etika pendidikan anak: refleksi kultural pendidikan anak di rumah, sekolah dan masyarakat
Post on 27-Feb-2018
235 Views
Preview:
TRANSCRIPT
-
7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat
1/239
-
7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat
2/239
ETIKA PENDIDIKAN ANAK. Refleksi Kultural
Pendidikan Anak di Keluarga, Sekolah dan Masyarakat
Yohanes Sanaha Purba
Yohanes Sanaha Purba, 2016sms : (+62) 081931340181
surel: sanahapurba@yahoo.co.id
Photography : Yohanes Sanaha PurbaPenyunting : John Badapa
Disain Cover : Samsthita PustakaPenata Letak : Samsthita Pustaka
Cetakan Pertama: Januari 2016
Didistribusikan secara terbatas oleh:Samsthita Pustaka Yogyakarta dan Yohanes Sanaha Purba
-
7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat
3/239
Memahami Perilaku
Orang Tua
82
Memahami Tahap
Perkembangan Anak
87
a.
Operasi SensoriMotor
89
b. Tahap Pra-Operasi 95
c. Tahap Operasi
Konkret
100
Mendampingi Proses
Perkembangan Anak
103
1.
Merengek Minta
Mainan
111
-
7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat
4/239
2. Rewel di Tengah Acara
Publik
117
3.
Tidak Sopan Saat
Bertemu Orang lain
123
4. Minta Jajan Tapi Susah
Makan
133
5. Susah Tidur 139
6. Mengganggu Orang
Tua yang Sibuk
145
7. Dinakali Teman
Sepermainan
150
8.
Cari Perhatian
156
9. Melawan Nasihat
Orang Tua
163
10.Berbohong 168
11.
Mengamuk danMemukul-mukul
173
12. Internet, Games dan
Televisi tanpa Henti
181
Anak di Tengah 195
-
7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat
5/239
Masyarakat Konsumsi
Birokratisme
Kehidupan Keluarga
210
Pendidikan Kritis bagi
Anak
218
-
7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat
6/239
Etika Pendidikan Anak | 1
Pendidikan anak di wilayah keluarga dan sekolah
sama-sama memiliki kesulitannya sendiri. Pada dasarnya,
anak memiliki dunia dan cara berpikirnya sendiri yang
terkadang memojokkan kita untuk berjuang
memahaminya. Anak-anak tidak mengenal etika dan
moralitas. Mereka memang belum membutuhkannya
dalam relasi sosial yang menuntut. Anak-anak hanyalah
manusia baru yang menyimpan kemerdekaan hidup
dalam arti yang sebenarnya. Perilaku dan imajinasi anak
tidak bisa ditempatkan dalam hitungan untung-rugi,
baik-buruk dan enak-tidak enak layak orang dewasa.
Persoalannya, dalam tradisi pendidikan anak, kita
selalu menemukan fungsi pendampingan yang justru
bersifat mengontrol, membatasi dan mensensor
kemerdekaan yang Tuhan berikan kepada mereka. Mulai
dari kesantunan hingga cara menampilkan diri, atau yang
-
7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat
7/239
Yohanes Sanaha Purba | 2
belakangan disebut strategi pencitraan. Semuanya sudah
mulai dihabituskan oleh orang tua dan guru kepada
anak-anak yang sesungguhnya masih terlalu muda untuk
memahaminya.
Kecenderungan pola pendidikan anak yang
memuat berbagai nilai dan tata perilaku dalam
komunitas masyarakat dewasa ternyata telahmenyejarah hingga seolah menjadi kebenaran sosial.
Kita sering memuji beberapa orang tua yang anak-anak
balitanya seolah sudah berlaku begitu sopan lengkap
dengan pakaian yang begitu agamis1 layaknya manusia
berusia 30 tahun. Sebaliknya, kita akan cepatmenghakimi orang tua yang anak-anaknya berlaku tanpa
aturan atau bertindak spontan di tengah acara publik.
Menanamkan nilai-nilai kebaikan dalam diri anak
tidak sesederhana memaksakan mereka beradaptasi
dengan berbagai tuntutan tradisi dalam kehidupan
sosial, agama dan budaya yang sangat terbuka untuk
dirubah dan dikritisi.
1Pakaian tertutup yang dimaksudkan untuk menutupi aurat atau
bagian tubuh yang dianggap mengundang hasrat seksual.
-
7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat
8/239
Etika Pendidikan Anak | 3
Berbagai nilai dan tata perilaku dalam masyarakat
dewasa tidak selalu mengandung kebenaran karena
justru dibalik semuanya tersimpan kepentingan-
kepentingan sosial mengenai penghargaan diri dan
kekuasaan yang mengikat. Harus diakui bahwa tindakan
yang ditelurkan oleh orang dewasa acap
mempertimbangkan konsekuensi yang didapatkan pasca
tindakan usai dilakukan.
Sebagai contoh, bagaimana seorang dewasa
berbicara, bersikap dan berpakaian selalu dikendalikan
oleh bagaimana orang lain akan melihat dirinya.
Imajinasi atas diri sendiri begitu penting dalammenampilkan diri di tengah pergaulan demi memperoleh
apa yang disebut dengan kehormatan, harga diri, prestis
dan penghargaan. Pertanyaannya, apakah nilai-nilai
tersebut memang lebih baik daripada sifat jujur, spontan
dan tulus anak-anak yang berperilaku apa adanya tanpaketakutan atas penilaian orang kepada mereka?
Memerdekakan anak melalui pendidikan menjadi
semangat yang hendak diusung oleh buku ini. Hal itu
tidak mengandaikan bahwa anak-anak dibiarkan hidup
dengan cara-cara yang liar bahkan tanpa aturan.
Pembiaran bukan merupakan bagian dari pendidikan itu
-
7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat
9/239
-
7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat
10/239
Etika Pendidikan Anak | 5
Tantangan terbesar yang hendak diungkap oleh
buku ini adalah bagaimana mempersoalkan perilaku
kepada anak secara kultural yang mau tidak mau
menuntut kita sendiri untuk berlawanan dengan
kehendak masyarakat, agama bahkan tradisi yang sekian
lama melingkupi kita dan anak-anak.
Dalam penelusuran yang dilakukan melaluisejumlah pengalaman orang tua dalam mendidik anak-
anak mereka, penulis menemukan berbagai kebuntuan
yang justru disebabkan oleh tekanan sosio-normatif
yang menghimpit banyak orang tua. Betapa beratnya
perjuangan sejumlah orang tua yang mencoba konsistenmengaplikasikan prinsip pendampingan yang
memerdekakan ketika sebagian besar masyarakat dan
sanak famili seolah tidak siap bahkan menolak bentuk
pendidikan kritis2tersebut.
Pembatasan-pembatasan yang dilakukan kepada
anak pada dasarnya tidak terkait sama sekali dengan
keselamatan anak itu sendiri. Pewarisan nilai-nilai yang
2Salah satu bentuk pendidikan yang tidak semata-mata menempatkan
nilai dan pembentukan karakter sebagai basis dogmatik pendidikan
kepada anak namun justru menempatkan upaya-upaya kritis yangmengajak anak untuk berani mempertanyakan pada berbagai hal yang
selama ini dianggap sebagai kebenaran dan membentuk anak menjadi
pribadi yang dengan penuh percaya diri berinovasi dan berkreasi.
-
7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat
11/239
Yohanes Sanaha Purba | 6
dilakukan oleh orang tua lebih merupakan layanan yang
diberikan kepada masyarakat daripada mengolah secara
kritis kebutuhan sejati anak. Masyarakat sejak mula
sudah menuntut para orang tua untuk menjalankan pola
dan isi pendidikan yang sama kepada anak-anak
terutama yang terkait dengan tata perilaku dan ukuran
normatif.
Salah satu contoh yang dominan muncul dalam
pendidikan anak adalah perkara hirarkisasi dalam
interaksi sosial. Bertingkah laku sopan pada yang lebih
tua dan menaati perintah segolongan masyarakat baik
itu orang tua, guru hingga pemuka agama menjadicontoh populer dari isi pendidikan anak. Setidaknya
sejak kesadaran anak mulai terbentuk, kira-kira pada usia
satu tahun, orang tua mulai acap was-was ketika
mengajak anak berinteraksi dengan publik.
Dalam beberapa jam saja, anak bisa memberikan
efek bangga namun juga malu bagi orang tua. Menjadi
sangat membanggakan bilamana anak bisa menampilkan
diri sesuai keinginan publik namun menjadi sangat
memalukan bilamana anak berperilaku ganjil bahkan
mengganggu kepentingan publik.
-
7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat
12/239
Etika Pendidikan Anak | 7
Buku ini tidak ingin menyempitkan pembahasan
pada kebutuhan pragmatis kita mengenai tips atau
teknik pendampingan anak karena hal semacam itu
berarti tidak menghargai sekian upaya orang tua yang
mungkin lebih cerdas memutuskan berbagai solusi
dalam pendampingan anak-anak mereka. Bagaimanapun
harus diakui bahwa tidak ada satu jenis pendidikan yang
mungkin diperlakukan sama bagi semua anak karena
setiap keluarga memiliki konteks kebutuhan dan
persoalan yang sangat berbeda satu sama lain.
Pluralitas pendidikan anak harus dihargai
sehingga berbagai bentuk nasihat yang ditelurkan paraahli, praktisi pendidikan dan penulis buku tidak berarti
apapun ketika masih terjerat dalam upaya generalisasi,
universalisasi bahkan uniformasi pendidikan anak. Justru
yang diperlukan saat ini adalah mengangkat sejumlah
kasus-kasus unik yang dilakukan oleh sejumlah orang tuayang memungkinkan kita untuk merefleksikan pola yang
selama ini kita terapkan.
Dengan semangat yang plural, kita akan
mempelajari dengan seksama bagaimana kekuatan
verbal atau penggunaan bahasa memiliki implikasi yang
tidak sederhana dalam pendidikan anak. Berbagai kasus
-
7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat
13/239
Yohanes Sanaha Purba | 8
yang dipaparkan dalam buku ini lahir dari sejumlah
pengalaman orang tua, guru maupun orang di luar
keluarga yang berinteraksi langsung dengan anak.
Kita mungkin saja mengabaikan kekuatan dibalik
penggunaan bahasa atau tuturan dalam interaksi
bersama anak namun kita sendiri tidak pernah mampu
melepaskan diri dari berbagai kata-kata dalam benak kitayang justru muncul saat kita masih kanak-kanak. Hampir
seluruh perilaku dan keputusan kita di usia dewasa
sangat dipengaruhi oleh berbagai tuturan yang terus
berulang dalam otak kita yang seolah tak mampu kita
hapuskan.
Penulis teringat dengan kisah seorang teman
dekat yang sangat takut berenang. Sedikitpun sejak 30
tahun kehidupannya, dia tak pernah berenang atau
bahkan kalaupun dipaksa tetap tidak bisa berenang.
Kolam renang tanpa disadarinya menjadi tempat yang
mungkin kurang dari lima kali dikunjunginya selama
hidup. Ketika teman, saudara, istri atau anaknya
mengajak renang, dia pasti lebih memilih duduk di sisi
kolam sekedar untuk mengamati atau bermain-main
kecil.
-
7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat
14/239
Etika Pendidikan Anak | 9
Bilamana bertamasya di pantai, sang ayah itu pun
hanya duduk di tempat berpasir yang jauh dari
hempasan ombak kecil di pinggir pantai. Belakangan
baru diketahui bahwa sejak masih kanak-kanak, dia
selalu memiliki imajinasi buruk mengenai mati
tenggelam di tengah kolam atau sungai.
Pernah ada masa dimana dirinya sangat menggilaisungai terutama ketika sebagian besar temannya di desa
akrab bermain, mandi dan mencari ikan. Namun setiap
usai bermain, orang tuanya selalu memarahinya.
Kekhawatiran orang tua pasca tragedi hanyutnya seorang
anak tetangga ternyata berdampak kepada dirinya.
Setiap kali akan bermain keluar rumah, orang
tuanya tak pernah henti mengatakan: ora dolan nang
kali, mengko mati keli (jangan bermain di sungai nanti
mati tenggelam). Kata-kata tersebut terus berhembus
sekian waktu lamanya hingga membentuk pemahaman
identik antara air dan mati tenggelam.
Dari titik itulah, dia tidak cukup percaya diri
ketika turun ke air. Bahkan, ketika sang istri
mendesaknya belajar berenang dengan seorang
profesional, dia tak pernah mampu berenang stabil.
-
7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat
15/239
Yohanes Sanaha Purba | 10
Keyakinan dalam dirinya yang dibentuk hanya oleh
bahasa orang tua di masa kecil telah membatasinya
untuk bahkan sekedar bermain air.
Diatas kita melihat bahwa persoalan traumatisasi
bukan satu-satunya penyebab dari kejanggalan-
kejanggalan perilaku dan kejiwaan di usia dewasa. Tokoh
yang kita bicarakan diatas tidak pernah sungguhmengalami kejadian tenggelam di tengah air.
Keseluruhan ketakutannya terhadap air justru terekam
lebih kuat daripada sebuah trauma hanya oleh karena
ketidakmampuan orang tua di masa lalu dalam memilih
cara berkomunikasi yang tepat.
Persoalannya kita tidak pernah mampu
mengendalikan apa yang layak dan tidak layak
didengarkan oleh anak kita. Bisa jadi, anak kita
mengalami kekerasan verbal justru di luar rumah kita.
Kita perlu mengakui bahwa masyarakat kita sangat akrab
dengan pendidikan yang menakut-nakuti. Pendekatan
terhadap perilaku menyimpang pun lebih akrab didekati
dengan pola komunikasi yang menomorsatukan
implikasi buruk daripada kemungkinan terbaik dari
sebuah perilaku.
-
7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat
16/239
Etika Pendidikan Anak | 11
Sesungguhnya kita pun mengalaminya meski
tidak menyadarinya. Datanglah ke rapat warga di
kampung kalau tidak mau dikucilkan. Perhatikan
bagaimana ancaman justru hadir ketika kita sedang
berusaha hidup bermasyarakat. Sejak kanak-kanak
hingga dewasa kita terlanjur konformis dan pasif dengan
berbagai bentuk bahasa edukatif yang sifatnya menakut-
nakuti kita. Kita pun seolah tidak mampu menggugat cara
masyarakat mendidik kita karena hanya akan
menimbulkan masalah baru dalam interaksi sosial.
Satu-satunya cara menghentikannya adalah
dengan sedini mungkin melakukan perubahan padaanak-anak kita yang kelak menjadi bagian dari
masyarakat dewasa.
Ada beragam cara untuk merespon perilaku sang buah
hati yang kurang berkenan di hati kita. Sebagian besar
orang tua acap kali berputus asa dan memilih untuk
menghukum anaknya karena gagal mengendalikan anak.
Orang tua kerap marah besar dan tak segan menghukum
-
7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat
17/239
Yohanes Sanaha Purba | 12
baik secara fisik (mencubit, mencablek atau menjambak)
maupun verbal (membentak atau meneriaki) anak-anak
dengan dalih untuk mendidik mereka.
Biasanya, anak kemudian diam dan mengikuti
kehendak orang tuanya karena perasaan takut yang luar
biasa. Dalam kasus tersebut, hal yang perlu menjadi
perhatian kita adalah mengenai relevansi hukumandalam pendidikan anak.
Apakah hukuman kepada anak sungguh memuat
memuat nilai-nilai pendidikan ataukah hukuman
tersebut sekedar menjadi saluran pelampiasan emosi
karena keputusasaan kita?
Disadari atau tidak kita telah melakukan
kekerasan berbalut pendidikan kepada anak-anak.
Kekerasan bisa termanifestasi dalam segala bentuknya,
baik verbal maupun fisik. Dalam bentuk yang verbal, kita
acap membentak anak untuk diam dan tidak berulah di
depan kita.
Sebagai contoh, dalam kasus-kasus keseharian,
kita sering melihat orang tua yang panik karena melihatanaknya sedang melakukan tindakan berbahaya, seperti
berlari menyeberang jalan, memanjat atau bermain api.
-
7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat
18/239
Etika Pendidikan Anak | 13
Biasanya orang tua akan membentak dengan maksud
untuk menghindarkan anak dari bahaya tersebut.
Sebagian besar dari kita menempatkan tindakan orang
tua tersebut merupakan suatu hal yang normal karena
mengandung motif pendidikan. Harus diakui bahwa anak
memang belum sungguh memiliki konsep mengenai ke-
berbahaya-an.
Pertanyaannya apakan kekerasan menjadi legal
dan baik-baik saja karena motifnya untuk
menyelamatkan anak? Sebagai analogi, mungkin baik
bagi kita untuk mengingat kembali proses kehidupan
sosial bangsa ini.
Sejak masa lalu, kita sudah akrab dengan
kekerasan. Di keluarga dan sekolah, berbagai hukuman
ditimpakan kepada kita. Salah satu contoh yang mungkin
masih teringat kuat dalam benak kita adalah
perploncoan. Gaya pendidikan masa Orde Baru yang
akrab menerapkan hukuman dan bentakan dengan dalih
menyiapkan mental kita sebagai siswa atau mahasiswa
baru3. Banyak pembuat kebijakan dan pendidik pada
3Lih. Darmaningtyas (2005:38) dalam bukunya Pendidikan Rusak-
Rusakan terbitan LKIS Yogyakarta. Bandingkan dengan tulisan
-
7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat
19/239
Yohanes Sanaha Purba | 14
masa lalu percaya bahwa dengan kekerasan yang
efeknya hanya sementara akan menimbulkan
keselamatan yang efeknya lebih lama dan meluas. Cita-
cita masyarakat pada masa itu adalah kestabilan dan
keteraturan. Yang keluar jalur akan dihukum karena
membahayakan diri dan orang lain.
Sedemikian teraturnya masyarakat Indonesiahingga berbagai gagasan kritis dan kreatif ditabukan.
Lambat laun, dengan semakin meluasnya tuntutan
demokratisasi dan penghargaan hak asasi manusia,
wacana anti kekerasan semakin menyeruak. Banyak dari
kita yang kemudian diajak untuk memikirkan ulangberbagai bentuk kekerasan yang terjadi di masyarakat,
khususnya anak-anak. Salah satu yang paling
kontroversial adalah kekerasan dalam pendidikan
keluarga dan sekolah. Untuk menyiasati kontroversi
tersebut, kita perlu memahami terlebih dahulu implikasidari kekerasan pada anak.
Kita tentu menyadari atau bahkan masih
merasakan bagaimana kekerasan di masa lalu kita,
meskipun terbalut dalam pendidikan, masih menyisakan
Philips Tangdilintin (2008:47) dalam bukunya Pembinaan Generasi
Muda terbitan Kanisius Yogyakarta.
-
7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat
20/239
Etika Pendidikan Anak | 15
trauma. Traumatisasi masa lalu biasanya ingin kita
lupakan untuk memastikan diri kita saat ini dalam
kondisi yang stabil. Freud, pemikir psikoanalisa, pernah
menyatakan bahwa trauma-trauma4 dalam hidup kita
sebagian besar meresap pada wilayah bawah sadar yang
mengendalikan berbagai segi hidup kita. Cara pandang,
keputusan hidup, orientasi perilaku hingga kebiasaan
yang kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari ternyata
lebih dikendalikan oleh bawah sadar kita.
Hal yang justru dibutuhkan adalah dengan
merekonsiliasi masa lalu kita yang pahit. Namun bukan
persoalan mudah untuk menyadari apa yang tidak kitasadari. Untuk itu, Freud menempatkan mimpi sebagai
wilayah untuk mengenali diri yang tidak disadari.
Untuk mendaratkan persoalan marilah kita tengok
kembali berbagai sifat sosial yang umum di masyarakat
kita. Ketakutan akan kegagalan merupakan salah satu
yang paling dominan mewarnai sifat sosial manusia
Indonesia (Ariesandi Setyono5, 2009:95). Kegagalan
adalah dosa dan disitulah ingatan kita mengacu pada
4Lihat tulisan Simon Boag (2012:5) dalam bukunya yang berjudul
Freudian Represion, The Unconscius, and the dynamic of inhibition.5Penulis buku Hypnoparenting.
-
7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat
21/239
Yohanes Sanaha Purba | 16
masa lalu yang menyakitkan. Banyak dari antara kita
mengalami hidup di tengah keluarga, masyarakat dan
sekolah yang menabukan kesalahan. Padahal, kesalahan
menjadi bagian dari proses yang mengasyikan ketika
hendak menemukan sebuah kebenaran.
Saking takutnya melakukan kesalahan, banyak
dari anak-anak, mungkin termasuk kita sendiri, memilihpasif. Sebagian yang lain menjadi pribadi yang peragu
dalam memutuskan sesuatu. Itulah buah tak disadari dari
masa kecil kita.
Hingga kini, di sebagian besar masyarakat
Indonesia, kekerasan dalam bentuk hukuman baik fisik
dan verbal masih digunakan untuk mendidik anak.
Sayangnya, kekerasan tersebut tidak pernah
menyelesaikan masalah namun justru menimbulkan
kenakalan-kenakalan baru. Martin Luther King Jr, aktivis
gerakan sipil kulit hitam Amerika, pernah mengatakan
dalam pidatonya tahun 1958, bahwa kekerasan justru
akan melahirkan kekerasan yang baru. Inilah mengapa
kita perlu memperhatikan apakah hukuman yang kita
buat sungguh relevan bagi perkembangan mental anak
kita. Jangan sampai justru respon emosional kita malah
merusak hubungan mesra dengan sang buah hati atau
-
7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat
22/239
Etika Pendidikan Anak | 17
justru mendorong munculnya kepincangan psikologis.
Implikasi yang lebih luasnya, anak kita sendiri menjadi
terbiasa untuk menyalurkan kekecewaan atas dirinya
sendiri atau orang tuanya melalui kenakalan di luar
rumah.
Menjadi suatu persoalan yang rumit ketika kita
tidak memiliki solusi yang kontekstual untukmenghadapi (bukan mengantisipasi) perilaku anak-anak
kita. Untuk itu, sebaiknya kita harus menyadari terlebih
dahulu bahwa setiap perilaku anak berangkat dari sifat
manusianya yang baik adanya. Kehendak negatif dalam
diri anak mungkin saja muncul namun hal itu adalahbagian dari prosesnya menuju pribadi yang lebih baik.
Tentu ada pengecualian kasus bilamana anak kita
memang memiliki persoalan kejiwaan. Hal itu tidak akan
dibahas dalam buku ini namun menjadi tugas yang harus
dipecahkan oleh ahlinya. Dengan begitu, barangkali
keputusasaan kita bukan berangkat dari
ketidakmampuan kita sebagai orang tua namun
ketidaktahuan kita atas kehidupan dan dunia anak.
Sebelum membahas lebih jauh persoalan
pendidikan anak, ada hal yang harus kita sepakati
-
7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat
23/239
Yohanes Sanaha Purba | 18
terlebih dahulu. Kita perlu menyadari bahwa apapun
tindakan yang kita pelajari, rencanakan dan lakukan
kepada anak-anak kita harus selalu diberangkatkan dari
keinginan untuk mengasihi. Hal itu berarti kita perlu
menghindari berbagai upaya yang bertujuan menyakiti
mereka.
Kesepakatan tersebut perlu dilakukan karena kitahidup di tengah fakta sosial dimana negeri ini
menyimpan angka kekerasan pada anak hingga mencapai
2.508 di tahun 2011. Hingga paruh semester tahun 2012
saja angka tersebut sudah bertambah 686 kasus.
Ironisnya, dalam catatan Komisi Nasional Perlindungananak yang dirilis pada tanggal 16/10/2012, tersebut
angka 44,32 persen6kekerasan dilakukan oleh orang tua.
Mungkin baik bila kita belajar dari kata-kata
seorang psikolog bernama Eric Fromm (2008: 277, 287-
288) yang mengatakan bahwa kekerasan berakar dari
ketakutan. Secara sederhana kita sebagai orang tua perlu
menyadari bahwa semakin kita keras kepada anak
semakin kita takut kepada mereka.
6http://indonesia.ucanews.com/2012/10/17/kasus-kekerasan-terhadap-
anak-terus-meningkat/
-
7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat
24/239
Etika Pendidikan Anak | 19
Takut? Ya, ada berbagai macam ketakutan yang
mendasari kekerasan kita sebagai orang tua. Pertama,
kita takut tidak lagi dihormati selayaknya orang tua.
Kedua, kita takut dilihat orang lain sebagai orang tua
yang buruk karena tak sanggup mendidik anak. Ketiga,
kita sendiri takut bilamana anak kita terlihat nakal di
depan orang lain dan kita malu. Singkatnya kemarahan
dan hukuman kepada anak-anak kita bukan berangkat
dari cinta kita, namun kepentingan kita untuk
berpenampilan sebagai orang tua.
Buku ini disusun bukan untuk menceramahi atau
mengajarkan bagaimana mendidik anak yang baik. Sayasengaja menyusunnya sebagai bagian dari keprihatinan
atas sikap sebagian besar orang tua yang menormalisasi
hukuman pada anak sebagai bagian dari pendidikan.
Hukuman sendiri bukanlah sesuatu yang tidak berguna,
asalkan dilakukan dengan motif yang relevan danproporsi yang tepat. Lepas dari bentuk-bentuk hukuman
yang baik, buku ini hendak membantu para orang tua
untuk memahami kecenderungan perilaku anak yang
acap meletupkan emosi orang tua.
Memahami saja tentu tidaklah cukup. Harus saya
akui bahwa mendampingi anak dalam masa
-
7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat
25/239
Yohanes Sanaha Purba | 20
pertumbuhannya bukanlah hal yang mudah. Di tengah
kesibukan sehari-hari dan begitu banyak kebutuhan
untuk menjaga keharmonisan suami istri, para orang tua
masih dituntut memiliki kesabaran yang ekstra dalam
menghadapi tingkah laku anak yang aneh-aneh. Dengan
kata lain, segala macam pengetahuan kita akan diri anak-
anak kita tidak akan efektif tanpa disertai kesabaran
yang tulus dari cinta kita sebagai orang tua.
Dalam buku ini, pada bagian pertama, kita akan
memulai pembahasan dengan memahami tahap
perkembangan anak menurut tokoh pemikir Piaget.
Dengan memahami perkembangan anak, kita akanterbantu untuk menggali berbagai ide pendidikan anak
yang kontekstual.
Pada bagian kedua, kita akan mulai mengupas 12
kecenderungan perilaku anak yang acap menyulitkan
kita dalam memahaminya. Harapannya kita mampu
memutuskan bentu-bentuk respon kepada anak-anak
tanpa terjebak dalam tindakan kekerasan.
Selanjutnya, buku ini akan ditutup oleh bagian
ketiga, dimana kita akan mencoba melibatkan kajian
kultural kontemporer untuk memahami tantangan-
-
7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat
26/239
Etika Pendidikan Anak | 21
tantangan jaman yang mau tidak mau dihadapi keluarga
dan anak-anak. Tujuannya, kita mulai mereformulasi
gaya pendampingan kita kepada anak di tengah beragam
perubahan.
Banyak dari orang tua memilih untuk menolak
atau justru ketakutan terhadap perubahan sosial di luar
diri anak. Berbeda dari kebanyakan, kita sebaiknya tidakperlu mengalami cultural shock dan berlindung di balik
jubah yang moralis hanya karena tidak sanggup
menangkap perubahan-perubahan sosial yang sedang
terjadi. Orang tua yang cerdas adalah ayah dan ibu yang
semakin kreatif dan kritis menemukan beragam metodependampingan anak yang tepat jaman.
Lebih dari semuanya, kesabaran dan pemahaman
yang cukup akan menghindarkan kita dari segala macam
kekerasan, konservatisme dan kekakuan yang mungkin
muncul di rumah kita. Yakinlah, bahwa setiap momen
mesra ataupun kasar kita bersama anak akan
menentukan pembentukan kejiwaannya di masa depan.
Tentulah kita tidak menginginkan anak di usia kita
menjadi sosok yang ganjil hanya karena luka-luka
psikologisnya. Banyak penelitian membuktikan bahwa
sebagian besar kecenderungan negatif manusia dewasa
-
7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat
27/239
Yohanes Sanaha Purba | 22
kuat dipengaruhi oleh pengalaman masa kecil mereka.
Untuk itu, jangan lagi ada kekerasan pada anak di rumah
kita.
-
7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat
28/239
Etika Pendidikan Anak | 23
Kita meyakini bahwa orang tua kita adalah orang
yang paling ideal dalam hidup kita. Membicarakan orang
tua di masa lalu bagi sebagian besar dari kita mungkinsaja adalah hal yang tabu bahkan terkutuk. Namun
marilah kita cermati berbagai hal yang mungkin terjadi
dalam hidup kita di masa lalu dengan semangat yang
tidak hendak mempersalahkan orang tua namun
memperbaiki berbagai hal yang mungkin keliru.
Keseluruhannya akan dimediasi melalui berbagai
catatan kisah yang muncul dari orang-orang dewasa di
sekitar kita yang mengalami problematisasi diri akibat
bahasa masa lalu. Mungkin saja cerita-cerita tersebut
tidak terjadi dengan kita, namun rasanya menjadi baik
bilamana kita mencermatinya agar tidak terulang pada
perilaku kita pada anak di masa kini.
Seorang teman yang bekerja untuk sebuah NGO
internasional di Yogyakarta bercerita mengenai
pengalamannya mengelola kegiatan voluntarisasi yang
-
7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat
29/239
Yohanes Sanaha Purba | 24
acap berisikan anak-anak dari luar Indonesia. Biasanya
kelompok yang datang dari beberapa negara maju
seperti Amerika, Inggris dan Australia berisikan anak-
anak atau remaja yang sekolahnya mengikuti program
bantuan kemanusiaan internasional. Mereka biasanya
dikoordinasi oleh seorang officerNGO yang telah menata
jadwal dan berbagai aktivitas sosial selama beberapa
hari di lokasi kerja. Karena concern NGO tersebut adalah
bidang konstruksi khususnya pasca bencana, para
volunteer anak yang datang langsung turun ke lapangan
bekerja layaknya pekerja bangunan atau tukang dalam
bahasa Jawa.
Tanpa ragu dan dengan cekatan, mereka langsung
menjalankan aktivitas bertukang di tengah lokasi yang
jauh dari suasana tamasya layaknya turis asing. Mereka
turun ke lumpur, menuang semen cair, mencangkul dan
menggergaji kayu seolah sudah ahli. Kalaupunmelakukan kesalahan, mereka tidak tampak kecewa,
malu atau bersalah. Sebagian besar dari mereka dan
seorang guru yang biasanya menemani mereka di
lapangan tidak peduli dengan kesalahan-kesalahan tidak
sengaja yang dibuat seseorang,
-
7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat
30/239
Etika Pendidikan Anak | 25
Semuanya berkonsentrasi pada aktivitas masing-
masing. Suasana yang datang pun menjadi begitu
nyaman, tidak saling menonjolkan kehebatan namun
juga tidak saling berinteraksi bila tidak diperlukan.
Mereka tampak menikmati kerja sukarela sedahsyat
berlibur ke Bali atau berpesiar ke pulau seribu.
Ketika terik matahari mulai menyengat kuat,beberapa pekerja bangunan menepi di tempat teduh dan
beristirahat. Setidaknya ada tiga sesi rehat yang umum di
kalangan pekerja bangunan di Yogyakarta: jam 09.00;
jam 12:00; jam 15.00. Para sukarelawan anak yang ikut
bekerja di situ menjadi heran dan sedikit protes karenabegitu banyaknya jam istirahat di Indonesia. Beberapa
dari mereka mulai nekat untuk tidak ikut beristirahat dan
tetap bekerja pada jam 09:00 dan 15:00 ketika sebagian
besar tukangbangunan bahkan sempat tertidur.
Sesekali beberapa pekerja bangunan meneriaki
mereka untuk istirahat agar tidak sakit atau pusing
terpapar panasnya matahari. Hati-hati jangan terlalu
capek mbak, nanti sakit. Teriakan itu terutama ditujukan
pada para sukarelawan wanita yang ikut turun ke
lapangan. Bahkan sejumlah ibu-ibu korban bencana yang
berada di tepian lokasi kerja sambil menggendong anak
-
7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat
31/239
Yohanes Sanaha Purba | 26
dengan selendang batik meneriaki, walah ayu-ayu kok
nglepo to mbak ... (cantik-cantik kok menghaluskan
semen to...).
Mungkin karena tidak sungguh memahami bahasa
mereka, para sukarelawan baik pria maupun wanita yang
rentang usianya sekitar 1215 tahun tetap melanjutkan
pekerjaan bahkan tanpa rasa segera ingin selesai.Mereka sangat menikmati sampai harus meyakinkan
bahwa mereka baik-baik saja dan tak akan sakit hanya
karena matahari.
Sang guru yang mendampingi mereka dari sejak
berangkat hingga tiba di Indonesia juga tidak
memperdulikan pilihan para anak didiknya yang tetap
bekerja di tengah banyak pekerja bangunan Indonesia
ketakutan oleh matahari.
Begitu seterusnya hingga hari demi hari dilalui
tanpa satu pun dari sukarelawan yang sakit akibat tidak
beristirahat ketika bekerja. Semakin menarik lagi,
apapun yang sedang dikerjakan rasanya mereka sungguh
memahami berbagai kemungkinan terburuk. Mereka
memakai sun block dan menenteng tempat minum
kemanapun mereka pergi sehingga tak perlu ketakutan
-
7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat
32/239
Etika Pendidikan Anak | 27
pada dehidrasi dan alergi sengatan matahari. Semua
yang dijalankan oleh anak-anak barat tersebut ternyata
mempengaruhi atmosir bekerja di tengah pekerja
bangunan yang tentu lebih berpengalaman. Wajah-wajah
ceria dan perilaku yang tidak peragu atau setengah-
setengah justru memaksa banyak pekerja bangunan dan
pekerja sosial yang hadir di sekitar mereka ikut
beradaptasi.
Seorang teman yang menceritakan kisah
pengalamannya diatas rasanya tidak ingin berhenti
dengan satu kisah.
Ada kisah lain yang hendak diceritakannya ketika
harus mendampingi sukarelawan anak dan remaja yang
datang dari sebuah sekolah swasta besar di Jakarta.
Mereka datang dengan jumlah yang sama kelompok-
kelompok live in sebelumnya, sekitar 15 sampai 20
orang. Biasanya untuk mengefektifkan kegiatan,
kedatangan para siswa sekolah di lapangan sosial
dilakukan secara beruntun kelompok per kelompok atau
tidak datang secara bersamaan satu sekolah. Kali ini,
teman saya mendampingi di lokasi yang berbeda dengan
sebelumnya.
-
7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat
33/239
Yohanes Sanaha Purba | 28
Pada kisah sebelumnya, project relokasi pasca
bencana dilakukan di bantaran sungai code yang
terdampak lahar dingin pasca letusan merapi. Kali ini
project yang dilakukan adalah pembangunan saluran air
sehat yang rusak akibat bencana merapi. Bilamana
ditinjau dari lokasi kerja dan kompleksitas pekerjaan,
project kali ini lebih ringan karena sifatnya tidak
merekonstruksi reruntuhan namun justru membangun
pipa-pipa baru di tengah hijaunya ladang-ladang warga
desa pegunungan merapi.
Berbeda dari siswa-siswa negara asing, para siswa
Jakarta tidak harus memiliki daya belajar yang tinggikarena mereka hanya bertugas membantu memasang
pipa-pipa dan mengencangkan baut-bautnya.
Mataharipun tidak memapar kulit mereka karena
rimbunnya pepohonan.
Dengan suasana yang lebih ringan asumsinya
teman saya akan bernapas lega karena tugasnya
mendampingi tidak akan terlalu berat seperti
sebelumnya. Dia tidak harus memastikan setiap
kemungkinan kondisional yang bisa merugikan para
sukarelawan.
-
7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat
34/239
Etika Pendidikan Anak | 29
Namun kenyataan berjalan lain. Sejak kedatangan
pertama mereka di lokasi, para siswa Indonesia sudah
mengeluh pada gurunya dan selalu bertanya harus
berapa jam di tempat ini atau apakah setelah selesai
nanti kami boleh berjalan-jalan di Malioboro.
Tidak berhenti disitu, ketika waktu bekerja
dimulai, banyak siswa wanita yang kebingungan harusmengerjakan apa. Melihat suasana itu, para lelaki baik itu
siswa lain, warga setempat atau guru pendamping
mereka langsung beraksi membantu berbagai kesulitan
siswa wanita. Berkali-kali muncul teriakan aduh atau ah
gue nyerah deh dari gemulai para sukarelawan wanita.Buru-buru para lelaki bergegas membantu dan
menggantikan tugas.
Ketika keringat mulai menetes para siswa sudah
mulai kebingungan mencari air. Mereka selalu meminta
rehat di kala seluruh aktivitas sedang berlangsung.
Sesungguhnya mereka paham bahwa jam istirahat
bekerja adalah waktu umum para pekerja bangunan
berhenti: jam 09:00; jam 12:00 dan jam 15:00.
Karena wajah yang lelah dan memerah, guru dan
teman saya menyepakati tambahan jam istirahat khusus
-
7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat
35/239
Yohanes Sanaha Purba | 30
siswa yaitu jam 13:00. Itupun harus disertai kenyataan
bahwa pada hari sebelumnya seorang siswa pingsan.
Suasana yang sangat berbeda dengan kisah
sebelumnya yang tidak harus menimbulkan korban
akibat kelelahan. Wajar karena suasana kerja begitu
tegang dan serius. Wajah-wajah pucat dan ketakutan
membuat kesalahan muncul dalam kerja. Kesalahanmenjadi sumber memalukan bagi para siswa karena
artinya semakin merendahkan dirinya di tengah
kompetisi siapa yang paling jago dan kuat bekerja. Guru
pun seolah begitu teramat menyayangi siswa hingga
lebih sering berkeliling memeriksa kondisi siswanyadaripada berkonsentrasi pada pekerjaannya sendiri
mengencangkan baut pipa-pipa yang menjulur.
Kedua cerita diatas bilamana tidak hati-hati
dicermati bisa membangun pemahaman komparatif kita
mengenai anak lokal dan barat yang membuat kita
tergila-gila pada anak orang lain daripada anak-anak kita
sendiri. Tidak ada semangat dan satu pun upaya untuk
menuju ke arah itu.
Justru yang menjadi pertanyaan menarik adalah
ada apa di balik suasana yang membedakan antara kita
-
7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat
36/239
Etika Pendidikan Anak | 31
dan mereka, masyarakat negara maju. Sungguh penulis
juga tidak meyakini bahwa ada kaitan antara negara maju
atau negara berkembang dalam perbedaan tipologis
anak-anak. Justru kalau hendak dicermati, anak-anak
Jakarta jauh lebih maju secara teknologis daripada anak-
anak bule.
Setidaknya para sukarelawan dari Eropa danAmerika tidak selalu membawa smart phone mereka
ketika di lapangan. Penulis juga tidak menemukan
keterkaitan antara kondisi fisik anak Indonesia karena
iklim dan cuaca di negaranya sendiri tentu lebih
memungkinkan dirinya optimal dan tidak terpaparkelelahan bahkan pingsan di tengah kerja. Di tengah
pertanyaan besar dalam benak kita mengenai apa yang
membuat berbeda dalam dua kisah diatas, menjadi baik
untuk mencermati lanjutan kisah dari teman penulis
mengenai apa yang dipikirkannya atas pengalamannyasendiri.
Ada beberapa perbedaan sikap yang terjadi
antara guru pada kisah pertama dan kisah kedua. Pada
kisah pertama, teman penulis merasakan langsung
bagaimana guru hampir tidak berperan dalam
memutuskan arah dan berbagai kegiatan siswa. Guru
-
7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat
37/239
Yohanes Sanaha Purba | 32
selalu mengatakan: youve chosen atau thats a good
idea, lets make it best guys. Pertemuan-pertemuan
siswa di hotel ketika setelah dan sebelum bekerja selalu
dinisiatifkan oleh siswa sendiri dan guru biasanya
ditanya: could you come to our meeting tonight or
tomorrow morning?
Suasana ini tentu teramat berbeda denganperjumpaan teman saya dengan komunitas siswa dalam
kisah kedua. Peran guru sangat penting. Mulai dari waktu
beristirahat hingga makan, guru harus terus mengecek
dan mengetuk pintu siswa. Bilamana guru kelelahan,
siswa pun tidak peduli apakah dirinya sudah makan ataubelum.
Hal yang terutama paling membedakan adalah
mengenai diskusi setelah dan sebelum kerja sosial di
lakukan. Biasanya kegiatan ini dilakukan di lobi hotel.
Guru Indonesia akan berkata: segera rumuskan
pertemuan lalu hubungi saya. Sungguh disayangkan,
meski sudah diinstruksikan dengan sangat jelas, hingga
hari terakhir, guru selalu mendapati siswa yang tertidur
lelap dan lupa harus mengagendakan pertemuan.
Akhirnya kamar demi kamar harus diketuk oleh sang guru
yang lelah untuk memulai acara di hotel.
-
7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat
38/239
Etika Pendidikan Anak | 33
Rasa jengkel tentu menyeruak kuat dalam batin
kita. Kita diombang-ambingkan oleh keyakinan
pendidikan yang klasik atau modern. Keyakinan yang
juga menyudutkan kita pada pendidikan yang
membebaskan atau mengatur. Bilamana didiamkan maka
seolah siswa pun tidak tahu atau kadang seenaknya
sendiri. Begitulah kondisi yang familiar dijumpai baik
oleh orang tua, guru atau kita yang bertugas
mendampingi anak.
Semakin parah lagi bilamana kita begitu putus
asa menemukan jawaban dan mengatakan: memang
anak-anak Indonesia secara genetik pemalas, pasif dansemaunya sendiri. Kalimat tersebut kemudian
dilanjutkan, kalau gitu, kita membutuhkan pendidikan
yang ekstra disiplin dan militeristik karena itulah
kebutuhan kontekstual kita.Hal itulah yang menjadi
pergulatan diskusi antara penulis dan seorang temanyang kebetulan teman satu bangku ketika kuliah di
fakultas keguruan dan ilmu pendidikan. Kami berada di
persimpangan antara yang empiris dan yang teoritis atau
yang sungguh kami alami dan apa yang sudah kami
pelajari.
-
7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat
39/239
Yohanes Sanaha Purba | 34
Dalam kesempatan berbeda, teman tersebut
menceritakan masa kecilnya. Masa dimana berbagai
aturan ketat melingkupi hidup sang anak. Kita tentu tidak
asing dengan masa kecil yang penuh dengan suasana
yang seolah sangat melindungi kita dari berbagai
bahaya.
Teriakan seperti: tidur siang dik, nanti sakit atauhati-hati jangan lari-lari nanti jatuh acap kita dengar
dalam pergumulan hidup kita ketika masih kanak-kanak.
Mulai dari memanjat pohon, bermain di sungai, bermain
tanah hingga merangkak di kolong meja menjadi begitu
berbahaya selayaknya hidup di tengah hutan liar. Bahkanketika kita mulai mencintai tanaman dan bermain
menanam, muncul teriakan: hati-hati banyak ulat gatal.
Beberapa dari kita pun enggan berenang di lumpur
karena ingatan dengan kata: lumpur bekas tai kebo
isinya cacing semua lho dik, ati-ati cacingan. Hidupadalah ancaman dan penuh bahaya, itulah yang
ditanamkan atau tak sengaja menjadi pemahaman kita
hingga kini.
Pergulatan pribadi yang dialami seorang teman
justru terjadi ketika dirinya menemukan dua komunitas
anak yang berbeda dalam cerita sebelumnya. Kisah
-
7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat
40/239
Etika Pendidikan Anak | 35
pengalamannya yang pertama diceritakannya dengan
begitu berbinar-binar seolah begitulah yang diidealkan,
kumpulan pribadi anak yang bebas namun paham yang
sedang dan telah diputuskan sendiri untuk dilakukan.
Sekumpulan jiwa anak yang merdeka berpikir namun
bersemangat dalam membuat yang baru. Segala hal
begitu mengasyikkan.
Kisah kedua diceritakan dengan kekesalan,
sedikit nadanya menghentak namun kadang diselingi
senyuman sinis. Pengalaman mendampingi anak-anak
dari bangsa sendiri terdengar begitu suram. Segala hal
yang berkaitan dengan kegiatan anak harusdiinstruksikan oleh guru atau orang dewasa lainnya
kalaupun tidak sang guru harus berkata: saya
instruksikan pada siswa-siswa saya agar segala tindakan
dan aktivitas tidak perlu harus diinstruksikan.
Menggelikan namun itulah yang terjadi di tempat
dimana kita terbiasa dengan berbagai instruksi dan
peringatan sejak masih kanak-kanak.
Inilah kita pribadi-pribadi yang sudah meyakini
berbagai kebuntuan untuk berubah selain mengeluh
oleh berbagai hal yang ditemukan dan dikerjakan dalam
-
7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat
41/239
Yohanes Sanaha Purba | 36
hidup kita. Beberapa orang kemudian lari ke sudut
keyakinan agama untuk belajar bagaimana harus
bersyukur atas hidup dan segala kewajiban yang harus
kita kerjakan. Beberapa yang lain lari ke sudut rak buku-
buku motivasi yang seolah menawarkan perubahan cara
berpikir bahwa working is fun. Sedangkan sebagian
besar dari kita mungkin saja diam termangu meyakini
bahwa kita manusia yang lahir dari perut bangsa yang
terjajah, pemalas dan tak punya inisiatif. Untuk yang
terakhir biasanya kemudian memproyeksikan pendidikan
yang begitu amat ketat kepada anak-anaknya agar tidak
menjadi pemalas. Memaksakan anak melakukan dan
merengguh hal yang gagal diraih orang tuanya sendiri
merupakan gambaran nyata dari keluarga-keluarga di
sekitar kita.
Wow disitulah ternyata kami menemukan titik
temunya. Kami menemukan titik temu dari persoalanmental yang terjadi pada anak-anak Indonesia dan
bahasa yang acap atau terbiasakan didengar anak dalam
aktivitasnya sehari-hari. Setelah diskusi bersama teman
usai, penulis melanjutkan penelusuran pada berbagai
kalimat yang sering kita jumpai pada masa lalu kita.
Sebagian mungkin tidak kita alami namun baik bilamana
-
7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat
42/239
Etika Pendidikan Anak | 37
kita cermati arah pembentukan pribadi dan implikasi
psikologisnya mengingat kita bisa turut serta
membahasakannya pada anak-anak di sekitar kita.
Berikut dibawah ini sebuah tabel yang akan membantu
kita mengolah kembali pengalaman kita dengan bahasa
yang pernah dimunculkan pada masa lalu kita.
-
7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat
43/239
Yohanes Sanaha Purba | 38
Instruksi /
Peringatan pada
Anak
Kemungkinan Kondisi Motif Penyampaian
1. Hati-hati naik
sepeda nanti jatuh
Ketika kita pertama
kali mencoba berlatihsepeda atau sekedar
bersepeda kelilinglingkungan sekitarrumah.
Dimaksudkan untuk
melindungi kita dari bahayayang bisa menimbulkan cacat
permanen
2. Hati-hati dik,jangan lari-larinanti capek
Dalam permainan anaktradisional,permainan didominasi
gerak kinaesthetic,
salah satunya berlari
Dimaksudkan untukmenghindarkan kita menjaditerlalu lelah dan sulit
tidur terutama di malam
hari
3. Jangan hujan-hujan,
ntar masuk angin
Biasanya kita atau
anak-anak pada
umumnya menyukaibercanda di bawah
Hujan yang deras selain
mengasyikan bisa
menimbulkan demam sehinggaorang tua kadang khawatir
-
7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat
44/239
-
7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat
45/239
Yohanes Sanaha Purba | 40
atau tidak sopan
hanya karenaberbicara di ruangkelas bahkan ketika
guru tidak sedangbicara ataumenerangkan
dalam kelas pada masa
tertentu sangat ditentangdalam tradisi persekolahankarena dianggap sebagai
keliaran.
6. Kalau lewat jalanitu kamu hati-hati,
hiiii banyak
setannya
Dalam suasana yanglain, kita sering
ditakut-takuti pada
hantu atau makhlukhalus di pinggir
jalan atau tempat-tempat tertentu. Acap
juga kita
diperingatkan janganterlalu larut sampai
rumah agar tidakdiganggu makhluk
Dimaksudkan untukmenghindarkan kita dari
tempat asing yang cenderung
menakutkan bagi orang tuakita. Dalam tradisi lokal,
hilangnya anak acapdikaitkan dengan hal-hal
mistis. Suasana ini
kemudian digunakan untukmelarang kita keluar rumah
hingga jam tertentu.
-
7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat
46/239
Etika Pendidikan Anak | 41
sejenis.
7. Hati-hati jangan
kepanasan, nantipusing
Sepulang sekolah,
kita seringmeluangkan waktu
untuk bermain di
sekitar rumah ataubersepeda sekedar
untuk menyegarkandiri, namun panasnya
matahari acap
dijadikan sumbermasalah dan penyebabketika kita sakit.
Dimaksudkan untuk
menghindarkan kita darisakit akibat matahari yang
terlampau panas dan
meningkatkan suhu tubuhkita.
8. Jangan main terus
dik, ayo belajar
nanti nggak naik
kelas malu lho
Di tengah lelah kita
belajar, ada masa
dimana kita ingin
menghela napasbermain sesuai
Ketidaknaikan kelas adalah
hal yang paling dirasakan
sebagai aib oleh kita
ketika bersekolah. Simboldari kebodohan dan
-
7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat
47/239
Yohanes Sanaha Purba | 42
keinginan kita, namun
tiba-tiba munculperingatan yangmengingatkan kita
pada kemungkinankegagalan studi.
kemunduran yang terus kita
hindari. Bagi sebagian darikita, tidak naik kelasseolah menjadi pengalaman
pahit dalam kehidupansosial dan justru bukandalam pengalaman studi.
Bukan saja kita, orang tuajuga ikut malu denganketidakmampuannya
melancarkan studi kita.
9. Hati-hati kalau
berteman sama orangitu, nanti kamu
dicurangi
Baik di sekolah atau
di rumah kita acapmemiliki kawan dekat
yang orang tua kita
kenali. Lepas daribenar atau salah,
orang tua acapmemperhatikan asal
Suasana termanfaatkan
kadang justru menjadisimbol penerimaan sosial
bagi kita. Ketika
masyarakat membutuhkan kitaatau sahabat memerlukan
bantuan kita, perasaanmenjadi berguna begitu kuat
-
7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat
48/239
Etika Pendidikan Anak | 43
usul dan penampilan
teman kita hinggakadang menarikkesimpulan tentang
sifat pribadi temankita.
dalam diri kita. Namun
dalam sebagian kasus, kitamungkin mengalami suasanadimana orang lain mengambil
untung yang terlalu besarpada kita hingga kitasendiri dirugikan.
10. Hati-hati itupisau, nanti luka,
biar mama yang iris
bawang
Muncul keinginan kitauntuk menirukan
keasyikan orang
memasak entah itu ibuatau pedagang makanan
di sekitar kita.
Benda-benda di sekitar kitabegitu menarik untuk
digunakan. Agar tidak
membahayakan kita sebagaipemakai pemula, benda-benda
tajam acap menjaditerlarang bagi kita.
11. Hati-hati banyakularnya, bisa mati Kita biasa begitubernapsu ketika
melihat lahan kosong
Tingginya kasus kematiananak akibat patukan ular
menyebabkan beberapa orang
-
7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat
49/239
Yohanes Sanaha Purba | 44
digigit yang lebar dan
memungkinkan kitabermain bebas entahbersama teman atau
sendirian. Semakintertutup tanaman,kita justru
menginginkantenggelam dalamrimbunnya flora.
tua khawatir bilamana kita
memasuki tempat yangpotensial sebagai habitatular. Biasanya tempat
dengan tumbuhan rumput yangmeninggi. Tanpa pengawasanorang tua, kita
dikhawatirkan mengalamipatukan beracun ular.
12. Jangan main api,
kebakaran
Api adalah materi
yang menarik bagikita karena bisa
merubah bentuk materilain menjadi abu.
Kita pun menyukainya
atau bahkan sedikitkeheranan oleh cahaya
yang mungkindibuatnya. Korek api
Bahan mudah terbakar di
rumah kita dikhawatirkanakan terpicu oleh permainan
api yang kita lakukan meskihanya sekedar untuk mengisi
waktu. Orang tua juga
mengkhawatirkan bilamanakita tersengat oleh panas
api sekecil apapun karenacukup menyakitkan.
-
7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat
50/239
Etika Pendidikan Anak | 45
biasanya benda yang
oleh beberapa darikita sungguh disukai.
13. Jangan malas, ayokerja!
Kita acap memilihbermain atau bekerja
di tengah suasanakerja dimana orangtua atau orang disekitar kita saling
sibuk. Kita terkadang
tidak mengenal waktukarena kebahagiaan
kita ada di aktivitasyang memang kita
pilih sendiri dan
tidak dipilihkanlayaknya pekerjaan.
Dimaksudkan untukmenghindarkan kita dari
pola hidup yangmenggagalkan masa depankita. Permainan pada masatertentu dianggap menjadi
biang keladi yang
menjauhkan kita darikebiasaan rajin dan tekun
bekerja. Bekerja sendiriscope-nya masih terbatas
pada pekerjaan-pekerjaan di
dalam rumah.
-
7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat
51/239
Yohanes Sanaha Purba | 46
14. Jangan senang-
senang, nanti gagal
masa depanmu
Hampir sama dengan
anjuran belajar,
beberapa dari orangtua kita di masa lalu
yang melihat
aktivitas kitabersenang-senang atau
bahkan sekedarrefresing sebagai hal
yang tabu karena
memboroskan waktuterutama bagi kitayang berasal dari
keluarga yang tidaksungguh berkemampuansecara ekonomi.
Bersenang-senang identik
dengan kata foya-foya bagi
sebagian besar orang tuadari kalangan pekerja
keras. Meski tidak
menghabiskan banyak waktu,bersenang-senang
dikhawatirkan menimbulkanhasrat mencandu yang
menjauhkan kita dari
semangat melakukantindakan-tindakanfungsional seperti belajar
dan bekerja.
15. Hati-hati janganlupa PR kamu, nanti
dihukum kalausampai nggak
Dari sekian banyakalasan kita
mengerjakan PekerjaanRumah yang diberikan
Dimaksudkan untukmenumbuhkan kedisiplinan
dan inisiatif ketekunankita dalam belajar.
-
7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat
52/239
Etika Pendidikan Anak | 47
selesai guru di sekolah
adalah karenakonsekuensi dimarahiatau dipermalukan
sebagai sang pendosadi hadapan komunitaskelas bilamana tidak
mengerjakan.
16. Hati-hati jangan
dekat-dekat anjing,
nanti digigit ...rabies ... bisamati
Kita menyukai anjing
atau hewan lain yang
mengasyikkan karenakejinakannya atauperilakunya yang lucu
lepas daripengetahuan kita akanpenyakit, konsekuensi
berbahayanya danpengetahuan mengenai
sebagian agama yangmungkin melarangnya.
Dimaksudkan untuk
menghindarkan kita dari
kemungkinan tergigit olehanjing atau hewan lain yangsejenis. Sebagian dari kita
juga menghindari jenis-jenis hewan tertentu yangdiharamkan oleh agama.
Rabies sebagai penyakityang dibawa melalui air
liur anjing kerap dijadikanalasan untuk menakuti atau
-
7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat
53/239
Yohanes Sanaha Purba | 48
membentuk rasa benci bahkan
jijik kita pada anjingsekalipun mereka tidakmenggigit.
17. Hati-hati, dia
orang asing, nantidiculik
Orang yang hadir di
sekitar kita ketikasedang di luarlingkungan rumahsering tidak kita
kenali. Beberapa
diantaranya terkadangsangat baik meski
tidak mengenal kita.Menawarkan makanan,
minuman atau bahkan
mengantar pulangsekolah acap
dilakukan suatu waktuolehnya pada kita.
Tingginya kasus penculikan
anak di masa tertentu telahmendesak sebagian dariorang tua kita untukmewaspadai kemungkinan
terculiknya kita. Modusnya,
orang asing memberikantawaran diantar pulang pada
anak ketika berjumpa didepan sekolah untuk
kemudian dibawa ke tempat
yang asing. Disitulah parapenculik beroperasi memeras
orang tua yang anaknyadisekap.
-
7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat
54/239
Etika Pendidikan Anak | 49
18. Ayo berdoa, nanti
masuk neraka kalaunakal
Kita sering
diperkenalkan padaTuhan sebagai sosok
kuat yang mudah marah
dan menghukumbilamana kita
bersalah. Suasanayang kadang membuat
kita sangat takut
bilamana lupa berdoakarena segala halburuk yang terjadi
kemudian sering kitakaitkan begitu sajadengan kesalahan itu.
Orang tua mengenalkan agama
kepada kita dengan berbagaicara salah satunya dengan
kewajiban beribadat dan
berdoa pada waktu-waktutertentu. Sejumlah orang
tua memiliki cara yangumumnya digunakan yaitu
memahamkan kita mengenai
konsekuensi neraka dalamkehidupan setelah mati.Selain karena kebutuhan
religi, orang tua kerapmendorong anak berdoakarena tidak ingin kita
dijauhi secara sosial olehkomunitas agama kita karena
kemalasan kita berdoa.
-
7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat
55/239
Yohanes Sanaha Purba | 50
Dalam perjalanan, sebagian dari kita memiliki
berbagai perilaku yang berkaitan erat dengan oleh
bahasa-bahasa yang berdengung terus dalam otak kita
dan mengkondisikan kita menjadi pribadi tertentu
seperti saat ini. Lepas dari motif dan tujuan penggunaan
bahasa instruksi atau peringatan oleh orang tua pada kita
di masa lalu, berbagai kemungkinan pembentukan diri
yang menyimpang potensial terjadi.
Implikasi dari bahasa masa kecil tidak sama di
setiap pribadi karena dalam masing-masing kehidupan
kita, pengolahan atas peristiwa-peristiwa kehidupan lain
sangat mungkin memperbaiki bahkan menyembuhkanimplikasi negatif dari beberapa pola bahasa diatas.
Berbagai kemungkinan implikatif yang muncul dalam
penelusuran penulis juga tidak serta merta selalu dan
pasti terjadi dalam hidup kita karena konteks kehidupan
setiap pribadi pastilah unik sehingga tidak mungkindigeneralisasi.
Kebutuhan kita adalah mencoba mengolah
kemungkinan implikatif dari pembentukan diri kita di
masa lalu. Untuk membantunya, penulis membangun
sebuah tabel yang menguraikan berbagai kemungkinan
-
7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat
56/239
Etika Pendidikan Anak | 51
negatif dari 18 pola bahasa yang digunakan orang tua
kita di masa lalu. Dari tabel tersebut kita akan
membiasakan diri kita untuk membongkar secara kritis
masa lalu dan kekinian hidup kita.
-
7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat
57/239
Yohanes Sanaha Purba | 52
Instruksi /
Peringatan pada
Anak
Kemungkinan Implikatif
Hati-hati naik
sepeda nanti
jatuh
Sebagian orang hingga usia dewasa tidak memiliki cukup
keberanian bersepeda karena ketakutan oleh konsekuensi yang
ditimbulkannya. Sebagian yang lain mulai enggan bersepedakarena resiko jatuh atau tertabrak pengguna jalan yang lain.
Resiko terburuk seolah menjadi hal pertama yang muncul di
pikiran sebelum memutuskan untuk bersenang-senang dengansepeda. Di luar kasus sepeda, kita sendiri menjadi mudahterbentuk sebagai pribadi yang selalu menggunakan resiko
terburuk dalam pilihan kita. Hal tersebut tidak sama sekali
salah, karena benar atau salah bukan tujuan bahasan ini,namun kita menjadi pribadi yang tidak spontan karena selalu
meragukan berbagai tindakan yang hendak kita lakukan. Ketika
waktu menuntut kita untuk memilih tindakan dengan cepat,
kita bisa jadi menjadi pribadi yang selalu terlambat karenatakut pada resiko yang terburuk. Spontanitas yang terhambat
-
7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat
58/239
Etika Pendidikan Anak | 53
membuat kita tidak mampu menikmati hidup yang dipenuhi hal-
hal baru yang berlalu dengan cepat. Mempertimbangkankonsekuensi dari pilihan tindakan tidak sama denganmeragukan sebuah pilihan karena gambaran resiko terburuk
yang membayangi otak kita. Akhirnya kita menjadi pribadiyang tidak sempat menikmati pengalaman bersepeda karenafokus aktivitas kita adalah upaya untuk tidak jatuh.
Hati-hati dik,
jangan lari-
lari nanti
capek
Lelah menjadi konsekuensi dari aktivitas fisik yang kitalakukan. Beberapa dari kita menjadi begitu membenci kondisi
lemah tubuh kita ketika lelah. Pola semacam ini muncul bukan
karena kita membenci suatu aktivitas seperti berlari ataubekerja pada bidang tertentu namun lebih karena keenggananpada kelelahan sebagai sebuah konsekuensi. Persoalannya
adalah tidak ada tindakan atau pekerjaan yang tidakberkonsekuensi lelah. Pola yang terjadi adalah, kita tidakmampu menikmati lelah. Kebencian kita pada kondisi lelah
membuat kita memilih aktivitas-aktivitas yang ringanmeskipun tidak cukup menghasilkan baik kesenangan maupun
penghargaan hidup atas diri kita sendiri. Ada masa dimanakita menjadi sungguh mengalami hidup ketika mampu menghadapi
-
7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat
59/239
Yohanes Sanaha Purba | 54
lelah dengan nikmat daripada menghindarinya hingga lelah
sendiri.
Jangan hujan-
hujan, ntar
masuk angin
Masuk angin merupakan salah satu penyakit yang familiar bagimasyarakat Indonesia khususnya anak-anak. Hujan sendiri
mengandung keasyikannya sendiri karena tidak merupakan hal
yang terbuat oleh manusia. Hujan datang di waktu yangspontan dan memiliki makna keindahan, kebebasan dan
kesejukan. Banyak seniman dan sastrawan menggunakan hujansebagai bagian dari karyanya. Masuk angin oleh karena
kehujanan menjadi bagian yang adil ketika kita hendak
menikmati hujan sebagai sebuah permainan. Lepas darikemungkinan sakit karena sergapan dinginnya hujan, anak yangtakut mengambil resiko spontan bermain di bawah derasnya
hujan mungkin akan terbentuk menjadi pribadi yang engganmemilih resiko dibalik kemampuan mengekspresikan diri ditengah alam yang menyenangkan. Hujan menjadi faktor yang
begitu negatif bagi banyak pribadi hingga banyak diantarakita sekedar menikmati hujan sepanjang hidup kita dari
tempat yang teduh tanpa sekalipun pernah sengaja memainkanair di bawah runtuhan hujan yang mendinginkan hati. Kita
-
7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat
60/239
Etika Pendidikan Anak | 55
acap menjadi penikmat daripada pelaku kehidupan yang lama
kita inginkan namun takut akan resikonya. Banyak resiko itusendiri sebenarnya bisa diatasi, sebagai contoh masuk angintentu bukan penyakit yang tanpa obat. Sayangnya, kita acap
memilih mengorbankan keinginan dan kebahagiaan kita karena
malas mengatasi resiko dari pencapaian keinginan kita.
Ih... kotor
lho, jangan
main tanah,
banyak cacing,
ntar sakit
cacingan
Tanah dan batu kerap menjadi media seni yang menghasilkan
berbagai bentuk seperti patung, pahatan, guci bahkanbangunan rumah atau monumen. Dalam beberapa aliran seni,
lumpur bahkan menjadi bagian dari pertunjukan seni tari.
Dibalik semuanya, tanah bukan materi yang steril semenjakpembusukan di dalamnya menimbulkan kehidupan bagi tanamanyang tumbuh di atasnya. Tentu berbagai hewan yang kelihatan
dan tidak kelihatan oleh mata manusia tinggal di dalamnya.Salah satunya adalah cacing. Cacing kerap menjadi obyek yangmenimbulkan trauma pada anak dan orang dewasa. Ketakutan
pada bentuk yang dipersepsikan mengerikan mebuat banyakorang menghindar dari permainan tanah dan menggesernya pada
bahan sintetik yang dipajang di toko mainan atau stationary.Persoalannya lagi-lagi berkaitan dengan kemungkinan
-
7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat
61/239
Yohanes Sanaha Purba | 56
munculnya perilaku paranoid atas tanah yang seolah
mendakwanya sebagai sumber penyakit. Menjadi kotor seolahbegitu tabu dan dipersoalkan juga secara kesehatan sehinggamenghentikan langkah kita untuk beraktivitas. Dimulai dari
tanah, banyak dari antara kita menabukan permainan tanah dihalaman rumah karena cara kita melihat tanah yangmenjijikan. Kita bahkan tak pernah membiarkan diri kita
tanpa alas kaki di tanah. Resiko kotor atau cacingan sendirisecara logis mudah ditanggulangi, namun kita lebihberkonsentrasi kepada resiko tersebut daripada menerima
bahwa setiap hal tidak terlampau seberbahaya dan menakutkan
seperti yang kita pikirkan. Bukankah udara juga mengandungkelemahannya karena berbagai partikel dan hewan mikro hidup
di dalamnya. Apakah dengan begitu kita menjadi takut padaudara? Sebagian dari kita mungkin begitu higienis dalam
kehidupan sehingga sebagai manusia kita kehilangan kemampuan
untuk percaya diri mengatakan Ill survive ketika
kehilangan berbagai proteksi atas kenyamanan, kesehatan dan
kebersihan. Daya eksplorasi dan kemampuan hidup kita menjadi
sedemikian terbatas karena seolah alergi pada kehidupan yangmemaksa kita keluar dari zona aman. Mari kita tarik
-
7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat
62/239
Etika Pendidikan Anak | 57
kebelakang, apakah manusia Indonesia di masa lalu punah
hanya karena tidak memakai sandal dan hidup berlantai tanah?
Hati-hati
kalau bicara,
nanti kena
marah guru
Perdebatan tradisional yang muncul dalam ilmu pendidikan
sudah lama mengolah sejauh mana ruangan kelas menjadi tempatyang komunikatif, penuh aktivitas relasional atau diam dalam
tipologi sistem ceramah. Setidaknya muncul aliran pengajaransatu arah (monologis) atau dua arah (dialogis).Persoalannya, ruangan kelas pada masa lalu menjadi tempatdimana mencatat dan mendengarkan sebagai aktivitas pasif
(passive learning) masih berjalan secara umum dan diterima
khalayak. Berbicara dan mengemukakan pendapat hal yang tabuatau setidaknya kita mewarisi keyakinan bahwa merespon guru
sebagai yang dituakan pun menjadi bentuk ketidaksopanan itusendiri. Setidaknya masih banyak guru, termasuk penulis,
yang bergulat dengan dirinya sendiri ketika harus menghadapi
arus kesetaraan guru-siswa di kelas. Inilah implikasinya,kita menjadi pribadi yang begitu enggan berbicara dihadapan
yang dituakan atau dihormati bahkan di tingkat pertemuan-pertemuan kerja karena kebiasaan hirarkial yang ditanamkan
-
7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat
63/239
Yohanes Sanaha Purba | 58
secara serampangan. Sebagai lanjutannya, kita sendiri merasa
jengah ketika rekan kerja, murid atau orang lain yangdianggap sebagai pihak yang berada dibawah kita secarahirarkial mencoba berbicara atau bahkan mengkritik kita.
Kita hidup dalam masyarakat setara namun secara bawah sadarkita sendiri mereproduksi pola tradisional yang masihmenempatkan tingkat-tingkat sosial atas dasar usia, jabatan
dan pengalaman di wilayah pergaulan sosial. Kita membencihirarki yang penuh unggah-ungguh tanpa kebenaran yangterpaparkan secara transparan namun kita menikmatinya ketika
menjadi pihak yang diuntungkan oleh peran sebagai orang tua,
guru, pemimpin dan yang ditokohkan. Kita rela mati untukmempertahankan peran menguntungkan itu hanya untuk merenggut
kebebasan bicara tanpa rasa enggan. Padahal, tanpa itu semuakita masih berhak berbicara dengan nyaman meski di hadapan
yang dituakan.
Kalau lewat
jalan itu kamu
hati-hati,hiiii banyak
Televisi oleh sejumlah pakar komunikasi menjadi bagian yang
penting dalam mengkonsepsikan selera dan hasrat bawah sadar
masyarakat. Rating program-program yang menayangkan kupasanmengenai dunia mistis selalu tinggi hingga hampir seluruh
-
7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat
64/239
Etika Pendidikan Anak | 59
setannya stasiun televisi memiliki program sejenis. Pembahasan yang
meletakkan lokasi-lokasi tertentu sebagai tempat berhantubukan muncul hari-hari ini saja namun bilamana kita tarik kebelakang, kita akan melihat narasi yang sama namun dalam
bentuk kisah tuturan dari orang tua, tetangga atau temankita. Lepas dari benar atau salah isi cerita tersebut, kitaacap melihat bagaimana kisah tersebut digunakan untuk
menguasai pikiran kita sebagai anak. Dengan cara yang sama,orang tua atau orang lain di sekitar kita menghindarkan kitauntuk melakukan sesuatu dengan alasan yang menggetarkan bulu
kuduk kita. Lambat laun tanpa kita sadari kita acap
membatasi diri kita dengan hal-hal yang lain melaluipenciptaan atas ketakutan pada berbagai narasi mengenai
kisah mistik. Sekalipun narasi itu benar, kita tetapmemerlukan kemampuan untuk menabrak ketakutan kita sendiri
dan merasakan pengalaman yang terbatasi olehnya.
Persoalannya bukan persoalan membuktikan atau mencoba namunbilamana kita tengok dalam pengalaman kita, berapa puluh
atau bahkan tempat yang tak pernah kita masuki akibat sebuah
cerita. Bilamana Columbus memakai cara berpikir danbertindak yang sama dengan kita, kita tidak pernah menyadari
-
7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat
65/239
Yohanes Sanaha Purba | 60
bahwa bumi ini berbentuk bulat. Hanya oleh sebuah narasi,
kita terenggut hak untuk merasakan pengalaman berada disebuah tempat tertentu atau pengalaman melakukan sesuatuyang baik.
Hati-hati
jangan
kepanasan,
nanti pusing
Hampir sama dengan ketakutan akan hujan, panas matahari
kerap dikambinghitamkan sebagai penyebab rasa pusing dikepala. Kita tidak sedang membicarakan pembuktian ilmiah
kedokteran mengenai panas matahari dan kesehatan disini.Yang sedang kita lakukan adalah mencoba meniadakan perasaan
cemas mengenai kondisi alam di sekitar kita yang membatasi
diri dalam berperilaku dan beraktivitas. Bahwa sengatanmatahari bagi sebagian orang bisa menimbulkan efek alergisberlebih tidak menjadi persoalan yang hendak dibicarakan
disini, namun bagaimana fokus pilihan yang akan kita lakukansedapat mungkin tidak terpancang pada kemungkinan terburukdari hal tersebut. Terkadang kita memutuskan untuk tidak
melakukan sesuatu karena hambatan natural dari kondisilingkungan di sekitar kita hingga kita melupakan cara
mengatasinya. Marilah kita kembali pada kisah di awal bukuini yang menceritakan bagaimana anak-anak barat telah
-
7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat
66/239
Etika Pendidikan Anak | 61
mengatasi paparan sinar matahari dengan sun block, sebuah
topi dan sebotol minum di pinggang mereka. Pada kesempatanyang sama, sekelompok anak-anak Indonesia mengeluh lelah danbahkan pingsan karena kondisi lingkungan yang lebih ringan
hanya karena tidak berinisiatif menggunakan topi dan botolminuman secukupnya. Kalau akhirnya mereka menggunakan topi,itupun karena guru memerintahkannya begitu. Cara kita
melihat rintangan sebagai hambatan atau justru sebagaitantangan untuk diatasi tergantung dari bagaimana masa lalukita dibentuk.
Jangan main
terus dik, ayo
belajar nanti
nggak naik
kelas malu lho
Jangan malas,
ayo kerja!
Jangan senang-senang, nanti
Bermain adalah hal yang mengasyikkan namun tidak semua darikita meyakini bahwa belajar adalah hal yang serupa. Agak
sulit untuk menyatukan kegiatan belajar dan bermain dalamsatu aktivitas mengingat keduanya dipersepsikan salingbertolak belakang. Setidaknya berbagai upaya secara teoritis
dan praktis terus diujicobakan dalam dunia pendidikan. Lepasdari berbagai upaya untuk membangun kemungkinan belajar yangsemengasyikan bermain, kita perlu membongkar darimana asal
dualisme bermain dan belajar dalam masa lalu hidup kanak-kanak kita. Rasanya tepat untuk mengatakan bahwa sejak mula
-
7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat
67/239
Yohanes Sanaha Purba | 62
gagal masa
depanmu
Hati-hati
jangan lupa PR
kamu, nanti
dihukum kalau
sampai nggak
selesai
kita ditanamkan bahwa kegiatan bermain yang kita lakukan
sama sekali kehilangan fungsi positifnya. Beberapa orang tuadi masa lalu, mungkin hingga sekarang, seolah meyakini bahwakegiatan atau aktivitas yang menyenangkan seperti sebuah
permainan merupakan kesia-siaan atau penghamburan waktutanpa guna. Dengan cara yang lain, keyakinan bahwa belajarmerupakan kegiatan yang berguna namun tidak mengasyikkan
menjadi kebenaran yang absolut. Duduk dengan buku dan alattulis di hadapan kita adalah indikator aktivitas belajar.Semakin menderita kita belajar, semakin kuat upaya
meyakinkan kita bahwa penderitaan tersebut dibutuhkan demi
menyelamatkan diri dari kegagalan. Pola semacam ini akanmembentuk kita sebagai pribadi yang meyakini bahwa tindakan
menyenangkan akan berujung pada kegagalan bahkan merupakansebuah dosa. Sebaliknya, pilihan yang paling berkonsekuensi
pada keterpaksaan dan penderitaan akan berujung pada
keberhasilan. Setidaknya peribahasa berakit-rakit dahulu,berenang-renang ke tepian menjadi kebenaran takterbantahkan dalam dunia anak dan pendidikannya. Menjadi
sulit bagi kita untuk kemudian memahami orang yang mampumenikmati pekerjaan dan pembelajaran layaknya sebuah
-
7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat
68/239
Etika Pendidikan Anak | 63
permainan yang menyenangkan hingga berujung kesuksesan.
Belakangan, kita juga semakin kerap melihat orang yangmemilih hidup dalam kehancuran karena seolah tidak mampumenemukan pekerjaan atau pembelajaran yang disenanginya
namun selalu takut akan kegagalan di masa depan.
Hati-hati
kalau berteman
sama orang
itu, nanti
kamu dicurangi
Hati-hati, dia
orang asing,
nanti diculik
Persahabatan tidak selalu berujung manis, beberapa kalidalam hidup kita pastilah diwarnai perasaan dirugikan. Kita
selalu menjadi pihak yang terugikan, setidaknya begitu versipersepsi kita berbicara. Tidak jarang kita kemudian menjadi
sedemikian traumatis dalam kehidupan sosial. Beberapa orang
bahkan begitu mudah mencurigai seseorang yang baruditemuinya atau masuk dalam kehidupannya, entah olehpekerjaan atau tuntutan natural lingkungan sosial. Kenyataan
mengenai sejumlah orang di luar diri kita yang memiliki niatjahat kepada kita tidak bisa dipungkiri. Orang tua kitatentu sadar betul dengan pola kehidupan sosial semacam itu.
Namun menjadi titik persoalan bilamana di masa lalu kitabegitu mudah ditanamkan perasaan curiga oleh faktor-faktor
eksternal dari teman kita. Tidak mudah mengenali niat burukseseorang namun bukan berarti bahwa penampilan, latar
-
7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat
69/239
Yohanes Sanaha Purba | 64
belakang keluarga dan status ekonomi menjadi indikator yang
layak digunakan. Orang tua pada masa lalu, tidak semuanyanamun cukup banyak yang mentransferkan rediksionismekultural feodalistik mengenai sifat seseorang melalui asal-
usulnya. Tidak jarang pada suasana batin kita masa itubertentangan kuat namun otak bawah sadar kita merekam dansangat memungkinkan mereproduksinya dalam kehidupan dewasa
kini. Meskipun benar bahwa secara sosial banyak pribadi yangberniat merugikan kita atau kalaupun memang merekadiindikasikan dari asal-usul dan status sosialnya, tidak
sepantasnyalah kiat menjadi pribadi yang penakut, pencuriga
dan peragu dalam berteman. Seperti mencintai, bertemanmemiliki resiko yang sama, setidaknya hancurnya kepercayaan
dan relasi interpersonal. Yang lebih penting lagi, kitasebaiknya mulai menyadari bahwa dalam berbagai cara yang
berbeda, orang lain juga mungkin menilai kita sebagai
pribadi yang merugikan dan membahayakan kita. Dengan katalain, bukan tidak mungkin suatu saat atau bahkan sudah
terbentuk suatu masyarakat yang di dalamnya berisikan
kumpulan orang-orang yang saling mencurigai dan seolahsaling membahayakan satu sama lain. Semuanya tergantung
-
7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat
70/239
Etika Pendidikan Anak | 65
dari bagaimana masa lalu masyarakat tersebut dibentuk
terutama ketika seluruhnya masih kanak-kanak.
Hati-hati itu
pisau, nanti
luka, biar
mama yang iris
bawang
Jangan main
api, kebakaran
Keinginan untuk mengimitasi kegiatan orang dewasa sudahmuncul sejak kita masih kanak-kanak. Memasak bisa jadi satu
pilihan dari sekian kegiatan lain yang melibatkan berbagai
resiko di dalamnya. Tajamnya pisau dan panasnya api adalahkemungkinan resiko yang membahayakan sehingga kadang menjadi
penghambat untuk mencoba hal yang baru. Kalaupun tetapdilakukan, memasak menjadi aktivitas yang menuntut kita
untuk terus berwaspada agar tidak terluka. Fokus kita dari
eksplorasi kemungkinan berinovasi dengan masak menjaditerkorbankan oleh rasa takut kita akan luka yang mungkinterjadi selama kita memasak. Suasana semacam itu tentu tidak
menjadi harapan orang tua kita di masa lalu, namunpenyampaian resiko yang berlebihan dalam penekanannya sangatmungkin membuat kita menjadi pribadi yang akhirnya tidak
sempat merasakan nikmatnya pengalaman memasak. Hari-hariini, kita acap menjalankan aktivitas dalam kehidupan sehari-
hari yang penuh resiko hingga kita tidak cukup menikmatinya.Kuncinya adalah pada fokus kita yang lebih ditujukan pada
-
7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat
71/239
Yohanes Sanaha Purba | 66
keselamatan diri daripada kemungkinan beraktualisasi dari
setiap kegiatan itu. Bekerja sebaik-baiknya agar tidakdipecat atau bangkrut membuat kita melupakan bahwa melaluipekerjaan itu, kita bisa berinovasi bahkan beraktualisasi
hingga merasakan hidup yang sebenarnya.
Hati-hati
banyak
ularnya, bisa
mati digigit
Hati-hati
jangan dekat-
dekat anjing,
nanti digigit
... rabies ...
bisa mati
Hampir sama dengan pola peringatan yang melibatkan faktor-faktor magis seperti telah dibahas sebelumnya atau gigitan
anjing sebagai resiko berdekatan dengannya, orang tua acapmemulai pembentukan rasa takut sejak kita masih kanak-kanak
di masa lalu. Agak tipis membedakan antara kewaspadaan dan
ketakutan akan tergigit oleh anjing atau terpatuk oleh ular.Namun kita tidak sedang berbicara mengenai pembentukantrauma atau persepsi negatif atas hewan tertentu, kali ini
kita akan membongkar bagaimana kita terbentuk untukmembatasi diri pada aktivitas tertentu di tempat yangtertentu pula. Pembatasan ini diakibatkan oleh keraguan yang
muncul pada suatu wilayah baru dan bukan lebih padakewaspadaan. Sebagian orang yang masa kecilnya terbentuk
untuk meragukan tempat yang asing atau liar dalam artiantertentu bisa jadi diakibatkan oleh upaya menakut-nakuti
-
7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat
72/239
Etika Pendidikan Anak | 67
yang ditanamkan sejak kecil. Kita bisa membayangkan betapa
terbatasnya kita bilamana disandingkan dengan para pendakigunung atau petugas penyelamat (SAR) yang tidak pernah raguturun ke alam liar untuk menjalankan fungsinya. Lebih amat
disayangkan lagi bilamana kita menjadi pribadi yang selaumengedepankan kemungkinan terburuk dari langkah-langkah kitamemasuki wilayah baru yang tidak harus diartikan sebagai
hutan atau lingkungan alam lain, melainkan kehidupan itusendiri. Cukup banyak anak muda yang kesulitan memutuskanmenikah hanya karena takut tersakiti sama seperti masa
kecilnya yang ragu mengeksplorasi ladang rumput di sekitar
rumah yang dicap banyak ularnya. Sangat sedikit orang tuayang pernah mengajarkan pada kita bagaimana menghindari ular
ketika berhadapan dengannya daripada sekedar melarang kita
untuk memasuki daerah yang kemungkinan banyak ularnya.
Ayo berdoa,
nanti masuk
neraka kalau
nakal
Bagaimana kita mengenal Tuhan? Kita tentu masih sangat ingat
dengan bagaimana cara orang tua mengenalkan kita pada Tuhan.Berdoa bisa jadi sebuah relasi yang mengasyikkan dan penuh
cinta antara anak dan Tuhan. Kejujuran dan kepolosan kitapada masa lalu semakin mendekatkan diri pada Tuhan tanpa
-
7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat
73/239
Yohanes Sanaha Purba | 68
menuntut sesuatu bahkan. Dalam perjalanan, kita seolah
diwarisi keyakinan, meski tidak juga sepenuhnya salah, bahwa
Tuhan membutuhkan bayaran untuk memberikan sesuatu yang
kita inginkan. Berdoa dan berbuat baik bisa jadi bukan hasil
dari pengolahan keinginan tulus seorang anak untukmembahagiakan Tuhan dan sesama namun karena ketakutan akanneraka atau penderitaan. Lambat laun, bukan tidak mungkin,
berdoa menjadi semacam bayaran yang diberikan agar Tuhantidak menghukum. Persoalannya adalah, hukuman acap hadirdari masyarakat daripada dari Tuhan itu sendiri. Anak yang
lupa berdoa karena keluguannya menjadi dipersalahkan dan
dilabelkan nakal oleh orang tua, guru, teman-teman danmasyarakat pada umumnya. Tuhan bukan lagi menjadi tempat
nyaman dimana kita berlindung semenjak sebagian besar orangtua menanamkan rasa takut terlebih dahulu sebelum cinta
kepada Tuhan.
-
7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat
74/239
Etika Pendidikan Anak | 69
Berbagai kemungkinan yang muncul secara
implikatif dalam hidup kita saat ini seperti yang telah
diuraikan di atas tidak selalu bersifat absolut. Namun
demikian, berbagai bahasa yang digunakan oleh orang
tua pada masa lalu menyimpan berbagai kecenderungan
yang terbuka untuk kita kritisi dan bukan kita
persalahkan. Bisa jadi, pada masa itu, orang tua sekedar
melanjutkan apa yang diperolehnya pada masa
sebelumnya. Itupun besar kemungkinannya sudah
mengalami pengkritisan dan modifikasi oleh orang tua
kita.
Kita juga memerlukan kemampuan untukmengolah kembali berbagai hal yang muncul dalam diri
kita melalui refleksi atas berbagai rekaman-rekaman
kata yang tersimpan dalam diri kita oleh pendidikan di
masa lalu. Berbagai hal tersebut terkadang tidak
seluruhnya lebih buruk daripada gaya pendidikan masakini, bahkan nilai-nilai mengenai dasar hidup kultural
tertentu masih perlu dipertahankan meski tetap dikritisi
penyampaiannya.
Namun sekali lagi, kita perlu meyakini bahwa
anak-anak kita hidup di masa dimana kebebasan acap
dibenturkan pada nilai-nilai agama dan kebudayaan.
-
7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat
75/239
Yohanes Sanaha Purba | 70
Masa dimana orang tidak lagi mampu membedakan
antara pemerdekaan dan pembiaran. Sebagian orang tua
yang tidak memahami makna kemerdekaan, akibat
kurangnya pengolahan secara literal maupun empiris
(pengalaman hidupnya), kerap jatuh pada dua ekstrim
pendidikan: gaya disiplin yang ketat atau gaya
pembiaran yang memanjakan.
-
7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat
76/239
Etika Pendidikan Anak | 71
Pada suatu siang, saya berbincang dengan
seorang ibu yang menuturkan kesedihannya karena si
buah hati mengalami kesulitan belajar di sekolah. Sebut
saja nama anak itu Tasya. Usianya sudah 5 tahun. Dia kini
duduk di bangku Taman Kanak-Kanak di sebuah sekolah
lumayan elit di Yogyakarta.
Sebagai anak pertama, keluarga menaruh harapan
besar kepadanya. Wajar saja, dalam konteks masyarakat
Indonesia khususnya Jawa, anak pertama menjadi simbol
sekaligus bukti keutuhan keluarga secara sosial. Baik
orang tuanya hingga kakek-neneknya, memperlakukanTasya sebagai instrumen untuk memenuhi harapan
sosial.
Ketika Tasya belum mampu menulis seperti
teman-teman seusianya, orang tuanya mulai cemas
bilamana masyarakat melihat anak mereka bodoh.
Sayangnya kecemasan itu acap termanifestasikan dalam
-
7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat
77/239
Yohanes Sanaha Purba | 72
tindakan-tindakan yang memaksa dan mengintimidasi
Tasya dalam hidup sehari-harinya.
Perlu diterangkan sebelumnya bahwa Tasya
adalah anak yang lebih banyak tumbuh di luar keluarga
kecilnya. Karena kesibukan kedua orang tuanya yang
bekerja sebagai pegawai negeri, Tasya kerap dititipkan di
rumah kakek-neneknya kurang lebih 8 jam setiapharinya. Biasanya pada sore hari, sang ibu baru
menjemputnya sepulang kerja.
Mulai dari makan siang, tidur siang hingga mandi
sore, semuanya dilakukan Tasya di rumah kakek-
neneknya. Karena sebagian besar waktunya bersama
kakek, Tasya dikenal sangat dekat dengan kakeknya lebih
daripada dengan orang tua atau neneknya. Namun kini,
seiring semakin sepuhnya kak
top related