sedasi dan pelumpuh otot icu

Upload: tias-diah

Post on 09-Feb-2018

276 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

  • 7/22/2019 Sedasi Dan Pelumpuh Otot Icu

    1/59

    JAIJurnal Anestesiologi Indonesia

    Volume II Nomor 02, Juli 2010

    Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif

    Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro danIkatan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Reanimasi

    (IDSAI) Jawa Tengah

    Dipersembahkan untuk kemanusiaan khususnya bangsa Indonesiamelalui insan yang berkarya, belajar dan tertarik di bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif

  • 7/22/2019 Sedasi Dan Pelumpuh Otot Icu

    2/59

    Sejawat terhormat,

    Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini

    memuat artikel penelitian klinik dan preklinik.

    Diantaranya adalah mengenai pengaruh injeksi

    levobupivakain pada IL-10 pada luka insisi,

    Pengaruh Infiltrasi Levobupivakain pada Skor

    Histologis MHC Kelas 1, dan Perbedaan Agregasi

    Trombosit pada pemberian Propofol dan Penthotal

    Dua tinjauan pustaka, mengenai Pengelolaan

    Cairan Pediatrik dan Penggunaan Sedasi dan

    Pelumpuh Otot di ICU diharapkan menambah

    wawasan kita dalam bidang anestesi dan terapi

    intensif.

    Semoga bermanfaat.

    Salam,

    dr. Uripno Budiono, SpAn

    Artikel dalam jurnal ini boleh di-copy untuk

    kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan.

    Apabila akan menggunakannya sebagai acuan,

    hendaknya mencantumkan artikel tersebut

    sebagai daftar pustaka dengan sitasinya.

    Jurnal Anestesiologi Indonesia

    Pelindung:

    Dekan Fakultas KedokteranUniversitas Diponegoro

    Ketua Program Studi Anestesiologidan Terapi Intensif FK UNDIP

    Ketua Ikatan Dokter SpesialisAnestesiologi dan Reanimasi

    Indonesia (IDSAI) Cabang Jawa Tengah

    Ketua Redaksi:

    dr. Uripno Budiono, SpAn

    Wakil Ketua Redaksi:

    dr. Johan Arifin, SpAn, KAP

    Anggota Redaksi:

    dr. Abdul Lian Siregar, SpAn, KNA

    dr. Hariyo Satoto, SpAn

    dr. Witjaksono, MKes, SpAn, KAR

    dr. Ery Leksana, SpAn, KIC, KAO

    dr. Heru Dwi Jatmiko, SpAn, KAKV, KAP

    dr. Jati Listianto Pujo, SpAn, KIC

    dr. Doso Sutiyono, SpAn

    dr. Widya Istanto N, SpAn, KAKV, KAR

    dr. Yulia Wahyu Villyastuti, SpAn

    dr. Himawan Sasongko, SpAn, MSi.Med

    dr. Aria Dian Primatika, SpAn, Msi. Med

    dr. Danu Soesilowati, SpAn

    dr. Hari Hendriarto, SpAn, Msi. Med

    Mitra Bestari:

    Prof. dr.Soenarjo,SpAn, KMN, KAKV

    Prof. dr.Marwoto, SpAn, KIC, KAO

    Dr.dr. Sofyan Harahap, SpAn, KNA

    Seksi Usaha:

    dr. Mochamat

    Administrasi:

    Maryani, Kamtini, Nik Sumarni

    Jurnal Anestesiologi diterbitkan 3 kali pertahun, setiap bulan Maret, Juli dan

    November sejak tahun 2009. Harga

    Rp.200.000,- per tahun.

    Untuk berlangganan dan sirkulasi:

    Ibu Nik Sumarni (081326271093)

    Ibu Kamtini (081325776326)

    Alamat Redaksi:

    Program Studi Anestesiologi dan Terapi

    Intensif FK UNDIP/ RS Dr. Kariadi,

    Jl. Dr. Sutomo 16 Semarang.

    Telp. 024-8444346.

    JAI

  • 7/22/2019 Sedasi Dan Pelumpuh Otot Icu

    3/59

    DAFTAR ISI

    PENELITIAN Hal

    Mochamad Rofii, Hariyo Satoto, Mohamad Sofyan Harahap

    Perbandingan Kadar IL-10 Serum dengan dan Tanpa Infiltrasi Levobupivakain pada

    Nyeri Pasca Insisi

    Infiltrasi Levobupivakain 0,25 % disekitar luka insisi meningkatkan kadar IL-10 serum.Kenaikan kadar IL-10 serum tertinggi adalah pada kelompok infiltrasi dengan

    Levobupivakain 0,25 % yang terjadi pada hari kedua yaitu sebesar 130 %.

    70

    Aria Dian Primatika, Uripno Budiono, Ery Leksana

    Pengaruh Infiltrasi Levobupivakain pada Skor Histologis MHC Kelas 1 pada

    Penyembuhan Luka

    Ekspresi MHC kelas I (skor histologi MHC I) pada kelompok dengan infiltrasi

    levobupivakain lebih rendah dibandingkan dengan kelompok tanpa infiltrasi

    levobupivakain.

    81

    Arliansah, Widya Istanto, Hariyo SatotoPerbedaan Agregasi Trombosit pada Penderita yang Mendapat Propofol dan Penthotal

    Propofol secara bermakna menurunkan agregasi maksimal trombosit dan menyebabkan

    hipoagregasi lebih banyak daripada penthotal.

    91

    TINJAUAN PUSTAKA

    Aditya Kisara, Hariyo Satoto, Johan Arifin

    Pengelolaan Cairan Pediatrik

    Pemberian cairan pada anak berbeda dengan pemberian cairan pada dewasa. Untuk

    memudahkan menghitug jumlah kebutuhan cairan rumatan pada anak dapat digunakan

    rumus dari Holliday dan Segar. Pada anak yang akan mejalani operasi, perlu diberikan

    cairan pengganti puasa dan cairan yang hilang selama operasi

    107

    Tatag Istanto, Jati Listiyanto, Danu Soesilowati

    Penggunaan Sedasi dan Pelumpuh Otot di Unit Rawat Intensif

    Sedasi sebaiknya diberikan pada pasien dengan penyakit kritis yang dirawat di ICU, dan

    pelumpuh otot jarang digunakan di ICU karena biasanya sedasi saja sudah mencukupi

    untuk menenangkan pasien dan memberikan kenyamanan pasien dengan ventilasi

    mekanik. Penggunaan sedasi yang terlalu berlebihan atau telalu sedikit meningkatkan

    angka morbiditas pasien. Penggunaan pelumpuh otot dalam waktu lama memiliki banyak

    kerugian yang harus dipertimbangkan.

    116

  • 7/22/2019 Sedasi Dan Pelumpuh Otot Icu

    4/59

    70

    Jurnal Anestesiologi Indonesia

    Volume II, Nomor 2, Tahun 2010

    PENELITIAN

    Perbandingan Kadar IL-10 Serum dengan dan Tanpa Infiltrasi Levobupivakain

    pada Nyeri Pasca Insisi

    Mochamad Rofii*, Hariyo Satoto*, Mohamad Sofyan Harahap*

    *Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSDK, Semarang

    ABSTRACT

    Background : Incicion pain provokes the increase of glucocorticoid hormone that extends

    periode of the wound healing. Pain transmission will be inhibited by Levobupivacaine 0,25 %

    infiltration. This therapy will decrease the cellular immunity suppression so the macrophage

    function in helping the T cell activation are not inhibited. This cell activation will increase

    the IL-10 serum level.Objective : To compare IL-10 serum level with and without Levobupivacaine 0,25 %

    infiltration post incicion.

    Methods : This laboratoric experimental study was designed with randomized post test only

    control group method on thirty five Wistar rats. The experimental group was devided

    randomly into three groups. The control group (K) contained 5 Wistar rats, group P1 and P2

    contained 15 Wistar rats of each. In the group K, the rats were anesthesized without incicion

    and without Levobupivacaine 0,25 % infiltration, the IL-10 serum level was examined on the

    day one. In the group P1, the rats were anesthesized followed with 2 cm subcutaneous depth

    incicion and without Levobupivacaine 0,25 % injection. And in the group P2 , the rats wereanesthesized followed by 2 cm subcutaneous depth incicion and Levobupivacaine 0.25 %

    infiltration was administered. The reinfiltration on the group P1 and P2 was administered

    every 8 hour twice daily. IL- 10 serum level was examined on the day 1, 2 and 3. And then

    compared among three group.The statistic datas were analysed with SPSS 10,0 for windows

    programme.

    Resul ts : The mean of rats body weight among three groups were not significantly different (

    p = 0,874 ). IL-10 serum level in the group K was 0,13 0,02 pg/ml. The level of IL-10 serum

    in the group P1 on day one was 0,16 0,12 pg/ml ; day two was 0,16 0,06 pg/ml and day

    three was 0,18 0,07 pg/ml. There were 23 % increased of IL-10 serum level on the day oneand day two, 38 % on the day three in the group P1. The IL-10 serum level in group P2 on

    day one, two and three were 0,21 0,15 pg/ml ; 0,30 0,11 pg/ml ; 0,29 0,13 pg/ml

    respectively. And in the group P2 there were 61 % increased of IL-10 serum level on the day

    one, 130 % on the day two and 123 % on the day three respectively. IL-10 serum level among

    three groups were significantly different with p = 0,000. The clinical parameter datas in the

    three groups were normaly distributed. The increase of IL-10 serum level was highest in

    group with Levobupivacaine 0,25 % infiltration on day two ( p < 0,05 was considered

    significant ).

  • 7/22/2019 Sedasi Dan Pelumpuh Otot Icu

    5/59

    71

    Jurnal Anestesiologi Indonesia

    Volume II, Nomor 2, Tahun 2010

    Conclusions :Infiltration of Levobupivacaine 0,25 % is increased IL-10 serum level. There

    are 23 % increased of IL-10 serum level on the day one and day two, 38 % on the day three

    in the group P1. And in the group P2 there are 61 % increased of IL-10 serum level on the

    day one, 130 % on the day two and 123 % on the day three respectively. The highest IL-10

    serum level is 130 % that achieve in group with Levobupivacaine 0,25 % infiltration on daytwo.

    Keywords :IL-10 serum level, Levobupivacaine 0,25 % infiltration, incision pain.

    ABSTRAK

    Latar belakang : Nyeri insisi menyebabkan peningkatan hormon glukokortikoid yang

    memperlama penyembuhan luka. Transmisi nyeri dapat dihambat dengan infiltrasi

    Levobupivakain 0,25 %. Terapi ini akan mengurangi supresi imunitas seluler sehingga fungsi

    makrofag dalam membantu aktifasi sel T tidak terhambat. Aktifasi sel T ini diduga akanmeningkatkan kadar IL-10 serum.

    Tujuan : Membandingkan kadar IL-10 serum dengan dan tanpa infiltrasi Levobupivakain

    0,25 %.

    Metode : Dilakukan penelitian eksperimental laboratorik dengan disain Randomized Post

    test only control group design,pada tigapuluh lima ekor tikus Wistar.Kelompok penelitian

    dibagi menjadi tiga kelompok secara acak. Kelompok kontrol (K) lima ekor tikus, kelompok

    Perlakuan 1 (P1) dan kelompok Perlakuan 2 (P2) masing-masing limabelas ekor tikus.

    Kelompok kontrol (K) tikus dibius, tanpa insisi dan tanpa infiltrasi lalu diperiksa kadar IL-10

    serumnya pada hari pertama. Kelompok Perlakuan 1 (P1) tikus dibius lalu dilakukan insisisepanjang 2 cm dipunggung kedalaman subkutis dan injeksi tanpa Levobupivakain 0,25 %

    disekitar luka. Kelompok Perlakuan 2 (P2) tikus dibius laku dilakukan insisi sepanjang 2 cm

    dipunggung kedalaman subkutis dan infiltrasi dengan Levobupivakain 0,25 % disekitar luka.

    Injeksi pada kelompok P1 dan infiltrasi pada kelompok P2 diulangi dua kali tiap 8 jam

    selama 24 jam. Kadar IL-10 serum kelompok P1 dan kelompok P2 diperiksa pada hari ke

    pertama, kedua dan ketiga. Dibandingkan kadar IL-10 serum antara ketiga kelompok.

    Analisis statistik dengan program SPSS 10,0 for windows.

    Hasil : Dari hasil pengamatan rerata berat badan tikus pada ketiga kelompok berbeda tidak

    bermakna dengan p = 0,874 ( p > 0,05 ). Kadar IL-10 serum pada kelompok K 0,13 0,02pg/ml, sedangkan kelompok perlakuan 1 (P1) hari pertama 0,16 0,12 pg/ml ; hari kedua

    0,16 0,06 pg/ml dan hari ketiga 0,18 0,07 pg/ml. Terjadi kenaikan sebesar 23 % pada

    hari pertama dan hari kedua serta 38 % pada hari ketiga pada kelompok perlakuan 1 (P1).

    Kadar IL-10 serum kelompok P2 pada hari pertama, kedua dan ketiga adalah 0,21 0,15

    pg/ml : 0,30 0,11 pg/ml ; 0,29 0,13 pg/ml. Terjadi kenaikan sebesar 61 % pada hari

    pertama, 130 % pada hari kedua dan 123 % pada hari ketiga. Data parameter klinis ketiga

    kelompok terdistribusi normal ( p > 0,05 ). Kadar IL-10 serum pada ketiga kelompok

    berbeda bermakna dengan nilai p 0,000 (p < 0,05). Kenaikan kadar IL-10 serum tertinggi

  • 7/22/2019 Sedasi Dan Pelumpuh Otot Icu

    6/59

    72

    Jurnal Anestesiologi Indonesia

    Volume II, Nomor 2, Tahun 2010

    adalah pada kelompok dengan infiltrasi Levobupivakain 0,25 % pada hari kedua yaitu

    sebesar 130 %.

    Kesimpul an : Infiltrasi Levobupivakain 0,25 % disekitar luka insisi meningkatkan kadar IL-

    10 serum. Terjadi kenaikan sebesar 23 % pada hari pertama dan hari kedua serta 38 % pada

    hari ketiga pada kelompok perlakuan 1 (P1). Dan pada kelompok perlakuan 2 (P2) terjadikenaikan sebesar 61 % pada hari pertama, 130 % pada hari kedua dan 123 % pada hari

    ketiga. Kenaikan kadar IL-10 serum tertinggi adalah pada kelompok infiltrasi dengan

    Levobupivakain 0,25 % yang terjadi pada hari kedua yaitu sebesar 130 %.

    Kata kunci:Kadar IL-10 serum, infiltrasi levobupivakain 0,25 % , nyeri insisi

    PENDAHULUAN

    Penyembuhan luka merupakan proses

    kompleks dan dinamis dari perbaikan

    struktur sel dan jaringan. Penyembuhan

    luka melibatkan berbagai proses dengan

    urutan : hemostasis, inflamasi akut,

    regenerasi sel parenkim, migrasi dan

    proliferasi sel parenkim, sintesis protein

    extra cellular matrixs (ECM), remodelling

    jaringan ikat dan komponen parenkim,

    kolagenasi dan akuisisi kekuatan luka.

    Pembagian secara garis besar

    penyembuhan luka meliputi fase inflamasi,

    fase proliferasi dan remodeling1, 2, 3

    .

    Terdapat faktor sistemik dan lokal yang

    mempengaruhi penyembuhan luka. Salah

    satu faktor sistemik yang berperan adalah

    hormon glukokortikoid (kortisol). Hormon

    ini mempunyai efek anti inflamasi, supresi

    netrofil, menghambat pembentukan

    fibroblas dan mengganggu sintesis kolagen

    1. Elenkov dkk melaporkan bahwa

    glukokortikoid, katekolamin dan histamin

    akan menyebabkan supresi imunitas

    seluler dan imunitas humoral. Pembedahan

    menimbulkan respon stres berupa

    peningkatan sekresi hormon katabolik

    yaitu glukokortikoid, hipermetabolisme,

    aktifasi sistem otonom, peningkatan kerja

    jantung, rasa nyeri, gangguan terhadap

    paru, saluran cerna, gangguan sistem

    koagulasi, fibrinolitik dan imunosupresi4,

    5. Pedersen mengurangi respon stres

    pembedahan dengan teknik pembedahan

    non invasif, penggunaan analgetik opioid

    dan blok saraf. Cara ini mampu

    menurunkan katabolisme protein,

    gangguan paru, mengurangi pelepasan

    katekolamin, kortisol dan glukosa5.

    Bardram melaporkan teknik laparoskopi,

    anestesi ekstradural, nutrisi dini,

    mobilisasi dini, dan analgetik yang

    adekuat terbukti mampu mengurangi

    respon stres 6.

    Terjadinya proses penyembuhan luka tidak

    terlepas dari peran faktor pertumbuhan dan

    sitokin, salah satunya yaitu interleukin 10

    (IL-10) 1, 2 . IL-10 adalah salah satu

    sitokin anti inflamasi yang berfungsi

    menghambat produksi beberapa jenis

    sitokin lain (TNF, IL-1, chemokine, dan

    IL-12) selain itu juga menghambat fungsi

    makrofag dalam membantu aktifasi sel T.

    Hasil akhir dari aktifasi IL-10 adalah

    hambatan reaksi imun non spesifik

    maupun spesifik yang diperantarai oleh sel

    T. Sato Y dkk melapork an bahwa kadar

    IL-10 mencapai puncak 3jam setelah insisi

    kulit kemudian turun ke normal sampai 24

  • 7/22/2019 Sedasi Dan Pelumpuh Otot Icu

    7/59

    73

    Jurnal Anestesiologi Indonesia

    Volume II, Nomor 2, Tahun 2010

    jam, dan meningkat lagi serta mencapai

    puncak kedua pada 72 jam 6, 7, 8.

    Infiltrasi Bupivakain 0,25 % dosis tunggal

    dapat mengurangi nyeri selama 24 jampasca operasi sehingga akan menurunkan

    sekresi hormon glukokortikoid8.

    Penggunaan konsentrasi 0,25 % lebih

    efektif dibandingkan 0,5 % namun berbeda

    tidak bermakna dengan konsentrasi 0,125

    % 9,10. Penggunaan infiltrasi Bupivakain

    pada dosis berulang dengan menyisipkan

    kateter subkutan pada ujung luka terbukti

    efektif mengurangi nyeri, tanpa komplikasiinfeksi dan inflamasi lokal 10,11.

    Berdasarkan penjelasan di atas dapat

    dirumuskan masalah, apakah infiltrasi

    Levobupivakain 0,25 % meningkatkan

    kadar IL-10 serum.

    Penelitian ini bertujuan untuk

    membuktikan efek infiltrasi

    Levobupivakain 0,25 % terhadap

    peningkatan kadar IL-10 serum.

    METODE

    Penelitian ini merupakan penelitian

    eksperimental dengan desain Randomized

    Post test only control group design.

    Kelompok penelitian dibagi menjadi tiga

    kelompok yaitu kelompok kontrol (K) ada5 ekor tikus, kelompok perlakuan 1 (P1)

    ada 15 tikus dibagi lagi menjadi 3

    kelompok (masing-masing 5 ekor tikus

    tiap kelompok untuk pemeriksaan pada

    hari pertama sampai hari ketiga) dan

    kelompok perlakuan 2 (P2) ada 15 ekor

    tikus dibagi juga menjadi 3 kelompok

    (masing-masing 5 ekor tikus tiap

    kelompok untuk pemeriksaan hari pertama

    sampai hari ketiga). Jumlah total tikus

    yang digunakan ada 35 ekor tikus.

    Penjelasannya adalah sebagai berikut :

    K (kelompok kontrol) ada 5 ekor tikus

    yang tidak dilakukan insisi dan tidak

    diinfiltrasi kemudian dibius dan diambil

    darahnya pada hari pertama. Setelah

    diambil darahnya tikus dibius lagi dengan

    ether sampai mati.

    P1 (kelompok perlakuan 1) ada 15 ekor

    yang terdiri dari 3 kelompok masing-

    masing kelompok 5 ekor untuk

    pemeriksaan pada hari pertama, kedua dan

    ketiga. Sebelum perlakuan tikus dibius

    dengan ether kemudian dilakukan insisi

    dipunggung sepanjang 2 cm kedalaman

    subkutis dan diinjeksi tanpa

    Levobupivakain 0,25 % disekitar luka.

    Dilakukan injeksi ulang 2 kali tanpa

    Levobupivakain 0,25 % setiap 8 jam

    selama sehari. Darah diambil pada hari

    pertama sampai hari ketiga. Setelah

    diambil darahnya tikus dibius lagi dengan

    ether sampai mati.

    P2 (kelompok perlakuan 2) ada 15 ekor

    tikus yang terdiri dari 3 kelompok masing-

    masing kelompok 5 ekor untuk

    pemeriksaan pada hari pertama, kedua dan

    ketiga. Sebelum perlakuan tikus dibius

    dengan ether kemudian yang dilakukan

    insisi dipunggung sepanjang 2 cm

    kedalaman subkutis dan diinfiltrasi dengan

    Levobupivakain 0,25 % disekitar luka.

    Dilakukan infiltrasi ulang 2 kali dengan

    Levobupivakain 0,25 % setiap 8 jam

    selama sehari. Darah diambil pada hari

    pertama sampai hari ketiga. Setelah tikus

  • 7/22/2019 Sedasi Dan Pelumpuh Otot Icu

    8/59

    74

    Jurnal Anestesiologi Indonesia

    Volume II, Nomor 2, Tahun 2010

    diambil darahnya lalu dibius lagi dengan

    eter sampai mati

    Sampel penelitian adalah tikus betina jenis

    Wistar yang diperoleh dari LaboratoriumFarmasi Fakultas Kedokteran Universitas

    Muhammadiyah Surakarta. Kriteria inklusi

    adalah tikus Wistar betina, keturunan

    murni, umur 2 - 2,5 bulan, berat badan

    250-300 gram, tidak ada abnormalitas

    anatomis. Kriteria eksklusi adalah sakit

    (gerakan tidak aktif) selama masa adaptasi,

    mati selama masa adaptasi, sakit selama

    masa perlakuan, mati selama masaperlakuan.

    Besar sampel menurut rumus WHO tiap

    kelompok minimal 5 ekor tikus. Pada

    penelitian ini jumlah sampel yang

    digunakan adalah 35 ekor tikus yang

    dibagi menjadi 3 kelompok 12.

    Randomisasi dilakukan dengan

    menggunakan tabel random menjadi tiga

    kelompok yaitu kelompok kontrol (K) 5

    ekor, kelompok perlakuan 1 (P1) 15 ekor,

    kelompok perlakuan 2 (P2) 15 ekor.

    Penelitian dan pengumpulan data

    dilakukan selama 6 bulan. Perlakuan pada

    tikus, proses pengambilan darah/serum

    dilakukan di Laboratorium Histologi

    Fakultas Kedokteran Universitas

    Diponegoro Semarang. Dan untuk

    pembacaan hasil dilakukan di

    Laboratorium PAU (Pusat Antar

    Universitas) Fakultas Kedokteran

    Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

    Cara pemeriksaan kadar IL-10 serum,

    sebanyak 0,5 ml darah perifer diambil dari

    hewan percobaan, darah kemudian di

    centrifuge selama 10 menit dengan

    kecepatan 1.500 rpm dalam suhu 4 derajad

    Celsius, serum diambil dan diencerkan

    dengan pengencer standart dengan

    perbandingan 1:100 (1 l serum + 99 l

    pengencer standar), serum diteteskan pada

    microtitre plate kemudian diinkubasiselama 15 menit, dicuci dengan buffer

    pencuci sebanyak 2 kali, Microtitre plate

    ditetesi 100 l reagen antibodi yang telah

    dibiotinilasi dan diinkubasi selama 30

    menit pada suhu kamar (20-250C), dicuci

    dengan buffer pencuci sebanyak 2 kali,

    ditetesi dengan streptavidin-HRP dan

    didiamkan selama 30 menit, dicuci dengan

    buffer pencuci sebanyak 2 kali,ditambahkan substrat pre-mix TMB,

    ditetesi dengan 100 l stop solution,

    ditutup dengan plate covers dan dibaca

    dengan ELISA reader spectrophotometer

    yang diatur pada 450 nm.

    Pembacaan hasil dengan membandingkan

    densitas optikal antara kurva standar

    dengan sampel yang diperiksa, dibacaserapannya dan kadar IL-10 standarnya.

    Seperti terlihat pada gambar 1.

    Gambar 1. Kurve Standart IL-10

  • 7/22/2019 Sedasi Dan Pelumpuh Otot Icu

    9/59

    75

    Jurnal Anestesiologi Indonesia

    Volume II, Nomor 2, Tahun 2010

    Setelah data terkumpul dilakukan data

    cleaning, coding dan tabulasi data. Data

    dikumpulkan dan diolah dengan

    menggunakan program komputer SPSS

    10.0 for windows dan dinyatakan dalamrerata simpang baku (mean SD).

    Kemudian dilakukan uji normalitas dengan

    Shapiro-Wilk test untuk mengetahui

    sebaran data dan uji beda kadar IL-10

    serum antar kelompok dengan

    menggunakan uji Kruskal Wallis. Dengan

    batas derajat kemaknaan p < 0.05 dengan

    interval kepercayaan 95 %.

    Penyajian data dalam bentuk tabel dan

    grafik.

    HASIL

    Penelitian ini menggunakan 35 ekor tikus

    Wistar betina, dari keturunan murni,

    berumur dua sampai dua setengah bulan

    dan berat badan 250-300 gram. Tabel 2

    memperlihatkan berat badan tikus pada

    masing-masing kelompok.

    Tabel 2. Hasil pengamatan rerata berat badan tikus

    Hasil pengamatan rerata berat badan tikus

    pada ketiga kelompok secara umum

    hampir sama. Berat badan kelompok

    kontrol 255,0 gram, kelompok perlakuan 1

    (P1) 255,4 gram dan kelompok perlakuan

    2 (P2) 257,0 gram.

    Ada 3 kelompok dalam penelitian ini yaitu

    kelompok K terdiri 5 ekor tikus yang tidakdilakukan insisi maupun infiltrasi.

    Kelompok P1 dan kelompok P2 masing-

    masing terdiri 15 ekor tikus yang terbagi

    menjadi 3 kelompok untuk pemeriksaan

    pada hari pertama, kedua dan ketiga.

    Kemudian dilakukan insisi dan injeksi

    tanpa Levobupivakain 0,25 % pada

    kelompok P1 dan insisi dan infiltrasi

    dengan Levobupivakain 0,25 % disekitarluka pada kelompok P2. Injeksi ulang pada

    kelompok P1 dan infiltrasi ulang pada

    kelompok P2 dilakukan dua kali tiap 8 jam

    selama sehari. Dibandingkan kadar IL- 10

    serum kelompok K, kelompok P1 dan

    kelompok P2 pada hari pertama, kedua dan

    ketiga. Hasilnya terlihat pada tabel 3.

    Tabel 3. Hasil pengamatan rerata simpang baku

    kadar IL-10 serum ( pg/ml ).

    Dari tabel 3 terlihat adanya perbedaan

    kadar IL-10 serum ketiga kelompok padahari pertama, kedua dan ketiga. Kadar IL-

    10 serum kelompok K adalah 0,13 0,02

    pg/ml.

    Kelompok P1 hari pertama 0,16 0,12

    pg/ml ; hari kedua 0,16 0,06 pg/ml dan

    hari ketiga 0,18 0,07 pg/ml. Kadar IL-10

    serum kelompok P2 berturut-turut pada

  • 7/22/2019 Sedasi Dan Pelumpuh Otot Icu

    10/59

    76

    Jurnal Anestesiologi Indonesia

    Volume II, Nomor 2, Tahun 2010

    Gambar 2. Kadar IL-10 serum (pg/ml)

    hari pertama, kedua dan ketiga adalah 0,21

    0,15 pg/ml : 0,30 0,11 pg/ml ; 0,29

    0,13 pg/ml. Perbedaan kadar IL-10 serum

    pada ketuga kelompok secara lebih jelas

    terlihat pada gambar 2.

    Uji homogenitas dilakukan untuk

    mengetahui apakah data klinis berat badan

    pada ketiga kelompok sama. Uji

    homogenitas ini dilakukan dengan

    menggunakanLevene test.

    Hasil uji homogenitas berat badan terlihat

    pada tabel 4.

    Tabel 4. Hasil pengamatan rerata simpang baku

    berat badan tikus

    Dari tabel 4 untuk uji homogenitas nilai

    rerata berat badan pada ketiga kelompok

    berbeda tidak bermakna dengan nilai p =

    0,874 (p > 0,05 ).

    Uji normalitas dilakukan untuk

    mengetahui apakah data parameter klinis

    atau laboratoris terdistribusi normal. Uji

    normalitas kadar IL-10 serum dilakukan

    dengan tehnik Shapiro-Wilk. Hasil ujinormalitas kadar IL-10 serum ini terlihat

    pada tabel 5.

    Tabel 5. Hasil uji normalitas kadar IL-10 serum

    Dari tabel 5 dapat dilihat bahwa parameter

    klinis dan laboratoris kadar IL-10 serum

    pada kelompok kontrol (K), kelompok

    perlakuan 1 (P1) dan kelompok perlakuan

    2 (P2) terdistribusi normal dengan nilai p

    > 0,05.

    Uji beda dilakukan untuk mengetahui ada

    perbedaan kadar IL-10 serum pada

    kelompok K, kelompok P1 dan kelompok

    P2. Uji beda ini dilakukan dengan

    menggunakanKruskal Wallis Test.

    Hasil uji beda kadar IL-10 serum pada

    ketiga kelompok terlihat pada tabel 6.

    Tabel 6. Hasil uji beda kadar IL-10 serum.

  • 7/22/2019 Sedasi Dan Pelumpuh Otot Icu

    11/59

    77

    Jurnal Anestesiologi Indonesia

    Volume II, Nomor 2, Tahun 2010

    Dari tabel 6 dapat dilihat bahwa kadar IL-

    10 pada kelompok K, kelompok P1

    maupun kelompok P2 berbeda bermakna

    dengan nilaip = 0,000 (p < 0,05).

    PEMBAHASAN

    Dari hasil pengamatan rerata berat badan

    tikus pada kelompok K, kelompok P1 dan

    kelompok P2 secara umum hampir sama,

    seperti terlihat pada tabel 2. Pada uji

    homogenitas tentang data klinis berat

    badan tikus (tabel 4) pada ketiga kelompok

    menunjukkan perbedaan yang tidak

    bermakna dengan nilai p = 0,874 (p >

    0,05). Hal ini berarti bahwa meskipun ada

    perbedaan berat badan tikus pada ketiga

    kelompok tetapi tidak bermakna atau bisa

    dianggap sama / homogen sehingga layak

    untuk dibandingkan. Adaptasi selama

    seminggu dengan memberikan makan dan

    minum standart yang sama serta asal tikus

    dari satu keturunan menyebabkan berat

    badan tikus pada ketiga kelompok secara

    umum hampir sama. Dari tabel 3 dan

    gambar 2 terlihat adanya perbedaan kadar

    IL-10 serum ketiga kelompok pada hari

    pertama, hari kedua dan hari ketiga.

    Kadar IL-10 serum kelompok K adalah

    0,13 0,02 pg/ml , ini bisa dianggap

    sebagai kadar normal IL-10. Pada

    kelompok P1 kadar IL-10 hari pertama

    lebih tinggi dibanding kelompok K yaitu

    sebesar 0,16 0,12 pg/ml atau terjadi

    kenaikan sebesar 23 % pada hari pertama,

    sedangkan pada hari kedua relatif hampir

    sama dibandingkan dengan hari pertama

    (0,16 0,06 pg/ml). Pada hari ketiga

    terjadi kenaikan lagi kadar IL-10 menjadi

    0,18 0,07 pg/ml atau terjadi kenaikan

    sebesar 38% pada hari ketiga. Hal ini

    sesuai dengan yang dikemukakan oleh

    Sato Y, bahwa kadar IL-10 meningkat dan

    mencapai puncak pertama setelah 3 jam

    insisi kemudian turun mendekati normalpada hari kedua dan meningkat lagi serta

    mencapai puncak kedua setelah 72 jam (3

    hari). Kadar IL-10 serum kelompok P2

    pada hari pertama, hari kedua dan hari

    ketiga adalah 0,21 0,15 pg/ml : 0,30

    0,11 pg/ml dan 0,29 0,13 pg/ml. Kadar

    IL-10 serum kelompok P2 pada hari

    pertama lebih tinggi dibandingkan

    kelompok kontrol dan kelompok P1 haripertama. Demikian juga pada hari kedua

    dan hari ketiga kadar IL-10 kelompok P2

    lebih tinggi dibandingkan kelompok

    kontrol dan kelompok P1 hari kedua dan

    hari ketiga. Dapat dilihat disini terjadi

    kenaikan kadar IL-10 serum pada

    kelompok P2 sebesar 61 % pada hari

    pertama, selanjutnya sebesar 130 % pada

    hari kedua serta sebesar 123 % pada hariketiga.

    Kenaikan kadar IL-10 serum pada

    kelompok P2 yang lebih tinggi

    dibandingkan kelompok P1 baik itu pada

    hari pertama, hari kedua maupun hari

    ketiga terjadi akibat infiltrasi dengan

    Levobupivakain 0,25 %. Menurut

    Constantinnides P, nyeri akut bila tidakdikelola secara tepat akan berakibat

    memperpanjang fase katabolik dengan

    akibat terjadi peningkatan kortisol yang

    menimbulkan disregulasi sitem imun

    sehingga menghambat penyembuhan luka.

    Dengan menghambat jalur nyeri

    menggunakan infiltrasi Levobupivakain

    0,25 % disekitar luka insisi, maka sistem

    imun tidak terganggu sehingga kadar IL 10

  • 7/22/2019 Sedasi Dan Pelumpuh Otot Icu

    12/59

    78

    Jurnal Anestesiologi Indonesia

    Volume II, Nomor 2, Tahun 2010

    serum meningkat dan fase inflamasi

    menjadi lebih pendek. Sebagai akibatnya

    penyembuhan luka menjadi lebih cepat.

    Seperti penelitian yang dilakukan oleh

    Mulyata S, stres pada hewan cobamenyebabkan hambatan penyembuhan

    luka pasca episiotomi. Sedangkan pada

    hewan coba yang tidak stres penyembuhan

    lukanya lebih cepat. Vintar N, melaporkan

    penggunaan Bupivakain melalui kateter

    pada luka cukup efektif mengurangi nyeri

    setelah operasi hernia inguinalis dan

    penyembuhan luka menjadi lebih baik13.

    Kenaikan tertinggi kadar IL-10 serum padakelompok P2 yang terjadi pada hari kedua

    yaitu sebesar 130 % seperti terlihat pada

    gambar 2. Hal ini mempertegas peran IL-

    10 yang meningkat akibat infiltrasi dengan

    Levobupivakain 0,25 % sehingga fase

    inflamasi pada proses penyembuhan luka

    menjadi lebih pendek. Dari analisis

    statistik dengan uji beda kadar IL-10

    serum menggunakan Kruskal Wallis testdidapatkan nilaip = 0,000 (p < 0,05) yang

    berarti kadar IL-10 serum pada kelompok

    K, kelompok P1 dan kelompok P2 berbeda

    bermakna.

    Penelitian ini bertujuan membandingkan

    kadar IL-10 serum dengan dan tanpa

    infiltrasi Levobupivakain 0,25 % pada

    nyeri pasca insisi. Hasil penelitianmenunjukkan bahwa pada hari kedua

    kadar IL-10 serum pada kelompok P2

    lebih tinggi (130%) dibandingkan

    kelompok P1 (123%). Pada luka insisi

    yang diinfiltrasi dengan Levobupivakain

    0,25 %, IL-10 serumnya lebih cepat naik

    atau lebih cepat muncul dibandingkan

    tanpa infiltrasi Levobupivakain 0,25 %.

    IL-10 terutama diproduksi oleh sel Th2akibat rangsang dari makrofag yang

    teraktifasi. Sedangkan makrofag muncul

    pertama kali pada 48-96 jam setelah terjadi

    luka dan mencapai puncak pada hari ke 3.

    Adanya IL-10 pada hari pertama baik pada

    kelompok K, kelompok P1 dan kelompokP2 menunjukkan bahwa IL-10 juga

    diproduksi oleh sel-sel lain yaitu sel B,

    keratinosit serta Neutrofil meskipun dalam

    jumlah sedikit. Hollman mengemukakan

    bahwa makrofag tetap ada di dalam luka

    sampai proses penyembuhan berjalan

    sempurna14. Nyeri yang tak dikelola

    dengan baik menyebabkan kortisol tetap

    tinggi, hal ini mengakibatkan depresi padaTh2 sehingga produksi IL-10 akan

    menurun. Akibatnya tidak ada yang

    menghambat makrofag teraktifasi untuk

    memproduksi sitokin proinflamasi

    sehingga fase inflamasi relatif menjadi

    lebih panjang. Dengan infiltrasi

    Levobupivakain 0,25 % akan terjadi

    blokade atau terputusnya transmisi nyeri

    sehingga respon nyeri akibat insisi tidakterjadi. Selain itu juga munculnya

    makrofag teraktifasi akan mengakibatkan

    Th2 memproduksi IL-10 dan selanjutnya

    IL-10 ini akan menekan makrofag untuk

    memproduksi sitokin proinflamasi (umpan

    balik negatif). Pada kelompok P2 kadar

    IL-10 mencapai puncak tertinggi pada hari

    kedua, sedangkan kelompok P1 puncak

    tertinggi terjadi pada hari ketiga. Artinyamunculnya hambatan terhadap makrofag

    dalam memproduksi sitokin proinflamasi

    lebih cepat pada kelompok P2

    dibandingkan kelompok P1. Percepatan

    hambatan ini memperpendek fase

    inflamasi menjadi dua hari (pada

    kelompok P1 tiga hari) dan menyebabkan

    proses penyembuhan menjadi lebih

    singkat.

  • 7/22/2019 Sedasi Dan Pelumpuh Otot Icu

    13/59

    79

    Jurnal Anestesiologi Indonesia

    Volume II, Nomor 2, Tahun 2010

    SIMPULAN

    Infiltrasi Levobupivakain 0,25 % terbukti

    meningkatkan kadar IL-10 serum. Puncak

    tertinggi kenaikan kadar IL-10 serumdicapai pada hari kedua pada kelompok

    dengan insisi dan infiltasi Levobupivakain

    0,25 % , yaitu sebesar 130 %.

    Fase inflamasi pada kelompok dengan

    insisi dan infiltasi Levobupivakain 0,25 %

    lebih pendek menjadi dua hari

    dibandingkan pada kelompok insisi dan

    injeksi tanpa Levobupivakain 0,25 % yaitu

    tiga hari.

    Berdasarkan hasil penelitian tersebut

    diatas dapat disarankan pada luka insisi /

    operasi sebaiknya dilakukan infiltrasi

    Levobupivakain 0,25 % di sekitar luka

    karena kadar IL-10 serumnya akan

    meningkat dibandingkan tanpa infiltrasi

    Levobupivakain 0,25 %, sehingga fase

    inflamasi menjadi lebih pendek dan

    penyembuhan luka akan menjadi lebih

    cepat dan dilakukan penelitian lebih lanjut

    tentang hubungan infiltrasi

    Levobupivakain 0,25 % dengan faktor-

    faktor lain yang berpengaruh pada proses

    penyembuhan luka.

    DAFTAR PUSTAKA

    1. Cotran RS, Kumar V, Collins T.Pathology basic of disease. 6th ed.

    Philadelphia: WB Saunders Co, 1999:

    p21-201.

    2. Constantinnides P. General pathobiology.1st ed. Norwalk Connecticut: Appleton

    and Lange, 1994: p173-186.

    3. Mast AB. Normal Wound healing. In:Achauer BM, Eriksson E, eds. Plastic

    Surgery, Indications, Operations and

    Outcomes. Mosby: Mosby Inc, 2000: p37-

    53

    4. Elenkov IJ, Webster E, Torpy DJ, et al.Stress, Corticotropin-releasing Hormone,

    Glucocorticoids, and the

    immune/inflammatory response: acute and

    cronic effects. Annals of the New York

    academy of sciences 1999; 876: 1-13.

    Available from: URL.

    http://annalsnyas.org/cgi/876/1/1

    5. Pedersen D. Accelerated surgical stayprograme. Annals of Surgery 1994; 219:

    p374-81.

    6. Bardram L, Funch-Jensen P, Kehlet H.Recovery after laparoscopic colonic

    surgery with epidural analgesia and early

    oral nutrition and mobilisation. Lancet

    1995; 345: p763-4.

    7. Kresno SB.Imunologi: Diagnosis danprosedur laboratorium. FKUI 2001; ed.4:

    p7-12.

    8. Sato Y, Ohshima T, Kondo T. Regulatoryof endogenous interleukin-10 in cutaneus

    inflamatory response of murine wound

    healing. Biochem Biophys Res

    Commun.1999 Nov; 265(1): p194-9.

    9. Christie JM, Chen GW. Secondaryhyperalgesia is not affected by wound

    infiltration with bupivacaine. Can J of An

    1993; 40: p1034-37.

    10. Mulyata S. Paket penyuluhan kognitif dansenam prapersalinan pada primigravida,

    mengurangi cemas dan nyeri persalinan,

    meningkatkan skor Apgar bayi, serta

    mempercepat penyembuhan luka

    persalinan [dissertasion]. Surakarta:

    Universitas Sebelas Maret; 2002.

    http://annalsnyas.org/cgi/876/1/1http://annalsnyas.org/cgi/876/1/1
  • 7/22/2019 Sedasi Dan Pelumpuh Otot Icu

    14/59

    80

    Jurnal Anestesiologi Indonesia

    Volume II, Nomor 2, Tahun 2010

    11. Pettersson N, Berggren P, Larsson M, etal. Pain relief by wound infiltration with

    bupivacaine or high dose ropivacaine after

    inguinal hernia repair. Reg Anesth Pain

    Med 1999; 24: p569-75.

    12. Cervero F. Mechanism of visceral pain,past and present. In: Gebhart GF. ed.

    Visceral pain, progress in pain research

    and management. Seattle: IASP press,

    1995; 5: p469-88.

    13. Vintar N, Pozlep G, Rawal N, Godee M,Rakovec S. Incisional selfadministration

    of bupivacaine or ropivacaine provides

    effective analgesia after inguinal hernia

    repair. Can J Anaesth 2002; 49: p481-

    14. Hollmann, Markus W, Durieux E. Localanesthetics and the inflammatory

    response: A new therapeutic indication?

    Anesthesiology 2000; 93: p858-75.

  • 7/22/2019 Sedasi Dan Pelumpuh Otot Icu

    15/59

    81

    Jurnal Anestesiologi Indonesia

    Volume II, Nomor 2, Tahun 2010

    PENELITIAN

    Pengaruh Infiltrasi Levobupivakain pada Skor Histologis MHC Kelas 1 pada

    Penyembuhan Luka

    Aria Dian Primatika *, Uripno Budiono*, Ery Leksana*

    *Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSDK, Semarang

    ABSTRACT

    Background : Post operative acute pain stimulates clinical pathofisiologic symptoms,

    suppreses immune respons, reduces the activity of the immune system and inhibits wound

    healing. Levobupivacaine is a long acting local anaesthetic, suitable for pain control.

    Presenting class I MHC antigens to cytotoxic T lymphocytes, this is important to response

    immune. The ability of cytotoxic T lymphocytes to kill infected target cells depends on theamount of class I MHC expression.

    Objective :To prove the influence of levobupivacaine infiltration on class I MHC expression.

    Methods : This study was an animal experimental study with randomized post test only

    control group design. Randomly 15 Wistar rats were divided into 3 groups. Group I was the

    group for control without treatment. Group II, rats that got incisions without levobupivacaine

    infiltration. Group III, rats that got incisions and levobupivacaine infiltration dosed 12.6

    mcg/gram BW every 8th hours for 24 hours. The expression class I MHC cell around wound

    incision was analized with histologic score from samples with immunohistochemistry

    stainning. Samples were taken from tissue biopsy on 5th day because in normal woundhealing the amount of lymphocytes T were significant at 5th day and the peak at 7th day.

    Data were analyzed using Kruskal-Wallis test.

    Resul ts : This study showed that control group have the expression of class I MHC with

    histologic scor mean 4.92. The incission tissue with levobupivacaine has lower class I MHC

    histologic score (mean value 5,26) than group without levobupivakain (mean value 8,12).

    There was a significant difference of class I MHC (p=0,011).

    Conclusions : The expression of class I MHC (histologic score) in levobupivacaine

    infiltration group is lower than without levobupivacaine infiltration group.

    Keywords: levobupivacaine, histologic score MHC Class I, wound healing

    ABSTRAK

    Latar belakang: Nyeri akut pasca pembedahan memicu timbulnya gejala klinis

    patofisiologis, menekan respons imun, sehingga menyebabkan penurunan sistem imun yang

    akan menghambat penyembuhan luka. Levobupivakain, anestetik lokal durasi panjang yang

    efektif mengurangi nyeri akut. MHC kelas I sebagai petanda permukaan sel yang terinfeksi

    memberi sinyal pada sel T sitotoksik sehingga fungsinya dalam respons imun sangat penting.

  • 7/22/2019 Sedasi Dan Pelumpuh Otot Icu

    16/59

    82

    Jurnal Anestesiologi Indonesia

    Volume II, Nomor 2, Tahun 2010

    Kemampuan limfosit T sitotoksik untuk melisiskan sel merupakan fungsi langsung dari

    banyaknya MHC kelas I yang diekspresikan.

    Tujuan:Membuktikan pengaruh infiltrasi anestetik lokal levobupivakain terhadap ekspresi

    MHC kelas I.

    Metode: Dilakukan penelitian eksperimental pada hewan coba, randomized post test onlycontrol group design, menggunakan tikus Wistar. Sampel 15 ekor dibagi menjadi 3

    kelompok; kelompok I kontrol, kelompok II insisi subkutis tanpa infiltrasi levobupivakain,

    kelompok III insisi subkutis dan infiltrasi levobupivakain dosis 12,6 mcg/gram BB setiap 8

    jam selama 24 jam. Ekspresi MHC kelas I pada sekitar luka insisi dinilai dengan skor

    histologi dengan menggunakan pengecatan secara imunohistokimia. Biopsi jaringan diambil

    pada hari kelima karena pada penyembuhan luka normal jumlah limfosit T bermakna pada

    hari kelima dan mencapai puncak pada hari ketujuh. Data dianalisis dengan uji beda

    Kruskal-Wallis.

    Hasil:Penelitian menunjukan pada kelompok kontrol terdapat ekspresi MHC kelas I denganhasil rerata skor histologi 4,92. Hasil rerata skor histologi MHC kelas I pada kelompok

    levobupivakain lebih rendah (8,12) dibanding kelompok tanpa levobupivakain (5,26) dan

    secara statistik berbeda bermakna (p=0,011).

    Simpulan:Ekspresi MHC kelas I (skor histologi MHC I) pada kelompok dengan infiltrasi

    levobupivakain lebih rendah dibandingkan dengan kelompok tanpa infiltrasi levobupivakain.

    Kata Kunci: levobupivakain, skor histologis MHC Kelas I, penyembuhan luka

    PENDAHULUAN

    Respons imun merupakan hal penting yang

    akan membantu tubuh untuk proteksi

    terhadap agen infektif. Apabila

    mikroorganisme masuk ke dalam tubuh

    terdapat dua cara pertahanan utama yang

    berperan yaitu efek perusakan oleh bahan

    bahan kimiawi yang larut seperti halnya

    enzim bakterisidal dan mekanisme

    fagositosis. Pada proses penyembuhan

    luka respons imun memegang peranan

    penting. Penurunan sistem imun akan

    mengakibatkan terjadinya infeksi yang

    berakibat gangguan penyembuhan luka

    sehingga penyembuhan luka menjadi

    memanjang, sedangkan penyembuhan

    yang baik merupakan faktor penting yang

    diharapkan terjadi dalam proses

    penyembuhan luka. Terjadinya proses

    penyembuhan luka tidak terlepas dari

    peran sitokin dan faktor pertumbuhan,seperti: Platelet Derived Growth Factor

    (PDGF),Fibroblast Growth Factor(FGF),

    Transforming Growth Factor 1 (TGF-

    1), Vascular Endothelial Growth Factor

    (VeGF), Angiopoetin,Interleukin1 (IL 1),

    IL 6, Tumor Necrosis Factoralfa (TNF ),

    Interferon (IFN ), serta makrofag yang

    diproduksi oleh limfosit dan leukosit pada

    tahap sintesis kolagen sebagaipenyembuhan luka secara primer apabila

    terjadi penyatuan tepi luka secara

    sempurna, biasanya terjadi pada luka

    bersih. Limfosit T selain memproduksi

    sitokin sebagai sel anti inflamasi juga

    sebagai sintesis dari factor pertumbuhan.

    Penelitian oleh Blotnick S dkk.

    mengisolasikan limfosit T dari darah tepi

    manusia yang menghasilkan dua

  • 7/22/2019 Sedasi Dan Pelumpuh Otot Icu

    17/59

    83

    Jurnal Anestesiologi Indonesia

    Volume II, Nomor 2, Tahun 2010

    karakteristik faktor pertumbuhan yaitu

    Heparin-binding Epidermal Growth

    Factor (HB-EGF) dan Basic Fibroblast

    Growth Factor(bFGF).

    Suatu tindakan bedah akan menimbulkan

    respons stres berupa peningkatan sekresi

    hormon katabolik yaitu glukokortikoid,

    hipermetabolisme, aktivasi system

    otonom, peningkatan kerja jantung, rasa

    nyeri, gangguan terhadap paru, saluran

    cerna, gangguan sistem koagulasi,

    fibrinolitik dan imunosupresi. Proses

    penyembuhan luka sangat erathubungannya dengan proses inflamasi,

    tanpa adanya inflamasi tidak akan terjadi

    proses penyembuhan luka, sedangkan

    organ yang terluka akan tetap menjadi

    sumber nyeri selama proses inflamasi dan

    penyembuhan luka terjadi. Nyeri menjadi

    stresor yang memicu timbulnya gejala

    klinis patofisiologis, memicu modulasi

    respons imun, sehingga menyebabkanpenurunan sistem imun yang berakibat

    pemanjangan penyembuhan luka. Salah

    satu faktor sistemik yang menghambat

    penyembuhan luka adalah adanya

    peningkatan hormon glukokortikoid, yaitu

    akan menghambat pembentukan fibroblas,

    sebagai anti inflamasi, dan mengganggu

    sintesis kolagen. Nyeri bila tidak dikelola

    dengan tepat akan berakibatmemperpanjang fase katabolik berupa

    peningkatan glukagon, kortikoid dan

    resistensi insulin. Apabila hormon

    glukokortikoid meningkat akibatnya akan

    menghambat respons imun. Rasa nyeri

    yang timbul merupakan salah satu

    pencetus peningkatan hormon

    glukokortikoid.

    Sistem imun didapat terdiri dari sistem

    imun humoral (sel B) dan sistem imun

    seluler (selT). Sel T atau limfosit T terdiri

    dari T helper, T supresordan T sitotoksik,

    masing-masing dibedakan karenamempunyai fungsi yang berbeda dan

    mengekspresikan antigen permukaan yang

    karakteristik dan berkorelasi dengan

    stadium diferensiasi di timus. CD8+

    (Cluster of Differentiation atau cluster

    designation) merupakan subset sel T

    sitotoksik. MHC kelas I (Class I Major

    Histocompatibility Complex) terdapat

    hampir di semua sel tubuh yang berinti danmerupakan bagian dari kromosom yang

    selain mengatur ekspresi antigen

    transplantasi, juga mengandung gen yang

    mengatur respons imun dan menentukan

    kepekaan terhadap kelainan imunologik.

    Fungsi MHC kelas I sebagai petanda

    permukaan sel yang terinfeksi member

    sinyal pada sel T sitotoksik sehingga

    fungsinya dalam respons imun sangatpenting. MHC kelas I berasosiasi dengan

    CD8+ sitotoksik (CD8+ sebagai

    coreceptor sel T sitotoksik), maka

    kemampuan limfosit T sitotoksik untuk

    melisiskan sel merupakan fungsi langsung

    dari banyaknya MHC kelas I yang

    diekspresikan. Pada beberapa penelitian

    dalam proses penyembuhan luka, CD8+

    turut mengatur proses penyembuhan lukadalam hal down regulating wound healing.

    Dalam hal ini CD8+ akan menghambat

    penyembuhan luka, sehingga apabila

    terjadi penyembuhan luka yang baik maka

    ekspresi CD8+ dan MHC kelas I akan

    berkurang.

    Nyeri akan merangsang kelenjar pituari

    melepaskan adreno corticotrophin

  • 7/22/2019 Sedasi Dan Pelumpuh Otot Icu

    18/59

    84

    Jurnal Anestesiologi Indonesia

    Volume II, Nomor 2, Tahun 2010

    hormone(ACTH) yang akan mengaktifkan

    kelenjar adrenal sehingga melepas hormon

    steroid (kortisol) , dimana hormon steroid

    ini akan menekan sistem imun. Infiltrasi

    anestetik lokal pada sekitar luka insisidiharapkan dapat mengurangi intensitas

    nyeri akut dengan menghambat jalur

    transmisi impuls nyeri.

    Nyeri yang berkurang berakibat sekresi

    hormon glukokortikoid juga menurun

    sehingga akan menghilangkan salah satu

    faktor sistemik penghambat penyembuhan

    luka, yaitu glukokortikoid. Anestetik lokalyang terpilih adalah levobupivakain karena

    mempunyai durasi yang panjang sekitar 8

    jam dengan pemberian tiga kali dalam 24

    jam. Pemberian ini diharapkan nyeri akut

    pada luka insisi yaitu nyeri pada 24 jam

    pertama dapat dikurangi. Hambatan

    terhadap nyeri akut diharapkan akan

    meningkatkan respons imun sehingga

    proses penyembuhan menjadi lebih baik.

    Beberapa peneliti telah melaporkan

    pemakaian anestetik lokal lidokain,

    bupivakain topikal pada luka bakar

    terbukti menghambat ekstravasasi plasma,

    mengurangi nyeri serta komplikasi infeksi

    maupun alergi, tidak menyebabkan

    peradangan lokal, memiliki efek

    bakteriostatik serta proses penyembuhan

    luka lebih baik. Penelitian ini akan

    menerapkan hal baru yaitu penggunaan

    levobupivakain, obat anestetik lokal

    dengan depresi jantung dan sistem saraf

    pusat minimal, lama kerja obat 6-8 jam

    pada penggunaan secara infiltrasi, efektif

    untuk mengurangi nyeri akut selama 24

    jam pertama pasca pembedahan. Pengaruh

    penggunaan infiltrasi levobupivakain di

    sekitar luka terhadap ekspresi MHC kelas I

    belum pernah dilaporkan sebelumnya.

    MHC kelas I dipilih dalam penelitian ini

    bertujuan untuk lebih memastikan respons

    imun yang terjadi pada sel T sitotoksik

    dengan jumlah bermakna pada hari ke 5.Pada penyembuhan luka normal, jumlah

    limfosit T bermakna pada harikelima dan

    mencapai puncak pada hari ketujuh.

    Ekspresi MHC kelas I (dinilai dengan skor

    histologi) dapat dihitung jumlahnya pada

    pemeriksaan imunohistokimia dengan

    menggunakan monoklonal antibodi anti

    MHC kelas I dengan pewarnaan metodestreptavidinbiotin. Jumlah MHC dapat

    dihitung berdasarkan intensitas warna yang

    terlihat pada mikroskop dengan

    menggunakan skor histologi. Penelitian ini

    dilakukan pada binatang percobaan tikus

    karena perlakuan insisi tanpa analgetik

    serta tindakan biopsi jaringan pada jam ke-

    24 pasca insisi sehinga tidak etis bila

    diterapkan pada manusia. Pemilihan tikusWistar berdasarkan pertimbangan karena

    tikus ini mudah diperoleh galur murninya.

    METODE

    Sejumlah 15 ekor tikus Wistar dilakukan

    adaptasi di laboratorium dengan

    dikandangkan secara individual dan diberi

    pakan standar ad libitum selama 7 hari.

    Tikus dibagi menjadi 3 kelompok masing-

    masing terdiri dari 5 ekor tikus yang

    ditentukan secara acak.

    Perlakuan yang diberikan adalah:

    K1 : Kelompok 1, tikus tanpa

    perlakuan.;K2 : Kelompok 2, tikus

    yang setelah dilakukan insisi 2 cm, sampai

    ubkutan tanpa diberikan infiltrasi

  • 7/22/2019 Sedasi Dan Pelumpuh Otot Icu

    19/59

    85

    Jurnal Anestesiologi Indonesia

    Volume II, Nomor 2, Tahun 2010

    levobupivakain. (untuk mendapat

    perlakuan stres yang sama tiap 8 jam

    dalam 24 jam I juga dilakukan infiltrasi

    sekitar luka dengan spuit kosong).

    K3 : Kelompok 3 , tikus yang setelah

    dilakukan insisi 2 cm sampai subkutan,

    diberikan infiltrasi levobupivakain dengan

    semprit tuberkulin dosis 12,6 g/gram BB

    dengan perlakuan sama tiap 8 jam dalam

    24 jam pertama.

    Setelah adaptasi selama 7 hari , tikus-tikus

    dari kelompok perlakuan (K2 dan K3)

    dibius dengan ether dalam kandang

    tertutup. Sesudah terbius, bulu di sekitar

    punggung dicukur bersih dan didesinfeksi

    menggunakan betadine. Selanjutnya dibuat

    irisan sepanjang 2 cm dan kedalaman

    sampai subkutis. Luka irisan dibersihkan

    dan dioles larutan betadine, kemudian luka

    ditutup dengan 5 jahitan tunggal sederhana

    menggunakan benang monofilamen steril

    nomor 4-0. Selanjutnya jahitan dibersihkan

    dan dioles dengan betadine dan dirawat.

    Pasca bedah diberikanpenicillin oil 15 mg,

    intra muskular.

    Pada hari ke-5 pasca perlakuan, pada

    ketiga kelompok masing-masing 5 ekor.

    Dilakukan pembiusan dengan

    menggunakan ether dalam kandang

    tertutup. Setelah tikus terbius kemudian

    dibuat eksisi biopsi pada jaringan bekas

    irisan kira-kira 0,5 cm persegi melintasi

    garis irisan. Jaringan biopsi diproses secara

    imunohistokimia menjadi preparat setelah

    dibuat dengan blok parafin, kemudian

    tikus dimatikan. Pemeriksaan

    imunohistokimia dengan menggunakan

    monoclonal antibodi anti MHC kelas I

    dengan pewarnaan metode streptavidin-

    biotin pada preparat eksisi biopsi jaringan

    sekitar luka pada hari ke-5 yang berwarna

    merah kecoklatan. Dengan mikroskop

    Olympus seri BX 41 yangdilengkapikamera digital DP-70 dengan

    pembesaran 400 X dan memakai sofware

    olysia tahun 2000 yang merupakan satu

    kesatuan dengan seperangkat alat

    komputer, intensitas warna dapat diketahui

    sebagai nilai kuantitatif. Interpretasi hasil

    dilakukan di laboratorium Patologi

    Anatomi Fakultas Kedokteran UNS

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    Telah dilakukan penelitian hewan coba

    pengaruh infiltrasi levobupivakain

    terhadap skor histologi MHC kelas I pada

    penyembuhan luka. Hewan coba

    menggunakan 15 ekor tikus Wistar, betina,

    dewasa umur kurang lebih 3 bulan, berat

    badan 250 - 300 gram dan tanpa kelainan

    anatomis.

    Kelompok perlakuan :

    Kelompok 1 (K1: tanpa perlakuan): 5ekor

    tikus; Kelompok 2 (K2: infiltrasi tanpa

    anestetik lokal): 5 ekor tikus; Kelompok 3

    (K3: dengan infiltrasi anestetik lokal): 5

    ekor tikus

    Penelitian ini dilakukan di Laboratorium

    Unit Pemeliharaan Hewan Percobaan

    UGM Yogyakarta dan pembuatan preparat

    imunohistokimia dan pembacaan

    dilakukan di Laboratorium Patologi

    Anatomi Fakultas Kedokteran UNS

    Surakarta.

  • 7/22/2019 Sedasi Dan Pelumpuh Otot Icu

    20/59

    86

    Jurnal Anestesiologi Indonesia

    Volume II, Nomor 2, Tahun 2010

    Pada penelitian ini dilakukan pengujian

    efek perlakukan terhadap ekspresi MHC

    kelas I pada hari ke lima.

    Tabel 1. Data berat badan tikus

    Dari tabel 1 untuk uji homogenitas nilai

    rerata berat badan pada ketiga kelompok

    MHC I berbeda tak bermakna (p=0,874).

    Tabel 2. Skor histologi MHC kelas I pada hari ke 5

    Tabel 3 . Nilai rerata MHC kelas 1

    Tabel 4. Uji Normalitas MHC kelas 1

    Nilai rerata kelompok kontrol lebih kecil

    daripada kelompok perlakuan (K1

    danK2). Nilai rerata MHC kelas I pada

    kelompok dengan infiltrasi

    levobupivakain (K3) lebih rendahdibandingkan dengan kelompok tanpa

    infiltrasi obat tersebut (K2).

    Tabel 5. Uji bedaMHC kelas 1

    Distribusi data MHC kelas I diuji

    menggunakan uji normalitas Shapiro-

    Wilk. Hasil uji normalitas MHC kelas I

    pada ketiga kelompok terdistribusi normal

    (p>0,05).

    Dari tabel 5 di atas menunjukkan skorhistologi MHC kelas I antara kelompok

    tanpa levobupivakain dan dengan

    levobupivakain berbeda bermakna

    (p=0.011; p

  • 7/22/2019 Sedasi Dan Pelumpuh Otot Icu

    21/59

    87

    Jurnal Anestesiologi Indonesia

    Volume II, Nomor 2, Tahun 2010

    Dari gambar 4 dapat diketahui nilai rerata

    MHC kelas I pada K2 lebih besar daripada

    kelompok K3, hal ini menunjukkan bahwa

    ekspresi pada MHC kelas I dengan

    infiltrasi levobupivakain akan lebih kecil.

    Pada kelompok K1 terdapat ekspresi MHC

    kelas I meskipun lebih kecil daripada

    kelompok yang diberi dan yang tidak

    diberi infiltrasi levobupivakain.

    Gambar 5. Gambar mikroskopik MHC kelas I

    (pembesaran 400x)

    Pada penelitian ini dilakukan penilaian

    terhadap ekspresi MHC I sedangkan

    ekspresi CD8+ juga telah diteliti

    sebelumnya dan hasilnya bahwa ekspresi

    CD8+ dengan infiltrasi levobupivakain

    lebih kecil daripada tanpa infiltrasi

    levobupivakain. Penelitian terhadap MHC

    kelas I bertujuan bahwa untuk

    membuktikan suatu masalah harusdidukung oleh parameter-parameter lain,

    dalam hal ini MHC I dan CD8+. MHC

    kelas I berasosiasi dengan CD8+,

    sedangkan MHC kelas II berasosiasi

    dengan CD4+. Dalam penyembuhan luka

    CD8+ merupakan down regulator wound

    healing sedangkan CD4+ merupakan up

    regulator wound healing.

    Pengambilan biopsi jaringan pada luka

    dilakukan pada hari kelima, karena jumlah

    limfosit T bermakna pada hari kelima

    sampai dengan hari ketujuh pada proses

    penyembuhan luka normal. Penelitian

    mengenai proses inflamasi yang terjadi

    tidak dilakukan dalam penelitian ini.

    Untuk uji homogenitas ketiga kelompok

    MHC I dengan variabel yang dapat diukur

    yaitu berat badan, dimana didapat hasil

    statistik berbeda tidak bermakna.

    Hasil penelitian menunjukan bahwa akibat

    pemberian infiltrasi anestetik lokal

    levobupivakain skor histologi MHC kelas I

    pada jaringan sekitar luka lebih kecil

    dibanding kelompok tanpa infiltrasi obat.

    Ini berarti ekspresi MHC kelas I lebih

    sedikit terjadi pada kelompok dengan

    infiltrasi levobupivakain. Ekspresi MHC

    kelas I yang kecil, sesuai dengan hasil

    ekspresi pada CD8+ yang juga kecil pada

    kelompok dengan infiltrasi

    levobupivakain. Ekspresi CD8+ yang

    lebih sedikit maka penyembuhan luka

    menjadi lebih baik, hal ini sesuai dengan

  • 7/22/2019 Sedasi Dan Pelumpuh Otot Icu

    22/59

    88

    Jurnal Anestesiologi Indonesia

    Volume II, Nomor 2, Tahun 2010

    penelitian terdahulu bahwa deplesi limfosit

    CD8+ memperlihatkan kenaikan yang

    signifikan terhadap kekuatan, kekenyalan

    dan kekerasan jaringan luka. Dalam hal ini

    CD8+ merupakan down regulator woundhealing. Pemberian infiltrasi

    levobupivakain maka nyeri akut akan

    berkurang sehingga sekresi hormon

    glukokortikoid menurun maka

    penyembuhan luka menjadi lebih baik.

    Hormon glukokortikoid selain

    menghambat respon imun juga akan

    mengganggu penyembuhan luka.Berkurangnya nyeri akut maka respon

    imun akan meningkat, yang ditandai

    anti inflamasi, menghambat pembentukan

    fibroblast serta mengganggu sintesis

    kolagen, sehingga sekresi hormon

    glukokortikoid yang berlebihan akan

    dengan menurunnya ekspresi MHC kelas I

    dan CD8+.

    Pada penelitian ini kelompok kontrol

    MHC I masih terekspresi meskipun tikus

    tidak diberi insisi dan perlakuan, hal ini

    membuktikan bahwa meskipun secara fisik

    tikus tidak terinfeksi tetapi ekspresi MHC

    kelas I dan CD8+ sitotoksik tetap terjadi.

    Kemungkinan yang dapat terjadi, MHC I

    yang terdapat pada semua sel yang berintiakan terekspresi bila ada infeksi, jadi tidak

    menutup kemungkinan terjadi infeksi pada

    kelompok kontrol meskipun telah

    diusahakan untuk menghilangkan faktor

    infeksi

    Untuk selanjutnya perlu dipertimbangkan

    penelitian mengenai faktor pertumbuhan

    (TGF, FGF, PDGF, dan VeGF) serta

    faktor inflamasi. Dengan meneliti faktor

    pertumbuhan, maka proses penyembuhan

    luka dengan infiltrasi levobupivakain dapat

    dianalisis secara spesifik. Aplikasi klinis

    infiltrasi anestetik lokal levobupivakain

    selain dapat dijadikan alternatif untuk

    mengendalikan nyeri akut pasca

    pembedahan serta respons stres juga

    terjadi penyembuhan luka yang lebih baik.

    SIMPULAN DAN SARAN

    Skor histologi MHC kelas I pada

    kelompok dengan infiltrasi

    Levobupivakain di sekitar luka lebih kecil

    dibanding kelompok tanpa infiltrasilevobupikain. Pengendalian nyeri akut dan

    memperbaiki penyembuhan luka dapat

    dilakukan dengan infiltrasi anestetik lokal

    levobupivakain disekitar luka. Perlu

    dilakukan analisis terhadap faktor

    pertumbuhan lain seperti TGF, FGF,

    PDGF, dan VeGF serta analisis mengenai

    proses inflamasi sehingga dapat diketahui

    proses penyembuhan luka secara spesifikdan dapat diketahui sampai hari keberapa

    proses inflamasi akan terjadi.

    DAFTAR PUSTAKA

    1. Cotran Ramzi S, Kumar V, Collins T.Pathology basic of disease. 6th ed.

    Philadelphia: W B Saunders Co, 1999:

    p.21-201.

    2. Mast AB. Normal wound healing. In:Achauer BM, Eriksson E, eds. Plastic

    Surgery, Indications, Operations and

    Outcomes. Mosby: Mosby Inc,2000: p.37-

    53.

    3. Roit I. Imunology. Jakarta: WidyaMedika, 2003: p.67-92.

  • 7/22/2019 Sedasi Dan Pelumpuh Otot Icu

    23/59

    89

    Jurnal Anestesiologi Indonesia

    Volume II, Nomor 2, Tahun 2010

    4. Albert B, Lewis DBJ, Raff M, Roberts K,Watson JD. The immune system. In:

    Molecular biology of the cell.3rd ed. New

    York & London: Garland Publishing Inc,

    1994: p1229-51.

    5. Constantinnides P. General pathobiology.1st ed. Norwalk Connecticut: Appleton

    and Lange, 1994 : p.173-86.

    6. Fileds H L, The peripheral pain sensorysystem. In: Pain 1st ed. New York:

    McGraw Hill Co. Inc, 1987: p.13-37.

    7. Melzacks R, Wall P. The gate controltheory of pain. In : Melzacks R, Wall P.

    The challenge of pain 1st ed. Penguin

    education, 1994: p.223-61

    8. Cervero F. Mechanism of visceral pain,past and present. In: Gebhart G F.

    Ed.72Visceral pain, progress in pain

    research and management. Seattle: Vol 5.

    IASP Press, 1995: p469-88.

    9. Galindo M A, Levobupivacain, a longacting local anaesthetic, with less cardiac

    and neurotoxicity. Available

    from:http://www.ndaa.ox.ac.uk/wfsa/html/u

    10. Hollmann, Markus W, Durieux E. Localanesthetics and the inflammatory

    responsse: A new therapeutic indication?,

    Anesthesiology, September 2000; 93:

    p858-75.

    11. Raymond R G, William G B. Painmanagement. In: Morgans G E, Mikhail M

    S. eds. Clinical anesthesiology. 1st ed.New Jersey: Prentice Hall int. Inc, 1992:

    p269- 73.

    12. Devor M. Pain mechanism and painsyndrome. In: Champbell J N. Pain 1996

    an update review. Seattle: IASP Press,

    1996: p103-12.

    13. Pleuvry B J. The chemical modulation ofnociceptive responsses and pain. In :

    Healy T E J, Cohen P J. eds. A practice of

    anesthesia. 6th ed.London : Edward

    Arnold, 1995 : p80-88.

    14. Bonica J J. Anatomic and physiologicbasis of pain and nociception and pain. In:

    Bonica J J. ed. The management of pain.

    Pennsylvania: Lea and Febiger London,

    1990: p12-28.

    15. Churchill H C, Davidson. Pain clinical andoperative nerve block. In: Apractice of

    anesthesia. 5th ed. Singapore: PG Pub.

    Pte. Ltd, 1986: p893-900.

    16.Notosoedirjo M, Nyeri dan tatalaksanapenangulangannya. Disajikan dalam

    pertemuan klinik yang diselenggarakan

    oleh ikatan dokter ahli jiwa cabang

    Surabaya di Batu, Malang pada tanggal 8

    9 Juni 1996.

    17. Wound Healing.2000. Available from:URL:http://www.orthoteers.co.uk/

    18. Unanue E R. In: Tizard Ian R. Imunology,an introduction. 4th ed. Philadelphia:

    Saunders College Pub. Harcourt College,

    1995 : p75-87.

    19. Kresno Boedina S. Imunologi, diagnosisdan prosedur laboratorium. 4th ed. Jakarta:

    Balai penerbit FK UI, 2003: p4-32.

    20. Vintar N, Pozlep G, Rawal N, et all.Incisional self-administration of

    bupivacaine or ropivacaine provides

    effective analgesia after inguinal herniarepair. CJA 2002; 49: p4816.

    http://www.ndaa.ox.ac.uk/wfsa/html/u14/u1407-01.htmlhttp://www.ndaa.ox.ac.uk/wfsa/html/u14/u1407-01.htmlhttp://www.ndaa.ox.ac.uk/wfsa/html/u14/u1407-01.htmlhttp://www.ndaa.ox.ac.uk/wfsa/html/u14/u1407-01.htmlhttp://www.orthoteers.co.uk/http://www.orthoteers.co.uk/http://www.orthoteers.co.uk/http://www.orthoteers.co.uk/http://www.ndaa.ox.ac.uk/wfsa/html/u14/u1407-01.htmlhttp://www.ndaa.ox.ac.uk/wfsa/html/u14/u1407-01.htmlhttp://www.ndaa.ox.ac.uk/wfsa/html/u14/u1407-01.html
  • 7/22/2019 Sedasi Dan Pelumpuh Otot Icu

    24/59

    90

    Jurnal Anestesiologi Indonesia

    Volume II, Nomor 2, Tahun 2010

    21. Blotnick S, Peoples G E, Freeman M R,Eberlein T J, Klagsbrun M. T 74

    lymphocytes synthesize and export

    heparin-binding epidermal growth

    factorlike growth factor and basic

    fibroblast growth factor, mitogens forvascular cells and fibroblasts: Differential

    production and release by CD4+ and

    CD8+T cells, Cell Biology. April 1994

    Vol 91: p2890-94.

    22. Boyce DE, Jones WD, Ruge F. The Roleof Lymphocytes in Human Dermal Wound

    Healing. Aidline national library or

    medicine 2000 Jul; 143 (1): 59-65.

    Available from: URL:

    http://www.aegis.com/

    23. Davis PA, Corless DJ, Aspinal R, WastellC. Effect of CD4(+) and CD8(+) Cell

    depletion on wound healing. Departement

    of Academic Surgery, Imperial College

    School of Medicine, Chelsea and

    Westminter Hospital, London, UK.

    [email protected]

    24. Mulyata S. Paket penyuluhan kognitif dansenam prapersalinan pada primigravidamengurangi cemas dan nyeri persalinan,

    meningkatkan skor apgar bayi, serta

    mempercepat penyembuhan luka

    persalinan. Disertasi S3 Universitas

    Airlangga Surabaya. 2002 : p122-124.

    25. World Health Organization. Resarchguidelines for evaluating the safety and

    afficacy of herbal medicines. New York,

    1993: p44.75

    26. Wasito R, Imunohistokimia. Dalam:Pedoman kuliah imunohistopatologi Dep

    Dikbud. Proyek pengembangan pusat

    fasilitas bersama antar universitas. PAU

    Bioteknologi-Universitas Gadjah Mada

    Yogyakarta. 1991 : p36-80.

    27. Sudigdo S, Sofyan I, Dasar dasarmetodologi penelitian klinis edisi ke-2.

    Jakarta: Sagung Seto. 2002: p247-49.

    28. Sudrajad I, Ekspresi CD8+ danperbandingan ekspresi CD4+/CD8+ di

    jaringan sekitar luka dengan dan tanpa

    infiltrasi levobupivakain pada nyeri pasca

    insisi. Studi imunohistokimia pada tikus

    wistar. Tesis S2 Universitas DiponegoroSemarang. 2006

    http://www.aegis.com/http://www.aegis.com/http://www.aegis.com/mailto:[email protected]:[email protected]:[email protected]://www.aegis.com/http://www.aegis.com/
  • 7/22/2019 Sedasi Dan Pelumpuh Otot Icu

    25/59

    91

    Jurnal Anestesiologi Indonesia

    Volume II, Nomor 2, Tahun 2010

    PENELITIAN

    Perbedaan Agregasi Trombosit pada Penderita yang Mendapat Propofol dan

    Penthotal

    Arliansah*, Widya Istanto*, Hariyo Satoto**Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang

    ABSTRACT

    Background : Perioperative bleeding is a serious and common problem in surgery. Some

    induction anesthetic agents are thought to inhibit platelet aggregation. The propofol and

    penthotal had effect on platelet aggregation.

    Objective : Determine the difference effects of propofol and penthotal administration on

    platelet aggregation.

    Method:An Randomized Clinical Control Trial study on 34 patients who received general

    anesthesia, divided into two groups (n: 17). Both groups received Propofol or Penthotal were

    examined TAT before and five minutes after induction All data were analyzed by pair t-test

    and independent t-test for Propofol or Penthotal and platelet aggregation.

    Result : Maximal platelet aggregation before and after the administration of propofol and

    penthotal is significant, difference. In propofol and penthotal group, the percentage of

    maximal platelet aggregation was 54,939,38 and 66,268,94 (p=0,0001). We found 64,71%

    hypoaggregation, 17,65% mild hypo aggregation and 17,65% normo aggregation on

    propofol group, and 11,76% of hypo aggregation, 23,53% mild hypoaggregation and 64,71%

    normoaggregation on penthotal group. Statistically, propofol caused significant

    hypoaggregation of platelet compared to penthotal).

    Conclusion : Propofol significantly lowers the percentage of maximal platelet aggregation

    and causes more hypoaggregation than penthotal.

    Keywords:propofol, penthotal, ADP, platelet aggregation

    ABSTRAK

    Latar belakang penelitian: Perdarahan perioperatif merupakan masalah yang sering

    dihadapi dalam setiap operasi. Penggunaan obat anestesi induksi mempunyai pengaruh

    menghambat agregasi trombosit. Propofol dan Penthotal mempengaruhi Agregasi

    Trombosit.

    Tujuan: Membuktikan perbedaan pengaruh Propofol dan Penthotal terhadap Agregasi

    Trombosit.

    Metode: Merupakan penelitian Randomized Clinical Control Trial pada 34 pasien yang

    menjalani anestesi umum, dibagi menjadi 2 kelompok (n=17), Propofol dan Penthotal.

    Masing-masing kelompok diperiksa TAT sebelum induksi dan 5 menit setelah induksi. Uji

    *

  • 7/22/2019 Sedasi Dan Pelumpuh Otot Icu

    26/59

    92

    Jurnal Anestesiologi Indonesia

    Volume II, Nomor 2, Tahun 2010

    statistik pair t-test dan independent t-test terhadap propofol atau penthotal dan agregasi

    trombosit.

    Hasil: Agregasi maksimal trombosit, sebelum dan sesudah pemberian propofol atau

    penthotal berbeda bermakna. Kelompok penthotal persentase agregasi maksimal trombosit

    68,73 6,06% dan propofol 54,68 9,55%, menunjukkan perbedaan yang bermakna antarakeduanya (p=0,001). Hasil sesudah perlakuan, kelompok propofol 14 orang hipoagregasi

    (82,4%), dan 3 orang normoagregsi (17,6%). Sementara kelompok penthotal 5 orang

    hipoagregasi (29,4%), dan sisanya 12 orang normoagregasi (70,6%). Secara statistik

    propofol secara bermakna menyebabkan hipoagregasi daripada penthotal.

    Kesimpulan : Propofol secara bermakna menurunkan agregasi maksimal trombosit dan

    menyebabkan hipoagregasi lebih banyak daripada penthotal.

    Kata kunci : propofol, penthotal, ADP, agregasi trombosit

    PENDAHULUAN

    Perdarahan selama dan sesudah operasi

    merupakan masalah yang sering terjadi

    dalam setiap operasi. Apabila perdarahan

    ini tidak teratasi dengan baik, akan

    menyulitkan dan menyebabkan serta

    meningkatkan angka morbiditas dan

    mortalitas selama dan sesudah operasi.

    Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi

    hemodinamik selama dan sesudah operasi

    adalah jenis dan lamanya operasi,

    kompetensi operator, obat anestesi yang

    digunakan, serta faktor intrinsik dari

    pasien seperti penyakit sistemik, penyakit

    berat dan kronis, serta kelainan fungsi

    koagulasi. Mekanisme fisiologis

    tubuhuntuk mengendalikan perdarahan

    yaitu dengan cara mengaktifkan proses

    hemostasis dan pembekuan melalui

    pembentukan bekuan trombosit dan fibrin

    pada tempat cedera. Pembekuan akan

    disusul oleh resolusi atau lisis bekuan dan

    regenerasi endotel. Proses ini akan

    melindungi individu dari perdarahan masif

    sekunder akibat trauma. Dalam keadaan

    abnormal, dapat terjadi perdarahan atau

    trombosis dan penyumbatan cabang-

    cabang vaskuler yang dapat mengancam

    nyawa. Faktor utama yangbertanggungjawab dalam proses

    hemostasis adalah: (1) vasospasme

    pembuluh darah, (2) reaksi trombosit

    (adhesi, pelepasan, dan agregasi), (3)

    pengaktifan faktor-faktor koagulasi.

    Disfungsi trombosit diketahui merupakan

    salah satu penyebab kelainan perdarahan

    selama periode perioperatif, yang

    merupakan masalah serius dalam

    pengelolaan pasien yang menjalani

    operasi. Salah satu faktor yang

    mempengaruhi terjadinya disfungsi

    trombosit adalah interaksi obat-obat yang

    digunakan selama proses anestesi dengan

    thrombosis. Interaksi tersebut dapat

    memperberat risiko komplikasi

    perdarahan, mengingat peran trombosit

    yang penting pada proses homeostasis

    selama dan sesudah pembedahan.

    Hampir semua tindakan pembedahan

    dilakukan dibawah pengaruh anestesi, dan

    sebagian besar dengan anestesi umum.

    Karena berpengaruh secara seluler,

    anestesi umum perlu mendapat perhatian

  • 7/22/2019 Sedasi Dan Pelumpuh Otot Icu

    27/59

    93

    Jurnal Anestesiologi Indonesia

    Volume II, Nomor 2, Tahun 2010

    dalam hal interaksi obat anestesi dengan

    trombosit. Anestesi umum adalah suatu

    keadaan reversible yang mengubah status

    fisiologis tubuh, yang ditandai dengan

    hilangnya kesadaran (sedasi), hilangnyapersepsi nyeri (analgesia) hilangnya

    memori (amnesi) dan relaksasi. Sebagian

    besar operasi yang dilakukan di Instalasi

    Bedah Sentral RSUP Dr. Kariadi

    Semarang dilakukan dengan anestesi

    umum. Propofol dan penthotal merupakan

    obat anestesi induksi yang sering

    digunakan pada anestesi umum selain

    ketamin.

    Propofol (2,6 diisopropylphenol)

    merupakan zat anestesi induksi intravena

    yang banyak digunakan pada praktik klinis

    harian. Secara struktur, zat ini sangat

    serupa dengan -tokoferol dan asam

    asetilsalisilat. Efek anti oksidannya

    disebabkan oleh kesamaan struktur dengan

    -tokoferol. Pada suatu penelitian yangdilatarbelakangi oleh keserupaan struktur

    propofol dengan asam salisilat,

    memperlihatkan bahwa zat anestesi ini

    akan menghambat agregrasi trombosit

    pada whole blood secara in vitro dalam

    kisaran konsentrasi yang serupa seperti

    pada plasma manusia setelah pemberian

    intravena.

    Temuan yang penting dalam penelitian ini

    adalah bahwa propofol memperlihatkan

    efek anti agregrasi ditemukan serupa pada

    PRP dan whole blood. Efek ini terkait

    dengan dua mekanisme dasar :

    penghambatan sintesis tromboksan

    trombosit A2, dan peningkatan sintesis NO

    oleh sel leukosit. Kedua efek dapat secara

    bergantian, terkait dengan efek antioksidan

    propofol . Efek agregasi trombosit ini tidak

    terlihat bermakna pada pasien yang

    dinduksi dengan obat anestesi induksi

    penthotal.

    Penelitian Dordoni, dkk penthotal secara

    bermakna mengurangi agregasi yang

    diinduksi kolagen di akhir induks.

    Penthotal mengurangi fungsi trombosit

    baik ex-vivo dan in-vitro. Hasil penelitian

    Parolari A, dkk penthotal secara bermakna

    menghambat aktivasi trombosit yang

    menginduksi prostaglandin pada

    konsentrasi terapeutik baik in-vitrodan ex-vivo pada pasien operasi, sementara ADP

    menginduksi aktivasi yang hanya

    mempengaruhi konsentrasi obat

    supraterapi. Penelitian Gries, dkk

    thiopental 200 g/ml juga memberikan

    kelengkapan penghambatan trombosit

    secara bermakna.

    Penelitian yang dilakukan oleh Aoki, dkk

    di Jepang propofol 5 mg/kg/jam

    menghambat agregasi trombosit. Dari

    penelitian Mendez D, dkk didapatkan

    setelah 5 menit pemberian propofol 2,5

    mg/kg secara bolus intrvena, terjadi

    penurunan agregasi trombosit secara

    bermakna pada whole blood, dan tidak

    bermakna dengan pemberian penthotal 4

    mg/kg intravena.

    11,16,20

    Yang biasadigunakan di Instalasi Bedah Sentral

    RSUP Dr. Kariadi Semarang dengan

    anestesi umum adalah dengan

    anestesiinduksi propofol dengan dosis 1,5-

    2,5 mg/kg intravena dan penthotal 5 mg/kg

    intravena.

    Pemakaian dengan dosis tinggi akan

    berbahaya terhadap hemodinamik karena

  • 7/22/2019 Sedasi Dan Pelumpuh Otot Icu

    28/59

    94

    Jurnal Anestesiologi Indonesia

    Volume II, Nomor 2, Tahun 2010

    dapat menyebabkan hipotensi. Hal ini

    disebabkan efek vasodilatasi pembuluh

    darah oleh obat anestesi induksi tersebut.

    Perbedaan dosis ini tentunya juga akan

    mempengaruhi hasil yang didapat padapenelitian ini.

    Agregasi trombosit dinilai melalui suatu

    pemeriksaan yang disebut dengan Tes

    Agregasi Trombosit (TAT). Pemilihan

    jenis pemeriksaan agregasi trombosit

    untuk pemantauan tergantung dari macam

    obat yang digunakan. Beberapa

    agonis/induktor yang dapat digunakanadalah trombin, tromboksan A2, asam

    arakidonat, serotonin, vasopresin, dan

    ADP yang dipakai pada Laboratorium

    Patologi Klinik di RSUP Dr. Kariadi. TAT

    berdasarkan perubahan transmisi cahaya

    sampai sekarang masih dianggap sebagai

    baku emas untuk menilai fungsi agregasi

    trombosit.

    Setiap peningkatan transmisi cahaya

    dicatat sebagai suatu agregasi trombosit.

    Hasilnya akan dididapatkan prosentase-

    agregasi maksimal trombosit yang terjadi

    dengan pemberian ADP 2 M; 5M dan

    10 M sebagai induktor agonis trombosit.

    Berdasarkan temuan dari beberapa

    penelitian diatas, akan dilakukan penelitian

    perbedaan pengaruh pemberian propofol

    2,5 mg/kg intravena dan penthotal 5 mg/kg

    intravena terhadap agregasi trombosit

    (Dosis anestesi induksi propofol 2,5 mg/kg

    ekuivalen dengan dosis induksi dengan

    penthotal 5 mg/kg). Pada penelitian ini

    ditambahkan hasil yang

    mempertimbangkan interpretasi Tes

    Agregasi Trombosit dengan mengamati

    gambaran pola kurva agregasi.

    Penelitian ini bertujuan membuktikan

    adanya perbedaan pengaruh pemberian

    propofol 2,5 mg/kg intravena dan

    penthotal 5 mg/kg intravena terhadap

    agregasi trombosit. Tujuan lain untukmembuktikan perbedaan prosentase

    agregasi maksimal trombosit sebelum dan

    sesudah pemberian propofol 2,5 mg/kg

    intravena. Membuktikan perbedaan

    prosentase agregasi maksimal trombosit

    sebelum dan sesudah pemberian penthotal

    5 mg/kg intravena. Membuktikan

    perbedaan prosentase agregasi maksimal

    trombosit sesudah pemberian propofol 2,5mg/kg intravena dan sesudah pemberian

    penthotal 5 mg/kg intravena.Untuk

    membuktikan perbedaan antara propofol

    2,5 mg/kg intrvena dan penthotal 5 mg/kg

    intravena dalam menyebabkan

    hipoagregasi.

    METODE PENELITIAN

    Penelitian ini merupakan uji klinik fase 2

    dengan bentuk rancangan Randomized

    Clinical Control Trial. Dalam rancangan

    eksperimental, pengukuran atau observasi

    dilakukan di awal & setelah perlakuan.

    Ruang lingkup keilmuan:Anestesiologi,

    Farmakologi dan Patologi Klinik. Ruang

    lingkup tempat: Instalasi Bedah Sentral

    dan Laboratorium Patologi Klinik RSUP

    Dr. Kariadi Semarang. Ruang lingkup

    waktu :Desember 2008 sampai Maret

    2009.

    Populasi terjangkau:Semua pasien di

    Instalasi Bedah Sentral (IBS) RSUP Dr.

    Kariadi pada bulan Desember 2008 sampai

    Maret 2009. Populasi target : semua pasien

    Bedah Onkologi di Instalasi Bedah Sentral

  • 7/22/2019 Sedasi Dan Pelumpuh Otot Icu

    29/59

    95

    Jurnal Anestesiologi Indonesia

    Volume II, Nomor 2, Tahun 2010

    (IBS) RSUP Dr. Kariadi pada bulan

    Desember 2008 sampai Maret 2009.

    Sampel meliputi semua pasien Bedah

    Onkologi di Instalasi Bedah Sentral (IBS)RSUP Dr. Kariadi yang memenuhi kriteria

    inklusi dan eksklusi pada bulan Desember

    2008 sampai Maret 2009.

    Sampel yang ada di kelompokkan menjadi

    dua kelompok menggunakan Randomized

    Clinical Control Trial. Sampel

    dikelompokkan dengan cara acak, dimana

    pasien pertama dikelompokkan dalam -

    kelompok 1 (K1), pasien kedua

    dimasukkan kedalam kelompok 2 (K2),

    pasien ketiga masuk ke dalam kelompok 1

    (Kl) dan seterusnya secara berselang-

    seling. Peneliti tidak mengetahui pasien

    berikutnya (blind) karena urutan pasien

    berdasarkan pendaftaran di loket Instalasi

    Bedah Sentral yang berubah setiap

    harinya. Kedua kelompok penelitian ini

    diberikan perlakuan yang berbeda sebagai

    berikut :

    Kelompok 1 (Kl): menggunakan obat

    anestesi induksi propofol 2,5 mg/kg

    intravena (dosis anestesi induksi 1,5-2,5

    mg/kg intravena) sebagai obat anestesi

    induksi.Kelompok 2 (K.2): menggunakan

    obat anestesi induksi penthotal 5 mg/kg

    intravena (dosis anestesi induksi 4-5

    mg/kg intravena) yang juga sebagai obat

    anestesi induksi.

    Kriteria inklusi

    Menjalani operasi elektif dengan general

    anestesia (GA), pasien bedah onkologi,

    Status fisik ASA I-II, usia 19-39 tahun,

    berat badan normal

    Kriteria eksklusi

    Pasien menderita DM, hipertensi,

    menggunakan obat NSAID, kadar

    trombosit < 100.000/L -atau >

    400.000/L, riwayat merokok, kadar

    kolesterol > 200 mg/dl.

    Seleksi penderita dilakukan saat

    kunjungan prabedah di RSUP Dr. Kariadi

    Semarang pada penderita yang akan

    menjalani operasi elektif dengan anestesi

    umum, berdasarkan kriteria yang telah

    ditetapkan sebelumnya. Penderita

    diberikan penjelasan tentang hal-hal yang

    akan dilakukan, serta bersedia untuk

    mengikuti penelitian dan mengisi informed

    consent. Pasien secara random dibagi

    menjadi 2 kelompok yaitu kelompok 1

    (K1): propofol dan kelompok 2 (K2):

    penthotal, sehingga masing-masing

    kelompok berjumlah 17 orang.

    Semua pasien dipuasakan 6 jam sebelum

    operasi, kebutuhan cairan selama puasa

    dipenuhi sebelum operasi dengan

    menggunakan Ringer Laktat. Sampel

    diambil dari akses jalur pembuluh darah

    vena perifer sebanyak 10 cc. Sampel

    dimasukkan tabung vaccum yang sudah

    berisi citrate anticoagulant. Sampel segera

    dikirim ke Laboratorium Patologi Klinik

    RSUP Dr. Kariadi sebagai sampel sebelum

    perlakuan untuk dilakukan pemeriksaan

    agregasi trombosit. Pengambilan sampel

    sebanyak 10 cc akan di bagi untuk mengisi

    ke-3 tabung sebanyak 3 cc/tabung sesuai

  • 7/22/2019 Sedasi Dan Pelumpuh Otot Icu

    30/59

    96

    Jurnal Anestesiologi Indonesia

    Volume II, Nomor 2, Tahun 2010

    dengan pemberian ADP 2 M; 5M dan

    10 M sebagai induktor agonis trombosit.

    Saat operasi semua pasien diinduksi

    dengan propofol atau penthotal. Untukpemeliharaan anestesi pada kedua

    kelompok mendapat perlakuan tidak

    berbeda, kelompok 1 menggunakan obat

    anestesi induksi propofol 2,5 mg/kg

    intravena, sedangkan kelompok 2

    mengunakan obat anestesi induksi

    penthotal 5 mg/kg intravena. Anestesi

    dipertahankan pada seluruh kasus dengan

    inhalasi campuran N2O:O2(50%:50%).

    Pasien menerima premedikasi ranitidin 50

    mg 2 jam sebelum operasi. Setelah

    dilakukan kanulasi pada pembuluh vena,

    larutan saline fisiologis diberikan dan 1-2

    g/kg fentanyl. Kemudian dilakukan

    induksi anestesi dengan cara yang telah

    tersebut di atas. Pelemah otot digunakan

    atracurium 0.5 mg/kg.

    Pada semua kelompok sampel darah

    diambil sebelum dilakukan pemberian obat

    anestesi induksi (propofol atau penthotal)

    dan 5 menit setelah dilakukan obat

    anestesi induksi (propofol atau penthotal).

    Pengambilan sampel dilakukan 5 menit

    setelah anestesi induksi berdasarkan dari

    onset (mula kerja), durasi (lama kerja)

    kedua obat anestesi induksi dan penelitian

    terdahulu. Onset dan durasi dari propofol

    adalah 40 detik dan 5-10 menit, sedangkan

    penthotal adalah 10-20 detik dan 5-15

    menit. Sampel darah diambil sebanyak 10

    cc, dimasukkan ke dalam tabung vaccum

    yang sudah berisi citrate anticoagulant.

    Sampel segera dikirim ke Laboratorium

    Patologi Klinik RSUP Dr. Kariadi sebagai

    sampel sesudah perlakuan untuk dilakukan

    pemeriksaan agregasi trombosit.

    Pengambilan sampel sebanyak 10 cc akan

    di bagi untuk mengisi ke-3 tabung

    sebanyak 3 cc/tabung sesuai dengan

    pemberian ADP 2 M; 5M dan 10 Msebagai induktor agonis trorbosit.

    Data yang terkumpul kemudian diedit, di-

    koding dan di-entry ke dalam file

    komputer. Setelah itu dilakukan cleaning

    data.

    Analisis deskriptif dilakukan dengan

    menghitung proporsi gambaran

    karakteristik responden menurut kelompok

    perlakuan. Hasil analisis disajikan dalam

    bentuk tabel dan grafik.

    Analisis analitik dilakukan untuk menguji

    prosentase agregasi maksimal trombosit

    kedua kelompok dengan uji paired t-test.

    Semua uji analitik menggunakan = 0,05

    Semua perhitungan statistik menggunakan

    software SPSS 15.

    HASIL

    Telah dilakukan penelitian tentang

    perbedaan pengaruh pemberian propofol

    dan penthotal terhadap agregasi trombosit

    pada 34 orang penderita yang menjalani

    operasi dengan status fisik ASA I dan IIsetelah memenuhi kriteria inklusi dan

    eksklusi tertentu. Penderita dibagi menjadi

    2 kelompok, masing- masing adalah :

    Kelompok 1 (K1) : menggunakan obat

    anestesi induksi propofol 2,5 mg/kg

    intravena (dosis anestesi induksi 1,5-2,5

    mg/kg intravena) sebagai obat anestesi

    induksi.

  • 7/22/2019 Sedasi Dan Pelumpuh Otot Icu

    31/59

    97

    Jurnal Anestesiologi Indonesia

    Volume II, Nomor 2, Tahun 2010

    Kelompok 2 (K2) : menggunakan obat

    anestesi induksi penthotal 5 mg/kg

    intravena (dosis anestesi induksi 4-5

    mg/kg intravena) sebagai obat anestesi

    induksi.

    Tabel 2. Karakteristik.umum subyek pada masing-

    masing kelompok

    No Variabel

    Kel.

    Propofol

    (n=17)

    Kel. Penthotal

    (n=17)P

    1

    Jenis

    Kelamin

    Laki-laki15 (88,2%) 14 (82,4%) -

    Perempuan 2 (11,8%) 3 (17,6%) -

    2Umur

    (tahun)

    33,295,15

    734,123,777 0,911

    3Body Mass

    Index

    22,9012,9

    1622,5382,778 0,784

    4Tek Darah

    Sistol

    126,127,0

    88127,299,157 0,603

    5Tek Darah

    Diastol

    74,596,03

    274,767,604 0,616

    6 Nadi 82,5313,0

    77

    79,829,112 0,375

    7 Status ASA 15 (88,2%) 14 (82,4%)

    ASA II 2 (11,8%) 3 (17,6%)

    8Jumlah

    trombosit

    248,88

    48,385

    240,06

    48,0730,582

    9 Gula darah

    sewaktu

    116,65

    12,584

    115,65

    13,0760,822

    Uji normalitas Shapiro-Wilk digambarkan

    pada tabel 2, dimana karakteristik umum

    subyek pada masing-masing kelompok

    memiliki distribusi yang normal (p >

    0,05), sehingga untuk uji homogenitas

    diperlukan analisis statistik dengan

    independent t test. Hasilnya didapatkan

    data yang homogen (perbedaan yang tidak

    bermakna, p > 0,05) dari semua variabel

    yakni umur, BMI, tekanan darah sistol,

    tekanan darah diastol, nadi, jumlah

    trombosit, dan gala darah sewaktu sebelum

    dilakukan perlakuan.

    Pada tabel 3 menunjukkan data sebelum

    perlakuan pada kelompok I (Propofol) dan

    II (Penthotal) didapatkan hasil uji

    normalitas menunjukkan nilai prosentase

    agregasi trombosit maksimal berdistribusi

    normal dengan induktor 10 M ADP, 5

    M ADP, dan 2 M ADP.

    Tabel 3. Uji normalitas prosentase agregasi

    trombosit sebelum perlakuan

    VariabelInduktor

    Perlakuan

    Propofol (n=17)

    Penthotal (n=17)

    P

    prosentase

    agregasi maks.

    trombosit

    10 m ADP

    Propofol 0,307

    Penthotal 0,505

    prosentase

    agregasi maks.

    trombosit

    5 m ADP

    Propofol 0,570

    Penthotal 0,188

    prosentase

    agregasi maks.

    trombosit

    2 m ADP

    Propofol 0,428

    Penthotal 0,590

    Pada tabel 4 menunjukkan data sesudah

    perlakuan pada kelompok I (Propofol) dan

    II (Penthotal) didapatkan hasil ujinormalitas Shapiro-Wilk menunjukkan

    nilai prosentase agregasi maksimal

    trombosit berdistribusi normal dengan

    induktor 10 M ADP, 5 M ADP, dan 2

    M ADP.

  • 7/22/2019 Sedasi Dan Pelumpuh Otot Icu

    32/59

    98

    Jurnal Anestesiologi Indonesia

    Volume II, Nomor 2, Tahun 2010

    Tabel 4. Uji normalitas prosentase agregasi

    trombosi sesudah perlakuan

    VariabelInduktor

    Perlakuan

    Propofol

    (n=17)

    p Keterangan

    prosentase

    agregasi

    maks.

    10 m

    ADP

    Propofol 0,090 distribusi

    normal

    Penthotal 0,268 distribusi

    normal

    prosentase

    agregasi

    maks.

    5 m ADP

    Propofol 0,234 distribusi

    normal

    Penthotal 0,095 distribusi

    normal

    prosentase

    agregasi

    maks.

    2 m ADP

    Propofol 0,068 distribusi

    normal

    Penthotal 0,234 distribusi

    normal

    Data dianalisis secara parametrik

    menggunakan uji pair t-testuntuk melihat

    perbedaan prosentase agregasi maksimal

    trombosit antara sebelum dan sesudah

    perlakuan dengan 10 M ADP.

    Dari tabel 5 nampak bahwa sebelum dan

    sesudah perlakuan dengan .induktor ADP

    10 M pada kelompok propofol terbukti

    menyebabkan penurunan prosentase

    agrgegasi maksimal trombosit yang secara

    statistik berbeda secara bermakna p 0,05), kemudian yang sesudah diberi

    perlakuan antara kelompok propofol danpenthotal yang diberi induktor ADP 10

    M juga ditemukan perbedaan prosentase

    agregasi maksimal trombosit yang

    bermakna p < 0,0001 (p < 0,05). Pada

    gambar 2 menggambarkan delta perubahan

    rerata prosentase agregasi maksimal

    trombosit antara sesudah pemberian

    propofol dan sesudah pemberian penthotal

  • 7/22/2019 Sedasi Dan Pelumpuh Otot Icu

    33/59

    99

    Jurnal Anestesiologi Indonesia

    Volume II, Nomor 2, Tahun 2010

    dengan ADP 10 M, ADP 5 M, dan ADP

    2 M sebagai induktor.

    Tabel 6. Perbedaan prosentase agregasi maksimal

    trombosit sesudah perlakuan pada kelompok

    propofol dan penthotal (dengan induktor ADP 10M, 5 M ADP, dan 2 M ADP)

    N

    o

    Indukt

    orKet

    Kel.

    Propofol

    (n=17)