abses dan fistula anal.docx

25
REVIEW ARTICLE ABSES DAN FISTULA ANAL MATTHEW J. F. X. RICKARD Department of Colorectal Surgery, Concord Hospital, Sydney, New South Wales, Australia Abses dan fistula anal adalah kasus umum pada praktik bedah. Kebanyakan abses biasanya hanya dinsisi sederhana dan kebanyakan fistula dapat dilakukan teknik fistulotomi lay-open. Aplikasi probe berlebihan sebaiknya tidak dilakukan saat drainase abses karnea dapat menyebabkan timbulnya fistel iatrogenic. Beberapa perseN kasus fistel cukup rumit dan agak susah untuk ditangani. Penatalaksanaan kasus ini mencakup diagnosis akurat dan ketepatan antara menghilangkan fistula namun tetap menjaga kontinensi. Keputusan klinis diambil berdasarkan evaluasi klinis dan ultrasound anal (jika tersedia), apakah fistula dapat dibuka dan didrainase (lay open). Jika tidak dapat dilakukan lay open, sebuah string lateks atau silk (seton) ditempatkan di fistel sehingga sepsis dapat terhindarkan. Jika sepsis terhindarkan, dapat dilakukan repair definitive. Terdapat beberapat teknik yang tersedia untuk kasus ini termasuk rectal advancement flap, fibrin glue, dan cutaneous flaps yang nantinya akan dibahas selanjutnya Kata kunci : fistula anal, abses perianal Singkatan : AIN, anal intraepithelial neoplasia; ATZ, anal transitional zone; ES, external sphincter; EUA, examination under anaesthetic; EUS, endo-anal ultrasound; IS, internal sphincter; MRI, magnetic resonance imaging; PPV, positive predictive value; RAF, rectal advancement flap; RCT, randomized controlled trial. PENDAHULUAN Abses dan fistel anal adalah kasus bedah yang umum ditemukan. Penatalaksanaan kebanyakan kasus dari abses dan fistula anal langsung berdasarkan anatomi dari anorektum dan penerapan prinsip pembedahan. Beberapa persen dari kasus abses anal dan fistel anal cukup rumit dan merupakan kasus pembedahan yang sangat menantang. Tujuan dari pembedahan untuk tetap menjaga kelancaran kontinensi fungsi ANAL ABSCESSES AND FISTULAS 1 ANZ J. Surg. 2005; 75: 64–72

Upload: andy-adeputra

Post on 25-Sep-2015

36 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

ABSES DAN FISTULA ANAL

MATTHEW J. F. X. RICKARD

Department of Colorectal Surgery, Concord Hospital, Sydney, New South Wales, Australia

Abses dan fistula anal adalah kasus umum pada praktik bedah. Kebanyakan abses biasanya hanya dinsisi sederhana dan kebanyakan fistula dapat dilakukan teknik fistulotomi lay-open. Aplikasi probe berlebihan sebaiknya tidak dilakukan saat drainase abses karnea dapat menyebabkan timbulnya fistel iatrogenic. Beberapa perseN kasus fistel cukup rumit dan agak susah untuk ditangani. Penatalaksanaan kasus ini mencakup diagnosis akurat dan ketepatan antara menghilangkan fistula namun tetap menjaga kontinensi. Keputusan klinis diambil berdasarkan evaluasi klinis dan ultrasound anal (jika tersedia), apakah fistula dapat dibuka dan didrainase (lay open). Jika tidak dapat dilakukan lay open, sebuah string lateks atau silk (seton) ditempatkan di fistel sehingga sepsis dapat terhindarkan. Jika sepsis terhindarkan, dapat dilakukan repair definitive. Terdapat beberapat teknik yang tersedia untuk kasus ini termasuk rectal advancement flap, fibrin glue, dan cutaneous flaps yang nantinya akan dibahas selanjutnya

Kata kunci : fistula anal, abses perianal

Singkatan : AIN, anal intraepithelial neoplasia; ATZ, anal transitional zone; ES, external sphincter; EUA, examination under anaesthetic; EUS, endo-anal ultrasound; IS, internal sphincter; MRI, magnetic resonance imaging; PPV, positive predictive value; RAF, rectal advancement flap; RCT, randomized controlled trial.

REVIEW ARTICLE

ANAL ABSCESSES AND FISTULAS16

ANZ J. Surg. 2005; 75: 6472

PENDAHULUAN

Abses dan fistel anal adalah kasus bedah yang umum ditemukan. Penatalaksanaan kebanyakan kasus dari abses dan fistula anal langsung berdasarkan anatomi dari anorektum dan penerapan prinsip pembedahan. Beberapa persen dari kasus abses anal dan fistel anal cukup rumit dan merupakan kasus pembedahan yang sangat menantang. Tujuan dari pembedahan untuk tetap menjaga kelancaran kontinensi fungsi anal dan mengobati fistula terkadang sulit untuk dicapai.

ANATOMI

Pengetahuan mengenai kanalis anus mutlak harus dikuasai dalam penatalaksanaan fistula anal yang tepat. Spinkter eksternal (ES external sphincter) adalah lanjutan otot dasar pelvis. Spinkter interna (IS internal sphincter) adalah lanjutan dari lapisan m.circular interna dari rectum bawah (Gambar 1). Lapisan otot ini sangat mudah terlihat pada endo-anal ultrasound (EUS). IS tampak sebagai cincin hipo-echoic. ES ditandai dengan pertama-tama menemukan sling puborectl pada anorectal junction yang bersifat hiper-ekhoik dan berbentuk U. Pada bagian bawah, terdapat ES pada bagian ujung U saat bagian tersebut mulai menutup untuk membentuk sebuah otot berbentuk cincin. 1-4

Bagian batas mucocutaneus pada linea dentate (istilah linea pectineal sebaiknya dihilangkan). 5 epitel canalis anus diatas mukosa diatas linea dentata dan dibawahannya epitel squamous bertingkat non-keratin. Linea dentate adalah tempat dimana valvula anal berada. Bagian prokimal dari valvula anal adalah anal crypt atau sinus analis, yang secara makroskopis tampak sebagai lubang kecil. Glandula anal, yang terdapat pada plana intersphincterica, kosong hingga anal crypts. Berjarak 5 20 mm (tergantung umur) diatas linea dentate, mukosa bersifat kuboid dan dikenal dengan anal transitional zone (ATZ). 6,7 Area ini sangat penting untuk membedakan antara flatus dan feses. Diatas ATZ, mukosa bersifat kolumnair dengan sel goblet penghasil mucus diatasnya

ETIOLOGI

Teori cryptoglandular Eisenhammer dan Parks sekarang telah diakui luias meskipun masu terdapat beberapa penelitian untuk membuktikan kebenaran maupun menyangkal teori tersebut. Eisenhammer mengatakan bahwa glandula anal interamuskulat terinfeksi dank arena selanjutnya terjadi obstruksi infeksius dari duktus penghubung tersebut, sehingga tidak memungkinkan terjadinya drain spontan ke kenalis anal. 8 Patks menemukan dilatasi kistik glandula anal pada 8 dari 30 kasus konsekutif fistula anal. Parks mengaitkannya dengan dilatasi duktus bawaan ataupun abnormalitas congenital dan memaparkan bahwa terdapat precursor infeksi pada cavitas yang penuh dengan mucin. 9 Infeksi dimulai pada plana intersphincterica. Jka infeksi turun kebawah ke plana intersphincterica, terbentuknlah abses perianal. Jika infeksi naik keatas plana intersphincetrica, terbentuk abses intersphincterica tinggi atau abses supralevator. Sepsis yang mengalir ke ES akan menyebabkan abses ischiorectal. Jika berlanjut keatas melewati levator plate, dapat menyeybabkan abses supraelevator (Gambar 2). Abes tapal kuda (horseshoe abscess) terbentuk dari penyebaran infeksi yang bersifat sirkumferensial. Hal ini paling sering terjadi pada plana ischiorectal namun dapat pulat erjadi pada plana perianal dan supralevator. 10

Telah dipaparkan bahwa kebanyakan fistula anal letak tinggi dan inkontinensia derajat tinggi menunjukkan adanya penyebab iatrogenic sehingga komplikasi inilah yang paling dihindari dalam pembedahan abses atau fistel. 11

KLASIFIKASI

Klasifikasi awal dibuat oleh Milligan dan Morgan, 12 Steltzner, 13 Goligher, 14 dan Eisenhammer. 15 Keseluruhan klasifikasi ini dirangkum oleh Parks dkk dengan klasifikasinya intersphincterica, transphincetrica, supra-sphincterica, dan extrasphincteric (Gambar 3) menjadi klasifikasi yang paling luas digunakan dan dipelajari. 16 Ekstensi (jalur sekunder) dapat terjadi pada plana intersphincterica, fossa ischiorectal dan pararectal (supralevator)space.

Terdapat beberapa batasan dari klasifikasi Parks. Fistula superficial tidak termasuk dalam klasifikasi karena lebih ditekankan pada plana intersphincterica. Hal ini umum terjadi dan terhitung 16% dari total keseluruhan kasus. 17 Serat paling bawah ES melengkung dibawah ujung distal IS dan pada sepertiga bawah EUS canalis anus tidak memiliki IS. Sesuai pengalaman penuulis, fistel intersphincterica sebenarnya, seperti yang diklasifikasikan oleh Parks, tidak benar-benar terjadi. Bahkan fistula dengan letak sangat rendah tetap melewati serat terbawah dari ES dan inilah yang disebut dengan trans-sphincetrica.

Penatalaksanaan terbaik untuk fistula anal adalah untuk membuka fistel tersebut. Lebih jelasnya yaitu memotong bagian besar dari spinkter anal yang akan menyebabkan inkontinensia. Di tahun 1962 Bennet memapaparkan bahwa hadiah yang paling buruk bagi pasien yang sangat cerewet adalah, setelah 17 minggu pasca operasi horseshoe fistula, menemukan bahwa pakaian dalamnya bernoda coklat, bukan kuning, meskipun fistula tersebut sudah ditangani. 18

Klasifikasi klinis yang lebih berguna adalah apakah fistula tersebut dapat dilakukan fistulektomi lay open atau tidak. Hal ini berdarsarkan penampakan klinis dan temuan EUS dan tidak hanya tergantung darit ipe fistel, tapi juga menurut jenis kelamin pasien dan adanya riwayat abnormalitas spinkter sebelumnya

ABSES ANORECTAL

Gejala klinis abses anorektal

Abses anorektal biasanya ada dengan gejala nyeri dan pembengkakan lokal. Gejala klinis tergantung dari lokasi abses dan beberapa pasien bisa saja datang hanya dengan demam ringan yang tidak diketahui penyebabnya. Abses dapat diklasifikasikan dalam abses perianal, ischiorectal, intersphincterica , atau supralevator (Gambaar 4)

Abses perianal biasanya bersifat sangat nyeri, udem eritematosa yang lunak yang hanya berlangsung singkat, tanpa adanya tanda-tanda toksisitas sistemik. Abses ischiorectal biasanya memiliki riwayat telah merasakan nyeri berdenyut lama dan dapat terkait dengan toksisitas sistemik. Abses intersphincterica memiliki gejala nyeri rektum berat dan dapat salah dikaitkan dengan riwayat fisura anal sebelumnya. Terdapat pula demam yang mana hal ini tidak terjadi pada fisura anal sederhana. Pemeriksaan rektum manual dengan jari (digital) memang akan sangat nyeri namun dapat menemukan adanya nodul lunak pada bagian ujung atas kanalis anus. Abses supralevator biasanya memiliki gejala nyeri pelvic dan gejala konstitiusional. Hal ini dapat mirip dengan abses pelvis sebenarnya yang terjadi dari patologi intra abdominal atau abses intersphincterica atau abses ischiorectal yang berlanjut keatas. Pemeriksaan rektum digital dapat didapatkan udem lunak pada rektum.

Penatalaksanaan abses anorectal

Abses membutuhkan pembedahan drainase dibawah anestesi umum. Abses intersphincterica sangat mudah diidentifikasi dengan EYS dan biasanya dilakukan drain secara endo-anal dengan mengeksisi sebagian kecil diskus sphinchter internal langsung didaerah abses. Abses supralevator yang merupakan lanjutan dari plana intersphincterica biasanya dilakukan drainase dengan membuka bagian plan intersphincterica pada bagian atas kanalis anus kemudian dipotong d bagian plana intersphincterica diatas abses. Abses dapat didrainase melalui jalur ini dan dapat diletakkan mushroom tipped catheter (de pezzer) pada kavitas selama 3-4 hri untuk menghindari terhadinya rekurensi.

Abses perianal dan ischiorectal lebih mudah ditemukan dan dilakukan drainase. Lanjutan supralevator dari abses ischiorectal dapat di drainase melalui fossa ischiorectal. Prevalensi terjadinya fistula anal erkisar dari 5-83%. 20-23 Terbentuknya fistula lanjutan lenih sering terjadi pada abses perianal dibandingkan dengan abses ischiorectal atau jika abses yang terjadi cukup kompleks misalnya abses berbentuk tapal kuda (horseshoe). 22,24

Terdapat enam uji klinis acak (randomized clinical trials RCT) 23,25-29 yang membandingkan penatalaksanaan segera maupun terlambat dari jalur terkait fistel. Lima dari peneltiian awal ini memiliki sasaran crude meta-analysis. Temuannya adlah jika jalur fistel tidak ditemukan dan ditangani saat abses dirainase, pasien beresiko 13x lebih besar (5.4 - 4.7 95% CI) menderita sepsis persisten. Akan tetapi, jika jalur tersebut ditemukan dan ditangani, insidensi inkontinensia yang terjadi dapat lebih besar (OR 0.36, 0,13 0.93). 30

Penelitian keenam dan yang terbaru ini mencakup 100 pasien. 23 Pada peneltiian ini, fistula anal ditemukan pada 83% kelompok pasien dan kemudian diobati (kelompk A). pada kelompok pasien lain yaitu hanya dilakukan drainase abses (kelompok B), 29% berkembang menjadi fistula. Pada kelompok A dan B tingkat kejadian inkontinesi 1 tahun yaitu 6% dan 0% berturut-turut. Kesimpulan dari penelitian ini adalah drainase abses anal dengan fistulotomi dapat dilakukan dengan aman pada kasus fistel subkutan, intersphincterica, atau trans-sphincterica letak rendah dengan rekurensi minimal. Akan tetapi, jika data mentah tersebut dianalisis ulang, pasien di kelompok A memiliki resiko untuk terjadinya fistula 2.8 kali lipat lebih besar (2.1- - 3.9 95% CI, p < 0.0001) dan memilii masalah kontinesisa (RR = infinity, p = 0.03). Interperetasi yang jelasnnya adalah terbentuknya fistel pada sebagian besar kasus dari terjadinya abses anorectal, namun dapat sembuh spontan tanpa harus melalui identifikasi awal yang cepat dan terapi yang terkadang tidak dibutuhka yang dapat menyebabkan hasil akhir yang lebih buruk.

Penndekatan yang paling masuk akal adalah menginspeksi kanalis anal dengan retractor yang sesuai sebelum dilakukan drainase abses. Jika tekanan sedang pada abses dapat menyebabkan ekstruksi pus ke kanalis anal pada bagian internal opening yang sudah disediakan, abses dapat didrainase dan seton dapat diletakan di sepanjang fistel. Penempatan seton selalu lebih amanjika diletakkan pada track dibandingkan melkukan lay open pada track, karena adanya keterlibatan sphincter sulit untuk ditentukan karena adanya inflamasi akut. Jika tidak terdapat internal opening dengan maneuver sedrhana ini, abses tersebut dapat di drainase dengan melakukan isisi parallel dengan kanalis anal (kurang lebih memotong disepanjang serat otot bagian bawah ES). Pada kenyataannya, banyak dokter bedah yang kurang berpengalaman memlakukan operasi ini. Oleh karena itu, operasi ini harus dilakukan sesederhana mungkin. Pada pengalaman penulis, penulis hanya melakukan insisi 20-30 mm saja, menghancurkan loculus manual dengan jari dan meletakkan kateter de pezzer pada cavitas. Drain kemudian dibiarkan hingga hanya tersisa drainse purulen yang minimal yang berkisar dari beberapa hari hingga beberapa minggu.

PEMERIKSAAN FISTULA ANAL

Di tahun 1900, Goodsall dan Miles menentukan lima hal penting dalam pemeriksaan fistula anal. 31 Prinsip pemeriksaan ini sampai sekarang tidak berubah

Lokasi dari internal opening (fistula tidak dapat dihilangkan jika lokasi ini tidak diketahui)

Lokasi dari external opening

Letak dari primary track (jalur fistel primer)

Adanya secondary extension (perpanjangan sekunder)

Adanya penyakit lain yang dapat menimbulkan komplikasi pada fistel

Pemeriksaan Klinis

Pada kenyataannya, prevalensi terbentuknya fistula setelah dranase abses anorektal terjadi sekitar 30% kasus. Drainase persisten dari lokasi drainase dan/atau terbentuknya abses rekuren biasanya adalah indikasi tersbentuknya sebuah fistel. External opening biasanya bersih dan disini biasanya diletakkan drainase sebelumnya atau disini pernah terjadi drainase spontan. Jalur fistel (fistula track) dapat dirasakan diantara jari-jari dan jempol saat elemkakukan pemeriksaan rektum digital. Adanya abnormalitas klinis apapun pada spinchter anal, seperti buruknya relaksasi dan/atau tonus otot berkurang dan defisiensi dari trauma obstetric atau iatrogenic harus diketahui. Kita tidak harus memasukkan probes pada pasien yang compos mentis karena hal ini sangat tidak nyaman dan dapat menimbulkan jalur baru yang lain. Jika tidak teraba adanya pembentukan abses yang membutuhkan drainase, pemeriksaan lanjutan dilakukan dengan EUS atau pemeriksaan dibawah anestesi tergantung pada fasilitas kesehatan yang menangani.

Acuan oleh Goodsall dan Miles menyatakan bawa fistel dengan external opening yang berada diatas linea horizontal hingga di tengah dari canalis anal, dengan pasien pada posisi litotomi, biasanya akan mengalir langsung kea rah canalis anal. Fistula yang terdapat dibawah linea horizontal biasanya mengalir ke garis tengah posterior. 31 Seperti semua acuan lain, selalu terdapat pengecualian akan aturan ini. Cirocco dan Reilly mencoba membuktikan acuan ini di tahun 1992. Mereka melaporkan akurasi prediktif yaitu 90% untuk fistel posterior namun hanya 49% fistel anterior yang sesuai dengan prinsip diatas. 32 Berseberangan dengan hasil mereka, Gunawardhana dan Deen, saat membandingkan pemberian hydrogen peroksida dengan prinsip Goodsall, menemukan akurasi prediktif untuk acuan fistel posterior dan anterior sebesar 41% dan 72%, berturut-turut. 33

Diagnosis banding harus selalu dipertimbangkan dalam setiap kasus. Diagnosis banding yang mungkin dalam hal ini adalah hidradenitis supuratif, tuberculosis, abses Bartholin, actinomycosis, fssura anal, ulkus terkait dengan penyakit Crohn, penyakit menular seksuas, dan sinus pilonidal letak rendah. Perbedaan yang lebih penting adalah bagaimana cara membedakana antara abses kronik dan kista dermoid perirekta ayau teratoma sacrococcygeus. Jika lesi ini tidak sengaja dibuka dengan eksisi total justru akan menyulitkan dan data terbentuk fistel sacroccygeus yang hampir tidak mungkin untuk dihilangkan. 34

Pencitraan

Pada praktiknya, kebanyakan dari fistula letak rendah tidak membutuhkan pencitraan. Penilaian dan penatalaksanaan berdasarkan dari pemeriksaan klinis dan temuan pada EUA. Pada medikolegal saat ini, penilaian objektif terkait dengan keterkaitan otot pada fistel adalah untuk melakukan teknik lay open. Bagaimana proses ini dilakukan tergantung dari teknik pencitraan yang tersedia. Pada pengalaman penulis, penulis sendiri melakukan EUS pada seluruh kasus fistel anal. Hal ini dilakukan di ruang radiologi dibawah anestesi umum atau di klinik tanpa diberikan sedasi.

Ultrasound Endo-anal

Terdapat tiga criteria dalam mengidentifikasi internal opening pada EUS : (i) kontak dari spinkter interna dengan intersphincterica track (positive predictive value - PPV hingga 80%); (ii) adanya defek pada spinktern interna (PPV 79%); dan (III) adanya subepithelial track terkait dengan defek sphincter lokal (PPV 94%). 35

Sensitivitas keseluruhan dengan menggunakan tiga tanda diatas adalah sebesar 94% dan spesifisitas 87% dengan PPV 81%. . refeleksi gas dari hydrogen peroksida dapat menandai track dan berguna untuk menentukan loksi dari internal opening. 36-40

Gold dkk mempelajari interobeserver dan intraobserver agreement dalam menentukan sphincter anal dan menemukan bahwa interobserver agereement sangat baik (kappa = 0.84). 41 Sebaliknya, Robinson mendeskripsikan interpretasi pencitraan yang keliru sama seperti Achilles heel of Radiology. Mata dan otak manusia gagal menyeimbangi kemajuan teknologi. 42

Slah satu dari kekurangan EUS adalah sulitnya membedakan sepsis rekuren dari burnt-out fibrotic tracks pada penyakit komplikasi

Magnetic resonance imaging

Keuntungan dari MRI (magnetic resonance imaging) adalah termasuk pencitraan multiplana dan diferensiasi jaringan lunak tinggak tingggi hingga dapat menampilkan system traktus terkait dengan anatomi terkait yang merupakan gambaran relevan saat dilakukan eksplorasi bedah. 43 Keakuratan dari MRI telah dikonfirmasi oleh berbagai ahli bedah. 44-47 Hal ini sangat berguna dalam menentukan fistula sekunder kompleks hingga penyakit Crohn. 48-49

Fistulography

Fistulograpgy tentu saja bukan merupakan pemeriksaan lini pertama. Hasil positif palsu dari pembukaan rectal telah banyak dilaporkan. 50 dan dapat menyebabkan pembedahan yang tidak tepat. Fistulograpy sangat tidak akurat, pemeriksaaan yang tidak dapat diandalkan, dansebuah prosedur yang dapat membahayakan. 51 Track yang kronik mungkin tetap paten, namun banyak track yang masih dalam keadaan akut yang umumnya hanya jaringan kolumnair yang terjadi inflamasi dengan lumen yang belum paten. Injeksi kontras sendiri hanya dapat menggambaran beberapa bagian system traktus. 43 Namun, untuk fistel kompleks, terutama yang berkali-kali dilakukan pemeriksaan dibawah anestesi namun masih sulit untuk menentukan aliran track,fistulography dapat membantu dengan kombinasi MRI dan.atau EUS.

Pemeriksaan lain

ManometriManometri tidak harus dilakukan rutin, namun dapat membantu dalam kasus untuk menilai fungsi spinhcter jika harus diambil keputusan apakah akan melakukan fistulotomy lay open atau tidak. Jika hasil dari tekanan saat relaksasi abnormal secara klinis, manometry dapat dilakukan untuk mengkonfirmasi hasil temuan klinis tersebut.

Pemeriksaan dibawah anesetesi

Jika hanya akan dilakukan satu pemeriksaan saja, akan lebih membantu untuk dilakukan pemeriksaan dibawah anestesi umum ringan tanpa pemberian pelemah otot. Jika prosedur definitive direncanakan berdasarkan hasil EUS atau pemeriksaan EUA sebelumnya, relaksan otot dapat digunakan. Biasanya pasien dengan posisi litotomi. Dapat dilakukan palpasi dengan hati-hati untuk mendeteksi adanya indurasi sepanjang traktus fistel. Tekanan pada daerah yang indurasi dapat menyebabkan ekstrusi pus melewati internal opening. Traksi dari eksternal opening terkadanga dapat menentukan lokasi internal opening

Probe dapat dimasukkan melalui external opening (jalur prograde). 34 Seringnya, probe ini akan sangat mudah dmasukkan kedalam traktus melalui internal opening kedalam kanalis anus. Sebaiknya digunakan soft blunt-ended probe. Probe tersebut dilewatkan secara prograde mengikuti rangkaian parallel ke kanalis anus baik lewat traktus sekunder dari fistula transsphincterica atau fistel intersphincterica yang panjang. Hydrogen peroksida dapat dimasukkan lewat external opening untuk mengidentifikasi internal opening. 37,52 Probes dengan berbagai derajat lengkungan, dapat digunakan untuk mengidentifikasi internal opening. Kripte anal dapat salah dianggap sebagai internal opening, namun kripte anal ini bersifat sangat dangkal. Jika tersedia, EUS yang dilakukan sejalan dengan EUA akan sangat membantu dalam menentukan traktus dan mengidentifikasi internal opening.

PENATALAKSANAAN FISTEL ANAL

Tujuan dari penatalaksanaan fistula anal menurut Finlay adalah : 53

Untuk menentukan anatomi fistel

Untuk melakuakn drainas terkait dengan sepsis

Untuk menghilangkan traktus fistel

Untuk menghindari terjadinya rekurensi

Untuk tetap menjaga kontinensi dan integritas sphincter

Setelah keseluruhan pemeriksaan, menurut penulis, hal yang selanjutnya dilakkan adalah melakukan fistulotomy lay open atau menempatkan Seton kemudian menilai ulang abses setelah 2-3 bulan. Pada saat ini, kemungkinan fistel sudah dapat dilakukan lay open atau dapat dilakukan rectal advancement flap..

Kapan fistel tersebut dapat ditangani dengan teknik lay open?

Penatalaksanan terbaik, dalam hal penyembuhan absolute, adalah untuk melakukan lay open pada fistel. Sudah sangat jelas bahwa fistula letak sangat tinggi tidak dapat dilakukan lay open dan fistula letak sangat rendah dapat dilakukan lay open tanpa adanya sekuele fungsional lanjutan. Fistula letak rendah dan mid trans-sphincterica menimbulkan kesulitan dan membutuhkan pertimbangan lebih lanjut dalam menentukan apakah harus dilakukan lay open atau harus ditempatkan Seton terlebih dahulu. Jika rag-ragu, selalu ptuuskan untuk letakkan Seton terlebih dahulu, terutama jika masih belum didiskusikan pada pasien mengenai komplikasi yang mngkin terjadi pada otot.

Prinsip umumnya adalah fistula dapat dilakukan lay pen jka melewati setengah dari bulk sphincter eksterna posterior pada laki-laki, sepertiga dari bulk sphincter anterior pada laki-laki, sepertiga bulk sphincter posterior pada wanita dan tidak pada fistel bagian anterior pada wanita. Akan tetapi, kepuusan ini tetap membutuhkan penilaian individual berdasrkan kondisi dari sphincter. Hal ini dapat erupakan dampak dari trauma obstetric sebelumnya, operasi perianal sebelumnya (contohnya sphincterotomy lateral) dan abnormalitas congenital.

Teknik Lay open (fistulotomy)

Mayyoritas fistel anal berhasil ditangani degan teknik ini dengan hanya sedikit dampak pada kontinensia, namun tetap resiko terjadinya hal ini harus didiskusikan dengan pasien. Posisi litotomi cukup adekuat untuk dilakukan lay open pada fistula. Retractor Parks atau Hill-Ferguson digunakan untuk melihat visualisasi kanalis anal. Traktus ditentukan denga probe berujung tumpul. Jaringan yang menghalangi probe kemudian dipisahkan sesuai panjangnya. Jaringan granulasi sepanjang traktus kemudian dikuret. Ujung kulit yang menggantung dapat dieksisi dengan diathermu. Hemostatis dicapai dengan diathermi. Adanya jalur traktus baru dan terkumpulnya pus yang tidak terdrainase juuga harus dibuka. Luka tersebut dibungkus longgar dengan saline dan kemudian dibuang saat pasien mandi keesokan harinya. Rekurensi setelah teknik ini berkisar antara 0 9% dan gangguan pada kontinesia sekitar 0-33%/ 17,21,24,54,59

Seton

Istilah seton diambl dari bahasa Latin seta yang berarti bulu yang keras. Seton bersifat lentur dan dapat dipotong. Umunya digunakan tube silastic tipis (vessel loop). Pilihan lain adalah menggunakan benang jahit monofilament nonabsorbable nylon. Saat seton ditempakan sebaiknya seton diikat parallel satu sama lain dengan silk besar (Gmbar 5). Saat seton dikaitkan sendiri dan dibuat simpul, smpul tersebut terlalu menonjol dan terasa sangat tidak nyaman untuk pasien. Beberapa ahli bedah melakukan lay open pada bagian lateral dari traktus fistel sehingga seton dapat dilwatkan pada bulk sphincter saja. 60Hal ini sebenarnya tidak terlalu penting, karena ereadikasi fistel tergantung dari eliminasi internal opening. Ini hanyalah pengalaman dari penulis sendiri untuk meletakkan seton sepanjang traktus. Saat menempatkan seton, traktus tambahan apapun atau cavitas yang belum di drainase dapat didrainase dengan kateter de pezzer, yang dtempatkan selama beberapa hari sampai beberapa minggu.

Biasanya, saat seton telah ditempatkan selama 2-3 bulan, fistula tersebut sudah aman untuk dilakukan fistulotomy lay open. Telah dipaparkan sebelumnya bahwa dapat terjadi fibrosis terkait fistula. 61,62 Namun hal ini merupakan kejadian yang cuup mudah ditangani dan justru dapat dilakukan penilaian yang lebih akurat terhadap fistel.

Seton dapat digunakan jangka panjang dan dapat menjadi pilihan jika fistel terkait dengan penyakit Crohn dan fistel rekuren yang telah berkali-kali dilakukan perbaikan.

Advancement flap

Advancement flap sebaiknya dipertimbangkan untuk dilakukan jika fistel tersebut tidak dapat ditangani dengan teknik lay open. Hal ini hanya dapat dilakukan jika semua tanda sepsis akut telah tertangani. 64 Istilah mucosal advancement flap sebenarnya tidak sesuaii, karena flap daiambil dari plana intersphincterica dan mencakup mukosa dan IS. Lebih baik hal ini diistilahkan dengan rectal advancement flap (RAF).

Pasien diminta untuk melakukan persiapan full bowel untuk melakukan prosedur ini. Utnuk fistel anterior, posisi pronasi jack-knife digunakan. Untuk fistel posterior dan lateral, cukup litotomi sudah adekuat. Pertama, flap ditandai dengan diathermy. Tanda ini dimuali 5-10 mm dibawah internal opening dan sekitar 10-15 mm sisi lain internal opening. Plana intersphincterica kemudian diinfiltrasi dengan larutan adrenalin 1:400.000. mobilisasi dimulai di lateral traktus pada sisi lain dimana plana tersebut tidak tersentuh. Plana intersphincterica diidentifikasi dan kemudian hanya bagian tersebut yang didiseksi kearah traktus. Flap diangkat proksimal hingga rektum baian bawah dan dijahit tanpa tegangan. Porsi dari flap yang mencakup internal opening kemudian dieksisi dan flap ditahan dengan benang (3/0 PDS) melewatti sphincter internal pada bagian flap dan sisa internal sphincter pada kanalis anal. Tidak ada hal yang harus dilakukan pada external opening; akan tetapi, drain kecil sebaiknya ditempatkan di external opening dibawah flap dan kemudian dicabut 2-3 hari setelahnya.

Tingkat keberhasilan RAF bervariasi dalam berbagai literature yaitu sekitar 29 95%. 65-75 Estimasi tingkat keberhasilan pada seri kasus terbaru adalah sebebsar 60 70%/ 74,75 Pada seri terbaru dari Cleveland Clinic, USA, tingkat berhasilan primer sebesar 64%. Saat pasien dengan penyakit Crohn dieksklusi, tingkat keberhasilan meningkat menjadi 77%. Seperti yang telah diduga, tingkat keberhasilan akan menurun pada setiap tambahan tindakan. 65,75 Namun kemungkinan peningkatan keberhasilan terjadi jika RAF dikombinasikan dengan aplikasi lem fibrin pada traktus dan dasar flap.

Hasil fugsional setelah RAF cukup baik. FInan dan Kreis dkk 76,77 melaporkan tidak adanya perubahan pada manometri anal atau komplians rektum. Kebanyakan penelitian melaporkan tidak adanya deteriorasi pada kontinensi. 65,71-73,76 Akan teteapi, Mizrahi dkk 78 melaporkan 9% insidensi dari gangguan kontinensia. Shouten dkk 75 melaporkan bahwa 26 pasien dengan kontinesi norma pre operatif dan sebanyak 38% dari mereka mengalami inkontinesi flatus dan 12% inkontinensi alvi.

Lem fibrin fibrin glue

Jaringan fibrin afhesif telah digunakan oleh ahli bedah sejak awal tahun 1940an. Pada 10-15 tahun terakhir telah terdapat berbagai laporan mengenai aplikan Fibrin glue pada fistula anal. 80-91 Tingkat keberhasilan tindakan ini bervariasi dari 14 85%. Rentang variasi keberhasilan yang jauh ini disebabkan karena alikasi berbagai tipe lem, aplikasi berbagai teknik insersi lem, berbagai tipe fistula dan rentang jangka waktu follow up yang bermacam-macam. Teknik nya cuku mudah dilakukan dan tidak dibutuhkan pemotongan otot. Satu-satunya kerugian dari teknik ini adalah jika terapi ini gagal, dapat timbul spsis dan traktus menjadi lebih rumit. 89 Sebuah uji klinis acak terkontrol pada Oxford menemukan bahwa tidak adah fungsi dari aplikasi lem fibrin pada fistulotomy fistula sederhana. Lem fibrin lebih dapat menyembuhkan fistel yang sulit dibandingkan yang sederhana pada terapi konvensional (termasuk RAF) dengan tingkat kepuasan pasien yang cukup tinggi.

Semua kasus sepsis akut harus ditangani dan traktus harus tetap didebridement untuk aplikasi lem fibrin. Sepertinya aplikasi lem fibrin ini bekerja lebih baik pada kasus fistel yang rumit dan traktus yang panjang diabndingkan kasus fistel sederhana. Aplikasi lem fibrin ini tidak baik untuk digunakan pada kasus fistel rectovaginal. Laporan baru-baru ini mengatakan bahwa tingkat keberhasilan aplikasi lem fibrin lumayan (14% dan 33%).91 Entusiasme dari terapi lem fibrin untuk fistel anal meningkat baru-baru ini di Australia karena penggunaannya yang cukup mudah namun hasil nya tidak terlalu memuaskan

Pilihan lain

Flap kutanous (island flap 92 atau V-Y flap 93) yang melibatkan mobilisasi kulit anus dan kemudian ditransposisi ke kanalis anus memiliki hasil yang cukup baik. hal ini tentunya mengejutkan, karena terdapat tarikan paksaan bimekanik untuk defekasi dengan cara menarik flap, bukannya menempelknnya, seperti kasus RAF. Teknik ini harus dipertimbangkan pada kasus fstel dengan internal opening letak sangat rendah, yang tidak dapat dilakukan teknik lay open dan RAF justru mennggalkan mukosa diluar kanalis anus.

Memotong seton msih dilakukan oleh bebreapa ahli bedah namun dapat menimbulkan deformitas keyhole pada canalis anus; yang sangat sulit ditoleransi karena hal ini sangat nyeri dan terkait dengan tingkat kejadian inkontinensi yang cukup tinggi. 94-94

Seton kimia dengan bawan ayurvedic medicated thread (Kshara sutra) dideskripsikan pada beberapa literature india. Variasi ini mencakup memotong seton dan mencelupkan seton pada cairan yang mengandung tiga macam tanaman herbal. Metodeny atidak diketahui, namun pH alkalie nya sangat tinggi. Tanaman herbal ini mengandung anti-inflamasi, anti bakteri, dan senyawa penyembhan luka lainnya. Pada uji klinis acak yang membandingkan metode ini dengan metode onvensional lain yang mencakup 500 psien, seton kimia ini memmiliki hasil yang lebih baik dibandingkan metode konvensional (rekurensi 4% banding 11%, p = 0.03). 96

Martius flap terkaitd dengan mobiisaisi fibro-patty pad pada labia. Flap ini dapat digunakan pada fistel rekto-vaginal untuk menginis defek setelah mobilisasi rektum dan vagina pada setiap bagian fistel.97

Aplikasi seton jangka panjang cukup ditolerir dan sering digunakan pada penyakit Crohn dan fistula rekuren.

FISTEL EXTRA-SPHINCTERICA

Patologi primer dari tistel etra-shincterica sebernarnya adalah berasal dari intra-abdominal. Penyakit yang menjadi penyebab umumnya adalah penyakit divertikulum, penyakit Crohn, keganasan, dan kerusakan usus akibat radiasi.

FISTEL TERKAIT PENYAKIT CROHN

Diskusi menyeluruh dari topik diatas diluar bahasan artikel ini. Biasanya penggunaan seton jangka panjang adalah pilihan yang paling aman digunakan. Hal ini dapat mengurangi drainase perianal dan nyeri tanpa merusak sphincter dan meminimalisasi resiko terbentuknya abses laanjutan yang terjadi di sepanjjang traktus fistel. 63 Jika terdapat proktitis aktif, terapi bedah apapun biasanya tidak akan berhasil. Tanpa adanya proctitis, pembedahan definitive (fistulotomy lay open pada fistula letak rendah, RAF pada fistula letak tinggi) dapat dilakukan. Tingkat kebrhasilan masih lebih rendah dibandingkan pada pasien tanpa penyakti Crohn.

Infliximab adalah antibody monoklonal murine chimeri melawan TNF-. Ini adalah satu-satunya terapi medis yang erbukti dapat mengurangi jumlah fistel perianal pada pasien dengan penyakit Crohn. 99 Akan tetapi, pada praktiknya, rekurensi setelah intervensi cukup sering terjadi. Terdapat bukti bahwa pada pasien dengan seton yang menjalani terapi Infliximab untuk penyakit Crohn, sebaiknya melepas seton selama terapi Infliximab. 100

SEPSIS ANOREKTAL PADA HIV

Prinsip umumnya adalah sepsis anorektal pada pasien positif HIV harus diterapi dengan prinsip yang sama dengan sepsis anorektal pada penyakit Crohn. Jaringan apapun yang dibuang harus diperiksa secara histologist untuk mengettahui prevalensi terjadinya AIN (Anal Intraepithelial Neoplasia) yang cukup tinggi pada keadaan ini 101

JIKA TIDAK ADA SATUPUN TERAPI YANG BERHASIL

Jika hal ini terjadi, mungkin sebaiknya diletakaan seton longgar dan merencanakan penempatan seton ini untuk jangka panjang. Hal ini secara mengejutkan sangat ditoleransi dengan baik. pertimbangkan kausa infelsi pelvis pada fistula ini. Apakah sebenarnya ini adalah fistel extra-sphincterica? Lakuakan CT-scan abdomino-pelvic dan fistulogram. Jika ini bukan fistel, apakah ini adalah kasus yang tidak biasa sperti kista epidermoid yang terinfeksi?

KESIMPULAN

Kebanyakan abses sedrhananya hanya dilakukan drainase dan kebanyakan fistel ditangani dengan fistulotomy lay open. Pemahaman mengenai anatomi kanalis anus dan etiologi abses perianal dan fistula anal sangat diutuhkan. Abses membutuhkan drainase pembedahan dibawah anesetesi umum. Abses intersphincterica dan supralevator secara klinis sulit untuk diidentifikasi. Ultrasound anal atau MRI dapat diilakukan pada situasi ini tergantung dari kelengkapan fasilitas kesehatan dan ahli yang dapat melakukannya. Jika fistula tersebut sangat nyata terlihat tanpa memasukkan seton, fistel tersebut sebaiknya didiamkan hingga sepsis dan inflamasi terkait dan udem telah tertangani

Biasanya harus diputuskan apakah aman menggunakan teknik lay open pada fistel letak sangat rendah dan sangat tinggi. Melakukan teknik lay open pada fistel adalah metode dengan tingkat keberhasilan yang paling besar dan pada kebanyakan situasi, hal ini dapat dilakukan dengan aman tanpa adanya gangguan kontinensi. Pada fistel mid-level (biasanya dengan ultrasound anal) biasanya dilakukan pemeriksaan klinis tambahan dan pemeriksaan objektif apakah terdapat keterlibatan sphincter. Jika fistel tidak dapat ditangani dengan teknik lay open, dilakukan repair definitive yang lain. Rectal advancement flap adalah pendekatan yang paling masuk akal dalam hal ini dengan tingkat keberhasilan sebesar 60-70% dan dengan hasil fungsonal yang cukup baik. jika hal ini gagal, gunakan teknik lain dengan tingkat keberhasilan yang lebih rendah dan begitut eerus selanjutnya. Jika berbagai usaha perbaikan fistel msih tetap gagal, aplikasi seton jangka panjang mungkin adlah pilihan yang paling baik

DAFTAR PUSTAKA

1. Bollard RC, Gardiner A, Lindow S, Phillips K, Duthie GS. Normal female anal sphincter: difficulties in interpretation explained. Dis. Colon Rectum 2002; 45: 1715.

2. Godlewski G, Prudhomme M. Embryology and anatomy of the anorectum. Basis of Surgery Surg. Clin. North Am. 2000; 80:31943.

3. Fritsch H, Brenner E, Lienemann A, Ludwikowski B. Anal sphincter complex: reinterpreted morphology and its clinical relevance. Dis. Colon Rectum 2002; 45: 18894.

4. Kaiser AM, Ortega AE. Anorectal anatomy. Surg. Clin. North Am. 2002; 82: 112538.

5. Wendell-Smith CP. Anorectal nomenclature: fundamental terminology. Dis. Colon Rectum 2000; 43: 134958.

6. Duthrie HL, Gairns FW. Sensory nerve endings and sensation in the anal region of man. Br. J. Surg. 1960; 47: 58595.

7. Thompson-Fawcett MW, Warren BF, Mortensen NJ. A new look at the anal transitional zone with reference to restorative proctocolectomy and the columnar cuff. Br. J. Surg. 1998; 85:151721.

8. Eisenhammer S. The internal anal sphincter and anorectal abscess. Surg. Gynaecol. Obstet. 1956; 103: 5016.

9. Parks AG. The pathogenesis and treatment of fistula-in-ano Br. Med. J. 1961; i: 4639.

10. Held D, Khubchandani J, Sheets J, Stasik J, Rosen L, Wether R. Management of anorectal horseshoe abscess and fistula. Dis.Colon Rectum 1986; 29: 7937.

11. Isbister WH. Fistula-in-ano: personal view. Aust. N. Z. J. Surg. 1999; 69: 7689.

12. Milligan ETC, Morgan CN. Surgical anatomy of the anal canal with special reference to anorectal fistulae. Lancet 1934; 2

13. Stelzner F. Die Anorectalen Fisteln. Berlin: Springer, 1959.

14. Goligher JC. Surgery of the Anus, Rectum and Colon. London: Bailliere, Tindall and Cassell, 1961.

15. Eisenhammer S. The final evaluation and classification of the surgical treatment of the primary anorectal cryptoglandular intermuscular (intersphincteric) fistulous abscess and fistula. Dis.Colon Rectum 1978; 21: 23754.

16. Parks AG, Gordon PH, Hardcastle JD. A classification of fistula in-ano. Br. J. Surg. 1976; 63: 112.

17. Marks CG, Ritchie JK. Anal fistulas at St Marks Hospital. Br. J. Surg. 1977; 64: 8491.

18. Bennett RC. A review of the results of orthodox treatment for anal fistulae. Proc. Royal Soc. Med. 1962; 55: 7567.

19. Hughes F, Mehta S. Anorectal sepsis. Hosp. Med. 2002; 63:1669.

20. Read DR, Abcarian H. A prospective survey of 474 patients with anorectal abscess. Dis. Colon Rectum 1979; 22: 56688

21. Vasilevsky CA, Gordon PH. The incidence of recurrent abscesses or fistula-in-ano following anorectal suppuration. Dis. Colon Rectum 1984; 27: 12630

22. Winslet MC, Allan A, Ambrose NS. Anorectal sepsis as a presentation of occult rectal and systemic disease. Dis. Colon Rectum 1988; 31: 597600.

23. Oliver I, Lacueva FJ, Perez Vicente F et al. Randomized clinica trial comparing simple drainage of anorectal abscess with and without fistula track treatment. Int. J. Colorectal Dis. 2003; 18: 10710.

24. Ramanujam PS, Prasad ML, Abcarian H, Tan AB. PerianaL abscesses and fistulas. A study of 1023 patients. Dis. Colon Rectum 1984; 27: 5937

25. Schouten WR, van Vroonhoven TJ. Treatment of anorecta abscess with and without primary fistulectomy. Results of a prOspective randomized trial. Dis. Colon Rectum 1991; 34: 603.

26. Tang GL, Chew SP, Seow-Choen F. Prospective randomized trial of drainage alone vs drainage and fistulotomy for acute perianal abscesses with proven internal opening. Dis. Colon Rectum 1996; 39: 141517.

27. Ho YH, Tan M, Chui CH, Leong A, Eu KW, Seow-Choen F. Randomized controlled trial of primary fistulotomy with drainage alone for perianal abscesses. Dis. Colon Rectum 1997; 40: 14358.

28. Hebjorn M, Olsen O, Haakansson T, Andersen B. A randomized trial of fistulotomy in perianal abscess. Scand. J. Gastroenterol. 1987; 22: 1746.

29. Li D, Yu B. Primary curative incision in the treatment of perianorectal abscess. Zhonghua Wai Ke Za Zhi (Chinese J. Surg.)1997; 35: 53940.

30. Nelson RL. Anorectal abscess fistula: what do we know? SurgClin. North Am. 2002; 82: 113951.

31. Goodsall DH, Miles WE. Diseases of the Anus and Rectum.London: Longman, 1900.

32. Cirocco WC, Reilly JC. Challenging the predictive accuracy of Goodsalls rule for anal fistulas. Dis. Colon Rectum 1992; 35:53742.

33. Gunawardhana PA, Deen KI. Comparison of hydrogen peroxide instillation with Goodsalls rule for fistula-in-ano. ANZ J. Surg.2001; 71: 4724.

34. Keighley MR, Williams NS. Surgery of the Anus, Rectum and Colon, vol. 1. London: W. B. Saunders, 1999.

35. Cho DY. Endosonographic criteria for an internal opening o fistula-in-ano. Dis. Colon Rectum 1999; 42: 51518.

36. Law PJ, Talbot RW, Bartram CI, Northover JM. Anal endosonography in the evaluation of perianal sepsis and fistula in ano. Br. J. Surg. 1989; 76: 7525.

37. Poen AC, Felt-Bersma RJ, Eijsbouts QA, Cuesta MA, Meuwissen SG. Hydrogen peroxide-enhanced transanal ultrasound in the assessment of fistula-in-ano. Dis. Colon Rectum 1998; 41: 114752.

38. Ratto C, Gentile E, Merico M et al. How can the assessment of fistula-in-ano be improved? Dis. Colon Rectum 2000; 43: 137582.

39. Sudol-Szopinska I, Jakubowski W, Szczepkowski M. Contrast enhanced endosonography for the diagnosis of anal and anovaginal fistulas. J. Clin. Ultrasound 2002; 30: 14550.

40. Sudol-Szopinska I, Jakubowski W, Szczepkowski M, Sarti D. Usefulness of hydrogen peroxide enhancement in diagnosis of anal and ano-vaginal fistulas. Eur. Radiol. 2003; 13: 10804.

41. Gold DM, Halligan S, Kmiot WA, Bartram CI. Intraobserver and interobserver agreement in anal endosonography. Br. J. Surg. 1999; 86: 3715.

42. Robinson PJA. Radiologys Achilles heel: error and variation in the interpretation of the Rontgen image. Br. J. Radiol. 1997; 70: 108598.

43. Bartram C, Buchanan G. Imaging anal fistula. Radiologic ClinNorth Am. 2003; 41: 44357.

44. Lunniss PJ, Armstrong P, Barker PG, Reznek RH, Phillips RK Magnetic resonance imaging of anal fistulae. Lancet 1992; 340: 3946.

45. Barker PG, Lunniss PJ, Armstrong P, Reznek RH, Cottam K Phillips RK. Magnetic resonance imaging of fistula-in-ano: technique, interpretation and accuracy. Dis. Colon Rectum 1994; 37: 288.

46. Madsen SM, Myschetzky PS, Heldmann U, Rasmussen OO, Thomsen HS. Fistula in ano: evaluation with low-field magnetic resonance imaging (0.1 T). Scand. J. Gastroenterol. 1999; 34: 12536.

47. Scholefield JH, Berry DP, Armitage NC, Wastie ML. Magnetic resonance imaging in the management of fistula in ano. Int. J. Colorectal. Dis. 1997; 12: 2769.

48. Zbar AP, de Souza NM, Piuni R, Kmiot WA. Comparison of endoanal magnetic resonance imaging with surgical findings in perirectal sepsis. Br. J. Surg. 1998; 85: 11114.

49. Beets-Tan RG, Beets GL, van der Hoop AG et al. Preoperative MR imaging of anal fistulas: does it really help the surgeon? Radiology 2001; 218: 7584.

50. Kuijpers HC, Schulpen T. Fistulography for fistula-in-ano. Is IT useful? Dis. Colon Rectum 1985; 28: 1034.

51. Kuijpers HC, Van Tets WF. Fistulography. In: Phillips, RK Lunniss, PJ, eds. Anal Fistula. London: Chapman & Hall, 1996.

52. Rosen L. Anorectal abscess-fistula. Surg. Clin. North Am. 1998; 68: 1293308.

53. Finlay IG. Objectives in management. In: Phillips, RK, Lunniss, PJ, eds. Anal Fistula. London: Chapman & Hall, 1996.

54. Adams D, Kovalcik PJ. Fistula in ano. Surg. Gynecol. Obstet. 1981; 153: 7312.

55. Sainio P, Husa A. Fistula-in-ano. Clinical features and long-term results of surgery in 199 adults. Acta Chirurgica Scand. 1985; 151: 16976.

56. Parks AG, Stitz RW. The treatment of high fistula-in-ano. Dis. Colon Rectum 1976; 19: 48799.

57. Kuijpers HC. Diagnosis and treatment of fistula-in-ano. Neth. J. Surg. 1982; 34: 14752.

58. Mazier WP. The treatment and care of anal fistulas: a study of 1,000 patients. Dis. Colon Rectum 1971; 14: 13444.

59. McElwain JW, McLean MD, Alexander RM. Anorectal proBlems. Experience with primary fistulectomy for anorectal abscess. Report 1000 cases. Dis. Colon Rectum 1975; 18: 6469.

60. Lunniss PJ, Thomson JP. The loose seton. In: Phillips, RK, Lunniss, PJ, eds. Anal Fistula. London: Chapman & Hall, 1996.

61. Gabriel WB. The Principles and Practice of Rectal Surgery. London: Lewis, 1963.

62. Ramanujam PS, Prasad ML, Abcarian H. The role of the seton in fistulotomy of the anus. Surg. Gynaecol. Obstet. 1983; 157: 41922.

63. Faucheron JL, Saint-Marc O, Guibert L, Parc R. Long-term seton drainage for high anal fistulas in Crohns disease a sphincter-saving operation? Dis. Colon Rectum 1996; 39: 20811.

64. Stone JM, Goldberg SM. The endorectal advancement flap procedure. Int. J. Colorectal Dis. 1990; 5: 2325.

65. Ozuna G, Hull TL, Cartmill J, Fazio VF. Long-term analysis of the use of transanal rectal advancement flaps for complicated anorectal/vaginal fistulas. Dis. Colon Rectum 1996; 39: 104.

66. Kodner IJ, Mazor A, Shemesh EI, Fry RD, Fleshman JW, Birnbaum EH. Endorectal advancement flap repair of rectovaginal and other complicated anorectal fistulas. Surgery 1993; 114: 6829.

67. Jones IT, Fazio VW, Jagelman DG. The use of transanal rectal advancement flaps in the management of fistulas involving the anorectum. Dis. Colon Rectum 1987; 30: 91923.

68. Makowiec F, Jehle EC, Becker HD, Starlinger M. Clinical course after transanal advancement flap in patients with Crohns disease. Br. J. Surg. 1995; 82: 6036.

69. Joo JS, Weiss EG, Nogueras JJ, Wexner SD. Endorectal advancement flap in perianal Crohns disease. Am. Surgeon 1998; 64: 14750.

70. Rothenberger DA, Christenson CE, Balcos EG. Endorectal advancement flap for treatment of simple rectovaginal fistula. Dis. Colon Rectum 1982; 25: 297300.

71. Lewis WG, Finan PJ, Holdsworth PJ, Sagar PM, Stephenson BM. Clinical results and manometric studies after rectal flap advance- ment for infra-levator trans-sphincteric fistula-in-ano. Int. J Colorectal Dis. 1995; 10: 18992.

72. Miller GV, Finan PJ. Flap advancement and core fistulectomy for complex rectal fistula. Br. J. Surg. 1998; 85: 10810

73. Hyman N. Endoanal advancement flap repair for complex anorectal fistulas: how I do it. Am. J. Surg. 1999; 178: 33740.

74. Sonoda T, Hull TL, Piedmonte MR, Fazio VW. Outcomes of primary repair of anorectal and rectovaginal fistulas using the endorectal advancement flap. Dis. Colon Rectum 2002; 45: 16228.

75. Schouten WR, Zimmermann DDE, Briel JW. Transanal advancement flap repair of transsphincteric fistulas. Dis. Colon Rectum 1999; 42: 141922.

76. Finan PJ. Management by advancement flap technique. In: Philips, RK, Lunniss, PJ, eds. Anal Fistula. London: Chapman Hall, 1996.

77. Kreis ME, Jehle EC, Ohlemann M, Becker HD, Starlinger MJ. Functional results after transanal rectal advancement flap repair of trans-sphincteric fistula. Br. J. Surg. 1998; 85: 2402.

78. Mizrahi N, Wexner SD, Zmora O et al. Endorectal advancemen flap: are there predictors of failure? Dis. Colon Rectum 2002; 45: 161621.

79. Cronkite ET, Lozner EL, Deaver JM. Use of thrombin and fibrinogen in skin grafting. J. Am. Med. Assoc. 1944; 124: 9768.

80. Hjortrup A, Moesgaard FA, Kjaergard J. Fibrin adhesive in the treatment of perianal fistulas. Dis. Colon Rectum 1991; 34: 7524.

81. Abel ME, Chiu YS, Russell TR, Volpe PA. Autologous fibrin glue in the treatment of rectovaginal and complex fistulas. Dis Colon Rectum 1993; 36: 4479.

82. Aitola P, Hiltunen KM, Matikainen M. Fibrin glue in perianal fistulas a pilot study. Ann. Chir. Gynaecol. 1999; 88: 1368.

83. Cintron J, Park JJ, Orsay CP. Repair of fistulas-in-ano using fibrin adhesive: Long-term follow-up. Dis. Colon Rectum 2000; 43: 94450.

84. Venkatesh KS, Ramanujam PS. Fibrin glue application in the treatment of recurrent anorectal fistulas. Dis. Colon Rectum 1999; 42: 11369.

85. Park JJ, Cintron J, Orsay CP. Repair of chronic anorectal fistulae using commercial fibrin sealant. Arch. Surg. 2000; 135: 1669.

86. Patrlj L, Kocman B, Martinac M et al. Fibrin glue-antibiotic mixture in the treatment of anal fistulae: experience with 69 cases. Digestive Surg. 2000; 17: 7780.

87. Buchanan GN, Bartram CI, Phillips RK et al. Efficacy of fibrin sealant in the management of complex anal fistula: a prospective trial. Dis. Colon Rectum 2003; 46: 116774.

88. Lindsey I, Smilgin-Humphreys MM, Cunningham C, Mortensen NJ, George BD. A randomized, controlled trial of fibrin glue vs conventional treatment for anal fistula. Dis. Colon Rectum 2002; 45: 160815.

89. Sentovich SM. Fibrin glue for anal fistulas: long-term results. Dis. Colon Rectum 2003; 46: 498502.

90. Sentovich SM. Fibrin glue for all anal fistulas. J. Gastrointesti- nal Surg. 2001; 5: 15861.

91. Zmora O, Mizrahi N, Rotholtz N et al. Fibrin glue sealing in the treatment of perineal fistulas. Dis. Colon Rectum 2003; 46: 5849.

92. Del Pino A, Nelson RL, Pearl RK, Abcarian H. Island flap ano- plasty for treatment of transsphincteric fistula-in-ano. Dis Colon Rectum 1996; 39: 2246.

93. Amin SN, Tierney GM, Lund JN, Armitage NC. V-Y advance- ment flap for treatment of fistula-in-ano. Dis. Colon Rectum 2003; 46: 5403.

94. Christensen A, Nilas L, Christiansen J. Treatment of trans sphincteric anal fistulas by the seton technique. Dis. Colon Rectum 1986; 29: 4545.

95. McCourtney JS, Finlay IG. Setons in the management o fistula-in-ano. Br. J. Surg. 1995; 82: 44852.

96. Shukla NK, Narang R, Nair NGK. Multicentric randomized controlled clinical trial of Kshaarasootra (Ayurvedic medicated thread) in the management of fistula-in-ano. Indian J. Med. Res. 1991; 94: 17785.

97. Elkins TE, DeLancey JO, McGuire EJ. The use of modified Martius graft as an adjunctive technique in vesicovaginal and rectovaginal fistula repair. Obstetrics Gynecol. 1990; 75: 72733.

98. Schwartz DA, Pemberton JH, Sandborn WJ. Diagnosis and treatment of perianal fistulas in Crohn disease. Ann. Intern. Med. 2001; 135: 90618.

99. Present DH, Rutgeerts P, Targan S, Hanauer SB, Mayer L, van Hogezand RA. Infliximab for the treatment of patients with Crohns disease. N. Engl. J. Med. 1999; 340: 1398405.

100. Topstad DR, Panaccione R, Heine JA, Johnson DRE, MacLean AR, Buie WD. Combined seton placement, infliximab infusion, and maintenance immunosuppresives improve healing rate in fistulizing anorectal Crohns disease: a single centre experi- ence. Dis. Colon Rectum 2003; 46: 57783.

101. Zbar AP, Fenger C, Efron J, Beer-Gabel M, Wexner SD. The pathology and molecular biology of anal intraepithelial neoplasia: comparisons with cervical and vulvar intraepithelial carcinoma. Int. J. Colorectal Dis. 2002; 17: 20315.