tesis referensi

Upload: tejak-delonge

Post on 10-Feb-2018

471 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 7/22/2019 Tesis Referensi

    1/186

    xi

    POLA KOMUNIKASI MASYARAKAT TENGGER

    DALAM SOSIALISASI TRADISI ENTAS-ENTAS,PRASWALA GARA, DAN PUJAN KAPAT

    (Studi Kasus di Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo)

    MAS AYU AMBAYOEN

    SEKOLAH PASCASARJANAINSTITUT PERTANIAN BOGOR

    BOGOR2006

  • 7/22/2019 Tesis Referensi

    2/186

    xii

    SURAT PERNYATAAN

    Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Pola KomunikasiMasyarakat Tengger dalam Sosialisasi Tradisi Entas-Entas, Praswala Gara, dan

    Pujan Kapat: Studi Kasus di Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura, KabupatenProbolinggo adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum pernahdiajukan untuk memperoleh gelar yang sama pada Perguruan Tinggi lain. Semua

    sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan dengan jelas dandapat diperiksa kebenarannya.

    Bogor, Agustus 2006

    Mas Ayu AmbayoenNrp. P054030091

  • 7/22/2019 Tesis Referensi

    3/186

    xiii

    ABSTRAK

    MAS AYU AMBAYOEN. Pola Komunikasi Masyarakat Tengger dalamSosialisasi TradisiEntas-Entas ,Praswala Gara, dan Pujan Kapat(Studi Kasus diDesa Ngadisari, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur). Di

    bawah bimbingan: DJUARA P. LUBIS dan KRISHNARINI MATINDAS.

    Masyarakat Tengger memiliki budaya menarik dan unik yang tetap

    bertahan sampai sekarang. Meskipun pengaruh luar (tingkat intensitas kunjunganwisata) cukup tinggi, namun berbagai tradisi tersebut masih tetap dijalankan, diantaranya adalah upacara Entas-Entas, Praswala Gara, dan Pujan Kapat.

    Bertahannya tradisi tersebut tidak lepas dari proses komunikasi, sehingga menarikuntuk dikaji. Penelitian ini ingin menganalisis bagaimana tradisi tersebutdilaksanakan dan disosialisasikan.

    Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa upacara adat masyarakatTengger terbagi menjadi upacara lingkup keluarga upacara lingkup desa. Pola

    kebudayaan dapat dilihat dari pola bersikap, pola kelakuan dan pola saranakebendaan. Pola bersikap masyarakat Tengger adalah mau menerima segala apa

    yang bersangkut paut dengan adat. Pola kelakuan dapat dilihat dari berbagai ritualupacara yang masih selalu dilakukan. Pola sarana/kebendaan (wujud fisik) dapatdilihat dari benda-benda atau tempat sakral dan tanaman-tanaman khusus yang

    masih dilestarikan oleh masyarakat Tengger Ngadisari yang berkaitan denganketiga upacara tersebut.

    Pola komunikasi yang terdapat dalam masyarakat Tengger berupa polakomunikasi yang bersifat vertikal, dimana pemimpin atau golongan yangdihormati mendapat posisi penting dan dipatuhi oleh masyarakatnya akibat

    pengaruh budaya paternalistik yang masih berkembang. Pola komunikasi ini dapatdilihat dari proses ajar didik yang dilakukan pada forum yang bersifat formal

    maupun non formal, dalam ritus kolektif, sanksi dan alokasi-alokasi posisi.

    Kata kunci: Masyarakat Tengger, Pola Komunikasi, Kebudayaan.

    ABSTRACT

  • 7/22/2019 Tesis Referensi

    4/186

    xiv

    MAS AYU AMBAYOEN. Communication Pattern in Tengger Community inSocializing the tradition of Entas-Entas, Praswala Gara, and Pujan Kapat (A Case

    Study in Ngadisari Village, Sukapura Subdistrict, Probolinggo Regency, EastJava). Under the guidance of DJUARA P. LUBIS and KRISHNARINIMATINDAS.

    Tengger community has an interesting and unique culture which is stillwell preserved. Despite strong influencing eksternal factors (high intensity of

    tourism activities) some traditions have still been preserved well, some of whichare Entas-Entas, Praswala Gara, and Pujan Kapat. These traditions prevail alongwith communication process and this become an interesting aspect to study. Theobjective of the research was to analylize how the tradition were practiced andsocialized.

    The result of the study indicates that traditional ceremonies in Tengger

    community are generally divided into those concerning family scope and villagescope. The cultural patterns are reflected in their attitudes, behaviour, and materialfacilities. The people of Tengger have receptive attitude with regrad to theircustoms. The behavioural patterns are shown in various rituals that are still well

    preserved. The patterns of facilities are indicated by sacred objects or places aswell as special plants that are still preserved by the community of Tengger

    Ngadisari in relation to the three ceremonies mentioned above.The communication pattern practiced among the people of Tengger is a

    vertical one, where the leader or the respectable group has an important position

    and is obeyed by his people/ subordinates, which is a reflection of paternalisticculture still practiced. This kind of communication pattern can be seen in some

    teaching-learning process conducted both in formal and nonformal forums and in

    rit uals concerning groups, sunctions, and position allocations.

    Key words: Tengger Community, Communication Pattern, Cultural.

  • 7/22/2019 Tesis Referensi

    5/186

    xv

    Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006

    Hak cipta dilindungi

    Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dariInstitut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam

    bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya

  • 7/22/2019 Tesis Referensi

    6/186

    xvi

    POLA KOMUNIKASI MASYARAKAT TENGGER DALAMSOSIALISASI TRADISI ENTAS-ENTAS, PRASWALA GARA,

    DAN PUJAN KAPAT

    MAS AYU AMBAYOEN

    Tesis

    Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelarMagister Sains pada

    Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

    SEKOLAH PASCASARJANA

    INSTITUT PERTANIAN BOGOR

    2006

  • 7/22/2019 Tesis Referensi

    7/186

    xvii

    Judul Tesis : Pola Komunikasi Masyarakat Tengger dalam

    Sosialisasi Tradisi Entas-Entas, Praswala Gara, danPujan Kapat (Studi Kasus di Desa Ngadisari,

    Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo).

    Nama : Mas Ayu Ambayoen

    Nrp : P054030091

    Disetujui,

    Komisi Pembimbing

    Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS Dra. Krishnarini Matindas, MSKetua Anggota

    Diketahui,

    Tanggal Ujian: 31 Juli 2006 Tanggal lulus:

    Ketua Program StudiKomunikasi Pembangunan

    Pertanian dan Pedesaan

    Dr. Ir. Sumardjo, MS

    Dekan Sekolah Pascasarjana

    Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

  • 7/22/2019 Tesis Referensi

    8/186

    xviii

    PRAKATA

    Syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT, atas Rahmat-Nya sehinggapenulisan Tesis ini dapat berjalan dengan lancar tanpa hambatan apapun yangberarti. Tesis ini berjudul Pola Komunikasi Masyarakat Tengger DalamSosialisasi Tradisi Entas-Entas, Praswala Gara dan Pujan Kapat, merupakan

    penelitian yang dilakukan untuk menganalisis bagaimana Pola komunikasi yang

    dilakukan oleh Masyarakat Tengger dalam mensosialisasikan tradisi merekakepada masyarakat maupun generasi mudanya. Penulisan tesis ini untuk

    memenuhi tugas akhir dan sebagai syarat untuk mendapatkan gelar Magister Sains(MSi) pada program studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan diSekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

    Penyusunan Tesis ini tidak lepas dari dukungan dan bantuan berbagaipihak, sehingga dalam kesempatan ini penulis ucapkan terima kasih yangsetulusnya kepada:

    1. Komisi pembimbing Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS dan Dra. KrishnariniMatindas, MS yang telah banyak mencurahkan waktu untuk membimbing,memberikan masukan dan wawasan yang berarti bagi penulis, sehinggamampu menyelesaikan tesis ini.

    2. Dr. Ir. Basita Ginting Sugihen, MS selaku dosen penguji yang telah banyak

    memberikan masukan pada penulis.

    3. Bapak Ibu Dosen pengajar, khususnya di program studi Komunikasi

    Pembangunan Pertanian dan Pedesaan yang telah banyak memberikan

    pengetahuannya kepada penulis selama masa studi.4. Dr. Sumardjo selaku ketua program studi yang telah banyak memberikan

    kemudahan kepada penulis dalam menyelesaikan studi.

    5. Supoyo, SH, MM selaku Kepala Desa Ngadisari dan Bapak Sutomo selaku

    Dukun Desa Ngadisari yang telah memberikan ijin penelitian dan selalu siapmembantu penulis dalam pengumpulan data penelitian. Bapak Sarto dan IbuSuliati sekeluarga serta para kerabat Dukun, anggota Pramuka dan masyarakat

    Desa Ngadisari yang banyak meluangkan waktunya untuk membantu penulisselama di tempat penelitian.

    6. Mami Ika, terima kasih atas waktu yang sangat berharga untuk menemanipenulis di medan penelitian. Mas Arif (om tersayang) terima kasih atas semuaperhatiannya pada keponakan. Mas Irfi, special thanks untuk semua

    dukungan, perhatian dan segalanya bagi penulis. Keyakinan akan membuatsemuanya menjadi lebih mudah.

    7. Palik Mul dan Bulik Emi beserta keluarga yang banyak memberikan perhatianselama masa studi penulis yang jauh dari keluarga.

  • 7/22/2019 Tesis Referensi

    9/186

    xix

    8. Bu Lili dan Bu Lela terima kasih untuk semua dukungannya. Mbak Pera,

    Mbak Sri, Bu Yus, Bu Yanti, Kak Is, teman-teman KMP lainnya angkatan2003 dan 2004, teman-teman di Sabrina, Ema, Mayzar, Oty dan semuanya

    terima kasih atas kebersamaannya. Special my the best friendWiwid, terimakasih atas segalanya yang tidak tergantikan. Mbak Nia, Mbak Syam, dan

    teman-teman TKL terima kasih atas semua cerita dan candanya.

    9. Sebuah penghargaan terbesar serta tulus bagi Ayahanda tercinta yang selalusaya hormati dan saya patuhi (menurut cara saya sendiri), terima kasih telah

    merelakan hidupnya sebagai tempat bersandar paling kokoh dan selalumenanamkan prinsipnya sebagai landasan dalam hidup penulis hingga saat ini.Inilah sebuah karya terbesar ananda saat ini, semoga dapat mewujudkan

    harapan keluarga. Ibunda tersayang, yang pengorbanan dan doanya tidakakan pernah tergantikan oleh siapapun. Adik-adikku semua yang telah

    memaku persaudaraan ini dengan kasih sayang yang tulus.

    Berbagai pihak yang juga telah banyak memberikan dukungan padapenulisan Tesis ini, penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Penulis

    berharap penulisan Tesis ini dapat memberikan kontribusi yang sebesar-besarnyapada peneliti yang tertarik mempelajari kebudayaan dari sudut pandang

    komunikasi maupun pihak-pihak lain yang memiliki perhatian di bidang ini .

    Penulis sadar jika penulisan Tesis ini masih jauh dari sempurna, sehinggasaran dan kritik membangun sangat penulis harapkan.

    Bogor, Agustus 2006

    Mas Ayu Ambayoen

  • 7/22/2019 Tesis Referensi

    10/186

    xx

    RIWAYAT HIDUP

    Penulis di lahirkan di Malang pada tanggal 16 Desember 1979 sebagai

    anak pertama dari pasangan Ayahanda M. Djamaali dan Ibunda Siti Muawanah.

    Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SDN Dinoyo III Malang

    pada tahun 1992. Selanjutnya meneruskan pendidikan di MTsN Malang I lulus

    tahun 1995. Pada tahun yang sama melanjutkan pendidikan di MAN 3 Malang

    dan lulus tahun 1998.

    Pada tahun itu pula penulis diterima di Fakultas Pertanian Program Studi

    Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian, Universitas Brawijaya Malang melalui

    jalur PSB (Penjaringan Siswa Berprestasi) dan lulus tahun 2003. Selanjutnya pada

    tahun itu juga penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Pascasarjana Institut

    Pertanian Bogor pada Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan

    Pedesaan.

  • 7/22/2019 Tesis Referensi

    11/186

    xxi

    DAFTAR ISI

    Halaman

    DAFTAR TABEL............................................................................................ xiii

    DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xiv

    DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xv

    PENDAHULUAN............................................................................................ 1

    Latar Belakang ....................................................................................... 1

    Rumusan Masalah.................................................................................. 3

    Tujuan Penelitian.................................................................................... 3

    Kegunaan Penelitian............................................................................... 4

    TINJAUAN PUSTAKA................................................................................... 5

    Komunikasi dan Perubahan Kebudayaan............................................... 5

    Upacara Religi........................................................................................ 23

    Masyarakat Tengger dan Berbagai Upacaranya..................................... 28

    Pola Komunikasi .................................................................................... 35

    Pengetahuan dan Sikap........................................................................... 36

    Pariwisata dan Kebijakan Pemerintah.................................................... 39

    KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS.................................................. 41

    Kerangka Berpikir .................................................................................. 41

    Hipotesis Pengarah................................................................................. 45

    METODOLOGI PENELITIAN....................................................................... 46

    Lokasi dan Waktu Penelitian.................................................................. 46

    Jenis dan Metode Penelitian................................................................... 46

    Teknik Pengumpulan Data..................................................................... 47

    Teknik Analisis Data.............................................................................. 48

    Informan Penelitian................................................................................ 49

    Validitas dan Reliabilitas ....................................................................... 50

    GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN........................................... 53

    Keadaan Umum Kawasan Tengger ........................................................ 53

    Legenda dan Sejarah Masyarakat Tengger ............................................ 54

  • 7/22/2019 Tesis Referensi

    12/186

    xxii

    Keadaan Umum Desa Ngadisari ............................................................ 58

    Masyarakat Tengger Desa Ngadisari..................................................... 63

    Ikhtisar.................................................................................................... 74

    DESKRIPSI TRADISI ENTAS-ENTAS, PRASWALA GARA, DAN PUJAN

    KAPAT.............................................................................................................. 76

    TradisiEntas-Entas ................................................................................ 76

    UpacaraPraswala Gara ......................................................................... 86

    UpacaraPujan Kapat............................................................................. 90

    Ikhtisar.................................................................................................... 95

    POLA BERSIKAP, POLA KELAKUAN, DAN POLA SARANA/

    KEBENDAAN................................................................................................. 98

    Pola Bersikap.......................................................................................... 98Pola Kelakuan (wujud aktivitas) ............................................................ 100

    Pola Sarana/ Kebendaan (wujud fisik)................................................... 103

    Ikhtisar.................................................................................................... 108

    POLA KOMUNIKASI MASYARAKAT TENGGER.................................... 110

    Proses Komunikasi dalam Pewarisan Budaya ....................................... 110

    Forum-forum Komunikasi Lain Pada Masyarakat Desa Ngadisari....... 121

    Proses Komunikasi Secara Non Verbal................................................. 122

    Ikhtisar.................................................................................................... 124SIMPULAN .................................................................................................... 126

    DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 128

    LAMPIRAN..................................................................................................... 131

  • 7/22/2019 Tesis Referensi

    13/186

    xxiii

    DAFTAR TABEL

    Halaman

    1 Luas dan Persentase Penggunaan Lahan di Desa Ngadisari................... 61

    2 Luas Areal dan Jumlah Produksi Beberapa Komoditi Pertanian di Desa

    Ngadisari. ............................................................................................... 61

    3 Perbandingan kosakata Tengger dengan bahasa Jawa yang lain. ........... 66

    4 Proses Komunikasi Pada Forum Formal................................................ 112

    5 Proses Komunikasi Pada Forum Non Formal ........................................ 114

    6 Proses Komunikasi dalam Pelaksanaan Ritus Kolektif .......................... 116

  • 7/22/2019 Tesis Referensi

    14/186

    xxiv

    DAFTAR GAMBAR

    Halaman

    1 Model Komunikasi Linear ...................................................................... 16

    2 Kelima Komponen Religi......................................................................... 26

    3 Alur Berpikir Pola Komunikasi Masyarakat Tengger Dalam

    Sosialisasi Tradisi Entas-entas, Praswala Gara dan Pujan Kapat.......... 44

    4 Lingkungan pegunungan (tana layu/ edelways) dan lingkungan hutan

    Taman Nasional Bromo Tengger Semeru................................................ 53

    5 Gerbang Desa Ngadisari sebagai tempat penelit ian ................................ . 62

    6 Pekerjaan sehari-hari mayoritas Masyarakat Tengger Desa Ngadisari.... 64

    7 Lingkungan Masyarakat Tengger Ngadisari.......................................... 65

    8 Pakaian adat masyarakat Tengger............................................................ 73

    9 Petra digendhong dan dibakar di tempat pembakaran ............................. 85

    10 Salah satu prosesi dalam Upacara Praswala Gara .................................... 90

    11 Prosesi Pujan Kapat.................................................................................. 95

    12 Jalur pengajuan upacara lingkup keluarga ............................................... 97

    13 Peralatan yang digunakan Dukun dalam upacara adat Tengger.............. 104

    14 Tanaman Pembuat Petra........................................................................... 105

    15 Bagan Sumber dan Arah Informasi Dukun dan Masyarakat Tengger ..... 118

    16 Pola Komunikasi yang Terbentuk di Desa Ngadisari ............................. 119

  • 7/22/2019 Tesis Referensi

    15/186

    xxv

    DAFTAR LAMPIRAN

    Halaman

    1 Pedoman Observasi.................................................................................. 132

    2 Pedoman Wawancara Mendalam............................................................. 133

    3 Pedoman Catatan Harian.......................................................................... 136

    4 Pedoman Dokumentasi............................................................................. 137

    5 Sebaran Penduduk Desa Ngadisari Berdasarkan Golongan Umur .......... 138

    6 Sebaran Penduduk Desa Ngadisari BerdasarkanTingkat Pendidikan..... 139

    7 Struktur Mata Pencaharian Penduduk Desa Ngadisari ............................ 140

    8 Data Informan Penelitian ......................................................................... 141

    9 Daftar Pemateri Kegiatan Pramuka........................................................... 142

    10 Daftar Materi Dalam Kegiatan Pramuka.................................................... 143

    11 Nama-Nama Anak Rara Anteng Dan Jaka Seger....................................... 144

    12 Pasrah Pengantin ........................................................................................ 145

    13 Mantra Pembaron (MantraEntas-Entas) ................................................... 150

    14 Sebaran Masyarakat Tengger di Empat Kabupaten di Jawa Timur ........... 159

    15 Nama-Nama Pejabat Kepala Desa Yang Memimpin Desa Ngadisari ....... 160

    16 Jenis Dan Sumber Data Penelitian............................................................. 161

    17 Peta Lokasi Penelitian................................................................................ 162

    18 Kalender Tengger ....................................................................................... 163

    19 Jadwal Kegiatan Pramuka ......................................................................... 164

    20 Contoh Absensi Kegiatan Pramuka, Kegiatan Adat Dan Pertemuan-

    Pertemuan Lain .......................................................................................... 168

    21 Surat Ijin Penelitian.................................................................................... 170

    22 Contoh Makalah Adat Dalam Kegiatan Pramuka...................................... 171

  • 7/22/2019 Tesis Referensi

    16/186

    1

    PENDAHULUAN

    Latar BelakangPegunungan Tengger, dengan kawah Bromonya yang terkenal,

    merupakan kawasan wisata yang memiliki daya tarik luar biasa dan merupakan

    tempat berdiam masyarakat dengan tradisi unik yang disebut masyarakat Tengger.

    Masyarakat Tengger adalah sebuah komunitas yang masih memegang unsur-unsur

    tradisi1. Beberapa tradisi (seperti upacara sesayut, upacara cuplak puser atau

    kekerik, upacara tugel gombak dan kuncung, upacara perkawinan, upacara ruwat

    sangkala, upacara pujan, upacara kematian dan upacara Entas-Entas) yang

    dilakukan oleh masyarakat adat Tengger menambah khasanah budaya lokal danmenarik wisatawan tinggal di kawasan wisata ini. Sebagai masyarakat2 yang

    berada di kawasan wisata Bromo-Tengger-Semeru, komunitas ini tidak dapat

    lepas dari pengaruh luar. Seiring dengan pembangunan, kawasan ini menjadi

    sebuah kawasan wisata budaya. Di samping itu kedatangan wisatawan baik dari

    dalam negeri maupun mancanegara juga ikut membawa masuk budaya-budaya

    luar yang berbeda dengan budaya masyarakat setempat.

    Keberadaan masyarakat Tengger di kawasan pegunungan Tengger

    diyakini sudah sangat lama, bahkan sebelum kolonial. Seiring dengan

    berkembangnya waktu, ternyata komunitas ini masih tetap ada. Eksistensinya

    tetap diakui sebagai sebuah masyarakat tradisional yang teguh memegang adat

    tradisi nenek moyang. Dalam perkembangannya sampai saat ini masyarakat

    Tengger tersebar di empat Kabupaten di Propinsi Jawa Timur, yaitu: Lumajang,

    Pasuruan, Malang dan Probolinggo, dimana salah satunya terletak Kecamatan

    Sukapura.

    1

    Sebagaimana yang diungkapkan oleh Pudjiwati Sajogyo (1985) dalam buku SosiologiPembangunan, bahwa arti tradisi yang paling mendasar adalah traditum, yaitu sesuatu yang

    diteruskan (transmitted) dari masa lalu ke masa sekarang: bisa berupa benda atau tindak laku

    sebagai unsur kebudayaan atau berupa nilai, norma, harapan dan cita-cita.

    2Definisi masyarakat menurut Talcottt Parsons (1968) sebagaimana yang dikutip oleh Kamanto

    Sunarto (2000) dalam buku Pengantar Sosiologi Edisi Kedua, bahwa masyarakat ialah suatu

    sistem sosial yang swasembada (self-subsistent), melebihi masa hidup individu normal dan

    merekrut anggota secara reproduksi biologis serta melakukan sosialisasi terhadap generasi

    berikutnya.

  • 7/22/2019 Tesis Referensi

    17/186

    2

    Masyarakat Tengger yang berada di wilayah Kecamatan Sukapura

    Kabupaten Probolinggo berjumlah sekitar 13.565 jiwa yang terdiri dari 3.646

    kepala keluarga yang tersebar di beberapa desa, di antaranya Desa Ngadisari.

    Sebagai salah satu desa yang didiami oleh masyarakat Tengger, Desa Ngadisari

    saat ini memiliki penduduk sekitar 1536 jiwa dengan mayoritas penduduk

    bermatapencaharian sebagai petani serta memiliki tata kehidupan masyarakat

    yang teguh memegang tradisi.

    Masyarakat desa ini sebagian besar beragama Hindu yang berbeda

    dengan Hindu Dharma Bali. Perbedaan ini antara lain adalah adanya tradisi

    Kasada yang merupakan pengungkapkan rasa syukur mereka dengan

    membuang hasil pertanian dan peternakan ke dalam kawah Gunung Bromo di

    bulan Kasada. Seiring dengan berjalannya waktu maka kehidupan masyarakatTengger juga mengalami perubahan, sebab tidak ada satupun dari masyarakat

    yang tidak berubah.

    Beberapa upacara yang masih sering dilakukan adalah upacara Entas-

    Entas yang khusus dilakukan untuk menyucikan atman atau roh orang-orang yang

    telah meninggal dunia. Biasanya dilakukan pada hari keseribu, walaupun

    pelaksanaannya tidak harus tepat pada hari tersebut. Roh atau atman yang

    disucikan itu dengan harapan agar dapat masuk surga. Selain itu dalam memasuki

    kehidupan baru masyarakat Tengger juga masih teguh melakukan tradisiperkawinan yang dilakukan menurut adat budaya Tengger, yaitu upacara

    Praswala Gara yang bertujuan untuk menghilangkan sangkala dan memohon

    restu agar kehidupan pengantin baru selalu mendapat kebahagiaan. Selain itu juga

    ada upacara pujan yang dilakukan oleh masyarakat Tengger yang bertujuan untuk

    memohon keselamatan bagi seluruh desa, seperti acara Pujan Kapat yang

    dilakukan setiap bulan keempat penanggalan Tengger.

    Upacara Entas-Entas, Praswala Gara, dan Pujan Kapat merupakan

    contoh tradisi yang masih dilakukan masyarakat Tengger sampai saat ini,

    sehingga penelitian ini dilakukan untuk menganalisis bagaimana tradisi tersebut

    dilaksanakan dan disosialisasikan.

  • 7/22/2019 Tesis Referensi

    18/186

    3

    Rumusan Masalah

    Entas-Entas , Praswala Gara, dan Pujan Kapatmerupakan tradisi yang

    masih ditemui hingga saat ini, sebab selalu dilaksanakan. Pola komunikasi yang

    terjadi dalam hal pelestarian tradisi tersebut menarik untuk dikaji. Sebagai

    masyarakat yang dalam kehidupannya selalu berhubungan dengan banyak ritus

    upacara, masyarakat Tengger memiliki pola-pola bersikap, pola kelakuan dan pola

    sarana kebendaan yang berkaitan dengan sosialisasi tradisi Entas-Entas, Praswala

    Gara, dan Pujan Kapat tersebut. Sehingga masalah penelitian ini adalah untuk

    mengetahui:

    1. Bagaimana proses berlangsungnya upacara Entas-Entas, Praswala Gara, dan

    Pujan Kapatpada masyarakat Tengger?

    2.

    Bagaimana pola bersikap, pola kelakuan dan pola sarana/kebendaanmasyarakat Tengger dalam pelestarian tradisi Entas-entas, Praswala Gara,

    dan Pujan Kapat?

    3. Bagaimana pola komunikasi masyarakat Tengger dalam mensosialisasikan

    tradisi Entas-Entas, Praswala Gara, dan Pujan Kapat kepada warga

    masyarakat dan generasi muda pada Masyarakat Tengger?

    Tujuan Penelitian

    Tujuan penelitian adalah untuk:1. Mendeskripsikan proses berlangsungnya upacara Entas-Entas, Praswala

    Gara, dan Pujan Kapatpada masyarakat Tengger.

    2. Menganalisis pola bersikap, pola kelakuan dan pola sarana/kebendaan

    masyarakat Tengger dalam pelestarian tradisi Entas-Entas, Praswala Gara,

    danPujan Kapat.

    3. Menganalisis pola komunikasi masyarakat Tengger dalam mensosialisasikan

    tradisi Entas-Entas, Praswala Gara, dan Pujan Kapat kepada warga

    masyarakat dan generasi muda pada masyarakat Tengger.

  • 7/22/2019 Tesis Referensi

    19/186

    4

    Kegunaan Penelitian

    Kegunaan penelitian adalah berupa kegunaan akademis, yaitu diharapkan

    penelitian yang dilaksanakan ini mampu menyumbangkan kemajuan bagi

    khasanah keilmuwan di bidang komunikasi, khususnya komunikasi etnografi.

  • 7/22/2019 Tesis Referensi

    20/186

    5

    TINJAUAN PUSTAKA

    Komunikasi dan Perubahan Kebudayaan

    Kata kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta buddhayah yang

    merupakan bentuk jamak kata buddhi yang berarti budi atau akal. Kebudayaan

    diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau akal. Istilah

    culture atau budaya kembali pada kumpulan pengetahuan, bahasa, perilaku,

    ritual-ritual, adat kebiasaan, gaya hidup, sikap, kepercayaan dan adat istiadat yang

    berhubungan dan menunjukkan suatu identitas khusus dari suatu kelompok

    masyarakat dalam kurun waktu tertentu.

    Ada beberapa definisi tentang kebudayaan menurut para ahli. Seorang

    antropolog E.B. Tylor yang dikutip oleh Soekanto (1990) memberikan definisi

    kebudayaan sebagai sesuatu yang kompleks yang mencakup pengetahuan,

    kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat dan lain kemampuan-

    kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai

    anggota masyarakat. Dengan perkataan lain, kebudayaan mencakup kesemuanya

    yang didapatkan atau dipelajari oleh manusia sebagai anggota masyarakat.

    Kebudayaan terdiri dari segala sesuatu yang dipelajari dari pola -pola perilaku

    yang normatif. Artinya, mencakup segala cara-cara atau pola -pola berfikir,

    merasakan atau bertindak.

    Soemardjan dan Soemardi yang dikutip oleh Soekanto (1990)

    merumuskan kebudayaan sebagai semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat.

    Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau

    kebudayaan jasmaniah (material culture) yang diperlukan oleh manusia untuk

    menguasai alam sekitarnya, agar kekuatan serta hasilnya dapat diabdikan untuk

    keperluan masyarakat. Rasa yang meliputi jiwa manusia, mewujudkan segala

    kaidah-kaidah dan nilai-nilai sosial yang perlu untuk mengatur masalah-masalah

    kemasyarakatan dalam arti yang luas. Di dalamnya termasuk misalnya saja

    agama, ideologi, kebatinan, kesenian dan semua unsur yang merupakan hasil

    ekspresi jiwa manusia yang hidup sebagai anggota masyarakat. Cipta merupakan

    kemampuan mental, kemampuan berfikir orang-orang yang hidup bermasyarakat

  • 7/22/2019 Tesis Referensi

    21/186

    6

    yang antara lain menghasilkan filsafat serta ilmu pengetahuan. Cipta berwujud

    teori murni, maupun yang telah disusun untuk langsung diamalkan dalam

    kehidupan masyarakat. Rasa dan cinta dinamakan pula kebudayaan rohaniah

    (spiritualatau immaterial culture). Semua rasa, karya dan cipta dikuasai oleh

    karsa orang-orang yang menentukan kegunaannya agar sesuai dengan kepentingan

    sebagian atau dengan seluruh masyarakat.

    Menurut Koentjaraningrat (1994) kebudayaan berarti keseluruhan

    gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta

    keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu. Kebudayaan merupakan cara berlaku

    yang dipelajari, kebudayaan tidak tergantung dari transmisi biologis atau

    pewarisan melalui unsur genetis.

    Geertz yang dikutip oleh Sobur (2004) mengatakan bahwa kebudayaanadalah sebuah pola dari makna-makna yang tertuang dalam simbol-simbol yang

    diwariskan melalui sejarah. Kebudayaan adalah sebuah sistem dari konsep-konsep

    yang diwariskan dan diungkapkan dalam bentuk-bentuk simbolik melalui mana

    manusia berkomunikasi, mengekalkan dan memperkembangkan pengetahuan

    tentang kehidupan ini dan bersikap terhadap kehidupan ini. Rumusan kebudayaan

    Geertz ini lebih menitikberatkan pada simbol, yaitu bagaimana manusia

    berkomunikasi lewat simbol. Di satu sisi, simbol terbentuk melalui dinamisasi

    interaksi sosial, merupakan realitas empiris, yang kemudian diwariskan secarahistoris, bermuatan nilai-nilai; dan di sisi lain simbol merupakan acuan wawasan,

    memberi petunjuk bagaimana warga budaya tertentu menjalani hidup, media

    sekaligus pesan komunikasi dan representasi realitas sosial.

    Haviland (1985) yang dikutip oleh Endraswara (2003) bahwa ada empat

    ciri khas kebudayaan. Pertama , kebudayaan adalah milik bersama. Ciri semacam

    ini sering diteruskan sampai pemahaman bahwa kebudayaan adalah milik publik.

    Kedua, kebudayaan adalah hasil belajar. Semua kebudayaan adalah hasil belajar,

    bukan warisan biologis. Proses penerusan budaya dari generasi ke generasi

    berikutnya melalui proses enkulturasi. Ketiga, kebudayaan didasarkan pada

    lambang. Keempat, budaya merupakan kesatuan integratif. Kebudayaan tidak

    berdiri sendiri-sendiri, melainkan sebuah paket makna.

  • 7/22/2019 Tesis Referensi

    22/186

    7

    Menurut Mulyana (2001) budaya adalah suatu konsep yang

    membangkitkan minat dan berkenaan dengan cara manusia hidup. Secara formal

    budaya didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan,

    nilai, sikap, makna, hirarki, agama, waktu, peranan, hubungan ruang, konsep alam

    semesta, objek-objek materi dan milik yang diperoleh sekelompok besar orang

    dari generasi ke generasi melalui usaha individu dan kelompok. Budaya memiliki

    beberapa karakteristik, yaitu: budaya itu kompleks dan bertahap, budaya itu

    subjektif, budaya berubah sepanjang waktu serta budaya sebagian besar tidak

    nyata dan abstrak.

    Semua unit sosial membangun sebuah budaya. Dalam suatu hubungan

    interpersonal antara dua orang, mereka memiliki sebuah kebiasaan bersama yang

    dikembangkan dalam suatu waktu. Mereka membangun sebuah adat kebiasaan,pola bahasa, ritual-ritual dan adat istiadat yang dikembangkan dalam pola

    hubungan yang memiliki sebuah karakter tersendiri.

    Kelompok membangun sebuah budaya sendiri, demikian juga organisasi

    juga memiliki budaya sendiri. Seringkali mereka punya pola-pola khusus, seperti

    dalam hal berpakaian, tata ruang, gaya pertemuan, pola pikir, gaya bicara, gaya

    kepemimpinan dan sebagainya. Budaya yang lebih beragam dan kompleks biasa

    diasosiasikan dengan sebuah masyarakat atau negara. Sehingga istilah budaya

    lebih umum dipakai untuk menyebut berbagai karakteristik yang meliputi ba hasa,ritual, pola perilaku dan adat istiadat. Budaya yang dibangun dari masing-masing

    unit sosial tersebut sangat khas dan memiliki karakter yang spesifik. Budaya

    memiliki beberapa fungsi yang sangat penting khususnya dalam perspektif

    komunikasi, yaitu: menghubungkan individu yang satu dengan yang lain;

    melengkapi identitas umum yang mendasar dan menciptakan konteks interaksi

    dan negosiasi diantara para anggota.

    Banyak pendapat para sarjana tentang unsur -unsur kebudayaan.

    Herskovits yang dikutip oleh Soekanto (1990) mengajukan empat unsur pokok

    kebudayaan, yaitu:

    1. Alat-alat teknologi.

    2. Sistem ekonomi.

    3. Keluarga.

  • 7/22/2019 Tesis Referensi

    23/186

    8

    4. Kekuasaan politik.

    Malinowski yang terkenal sebagai salah seorang pelopor teori fungsional

    dalam antropologi, sebagaimana yang dikutip oleh Soekanto (1990) menyebut

    unsur-unsur pokok kebudayaan sebagai berikut:

    1. Sistem norma yang memungkinkan kerja sama antara para anggota

    masyarakat di dalam upaya menguasai alam sekelilingnya.

    2. Organisasi ekonomi.

    3. Alat-alat dan lembaga atau petugas pendidikan; dimana keluarga merupakan

    lembaga pendidikan yang utama.

    4. Organisasi kekuatan.

    Antropolog C Kluckhohn yang dikutip oleh Koentjaraningrat (1994)

    menyimpulkan adanya tujuh unsur universal yang merupakan isi dari semuakebudayaan yang ada di dunia ini, yaitu:

    1. Sistem religi dan upacara keagamaan.

    2. Sistem dan organisasi kemasyarakatan.

    3. Sistem pengetahuan.

    4. Bahasa.

    5. Kesenian.

    6. Sistem mata pencaharian hidup.

    7.

    Sistem teknologi dan peralatan.Ketujuh unsur universal tersebut mencakup seluruh kebudayaan makhluk manusia

    dimanapun dan menunjukkan ruang lingkup dari kebudayaan serta isi dari

    konsepnya. Setiap unsur universal kebudayaan tersebut memiliki tiga wujud,

    yaitu:

    1. Wujud idiil (pola bersikap), yaitu kompleks gagasan dan nilai-nilai.

    2. Wujud aktivitas (pola kelakuan), yaitu suatu kompleks tindakan berpola

    (terorganisasi, terstruktrur) dari manusia dalam masyarakat.

    3.

    Wujud fisik (pola sarana/kebendaan), yaitu benda-benda hasil karya manusia.

    Wujud pertama adalah idiil dari kebudayaan. Sifatnya abstrak, tidak

    dapat diraba atau difoto. Lokasinya ada di dalam kepala-kepala atau dengan

    perkataan lain, dalam alam pikiran dari warga masyarakat dimana kebudayaan

    yang bersangkutan itu hidup. Kalau warga masyarakat tadi menyatakan gagasan

  • 7/22/2019 Tesis Referensi

    24/186

    9

    mereka itu dalam tulisan, maka lokasi dari kebudayaan idiil sering berada dalam

    karangan dan buku-buku hasil karya para penulis warga masyarakat yang

    bersangkutan.

    Kebudayaan idiil dapat disebut adat tata-kelakuan, atau secara singkat

    adatdalam arti khusus, atau adat-istiadat dalam bentuk jamaknya. Sebutan tata-

    kelakuan itu, maksudnya menunjukkan bahwa kebudayaan idiil itu biasanya juga

    berfungsi sebagai tata-kelakuan yang mengatur, mengendali dan memberi arah

    kepada kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat. Dalam fungsi itu

    secara lebih khusus lagi adat terdiri dari beberapa lapisan, yaitu dari yang paling

    abstrak dan luas sampai yang paling konkret dan terbatas. Adat dapat dibagi lebih

    khusus dalam empat tingkat, yaitu: (1) tingkat nilai-budaya; (2) tingkat norma-

    norma; (3) tingkat hukum dan (4) tingkat aturan khusus.Tingkat adat yang pertama adalah lapisan yang paling abstrak dan luas

    ruang lingkupnya. Tingkat ini adalah ide-ide yang mengkonsepsikan hal-hal yang

    paling bernilai dalam kehidupan masyarakat. Konsepsi-konsepsi serupa biasanya

    bersifat kabur, tetapi walaupun demikian, atau justru karena kabur dan tidak

    rasional, biasanya berakar dalam bagian emosional dari alam jiwa manusia.

    Tingkat ini dapat disebut sistem nilai-budaya. Jumlah nilai-budaya tingkat

    pertama dalam suatu kebudayaan biasanya tidak banyak.

    Tingkat adat yang kedua dan lebih konkret adalah sistem norma. Norma-norma itu adalah nilai-nilai budaya yang sudah terkait kepada peranan-peranan

    tertentu dari manusia dalam masyarakat. Tingkat adat yang ketiga dan yang lebih

    konkret lagi adalah sistem hukum (baik hukum adat maupun hukum tertulis).

    Selanjutnya tingkat adat yang keempat adalah aturan-aturan khusus yang

    mengatur aktivitas-aktivitas yang amat jelas dan terbatas ruang lingkupnya dalam

    kehidupan masyarakat. Itulah sebabnya aturan-aturan khusus ini amat konkret

    sifatnya dan banyak diantaranya terkait dalam sistem hukum. Contohnya adalah

    peraturan lalu lintas. Contoh dari aturan khusus yang tidak tersangkut ke dalam

    sistem hukum adalah aturan sopan-santun.

    Wujud kedua dari kebudayaan sering disebut sistem sosial, mengenai

    kelakuan berpola dari manusia itu sendiri. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-

    aktivitas manusia yang berinteraksi, berhubungan serta bergaul satu sama lain,

  • 7/22/2019 Tesis Referensi

    25/186

    10

    yang dari detik ke detik, dari hari ke hari dan dari tahun ke tahun selalu mengikuti

    pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata -kelakuan. Sebagai rangkaian

    aktivitas manusia-manusia dalam suatu masyarakat, maka sistem sosial itu bersifat

    konkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa diobservasi, difoto dan

    didokumentasi.

    Wujud ketiga dari kebudayaan disebut kebudayaan fisik dan memerlukan

    keterangan banyak. Karena merupakan seluruh total dari hasil fisik dari aktivitas,

    perbuatan dan karya semua manusia dalam masyarakat, maka sifatnya paling

    konkret dan berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat dan difoto.

    Misalnya adalah pabrik baja, benda-benda yang besar dan indah seperti bangunan

    candi atau pula benda-benda kecil seperti kain batik atau bahkan kancing baju.

    Setiap kebudayaan mempunyai sifat hakikat yang berlaku umum bagisemua kebudayaan dimanapun juga. Sifat hakikat kebudayaan tersebut adalah:

    1. Kebudayaan terwujud dan tersalurkan lewat perilaku manusia.

    2. Kebudayaan telah ada terlebih dahulu mendahului lahirnya suatu generasi

    tertentu dan tidak akan mati dengan habisnya usia generasi yang bersangkutan.

    3. Kebudayaan diperlukan oleh manusia dan diwujudkan dalam tingkah lakunya.

    4. Kebudayaan mencakup aturan-aturan yang berisikan kewajiban-kewajiban,

    tindakan-tindakan yang diterima dan ditolak, tindakan-tindakan yang dilarang

    dan tindakan-tindakan yang diizinkan.Sifat hakikat kebudayaan adalah ciri setiap kebudayaan, akan tetapi bila

    seseorang hendak memahami sifat hakikatnya yang esensial, terlebih dahulu harus

    memecahkan pertentangan-pertentangan yang ada di dalamnya, yaitu (Soekanto,

    1990):

    1. Di dalam pengalaman manusia, kebudayaan bersifat universal, akan tetapi

    perwujudan kebudayaan mempunyai ciri-ciri khusus yang sesuai dengan

    situasi maupun lokasinya.

    2.

    Kebudayaan bersifat stabil disamping juga dinamis dan setiap kebudayaan

    mengalami perubahan-perubahan yang kontinyu. Setiap kebudayaan pasti

    mengalami perubahan atau perkembangan-perkembangan, hanya kebudayaan

    yang mati saja yang bersifat statis.

  • 7/22/2019 Tesis Referensi

    26/186

    11

    3. Kebudayaan mengisi serta menentukan jalannya kehidupan manusia,

    walaupun hal itu jarang disadari oleh manusia sendiri. Gejala tersebut secara

    singkat dapat diterangkan dengan penjelasan bahwa walaupun kebudayaan

    merupakan atribut manusia, namun tidak mungkin seseorang mengetahui dan

    meyakini seluruh unsur kebudayaannya.

    Kebudayaan dimaksudkan sebagai hadirnya seperangkat nilai-nilai dan

    norma yang menjadi pedoman atau acuan perilaku bagi warga pendukungnya.

    Nilai secara umum berkaitan dengan segala sesuatu tentang yang baik atau yang

    buruk. Nilai dalam kajian ilmu sosial (nilai sosial) dapat didefinisikan sebagai

    suatu kesadaran dan emosi yang relatif lama hilangnya terhadap suatu obyek,

    gagasan atau orang (dikutip oleh Sulaeman, 1998 dari Bertrand). Norma

    merupakan standar-standar tingkah laku yang berfungsi sebagai kerangka patokan(frame of reference). Perangkat normatif ini ditanamkan pada individu-individu

    (baru) pendukungnya melalui proses sosialisasi. Cara yang demikian ini pada

    gilirannya mereka mampu menjalin dan mengembangkan interaksi dengan orang-

    orang lain dalam suatu pola makna tertentu yang konstan. Kebudayaan semacam

    ini biasa disebut sebagai kebudayaan non-material.

    Kebudayaan juga dapat dilihat dari aspek material, dalam hal ini benda-

    benda fisik buatan manusia. Benda -benda tersebut dibuat dengan tujuan dan

    makna tertentu. Misalnya buku, artefak, pakaian, masjid, komputer dansebagainya adalah sebutan-sebutan yang mempunyai makna khusus.

    Berdasarkan uraian di atas, kebudayaan dapat dipahami dalam beberapa

    rumusan. Pertama, kebudayaan sebagai suatu kompleks yang mencakup

    pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat dan lain

    kemampuan yang diperoleh manusia selaku anggota masyarakat, meliputi semua

    pola berpikir, merasakan dan bertindak. Kedua, kebudayaan adalah sesuatu yang

    superorganik, artinya berada di atas sesuatu badan. Kebudayaan diturunkan dari

    generasi-generasi dan tetap akan hidup terus, walaupun orang-orang yang

    menjadi anggota masyarakat senantiasa silih berganti disebabkan kelahiran dan

    kematian. Ketiga, kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan

    hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik

    manusia dengan cara mempelajarinya (Kolopaking, 2003).

  • 7/22/2019 Tesis Referensi

    27/186

    12

    Setiap kebudayaan pasti mengalami perubahan. Kingsley Davis yang

    dikutip oleh Soekanto (1990) berpendapat bahwa perubahan sosial merupakan

    bagian dari perubahan kebudayaan. Perubahan dalam kebudayaan mencakup

    semua bagiannya, yaitu: kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat dan

    seterusnya, bahkan perubahan dalam bentuk serta aturan-aturan organisasi sosial.

    Dalam kehidupan sehari-hari acapkali tidak mudah untuk menentukan letak garis

    pemisah antara perubahan sosial dan perubahan kebudayaan. Sebab tidak ada

    masyarakat yang tidak mempunyai kebudayaan dan sebaliknya tidak mungkin ada

    kebudayaan yang tidak menjelma dalam suatu masyarakat. Walaupun secara

    teoritis dan analitis pemisahan antara pengertian-pengertian tersebut dapat

    dirumuskan, namun di dalam kehidupan nyata, garis pemisah tersebut sukar dapat

    dipertahankan. Perubahan-perubahan sosial dan kebudayaan mempunyai satuaspek yang sama yaitu kedua -duanya bersangkut-paut dengan suatu penerimaan

    cara-cara baru atau suatu perbaikan dalam cara suatu masyarakat memenuhi

    kebutuhan-kebutuhannya.

    Perubahan yang terjadi di dalam masyarakat pada umumnya

    menyangkut hal-hal yang kompleks, artinya perubahan-perubahan yang terjadi di

    dalam masyarakat tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu mengenai: nilai-

    nilai sosial, perikelakuan, organisasi susunan lembaga-lembaga kemasyarakatan,

    lapisan-lapisan dalam masyarakat, kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial dansebagainya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perubahan sosial

    menunjukkan pada perubahan fenomena sosial di berbagai bidang tingkat

    kehidupan manusia, mulai dari tingkat individual, masyarakat hingga tingkat

    dunia.

    Perubahan kebudayaan dapat dibedakan ke dalam beberapa bentuk, yaitu:

    a. Perubahan lambat dan perubahan cepat.

    Perubahanperubahan yang memerlukan waktu lama dan rentetan-

    rentetan perubahan kecil yang saling mengikuti dengan lambat, dinamakan

    evolusi. Pada evolusi perubahan terjadi dengan sendirinya tanpa rencana atau

    kehendak tertentu. Perubahan kebudayaan yang berlangsung dengan cepat

    dan menyangkut dasar-dasar atau sendi-sendi pokok kehidupan masyarakat

    (yaitu lembaga-lembaga kemasyarakatan) lazimnya dinamakan revolusi.

  • 7/22/2019 Tesis Referensi

    28/186

    13

    Unsur-unsur pokok revolusi adalah adanya perubahan yang cepat dan

    perubahan tersebut mengenai dasar-dasar atau sendi-sendi pokok kehidupan

    masyarakat.

    b. Perubahan kecil dan perubahan besar.

    Agak sulit untuk merumuskan masing-masing pengertian tersebut di atas,

    karena batas-batas pembedaannya sangat relatif. Sebagai pegangan dapatlah

    dikatakan bahwa perubahan-perubahan kecil adalah perubahan-perubahan

    yang terjadi pada unsur-unsur struktur sosial yang tidak membawa pengaruh

    langsung atau berarti bagi masyarakat.

    c. Perubahan yang dikehendaki ( intended-change) atau perubahan yang

    direncanakan (planned-change) dan perubahan yang tidak dikehendaki

    (unintended-change) atau perubahan yang tidak direncanakan (unplanned-change).

    Perubahan yang dikehendaki atau direncanakan merupakan perubahan

    yang diperkirakan atau yang direncanakan terlebih dahulu oleh fihak-fihak

    yang hendak mengadakan perubahan masyarakat. Perubahan yang tidak

    dikehendaki atau yang tidak direncanakan, merupakan perubahan-perubahan

    yang terjadi tanpa dikehendaki, berlangsung di luar jangkauan pengawasan

    masyarakat dan dapat menyebabkan timbulnya akibat-akibat sosial yang tidak

    diharapkan masyarakat.Faktor-faktor yang menyebabkan perubahan kebudayaan dapat

    bersumber dari dalam atau dari luar masyarakat. Sumber yang berasal dari dalam

    masyarakat adalah: bertambah atau berkurangnya penduduk, penemuan-penemuan

    baru, pertentangan atau konflik masyarakat dan terjadinya pemberontakan atau

    revolusi. Sedangkan sumber-sumber perubahan yang berasal dari luar masyarakat

    tersebut adalah: sebab-sebab yang berasal dari lingkungan alam fisik yang ada di

    sekitar manusia (gempa, bencana alam, banjir dan lain-lain), peperangan dan

    pengaruh kebudayaan masyarakat lain.

    Faktor-faktor yang mendorong jalannya perubahan yang terjadi antara

    lain (Soekanto, 1990):

    a. Kontak dengan kebudayaan lain.

    b. Sistem pendidikan formal yang maju.

  • 7/22/2019 Tesis Referensi

    29/186

    14

    c. Sikap menghargai hasil karya seseorang dan keinginan-keinginan untuk maju.

    d. Toleransi terhadap perbuatan-perbuatan yang menyimpang (deviation), yang

    bukan merupakan delik.

    e. Sistem terbuka lapisan masyarakat (open stratification).

    f. Penduduk yang heterogen.

    g. Ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang-bidang kehidupan tertentu.

    h. Orientasi ke masa depan.

    i. Nilai bahwa manusia harus senantiasa berikhtiar untuk memperbaiki

    hidupnya.

    Faktor-faktor yang menghalangi terjadinya perubahan adalah:

    a. Kurangnya hubungan dengan masyarakat lain.

    b.

    Perkembangan ilmu pengetahuan yang terlambat.c. Sikap masya rakat yang sangat tradisional.

    d. Adanya kepentingan-kepentingan yang telah tertanam dengan kuat atau

    vested interests.

    e. Rasa takut akan terjadinya kegoyahan pada integrasi kebudayaan.

    f. Prasangka terhadap hal-hal baru atau asing atau sikap yang tertutup.

    g. Hambatan-hambatan yang bersifat ideologis.

    h. Adat atau kebiasaan.

    i.

    Nilai bahwa hidup ini pada hakikatnya buruk dan tidak mungkin diperbaiki(Soekanto, 1990).

    Saluran-saluran perubahan kebudayaan (avenue or channel of change)

    merupakan saluran-saluran yang dilalui oleh suatu proses perubahan. Umumnya

    saluran-saluran tersebut adalah lembaga -lembaga kemasyarakatan dalam bidang

    pemerintahan, ekonomi, pendidikan, agama, rekreasi dan seterusnya. Lembaga

    kemasyarakatan mana yang menjadi titik tolak, tergantung pada cultural focus

    masyarakat pada suatu masa yang tertentu.

    Semenjak dilahirkan manusia sudah mempunyai naluri untuk hidup

    berkawan. Hal ini disebabkan manusa mempunyai hasrat yang kuat dalam dirinya

    untuk menjadi bagian dari manusia lainnya. Dalam bergaul dengan manusia

    lainnya dikenal adanya komunikasi. Berbicara mengenai komunikasi, banyak

    paradigma yang bisa kita maknai. Secara harfiahnya komunikasi merupakan

  • 7/22/2019 Tesis Referensi

    30/186

    15

    jalinan yang terjadi dalam sistem sosial dengan berbagai pendukungnya seperti

    adanya media-media komunikasi yang berkembang saat ini (Soekartawi, 1988).

    Kata komunikasi atau dalam Bahasa Inggris communication berasal dari bahasa

    latin communis yang berarti sama, communico, communicatio atau communicare

    yang berarti membuat sama (to make common). Secara sederhana komunikasi

    didefinisikan sebagai proses penyampaian pesan dari seseorang kepada orang lain.

    Menurut Devito (1997) komunikasi mengacu pada pengertian akan suatu

    tindakan oleh satu orang atau lebih yang mengirim dan menerima pesan yang

    terdistorsi oleh gangguan (noise ), terjadi dalam konteks tertentu dan ada

    kesepakatan untuk melaksanakan umpan balik.

    Rogers dan Kinchaid (1981) mengatakan bahwa komunikasi adalah suatu

    proses di mana dua orang atau lebih membentuk atau melakukan pertukaraninformasi dengan lainnya, yang pada gilirannya akan tiba pada saling pengertian

    yang mendalam.

    Menurut Mulyana (2003) terdapat tiga kerangka pemahaman mengenai

    komunikasi, yaitu: (1) komunikasi sebagai tindakan satu arah, (2) komunikasi

    sebagai interaksi, dan (3) komunikasi sebagai transaksi.

    Komunikasi Sebagai Tindakan Satu Arah. Pemahaman komunikasi

    sebagai proses satu arah disebutkan oleh Micheal Burgoon, sebagai definisi

    berorientasi sumber (source oriented definition) yang mengisyaratkan

    komunikasi sebagai kegiatan yang sengaja dilakukan seseorang untuk

    meyampaikan rangsangan guna membangkitkan respons orang lain.

    Konseptualisasi komunikasi sebagai tindakan satu arah ini mengisyaratkan bahwa

    semua kegiatan komunikasi bersifat persuasif.

    Model komunikasi linear merupakan konsep komunikasi yang paling

    sederhana, yang dimaknai sebagai proses komunikasi sepihak. Pada model ini

    komunikasi terjadi karena ada seseorang yang menyampaikan pesan kepada

    orang lain. Pengirim pesan menstimuli sehingga penerima pesan merespon sesuai

    yang diharapkan tanpa melakukan proses seleksi dan intepretasi lebih lanjut.

    Kejadian ini sesuai dengan ide dasar pembuatan model linear yang didesain

    berdasar sistem telepon (model Claude Shanon dan Warren, 1949) dikutip oleh

    Mulyana (2003), seperti Gambar 1.

  • 7/22/2019 Tesis Referensi

    31/186

    16

    Gambar tersebut memperlihatkan bahwa komunikasi yang terjadi bersifat

    satu arah, yakni dari sumber pesan kepada penerima pesan. Model komunikasi ini

    lebih tepat digunakan menyampaikan informasi yang lebih bersifat instruksi atau

    indoktrinasi.

    Komunikasi Sebagai Interaksi. Pandangan komunikasi sebagai interaksi

    ini menyetarakan komunikasi dengan suatu proses sebab akibat atau aksi reaksi

    yang arahnya bergantian dan lebih dinamis. Komunikasi ini dianggap sedikit

    lebih dinamis daripada komunikasi satu arah, meskipun masih membedakan parakomunikate sebagai komunikator dan komunikan, artinya masih tetap berorientasi

    sumber, meskipun kedua peran itu dianggap bergantian. Sehingga proses interaksi

    yang berlangsung pada dasarnya juga masih bersifat mekanis dan statis.

    Model interaktif menganggap komunikasi sebagai suatu transaksi yang

    terjadi antar komunikan yang saling berkontribusi pada terjadinya suatu transaksi

    walaupun dalam beda peringkat intensitas. Teori ini digambarkan dalam tiga

    bentuk yaitu: (1) lingkaran tumpang tindih, (2) heliks dan (3) Ziczac. Menurut

    Schramm (1973) yang dikutip oleh Jahi (1993) lingkaran tumpang tindih

    mengindikasikan bahwa dalam setiap kegiatan komunikasi akan selalu ditemukan

    lebih dari dua komunikan dalam suatu situasi komunikasi. Dengan demikian akan

    ada pada suatu saat sejumlah lingkaran komunikan atau ruang kehidupan yang

    tumpang tindih.

    Model heliks menurut Dance (1967) yang dikutip oleh Jahi (1993)

    menunjukkan kegiatan komunikasi di kalangan komunikan yang menimbulkan

    situasi konvergen. Hal ini dapat terjadi dalam beberapa cara, yaitu (1) komunikanbergerak menuju ke suatu arah dalam arti saling memahami pesan yang

    disampaikan, dan (2) seorang partisipan mungkin bergerak menuju arah berbeda.

    Proses konvergen tidak selalu berarti harus ada komitmen terhadap persoalan atau

    permasalahan yang dikomunikasikan, karena lebih merupakan suatu proses saling

    memahami dengan lebih baik, tentang segala sesuatu yang dikomunikasikan.

    Sumber Pesan Saluran Penerima

    Gambar 1. Model Komunikasi Linear

  • 7/22/2019 Tesis Referensi

    32/186

    17

    Model ziczac menurut Schramm (1973) yang dikutip oleh Jahi (1993)

    menunjukkan situasi kegiatan komunikasi sebagai proses interaktif melalui

    pertukaran tanda-tanda informasi baik verbal, nonverbal, atau paralinguistik.

    Dalam model ini diperlukan adanya waktu untuk meyakinkan diri bahwa

    komunikan sedikit banyak telah memahami apa yang dimaksud yang

    dimungkinkan oleh persoalan pemakaian iterasi. Dengan kata lain, peristiwa

    komunikasi dalam model ziczac lebih mendekati dengan proses negosiasi.

    Komunikasi Sebagai Transaksi. Dalam konteks komunikasi ini, proses

    penyandian (encoding) dan penyandian balik (decoding) bersifat spontan dan

    simultan diantara para komunikate. Semakin banyak orang yang berkomunikasi

    semakin rumit transaksi komunikasi yang terjadi karena akan terdapat banyak

    peran, hubungan yang lebih rumit, serta lebih banyak pesan verbal dan non verbal.

    Kelebihan konseptualisasi komunikasi sebagai transaksi adalah komunikasi

    tersebut tidak membatasi komunikate pada komunikasi yang disengaja atau respon

    yang dapat diamati. Dalam komunikasi transaksional, komunikasi dianggap telah

    berlangsung bila seseorang telah menafsirkan perilaku orang lain, baik perilaku

    verbal maupun perilaku non verbal. Artinya konseptualisasi komunikasi ini lebih

    sesuai untuk konteks komunikasi interpersonal karena lebih bersifat dinamis dan

    para pelaku komunikasi tidak dibedakan antara sumber dan penerima, melainkan

    semuanya saling berpartisipasi dalam interaksi sebagai partisipan komunikasi.

    Proses komunikasi terbagi menjadi dua tahap, yakni secara primer dan

    secara sekunder (Effendy, 2003).

    1. Proses Komunikasi Secara Primer

    Proses komunikasi secara primer adalah proses penyampaian pikiran

    dan atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan lambang

    (simbol) sebagai media. Lambang sebagai media primer dalam proses

    komunikasi adalah bahasa, kial, isyarat, gambar, warna dan lain sebagainya

    yang secara langsung mampu menerjemahkan pikiran atau perasaan

    komunikator kepada komunikan. Komunikasi berlangsung apabila terjadi

    kesamaan makna dalam pesan yang diterima oleh komunikan. Dengan

    perkataan lain komunikasi adalah proses membuat sebuah pesan setala (tuned)

    bagi komunikator dan komunikan.

  • 7/22/2019 Tesis Referensi

    33/186

    18

    2. Proses Komunikasi Secara Sekunder

    Proses komunikasi secara sekunder adalah proses penyampaian pesan

    oleh seseorang kepada orang lain dengan menggunakan alat atau sarana

    sebagai media kedua setelah memakai lambang sebagai media pertama.

    Seorang komunikator menggunakan media kedua dalam melancarkan

    komunikasinya karena komunikan sebagai sasarannya berada di tempat yang

    relatif jauh atau jumlahnya banyak.

    Terdapat dua macam bentuk komunikasi secara umum, yaitu komunikasi

    verbal dan non verbal (Sobur, 2004):

    1. Komunikasi Verbal

    Komunikasi verbal secara sederhana adalah komunikasi dengan

    menggunakan bahasa, baik secara lisan maupun tertulis. Bahasa verbal adalahsarana utama untuk menyatakan pikiran, perasaan dan maksud kita. Bahasa verbal

    menggunakan kata-kata yang merepresentasikan berbagai aspek realitas individual

    kita. Konsekuensinya, kata-kata adalah abstraksi realitas kita yang tidak mampu

    menimbulkan reaksi yang merupakan totalitas objek atau konsep yang diwakili

    kata-kata itu. Misalnya, kata rumah, kursi, mobil atau mahasiswa. Realitas apa

    yang diwakili oleh setiap kata itu? Begitu banyak ragam rumah. Ada rumah

    bertingkat, rumah mewah, rumah sederhana dan rumah sangat sederhana.

    2. Komunikasi Non Verbal

    Definisi harfiah komunikasi non verbal sebagai komunikasi tanpa kata,

    merupakan suatu penyederhanaan berlebihan (oversimplification), karena kata

    yang berbentuk tulisan tetap dianggap verbal meskipun tidak memiliki unsur

    suara. Stewart dan DAngelo (1980) yang dikutip oleh Tubbs dan Moss (2001)

    berpendapat bahwa bila kita membedakan verbal dari non verbal dan vokal dari

    non vokal, kita mempunyai empat kategori atau jenis komunikasi. Komunikasi

    verbal vokal merujuk pada komunikasi melalui kata yang diucapkan.

    Komunikasi verbal non vokal, yaitu kata-kata digunakan tapi tidak diucapkan.

    Komunikasi non verbal vokal be rupa vokalisasi, misalnya berupa gerutuan.

    Komunikasi yang terakhir adalah komunikasi non verbal non vokal, yaitu hanya

    mencakup sikap dan penampilan, komunikasi jenis ini membawa pesan-pesan

  • 7/22/2019 Tesis Referensi

    34/186

    19

    linguistik. Pesan-pesan tersebut dapat terjadi dalam berbagai bentuk. Kita dapat

    mengacungkan tangan untuk memilih ya pada suatu pertemuan atau untuk

    menghentikan taksi. Kita menyentuh dengan halus tangan seorang teman untuk

    menghiburnya.

    Komunikasi non verbal menurut Ekman (1965) dan Knapp (1978) yang

    dikutip oleh DeVito (1997) memiliki enam fungsi, yaitu:

    1. Untuk menekankan.

    Komunikasi non verbal digunakan untuk menonjolkan atau menekankan

    beberapa bagian dari pesan verbal. Misalnya, kita mungkin tersenyum untuk

    menekankan atau ungkapan tertentu, atau memukulkan tangan ke meja untuk

    menekankan suatu hal tertentu.

    2.

    Untuk melengkapi (complement).Komunikasi non verbal untuk memperkuat warna atau sikap umum yang

    dikomunikasikan oleh pesan verbal. Jadi, mungkin kita tersenyum ketika

    menceritakan kisah lucu atau menggeleng-gelengkan kepala ketika

    menceritakan ketidak-jujuran.

    3. Untuk menunjukkan kontradiksi.

    Kita dapat juga secara sengaja mempertentangkan pesan verbal kita

    dengan gerakan non verbal. Sebagai contoh, menyilangkan jari atau

    mengedipkan mata untuk menunjukkan bahwa yang kita katakan adalah tidakbenar.

    4. Untuk mengatur.

    Gerak-gerik non verbal dapat mengendalikan atau mengisyaratkan

    keinginan untuk mengatur arus pesan verbal. Mengerutkan bibir,

    mencondongkan badan ke depan atau membuat gerakan tangan untuk

    menunjukkan bahwa kita ingin mengatakan sesuatu merupakan contoh-contoh

    dari fungsi mengatur ini. Kita mungkin mengangkat tangan atau menyuarakan

    jenak (pause ) kita (misalnya, dengan menggumamkan umm) untuk

    memperlihatkan bahwa kita belum selesai bicara.

    5. Untuk mengulangi.

    Kita dapat mengulangi atau merumuskan ulang makna dari pesan verbal.

    Misalnya, kita dapat menyertai pernyataan verbal Apa benar? dengan

  • 7/22/2019 Tesis Referensi

    35/186

    20

    mengangkat alis mata atau dapat menggerakkan kepala atau tangan untuk

    mengulangi pesan verbal Ayo kita pergi.

    6. Untuk Menggantikan.

    Komunikasi non verbal juga dapat menggantikan pesan verbal kita,

    misalnya, mengatakan oke dengan tangan tanpa berkata apa-apa. Kita dapat

    menganggukkan kepala untuk mengatakan ya atau menggelengkan kepala

    untuk mengatakan tidak.

    Ada tiga tujuan komunikasi yang dikatakan oleh Berlo (1960) yaitu

    untuk memberi informasi (informatif), untuk membujuk (persuasif) dan untuk

    tujuan menghibur (entertainment). Gorden sebagaimana yang dikutip oleh

    Mulyana (2001) menyatakan bahwa ada empat fungsi komunikasi yaitu

    komunikasi sosial, komunikasi ekspresif, komunikasi ritual dan komunikasiinstrumental.

    1. Komunikasi Sosial

    Fungsi komunikasi sebagai komunikasi sosial mengisyaratkan bahwa

    komunikasi adalah penting dalam membangun konsep diri, untuk kelangsungan

    hidup, untuk memperoleh kebahagiaan, terhindar dari tekanan dan tegangan,

    antara lain lewat komunikasi yang bersifat menghibur dan memupuk hubungan

    dengan orang lain.

    2. Komunikasi EkspresifErat kaitannya dengan komunikasi sosial adalah komunikasi ekspresif

    yang dapat dilakukan baik sendirian ataupun dalam kelompok. Komunikasi

    ekspresif tidak otomatis bertujuan mempengaruhi orang lain, namun dapat

    dilakukan sejauh komunikasi tersebut menjadi instrumen untuk menyampaikan

    perasaan-perasaan (emosi) kita. Perasaan-perasaan tersebut terutama

    dikomunikasikan melalui pesan-pesan nonverbal. Perasaan sayang, peduli, rindu,

    simpati, gembira, sedih, takut, prihatin, marah dan benci dapat disampaikan lewat

    kata-kata, namun terutama lewat perilaku nonverbal. Seorang ibu menunjukkan

    kasih sayangnya dengan membelai kepala anaknya. Orangdapat menyalurkan

    kemarahan dengan berkacak pinggang, mengepalkan tangan memelototkan

    matanya.

    3. Komunikasi Ritual

  • 7/22/2019 Tesis Referensi

    36/186

    21

    Erat kaitannya dengan komunikasi ekspresif adalah komunikasi ritual,

    yang biasanya dilakukan secara kolektif. Suatu komunitas sering melakukan

    upacara-upacara berlainan sepanjang tahun dan sepanjang hidup, yang disebut

    para antropolog sebagai rites of passage, mulai dari upacara kelahiran, sunatan,

    ulang tahun (nyanyi Happy Birthday dan pemotongan kue), pertunangan,

    perkawinan hingga upacara kematian. Dalam acara-acara itu orang mengucapkan

    kata-kata atau menampilkan perilaku-perilaku tertentu yang bersifat simbolik.

    Ritus-ritus lain seperti berdoa (shalat, sembahyang, misa), membaca kitab suci,

    naik haji, upacara bendera (termasuk menyanyikan lagu kebangsaan), upacara

    wisuda, perayaan lebaran juga merupakan komunikasi ritual. Mereka yang

    berpartisipasi dalam bentuk ritual tersebut menegaskan kembali komitmenmereka

    kepada tradisi keluarga, suku, bangsa, negara, ideologi, atau agama mereka.Komunikasi ritual sering juga bersifat ekspresif, menyatakan perasaan terdalam

    seseorang3.

    Kegiatan ritual memungkinkan para pesertanya berbagai komitmen

    emosional dan menjadi perekat bagi kepaduan mereka, juga sebagai pengabdian

    kepada kelompok. Bukanlah substansi kegiatan ritual itu sendiri yang terpenting,

    melainkan perasaan senasib sepenanggungan yang menyertainya, perasaan bahwa

    kita terikat oleh sesuatu yang lebih besar daripada kita sendiri, yang bersifat

    :abadi, dan bahwa kita diakui dan diterima dalam kelompok kita. Komunikasiritual ini kadang-kadang bersifat mistik

    4.

    4. Komunikasi Instrumental

    Komunikasi instrumental mempunyai beberapa tujuan umum, yaitu:

    menginformasikan, mengajar, mendorong, mengubah sikap dan keyakinan,

    3

    Contoh komunikasi ritual yang bersifat ekspresif ini adalah ketika orang menziarahi makam NabiMuhammad, bahkan menangis di dekatnya untuk menunjukkan kecintaan kepadanya. Selain itu

    para siswa anggota Paskibraka mencium bend era merah putih, untuk menunjukkan rasa cinta

    mereka kepada Nusa dan Bangsa, terlepas dari kita setuju terhadap perilaku mereka atau tidak.4

    Contohnya adalah Suku Aborigin (penduduk asli Australia) yang mata pencaharian

    tradisionalnya adalah berburu dan mengumpulkan makaanan, melakukan upacara tahunan untuk

    memperoleh peningkatan rezeki. Upacara ini dimaksudkan untuk menghormati tanaman dan

    hewan yang juga berbagi tanah air. Menurut kepercayaan mereka, upacara itu penting

    dilaksanakan untuk menjamin kelestarian tanaman dan hewan yang menentukan kelestarian

    hidup mereka.

  • 7/22/2019 Tesis Referensi

    37/186

    22

    mengubah perilaku atau menggerakkan tindakan dan juga untuk menghibur. Bila

    diringkas, maka kesemua tujuan tersebut dapat disebut membujuk (bersifat

    persuasif). Sebagai instrumen, komunikasi tidak saja kita gunakan untuk

    menciptakan dan membangun hubungan, namun juga untuk menghancurkan

    hubungan tersebut. Studi komunikasi membuat kita peka terhadap berbagai

    strategi yang dapat kita gunakan dalam komunikasi kita untuk bekerja lebih baik

    dengan orang lain demi keuntungan bersama. Komunikasi berfungsi sebagai

    instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan pribadi dan pekerjaan.

    Hubungan antara komunikasi dan budaya sangat kompleks dan erat.

    Budaya telah menciptakan sebuah komunikasi spesifik, artinya budaya dapat

    diartikan sebagai sebuah interaksi manusia yang cukup cermat dimana

    karakteristik-karakteristik budaya, apakah itu adat-istiadat, peranan, pola perilaku,ritual-ritual dan hukum diciptakan dan dipertukarkan. Dengan kata lain budaya

    adalah hasil dari sebuah komunikasi sosial. Tanpa komunikasi budaya tidak akan

    mungkin terpelihara dan bertahan dalam suatu tempat dan suatu waktu yang lain.

    Budaya telah tercipta, terbentuk, dipindahkan/ditransmisikan dan dipelajari

    melalui proses komunikasi.

    Implisit dalam komunikasi sosial adalah fungsi komunikasi kultural. Para

    ilmuwan sosial mengakui bahwa budaya dan komunikasi itu mempunyai

    hubungan timbal balik, seperti dua sisi mata uang. Budaya merupakan bagian dariperilaku komunikasi, dan pada gilirannya komunikasipun turut menentukan,

    memelihara, mengembangkan atau mewariskan budaya. Sesuai pendapat Hall

    yang dikutip oleh Mulyana (2001) bahwa budaya adalah komunikasi dan

    komunikasi adalah budaya. Pada satu sisi, komunikasi merupakan suatu

    mekanisme untuk mensosialisasikan norma-norma budaya masyarakat, baik

    secara horisontal, dari suatu masyarakat kepada masyarakat lainnya, ataupun

    secara vertikal, dari suatu generasi kepada generasi berikutnya. Pada sisi lain,

    budaya menetapkan norma-norma (komunikasi) yang dianggap sesuai untuk suatu

    kelompok tertentu, misalnya jangan melawan orang tua, bersikaplah ramah

    pada tamu, dan sebagainya. Budaya bahkan mempengaruhi manusia setelah

    manusia mati. Mengurus orang meninggal apakah mayatnya dikafani atau dalam

  • 7/22/2019 Tesis Referensi

    38/186

    23

    peti mati, setelah itu apakah mengadakan tahlilan atau tidak, juga bergantung

    pada norma-norma budaya yang berlaku pada komunitas kita (Mulyana, 2001).

    Upacara Religi

    Durkheim dikutip oleh Koentjaraningrat (1987) mendefinisikan suatu

    religi sebagai suatu sistem yang berkaitan dari keyakinan-keyakinan dan upacara-

    upacara yang keramat, artinya yang terpisah dan pantang, keyakinan-keyakinan

    dan upacara yang berorientasi kepada suatu komunitas moral yang disebut Umat.

    Banyak para ahli yang melahirkan teori-teori yang berorientasi kepada upacara

    religi, antara lain Smith dikutip oleh Koentjaraningrat (1987) tentang upacara

    bersaji, dimana inti teorinya yang menganalisis azas-azas religi tidak berpangkal

    pada analisa sistem keyakinan atau pelajaran doktrin dari religi, tetapi berpangkal

    pada upacaranya. Dia menemukakan tiga gagasan penting yang menambah

    pengertian mengenai azas-azas religi dan agama pada umumnya. Gagasan yang

    pertama , mengenai soal bahwa di samping sistem keyakinan dan doktrin, sistem

    upacara juga merupakan suatu perwujudan dari religi atau agama yang

    memerlukan studi dan analisa yang khusus. Gagasan yang kedua, adalah bahwa

    upacara religi atau agama yang biasanya dilaksanakan oleh banyak warga

    masyarakat pemeluk religi atau agama yang bersangkutan bersama-sama

    mempunyai fungsi sosial. Para pemeluk suatu religi atau agama memang ada

    menjalankan kewajiban mereka untuk melakukan upacara itu dengan sungguh-

    sungguh, tetapi tidak sedikit pula yang hanya melakukannya setengah-setengah

    saja. Motivasi mereka tidak terutama untuk berbakti kepada dewa atau Tuhannya,

    atau untuk mengalami kepuasan keagamaan secara pribadi, tetapi juga karena

    mereka mengangap bahwa melakukan upacara adalah suatu kewajiban sosial.

    Sedangkan gagasan ketiga , adalah teorinya mengenai fungsi upacara bersaji. Pada

    pokoknya upacara seperti itu, dimana manusia menyajikan sebagian dari seekor

    binatang, terutama darahnya, kepada dewa kemudian memakan sendiri sisa daging

    dan darahnya, oleh Smith (1889) yang dikutip oleh Koentjaraningrat (1987) juga

    dianggap sebagai suatu aktivitas untuk mendorong rasa solidaritas dengan dewa

    atau para dewa. Dalam hal itu dewa atau para dewa dipandang juga sebagai

    warga komunitas, walaupun sebagai warga yang istimewa.

  • 7/22/2019 Tesis Referensi

    39/186

    24

    Preusz yang dikutip oleh Koentjaraningrat (1987) mengemukakan

    konsep-konsepnya mengenai azas-azas religi yang mendekati masalahnya dari

    sudut upacara. Anggapannya adalah bahwa rangkaian ritus yang paling penting

    dalam banyak religi di dunia adalah ritus kematian. Menurutnya ritus atau upacara

    religi aka n bersifat kosong tak bermakna, apabila tingkah laku manusia di

    dalamnya didasarkan pada akal rasional dan logika. Namun secara naluri manusia

    memiliki suatu emosi mistikal yang mendorongnya untuk berbakti kepada

    kekuatan tinggi yang olehnya tampak konkret di sekitarnya, dalam keteraturan

    dari alam, serta proses pergantian musim dan kedahsyatan alam dalam

    hubungannya dengan masalah hidup dan maut.

    Hertz yang dikutip oleh Koentjaraningrat (1987) juga mengemukakan

    analisanya tentang azas religi yang berorientasi kepada upacara dan khususnya

    upacara kematian. Dia menganggap bahwa upacara kematian selalu dilakukan

    manusia dalam rangka adat-istiadat dan struktur sosial dari masyarakatnya, yang

    berwujud sebagai gagasan kolektif. Dengan demikian analisa terhadap upacara

    kematian harus lepas dari segala perasaan pribadi para pelaku upacara terhadap

    orang yang meninggal dan harus dipandang dari sudut gagasan kolektif dalam

    masyarakat tadi. Di sini Hertz melihat bahwa gagasan kolektif mengenai gejala

    kematian yang terdapat pada banyak suku-bangsa di dunia adalah gagasan bahwa

    mati itu berarti suatu proses peralihan dari suatu kedudukan sosial yang tertentu

    ke kedudukan sosial yang lain, yaitu kedudukan sosial dalam dunia ini ke suatu

    kedudukan sosial dalam dunia makhluk halus. Pada berbagai suku-bangsa di

    Indonesia upacara kematian itu terdiri dari tiga tingkat, yaitu: (1) Sepulture

    privisoire, (2) Periode intermediare dan (3) Ceremonie finale. Mula-mula mayat

    diberi suatu sepulture privisoire , yaitu pemakaman sementara. Kemudian ada

    suatu periode intermediaer atau masa antara yang biasanya berlangsung tiga

    hingga lima tahun, dalam waktu mana para kerabat dekat orang yang meninggal

    itu hidup dalam keadaan keramat. Kedudukan yang baru untuk roh yang

    meninggal itu dicapai pada ceremonie finale, yaitu pada upacara di mana tulang

    belulang dan sisa-sisa jasmani orang yang meninggal itu digali lagi (dan kadang-

    kadang setelah itu dibakar), lalu ditempatkan di pemakaman yang tetap. Sesudah

    analisa yang dalam tentang berbagai unsur dalam upacara-upacara kematian pada

  • 7/22/2019 Tesis Referensi

    40/186

    25

    berbagai suku bangsa di Indonesia, yang memberi kesimpulan kepadanya bahwa

    upacara kematian itu tidak lain daripada suatu upacara inisiasi , Hertz

    menunjukkan bahwa ada persamaan yang besar antara unsur-unsur upacara

    kematian manusia dengan unsur -unsur upacara kelahiran dan pernikahannya. Pada

    kelahiran, seorang individu beralih dari alam gaib ke alam hidup, pada kematian

    ia beralih dari alam hidup ke alam gaib.

    Seorang ahli folklor Van Gennep (1908) yang dikutip oleh

    Koentjaraningrat (1987) berpendirian bahwa ritus dan upacara religi secara

    universal pada azasnya berfungsi sebagai aktivitas untuk menimbulkan kembali

    semangat kehidupan sosial antara warga masyarakat. Serupa dengan Hertz dalam

    kaitan dengan upacara kematian, Van Gennep menyatakan bahwa semua ritus dan

    upacara itu dapat dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu: (1) perpisahan atau

    separation , (2) peralihan atau merge dan (3) integrasi kembali atau agregation.

    Dalam bagian pertama dari ritus, yaitu bagian separation , manusia melepaskan

    kedudukannya yang semula. Acara ritus biasanya terdiri dari tindakan-tindakan

    yang melambangkan perpisahan itu. Bagian kedua dari ritus, yaitu bagian merge,

    manusia dianggap mati atau tidak ada lagi dan dalam keadaan seperti tidak

    tergolong dalam lingkungan sosial manapun. Sedangkan bagian ketiga dari

    upacara, yaitu bagian agregation , yaitu mereka diresmikan ke dalam tahap

    kehidupannya serta lingkungan sosialnya yang baru.

    Dalam banyak kehidupan ritus peralihan sangat penting, misalnya dalam

    upacara hamil tua, upacara saat-saat anak-anak tumbuh (upacara memotong

    rambut yang pertama, upacara keluar gigi yang pertama, upacara penyentuhan si

    bayi dengan tanah untuk pertama kali dan sebagainya) dan dalam upacara inisiasi .

    Data etnografi Van Gennep menunjukkan bahwa ritus perpisahan itu sering

    berkaitan dengan ritus peralihan, sedangkan upacara integrasi dan pengukuhan

    lebih sering berdiri sendiri, lepas dari kedua macam ritus tersebut. Upacara religi

    dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu: (1) yang bersifat perpisahan menjadi

    satu dengan yang bersifat peralihan, diistilahkan sebagai ritus dan (2) yang

    bersifat integrasi dan pengukuhan, distilahkan sebagai upacara.

    Religi menurut Koentjaraningrat (1987) memiliki lima komponen, yaitu:

  • 7/22/2019 Tesis Referensi

    41/186

  • 7/22/2019 Tesis Referensi

    42/186

    27

    tindakan manusia dalam melaksanakan kebaktiannya terhadap Tuhan, dewa, roh

    atau makhluk halus lain dengan tujuan untuk berkomunikasi. Ritus atau upacara

    religi itu biasanya berlangsung berulang-ulang baik setiap hari, setiap musim atau

    kadang-kadang saja. Tergantung dari isi acaranya, suatu ritus atau upacara religi

    biasanya terdiri dari suatu kombinasi yang merangkaikan satu-dua atau beberapa

    tindakan, seperti: berdoa, bersujud, bersaji, berkorban, makan bersama, menari

    dan menyanyi, berprosesi, berseni-drama suci, berpuasa, bertapa dan bersamadi.

    Dalam ritus dan upacara religi biasanya dipergunakan bermacam-macam sarana

    dan peralatan, seperti: tempat atau gedung pemujaan, payung dewa, alat bunyi-

    bunyian suci (orgel, genderang suci, gong, seruling suci, gamelan suci, lonceng

    dan lain-lain). Selain itu para pelaku upacara seringkali harus mengenakan

    pakaian yang juga dianggap mempunyai sifat suci, seperti jubah pendeta, jubahbiksu da n lain-lain).

    Komponen kelima dari sistem religi adalah umatnya atau kesatuan sosial

    yang menganut sistem keyakinan dan yang melaksanakan sistem ritus serta

    upacara itu. Kesatuan sosial yang bersifat umat agama itu dapat berwujud sebagai:

    (1) keluarga inti atau kelompok-kelompok kekerabatan yang lain, (2) kelompok

    kekerabatan yang lebih besar, seperti keluarga -luas, klen, gabungan klen, suku,

    marga dan lain-lain, (3) kesatuan komunitas seperti desa, gabungan desa dan lain-

    lain, (4) organisasi atau gerakan religi, seperti organisasi penyiaran agama,

    organisasi sangha, organisasi gereja, partai politik yang berideologi agama,

    gerakan agama, orde-orde rahasia dan lain-lain (Koentjaraningrat, 1987).

    Masyarakat Tengger dan Berbagai Upacaranya

  • 7/22/2019 Tesis Referensi

    43/186

    28

    Masyarakat Tengger dalam kesehariannya tidak terlepas dari berbagai

    ritual upacara yang selalu dilakukan dalam rangka pemanjatan doa kepada Tuhan

    Yang Maha Esa agar diberikan keselamatan maupun sebagai ungkapan rasa

    syukur atas rejeki yang telah mereka terima. Ritual upacara mereka secara garis

    besar dapat dibagi ke dalam dua golongan, yaitu5:

    1. Upacara Lingkup Keluarga.

    Upacara jenis ini terdiri dari upacara kelahiran, upacara perkawinan dan

    upacara kematian. Upacara ini biasanya dilakukan dalam lingkup keluarga,

    sehingga penanggung jawab pelaksanaan adalah keluarga yang punya hajat.

    Berbagai macam upacara yang berkaitan dengan jenis ini antara lain:

    a. Upacara sesayut/ upacara mitoni, yaitu upacara yang dilakukan saat bayi

    berumur tujuh bulan. Upacara ini menggunakan sarana berupa: tumpeng,panggang ayam, bunga di dalam air cepel/ kuwali, lawe. Tujuan mitoni ini

    adalah agar bayi tersebut mudah saat lahir dan selamat beserta ibunya.

    Pelaksanaan upacara ini yaitu: bunga di dalam kuwali dimandikan kepada

    ibunya, sedangkan la wenya disabukkan ke perut ibu. Mandi dengan bunga

    bermakna agar ibu dan bayinya dalam kandungan tetap harum dan suci.

    Sedangkan lawe yang disabukkan bermakna agar ibu dan bayi tetap menyatu

    dan lahir dengan selamat.

    b.

    Upacara kekerik/ membersihkan, dilaksanakan setelah bayi dilahirkan dancuplak pusernya. Maknanya adalah membersihkan ibu dan anak setelah

    melahirkan. Sebab sebelum upacara kekerik/pembersihan dilaksanakan, masih

    ada saja gangguan-gangguan kepada ibu dan anak yang baru dilahirkan.

    c. Upacara among-among, dilakukan bersama upacara kekerik. Upacara ini ini

    dilakukan untuk mengamongi keluarga atau saudara-saudara tertua dan orang

    tua dari ibu dan bapak yang baru melahirkan. Tujuannya adalah agar nantinya

    orang tua dan saudara-saudaranya serta para sesepuh bisa ngemong/ memberi

    petunjuk yang baik kepada anak yang dilahirkan supaya setelah dewasa

    menjadi orang yang berguna.

    d. Upacara tanam ari-ari, dilakukan setelah ari-ari sudah keluar dan dilakukan

    oleh dukun bayi.

    5 Sebagaimana yang diungkapkan oleh Koordinator Dukun Sekawasan Tengger (Bapak

    Mudjono) dan juga merupakan dokumentasi pribadi yang tidak dipublikasikan.

  • 7/22/2019 Tesis Referensi

    44/186

    29

    e. Upacara setelah bayi berumur 44 hari. Upacara ini dilakukan agar bayi dapat

    diajak keluar. Sebelum berumur 44 hari bayi tidak boleh dibawa keluar dari

    rumah atau halaman rumah termasuk ibunya.

    f. Upacara tugel gombak/ tugel kuncung. Upacara ini dilakukan dengan

    memotong sedikit rambut, tugel kuncung adalah sebutan untuk laki-laki,

    sedangkan tugel gombak adalah sebutan untuk perempuan. Tujuannya adalah

    untuk menghilangkan sengkala.

    g. Upacara Ngruwat/ Ruwatan, dilaksanakan setelah anak menginjak dewasa.

    Dilakukan bagi anak-anak yang tidak punya saudara sama sekali. Tujuannya

    adalah untuk menjaga keselamatan agar tidak diganggu oleh butakala.

    h. Upacara pernikahan/ Praswala Gara, yaitu upacara pernikahan yang

    dilakukan menurut tradisi Tengger. Secara lengkap akan diterangkan padabagian pembahasan Upacara Praswala Gara.

    i. Upacara Kematian, rangkaian upacara kematian ini dilakukan pada saat

    upacara penguburan di pemakaman, upacara yang dilakukan di rumah duka

    dan upacara Entas-Entas yang dilakukan minimal 44 hari setelah kematian.

    UpacaraEntas-Entas ini diterangkan secara lebih lengkap pada pembahasan

    upacara tersebut.

    2.

    Upacara Lingkup Desa.Upacara jenis ini biasanya memiliki cakupan yang luas karena dilakukan

    oleh seluruh warga desa bahkan juga seluruh warga masyarakat Tengger.

    Penanggung jawab pelaksanaan biasanya adalah Petinggi (Kepala Desa) sebagai

    pemangku adat beserta para perangkatnya serta Dukun dan para kerabatnya

    (Legen dan Wong Sepuh) sebagai pelaksananya. Beberapa upacara jenis ini antara

    lain:

    a. Upacara Kasada , berupa ungkapan syukur yang dilakukan dengan

    membuang hasil pertanian ke kawah Gunung Bromo pada bulan ke- dua

    belas (bulan Kasada) waktu bulan purnama. Upacara ini diikuti oleh seluruh

    masyarakat Tengger yang berpusat di Pura Agung Poten di lautan pasir

    Gunung Bromo dan merupakan upacara terbesar dalam kehidupan

    masyarakat Tengger.

  • 7/22/2019 Tesis Referensi

    45/186

    30

    b. Upacara Karo, dilakukan dengan mengadakan upacara di Pura dan di desa,

    merupakan upacara terbesar kedua setelah Kasada.Upacara ini dilakukan

    pada tanggal 15 bulan kedua penanggalan Tengger (bulan Karo).

    c. Upacara Unan-Unan , yaitu upacara bersih desa yang dilakukan setiap lima

    tahun sekali. Tujuannya adalah untuk menjauhkan desa dari mara bahaya.

    Rangkaian upacaranya adalah:Banten Kayopan Agung, Yatnya Nguna Sasi/

    korban maesa (berupa kerbau yang dikorbankan dalam upacara tersebut) dan

    Yatnya Tandur Tuwuh.

    d. Upacara Pujan, yaitu tradisi pemujaan yang dilakukan pada bulan-bulan

    tertentu untuk meminta keselamatan dan kesejahteraan bagi seluruh warga

    masyarakat. Pujan ini macamnya adalah Pujan Kapat(bulan keempat),Pujan

    Kapitu (bulan ketujuh), Pujan Kawolu (bulan kedelapan), Pujan Kesanga (bulan ke sembilan) dan Pujan Kasada (bulan kedua belas).

    Sebagaimana hasil penelitian dari Soemanto dalam buku Agama

    Tradisional menyatakan bahwa nilai budaya masyarakat Tengger terwujud dalam

    aturan-aturan adat yang benar-benar dipedomani oleh masyarakatnya dan hal ini

    didukung pula oleh pandangan agama dan kepercayaannya yang menjadi kesatuan

    dalam sikap kehidupan sehari-hari. Berdasarkan agama dan kepercayaan yang

    mereka anut, masyarakat adat Tengger selalu berusaha untuk mendekatkan diri

    pada Sang Hyang Agung.Banyak hal yang ikut menentukan kepatuhan warga Tengger terhadap

    keberadaan nilai-nilai sosial budaya. Selain hal di atas adalah melekatnya budaya

    paternalistik dalam masyarakat. Pemimpin atau tokoh adat merupakan panutan

    sentral bagi warga, sehingga kemungkinan kecil terdapat perilaku-perilaku sosial

    budaya masyarakat yang menyimpang dari kebiasaan yang ada. Hasil penelitian

    terdahulu yang terhimpun dalam buku yang berjudul Agama Tradisional

    menjelaskan dalam sistem sosial budaya Tengger selama ini, belum pernah terjadi

    peristiwa sosial baru atau bentuk-bentuk budaya baru, baik yang dilakukan oleh

    individu atau kelompok sosial dalam masyarakat. Masyarakat (terutama generasi

    baru) cenderung ingin mengetahui, memahami, melaksanakan dan menghargai

    terhadap sistem sosial budaya yang lama. Nilai-nilai sosial budaya Tengger sudah

  • 7/22/2019 Tesis Referensi

    46/186

    31

    melembaga sedemikian kuat dalam masyarakat Tengger sehingga

    ketradisionalannya tetap terpelihara.

    Daerah Tengger adalah daerah wisata yang banyak dikunjungi oleh para

    wisatawan, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Para wisatawan sedikit

    banyak akan membawa perubahan sosial dalam kehidupan yang belum diketahui

    oleh masyarakat yang bersangkutan. Masyarakat Tengger yang banyak melakukan

    interaksi dengan wisatawan lambat laun juga akan mengalami perubahan karena

    pengaruh modernisasi yang dibawa oleh wisatawan. Dengan demikian, mereka

    banyak menyerap pengetahuan dan pengalaman dari orang luar Tengger. Memang

    dalam beberapa hal interaksi tersebut perlu untuk dilakukan, namun dalam kasus

    lain perlu adanya benteng dari masyarakat terhadap pengaruh budaya asing. Hal

    ini perlu dilakukan mengingat interaksi dengan orang asing, baik dalam negerimaupun luar negeri tidak selamanya membawa pengaruh yang positif (Anwar,

    2003).

    Pada akhir abad 20-an kehadiran lembaga sekolah tidak diterima secara

    mulus oleh masyarakat Tengger. Oleh karena itu cara penanamannya melalui

    penyadaran, perintah, bahkan terkadang dengan cara memaksa. Seperti adanya

    aturan dari pemerintah desa tentang ijin menikah yang bisa diberikan jika

    pasangan calon pengantin sudah lulus sekolah menengah pertama. Penerimaan

    pembaruan dan inovasi untuk saat sekarang ini disamping dilakukan melaluipendidikan formal atau lembaga sekolah, juga dilakukan dengan cara

    menghimpun kelompok-kelompok masyarakat melalui jalur-jalur nonformal,

    seperti Pramuka. Selain itu penerimaan pembaruan dan inovasi juga banyak

    dipengaruhi oleh para pendatang yang berasal dari luar Tengger dan tamu

    wisatawan, baik domestik maupun mancanegara yang berkunjung ke Gunung

    Bromo.

    Namun tidak dapat dipungkiri bahwa kehadiran lembaga pendidikan,

    baik yang formal maupun nonformal di daerah Tengger, sedikit demi sedikit telah

    banyak membantu untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat Tengger.

    Keterbukaan dalam hal pembaruan di daerah Tengger ini sedikit demi sedikit juga

    mengalami peningkatan, dalam artian masyarakat Tengger dapat menerima

  • 7/22/2019 Tesis Referensi

    47/186

    32

    pembaruan tersebut. Akibatnya, orang Tengger dapat dikatakan sudah mulai

    berubah dan telah mengalami kemajuan (Machmud, 2003).

    Pergeseran atau perubahan nilai yang terjadi pada masyarakat Tengger

    adalah pergeseran atau perubahan nilai-nilai yang bersifat instrumental dan bukan

    nilai-nilai hakikinya. Hasil penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa

    sampai sekarang kepatuhan dan ketaatan terhadap kepercayaan, rasa kekeluargaan

    yang masih cukup kental, rasa toleransi terhadap sesama dan orang lain masih