekanan darah dianggap tinggi atau disebut hipertensi apabila
mempunyai tekanan sistolik sama dengan atau lebih tinggi dari 160 mmHg dan
tekanan diastolik sama dengan atau lebih tinggi dari 95 mmHg. Jika pengobatan
tidak dilakukan sedini mungkin hipertensi akan meningkat sedemikian sehingga
dapat mengakibatkan terjadinya komplikasi pada beberapa organ tubuh seperti
jantung, otak dan ginjal.
Berdasarkan berbagai pendapat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa
hipertensi adalah suatu gangguan pada sistem peredaran darah dimana terjadi
peningkatan tekanan darah yang tingginya tergantung umur individu yang terkena
dan dapat disebabkan oleh beberapa faktor serta dapat mengakibatkan terjadinya
komplikasi pada beberapa organ tubuh seperti otak, jantung dan ginjal.
Universitas Sumatera Utara
-
7/22/2019 Chapter II Rlpp, Obesitas
10/12
2.4.2. Etiologi hipertensi
Tonstad (2007) menyebutkan bahwa ada beberapa faktor yang dapat
menyebabkan seseorang menderita hipertensi atau tekanan darah tinggi. Tekanan
darah tinggi merupakan kondisi degeneratif yang disebabkan oleh diet beradab
dan cara hidup yang berbudaya. Menurut David (2004) faktor pemicu hipertensi
dibedakan atas:
a. Yang tidak dapat dikontrol, seperti keturunan, jenis kelamin, umur.
b. Yang dapat dikontrol, seperti kegemukan, kurang olahraga, merokok, serta
konsumsi garam dan konsumsi alkohol yang berlebih.
Peningkatan tekanan darah dipengaruhi oleh beberapa faktor resiko, antara
lain usia, jenis kelamin, riwayat keluarga, obesitas, diet dan kebiasaan tidak sehat
seperti merokok, minum-minuman yang mengandung kafein dan alkohol.
Menurut Fasli (2008) faktor keturunan tidak lagi diragukan pengaruhnya
terhadap timbulnya hipertensi hanya saja belum dapat dipastikan apakah ini
disebabkan oleh sepasang gen tunggal atau oleh banyak gen. Bagi yang memiliki
faktor resiko ini seharusnya lebih waspada dan lebih dini dalam melakukan
upaya-upaya pencegahan. Contoh yang paling sederhana adalah rutin
memeriksakan darahnya minimal satu bulan sekali disertai dengan menghindari
faktor pencetus timbulnya hipertensi.
Beberapa faktor yang menjadi penyebab penyakit hipertensi antara lain
faktor keturunan, berat badan, diet, alkohol, rokok, obat-obatan dan faktor
penyakit lain. Gaya hidup juga berpengaruh terhadap kemunculan serangan
hipertensi. Kebiasaan-kebiasaan tidak sehat seperti pola makan yang tidak
seimbang dengan kadar kolesterol yang tinggi, rokok dan alkohol, garam,
minimnya olah raga dan porsi istirahat sampai stres dapat berpengaruh terhadap
kemunculan hipertensi baik bagi seseorang yang belum maupun yang sudah
terkena tekanan darah tinggi (Tonstad, 2007).
Berdasarkan uraian di atas maka dapat digolongkan bahwa faktor yang
dapat menyebabkan terjadinya hipertensi antara lain: a) Faktor fisiologis yang
meliputi pola makan atau diet, kebiasaan-kebiasaan tidak sehat seperti rokok dan
Universitas Sumatera Utara
-
7/22/2019 Chapter II Rlpp, Obesitas
11/12
alkohol, faktor genetik (keturunan), obesitas (kegemukan) dan berbagai macam
penyakit, b) Faktor psikologis yang meliputi faktor stres dan manajemen stres.
2.4.3. Klasifikasi hipertensi
Menurut Kaplan (2006), hipertensi adalah keadaan tekanan darah sistolik lebih
dari 140 mmHg dan tekanan diastolik lebih dari 90 mmHg. Tekanan darah diukur
dengan spygmomanometer yang telah dikalibrasi dengan tepat (80% dari ukuran
manset menutupi lengan) setelah pasien beristirahat nyaman, posisi duduk
punggung tegak atau terlentang, atau paling sedikit selama 5 menit sampai 30
menit setelah merokok atau minum kopi. Berdasarkan penyebabnya hipertensi
dapat dibedakan mejadi dua golongan antara lain:
a. Hipertensi primer atau hipertensi esensial
Hipertensi primer adalah hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya namun ada
beberapa faktor yang diduga menyebabkan terjadinya hipertensi tersebut antara
lain: 1) Faktor keturunan, seseorang akan memiliki kemungkinan lebih besar
untuk mendapatkan hipertensi jika orang tuanya menderita hipertensi, 2) Ciri
perseorangan, ciri perseorangan yang mempengaruhi timbulnya hipertensi adalah
umur, jenis kelamin dan ras, 3) Kebiasaan hidup, yang sering menyebabkan
timbulnya hipertensi adalah konsumsi garam yang tinggi, kegemukan, makan
berlebih, stres, merokok, minum alkohol, minum obat-obatan tertentu (misalnya
prednisone dan epinefrine).
b. Hipertensi Sekunder
Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang disebabkan oleh beberapa penyakit
antara lain: 1) Penyakit parenkim ginjal, 2) Penyakit renovaskuler, 3)
Hiperaldeseronisme primer, 4) Sindrom Crusig, 5) Obat kontrasepsi dan 6)
Koarktasio aorta. Berikut ini dipaparkan dalam table mengenai klasifikasi tekanan
darah pada orang dewasa berdasarkan JNC-VII (The Joint National Committee on
Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure).Classification BP)*
Universitas Sumatera Utara
-
7/22/2019 Chapter II Rlpp, Obesitas
12/12
Tabel 2.4. Classification of Blood Pressure (Kaplan, 2006)
Category SBP mmHg
(Systolic Blood Presurre)
DBP mmHg
(Diastolic Blood Presurre)Normal