danau bandung

6
 PERKAKAS OBSIDIAN, BOJONGMENJE DAN DANAU BANDUNG PURBA Catatan Tambahan Atas Tulisan T. Bachtia Oleh: Nanang Saptono Bicara soal danau Bandung Purba memang sangat menarik. Entah sejak kapan legenda Sangkuriang dengan danaunya mulai diceritakan sulit untuk diketahui. Mungkin legenda itu muncul karena para karuhun sulit menjelaskan latar belakang keberadaan danau Bandung Purba, sehingga terciptalah legenda tersebut. ulisan . Bactiar yang  berjudul Sangiangtikoro dan !anau Bandung Purba "P#, $% &anuari %''() yang mer upak an tanggap an kri tis ter hada p tul isa n ony !ju bia nto no yang ber judul Sit us Bojongmenje: *ajian Sumberdaya Budaya dan Peman+aatannya, sangat menarik untuk disimak. Pada tanggapan Bachtiar tersebut, setidaknya ada dua hal yang perlu ditanggapi kembal i ya itu ber kai tan deng an tangga pan Bac hti ar tentang per kaka s obs idi an dan  pendapat o ny tentang nama Bojongmenje, yang kesemuanya berkaitan den gan masalah  pemukiman lama di sekitar danau Bandung Purba. P!"a"as #bsi$ian Mengenai tan ggap an Bac hti ar yai tu ber kai tan dengan sumber day a arkeol ogi  berupa alat mikrolit yang terbuat dari batu kendan "alat obsidian). Mengacu hasil  penelitian yang dilakukan .-.#. on *oenigs/ald tahun $012, Bachtiar menguraikan  bah/a di sekeliling danau Bandung Purba pada garis ketinggian (%2 m dpl., banyak 

Upload: mohddede

Post on 06-Oct-2015

8 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

geologi

TRANSCRIPT

PEMUKIMAN LAMA DI SEKITAR DANAU BANDUNG PURBA

PERKAKAS OBSIDIAN, BOJONGMENJE DAN DANAU BANDUNG PURBA

Catatan Tambahan Atas Tulisan T. BachtiarOleh: Nanang Saptono

Bicara soal danau Bandung Purba memang sangat menarik. Entah sejak kapan legenda Sangkuriang dengan danaunya mulai diceritakan sulit untuk diketahui. Mungkin legenda itu muncul karena para karuhun sulit menjelaskan latar belakang keberadaan danau Bandung Purba, sehingga terciptalah legenda tersebut. Tulisan T. Bactiar yang berjudul Sangiangtikoro dan Danau Bandung Purba (PR, 12 Januari 2007) yang merupakan tanggapan kritis terhadap tulisan Tony Djubiantono yang berjudul Situs Bojongmenje: Kajian Sumberdaya Budaya dan Pemanfaatannya, sangat menarik untuk disimak. Pada tanggapan Bachtiar tersebut, setidaknya ada dua hal yang perlu ditanggapi kembali yaitu berkaitan dengan tanggapan Bachtiar tentang perkakas obsidian dan pendapat Tony tentang nama Bojongmenje, yang kesemuanya berkaitan dengan masalah pemukiman lama di sekitar danau Bandung Purba.

Perkakas obsidian

Mengenai tanggapan Bachtiar yaitu berkaitan dengan sumberdaya arkeologi berupa alat mikrolit yang terbuat dari batu kendan (alat obsidian). Mengacu hasil penelitian yang dilakukan G.H.R. von Koenigswald tahun 1935, Bachtiar menguraikan bahwa di sekeliling danau Bandung Purba pada garis ketinggian 725 m dpl., banyak ditemukan artefak perkakas manusia prasejarah yang terbuat dari obsidian. Penelitian terhadap jejak manusia prasejarah khususnya artefak obsidian tidak hanya dilakukan oleh von Konigswald. Sebelumnya, J. Krebs pada tahun 1932-1933 mengadakan penelitian alat obsidian. Sesudah Koenigswald beberapa ahli diantaranya W. Mohler, Rothpletz, dan H.R. van Heekeren juga mengadakan penelitian yang sama. Pada era 1970-an hingga 1990-an, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional beberapa kali mengadakan penelitian di sekitar danau Bandung Purba. Dari berbagai penelitian itu, semuanya berkesimpulan bahwa sebaran alat obsidian berada pada ketinggian sekitar 725 m.

Berangkat dari hasil penelitian geologis tentang proses mengeringnya danau Bandung Purba yang dilakukan oleh Koesoemadinata (2001), Nurul Laili mengadakan penelitian dan pengkajian tentang Jejak Pendukung Budaya Obsidian di Sekitar Danau Bandung yang dipublikasikan dalam buku berjudul Arkeologi dari Lapangan ke Permasalahan yang diterbitkan oleh Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (2006). Diasumsikakan permukiman di sekitar danau Bandung Purba mengikuti muka air yang berangsur-angsur surut.

Nurul mencuplik sampel di empat wilayah yaitu wilayah timur (Jadaria, Paratag, Panyawungan, dan Panyawangan), wilayah utara (Pakar dan Punclut), wilayah barat (Gua Pawon), serta wilayah selatan (Pasir Pongkor). Yang perlu dicatat dari hasil penelitian ini adalah bahwa di Panyawungan dan Panyawangan yang berada pada ketinggian di bawah 725 m ditemukan pula jejak budaya obsidian. Situs Panyawungan termasuk di wilayah Desa Cileunyi Wetan, Kecamatan Cileunyi berada pada ketinggian 663 m dpl. Situs Panyawangan termasuk di wilayah Desa Cimekar, Kecamatan Cileunyi berada pada ketinggian 671 m dpl. Pengamatan di situs ini berlangsung ketika dilakukan pengerukan lahan untuk perluasan komplek Perumahan Bumi Panyawangan bagi pemukiman klaster Kamper.

Hal yang sangat menarik di Panyawungan dan Panyawangan ditemukan serpih berretus dan alat serpih obsidian. Yang dimaksud dengan serpih berretus adalah serpihan batu yang tidak sengaja dibuat tetapi terdapat jejak-jejak pemakaian (retus). Jejak pakai terlihat pada bagian lateral kiri, lateral kanan, distal atau bahkan pada ketiga bagian. Sedangkan yang dimaksud dengan alat serpih adalah serpihan batu yang sengaja dibuat. Tanda-tanda alat serpih adalah adanya dataran pukul dan bulbus. Secara kuantitas, di Panyawungan ditemukan 8 serpih berretus dan 108 alat serpih, sedangkan di Panyawangan ditemukan 3 serpih berretus dan 9 alat serpih.

Perkakas batu obsidian juga ditemukan di situs Bojongmenje yang berada pada ketinggian sekitar 675 m dpl. Ketika ekskavasi di situs Bojongmenje, hampir di semua kotak gali ditemukan tatal obsidian dan fragmen tembikar. Fragmen tembikar ada yang berhias ada pula yang polos. Pola hias tembikar antara lain garis-garis dan jala. Tatal obsidian tersebut ada yang merupakan alat serpih. Dilihat dari keletakan waktu ditemukannya, menunjukkan bahwa di Bojongmenje sebelum masyarakat penganut Hindu bermukim, masyarakat prasejarah telah lebih dahulu menghuninya. Masyarakat tersebut kemungkinan besar merupakan masyarakat pecocok tanam yang sudah bermukim secara menetap.Berdasarkan hasil penelitian Nurul dapat diperoleh gambaran bahwa pemukiman di sekitar danau Bandung Purba tidak hanya berada pada ketinggian 725 m tetapi juga ada yang berada pada ketinggian 663 m (Panyawungan) dan 671 m (Panyawangan). Temuan artefak obsidian dan fragmen tembikar di situs Bojongmenje yang berada pada ketinggian 675 m dpl dapat dijadikan catatan penting mengenai pemukiman di sekitar danau Bandung Purba.

Bojong atau bobojong

Permasalahan selanjutnya yaitu mengenai pendapat Tony berkaitan dengan lahan pemukiman di Bojongmenje. Di sini perlu dikutipkan lagi pendapat Tony yang pernah dikutip Bachtiar bahwa: Adanya sebutan bojong, semenanjung, atau tanjung di kawasan Bandung (Kabupaten dan Kota) itu tidak terlepas dari sejarah geologi kawasan Bandung di masa lalu. Berdasarkan hasil penelitian geologi, ribuan tahun yang lalu, kawasan ini pernah tertutup oleh air ....Hal yang perlu diperhatikan dalam kutipan tersebut adalah bahwa sebutan bojong berkaitan dengan sejarah geologi yang berlangsung pada ribuan tahun yang lalu. Arti kata bojong menurut Kamus Umum Basa Sunda yang disusun oleh Lembaga Basa & Sastra Sunda adalah bobojong, sering dipakai untuk nama tempat antara lain Bojongpicung, Bojongmeron, dan Bojongsalam. Bobojong menurut Kamus Bahasa Naskah dan Prasasti Sunda Abad 11 s.d. 18 yang disusun oleh Dra. Elis Suryani, M.Hum., dkk dari Komunitas Pernaskahan Sunda Purbatisti, artinya adalah semenanjung.Tony dalam tulisannya yang berjudul Situs Bojongmenje: Kajian Sumberdaya Budaya dan Pemanfaatannya yang terdapat pada buku Hastaleleka menyebutkan bahwa Bojongmenje berarti tanjung atau semenanjung yang ditumbuhi pohon menje. Tumbuhan ini kemudian dijadikan tanda penentu bagi penamaan semenanjung itu. Hal seperti ini juga dipakai untuk penamaan bojong lainnya seperti Bojongkoneng dan Bojongsalam.Pertanyaan yang muncul adalah, apakah sebutan bojong berkaitan dengan sejarah geologi yang berlangsung pada ribuan tahun yang lalu, dalam kasus ini adalah danau Bandung Purba? Untuk menjawabnya bisa dibandingkan dengan pola penamaan tempat pada beberapa daerah. Kata bojong diikuti nama pohon seperti Bojongmenje, Bojongkoneng, Bojongsalam, Bojongpicung, Bojongmeron dan sebagainya mirip dengan pola nama-nama perkampungan di pinggiran kota Yogyakarta yaitu kata karang diikuti nama pohon seperti misalnya Karanggayam, Karangturi, Karangbenda, dan Karangasem.Dengan mengacu pada pola penamaan seperti itu, menunjukkan bahwa masyarakat yang menamai lokasi itu merupakan masyarakat pemakai bahasa sebagaimana nama lokasi itu. Kata menje sulit ditemukan maknanya. Dalam beberapa kamus Basa Sunda, kata itu belum didapatkan. Beberapa pihak menyatakan bahwa menje adalah nama binatang yang juga disebut mencek, yaitu sejenis kambing hutan yang besarnya lebih kecil sedikit daripada rusa. Apabila memang menje merupakan nama binatang maka penamaan bojong tidak harus diikuti dengan nama pohon. Hal ini pun dapat dijumpai dengan kasus nama Bojongsoang.

Kata menje mungkin merupakan kata dalam bahasa Sunda dahulu yang sekarang disebut dengan mencek, maka nama Bojongmenje diberikan oleh masyarakat pemakai bahasa Sunda dahulu. Dengan adanya bukti berupa bangunan candi serta perkakas obsidian dan pecahan tembikar menunjukkan bahwa di lokasi itu dahulu sudah merupakan perkampungan. Sehingga sangat memungkinkan bahwa masyarakat itulah yang memberi nama. Berpegang pada asumsi bahwa candi Bojongmenje berasal dari abad ke-8 maka nama itu muncul pada sekitar 1.300 tahun yang lalu dan tidak ada kaitannya dengan danau Bandung Purba.

Mengapa demikian? Masyarakat yang bermukim di lokasi itu pada 1.300 tahun yang lalu memang sudah menyadari bahwa wilayahnya merupakan suatu bojong atau bobojong. Istilah ini juga dikenal masyarakat Lampung. Pada beberapa situs pemukiman ada yang dinamakan Bujung Menggalaw yaitu di Kampung Gunung Katun, Kabupaten Tulangbawang. Istilah bujung bagi masyarakat Lampung adalah daratan menjorok yang terbentuk bukan karena danau atau laut tetapi karena kelokan sungai.Lokasi Bojongmenje sendiri berada di tepi sebelah selatan Cimande. Aliran sungai ini di dekat situs membentuk kelokan. Di sebelah timur situs bermula dari arah selatan ke utara kemudian berbelok ke arah barat. Di sebelah barat laut situs sungai ini kemudian berbelok lagi ke arah selatan. Dengan aliran sungai semacam ini sehingga terbentuklah daratan menjorok ke sungai sebagaimana semenanjung.Di Kampung Bojongsari, Bojongsoang bila diperhatikan juga merupakan semenanjung yang terbentuk karena aliran sungai. Di daerah ini, di sebelah timur Citarum mengalir ke arah barat daya. Di sebelah selatan kampung kemudian berbelok ke arah barat laut, sehingga terbentuklah bojong. Bojongmalaka yang terletak di sebelah barat Bojongsoang juga menunjukkan gejala yang demikian. Sungai Cisangkuy mengalir dari arah selatan ke utara di sebelah timur kampung. Sungai ini kemudian bergabung dengan Citarum di sebelah timur laut kampung. Di situ kemudian berbelok ke arah barat hingga daerah Rancamanyar di sebelah barat laut kampung, kemudian berbelok lagi ke arah barat daya.

Terlihatlah bahwa bojong yang berada di kawasan Bandung terbentuk karena aliran sungai. Daratan yang berupa bojong memang merupakan daratan yang relatif lebih tinggi dari sekitarnya sehingga sangat cocok untuk perkampungan. Selain candi Bojongmenje, di Kampung Sukapada, Desa Bojongmas, Kecamatan Solokan Jaya juga terdapat candi. Namun sangat disayangkan candi ini telah hancur tinggal menyisakan beberapa balok batu. Hancurnya candi ini karena tergusur proyek normalisasi sungai Citarum. Dahulu, sebelum sungai diluruskan, candi ini juga berada pada bojong.Tidak adanya keterkaitan antara bojong dengan danau Bandung Purba juga terlihat bahwa di daerah lain juga ada nama lokasi yang diawali dengan kata bojong seperti Bojonggede di tepi Ciliwung daerah Bogor dan Bojonggandu di tepi Cileeur daerah Ciamis. Mungkin permasalahan nama Bojongmenje ini perlu kajian lebih dalam lagi oleh para ahli etimologi atau para filolog.***