togutil

Upload: triani-agustini-margareth-nainggolan

Post on 10-Feb-2018

229 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 7/22/2019 TOGUTIL

    1/11

    Mengenal ORANG TOGUTIL

    Suku Terasing di Pedalaman Pulau Halmahera

    Bila mendengar kata TOGUTIL, maka bayangan yang muncul dalam pikiran semua

    orang di Ternate dan Maluku Utara pasti akan tertuju pada komunitas suku terasing yang hidup

    secara nomaden di pedalaman pulau Halmahera. Tapi mungkin lain halnya dengan masyarakat di

    luar provinsi muda ini, misalnya orang-orang di Sulawesi, Jawa, Kalimantan, Sumatera dsb,

    nama suku Togutil mungkin baru kali ini didengarnya. Bagi orang Ternate, kata Togutil

    sebagai sebuah istilah, itu identik dengan makna kata primitif, keterbelakangan,

    kebodohan ketertinggalan serta masih banyak lagi konotasi-konotasi yang bermakna serupa

    lainnya.

    Dalam keseharian kehidupan masyarakat di Maluku Utara yang hingga sekarang ini juga

    telah memasuki era digital sebagaimana orang-orang di pulau Jawa, namun ternyata masih ada

    saudara-saudaranya yang ada di pedalaman pulau Halmahera yang hidupnya masih primitif dan

    terbelakang serta jauh dari sentuhan modernisasi. Padahal negara ini sudah merdeka lebih dari 60

    tahun yang lalu.

    Suku Togutil adalah suku asli yang terasing di negerinya sendiri. Hal seperti ini juga

    pernah dikemukakan oleh Pengamat Budaya Djoko Suud Sukahar dalam tulisannya; Suku

    Asing & Terasing, detikNews, tanggal 21 Agustus 2008 yang menyentil bahwa; Enampuluh

    tiga tahun sudah kita merdeka. Kemerdekaan yang panjang itu masih menyisakan penyesalan.

    Tak hanya karena taraf hidup rakyat yang tak kunjung membaik, tapi juga masih banyaknya

    saudara kita yang hidup terasing. Mereka asing bagi kita, dan kita asing bagi mereka, seperti

    orang-orang Suku Togutil yang hidup di pedalaman pulau Halmahera. Walaupun mereka masih

    primitif karena pola hidup secara nomaden tanpa merobah dan merusak alam, namun keberadaan

    mereka seperti itu telah memberikan pelajaran berharga kepada kita semua dalam hal

    melestarikan hutan. Seakan-akan mereka berpesan; janganlah sekali-kali merusak alam.

    . Secara logis, karena pulau Halmahera adalah pulau induk dan daratan tertua, maka dapat

    dipastikan bahwa perkembangan kehidupan dan persebaran manusia Maluku Utara juga tentu

    bermula dari daratan ini. Namun bukan itu yang menjadi bahasan saya dalam tulisan ini.

    Pembahasan hanya terfokus pada keberadaan sebuah komunitas yakni orang-orang suku Togutil

    http://ternate.wordpress.com/2009/03/25/mengenal-orang-togutil-suku-terasing-di-pulau-halmahera-2/http://ternate.wordpress.com/2009/03/25/mengenal-orang-togutil-suku-terasing-di-pulau-halmahera-2/http://ternate.wordpress.com/2009/03/25/mengenal-orang-togutil-suku-terasing-di-pulau-halmahera-2/http://ternate.wordpress.com/2009/03/25/mengenal-orang-togutil-suku-terasing-di-pulau-halmahera-2/http://ternate.wordpress.com/2009/03/25/mengenal-orang-togutil-suku-terasing-di-pulau-halmahera-2/
  • 7/22/2019 TOGUTIL

    2/11

    yang masih tersisa yang mengalami ketertinggalan dalam perkembangan sosio-kultural yang

    disebabkan karena mereka terisolasi atau mengisolasikan diri dari pergaulan dengan lingkungan

    manusia lainnya. Hidup mereka telah menyatu dengan alam sehingga hutan rimba, sungai-sungai

    dan goa-goa di belantara pedalaman pulau Halmahera menjadi rumah mereka.

    Disadari atau tidak, sebagian orang bisa menyimpulkan bahwa pernyataan tersebut di atas

    menunjukkan bahwa manusia Maluku Utara yang sudah modern dan maju seperti sekarang ini

    dahulunya adalah juga seperti orang Togutil ini.

    ASAL MULA SUKU TOGUTIL DI BUMI HALMAHERA

    Berawal dari maksud mencari rempah-rempah, tanah Maluku yang terkenal akan cengkeh

    dan pala menjadi incaran bangsa Eropa yang lalu berlomba-lomba datang untuk menguasainya.

    Pada tahun 1546, Portugis mulai menyisir setiap pantai dan pulau yang ada di bumi Maluku

    Utara. Teluk Galela tidak ketinggalan. Tahun 1570 Sultan Khairun diracuni oleh Portugis saat

    sedang melangsungkan perundingan. Putranya, Sultan Babullah bersumpah untuk mengusir

    Portugis keluar dari benteng-benteng mereka dan secara gencar mengincar dan mengempur

    setiap kubu pertahanan portugis termasuk yang terdapat di Mamuya yang tidak tercatat dalam

    sejarah.

    Peristiwa ini banyak memakan korban di pihak Portugis. Bantuan kapal yang datang juga

    tidak lepas dari incaran. Salah satu kapal besar yang berlayar menyusuri kali Tiabo, pada waktu

    itu sebagian lembah Galela masih tergenang air, akhirnya karam di daerah Dokulamo yang

    berada pada posisi 3 Km dari kali Tiabo dan 9 km dari tepi pantai.

    Saksi mata sekaligus pemilik lahan, Alm. Yulianus Senyenyi, pernah berkisah bahwa

    ketika dirinya sedang mengolah lahannya dirinya menemukan bangkai kapal berukuran panjang

    30 depa atau sekitar 45 meter dan lebar 9 depa (15 meter). Sayangnya rongsokan bangkai kapal

    tersebut habis dimakan karat dan sebagian besar besinya telah diangkut hingga tidak tersisa lagi.

    Tempatnya karam bahkan saat ini sudah ditanami kelapa. Daerah tersebut oleh penduduk desa

    Dokulamo dinamakan daerah Kakapal. Kapal Portugis tersebut masuk ke hulu Tiabo untuk

    menghindari pengejaran pasukan Korakora Sultan Ternate. Sayangnya mereka bernasib sial

    karena meskipun berhasil meluputkan diri namun pasukan Alifuru di pedalaman Galela telah

    menanti. Pertempuran pun tak dapat dielakkan lagi. Pada serangan pertama, pasukan Portugis

    dengan senjata apinya berhasil memakan banyak korban di pihak Alifuru. Hal ini memaksa pihak

  • 7/22/2019 TOGUTIL

    3/11

    Alifuru untuk mundur sembari mengatur kekuatan dan siasat tempur baru. Serangan kedua pun

    dilakukan, namun kali ini tidak lagi menggunakan kekuatan fisik dan kontak senjata. Pasukan

    Alifuru menggunakan lebah sebagai kekuatan untuk melumpuhkan musuh. Serangan ini

    membuat pasukan Portugis yang berada baik di kapal maupun di darat menjadi kalang kabut

    ketika kawanan lebah datang dari berbagai arah untuk menyerang mereka. Sengatan lebah-lebah

    ini ternyata menimbulkan banyak korban di pihak Portugis. Upaya penyelamatan dilakukan

    dengan api dan belerang serta serangan balik dengan tembakan yang membabibuta, membuat

    pasukan Alifuru mundur dan menghindar dari peluru-peluru nyasar. Mundurnya pasukan Alifuru

    digunakan oleh Portugis untuk segera meninggalkan kapal dan daerah Dokulamo menuju arah

    selatan. Mereka bermukim di daerah Gunung Hum dan kemudian menamakan daerah tersebut

    Rum yang mengisyaratkan bahwa daerah itu adalah tempat tinggal orang-orang yang berasal dari

    Rumawi. Orang-orang Portugis di daerah Hum/Rum tidak dapat tinggal dengan tenang

    dikarenakan orang-orang Galela sering mengusik ketentraman mereka. Mereka pun kemudian

    memilih hijrah ke daerah Tobelo dengan menepati bebukitan Karianga arah selatan daerah

    Wangongira, Kusuri, lembah Kao, batang sungai kali Jodo menuju arah Tetewang. Perpindahan

    ini mempertemukan mereka dengan sesama bangsanya yang bernasib serupa di sekitar Pasir

    Putih yang kapalnya karam. Sebagian dari mereka menetap dan menyatu dengan masyarakat

    setempat. Untuk menghilangkan jejak sebagai orang Portugis mereka pun belajar bahasa Tobelo

    dan berusaha keras menghilangkan aksen bahasanya. Mereka kemudian hidup bergaul dengan

    orang Tobelo dan Kao yang pada akhinya membuat kebanyakan orang Togutil berkomunikasi

    dengan menggunakan bahasa Tobelo Boeng dan Modole. Upaya-upaya ini dilakukan untuk

    menghindari kejaran pasukan Ternate dan Alifuru terhadap sisa-sisa orang Portugis di Maluku

    Utara yang lari ke hutan. Pada perkembangannya, orang-orang Portugis ini kemudian hidup

    dengan cara berpindah-pindah ke daerah yang mereka anggap lebih aman sambil tetap

    berkembang biak. Populasi mereka diketahui menempati hutan di selatan Halmahera Utara

    sampai ke hutan Wasilei di Halmahera Timur. Mereka senang tinggal ditepian sungai. Rumah

    mereka terbuat dari kayu bulat beratapkan daun rumbia atau daun woka tanpa dinding. Pola

    makan mereka adalah dengan menyantap makanan mentah atau dimasak dengan cara dibakar

    dengan bambu. Air kebanyakan mereka minum langsung dari sungai.

    Perawakan suku Togutil yang belum kawin campur adalah seperti orang Portugis pada

    umumnya. Mereka berperawakan tinggi besar, berkulit putih dan berhidung mancung. Anak-

  • 7/22/2019 TOGUTIL

    4/11

    anak perempuan mereka cantik-cantik dengan bola mata yang berwarna bening-keabuan. Pola

    hidup mereka masih sangat bergantung pada hasil alam. Makan dari buah-buahan, umbi-umbian,

    pucuk-pucuk daun muda dan dari hasil buruan binatang hutan dan ikan sungai.

    Ketergantungan mereka pada alam membuat mereka memiliki pola hidup nomaden.

    Setelah persediaan umbi-umbian dan buah-buahan serta hewan menjadi berkurang mereka akan

    berpindah ke daerah baru. Demikianlah sehingga mereka kemudian dikenal sebagai pemilik

    hutan Halmahera mengingat merekalah yang pertama menjelajahi dan menempati hutan

    Halmahera.

    Suku Togutil kini bukanlah suku terasing tapi lebih merupakan suku asli penghuni rimba

    Halmahera. Butuh perhatian, kepedulian dari berbagai pihak untuk mengangkat harkat dan

    martabat hidup mereka layaknya masyarakat Halmahera lainnya. Caranya bukan dengan

    membangun perumahan bagi mereka di tepian pantai dan lalu memaksa mereka keluar dari hutan

    sehingga kita dapat merampok semua kekayaan hutan yang telah mereka tinggalkan tanpa

    mempertimbangkan sebab akibat.

    Rumah yang dibangun akan tetap menjadi kosong karena pada dasarnya mereka bukanlah

    orang pesisir. Hutan adalah istana hidup sedangkan pesisir pantai adalah petaka hidup bagi

    mereka yang disebut Togutil.

    Selain masyarakat yang telah menjadi penduduk pulau Halmahera dan pulau-pulau

    sekitarnya, umumnya nama Suku Togutil masih terdengar aneh dan baru bagi masyarakat

    Indonesia. Hal ini karena kurangnya informasi, baik dari media cetak dan elektronik di

    Indonesia. Sementara itu, bagi penduduk pulau Halmahera, ketika mereka mendengar kata

    "Togutil" bahwa apa yang ada dalam pikiran mereka adalah suku yang hidup nomaden, di hutan,

    tidur di gubuk yang terbuat dari seadanya dan hanya mengenakan cawat untuk menutupi bagian-

    bagian penting dari tubuh mereka. Selain itu, makna dari "Togutil" kata rakyat Ternate adalah

    "kebodohan", "keterbelakangan" dan "primitif".

    Banyak cerita yang timbul tentang asal-usul keberadaan suku ini. Ada sebuah kisah yang

    menyatakan bahwa suku ini awalnya adalah warga yang melarikan diri untuk menghindari pajak

    pemerintah kolonial Belanda pada waktu itu. Ada juga cerita yang menyatakan bahwa suku

    Togutil itu warga yang pernah menjadi tentara Portugis yang melarikan diri ke hutan karena

    kalah dalam pertempuran dengan Pasukan Kora-kora, tentara Sultan Ternate. Namun, kisah asal-

  • 7/22/2019 TOGUTIL

    5/11

    usul keberadaan suku Togutil yang terisolasi sekedar cerita yang beredar di tengah-tengah

    masyarakat sehingga perlu ada penelitian lebih lanjut mengenai hal ini.

    Daerah-daerah yang dihuni oleh suku ini tersebar di beberapa wilayah di pedalaman

    pulau Halmahera. Di (Halmahera) Utara berada di pedalaman Tobelo dan bagian tengah berada

    di Dodaga, di pedalaman Kao dan di pedalaman Wasilei. Sementara di Selatan berada di

    pedalaman Maba dan Buli. Ada yang menarik dari suku ini, yaitu masing-masing komunitas

    merasa berbeda satu sama lain dan kadang-kadang mereka saling bertarung ketika mereka

    bertemu. Membedakan satu masyarakat suku (Togutil) dengan masyarakat suku lain Togutil

    (dengan cara) berdasarkan wilayah atau daerah sebagai tempat pengembaraan mereka, seperti

    Togutil Tobelo, Togutil Kao, Togutil Dodaga, Togutil Wasilei dan Togutil Maba.

    Kehidupan suku Togutil sangat sederhana bahwa mereka sangat tergantung pada alam

    sekitarnya. Makanan mereka berasal dari pohon sagu, babi hutan atau berburu rusa dan

    memancing di sungai. Selain itu, mereka juga menanam pisang, singkong, ubi jalar, pepaya dan

    tebu. Karena mereka adalah suku nomaden jadi kebun yang mereka tanami tidak dilakukan

    secara intensif bahwa hutan di wilayah tersebut menunjukkan tidak ada gangguan yang

    signifikan. Pemerintah pernah mencoba untuk memberi mereka sebuah pemukiman. Karena

    mereka telah terbiasa hidup di hutan maka permukiman yang diberikan kepada mereka

    ditinggalkan dan kembali hidup sebagai suku nomaden. Ada banyak hal berharga yang

    ditunjukkan oleh suku ini kepada kami yang menjaga hutan, melestarikan hutan dan tidak pernah

    menyakitinya.

    MASALAH RELOKASI SUKU TOGUTIL DI WASILEI

    Gambaran rinci tentang pemukiman, asal-usul dan kehidupan suku Togutil di pedalaman

    pulau Halmahera ini sama sekali belum diketahui oleh dunia pengetahuan kita. Oleh karena itu

    sangatlah sukar untuk memperoleh keterangan yang terperinci dan terpercaya dari laporan-

    laporan yang ada tentang Halmahera tanpa melakukan sendiri penelitian di lapangan. Walaupun

    demikian, pada sekitar tahun 1979, Universitas Pattimura Ambon pernah melakukan penelitian

    lapangan yang bersifat Eksplorasi melalui pendekatan Anthropologi Sosial terhadap suku Togutil

    di pedalaman Tobelo untuk mencari jawaban atas kegagalan usaha pemukiman suku terasing ini,

    yang laporan penelitiannya ditulis oleh Mus J. Huliselan yakni; Masalah Pemukiman Kembali

  • 7/22/2019 TOGUTIL

    6/11

    Suku Bangsa Togutil di Kecamatan Wasilei Halmahera Tengah Sebuah Laporan Pejajagan,

    Universitas Patimura, Ambon, 1980.

    Jika dilihat dari sistem pemukiman orang-orang Togutil Wasilei dapat dibagi atas 3 kelompok,

    yaitu:

    1. Mereka yang mengembara di hutan-hutan dengan goa-goa dengan rumah-rumah daruratsebagai tempat bernaung.

    2. Mereka yang berpindah-pindah dalam lokasi tertentu dengan sistem perumahan yangsudah teratur (di Toboino dan Tutuling).

    3. Mereka yang menetap pada suatu lokasi dengan pola pemukiman yang telah teratur (diParaino).

    Penelitian ini dilakukan terhadap kelompok kedua dan ketiga. Kelompok pertama adalah

    pengembara yang dinamai oleh kelompok kedua dan ketiga serta penduduk kecamatan Wasilei

    sebagai Orang Biri-Biri. Mereka ini sukar ditemui dan kecurigaan mereka terhadap orang luar

    sangat besar.

    Orang Biri-Biri hidup selalu bermusuhan dengan orang-orang Togutil Dodaga (kelompok kedua

    dan ketiga). Setiap pertemuan antar kedua golongan ini pasti diselesaikan dengan perkelahian.

    Kelompok kedua dan ketiga menganggap masing-masing seketurunan atau segolongan,

    sedangkan kedua golongan ini sama sekali tidak mengakui orang Biri-Biri sebagai orang yang

    segolongan dengan mereka.

    Orang Togutil Dodaga sebagai salah satu sub-suku Tobelo Dalam, bermukim pada 3 lokasi yang

    dipilih oleh mereka sendiri di dekat Dodaga, sekitar 30 km dari ibukota Kecamatan Wasilei

    (Lolobata). Sebagian dari mereka adalah orang suku Togutil yang pernah dimukimkan pada

    tahun 1971. Ketiga lokasi tersebut adalah; Paraino, Toboino dan Tutuling seperti yang sebutkan

    dalam hasil penelitian di atas. Orang Togutil Dodaga berasal dari dua tempat, yaitu :

    1. Daerah Kao , yakni dari Biang, Gamlaha & Kao sendiri.2. Daerah Tobelo, yakni dari Kupa-kupa, Ufa & Efi-efi.

    Dilihat dari bahasa yang digunakan sesuai hasil penelitian, kelihatannya lebih besar pengaruh

    bahasa Tobelo Boeng terhadap suku ini. Orang Togutil Dodaga sebagian besar berasal dari

    daerah Kao. Mereka hanya menguasai dan mengerti satu bahasa yaitu bahasa Tobelo walaupun

    mereka sejak lama bertempat tinggal di lingkungan yang mayoritas berbahasa Maba. Orang-

    orang Togutil Dodaga telah menutup dirinya untuk berhubungan dengan dunia luar sampai kira-

  • 7/22/2019 TOGUTIL

    7/11

    kira tahun 1961, setelah itu baru terdapat kontak antar mereka dengan penduduk lain di sekitar

    Halmahera bagian tengah. Sifat ketertutupan ini dapat dimengerti karena mereka adalah pelarian.

    Perpindahan nenek moyang suku Togutil Dodaga dari daerah asalnya adalah karena menghindari

    kewajiban pembayaran Balahitongi (Pajak) yang dikenakan oleh Pemerintah Hindia Belanda

    jaman dahulu kepada nenek moyang mereka. Kapan dan bagaimana prosesnya berlangsung tidak

    diketahui secara pasti.

    Dalam buku De Ternate Archipel (1929, hal 401-402) secara jelas dikemukakan bahwa; Pada

    tahun 1927 untuk pertama kalinya orang-orang Togutil dikenakan Balasting (pajak) sebesar 1,20

    Gulden oleh Pemerintah Hindia Belanda. Dan sejak tahun 1929 setiap tahun ditambah dengan

    0,20 Gulden. Apabila kedua keterangan ini dibandingkan, maka dapat dikemukakan dua

    argument, yakni :

    1. Apabila benar bahwa yang melakukan migrasi ke hurtan rimba Dodaga adalah orang-orang Togutil, maka mereka baru melakukan hal itu sesudah tahun 1927 karena adanya

    pungutan Balasting.

    2. Tapi apabila yang melakukan migrasi itu adalah orang-orang Tobelo yang melarikan dirikarena Balasting, maka migrasi itu telah dilakukan jauh sebelum tahun 1927.

    Dengan demikian sulit dibedakan apakah orang Togutil Dodaga adalah orang-orang Tobelo

    (Boeng) atau orang-orang Togutil asli. Sampai saat ini tidak ada satu keteranganpun yang

    memberi petunjuk jelas tentang perbedaan tersebut. Dan rupanya, hingga saat ini pengertian

    Orang Togutil selama ini telah dipakai untuk penamaan semua orang pengembara yang hidup

    di hutan pedalaman pulau Halmahera di Maluku Utara. Para peneliti dari Universitas Patimura

    yang melakukan penelitian tersebut, menyimpulkan bahwa adanya penolakan orang-orang

    Togutil Dodaga untuk menerima anggapan bahwa mereka termasuk suku bangsa Togutil dan

    bahklan mereka menunjuk orang lain (orang Biri-biri) sebagai orang Togutil, hal ini mungkin

    sesuai kenyataan bahwa mereka itu adalah orang-orang Tobelo (Boeng) yang dahulu melarikan

    diri ke hutan. Kenyataan ini ditunjang oleh penunjukan tempat asal mereka yaitu pada Desa-Desa

    asal Tobelo dan Kao yang bukan tempat kediaman suku Togutil asli.

    Dengan demikian, maka pasti timbul pertanyaan; Siapa sebenarnya suku Togutil itu..? Meskipun

    persoalan ini belum dapat terpecahkan hingga saat ini orang mengenal Suku Togutil di

    pedalaman hutan Halmahera ada dua, yaitu; 1) Orang Togutil Dodaga yang sudah bisa diajak

  • 7/22/2019 TOGUTIL

    8/11

    relokasi oleh Pemerintah dan 2) Orang Togutil Asli yang masih hidup di hutan pedalaman yang

    masih menggunakan pola hidup dan ketergantungan hidup dari pemberian alam (nomaden) dan

    belum mengenal sistem bercocok tanam serta kehidupan yang belum tersentuh oleh dunia luar.

    HUTAN SUNGAI & GOA SEBAGAI RUMAH SUKU TOGUTIL

    Orang suku Togutil ada yang bermukim di daerah pantai namun sebagian besar berada di

    hutan pedalaman yang ada sungai yang menjadi sumber kehidupan mereka. Mereka tidak

    mengenal sistem pemerintahan dan kekuasaan yang mengikat. Mereka juga tidak mengenal

    sistem bercocok taman dan pemukiman. Kebanyakan dari mereka mengembara di hutan-hutan

    tertentu dengan gua-gua atau rumah darurat sebagai tempat bernaung yang dianggap dunianya.

    Mereka hidup bergantung pada alam. Dalam berpakaian, mereka masih menggunakan cawat

    yang terbuat dari daun dan kulit kayu, tanpa mengenakan baju. Orang-orang suku Togutil asli

    yang hidup di tengah rimba Halmahera kerap dihujani prasangka; terbelakang dan membenci

    orang asing. Mereka menggunakan anjing sebagai tindakan awal untuk menghalau jika ada orang

    asing memasuki wilayah mereka. Karena hutan adalah rumah bagi orang-orang suku Togutil,

    maka pohon dianggap sebagai sumber kelahiran generasi baru. Di samping pelekatan unsur

    magis tersebut, pohon juga bisa menjadi simbol kelahiran (reproduksi genetika). mengutip

    beberapa catatan pada hasil Lomba YPHL (2008) dengan topik; Pohon Sebagai Simbol

    Kelahiran, Mempertimbangkan Pemahaman Lokal tentang Pohon dalam Upaya Pemulihan

    Kerusakan Hutan, yang ditulis oleh Anthon Ngarbingan

    dalamhttp://www.kabarindonesia.com tanggal 31 Oktober 2008, mengemukakan bahwa ada

    beberapa kelompok masyarakat seperti suku Togutil di daerah Baborino, Buli, Halmahera Timur

    Provinsi Maluku Utara, yang menggunakan pohon sebagai lambang kelahiran seorang bayi di

    tengah-tengah keluarga. Ketika seorang bayi lahir, maka salah satu anggota keluarga harus

    menanam satu pohon, yang menyimbolkan hadirnya generasi baru di tengah-tengah keluarga.

    Hal-hal seperti ini yang menyebabkan orang-orang Togutil bisa bertahan dalam hutan, dengan

    tanpa harus merusak hutan. Padahal, pola hidup mereka berpindah-pindah tempat. Praktek

    semacam ini juga dilakukan oleh beberapa keluarga yang tinggal di Tobelo, Halmahera Utara.

    Mereka sering menanam satu buah pohon sebagai simbol kehadiran seorang bayi ditengah-

    tengah keluarga.

    http://www.kabarindonesia.com/http://www.kabarindonesia.com/
  • 7/22/2019 TOGUTIL

    9/11

    Orang-orang Togutil menganggap bahwa kaitan antara anak yang dilahirkan dengan pohon yang

    ditanam adalah kehidupan mereka sebenarnya akan juga seperti pohon itu, dengan mana akan

    tumbuh besar dan menghasilkan sesuatu yang bisa berguna bagi semua orang.

    Orang-orang suku Togutil sampai saat ini belum mengenal sistem bertani, sistem mata

    pencaharian mereka adalah mengumpulkan hasil hutan dan berburu dalam jangka waktu tertentu,

    kemudian hasil yang didapat dimakan bersama. Selama bahan makanan masih ada, para anggota

    keluarga luas tidak melakukan kegiatan mencari makan. Mereka akan kembali melakukan

    pengumpulan makanan dan berburu apabila cadangan makanan hampir habis. Orang suku

    Togutil biasanya mendapatkan makanan langsung dari pohonnya, seperti; buah-buahan dan

    umbi-umbian.

    Cara berburu suku Tugutil adalah berkelompok (semua orang laki-laki dari anggota keluarga

    luas) dengan menggunakan anjing. Alat-alat berburu yang digunakan adalah tombak, parang dan

    panah disertai tuba (racun). Dalam usaha menagkap buruan,mereka juga mengenal penggunaan

    jerat. Orang-orang Togutil mahir membuat jerat dari seutas rotan dan tanaman muda yang lentur

    melengkung untuk menjerat. Jenis binatang yang diburu adalah babi, rusa, ayam hutan, burung,

    kuskus, ular, biawak dan kelelawar.

    Orang-orang suku Togutil dalam usaha mengumpulkan makanan, melakukan secara

    berkelompok, misalnya meramu sagu, atau sendiri-sendiri seperti mengumpul umbi-umbian

    (Bete, Mangere & Gihuku) dan buah-buahan. Karena mereka berdiam di dekat aliran sungai,

    maka menangkap ikan juga merupakan mata pencaharian pokok. Seruas bambu disulap jadi

    panci penanak nasi atau ramuan obat, dan selembar manggar, daun lontar muda dirangkai jadi

    takir, cangkir alami. Getah damar dari hibum, kenari raksasa sebesar bola tenis, empat kali kenari

    biasa, bagian kulitnya dipenggal, dibakar, nyalanya seperti lilin penerang malam hari.

    Bagi orang-orang suku Togutil, anjing merupakan harta yang paling tinggi. Seorang Togutil

    tanpa anjing akan lumpuh dalam pekerjaan dan tidak bergairah. Hal ini mungkin karena peranan

    anjing begitu besar dalam kehidupan seorang Togutil di hutan, baik dalm berbuiru maupun

    mencari nafkah. Kemanapun orang suku Togutil pergi, ia akan disertai anjingnya. Karena itulah

    tidak heran bila seekor anjing dapat menimbulkan permasalahan persengketaan antar perorangan

    maupun antar kelompok yang berujung pada perang kecil. Masalah bunuh-membunuh, keretakan

    hubungan antar kerabat dan antar kelompok bisa saja dapat timbul akibat seekor anjing.

  • 7/22/2019 TOGUTIL

    10/11

    Informasi lain tentang suku yang nyaris telanjang (berpakaian cawat) ini amat beragam.

    Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia (LP3ES, 1996) menyebutnya sebagai Suku Togutil

    yang tinggal di hutan Dodaga dan Tutuling, Kecamatan Wasile, Halmahera Tengah, Maluku

    Utara. Menurut Ensiklopedi ini, populasi orang Togutil saat itu 600 orang. Sumber lain

    menyebutnya Oho Ngana Manyawa yang bermakna orang hutan atau orang rimba yang suka

    membunuh (menghabisil nyawa) orang asing.

    Dalam tulisan Christantiowati di Majalah Intisari Edisi September 2008, halaman 124-130

    menulis bahwa Rachma Tri Widuri dari lembaga Pelestarian Burung Indonesia, dan Atiti

    Katango, jagawana dari Taman Nasional (TN) Aketajawe, yang mengantar Tim ini ke tepi

    Sungai Tayawi, dekat Kampung Kumu, hanya 15 menit bermobil dan Desa Bale,

    mengemukakan bahwa warga Desa Bale, Kecamatan Oba, Kota Tidore Kepulauan, Provinsi

    Maluku Utara berceritera kepada mereka bahwa orang-orang suku Togutil itu dulu warga yang

    lari pajak (tak mau bayar pajak), jadi lari atau diusir Belanda masuk hutan. Mereka bisa

    ditemui pula di sekitar Desa Tutur, Tukur, Totodoku, Oboi, Tatam, Lili, Mabulan, dan Baken.

    Mereka disebut Tobelo Dalam atau Tobelo Hutan, untuk membedakan dari Tobaru, Tobelo

    Kampung atau yang sudah ke kota.

    Suku Togutil yang kita kenal hingga saat ini, suatu saat nanti siapa sangka mungkin hanya

    tinggal kenangan. Kini populasi suku ini semakin berkurang. Hal ini bisa saja karena kondisi

    kebiasaan hidup mereka yang tidak teratur yang mengakibatkan jumlah kelahiran tidak

    sebanding dengan kematian dari anggota suku ini. Hal lain adalah tabiat mereka yang takut

    melihat manusia lain dan ini menutup kesempatan mereka mendapatkan makanan pada musim

    sulit sehingga pada akhirnya mempengaruhi perkembangan populasi dan reproduksi genetika

    mereka. Satu hal yang paling berharga yang telah ditunjukkan oleh suku Togutil yang kita

    anggap kurang beradab ini telah menjadi pelajaran untuk kita semua, yakni; Peliharalah alam,

    lestarikanlah hutan & jangan sekali-kali merusaknya. Sekali lagi, mereka membuktikan bahwa

    kita yang merasa diri si beradab ini yang harus belajar kearifan dan keramahan dari mereka.

  • 7/22/2019 TOGUTIL

    11/11

    MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN

    INDONESIA

    SUKU TOGUTIL

    Disusun oleh:

    TRIANI AGUSTINI MARGARETH NAINGGOLAN

    2125121460

    2C

    Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia

    Fakultas Bahasa dan Seni

    Universitas Negeri Jakarta

    2013