permasalahan dan pengembangan irigasi lahan kering

6
PERMASALAHAN dan PENGEMBANGAN IRIGASI LAHAN KERING di NUSA TENGGARA BARAT PENDAHULUAN Sebagian besar lahan di propinsi NTB berupa lahan kering 1.807.463 ha atau 84% dari luas wilayah NTB (Suwardji, 2004). Pengertian lahan kering yang digunakan mengacu pada difinisi dari Soil Survey Staffs (1998), lahan kering adalah hamparan lahan yang tidak pernah tergenang atau digenangi air selama periode sebagian besar waktu dalam setahun. Topografi wilayah lahan kering di Propinsi NTB cukup beragam, mulai dari datar, bergelombang hingga berbukit dan bergunung dengan kemiringan antara 0% sampai lebih dari 40%. Luas lahan kering dengan kemiringan 0-2% mencapai 16,57%; kemiringan 3-15% seluas 26,55%; kemiringan 16-40% seluas 35,06%; dan kemiringan lebih dari 40% seluas 21,83%. Jadi sebagian besar lahan kering di propinsi NTB memiliki kemiringan di atas 15% (Renstra Lahan Kering, 2003). Jenis tanah yang terdapat di lahan kering didominasi oleh tiga ordo yaitu entisol, iseptisol dan vertisol. Suwardji (2003) mengemukakan bahwa di lahan kering propinsi NTB ditemukan 17 jenis sub ordo tanah. Kesuburan tanah sangat rendah yang dicirikan oleh rendahnya kandungan bahan organik (Ma’shum, 1990), agregat tanah yang kurang mantap (Tarudi, et al., 1989), peka terhadap erosi, dan kandungan hara utama (N, P, K) yang relatif rendah (Ma’shum, et al., 2003). Dari luas lahan kering tersebut di atas yang riil dapat dikembangkan dengan mempertimbangkan status lahan adalah sekitar 626.034,60 hektar atau sekitar 31% luas wilayah NTB. Sebagian besar penggunaan lahan kering di Propinsi NTB untuk hutan negara (931.737 ha) atau 51,5%; hutan rakyat (241.253 ha) atau 13,3%; tegalan (173.774 ha) atau 9,6%; ladang (49 330 ha) atau 2,70%; padang rumput (38.132 ha) atau 2,1%; kebun (36.663 ha) atau 2,00%; pekarangan (32.667 ha) atau 1,8%; dan penggunaan lainnya seluas (303.898 ha) atau 16,9% (Suwardji, 2004). Lahan kering yang banyak digunakan untuk kegiatan budidaya pertanian di wilayah lahan kering Propinsi NTB meliputi: sawah tadah hujan, tegalan, ladang, perkebunan dan kebun campuran (Renstra Lahan Kering, 2003). Potensi pemanfaatan lahan kering di wilayah NTB untuk pengembangan pertanian sangatlah besar. Namun, pemanfaatan tersebut tidak akan maksimal apabila tidak didukung oleh sistem irigasi lahan kering yang baik yang baik. Irigasi lahan kering berperan untuk membantu meningkatkan produktivitas lahan kering. Pada kenyataannya, prasarana dan/atau teknologi irigasi lahan kering yang tersedia di NTB terbilang kurang memadai. Pengelolaannya pun tidak d ilakukan semaksimal mungkin.

Upload: archelone

Post on 10-Oct-2015

124 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

pengembangan irigasi lahan kering

TRANSCRIPT

  • PERMASALAHAN dan PENGEMBANGAN IRIGASI LAHAN KERING

    di NUSA TENGGARA BARAT

    PENDAHULUAN

    Sebagian besar lahan di propinsi NTB berupa lahan kering 1.807.463 ha atau 84% dari

    luas wilayah NTB (Suwardji, 2004). Pengertian lahan kering yang digunakan mengacu pada

    difinisi dari Soil Survey Staffs (1998), lahan kering adalah hamparan lahan yang tidak pernah

    tergenang atau digenangi air selama periode sebagian besar waktu dalam setahun.

    Topografi wilayah lahan kering di Propinsi NTB cukup beragam, mulai dari datar,

    bergelombang hingga berbukit dan bergunung dengan kemiringan antara 0% sampai lebih

    dari 40%. Luas lahan kering dengan kemiringan 0-2% mencapai 16,57%; kemiringan 3-15%

    seluas 26,55%; kemiringan 16-40% seluas 35,06%; dan kemiringan lebih dari 40% seluas

    21,83%. Jadi sebagian besar lahan kering di propinsi NTB memiliki kemiringan di atas 15%

    (Renstra Lahan Kering, 2003).

    Jenis tanah yang terdapat di lahan kering didominasi oleh tiga ordo yaitu entisol,

    iseptisol dan vertisol. Suwardji (2003) mengemukakan bahwa di lahan kering propinsi NTB

    ditemukan 17 jenis sub ordo tanah. Kesuburan tanah sangat rendah yang dicirikan oleh

    rendahnya kandungan bahan organik (Mashum, 1990), agregat tanah yang kurang mantap

    (Tarudi, et al., 1989), peka terhadap erosi, dan kandungan hara utama (N, P, K) yang relatif

    rendah (Mashum, et al., 2003).

    Dari luas lahan kering tersebut di atas yang riil dapat dikembangkan dengan

    mempertimbangkan status lahan adalah sekitar 626.034,60 hektar atau sekitar 31% luas

    wilayah NTB. Sebagian besar penggunaan lahan kering di Propinsi NTB untuk hutan negara

    (931.737 ha) atau 51,5%; hutan rakyat (241.253 ha) atau 13,3%; tegalan (173.774 ha) atau

    9,6%; ladang (49 330 ha) atau 2,70%; padang rumput (38.132 ha) atau 2,1%; kebun (36.663

    ha) atau 2,00%; pekarangan (32.667 ha) atau 1,8%; dan penggunaan lainnya seluas (303.898

    ha) atau 16,9% (Suwardji, 2004). Lahan kering yang banyak digunakan untuk kegiatan

    budidaya pertanian di wilayah lahan kering Propinsi NTB meliputi: sawah tadah hujan,

    tegalan, ladang, perkebunan dan kebun campuran (Renstra Lahan Kering, 2003).

    Potensi pemanfaatan lahan kering di wilayah NTB untuk pengembangan pertanian

    sangatlah besar. Namun, pemanfaatan tersebut tidak akan maksimal apabila tidak didukung

    oleh sistem irigasi lahan kering yang baik yang baik. Irigasi lahan kering berperan untuk

    membantu meningkatkan produktivitas lahan kering. Pada kenyataannya, prasarana

    dan/atau teknologi irigasi lahan kering yang tersedia di NTB terbilang kurang memadai.

    Pengelolaannya pun tidak dilakukan semaksimal mungkin.

  • Penulisan paper ini bertujuan untuk membahas permasalahan pada pengembangan

    dan pengelolaan sistem irigasi lahan kering di Propinsi NTB. Dan selanjutnya membahas

    serta memberikan saran tentang bagaimana pengembangan dan pemanfaatan lahan kering

    yang baik, sehingga diperoleh produktivitas maksimum.

    PEMBAHASAN

    1. PERMASALAH pada PENGEMBANGAN dan PENGELOLAAN SISTEM IRIGASI LAHAN

    KERING

    Suwardji, (2004) menyatakan bahwa pemanfaatan dan pengembangan pertanian

    lahan kering beserta segala infrastrukturnya (jaringan irigasi lahan kering) dari tahun ke

    tahun memberikan hasil yang belum memuaskan karena adanya berbagai

    permasalahan/kendala, baik permasalahan biofisik lahan, ekonomi maupun sosial budaya

    dan kelembagaan. Beberapa permasalahan tersebut diantaranya adalah: (a) ketersediaan

    sumberdaya air yang terbatas, (b) topografi yang tidak datar, (c) lapisan olah tanah yang

    dangkal dan kurang subur, (d) infra struktur ekonomi yang sangat terbatas, (e) penerapan

    teknologi pertanian yang belum memadai, (f) kondisi kelembagaan pertanian yang masih

    rendah, dan (g) partisipasi pengusaha swasta yang masih rendah. Akibatnya, pengembangan

    ekonomi dan kesejahteraan hidup masyarakat di wilayah lahan kering masih sangat terbatas,

    untuk itu diperlukan suatu kebijakan pembangunan lahan kering di Propinsi NTB.

    Terlepas dari pendapat ahli yang telah disebutkan di atas, petani lahan kering

    berpendapat bahwa penyebab lambatnya pengembangan system irigasi lahan kering di NTB

    adalah (a) infrastruktur ekonomi di wilayah lahan kering yang sangat terbatas, (b) kurangnya

    teknologi tepat guna yang cocok diterapkan di wilayah NTB (c) kemampuan pemerintah

    daerah dan masyarakat dalam pengembangan pertanian lahan kering yang relatif terbatas,

    dan (d) partisipasi berbagai stakeholder utamanya pengusaha swasta dalam pengembangan

    wilayah lahan kering yang masih kurang.

    Lebih lanjut, pengembangan jaringan irigasi lahan kering juga terhambat oleh adanya

    anggapan bahwa keadaan biofisik di wilayah NTB kurang menguntungkan. Hal tersebut

    mengakibatkan minimnya tingkat pembangunan infrastruktur irigasi lahan kering apabila

    dibandingkan dengan pembangunan infrastruktur irigasi konvensional. Keadaan biofisik

    lahan kering di Nusa Tenggara Barat umumnya diasosiasikan sebagai lahan-lahan kritis

    dengan petunjuk relatif rentan terhadap fenomena kerusakan lahan akibat erosi, kesuburan

    serta produktivitas tanah yang relatif rendah, keadaan iklim yang kurang menguntungkan.

    Keterbatasan air tahunan merupakan kendala yang membatasi pola pertanaman yang ada di

    daerah lahan kering. Fluktuasi lengas tanah pada sistem pertanaman lahan kering sangat

    tergantung pada pasokan air hujan (Sukartono, dkk., 2001). Degradasi lahan yang muncul

    adalah erosi pada lahan perbukitan dan atau lahan miring, makin menurunnya kualitas

    kesuburan tanah (lapisan tanah menipis, agregat tanah tidak stabil), aliran permukaan yang

  • terjadi musim hujan lebih dari 70% hilang menuju ke laut (Yasin , 2000), menurunnya

    kualitas DAS seperti DAS Dodokan dan DAS Jelateng di Lombok sebagai intensifnya intervensi

    manusia di lahan kering bagian tengah dan hulu DAS (Rapat Teknis Bapedalda, 2000).

    Pengelolaan sistem pertanaman (cropping system) dan pengelolaan tanah dan air dalam arti

    luas di tingkat petani masih belum memadai baik dari aspek kelestarian sumberdaya alam

    (berwawasan lingkungan) dan keberlanjutan pendapatan (berwawasan agribisnis). Hal ini

    sangat terkait dengan penguasaan petani di wilayah pedesaan lahan kering terhadap

    teknologi budidaya dan konservasi air yang masih jauh dari memadai. Implikasi keadaan

    tersebut tercermin dari rata-rata pendapatan petani pedesaan di wilayah lahan kering NTB

    masih tergolong sangat rendah.

    2. SOLUSI terhadap BERBAGAI KENDALA PENGHAMBAT PENGEMBANGAN IRIGASI LAHAN

    KERING

    2.1 Pemanfaatan teknologi tepat guna yang cocok diterapkan di NTB

    Seperti yang telah disebutkan di atas, sumber daya air yang tersedia di sebagian

    besar wilayah NTB amatlah terbatas. Karena itu, diperlukan teknik atau teknologi irigasi

    lahan kering dengan tingkat efisiensi penggunaan air yang tinggi. Jumlah air irigasi yang

    diberikan haruslah ditetapkan berdasarkan kebutuhan tanaman dan kemampuan tanah

    memegang air.

    Ada beberapa sistem irigasi lahan kering yang dapat diterapkan di NTB, yaitu:

    irigasi tetes (drip irrigation),

    irigasi curah (sprinkler irrigation),

    irigasi saluran terbuka (open ditch irrigation), dan

    irigasi bawah permukaan (subsurface irrigation).

    Untuk penggunaan air yang efisien, irigasi tetes merupakan salah satu alternatif. Misal

    sistem irigasi tetes adalah pada tanaman cabai.

    Ketersediaan sumber air irigasi sangat penting. Salah satu upaya mencari potensi

    sumber air irigasi adalah dengan melakukan deteksi air bawah permukaan (groundwater)

    melalui pemetaan karakteristik air bawah tanah. Cara ini dapat memberikan informasi

    mengenai sebaran, volume dan kedalaman sumber air untuk mengembangkan irigasi

    suplemen. Deteksi air bawah permukaan dapat dilakukan dengan menggunakan Terameter.

    2.2 Diperlukan peran dari pemerintah NTB melalui berbagi kebijakan

    Pemerintah NTB seharusnya mengeluarkan berbagai kebijakan yang dapat menjamin

    pemberdayaan lahan kering secara berkelanjutan. Agar lahan kering dapat diberdayakan

    secara berkelanjutan, diperlukan perubahan paradigma kebijakan pemerintah baik dari

    pusat sampai ke daerah tentang peran lahan kering dalam pembangunan pertanian

    berkelanjutan. Sampai saat ini kebijakan nasional yang secara eksplisit tertuang baru dalam

  • GBHN yaitu pembangunan berkelanjutan. Komitmen nasional tersebut harus

    diimplementasikan dalam bentuk kebijakan daerah (Propeda). Untuk propinsi NTB

    sebanarnya secara formal Pola Dasar Pembangunannya telah mempunyai prioritas utama

    dalam pembangunan pertanian. Kemudian lebih lanjut selayaknya perlu dijabarkan dalam

    rencana strategis pengembangan lahan kering yang berkelanjutan. Secara rinci tentu

    dilanjutkan adanya aksi tindak dalam kebijakan operasional termasuk insentif, dukungan

    dana untuk pengembangan dan kebijakan lain yang berpihak kepada pemberdayaan

    masyarakat wilayah lahan kering. Untuk itulah payung besar dalam rencana strategi

    pengembangan lahan kering propinsi NTB menjadi sangat mendesak dimiliki oleh Propinsi

    NTB, sehingga dapat menjadi entry point bagi berbagai pihak baik dari dalam maupun luar

    NTB yang ingin ikut berpartisipasi dalam pengembangan wilayah lahan kering di NTB.

    Adanya paying yang jelas dapat mendorong keterlibatan berbagai pihak (multistakeholders)

    baik pemerintah, swasta dan masyarakat lain.

    Sebagai langkah awal, pemerintah NTB melalui Badan Penelitian dan Pengembangan

    Pertanian (Badan Litbang Pertanian) telah meluncurkan program Prima tani. Tujuan utama

    Prima Tani adalah untuk mempercepat waktu, meningkatkan kadar, dan memperluas

    prevalensi adopsi teknologi inovatif yang dihasilkan oleh Badan Litbang Pertanian serta

    untuk memperoleh umpan balik mengenai karakteristik teknologi tepat-guna spesifik

    pengguna dan lokasi, yang merupakan informasi esensial dalam rangka mewujudkan

    penelitian dan pengembangan berorientasi kebutuhan pengguna. Dengan perkataan lain,

    Prima Tani dirancang berfungsi ganda, sebagai modus diseminasi dan sekaligus sebagai

    laboratorium lapang penelitian dan pengembangan Badan Litbang Pertanian dengan dua

    tujuan utama yaitu Prima Tani sebagai modus diseminasi hasil-hasil penelitian dan

    pengembangan serta Prima Tani sebagai laboratorium lapang penelitian dan pengembangan

    pertanian. Diharapkan melalui program prima tani dapat dihasilkan teknologi irigasi lahan

    kering yang benar-benar cocok diaplikasikan di wilayah NTB.

    2.3 Perbaikan aspek biofisik

    Perbaikan aspek biofisik bertujuan untuk mempermudah pembangunan serta

    pengaplikasian sistem irigasi lahan kering. Sehingga diharapkan dapat memancing

    pertumbuhan pemberdayaan lahan kering serta pembangunan jaringan irigasi lahan kering.

    Aspek biofisik pada suatu sistem pengelolaan pertanian lahan kering meliputi faktor-

    faktor yang berkaitan dengan kemampuan dan kesesuaian lahan serta peningkatan kualitas

    dan produktivitas lahan. Paket teknologi alternatif yang akan diterapkan dalam rangka

    peningkatan kualitas dan produktivitas lahan haruslah dapat memberikan kompensasi

    keterbatasan kemampuan alamiah lahan tersebut. Dalam hal ini teknologi yang sesuai

    adalah teknologi tepat guna yang mengutamakan daya dukung lahan, baik dilihat dari upaya

    mengeliminasi pengaruh erosi maupun faktor-faktor pembatas kesuburan tanah dan

    keterbatasan ketersediaan air.

    Penerapan teknologi tersebut dapat berbeda antara wilayah tangkapan hujan (pluvial),

    wilayah konservasi air dan wilayah pengguna air.

  • Bagi wilayah tangkapan hujan, penerapan teknologinya ditujukan untuk:

    (i) Memperbesar infiltrasi dan perkolasi untuk memperkaya air tanah dan debit sumber-

    sumber arteris.

    (ii) Mempertinggi daya simpan air tanah melalui penghijauan dan reboisasi (Justika, dkk.

    1997)

    Pada wilayah konservasi air (freatik) difokuskan pada upaya berikut:

    (i) Mencegah erosi lapisan tanah melalui penerapan sistem olah tanah konservasi,

    pemberian mulsa organik, pembuatan terassaring dan pertanaman menurut kontur,

    system budidaya tanaman lorong (Alley cropping).

    (ii) Memperbesar daya tampungan air hujan dan air permukaan melalui pembuatan

    tandon air, bendungan dan embung. Hasil penelitian Ma`shum, Lolita, Sukartono, dan

    Soemeinaboedhy (2000) mengungkapkan bahwa hasil panenan air hujan di wilayah

    lahan kering Pringgabaya Lombok Timur (6m3 air/100m2 areal tangkapan) dapat

    dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan air paska musim hujan.

    Sedangkan implimentasi teknologi di wilayah pengguna air diarahkan pada tindakan :

    (i) Meningkatkan efisiensi pemanfaatan air melalui pemilihan varietas komoditas

    tanaman pangan yang toleran terhadap kekeringan, pengembangan pola

    pertanaman campuran pangan - legum serta rotasi tanaman (Mashum, dkk, 2002)

    (ii) Merawat kesuburan tanah melalui konsep pengelolaan pertanian organik yang ramah

    lingkungan dan sistem olah tanah konservasi. Teknologi budidaya yang memadukan

    konsep efisiensi pemanfaatan air dan perawatan kesuburan tanah di lahan kering

    telah banyak tersedia. Hasil penelitian Ma`shum, Lolita, dan Sukartono selama tiga

    tahun (1999-2002) di lahan kering Pringgabaya mengungkapkan bahwa pengaturan

    rotasi tanaman (Crop sequence) tumpang sari kedelai/jagung komak dengan

    penerapan paket pemupukan kombinasi (anorganik + organik + hayati) mampu

    meningkatkan kualitas kesuburan tanah dan produktivitas lahan (Lampiran 1, 2, 3,

    dan 4)

    KESIMPULAN

    Masalah utama yang dihadapi NTB dalam pengembangan infrastruktur irigasi lahan

    kering adalah (1) kondisi fisik di lapangan, (2) kurang maksimalnya peran pemerintah dan, (3)

    kurang maksimalnya penerapan teknologi tepat guna di lapangan. Untuk mengatasi hal

    tersebut beberapa hal yang perlu dilakukan adalah (1) pemanfaatan teknologi tepat guna

    yang cocok diterapkan di NTB, (2) diperlukan peran dari pemerintah NTB melalui berbagi

    kebijakan dan, (3) perbaikan aspek biofisik.

  • DAFTAR PUSTAKA

    Suwardji, A. Rakman, S.T. Wulan, B. Munir., 2003. Rencana Strategis Pengembangan Wilayah

    Lahan Kering Propinsi Nusa Tenggara Barat. Tahun 2003 2007.