hipersensitivitas

35
HIPERSENSITIVITAS OLEH: PPDGS Prodi Ilmu Bedah Mulut & Maksilofasial Jenadi Binarto NPM 160121140001 Ariyaka Niastya P. NPM 160121140002 Fajar Rezandaru NPM 160121140003 Sabella Trinolaurig NPM 160121140004 Willy Bernadi NPM 160121140005 Fachrul Razi NPM 160121140006 Adria Permana Putra NPM 160121140007 A.A Manik Swayoga NPM 160121140008 Evan Yulius Saputro NPM 160121140009 Annisya Muharty NPM 160121140010 PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER GIGI SPESIALIS BEDAH MULUT DAN MAKSILOFASIAL

Upload: jenadi-binarto

Post on 27-Sep-2015

87 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

alergi, immunologi, hipersensitivitas

TRANSCRIPT

HIPERSENSITIVITAS

OLEH:PPDGS Prodi Ilmu Bedah Mulut & MaksilofasialJenadi BinartoNPM 160121140001Ariyaka Niastya P.NPM 160121140002Fajar RezandaruNPM 160121140003Sabella TrinolaurigNPM 160121140004Willy BernadiNPM 160121140005Fachrul RaziNPM 160121140006Adria Permana PutraNPM 160121140007A.A Manik SwayogaNPM 160121140008Evan Yulius SaputroNPM 160121140009Annisya MuhartyNPM 160121140010

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER GIGI SPESIALISBEDAH MULUT DAN MAKSILOFASIALFAKULTAS KEDOKTERAN GIGIUNIVERSITAS PADJADJARANBANDUNG2015BAB IPENDAHULUAN

Reaksi hipersensitivitas adalah suatu respon tubuh yang patologis, terjadi akibat respon imun yang berlebihan terhadap benda atau konfigurasi asing yang menimbulkan kerusakan jaringan tubuh. Jika seseorang pernah terpapar pada suatu antigen tertentu, maka pemaparan berikutnya dengan antigen yang sama dapat menyebabkan respons imunologik sekunder yang memiliki tujuan guna menyingkirkan antigen tersebut. Hal tersebut merupakan reaksi alami tubuh guna mempertahankan diri, namun pada keadaan tertentu reaksi imunologik ini berlangsung berlebihan atau tidak wajar sehingga menimbulkan kerusakan jaringan. Reaksi hipersensitivitas dapat terjadi bila jumlah antigen yang masuk relatif banyak atau bila status imunologik seseorang, baik selular maupun humoral meningkat. Reaksi ini tidak pernah timbul pada pemaparan pertama dan merupakan ciri khas individu yang bersangkutan.Pada dasarnya tubuh kita memiliki imunitas alamiah yang bersifat non-spesifik dan imunitas spesifik dan didapat. Ada 2 macam imunitas spesifik ialah sistem imunitas humoral yang secara aktif diperankan oleh sel limfosit B, yang memproduksi 5 macam imunoglobulin ( IgG, IgA, IgM, IgD dan IgE ) dan sistem imunitas seluler yang dihantarkan oleh sel limfosit T, yang bilamana ketemu dengan antigen lalu mengadakan diferensiasi dan menghasilkan zat limfokin, yang mengatur sel-sel lain untuk menghancurkan antigen tersebut. Bilamana suatu alergen masuk tubuh, maka tubuh akan mengadakan respon. Bilamana alergen tersebut hancur, maka ini merupakan hal yang menguntungkan, sehingga yang terjadi ialah keadaan imun. Tubuh manusia akan bereaksi terhadap benda asing atau alergen yang masuk ke dalam tubuh. Adanya alergen akan mengaktifkan sistem imun dalam tubuh dan menghancurkan alergen. Namun jika yang terjadi sebaliknya, yaitu tubuh menjadi rusak dan sitem imun tidak bekerja, maka terjadi reaksi hipersensitivitas atau reaksi alergi. Reaksi hipersensitivitas merupakan reaksi yang berlebihan dan tidak diinginkan, sehingga menimbulkan rasa tidak nyaman dan kadang-kadang berakibat fatal.Hipersensitivitas adalah reaksi imun yang patologis, yang terjadi akibat respon imun berlebihan sehingga menimbulkan kerusakan jaringan tubuh. Pada tahun 1906, Von Pirquet yang mengusulkan suatu istilah allergie untuk suatu keadaan respons imun yang menyimpang dari biasanya berlangsung. Sehingga semua keadaan penderita yang menyimpang dari reaksi imun yang biasa, seperti misalnya keadaan penderita yang mengalami reaksi terhadap toksik, tepung sari, atau urtikaria yang ditimbulkan oleh makanan tertentu pada saat itu dinamakan alergi. Pada alergi inipun akan timbul kerusakan jaringan, sehingga hipersensitif tidak lain alergi juga. Pada umumnya orang menganggap bahwa alergi hanya menimbulkan gejala gatal-gatal, perubahan di kulit, sesak nafas, muntah-muntah dan diare. Namun sebenarnya gejala alergi lebih dari itu, oleh karena berdasarkan imunopatogenesis kenyataannya terdapat beberapa jenis hipersensitivitas.

BAB IIHIPERSENSITIVITAS

Respon imun adaptif mampu memberikan perlindungan spesifik terhadap infeksi bakteri, virus, parasit, dan jamur. Pada keadaan normal, mekanisme pertahanan tubuh humoral atau selular tergantung pada aktivasi sel B dan sel T. Aktivasi berlebihan oleh antigen atau gangguan mekanisme ini, akan menimbulkan suatu keadaan imunopatologik yang disebut reaksi hipersensitivitas. Sebagian respon imun dapat menimbulkan reaksi yang berlebihan, hal ini disebut sebagai reaksi hipersensitivitas. Reaksi hipersensitivitas dapat dibagi menurut waktu dan mekanisme kerjanya.

2.1. Pembagian Reaksi hipersensitivitas menurut WaktuReaksi hipersensitivitas dapat dibagi menurut waktu terjadinya, yaitu reaksi cepat, intermediate dan lambat. CEPATINTERMEDIAT

Tipe ITipe II

Tipe III

LAMBAT

Tipe IV

Gambar 2.1. Pembagian Reaksi Hipersensitif berdasarkan Waktu

2.1.1. Reaksi CepatReaksi cepat terjadi dalam hitungan detik, dan menghilang dalam 2 jam. Antigen yang diikat IgE pada permukaan sel mast menginduksi pelepasan mediator vasoaktif. Manifestasi reaksi cepat berupa anakilaktik sistemik atau anafilaktik likal seperti pilek-bersin, asma, urtikaria dan eksim

2.1.2. Reaksi IntermediatReaksi intermediat terjadi setelah beberapa jam dan menghilang dalam 24 jam. Reaksi ini melibatkan pembentukan kompleks imun IgG dan kerusakan jaringan melalui aktivasi komplemen atau sel NK atau ADCC. Manifestasinya dapat berupa:1) Reaksi transfusi darah, eritroblastosis fetalis dan anemia hemolitik autoimun.2) Reaksi Arthus lokal dan reaksi sistemik seperti serum sickness, vaskulitis nekrosis, glomerulonefritis, arthritis rheumatoid dan LES.Reaksi intermediat diawali oleh IgG yang disertai kerusakan jaringan pejamu oleh sel neutrofil atau sel NK. Dari segi mekanisme, Tipe II terjadi bila antibodi diikat antigen yang merupakan bagian dari sel jaringan. Tipe III terjadi bila IgG terhadap self-antigen larut membentuk kompleks imun yang mengendap di jaringan. Dalam kedua kejadian tersebut, respon inflamasi setempat diaktifkan dan merusak jaringan.

2.1.3. Reaksi LambatReaksi lambat terlihat sampai sekitar 48 jam setelah pajanan dengan antigen. Reaksi ini terjadi akibat aktivasi sel Th. Pada DTH yang berperan adalah sitokin yang dilepas sel T yang mengaktifkan makrofag dan menimbulkan kerusakan jaringan. Contoh reaksi lambat adalah dermatitis kontak, reaksi Micobacterium tuberculosa dan reaksi penolakan tandur.

2.2. Pembagian Reaksi Hipersensitivitas menurut MekanismeRobert Coombs dan Philip HH Gell (1963) membagi reaksi hipersensitivitas dalam 4 tipe reaksi berdasarkan kecepatan dan mekanisme imun yang terjadi, yaitu tipe I, II, III, dan IV. Reaksi hipersensitif tipe IV merupakan T cell-mediated, dan dapat dibagi lagi menjadi 3 grup, yaitu (1) kerusakan jaringan, yang disebabkan oleh aktivasi makrofag olah sel Th1, yang menyebabkan respons inflamasi; (2) kerusakan disebabkan oleh aktivasi sel Th2 renspons inflamasi dimana eosinofil merupakan predominan; (3) kerusakan disebabkan langsung oleh sel T (CTL).Gambar 2.2. Empat Tipe hipersensitivitas yang dimediasi oleh mekanisme imunologi, yang menyebabkan kerusakan jaringan

2.2.1. Reaksi Hipersensitivitas Tipe I: AnafilaktikKarakteristik hipersensitivitas Tipe I ini adalah reaksi alergi yang langsung terjadi setelah kontak dengan antigen yang disebut allergen. Kata allergy berarti perubahan reaktivitas dari host ketika bertemu dengan agent, yang dicetuskan oleh von Pirquet pada tahun 1906. Beberapa tahun belakangan ini, kata allergy menjadi sinonim dengan reaksi hipersensitivitas Tipe I.Pada reaksi Tipe I, allergen yang masuk ke dalam tubuh menimbulkan respon imun berupa produksi IgE dan penyakit alergi seperti rhinitis alergi, asma dan dermatitis atopi. Urutan kejadian rekasi Tipe I adalah sebagai berikut:1) Fase sensitasi Yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya oleh reseptor spesifik (Fc-R) pada permukaan sel mast dan basofil.2) Fase aktivasiYaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen yang spesifik dan se last melepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi.3) Fase efektorYaitu waktu terjadi respon yang kompleks (anafilaktik) sebagai efek mediator-mediator yang dilepas sel mast dengan aktivitas farmakologik.

Sel mast mengandung banyak mediator primer atau preformed antara lain histamine yang disimpan dalam granul. Sel mast yang diaktifkan dapat memproduksi mediator baru atau sekunder atau newly generated seperti LT dan PG.Puncak reaksi tipe I dalam 10-11 menit. Pada fase aktivasi terjadi perubahan dalam membrane sel mast akibat metilasi fosfolipid yang diikuti oleh influx Ca++ yang menimbulkan aktivasi fosfolipase. Dalam fase ini energy dilepas akibat glikolisis dan beberapa enzim diaktifkan dan menggerakkan granul-granul ke permukaan sel. Kadar cAMP dan cGMP dalam sel berpengaruh terhadap degranulasi. Peningkatan cAMP akan mencegah, sedang peningkatan cGMP memacu degranulasi. Pelepasan granul ini adalah fisiologis dan tidak menimbulkan lisis atau matinya sel. Degranulasi sel mast dapat pula terjadi atas pengaruh anafilatoksin C3a dan C5a.Ikatan IgE pada permukaan sel mast dengan antigen mengawali jalur sinyal multiple yang merangsang pelepasan granul-granul sel mast (mengandung amin-protease), sintesis metabolit asam arakidonat (prostaglandin, leukotrin) dan sintesis berbagai sitokin. Mediator-mediator tersebut menimbulkan berbagai reaksi hipersensitivitas tipe cepat.

Gambar 2.3. Patogenesis Reaksi Hipersensitivitas tipe I

Berbagai sitokin dilepas sel mast seperti IL-3, IL-5, IL-6, IL-10, IL-13, GM-CSF dan TNF-. Beberapa diantaranya berperan dalam manifestasi klinis reaksi Tipe I. sitokin-sitokin tersebut mengubah lingkungan mikro dan dapat mengerahkan sel inflamasi seperti neutrofil dan eosinofil. IL-4 dan IL-13 meningkatkan produksi IgE oleh sel B. IL-5 berperan dalam pengerahan dan aktivasi eosinofil. Kadar TNF- yang tinggi dan dilepas sel mast berperan dalam renjatan anafilaksis.

Manifestasi Reaksi Tipe Ia. Reaksi lokalReaksi hipersensitivitas Tipe I lokal terbatas pada jaringan atau organ spesifik yang biasanya melibatkan permukaan epitel tempat allergen masuk. Kecenderungan untuk menunjukkan reaksi tipe I adalah diturunkan dan disebut atopi.IgE yang sudah ada pada permukaan sel mast akan menetap untuk beberapa minggu. Sensitisasi dapat pula terjadi secara pasif bila serum (darah) orang yang alergi dimasukan ke dalam kulit/sirkulasi orang normal. Reaksi alergi yang mengenai kulit, mata, hidung dan saluran nafas.b. Reaksi Sistemik anafilaksisAnafilaksis adalah reaksi tipe I yang dapat fatal dan terjadi dalam beberapa menit saja. Anafilaksis adalah reaksi hipersensitivitas Gell dan Coombs Tipe I atau reaksi alergi yang cepat, ditimbulkan IgE yang dapat mengancam nyawa. Sel mast dan basofil merupakan sel efektor yang melepas berbagai mediator. Reaksi dapat dipacu berbagai allergen seperti makanan, obat atau sengatan serangga dan juga lateks, latihanjasmani, dan bahan diagnostic lainnya. Pada 2/3 pasien dengan anafilaksis, pemicu spesifiknya tidak dapat diidentifikasi.c. Reaksi pseudoalergi atau anafilaktoidMerupakan reaksi sistemik umum yang melibatkan penglepasan mediator sel mast yang terjadi tidak melalui IgE, mekanisme pseudoalergi merupakan mekanisme jalur non-imun. Secara klinis reaksi ini menyerupai reaksi tipe I sperti syok, urtikaria, bronkospasme, anafilaksis, pruritus, tetapi tidakberdasarkan atas reaksi imun. Manifestasi klinisnya sering serupa, sehingga sulit dibedakan satu dengan lainnya. Reaksi ini tidak memerlukan pajanan terdahulu untuk menimbulkan sensitasi. Reaksi anafilaktoid dapat ditimbulkan antimikroba, protein kontras dengan yodium, AINS, etilenoksid, taksol, penisilin dan pelemas otot.

2.2.2. Reaksi Hipersensitivitas Tipe II: SitotoksikReaksi hipersensitivitas tipe II disebut juga sitotoksis atau sitolitik, terjadi karena dibentuknya antibodi jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel pejamu. Reaksi ini dimulai dengan antibodi yang bereaksi baik dengan komponen antigenik sel, elemen jaringan atau antigen maupun hapten yang sudah ada atau tergabung dengan elemen jaringan tersebut. Begitu antibodi menempel pada permukaan sel atau jaringan, ia akan mengikat dan mengaktifkan komponen komplemen C1. Diperantarai oleh antibodi terhadap antigen intrinsik atau ekstrinsik diabsorbsikan pada permukaan sel atau pada komponen jaringan lainnya. Tiga mekanisme dependen-antibodi yang berbeda yang berperan pada reaksi tipe ini :1) Opsonisasi dan fagositosis yang diperantarai oleh komplemen dan reseptor Fc.Reaksi yang diperantarai komplemen, melalui lisis langsung lewat C5-9 kompleks komplemen yang menyerang membran komplemen (membran attack complex [MAC]) atau dengan opsonisasi (fagositosis enhanced) karena terjadinya fiksasi fragmen C3b.Penghancuran sel yang diperantarai oleh antibodi dapat terjadi melalui proses lain yang disebut sitotoksisitas sel yang dependen-antibodi ( antibody-dependent cellular cytotoxicity, ADCC ). Sel yang dilapisi oleh antibodi IgG dalam konsentrasi rendah akan dimatikan oleh berbagai sel efektor. ADCC dapat dilakukan oleh monosit, neutrofil, eosinofil, dan sel NK. Meskipun pada sebagian besar kasus yang berperan dalam ADCC adalah IgG, pada kasus tertentu digunakan antibodi IgE. Contohnya antara lain : Reaksi tranfusiInkompatibilitas antibodi resipien terhadap eritrosit donor. Sel-sel dari donor yang tidak cocok bereaksi dengan dan diopsonisasi oleh antibodi penjamu. Eritroblastosis fetalis. Terdapat perbedaan antigenik antara ibu dan janin, IgG maternal mampu melewati plasenta dan menyebabkan eritrosit fetus. Trombositopenia autoimun , agranulositosis, atau anemia hemolitik. Individu membentuk antibodi terhadap sel darah sendiri sehingga sel-sel hancur. Reaksi obat. Antibodi terhadap obat-obat yang terikat pada eritrosit atau antigen protein lain.Antibody-dependent cell mediated cytotoxicity (ADCC); Sasaran dengan antibody yang terikat dalam kadar rendah (IgG atau IgE) mengalami lisis (tanpa fagositosis) oleh sel yang mempunyai reseptor Fc yang tidak tersensitisasi, misalnya monosit, neutrofil, eosinofil, atau sel pembunuh alami (natural killer [NK]). Hal ini penting pada infeksi parasit atau tumor dan mempunyai peran penting pada penolakan tandur.2) Peradangan yang diperantarai oleh komplemen dan receptor FcJika antibodi mengendap di jaringan ekstrasel, seperti membran basal atau matriks, cedera yang terjadi disebabkan oleh peradangan dan bukan oleh fagositosis atau lisis sel. Antibodi yang mengendap mengaktifkan komplemen, menyebabkan terbentuknya produk-produk sampingan yang menarik neutrofil dan monosit. Leukosit mengalami pengaktifan, melapaskan zat-zat perusak seperti enzim dan zat antara oksigen reaktif, dan akibatnya adalah kerusakan jaringan. Peradangan pada penyakit yang diperantarai oleh antibodi terjadi akibat reaksi yang bergantung baik pada komplemen maupun receptor Fc. Peradangan yang diperantarai oleh antibodi merupakan mekanisme penyebab cedera jaringan pada beberapa bentuk glomerulonefritis, penolakan vaskular pada tandur organ. 3) Antibody-mediated cellular dysfunction; misalnya, receptor antibodi terhadap antiasetilkolin yang merusak transmisi neuromuskuler pada miastenia gravis; receptor antithyroid stimulating-hormone (anti-TSH) mengakibatkan hipertiroidisme pada penyakit Grave.Sistem ini pada di negara tertentu (Inggris) dibedakan menjadi kelompok hipersensitif tipe 5. Perbedaan dengan sistem yang lain adalah tidak adanya ikatan komponen permukaan sel, dan antibodi mengenali dan mengikat permukaan sel yang bisa mencegah ligan yang dimaksudkan mengkiat reseptor atau meniru efek ligan sehingga dapat merusak sinyal pada sel. Penggunaan istilah tipe 5 memang jarang, dan seringkali diklasifikasikan sebagai tipe 2.

Gambar Skematis Tiga Mekanisme Utama Cedera yang Diperantarai oleh Antibodi

2.2.3. Reaksi Hipersensitif Tipe III: Reaksi Kompleks ImunReaksi tipe III disebut juga reaksi kompleks imun adalah reaksi yang terjadi bila kompleks antigen-antibodi ditemukan dalam jaringan atau sirkulasi/ dinding pembuluh darah dan mengaktifkan komplemen. Antibodi yang bisa digunakan sejenis IgM atau IgG sedangkan komplemen yang diaktifkan kemudian melepas faktor kemotatik makrofag. Faktor kemotatik yang ini akan menyebabkan pemasukan leukosit-leukosit PMN yang mulai memfagositosis kompleks-kompleks imun. Reaksi ini juga mengakibatkan pelepasan zat-zat ekstraselular yang berasal dari granula-granula polimorf, yakni berupa enzim proteolitik, dan enzim-enzim pembentukan kinin. Antigen pada reaksi tipe III ini dapat berasal dari infeksi kuman patogen yang persisten (malaria), bahan yang terhirup (spora jamur yang menimbulkan alveolitis alergik ekstrinsik) atau dari jaringan sendiri (penyakit autoimun). Infeksi dapat disertai dengan antigen dalam jumlah berlebihan, tetapi tanpa adanya respons antibodi yang efektif.

2.2.3.1. Mekanisme Reaksi Hipersensitivitas Tipe IIIKompleks imun mampu membangkitkan proses inflamasi secara luas, dengan cara:1) Berinteraksi dengan sistem komplemen untuk membangkitkan C3a dan C5a (anafilatoksin). Fragmen komplemen ini mengaktifkan pelepasan vasoaktif amin (termasuk histamin dan 5-hydroxytryptamine)dan faktor kemotaktik dari sel ms dan basofil. C5a juga memotaktik untuk basofil, eosinofil dan neutrofil.2) Makrofag dirangsang untuk melepaskan sitokin, terutama TNF dan IL-1, yang sangat penting selama inflamasi.3) Kompleks imun berinteraksi langsung dengan basofil dan platelet (melalui reseptor Fc) untuk melepaskan vasoaktif amin.Vasoaktif amin yang dilepaskan oleh platelet, basofil dan sel mast menyebabkan reaksi sel endothelial dan kemudian meningkatkan permeabilitas vaskular, sehingga terjadi deposisi kompleks imun pada dinding pembuluh darah. Deposisi kompleks ini terus membangkitkan C3a dan C5a.Platelet juga beragregasi pada kolagen yang terbuka dari dasar membran pembuluh darah, dibantu oleh interaksi dengan regio Fc dari deposit kompleks imun, untuk membentuk mikrothrombi. Agregat platelet terus membentuk vasoaktif amin serta merangsang produksi C3a dan C5a. Polimorf tertarik menuju lokasi secara kemotaktil oleh C5a. Mereka berusaha menelan deposit kompleks imun, tapi tidak dapat melakukannya karena kompleks tersebut menempel erat pada dinding pembuluh darah. Oleh karena itu, polimorf mengeluarkan enzim lisosom ke daerah deposisi. Bila lisosom enzim dilepaskan hanya ke jaringan darah, enzim ini tidak dapat menyebabkan inflamasi, karena mereka dengan cepat dinetralisir oleh serum inhibitor enzim. Tapi bila fagosit berada di dekat kompleks imun yang terperangkap di jaringan oleh ikatan Fc, maka serum inhibitor tidak dapat keluar sehingga enzim dapat merusak jaringan.

Gambar Reaksi hipersensitivitas tipe 3

2.2.3.2. Bentuk Reaksi Hipersensitivitas Tipe IIIPada reaksi hipersensitivitas Tipe III terdapat dua bentuk reaksi, yaitu :1. Reaksi Arthus (bentuk lokal)Maurice Arthus menemukan bahwa penyuntikan larutan antigen secara intradermal pada kelinci yang telah dibuat hiperimun dengan antibodi konsentrasi tinggi akan menghasilkan reaksi eritema dan edema, yang mencapai puncak setelah 3-8 jam dan kemudian menghilang. Lesi bercirikan adanya peningkatan infiltrasi leukosit-leukosit PMN. Hal ini disebut fenomena Arthus yang merupakan bentuk reaksi kompleks imun. Reaksi Arthus di dinding bronkus atau alveoli diduga dapat menimbulkan reaksi asma lambat yang terjadi 7-8 jam setelah inhalasi antigen. Antigen yang disuntikkan intradermal bersama dengan antibodi spesifik dari darah membentuk kompleks imun. Kompleks ini mengaktivasi komplemen dan bertindak pada platelet, yang melepaskan vasoaktif amin. Kompleks imun juga menyebabkan makrofag melepaskan TNF dan IL-1 (tidak terlihat pada gambar). Fragmen komplemen C3a dan C5a menyebabkan degranulasi sel mast dan menarik neutrofil ke dalam jaringan. Produk sel mast, termasuk histamin dan leukotrin, menyebabkan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler. Reaksi inflamasi dibangkitkan oleh enzim lisosom yang dilepaskan dari polimorf. Lebih jauh lagi, C3b yang terdeposit pada kompleks mengopsonisasinya untuk fagositosis. Reaksi Arthus dapat dilihat pada pasien dengan presipitasi antibodi, seperti pada alergi alveolitis ekstrinsik yang berhubungan dengan penyakit Farmers lung.

Gambar Reaksi Arthus

2. Reaksi serum sickness (bentuk sistemik)Istilah ini berasal dari Pirquet dan Schick yang menemukannya sebagai konsekuensi imunisasi pasif pada pengobatan infeksi seperti difteri dan tetanus dengan antiserum asal kuda. Kerusakan patologis pada infeksi korinebakterium dan klostridium disebabkan eksotoksin yang dilepas, sedang kumannya sendiri tidak invasif dan tidak berarti. Penyuntikan serum asing dalam jumlah besar digunakan untuk bermacam-macam tujuan pengobatan. Hal ini biasanya akan menimbulkan keadaan yang dikenal sebagai penyakit serum kira-kira 8 hari setelah penyuntikan. Pada keadaan ini dapat dijumpai kenaikan suhu, pembengkakan kelenjar-kelenjar limpa, ruam urtika yang tersebar luas, sendi-sendi yang bengkak dan sakit yang dihubungkan dengan konsentrasi komplemen serum rendah, dan mungkin juga ditemui albuminaria sementara. Pada berbagai infeksi, atas dasar yang belum jelas, dibentuk Ig yang kemudian memberikan reaksi silang dengan beberapa bahan jaringan normal.

2.2.3.3. Manifestasi Kompleks ImunKompleks imun lebih mudah untuk diendapkan di tempat-tempat dengan tekanan darah yang meninggi dan disertai putaran arus, misalnya dalam kapiler glomerulus, bifurkasi pembuluh darah, pelksus koroid dan korpus silier mata. Pada LES, ginjal merupakan tempat endapan kompleks imun. Pada arthritis rheumatoid, sel plasma dalam sinovium membentuk anti-IgG (FR berupa IgM) dapat menimbulkan kompleks imun di sendi. Beberapa penyakit kompleks imun terlihat pada Tabel :

2.2.4. Reaksi Hipersensitivitas Tipe IVReaksi tipe IV disebut juga reaksi hipersensitivitas lambat, cell mediatif immunity (CMI), Delayed Type Hypersensitivity (DTH) atau reaksi tuberculin yang timbul lebih dari 24 jam setelah tubuh terpajan dengan antigen. Reaksi terjadi karena sel T yang sudah disensitasi tersebut, sel T dengan reseptor spesifik pada permukaannya akan dirangsang oleh antigen yang sesuai dan mengeluarkan zat disebut limfokin. Limfosit yang terangsang mengalami transformasi menjadi besar seperti limfoblas yang mampu merusak sel target yang mempunyai reseptor di permukaannya sehingga dapat terjadi kerusakan jaringan. Reaksi ini dimulai dengan sel T spesifik yang tersensitisasi dan meliputi :1) Hipersensitivitas tipe lambat (delayed type hypersensitivity [DTH]).Merupakan bentuk pokok dari respons terhadap myobacterium tuberculosis, fungs, protozoa, dan parasit serta sensitivitas kulit melalui kontak. DTH juga berperan pada penolakan jaringan. Dengan diperantarai oleh CD4+, sel T-helper 1 (Th1) mengeluarkan sitotoksik spesifik setelah bertemu dengan antigen yang berkaitan dengan major histocompatibility complex (MHC) kelas 1. Sitokin seperti IFN-, IL-2, TNF- memperantarai terjadinya jejas terutama dengan rekrutmen dan mengaktifkan monosit dan macrofag yang tidak spesifik terhadap antigen tertentu. Terjadilah jejas bystander khas yang cukup berarti. Pada antigen persisten dan tidak didegradasi, infiltrasi sel T dan macrofag yang bersifat dini dan non-spesifik digantikan oleh sekumpulan macrofag yang berubah menjadi sel epiteloid dan membentuk granuloma fokal.

Gambar reaksi hipersensitivitas tipe 4

2) Sitoksisitas yang diperantarai sel T. Terbentuknya CD8 sel T sitotoksik (cytotoxic T lymphocytes [CTL]) merupakan pola pokok reaksi terhadap infeksi virus dan sel tumor. CTL berperan juga pada penolakan tandur. CTL mengenal antigen terproses dalam kaitan dengan MHC kelas I. CTL terbentuk karena adanya jejas adalah sangat spesifik dengan jejas bystander yang minimal.Penyakit yang ditimbulkan hipersensitivitas selular cenderung terbatas kepada beberapa organ saja dan biasanya tidak sistemik. Pada penyakit virus hepatitis, virus sendiri tidak sitopatik oleh respon CTL terhadap hepatosit yang terinfeksi.Sel CD8+ yang spesifik untuk antigen atau sel autologus dapat membunuh sel dengan langsung. Pada banyak penyakit autoimun yang terjadi melalui mekanisme selular, biasanya ditemukan baik sel CD4+ maupun CD8+ spesifik untuk self-antigen dan kedua jenis sel tersebut dapat menimbulkan kerusakan.

Contoh-contoh Penyakit yang Diinduksi Sel T

2.2.4.1. Manifestasi Klinis Reaksi Hipersensitivitas Tipe IV2.2.4.1.1. Hipersensitivitas Kontak dan dermatitis kontakDermatitis kontak dikenal dalam klinik sebagai dermatitis yang timbul pada titik tempat kontak dengan alergen. Reaksi maksimal terjadi setelah 48 jam dan merupakan reaksi epidermal. Sel Langerhans sebagai Antigen Presenting Cell (APC) memegang peranan pada reaksi ini.Inokulasi ( penyuntikkan) melalui kulit, cenderung untuk merangsang perkembangan reaksi sel-T dan reaksi-reaksi tipe lambat yang sering kali disebabkan oleh benda-benda asing yang dapat mengadakan ikatan dengan unsur-unsur tubuh untuk membentuk antigen-antigen baru. Kontak dengan antigen mengakibatkan ekspansi klon sel-T yang mampu mengenal antigen tersebut dan kontak ulang menimbulkan respon seperti yang terjadi pada CMI. Kelainan lain yang terjadi ialah pelepasan sel epitel (spongiosis) menimbulkan infiltrasi sel efektor. Hal ini menimbulkan dikeluarkannya cairan dan terbentuknya gelembung.2.2.4.1.2. Reaksi TuberkulinHipersensitivitas tuberkulin adalah bentuk alergi bakterial spesifik terhadap produk filtrat biakan M. Tuberkulosis yang bila disuntikkan ke kulit, akan menimbulkan reaksi hipersensitivitas lambat Tipe IV. Yang berperan dalam reaksi ini adalah sel Limfosit CD4+ T. Setelah suntikan intrakutan ekstrak tuberkulin atau derivat protein yang dimurnikan, daerah kemerahan dan indurasi timbul di tempat suntikan dalam 12-24 jam. Pada individu yang pernah kontak dengan M. Tuberkulosis, kulit bengkak terjadi pada hari ke 7-10 pasca induksi. Reaksi dapat dipindahkan melalui sel T.

Gambar formasi granuloma pada hipersensitivitas tipe 4

2.2.4.1.3 Reaksi Jones MoteReaksi Jones Mote adalah reaksi hipersensitivitas Tipe IV terhadap antigen protein yang berhubungan dengan infiltrasi basofil mencolok di kulit di bawah dermis. Reaksi juga disebut hipersensitivitas basofil kutan. Dibanding dengan hipersensitivitas Tipe IV lainnya, reaksi ini lemah dan dan nampak beberapa hari setelah pajanan dengan protein dalam jumlah kecil. Tidak terjadi nekrosis dan reaksi dapat di induksi dengan suntikan antigen larut seperti ovalbumin dengan ajuvan freund. 2.2.4.1.4 T Cell Mediated Cytolysis (Penyakit CD8+)Dalam T Cell Mediated Cytolysis kerusakan terjadi melalui sel CD8+/ CTL /Tc yang langsung membunuh sel sasaran. Penyakit yang ditimbulkan hipersensitif selular cenderung terbatas pada beberapa organ saja dan biasanya tidak sistemik. Pada penyakit virus hepatitis, virus sendiri tidak sitopatik, tetapi kerusakan ditimbulkan oleh respon CTL terhadap hepatosit yang terinfeksi.Sel CD8+ yang spesifik untuk antigen atau sel autologus dapat membunuh sel secara langsung. Pada banyak penyakit autoimun yang terjadi melalui mekanisme selular, biasanya ditemukan baik sel CD4+ maupun CD8+ spesifik untuk self antigen dan kedua jenis sel tersebut dapat menimbulkan kerusakan.

2.2.5Reaksi Hipersensitivitas tipe 5Hipersensitivitas tipe V adalah jenis terakhir dari hipersensitivitas di mana antibodi yang diproduksi dengan merangsang target sel tertentu. Tipe V ini adalah jenis tambahan yang digunakan sebagai perbedaan dari reaksi 2 Jenis. Reaksi-reaksi ini terjadi ketika antibodi IgG diarahkan antigen permukaan sel memiliki efek merangsang pada target mereka. Contoh paling jelas adalah Graves penyakit yang disebabkan oleh antibodi yang merangsang thyroid-stimulating hormon reseptor, menyebabkan overactivity dari kelenjar tiroid. Selain itu terdapat juga contoh penyakit lain seperti Myasthenia Gravis, Tiroiditis Hashimoto, lupus eritematosus sistemik. Penggunaan Tipe 5 ini jarang terjadi. Kondisi ini lebih sering diklasifikasikan sebagai Tipe 2, meskipun kadang-kadang mereka secara khusus dipisahkan menjadi subkategori sendiri tipe 2.

BAB IIIKESIMPULAN

Hipersensitivitas adalah suatu respon antigenik yang berlebihan yang terjadi pada individu yang sebelumnya telah mengalami suatu sensitisasi dengan antigen atau alergen tertentu. Reaksi hipersensitivitas dapat dibagi menurut waktu dan mekanisme kerjanya, yakni tipe lambat, intermediat, dan cepat. Selain itu. berdasarkan mekanisme reaksi imunologik yang terjadi, Gell & Coomb membagi reaksi hipersensitivitas menjadi 4 golongan, yaitu: Tipe I (reaksi anafilatik), Tipe II (reaksi sitotoksik), Tipe III (reaksi kompleks imun), dan Tipe IV (reaksi tipe lambat). Terdapat pula tipe V (reaksi stimulatoris) yang merupakan pembedaan dari tipe II. Tipe V hanya digunakan terbatas saja sebagai contoh pada penderita penyakit Graves dan Myastenia Gravis.

DAFTAR PUSTAKA

Abbas AK, Lichtman AH,PoberJS.Disease caused by humoral and cell-mediated immune reactions. Dalam: Cellular and molecular immunology. Philadelphia: WB Saunders, 2004; 353-76.Baratawidjaja, Karnen Garna, Iris rengganis. 2012. Imunologi Dasar Edisi ke-10. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI)Bellanti JA.Mechanism of tissue injury produced by immunologic reactions. Dalam: Bellanti JA, penyunting. Immunology III. Philadelphia: WB Saunders, 1985; 218-60.Gell PGH, Coombs RRA, eds. Aspek Klinis Imunologi. 1st ed. Oxford, Inggris: Blackwell; 1963.Gupte, Satish, MD. 1990. Mikrobiologi Dasar Edisi ketiga. Jakarta: Binarupa AksaraHitam, CA. Hipersensitivitas Tipe Tertunda: Teori ini dengan Dermatol Perspektif bersejarah. J. online (Mei 1999) 5 (1): 7 di http://dermatology.cdlib.org/DOJvol5num1/reviews/black.htmlKresno, Siti Boedina. 2010. Imunologi: Diagnosis dan Prosedur Laboratorium edisi keempat. Jakarta: Kedokteran universitas IndonesiaMitchell, Richard Sheppard, Kumar, Vinay; Abbas, Abul K.; Fausto, Nelson (2007)Nussenblatt RB, Whitcup SM, Palestine GP: Fundamentals and Clinical Practice, 2nd ed., 1996Radji, Dr. Maksum, M. Biomed. 2010. Imunologi & Virologi. Jakarta: PT. ISFI PenerbitanRajan TV (July 2003). "The Gell-Coombs classification of hypersensitivity reactions: a re-interpretation" . Trends Immunol. 24 (7)Robbins. Dasar Patologi.. Philadelphia:. Saunders ISBN 1-4160-2973-7 . 8th editionRoitt IM.Essential immunology; edisi ke-6. Oxford:Blackwell Scioentific, 1988; 233-67.Stiehm ER.Immunologic disorders in infants and children. Edisi ke-3. Philadelphia: WB Saunders, 1989.Whitcup SM, Nussenblatt RB: Immunologic mechanisms of uveitis: New targets for immunomodulation. Arch Ophthalmol 115:520, 1997