etika pendidikan anak: refleksi kultural pendidikan anak di rumah, sekolah dan masyarakat

Upload: suci-dan-sanaha

Post on 27-Feb-2018

235 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat

    1/239

  • 7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat

    2/239

    ETIKA PENDIDIKAN ANAK. Refleksi Kultural

    Pendidikan Anak di Keluarga, Sekolah dan Masyarakat

    Yohanes Sanaha Purba

    Yohanes Sanaha Purba, 2016sms : (+62) 081931340181

    surel: [email protected]

    Photography : Yohanes Sanaha PurbaPenyunting : John Badapa

    Disain Cover : Samsthita PustakaPenata Letak : Samsthita Pustaka

    Cetakan Pertama: Januari 2016

    Didistribusikan secara terbatas oleh:Samsthita Pustaka Yogyakarta dan Yohanes Sanaha Purba

  • 7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat

    3/239

    Memahami Perilaku

    Orang Tua

    82

    Memahami Tahap

    Perkembangan Anak

    87

    a.

    Operasi SensoriMotor

    89

    b. Tahap Pra-Operasi 95

    c. Tahap Operasi

    Konkret

    100

    Mendampingi Proses

    Perkembangan Anak

    103

    1.

    Merengek Minta

    Mainan

    111

  • 7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat

    4/239

    2. Rewel di Tengah Acara

    Publik

    117

    3.

    Tidak Sopan Saat

    Bertemu Orang lain

    123

    4. Minta Jajan Tapi Susah

    Makan

    133

    5. Susah Tidur 139

    6. Mengganggu Orang

    Tua yang Sibuk

    145

    7. Dinakali Teman

    Sepermainan

    150

    8.

    Cari Perhatian

    156

    9. Melawan Nasihat

    Orang Tua

    163

    10.Berbohong 168

    11.

    Mengamuk danMemukul-mukul

    173

    12. Internet, Games dan

    Televisi tanpa Henti

    181

    Anak di Tengah 195

  • 7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat

    5/239

    Masyarakat Konsumsi

    Birokratisme

    Kehidupan Keluarga

    210

    Pendidikan Kritis bagi

    Anak

    218

  • 7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat

    6/239

    Etika Pendidikan Anak | 1

    Pendidikan anak di wilayah keluarga dan sekolah

    sama-sama memiliki kesulitannya sendiri. Pada dasarnya,

    anak memiliki dunia dan cara berpikirnya sendiri yang

    terkadang memojokkan kita untuk berjuang

    memahaminya. Anak-anak tidak mengenal etika dan

    moralitas. Mereka memang belum membutuhkannya

    dalam relasi sosial yang menuntut. Anak-anak hanyalah

    manusia baru yang menyimpan kemerdekaan hidup

    dalam arti yang sebenarnya. Perilaku dan imajinasi anak

    tidak bisa ditempatkan dalam hitungan untung-rugi,

    baik-buruk dan enak-tidak enak layak orang dewasa.

    Persoalannya, dalam tradisi pendidikan anak, kita

    selalu menemukan fungsi pendampingan yang justru

    bersifat mengontrol, membatasi dan mensensor

    kemerdekaan yang Tuhan berikan kepada mereka. Mulai

    dari kesantunan hingga cara menampilkan diri, atau yang

  • 7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat

    7/239

    Yohanes Sanaha Purba | 2

    belakangan disebut strategi pencitraan. Semuanya sudah

    mulai dihabituskan oleh orang tua dan guru kepada

    anak-anak yang sesungguhnya masih terlalu muda untuk

    memahaminya.

    Kecenderungan pola pendidikan anak yang

    memuat berbagai nilai dan tata perilaku dalam

    komunitas masyarakat dewasa ternyata telahmenyejarah hingga seolah menjadi kebenaran sosial.

    Kita sering memuji beberapa orang tua yang anak-anak

    balitanya seolah sudah berlaku begitu sopan lengkap

    dengan pakaian yang begitu agamis1 layaknya manusia

    berusia 30 tahun. Sebaliknya, kita akan cepatmenghakimi orang tua yang anak-anaknya berlaku tanpa

    aturan atau bertindak spontan di tengah acara publik.

    Menanamkan nilai-nilai kebaikan dalam diri anak

    tidak sesederhana memaksakan mereka beradaptasi

    dengan berbagai tuntutan tradisi dalam kehidupan

    sosial, agama dan budaya yang sangat terbuka untuk

    dirubah dan dikritisi.

    1Pakaian tertutup yang dimaksudkan untuk menutupi aurat atau

    bagian tubuh yang dianggap mengundang hasrat seksual.

  • 7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat

    8/239

    Etika Pendidikan Anak | 3

    Berbagai nilai dan tata perilaku dalam masyarakat

    dewasa tidak selalu mengandung kebenaran karena

    justru dibalik semuanya tersimpan kepentingan-

    kepentingan sosial mengenai penghargaan diri dan

    kekuasaan yang mengikat. Harus diakui bahwa tindakan

    yang ditelurkan oleh orang dewasa acap

    mempertimbangkan konsekuensi yang didapatkan pasca

    tindakan usai dilakukan.

    Sebagai contoh, bagaimana seorang dewasa

    berbicara, bersikap dan berpakaian selalu dikendalikan

    oleh bagaimana orang lain akan melihat dirinya.

    Imajinasi atas diri sendiri begitu penting dalammenampilkan diri di tengah pergaulan demi memperoleh

    apa yang disebut dengan kehormatan, harga diri, prestis

    dan penghargaan. Pertanyaannya, apakah nilai-nilai

    tersebut memang lebih baik daripada sifat jujur, spontan

    dan tulus anak-anak yang berperilaku apa adanya tanpaketakutan atas penilaian orang kepada mereka?

    Memerdekakan anak melalui pendidikan menjadi

    semangat yang hendak diusung oleh buku ini. Hal itu

    tidak mengandaikan bahwa anak-anak dibiarkan hidup

    dengan cara-cara yang liar bahkan tanpa aturan.

    Pembiaran bukan merupakan bagian dari pendidikan itu

  • 7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat

    9/239

  • 7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat

    10/239

    Etika Pendidikan Anak | 5

    Tantangan terbesar yang hendak diungkap oleh

    buku ini adalah bagaimana mempersoalkan perilaku

    kepada anak secara kultural yang mau tidak mau

    menuntut kita sendiri untuk berlawanan dengan

    kehendak masyarakat, agama bahkan tradisi yang sekian

    lama melingkupi kita dan anak-anak.

    Dalam penelusuran yang dilakukan melaluisejumlah pengalaman orang tua dalam mendidik anak-

    anak mereka, penulis menemukan berbagai kebuntuan

    yang justru disebabkan oleh tekanan sosio-normatif

    yang menghimpit banyak orang tua. Betapa beratnya

    perjuangan sejumlah orang tua yang mencoba konsistenmengaplikasikan prinsip pendampingan yang

    memerdekakan ketika sebagian besar masyarakat dan

    sanak famili seolah tidak siap bahkan menolak bentuk

    pendidikan kritis2tersebut.

    Pembatasan-pembatasan yang dilakukan kepada

    anak pada dasarnya tidak terkait sama sekali dengan

    keselamatan anak itu sendiri. Pewarisan nilai-nilai yang

    2Salah satu bentuk pendidikan yang tidak semata-mata menempatkan

    nilai dan pembentukan karakter sebagai basis dogmatik pendidikan

    kepada anak namun justru menempatkan upaya-upaya kritis yangmengajak anak untuk berani mempertanyakan pada berbagai hal yang

    selama ini dianggap sebagai kebenaran dan membentuk anak menjadi

    pribadi yang dengan penuh percaya diri berinovasi dan berkreasi.

  • 7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat

    11/239

    Yohanes Sanaha Purba | 6

    dilakukan oleh orang tua lebih merupakan layanan yang

    diberikan kepada masyarakat daripada mengolah secara

    kritis kebutuhan sejati anak. Masyarakat sejak mula

    sudah menuntut para orang tua untuk menjalankan pola

    dan isi pendidikan yang sama kepada anak-anak

    terutama yang terkait dengan tata perilaku dan ukuran

    normatif.

    Salah satu contoh yang dominan muncul dalam

    pendidikan anak adalah perkara hirarkisasi dalam

    interaksi sosial. Bertingkah laku sopan pada yang lebih

    tua dan menaati perintah segolongan masyarakat baik

    itu orang tua, guru hingga pemuka agama menjadicontoh populer dari isi pendidikan anak. Setidaknya

    sejak kesadaran anak mulai terbentuk, kira-kira pada usia

    satu tahun, orang tua mulai acap was-was ketika

    mengajak anak berinteraksi dengan publik.

    Dalam beberapa jam saja, anak bisa memberikan

    efek bangga namun juga malu bagi orang tua. Menjadi

    sangat membanggakan bilamana anak bisa menampilkan

    diri sesuai keinginan publik namun menjadi sangat

    memalukan bilamana anak berperilaku ganjil bahkan

    mengganggu kepentingan publik.

  • 7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat

    12/239

    Etika Pendidikan Anak | 7

    Buku ini tidak ingin menyempitkan pembahasan

    pada kebutuhan pragmatis kita mengenai tips atau

    teknik pendampingan anak karena hal semacam itu

    berarti tidak menghargai sekian upaya orang tua yang

    mungkin lebih cerdas memutuskan berbagai solusi

    dalam pendampingan anak-anak mereka. Bagaimanapun

    harus diakui bahwa tidak ada satu jenis pendidikan yang

    mungkin diperlakukan sama bagi semua anak karena

    setiap keluarga memiliki konteks kebutuhan dan

    persoalan yang sangat berbeda satu sama lain.

    Pluralitas pendidikan anak harus dihargai

    sehingga berbagai bentuk nasihat yang ditelurkan paraahli, praktisi pendidikan dan penulis buku tidak berarti

    apapun ketika masih terjerat dalam upaya generalisasi,

    universalisasi bahkan uniformasi pendidikan anak. Justru

    yang diperlukan saat ini adalah mengangkat sejumlah

    kasus-kasus unik yang dilakukan oleh sejumlah orang tuayang memungkinkan kita untuk merefleksikan pola yang

    selama ini kita terapkan.

    Dengan semangat yang plural, kita akan

    mempelajari dengan seksama bagaimana kekuatan

    verbal atau penggunaan bahasa memiliki implikasi yang

    tidak sederhana dalam pendidikan anak. Berbagai kasus

  • 7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat

    13/239

    Yohanes Sanaha Purba | 8

    yang dipaparkan dalam buku ini lahir dari sejumlah

    pengalaman orang tua, guru maupun orang di luar

    keluarga yang berinteraksi langsung dengan anak.

    Kita mungkin saja mengabaikan kekuatan dibalik

    penggunaan bahasa atau tuturan dalam interaksi

    bersama anak namun kita sendiri tidak pernah mampu

    melepaskan diri dari berbagai kata-kata dalam benak kitayang justru muncul saat kita masih kanak-kanak. Hampir

    seluruh perilaku dan keputusan kita di usia dewasa

    sangat dipengaruhi oleh berbagai tuturan yang terus

    berulang dalam otak kita yang seolah tak mampu kita

    hapuskan.

    Penulis teringat dengan kisah seorang teman

    dekat yang sangat takut berenang. Sedikitpun sejak 30

    tahun kehidupannya, dia tak pernah berenang atau

    bahkan kalaupun dipaksa tetap tidak bisa berenang.

    Kolam renang tanpa disadarinya menjadi tempat yang

    mungkin kurang dari lima kali dikunjunginya selama

    hidup. Ketika teman, saudara, istri atau anaknya

    mengajak renang, dia pasti lebih memilih duduk di sisi

    kolam sekedar untuk mengamati atau bermain-main

    kecil.

  • 7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat

    14/239

    Etika Pendidikan Anak | 9

    Bilamana bertamasya di pantai, sang ayah itu pun

    hanya duduk di tempat berpasir yang jauh dari

    hempasan ombak kecil di pinggir pantai. Belakangan

    baru diketahui bahwa sejak masih kanak-kanak, dia

    selalu memiliki imajinasi buruk mengenai mati

    tenggelam di tengah kolam atau sungai.

    Pernah ada masa dimana dirinya sangat menggilaisungai terutama ketika sebagian besar temannya di desa

    akrab bermain, mandi dan mencari ikan. Namun setiap

    usai bermain, orang tuanya selalu memarahinya.

    Kekhawatiran orang tua pasca tragedi hanyutnya seorang

    anak tetangga ternyata berdampak kepada dirinya.

    Setiap kali akan bermain keluar rumah, orang

    tuanya tak pernah henti mengatakan: ora dolan nang

    kali, mengko mati keli (jangan bermain di sungai nanti

    mati tenggelam). Kata-kata tersebut terus berhembus

    sekian waktu lamanya hingga membentuk pemahaman

    identik antara air dan mati tenggelam.

    Dari titik itulah, dia tidak cukup percaya diri

    ketika turun ke air. Bahkan, ketika sang istri

    mendesaknya belajar berenang dengan seorang

    profesional, dia tak pernah mampu berenang stabil.

  • 7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat

    15/239

    Yohanes Sanaha Purba | 10

    Keyakinan dalam dirinya yang dibentuk hanya oleh

    bahasa orang tua di masa kecil telah membatasinya

    untuk bahkan sekedar bermain air.

    Diatas kita melihat bahwa persoalan traumatisasi

    bukan satu-satunya penyebab dari kejanggalan-

    kejanggalan perilaku dan kejiwaan di usia dewasa. Tokoh

    yang kita bicarakan diatas tidak pernah sungguhmengalami kejadian tenggelam di tengah air.

    Keseluruhan ketakutannya terhadap air justru terekam

    lebih kuat daripada sebuah trauma hanya oleh karena

    ketidakmampuan orang tua di masa lalu dalam memilih

    cara berkomunikasi yang tepat.

    Persoalannya kita tidak pernah mampu

    mengendalikan apa yang layak dan tidak layak

    didengarkan oleh anak kita. Bisa jadi, anak kita

    mengalami kekerasan verbal justru di luar rumah kita.

    Kita perlu mengakui bahwa masyarakat kita sangat akrab

    dengan pendidikan yang menakut-nakuti. Pendekatan

    terhadap perilaku menyimpang pun lebih akrab didekati

    dengan pola komunikasi yang menomorsatukan

    implikasi buruk daripada kemungkinan terbaik dari

    sebuah perilaku.

  • 7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat

    16/239

    Etika Pendidikan Anak | 11

    Sesungguhnya kita pun mengalaminya meski

    tidak menyadarinya. Datanglah ke rapat warga di

    kampung kalau tidak mau dikucilkan. Perhatikan

    bagaimana ancaman justru hadir ketika kita sedang

    berusaha hidup bermasyarakat. Sejak kanak-kanak

    hingga dewasa kita terlanjur konformis dan pasif dengan

    berbagai bentuk bahasa edukatif yang sifatnya menakut-

    nakuti kita. Kita pun seolah tidak mampu menggugat cara

    masyarakat mendidik kita karena hanya akan

    menimbulkan masalah baru dalam interaksi sosial.

    Satu-satunya cara menghentikannya adalah

    dengan sedini mungkin melakukan perubahan padaanak-anak kita yang kelak menjadi bagian dari

    masyarakat dewasa.

    Ada beragam cara untuk merespon perilaku sang buah

    hati yang kurang berkenan di hati kita. Sebagian besar

    orang tua acap kali berputus asa dan memilih untuk

    menghukum anaknya karena gagal mengendalikan anak.

    Orang tua kerap marah besar dan tak segan menghukum

  • 7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat

    17/239

    Yohanes Sanaha Purba | 12

    baik secara fisik (mencubit, mencablek atau menjambak)

    maupun verbal (membentak atau meneriaki) anak-anak

    dengan dalih untuk mendidik mereka.

    Biasanya, anak kemudian diam dan mengikuti

    kehendak orang tuanya karena perasaan takut yang luar

    biasa. Dalam kasus tersebut, hal yang perlu menjadi

    perhatian kita adalah mengenai relevansi hukumandalam pendidikan anak.

    Apakah hukuman kepada anak sungguh memuat

    memuat nilai-nilai pendidikan ataukah hukuman

    tersebut sekedar menjadi saluran pelampiasan emosi

    karena keputusasaan kita?

    Disadari atau tidak kita telah melakukan

    kekerasan berbalut pendidikan kepada anak-anak.

    Kekerasan bisa termanifestasi dalam segala bentuknya,

    baik verbal maupun fisik. Dalam bentuk yang verbal, kita

    acap membentak anak untuk diam dan tidak berulah di

    depan kita.

    Sebagai contoh, dalam kasus-kasus keseharian,

    kita sering melihat orang tua yang panik karena melihatanaknya sedang melakukan tindakan berbahaya, seperti

    berlari menyeberang jalan, memanjat atau bermain api.

  • 7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat

    18/239

    Etika Pendidikan Anak | 13

    Biasanya orang tua akan membentak dengan maksud

    untuk menghindarkan anak dari bahaya tersebut.

    Sebagian besar dari kita menempatkan tindakan orang

    tua tersebut merupakan suatu hal yang normal karena

    mengandung motif pendidikan. Harus diakui bahwa anak

    memang belum sungguh memiliki konsep mengenai ke-

    berbahaya-an.

    Pertanyaannya apakan kekerasan menjadi legal

    dan baik-baik saja karena motifnya untuk

    menyelamatkan anak? Sebagai analogi, mungkin baik

    bagi kita untuk mengingat kembali proses kehidupan

    sosial bangsa ini.

    Sejak masa lalu, kita sudah akrab dengan

    kekerasan. Di keluarga dan sekolah, berbagai hukuman

    ditimpakan kepada kita. Salah satu contoh yang mungkin

    masih teringat kuat dalam benak kita adalah

    perploncoan. Gaya pendidikan masa Orde Baru yang

    akrab menerapkan hukuman dan bentakan dengan dalih

    menyiapkan mental kita sebagai siswa atau mahasiswa

    baru3. Banyak pembuat kebijakan dan pendidik pada

    3Lih. Darmaningtyas (2005:38) dalam bukunya Pendidikan Rusak-

    Rusakan terbitan LKIS Yogyakarta. Bandingkan dengan tulisan

  • 7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat

    19/239

    Yohanes Sanaha Purba | 14

    masa lalu percaya bahwa dengan kekerasan yang

    efeknya hanya sementara akan menimbulkan

    keselamatan yang efeknya lebih lama dan meluas. Cita-

    cita masyarakat pada masa itu adalah kestabilan dan

    keteraturan. Yang keluar jalur akan dihukum karena

    membahayakan diri dan orang lain.

    Sedemikian teraturnya masyarakat Indonesiahingga berbagai gagasan kritis dan kreatif ditabukan.

    Lambat laun, dengan semakin meluasnya tuntutan

    demokratisasi dan penghargaan hak asasi manusia,

    wacana anti kekerasan semakin menyeruak. Banyak dari

    kita yang kemudian diajak untuk memikirkan ulangberbagai bentuk kekerasan yang terjadi di masyarakat,

    khususnya anak-anak. Salah satu yang paling

    kontroversial adalah kekerasan dalam pendidikan

    keluarga dan sekolah. Untuk menyiasati kontroversi

    tersebut, kita perlu memahami terlebih dahulu implikasidari kekerasan pada anak.

    Kita tentu menyadari atau bahkan masih

    merasakan bagaimana kekerasan di masa lalu kita,

    meskipun terbalut dalam pendidikan, masih menyisakan

    Philips Tangdilintin (2008:47) dalam bukunya Pembinaan Generasi

    Muda terbitan Kanisius Yogyakarta.

  • 7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat

    20/239

    Etika Pendidikan Anak | 15

    trauma. Traumatisasi masa lalu biasanya ingin kita

    lupakan untuk memastikan diri kita saat ini dalam

    kondisi yang stabil. Freud, pemikir psikoanalisa, pernah

    menyatakan bahwa trauma-trauma4 dalam hidup kita

    sebagian besar meresap pada wilayah bawah sadar yang

    mengendalikan berbagai segi hidup kita. Cara pandang,

    keputusan hidup, orientasi perilaku hingga kebiasaan

    yang kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari ternyata

    lebih dikendalikan oleh bawah sadar kita.

    Hal yang justru dibutuhkan adalah dengan

    merekonsiliasi masa lalu kita yang pahit. Namun bukan

    persoalan mudah untuk menyadari apa yang tidak kitasadari. Untuk itu, Freud menempatkan mimpi sebagai

    wilayah untuk mengenali diri yang tidak disadari.

    Untuk mendaratkan persoalan marilah kita tengok

    kembali berbagai sifat sosial yang umum di masyarakat

    kita. Ketakutan akan kegagalan merupakan salah satu

    yang paling dominan mewarnai sifat sosial manusia

    Indonesia (Ariesandi Setyono5, 2009:95). Kegagalan

    adalah dosa dan disitulah ingatan kita mengacu pada

    4Lihat tulisan Simon Boag (2012:5) dalam bukunya yang berjudul

    Freudian Represion, The Unconscius, and the dynamic of inhibition.5Penulis buku Hypnoparenting.

  • 7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat

    21/239

    Yohanes Sanaha Purba | 16

    masa lalu yang menyakitkan. Banyak dari antara kita

    mengalami hidup di tengah keluarga, masyarakat dan

    sekolah yang menabukan kesalahan. Padahal, kesalahan

    menjadi bagian dari proses yang mengasyikan ketika

    hendak menemukan sebuah kebenaran.

    Saking takutnya melakukan kesalahan, banyak

    dari anak-anak, mungkin termasuk kita sendiri, memilihpasif. Sebagian yang lain menjadi pribadi yang peragu

    dalam memutuskan sesuatu. Itulah buah tak disadari dari

    masa kecil kita.

    Hingga kini, di sebagian besar masyarakat

    Indonesia, kekerasan dalam bentuk hukuman baik fisik

    dan verbal masih digunakan untuk mendidik anak.

    Sayangnya, kekerasan tersebut tidak pernah

    menyelesaikan masalah namun justru menimbulkan

    kenakalan-kenakalan baru. Martin Luther King Jr, aktivis

    gerakan sipil kulit hitam Amerika, pernah mengatakan

    dalam pidatonya tahun 1958, bahwa kekerasan justru

    akan melahirkan kekerasan yang baru. Inilah mengapa

    kita perlu memperhatikan apakah hukuman yang kita

    buat sungguh relevan bagi perkembangan mental anak

    kita. Jangan sampai justru respon emosional kita malah

    merusak hubungan mesra dengan sang buah hati atau

  • 7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat

    22/239

    Etika Pendidikan Anak | 17

    justru mendorong munculnya kepincangan psikologis.

    Implikasi yang lebih luasnya, anak kita sendiri menjadi

    terbiasa untuk menyalurkan kekecewaan atas dirinya

    sendiri atau orang tuanya melalui kenakalan di luar

    rumah.

    Menjadi suatu persoalan yang rumit ketika kita

    tidak memiliki solusi yang kontekstual untukmenghadapi (bukan mengantisipasi) perilaku anak-anak

    kita. Untuk itu, sebaiknya kita harus menyadari terlebih

    dahulu bahwa setiap perilaku anak berangkat dari sifat

    manusianya yang baik adanya. Kehendak negatif dalam

    diri anak mungkin saja muncul namun hal itu adalahbagian dari prosesnya menuju pribadi yang lebih baik.

    Tentu ada pengecualian kasus bilamana anak kita

    memang memiliki persoalan kejiwaan. Hal itu tidak akan

    dibahas dalam buku ini namun menjadi tugas yang harus

    dipecahkan oleh ahlinya. Dengan begitu, barangkali

    keputusasaan kita bukan berangkat dari

    ketidakmampuan kita sebagai orang tua namun

    ketidaktahuan kita atas kehidupan dan dunia anak.

    Sebelum membahas lebih jauh persoalan

    pendidikan anak, ada hal yang harus kita sepakati

  • 7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat

    23/239

    Yohanes Sanaha Purba | 18

    terlebih dahulu. Kita perlu menyadari bahwa apapun

    tindakan yang kita pelajari, rencanakan dan lakukan

    kepada anak-anak kita harus selalu diberangkatkan dari

    keinginan untuk mengasihi. Hal itu berarti kita perlu

    menghindari berbagai upaya yang bertujuan menyakiti

    mereka.

    Kesepakatan tersebut perlu dilakukan karena kitahidup di tengah fakta sosial dimana negeri ini

    menyimpan angka kekerasan pada anak hingga mencapai

    2.508 di tahun 2011. Hingga paruh semester tahun 2012

    saja angka tersebut sudah bertambah 686 kasus.

    Ironisnya, dalam catatan Komisi Nasional Perlindungananak yang dirilis pada tanggal 16/10/2012, tersebut

    angka 44,32 persen6kekerasan dilakukan oleh orang tua.

    Mungkin baik bila kita belajar dari kata-kata

    seorang psikolog bernama Eric Fromm (2008: 277, 287-

    288) yang mengatakan bahwa kekerasan berakar dari

    ketakutan. Secara sederhana kita sebagai orang tua perlu

    menyadari bahwa semakin kita keras kepada anak

    semakin kita takut kepada mereka.

    6http://indonesia.ucanews.com/2012/10/17/kasus-kekerasan-terhadap-

    anak-terus-meningkat/

  • 7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat

    24/239

    Etika Pendidikan Anak | 19

    Takut? Ya, ada berbagai macam ketakutan yang

    mendasari kekerasan kita sebagai orang tua. Pertama,

    kita takut tidak lagi dihormati selayaknya orang tua.

    Kedua, kita takut dilihat orang lain sebagai orang tua

    yang buruk karena tak sanggup mendidik anak. Ketiga,

    kita sendiri takut bilamana anak kita terlihat nakal di

    depan orang lain dan kita malu. Singkatnya kemarahan

    dan hukuman kepada anak-anak kita bukan berangkat

    dari cinta kita, namun kepentingan kita untuk

    berpenampilan sebagai orang tua.

    Buku ini disusun bukan untuk menceramahi atau

    mengajarkan bagaimana mendidik anak yang baik. Sayasengaja menyusunnya sebagai bagian dari keprihatinan

    atas sikap sebagian besar orang tua yang menormalisasi

    hukuman pada anak sebagai bagian dari pendidikan.

    Hukuman sendiri bukanlah sesuatu yang tidak berguna,

    asalkan dilakukan dengan motif yang relevan danproporsi yang tepat. Lepas dari bentuk-bentuk hukuman

    yang baik, buku ini hendak membantu para orang tua

    untuk memahami kecenderungan perilaku anak yang

    acap meletupkan emosi orang tua.

    Memahami saja tentu tidaklah cukup. Harus saya

    akui bahwa mendampingi anak dalam masa

  • 7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat

    25/239

    Yohanes Sanaha Purba | 20

    pertumbuhannya bukanlah hal yang mudah. Di tengah

    kesibukan sehari-hari dan begitu banyak kebutuhan

    untuk menjaga keharmonisan suami istri, para orang tua

    masih dituntut memiliki kesabaran yang ekstra dalam

    menghadapi tingkah laku anak yang aneh-aneh. Dengan

    kata lain, segala macam pengetahuan kita akan diri anak-

    anak kita tidak akan efektif tanpa disertai kesabaran

    yang tulus dari cinta kita sebagai orang tua.

    Dalam buku ini, pada bagian pertama, kita akan

    memulai pembahasan dengan memahami tahap

    perkembangan anak menurut tokoh pemikir Piaget.

    Dengan memahami perkembangan anak, kita akanterbantu untuk menggali berbagai ide pendidikan anak

    yang kontekstual.

    Pada bagian kedua, kita akan mulai mengupas 12

    kecenderungan perilaku anak yang acap menyulitkan

    kita dalam memahaminya. Harapannya kita mampu

    memutuskan bentu-bentuk respon kepada anak-anak

    tanpa terjebak dalam tindakan kekerasan.

    Selanjutnya, buku ini akan ditutup oleh bagian

    ketiga, dimana kita akan mencoba melibatkan kajian

    kultural kontemporer untuk memahami tantangan-

  • 7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat

    26/239

    Etika Pendidikan Anak | 21

    tantangan jaman yang mau tidak mau dihadapi keluarga

    dan anak-anak. Tujuannya, kita mulai mereformulasi

    gaya pendampingan kita kepada anak di tengah beragam

    perubahan.

    Banyak dari orang tua memilih untuk menolak

    atau justru ketakutan terhadap perubahan sosial di luar

    diri anak. Berbeda dari kebanyakan, kita sebaiknya tidakperlu mengalami cultural shock dan berlindung di balik

    jubah yang moralis hanya karena tidak sanggup

    menangkap perubahan-perubahan sosial yang sedang

    terjadi. Orang tua yang cerdas adalah ayah dan ibu yang

    semakin kreatif dan kritis menemukan beragam metodependampingan anak yang tepat jaman.

    Lebih dari semuanya, kesabaran dan pemahaman

    yang cukup akan menghindarkan kita dari segala macam

    kekerasan, konservatisme dan kekakuan yang mungkin

    muncul di rumah kita. Yakinlah, bahwa setiap momen

    mesra ataupun kasar kita bersama anak akan

    menentukan pembentukan kejiwaannya di masa depan.

    Tentulah kita tidak menginginkan anak di usia kita

    menjadi sosok yang ganjil hanya karena luka-luka

    psikologisnya. Banyak penelitian membuktikan bahwa

    sebagian besar kecenderungan negatif manusia dewasa

  • 7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat

    27/239

    Yohanes Sanaha Purba | 22

    kuat dipengaruhi oleh pengalaman masa kecil mereka.

    Untuk itu, jangan lagi ada kekerasan pada anak di rumah

    kita.

  • 7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat

    28/239

    Etika Pendidikan Anak | 23

    Kita meyakini bahwa orang tua kita adalah orang

    yang paling ideal dalam hidup kita. Membicarakan orang

    tua di masa lalu bagi sebagian besar dari kita mungkinsaja adalah hal yang tabu bahkan terkutuk. Namun

    marilah kita cermati berbagai hal yang mungkin terjadi

    dalam hidup kita di masa lalu dengan semangat yang

    tidak hendak mempersalahkan orang tua namun

    memperbaiki berbagai hal yang mungkin keliru.

    Keseluruhannya akan dimediasi melalui berbagai

    catatan kisah yang muncul dari orang-orang dewasa di

    sekitar kita yang mengalami problematisasi diri akibat

    bahasa masa lalu. Mungkin saja cerita-cerita tersebut

    tidak terjadi dengan kita, namun rasanya menjadi baik

    bilamana kita mencermatinya agar tidak terulang pada

    perilaku kita pada anak di masa kini.

    Seorang teman yang bekerja untuk sebuah NGO

    internasional di Yogyakarta bercerita mengenai

    pengalamannya mengelola kegiatan voluntarisasi yang

  • 7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat

    29/239

    Yohanes Sanaha Purba | 24

    acap berisikan anak-anak dari luar Indonesia. Biasanya

    kelompok yang datang dari beberapa negara maju

    seperti Amerika, Inggris dan Australia berisikan anak-

    anak atau remaja yang sekolahnya mengikuti program

    bantuan kemanusiaan internasional. Mereka biasanya

    dikoordinasi oleh seorang officerNGO yang telah menata

    jadwal dan berbagai aktivitas sosial selama beberapa

    hari di lokasi kerja. Karena concern NGO tersebut adalah

    bidang konstruksi khususnya pasca bencana, para

    volunteer anak yang datang langsung turun ke lapangan

    bekerja layaknya pekerja bangunan atau tukang dalam

    bahasa Jawa.

    Tanpa ragu dan dengan cekatan, mereka langsung

    menjalankan aktivitas bertukang di tengah lokasi yang

    jauh dari suasana tamasya layaknya turis asing. Mereka

    turun ke lumpur, menuang semen cair, mencangkul dan

    menggergaji kayu seolah sudah ahli. Kalaupunmelakukan kesalahan, mereka tidak tampak kecewa,

    malu atau bersalah. Sebagian besar dari mereka dan

    seorang guru yang biasanya menemani mereka di

    lapangan tidak peduli dengan kesalahan-kesalahan tidak

    sengaja yang dibuat seseorang,

  • 7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat

    30/239

    Etika Pendidikan Anak | 25

    Semuanya berkonsentrasi pada aktivitas masing-

    masing. Suasana yang datang pun menjadi begitu

    nyaman, tidak saling menonjolkan kehebatan namun

    juga tidak saling berinteraksi bila tidak diperlukan.

    Mereka tampak menikmati kerja sukarela sedahsyat

    berlibur ke Bali atau berpesiar ke pulau seribu.

    Ketika terik matahari mulai menyengat kuat,beberapa pekerja bangunan menepi di tempat teduh dan

    beristirahat. Setidaknya ada tiga sesi rehat yang umum di

    kalangan pekerja bangunan di Yogyakarta: jam 09.00;

    jam 12:00; jam 15.00. Para sukarelawan anak yang ikut

    bekerja di situ menjadi heran dan sedikit protes karenabegitu banyaknya jam istirahat di Indonesia. Beberapa

    dari mereka mulai nekat untuk tidak ikut beristirahat dan

    tetap bekerja pada jam 09:00 dan 15:00 ketika sebagian

    besar tukangbangunan bahkan sempat tertidur.

    Sesekali beberapa pekerja bangunan meneriaki

    mereka untuk istirahat agar tidak sakit atau pusing

    terpapar panasnya matahari. Hati-hati jangan terlalu

    capek mbak, nanti sakit. Teriakan itu terutama ditujukan

    pada para sukarelawan wanita yang ikut turun ke

    lapangan. Bahkan sejumlah ibu-ibu korban bencana yang

    berada di tepian lokasi kerja sambil menggendong anak

  • 7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat

    31/239

    Yohanes Sanaha Purba | 26

    dengan selendang batik meneriaki, walah ayu-ayu kok

    nglepo to mbak ... (cantik-cantik kok menghaluskan

    semen to...).

    Mungkin karena tidak sungguh memahami bahasa

    mereka, para sukarelawan baik pria maupun wanita yang

    rentang usianya sekitar 1215 tahun tetap melanjutkan

    pekerjaan bahkan tanpa rasa segera ingin selesai.Mereka sangat menikmati sampai harus meyakinkan

    bahwa mereka baik-baik saja dan tak akan sakit hanya

    karena matahari.

    Sang guru yang mendampingi mereka dari sejak

    berangkat hingga tiba di Indonesia juga tidak

    memperdulikan pilihan para anak didiknya yang tetap

    bekerja di tengah banyak pekerja bangunan Indonesia

    ketakutan oleh matahari.

    Begitu seterusnya hingga hari demi hari dilalui

    tanpa satu pun dari sukarelawan yang sakit akibat tidak

    beristirahat ketika bekerja. Semakin menarik lagi,

    apapun yang sedang dikerjakan rasanya mereka sungguh

    memahami berbagai kemungkinan terburuk. Mereka

    memakai sun block dan menenteng tempat minum

    kemanapun mereka pergi sehingga tak perlu ketakutan

  • 7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat

    32/239

    Etika Pendidikan Anak | 27

    pada dehidrasi dan alergi sengatan matahari. Semua

    yang dijalankan oleh anak-anak barat tersebut ternyata

    mempengaruhi atmosir bekerja di tengah pekerja

    bangunan yang tentu lebih berpengalaman. Wajah-wajah

    ceria dan perilaku yang tidak peragu atau setengah-

    setengah justru memaksa banyak pekerja bangunan dan

    pekerja sosial yang hadir di sekitar mereka ikut

    beradaptasi.

    Seorang teman yang menceritakan kisah

    pengalamannya diatas rasanya tidak ingin berhenti

    dengan satu kisah.

    Ada kisah lain yang hendak diceritakannya ketika

    harus mendampingi sukarelawan anak dan remaja yang

    datang dari sebuah sekolah swasta besar di Jakarta.

    Mereka datang dengan jumlah yang sama kelompok-

    kelompok live in sebelumnya, sekitar 15 sampai 20

    orang. Biasanya untuk mengefektifkan kegiatan,

    kedatangan para siswa sekolah di lapangan sosial

    dilakukan secara beruntun kelompok per kelompok atau

    tidak datang secara bersamaan satu sekolah. Kali ini,

    teman saya mendampingi di lokasi yang berbeda dengan

    sebelumnya.

  • 7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat

    33/239

    Yohanes Sanaha Purba | 28

    Pada kisah sebelumnya, project relokasi pasca

    bencana dilakukan di bantaran sungai code yang

    terdampak lahar dingin pasca letusan merapi. Kali ini

    project yang dilakukan adalah pembangunan saluran air

    sehat yang rusak akibat bencana merapi. Bilamana

    ditinjau dari lokasi kerja dan kompleksitas pekerjaan,

    project kali ini lebih ringan karena sifatnya tidak

    merekonstruksi reruntuhan namun justru membangun

    pipa-pipa baru di tengah hijaunya ladang-ladang warga

    desa pegunungan merapi.

    Berbeda dari siswa-siswa negara asing, para siswa

    Jakarta tidak harus memiliki daya belajar yang tinggikarena mereka hanya bertugas membantu memasang

    pipa-pipa dan mengencangkan baut-bautnya.

    Mataharipun tidak memapar kulit mereka karena

    rimbunnya pepohonan.

    Dengan suasana yang lebih ringan asumsinya

    teman saya akan bernapas lega karena tugasnya

    mendampingi tidak akan terlalu berat seperti

    sebelumnya. Dia tidak harus memastikan setiap

    kemungkinan kondisional yang bisa merugikan para

    sukarelawan.

  • 7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat

    34/239

    Etika Pendidikan Anak | 29

    Namun kenyataan berjalan lain. Sejak kedatangan

    pertama mereka di lokasi, para siswa Indonesia sudah

    mengeluh pada gurunya dan selalu bertanya harus

    berapa jam di tempat ini atau apakah setelah selesai

    nanti kami boleh berjalan-jalan di Malioboro.

    Tidak berhenti disitu, ketika waktu bekerja

    dimulai, banyak siswa wanita yang kebingungan harusmengerjakan apa. Melihat suasana itu, para lelaki baik itu

    siswa lain, warga setempat atau guru pendamping

    mereka langsung beraksi membantu berbagai kesulitan

    siswa wanita. Berkali-kali muncul teriakan aduh atau ah

    gue nyerah deh dari gemulai para sukarelawan wanita.Buru-buru para lelaki bergegas membantu dan

    menggantikan tugas.

    Ketika keringat mulai menetes para siswa sudah

    mulai kebingungan mencari air. Mereka selalu meminta

    rehat di kala seluruh aktivitas sedang berlangsung.

    Sesungguhnya mereka paham bahwa jam istirahat

    bekerja adalah waktu umum para pekerja bangunan

    berhenti: jam 09:00; jam 12:00 dan jam 15:00.

    Karena wajah yang lelah dan memerah, guru dan

    teman saya menyepakati tambahan jam istirahat khusus

  • 7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat

    35/239

    Yohanes Sanaha Purba | 30

    siswa yaitu jam 13:00. Itupun harus disertai kenyataan

    bahwa pada hari sebelumnya seorang siswa pingsan.

    Suasana yang sangat berbeda dengan kisah

    sebelumnya yang tidak harus menimbulkan korban

    akibat kelelahan. Wajar karena suasana kerja begitu

    tegang dan serius. Wajah-wajah pucat dan ketakutan

    membuat kesalahan muncul dalam kerja. Kesalahanmenjadi sumber memalukan bagi para siswa karena

    artinya semakin merendahkan dirinya di tengah

    kompetisi siapa yang paling jago dan kuat bekerja. Guru

    pun seolah begitu teramat menyayangi siswa hingga

    lebih sering berkeliling memeriksa kondisi siswanyadaripada berkonsentrasi pada pekerjaannya sendiri

    mengencangkan baut pipa-pipa yang menjulur.

    Kedua cerita diatas bilamana tidak hati-hati

    dicermati bisa membangun pemahaman komparatif kita

    mengenai anak lokal dan barat yang membuat kita

    tergila-gila pada anak orang lain daripada anak-anak kita

    sendiri. Tidak ada semangat dan satu pun upaya untuk

    menuju ke arah itu.

    Justru yang menjadi pertanyaan menarik adalah

    ada apa di balik suasana yang membedakan antara kita

  • 7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat

    36/239

    Etika Pendidikan Anak | 31

    dan mereka, masyarakat negara maju. Sungguh penulis

    juga tidak meyakini bahwa ada kaitan antara negara maju

    atau negara berkembang dalam perbedaan tipologis

    anak-anak. Justru kalau hendak dicermati, anak-anak

    Jakarta jauh lebih maju secara teknologis daripada anak-

    anak bule.

    Setidaknya para sukarelawan dari Eropa danAmerika tidak selalu membawa smart phone mereka

    ketika di lapangan. Penulis juga tidak menemukan

    keterkaitan antara kondisi fisik anak Indonesia karena

    iklim dan cuaca di negaranya sendiri tentu lebih

    memungkinkan dirinya optimal dan tidak terpaparkelelahan bahkan pingsan di tengah kerja. Di tengah

    pertanyaan besar dalam benak kita mengenai apa yang

    membuat berbeda dalam dua kisah diatas, menjadi baik

    untuk mencermati lanjutan kisah dari teman penulis

    mengenai apa yang dipikirkannya atas pengalamannyasendiri.

    Ada beberapa perbedaan sikap yang terjadi

    antara guru pada kisah pertama dan kisah kedua. Pada

    kisah pertama, teman penulis merasakan langsung

    bagaimana guru hampir tidak berperan dalam

    memutuskan arah dan berbagai kegiatan siswa. Guru

  • 7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat

    37/239

    Yohanes Sanaha Purba | 32

    selalu mengatakan: youve chosen atau thats a good

    idea, lets make it best guys. Pertemuan-pertemuan

    siswa di hotel ketika setelah dan sebelum bekerja selalu

    dinisiatifkan oleh siswa sendiri dan guru biasanya

    ditanya: could you come to our meeting tonight or

    tomorrow morning?

    Suasana ini tentu teramat berbeda denganperjumpaan teman saya dengan komunitas siswa dalam

    kisah kedua. Peran guru sangat penting. Mulai dari waktu

    beristirahat hingga makan, guru harus terus mengecek

    dan mengetuk pintu siswa. Bilamana guru kelelahan,

    siswa pun tidak peduli apakah dirinya sudah makan ataubelum.

    Hal yang terutama paling membedakan adalah

    mengenai diskusi setelah dan sebelum kerja sosial di

    lakukan. Biasanya kegiatan ini dilakukan di lobi hotel.

    Guru Indonesia akan berkata: segera rumuskan

    pertemuan lalu hubungi saya. Sungguh disayangkan,

    meski sudah diinstruksikan dengan sangat jelas, hingga

    hari terakhir, guru selalu mendapati siswa yang tertidur

    lelap dan lupa harus mengagendakan pertemuan.

    Akhirnya kamar demi kamar harus diketuk oleh sang guru

    yang lelah untuk memulai acara di hotel.

  • 7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat

    38/239

    Etika Pendidikan Anak | 33

    Rasa jengkel tentu menyeruak kuat dalam batin

    kita. Kita diombang-ambingkan oleh keyakinan

    pendidikan yang klasik atau modern. Keyakinan yang

    juga menyudutkan kita pada pendidikan yang

    membebaskan atau mengatur. Bilamana didiamkan maka

    seolah siswa pun tidak tahu atau kadang seenaknya

    sendiri. Begitulah kondisi yang familiar dijumpai baik

    oleh orang tua, guru atau kita yang bertugas

    mendampingi anak.

    Semakin parah lagi bilamana kita begitu putus

    asa menemukan jawaban dan mengatakan: memang

    anak-anak Indonesia secara genetik pemalas, pasif dansemaunya sendiri. Kalimat tersebut kemudian

    dilanjutkan, kalau gitu, kita membutuhkan pendidikan

    yang ekstra disiplin dan militeristik karena itulah

    kebutuhan kontekstual kita.Hal itulah yang menjadi

    pergulatan diskusi antara penulis dan seorang temanyang kebetulan teman satu bangku ketika kuliah di

    fakultas keguruan dan ilmu pendidikan. Kami berada di

    persimpangan antara yang empiris dan yang teoritis atau

    yang sungguh kami alami dan apa yang sudah kami

    pelajari.

  • 7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat

    39/239

    Yohanes Sanaha Purba | 34

    Dalam kesempatan berbeda, teman tersebut

    menceritakan masa kecilnya. Masa dimana berbagai

    aturan ketat melingkupi hidup sang anak. Kita tentu tidak

    asing dengan masa kecil yang penuh dengan suasana

    yang seolah sangat melindungi kita dari berbagai

    bahaya.

    Teriakan seperti: tidur siang dik, nanti sakit atauhati-hati jangan lari-lari nanti jatuh acap kita dengar

    dalam pergumulan hidup kita ketika masih kanak-kanak.

    Mulai dari memanjat pohon, bermain di sungai, bermain

    tanah hingga merangkak di kolong meja menjadi begitu

    berbahaya selayaknya hidup di tengah hutan liar. Bahkanketika kita mulai mencintai tanaman dan bermain

    menanam, muncul teriakan: hati-hati banyak ulat gatal.

    Beberapa dari kita pun enggan berenang di lumpur

    karena ingatan dengan kata: lumpur bekas tai kebo

    isinya cacing semua lho dik, ati-ati cacingan. Hidupadalah ancaman dan penuh bahaya, itulah yang

    ditanamkan atau tak sengaja menjadi pemahaman kita

    hingga kini.

    Pergulatan pribadi yang dialami seorang teman

    justru terjadi ketika dirinya menemukan dua komunitas

    anak yang berbeda dalam cerita sebelumnya. Kisah

  • 7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat

    40/239

    Etika Pendidikan Anak | 35

    pengalamannya yang pertama diceritakannya dengan

    begitu berbinar-binar seolah begitulah yang diidealkan,

    kumpulan pribadi anak yang bebas namun paham yang

    sedang dan telah diputuskan sendiri untuk dilakukan.

    Sekumpulan jiwa anak yang merdeka berpikir namun

    bersemangat dalam membuat yang baru. Segala hal

    begitu mengasyikkan.

    Kisah kedua diceritakan dengan kekesalan,

    sedikit nadanya menghentak namun kadang diselingi

    senyuman sinis. Pengalaman mendampingi anak-anak

    dari bangsa sendiri terdengar begitu suram. Segala hal

    yang berkaitan dengan kegiatan anak harusdiinstruksikan oleh guru atau orang dewasa lainnya

    kalaupun tidak sang guru harus berkata: saya

    instruksikan pada siswa-siswa saya agar segala tindakan

    dan aktivitas tidak perlu harus diinstruksikan.

    Menggelikan namun itulah yang terjadi di tempat

    dimana kita terbiasa dengan berbagai instruksi dan

    peringatan sejak masih kanak-kanak.

    Inilah kita pribadi-pribadi yang sudah meyakini

    berbagai kebuntuan untuk berubah selain mengeluh

    oleh berbagai hal yang ditemukan dan dikerjakan dalam

  • 7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat

    41/239

    Yohanes Sanaha Purba | 36

    hidup kita. Beberapa orang kemudian lari ke sudut

    keyakinan agama untuk belajar bagaimana harus

    bersyukur atas hidup dan segala kewajiban yang harus

    kita kerjakan. Beberapa yang lain lari ke sudut rak buku-

    buku motivasi yang seolah menawarkan perubahan cara

    berpikir bahwa working is fun. Sedangkan sebagian

    besar dari kita mungkin saja diam termangu meyakini

    bahwa kita manusia yang lahir dari perut bangsa yang

    terjajah, pemalas dan tak punya inisiatif. Untuk yang

    terakhir biasanya kemudian memproyeksikan pendidikan

    yang begitu amat ketat kepada anak-anaknya agar tidak

    menjadi pemalas. Memaksakan anak melakukan dan

    merengguh hal yang gagal diraih orang tuanya sendiri

    merupakan gambaran nyata dari keluarga-keluarga di

    sekitar kita.

    Wow disitulah ternyata kami menemukan titik

    temunya. Kami menemukan titik temu dari persoalanmental yang terjadi pada anak-anak Indonesia dan

    bahasa yang acap atau terbiasakan didengar anak dalam

    aktivitasnya sehari-hari. Setelah diskusi bersama teman

    usai, penulis melanjutkan penelusuran pada berbagai

    kalimat yang sering kita jumpai pada masa lalu kita.

    Sebagian mungkin tidak kita alami namun baik bilamana

  • 7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat

    42/239

    Etika Pendidikan Anak | 37

    kita cermati arah pembentukan pribadi dan implikasi

    psikologisnya mengingat kita bisa turut serta

    membahasakannya pada anak-anak di sekitar kita.

    Berikut dibawah ini sebuah tabel yang akan membantu

    kita mengolah kembali pengalaman kita dengan bahasa

    yang pernah dimunculkan pada masa lalu kita.

  • 7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat

    43/239

    Yohanes Sanaha Purba | 38

    Instruksi /

    Peringatan pada

    Anak

    Kemungkinan Kondisi Motif Penyampaian

    1. Hati-hati naik

    sepeda nanti jatuh

    Ketika kita pertama

    kali mencoba berlatihsepeda atau sekedar

    bersepeda kelilinglingkungan sekitarrumah.

    Dimaksudkan untuk

    melindungi kita dari bahayayang bisa menimbulkan cacat

    permanen

    2. Hati-hati dik,jangan lari-larinanti capek

    Dalam permainan anaktradisional,permainan didominasi

    gerak kinaesthetic,

    salah satunya berlari

    Dimaksudkan untukmenghindarkan kita menjaditerlalu lelah dan sulit

    tidur terutama di malam

    hari

    3. Jangan hujan-hujan,

    ntar masuk angin

    Biasanya kita atau

    anak-anak pada

    umumnya menyukaibercanda di bawah

    Hujan yang deras selain

    mengasyikan bisa

    menimbulkan demam sehinggaorang tua kadang khawatir

  • 7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat

    44/239

  • 7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat

    45/239

    Yohanes Sanaha Purba | 40

    atau tidak sopan

    hanya karenaberbicara di ruangkelas bahkan ketika

    guru tidak sedangbicara ataumenerangkan

    dalam kelas pada masa

    tertentu sangat ditentangdalam tradisi persekolahankarena dianggap sebagai

    keliaran.

    6. Kalau lewat jalanitu kamu hati-hati,

    hiiii banyak

    setannya

    Dalam suasana yanglain, kita sering

    ditakut-takuti pada

    hantu atau makhlukhalus di pinggir

    jalan atau tempat-tempat tertentu. Acap

    juga kita

    diperingatkan janganterlalu larut sampai

    rumah agar tidakdiganggu makhluk

    Dimaksudkan untukmenghindarkan kita dari

    tempat asing yang cenderung

    menakutkan bagi orang tuakita. Dalam tradisi lokal,

    hilangnya anak acapdikaitkan dengan hal-hal

    mistis. Suasana ini

    kemudian digunakan untukmelarang kita keluar rumah

    hingga jam tertentu.

  • 7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat

    46/239

    Etika Pendidikan Anak | 41

    sejenis.

    7. Hati-hati jangan

    kepanasan, nantipusing

    Sepulang sekolah,

    kita seringmeluangkan waktu

    untuk bermain di

    sekitar rumah ataubersepeda sekedar

    untuk menyegarkandiri, namun panasnya

    matahari acap

    dijadikan sumbermasalah dan penyebabketika kita sakit.

    Dimaksudkan untuk

    menghindarkan kita darisakit akibat matahari yang

    terlampau panas dan

    meningkatkan suhu tubuhkita.

    8. Jangan main terus

    dik, ayo belajar

    nanti nggak naik

    kelas malu lho

    Di tengah lelah kita

    belajar, ada masa

    dimana kita ingin

    menghela napasbermain sesuai

    Ketidaknaikan kelas adalah

    hal yang paling dirasakan

    sebagai aib oleh kita

    ketika bersekolah. Simboldari kebodohan dan

  • 7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat

    47/239

    Yohanes Sanaha Purba | 42

    keinginan kita, namun

    tiba-tiba munculperingatan yangmengingatkan kita

    pada kemungkinankegagalan studi.

    kemunduran yang terus kita

    hindari. Bagi sebagian darikita, tidak naik kelasseolah menjadi pengalaman

    pahit dalam kehidupansosial dan justru bukandalam pengalaman studi.

    Bukan saja kita, orang tuajuga ikut malu denganketidakmampuannya

    melancarkan studi kita.

    9. Hati-hati kalau

    berteman sama orangitu, nanti kamu

    dicurangi

    Baik di sekolah atau

    di rumah kita acapmemiliki kawan dekat

    yang orang tua kita

    kenali. Lepas daribenar atau salah,

    orang tua acapmemperhatikan asal

    Suasana termanfaatkan

    kadang justru menjadisimbol penerimaan sosial

    bagi kita. Ketika

    masyarakat membutuhkan kitaatau sahabat memerlukan

    bantuan kita, perasaanmenjadi berguna begitu kuat

  • 7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat

    48/239

    Etika Pendidikan Anak | 43

    usul dan penampilan

    teman kita hinggakadang menarikkesimpulan tentang

    sifat pribadi temankita.

    dalam diri kita. Namun

    dalam sebagian kasus, kitamungkin mengalami suasanadimana orang lain mengambil

    untung yang terlalu besarpada kita hingga kitasendiri dirugikan.

    10. Hati-hati itupisau, nanti luka,

    biar mama yang iris

    bawang

    Muncul keinginan kitauntuk menirukan

    keasyikan orang

    memasak entah itu ibuatau pedagang makanan

    di sekitar kita.

    Benda-benda di sekitar kitabegitu menarik untuk

    digunakan. Agar tidak

    membahayakan kita sebagaipemakai pemula, benda-benda

    tajam acap menjaditerlarang bagi kita.

    11. Hati-hati banyakularnya, bisa mati Kita biasa begitubernapsu ketika

    melihat lahan kosong

    Tingginya kasus kematiananak akibat patukan ular

    menyebabkan beberapa orang

  • 7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat

    49/239

    Yohanes Sanaha Purba | 44

    digigit yang lebar dan

    memungkinkan kitabermain bebas entahbersama teman atau

    sendirian. Semakintertutup tanaman,kita justru

    menginginkantenggelam dalamrimbunnya flora.

    tua khawatir bilamana kita

    memasuki tempat yangpotensial sebagai habitatular. Biasanya tempat

    dengan tumbuhan rumput yangmeninggi. Tanpa pengawasanorang tua, kita

    dikhawatirkan mengalamipatukan beracun ular.

    12. Jangan main api,

    kebakaran

    Api adalah materi

    yang menarik bagikita karena bisa

    merubah bentuk materilain menjadi abu.

    Kita pun menyukainya

    atau bahkan sedikitkeheranan oleh cahaya

    yang mungkindibuatnya. Korek api

    Bahan mudah terbakar di

    rumah kita dikhawatirkanakan terpicu oleh permainan

    api yang kita lakukan meskihanya sekedar untuk mengisi

    waktu. Orang tua juga

    mengkhawatirkan bilamanakita tersengat oleh panas

    api sekecil apapun karenacukup menyakitkan.

  • 7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat

    50/239

    Etika Pendidikan Anak | 45

    biasanya benda yang

    oleh beberapa darikita sungguh disukai.

    13. Jangan malas, ayokerja!

    Kita acap memilihbermain atau bekerja

    di tengah suasanakerja dimana orangtua atau orang disekitar kita saling

    sibuk. Kita terkadang

    tidak mengenal waktukarena kebahagiaan

    kita ada di aktivitasyang memang kita

    pilih sendiri dan

    tidak dipilihkanlayaknya pekerjaan.

    Dimaksudkan untukmenghindarkan kita dari

    pola hidup yangmenggagalkan masa depankita. Permainan pada masatertentu dianggap menjadi

    biang keladi yang

    menjauhkan kita darikebiasaan rajin dan tekun

    bekerja. Bekerja sendiriscope-nya masih terbatas

    pada pekerjaan-pekerjaan di

    dalam rumah.

  • 7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat

    51/239

    Yohanes Sanaha Purba | 46

    14. Jangan senang-

    senang, nanti gagal

    masa depanmu

    Hampir sama dengan

    anjuran belajar,

    beberapa dari orangtua kita di masa lalu

    yang melihat

    aktivitas kitabersenang-senang atau

    bahkan sekedarrefresing sebagai hal

    yang tabu karena

    memboroskan waktuterutama bagi kitayang berasal dari

    keluarga yang tidaksungguh berkemampuansecara ekonomi.

    Bersenang-senang identik

    dengan kata foya-foya bagi

    sebagian besar orang tuadari kalangan pekerja

    keras. Meski tidak

    menghabiskan banyak waktu,bersenang-senang

    dikhawatirkan menimbulkanhasrat mencandu yang

    menjauhkan kita dari

    semangat melakukantindakan-tindakanfungsional seperti belajar

    dan bekerja.

    15. Hati-hati janganlupa PR kamu, nanti

    dihukum kalausampai nggak

    Dari sekian banyakalasan kita

    mengerjakan PekerjaanRumah yang diberikan

    Dimaksudkan untukmenumbuhkan kedisiplinan

    dan inisiatif ketekunankita dalam belajar.

  • 7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat

    52/239

    Etika Pendidikan Anak | 47

    selesai guru di sekolah

    adalah karenakonsekuensi dimarahiatau dipermalukan

    sebagai sang pendosadi hadapan komunitaskelas bilamana tidak

    mengerjakan.

    16. Hati-hati jangan

    dekat-dekat anjing,

    nanti digigit ...rabies ... bisamati

    Kita menyukai anjing

    atau hewan lain yang

    mengasyikkan karenakejinakannya atauperilakunya yang lucu

    lepas daripengetahuan kita akanpenyakit, konsekuensi

    berbahayanya danpengetahuan mengenai

    sebagian agama yangmungkin melarangnya.

    Dimaksudkan untuk

    menghindarkan kita dari

    kemungkinan tergigit olehanjing atau hewan lain yangsejenis. Sebagian dari kita

    juga menghindari jenis-jenis hewan tertentu yangdiharamkan oleh agama.

    Rabies sebagai penyakityang dibawa melalui air

    liur anjing kerap dijadikanalasan untuk menakuti atau

  • 7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat

    53/239

    Yohanes Sanaha Purba | 48

    membentuk rasa benci bahkan

    jijik kita pada anjingsekalipun mereka tidakmenggigit.

    17. Hati-hati, dia

    orang asing, nantidiculik

    Orang yang hadir di

    sekitar kita ketikasedang di luarlingkungan rumahsering tidak kita

    kenali. Beberapa

    diantaranya terkadangsangat baik meski

    tidak mengenal kita.Menawarkan makanan,

    minuman atau bahkan

    mengantar pulangsekolah acap

    dilakukan suatu waktuolehnya pada kita.

    Tingginya kasus penculikan

    anak di masa tertentu telahmendesak sebagian dariorang tua kita untukmewaspadai kemungkinan

    terculiknya kita. Modusnya,

    orang asing memberikantawaran diantar pulang pada

    anak ketika berjumpa didepan sekolah untuk

    kemudian dibawa ke tempat

    yang asing. Disitulah parapenculik beroperasi memeras

    orang tua yang anaknyadisekap.

  • 7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat

    54/239

    Etika Pendidikan Anak | 49

    18. Ayo berdoa, nanti

    masuk neraka kalaunakal

    Kita sering

    diperkenalkan padaTuhan sebagai sosok

    kuat yang mudah marah

    dan menghukumbilamana kita

    bersalah. Suasanayang kadang membuat

    kita sangat takut

    bilamana lupa berdoakarena segala halburuk yang terjadi

    kemudian sering kitakaitkan begitu sajadengan kesalahan itu.

    Orang tua mengenalkan agama

    kepada kita dengan berbagaicara salah satunya dengan

    kewajiban beribadat dan

    berdoa pada waktu-waktutertentu. Sejumlah orang

    tua memiliki cara yangumumnya digunakan yaitu

    memahamkan kita mengenai

    konsekuensi neraka dalamkehidupan setelah mati.Selain karena kebutuhan

    religi, orang tua kerapmendorong anak berdoakarena tidak ingin kita

    dijauhi secara sosial olehkomunitas agama kita karena

    kemalasan kita berdoa.

  • 7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat

    55/239

    Yohanes Sanaha Purba | 50

    Dalam perjalanan, sebagian dari kita memiliki

    berbagai perilaku yang berkaitan erat dengan oleh

    bahasa-bahasa yang berdengung terus dalam otak kita

    dan mengkondisikan kita menjadi pribadi tertentu

    seperti saat ini. Lepas dari motif dan tujuan penggunaan

    bahasa instruksi atau peringatan oleh orang tua pada kita

    di masa lalu, berbagai kemungkinan pembentukan diri

    yang menyimpang potensial terjadi.

    Implikasi dari bahasa masa kecil tidak sama di

    setiap pribadi karena dalam masing-masing kehidupan

    kita, pengolahan atas peristiwa-peristiwa kehidupan lain

    sangat mungkin memperbaiki bahkan menyembuhkanimplikasi negatif dari beberapa pola bahasa diatas.

    Berbagai kemungkinan implikatif yang muncul dalam

    penelusuran penulis juga tidak serta merta selalu dan

    pasti terjadi dalam hidup kita karena konteks kehidupan

    setiap pribadi pastilah unik sehingga tidak mungkindigeneralisasi.

    Kebutuhan kita adalah mencoba mengolah

    kemungkinan implikatif dari pembentukan diri kita di

    masa lalu. Untuk membantunya, penulis membangun

    sebuah tabel yang menguraikan berbagai kemungkinan

  • 7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat

    56/239

    Etika Pendidikan Anak | 51

    negatif dari 18 pola bahasa yang digunakan orang tua

    kita di masa lalu. Dari tabel tersebut kita akan

    membiasakan diri kita untuk membongkar secara kritis

    masa lalu dan kekinian hidup kita.

  • 7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat

    57/239

    Yohanes Sanaha Purba | 52

    Instruksi /

    Peringatan pada

    Anak

    Kemungkinan Implikatif

    Hati-hati naik

    sepeda nanti

    jatuh

    Sebagian orang hingga usia dewasa tidak memiliki cukup

    keberanian bersepeda karena ketakutan oleh konsekuensi yang

    ditimbulkannya. Sebagian yang lain mulai enggan bersepedakarena resiko jatuh atau tertabrak pengguna jalan yang lain.

    Resiko terburuk seolah menjadi hal pertama yang muncul di

    pikiran sebelum memutuskan untuk bersenang-senang dengansepeda. Di luar kasus sepeda, kita sendiri menjadi mudahterbentuk sebagai pribadi yang selalu menggunakan resiko

    terburuk dalam pilihan kita. Hal tersebut tidak sama sekali

    salah, karena benar atau salah bukan tujuan bahasan ini,namun kita menjadi pribadi yang tidak spontan karena selalu

    meragukan berbagai tindakan yang hendak kita lakukan. Ketika

    waktu menuntut kita untuk memilih tindakan dengan cepat,

    kita bisa jadi menjadi pribadi yang selalu terlambat karenatakut pada resiko yang terburuk. Spontanitas yang terhambat

  • 7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat

    58/239

    Etika Pendidikan Anak | 53

    membuat kita tidak mampu menikmati hidup yang dipenuhi hal-

    hal baru yang berlalu dengan cepat. Mempertimbangkankonsekuensi dari pilihan tindakan tidak sama denganmeragukan sebuah pilihan karena gambaran resiko terburuk

    yang membayangi otak kita. Akhirnya kita menjadi pribadiyang tidak sempat menikmati pengalaman bersepeda karenafokus aktivitas kita adalah upaya untuk tidak jatuh.

    Hati-hati dik,

    jangan lari-

    lari nanti

    capek

    Lelah menjadi konsekuensi dari aktivitas fisik yang kitalakukan. Beberapa dari kita menjadi begitu membenci kondisi

    lemah tubuh kita ketika lelah. Pola semacam ini muncul bukan

    karena kita membenci suatu aktivitas seperti berlari ataubekerja pada bidang tertentu namun lebih karena keenggananpada kelelahan sebagai sebuah konsekuensi. Persoalannya

    adalah tidak ada tindakan atau pekerjaan yang tidakberkonsekuensi lelah. Pola yang terjadi adalah, kita tidakmampu menikmati lelah. Kebencian kita pada kondisi lelah

    membuat kita memilih aktivitas-aktivitas yang ringanmeskipun tidak cukup menghasilkan baik kesenangan maupun

    penghargaan hidup atas diri kita sendiri. Ada masa dimanakita menjadi sungguh mengalami hidup ketika mampu menghadapi

  • 7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat

    59/239

    Yohanes Sanaha Purba | 54

    lelah dengan nikmat daripada menghindarinya hingga lelah

    sendiri.

    Jangan hujan-

    hujan, ntar

    masuk angin

    Masuk angin merupakan salah satu penyakit yang familiar bagimasyarakat Indonesia khususnya anak-anak. Hujan sendiri

    mengandung keasyikannya sendiri karena tidak merupakan hal

    yang terbuat oleh manusia. Hujan datang di waktu yangspontan dan memiliki makna keindahan, kebebasan dan

    kesejukan. Banyak seniman dan sastrawan menggunakan hujansebagai bagian dari karyanya. Masuk angin oleh karena

    kehujanan menjadi bagian yang adil ketika kita hendak

    menikmati hujan sebagai sebuah permainan. Lepas darikemungkinan sakit karena sergapan dinginnya hujan, anak yangtakut mengambil resiko spontan bermain di bawah derasnya

    hujan mungkin akan terbentuk menjadi pribadi yang engganmemilih resiko dibalik kemampuan mengekspresikan diri ditengah alam yang menyenangkan. Hujan menjadi faktor yang

    begitu negatif bagi banyak pribadi hingga banyak diantarakita sekedar menikmati hujan sepanjang hidup kita dari

    tempat yang teduh tanpa sekalipun pernah sengaja memainkanair di bawah runtuhan hujan yang mendinginkan hati. Kita

  • 7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat

    60/239

    Etika Pendidikan Anak | 55

    acap menjadi penikmat daripada pelaku kehidupan yang lama

    kita inginkan namun takut akan resikonya. Banyak resiko itusendiri sebenarnya bisa diatasi, sebagai contoh masuk angintentu bukan penyakit yang tanpa obat. Sayangnya, kita acap

    memilih mengorbankan keinginan dan kebahagiaan kita karena

    malas mengatasi resiko dari pencapaian keinginan kita.

    Ih... kotor

    lho, jangan

    main tanah,

    banyak cacing,

    ntar sakit

    cacingan

    Tanah dan batu kerap menjadi media seni yang menghasilkan

    berbagai bentuk seperti patung, pahatan, guci bahkanbangunan rumah atau monumen. Dalam beberapa aliran seni,

    lumpur bahkan menjadi bagian dari pertunjukan seni tari.

    Dibalik semuanya, tanah bukan materi yang steril semenjakpembusukan di dalamnya menimbulkan kehidupan bagi tanamanyang tumbuh di atasnya. Tentu berbagai hewan yang kelihatan

    dan tidak kelihatan oleh mata manusia tinggal di dalamnya.Salah satunya adalah cacing. Cacing kerap menjadi obyek yangmenimbulkan trauma pada anak dan orang dewasa. Ketakutan

    pada bentuk yang dipersepsikan mengerikan mebuat banyakorang menghindar dari permainan tanah dan menggesernya pada

    bahan sintetik yang dipajang di toko mainan atau stationary.Persoalannya lagi-lagi berkaitan dengan kemungkinan

  • 7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat

    61/239

    Yohanes Sanaha Purba | 56

    munculnya perilaku paranoid atas tanah yang seolah

    mendakwanya sebagai sumber penyakit. Menjadi kotor seolahbegitu tabu dan dipersoalkan juga secara kesehatan sehinggamenghentikan langkah kita untuk beraktivitas. Dimulai dari

    tanah, banyak dari antara kita menabukan permainan tanah dihalaman rumah karena cara kita melihat tanah yangmenjijikan. Kita bahkan tak pernah membiarkan diri kita

    tanpa alas kaki di tanah. Resiko kotor atau cacingan sendirisecara logis mudah ditanggulangi, namun kita lebihberkonsentrasi kepada resiko tersebut daripada menerima

    bahwa setiap hal tidak terlampau seberbahaya dan menakutkan

    seperti yang kita pikirkan. Bukankah udara juga mengandungkelemahannya karena berbagai partikel dan hewan mikro hidup

    di dalamnya. Apakah dengan begitu kita menjadi takut padaudara? Sebagian dari kita mungkin begitu higienis dalam

    kehidupan sehingga sebagai manusia kita kehilangan kemampuan

    untuk percaya diri mengatakan Ill survive ketika

    kehilangan berbagai proteksi atas kenyamanan, kesehatan dan

    kebersihan. Daya eksplorasi dan kemampuan hidup kita menjadi

    sedemikian terbatas karena seolah alergi pada kehidupan yangmemaksa kita keluar dari zona aman. Mari kita tarik

  • 7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat

    62/239

    Etika Pendidikan Anak | 57

    kebelakang, apakah manusia Indonesia di masa lalu punah

    hanya karena tidak memakai sandal dan hidup berlantai tanah?

    Hati-hati

    kalau bicara,

    nanti kena

    marah guru

    Perdebatan tradisional yang muncul dalam ilmu pendidikan

    sudah lama mengolah sejauh mana ruangan kelas menjadi tempatyang komunikatif, penuh aktivitas relasional atau diam dalam

    tipologi sistem ceramah. Setidaknya muncul aliran pengajaransatu arah (monologis) atau dua arah (dialogis).Persoalannya, ruangan kelas pada masa lalu menjadi tempatdimana mencatat dan mendengarkan sebagai aktivitas pasif

    (passive learning) masih berjalan secara umum dan diterima

    khalayak. Berbicara dan mengemukakan pendapat hal yang tabuatau setidaknya kita mewarisi keyakinan bahwa merespon guru

    sebagai yang dituakan pun menjadi bentuk ketidaksopanan itusendiri. Setidaknya masih banyak guru, termasuk penulis,

    yang bergulat dengan dirinya sendiri ketika harus menghadapi

    arus kesetaraan guru-siswa di kelas. Inilah implikasinya,kita menjadi pribadi yang begitu enggan berbicara dihadapan

    yang dituakan atau dihormati bahkan di tingkat pertemuan-pertemuan kerja karena kebiasaan hirarkial yang ditanamkan

  • 7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat

    63/239

    Yohanes Sanaha Purba | 58

    secara serampangan. Sebagai lanjutannya, kita sendiri merasa

    jengah ketika rekan kerja, murid atau orang lain yangdianggap sebagai pihak yang berada dibawah kita secarahirarkial mencoba berbicara atau bahkan mengkritik kita.

    Kita hidup dalam masyarakat setara namun secara bawah sadarkita sendiri mereproduksi pola tradisional yang masihmenempatkan tingkat-tingkat sosial atas dasar usia, jabatan

    dan pengalaman di wilayah pergaulan sosial. Kita membencihirarki yang penuh unggah-ungguh tanpa kebenaran yangterpaparkan secara transparan namun kita menikmatinya ketika

    menjadi pihak yang diuntungkan oleh peran sebagai orang tua,

    guru, pemimpin dan yang ditokohkan. Kita rela mati untukmempertahankan peran menguntungkan itu hanya untuk merenggut

    kebebasan bicara tanpa rasa enggan. Padahal, tanpa itu semuakita masih berhak berbicara dengan nyaman meski di hadapan

    yang dituakan.

    Kalau lewat

    jalan itu kamu

    hati-hati,hiiii banyak

    Televisi oleh sejumlah pakar komunikasi menjadi bagian yang

    penting dalam mengkonsepsikan selera dan hasrat bawah sadar

    masyarakat. Rating program-program yang menayangkan kupasanmengenai dunia mistis selalu tinggi hingga hampir seluruh

  • 7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat

    64/239

    Etika Pendidikan Anak | 59

    setannya stasiun televisi memiliki program sejenis. Pembahasan yang

    meletakkan lokasi-lokasi tertentu sebagai tempat berhantubukan muncul hari-hari ini saja namun bilamana kita tarik kebelakang, kita akan melihat narasi yang sama namun dalam

    bentuk kisah tuturan dari orang tua, tetangga atau temankita. Lepas dari benar atau salah isi cerita tersebut, kitaacap melihat bagaimana kisah tersebut digunakan untuk

    menguasai pikiran kita sebagai anak. Dengan cara yang sama,orang tua atau orang lain di sekitar kita menghindarkan kitauntuk melakukan sesuatu dengan alasan yang menggetarkan bulu

    kuduk kita. Lambat laun tanpa kita sadari kita acap

    membatasi diri kita dengan hal-hal yang lain melaluipenciptaan atas ketakutan pada berbagai narasi mengenai

    kisah mistik. Sekalipun narasi itu benar, kita tetapmemerlukan kemampuan untuk menabrak ketakutan kita sendiri

    dan merasakan pengalaman yang terbatasi olehnya.

    Persoalannya bukan persoalan membuktikan atau mencoba namunbilamana kita tengok dalam pengalaman kita, berapa puluh

    atau bahkan tempat yang tak pernah kita masuki akibat sebuah

    cerita. Bilamana Columbus memakai cara berpikir danbertindak yang sama dengan kita, kita tidak pernah menyadari

  • 7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat

    65/239

    Yohanes Sanaha Purba | 60

    bahwa bumi ini berbentuk bulat. Hanya oleh sebuah narasi,

    kita terenggut hak untuk merasakan pengalaman berada disebuah tempat tertentu atau pengalaman melakukan sesuatuyang baik.

    Hati-hati

    jangan

    kepanasan,

    nanti pusing

    Hampir sama dengan ketakutan akan hujan, panas matahari

    kerap dikambinghitamkan sebagai penyebab rasa pusing dikepala. Kita tidak sedang membicarakan pembuktian ilmiah

    kedokteran mengenai panas matahari dan kesehatan disini.Yang sedang kita lakukan adalah mencoba meniadakan perasaan

    cemas mengenai kondisi alam di sekitar kita yang membatasi

    diri dalam berperilaku dan beraktivitas. Bahwa sengatanmatahari bagi sebagian orang bisa menimbulkan efek alergisberlebih tidak menjadi persoalan yang hendak dibicarakan

    disini, namun bagaimana fokus pilihan yang akan kita lakukansedapat mungkin tidak terpancang pada kemungkinan terburukdari hal tersebut. Terkadang kita memutuskan untuk tidak

    melakukan sesuatu karena hambatan natural dari kondisilingkungan di sekitar kita hingga kita melupakan cara

    mengatasinya. Marilah kita kembali pada kisah di awal bukuini yang menceritakan bagaimana anak-anak barat telah

  • 7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat

    66/239

    Etika Pendidikan Anak | 61

    mengatasi paparan sinar matahari dengan sun block, sebuah

    topi dan sebotol minum di pinggang mereka. Pada kesempatanyang sama, sekelompok anak-anak Indonesia mengeluh lelah danbahkan pingsan karena kondisi lingkungan yang lebih ringan

    hanya karena tidak berinisiatif menggunakan topi dan botolminuman secukupnya. Kalau akhirnya mereka menggunakan topi,itupun karena guru memerintahkannya begitu. Cara kita

    melihat rintangan sebagai hambatan atau justru sebagaitantangan untuk diatasi tergantung dari bagaimana masa lalukita dibentuk.

    Jangan main

    terus dik, ayo

    belajar nanti

    nggak naik

    kelas malu lho

    Jangan malas,

    ayo kerja!

    Jangan senang-senang, nanti

    Bermain adalah hal yang mengasyikkan namun tidak semua darikita meyakini bahwa belajar adalah hal yang serupa. Agak

    sulit untuk menyatukan kegiatan belajar dan bermain dalamsatu aktivitas mengingat keduanya dipersepsikan salingbertolak belakang. Setidaknya berbagai upaya secara teoritis

    dan praktis terus diujicobakan dalam dunia pendidikan. Lepasdari berbagai upaya untuk membangun kemungkinan belajar yangsemengasyikan bermain, kita perlu membongkar darimana asal

    dualisme bermain dan belajar dalam masa lalu hidup kanak-kanak kita. Rasanya tepat untuk mengatakan bahwa sejak mula

  • 7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat

    67/239

    Yohanes Sanaha Purba | 62

    gagal masa

    depanmu

    Hati-hati

    jangan lupa PR

    kamu, nanti

    dihukum kalau

    sampai nggak

    selesai

    kita ditanamkan bahwa kegiatan bermain yang kita lakukan

    sama sekali kehilangan fungsi positifnya. Beberapa orang tuadi masa lalu, mungkin hingga sekarang, seolah meyakini bahwakegiatan atau aktivitas yang menyenangkan seperti sebuah

    permainan merupakan kesia-siaan atau penghamburan waktutanpa guna. Dengan cara yang lain, keyakinan bahwa belajarmerupakan kegiatan yang berguna namun tidak mengasyikkan

    menjadi kebenaran yang absolut. Duduk dengan buku dan alattulis di hadapan kita adalah indikator aktivitas belajar.Semakin menderita kita belajar, semakin kuat upaya

    meyakinkan kita bahwa penderitaan tersebut dibutuhkan demi

    menyelamatkan diri dari kegagalan. Pola semacam ini akanmembentuk kita sebagai pribadi yang meyakini bahwa tindakan

    menyenangkan akan berujung pada kegagalan bahkan merupakansebuah dosa. Sebaliknya, pilihan yang paling berkonsekuensi

    pada keterpaksaan dan penderitaan akan berujung pada

    keberhasilan. Setidaknya peribahasa berakit-rakit dahulu,berenang-renang ke tepian menjadi kebenaran takterbantahkan dalam dunia anak dan pendidikannya. Menjadi

    sulit bagi kita untuk kemudian memahami orang yang mampumenikmati pekerjaan dan pembelajaran layaknya sebuah

  • 7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat

    68/239

    Etika Pendidikan Anak | 63

    permainan yang menyenangkan hingga berujung kesuksesan.

    Belakangan, kita juga semakin kerap melihat orang yangmemilih hidup dalam kehancuran karena seolah tidak mampumenemukan pekerjaan atau pembelajaran yang disenanginya

    namun selalu takut akan kegagalan di masa depan.

    Hati-hati

    kalau berteman

    sama orang

    itu, nanti

    kamu dicurangi

    Hati-hati, dia

    orang asing,

    nanti diculik

    Persahabatan tidak selalu berujung manis, beberapa kalidalam hidup kita pastilah diwarnai perasaan dirugikan. Kita

    selalu menjadi pihak yang terugikan, setidaknya begitu versipersepsi kita berbicara. Tidak jarang kita kemudian menjadi

    sedemikian traumatis dalam kehidupan sosial. Beberapa orang

    bahkan begitu mudah mencurigai seseorang yang baruditemuinya atau masuk dalam kehidupannya, entah olehpekerjaan atau tuntutan natural lingkungan sosial. Kenyataan

    mengenai sejumlah orang di luar diri kita yang memiliki niatjahat kepada kita tidak bisa dipungkiri. Orang tua kitatentu sadar betul dengan pola kehidupan sosial semacam itu.

    Namun menjadi titik persoalan bilamana di masa lalu kitabegitu mudah ditanamkan perasaan curiga oleh faktor-faktor

    eksternal dari teman kita. Tidak mudah mengenali niat burukseseorang namun bukan berarti bahwa penampilan, latar

  • 7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat

    69/239

    Yohanes Sanaha Purba | 64

    belakang keluarga dan status ekonomi menjadi indikator yang

    layak digunakan. Orang tua pada masa lalu, tidak semuanyanamun cukup banyak yang mentransferkan rediksionismekultural feodalistik mengenai sifat seseorang melalui asal-

    usulnya. Tidak jarang pada suasana batin kita masa itubertentangan kuat namun otak bawah sadar kita merekam dansangat memungkinkan mereproduksinya dalam kehidupan dewasa

    kini. Meskipun benar bahwa secara sosial banyak pribadi yangberniat merugikan kita atau kalaupun memang merekadiindikasikan dari asal-usul dan status sosialnya, tidak

    sepantasnyalah kiat menjadi pribadi yang penakut, pencuriga

    dan peragu dalam berteman. Seperti mencintai, bertemanmemiliki resiko yang sama, setidaknya hancurnya kepercayaan

    dan relasi interpersonal. Yang lebih penting lagi, kitasebaiknya mulai menyadari bahwa dalam berbagai cara yang

    berbeda, orang lain juga mungkin menilai kita sebagai

    pribadi yang merugikan dan membahayakan kita. Dengan katalain, bukan tidak mungkin suatu saat atau bahkan sudah

    terbentuk suatu masyarakat yang di dalamnya berisikan

    kumpulan orang-orang yang saling mencurigai dan seolahsaling membahayakan satu sama lain. Semuanya tergantung

  • 7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat

    70/239

    Etika Pendidikan Anak | 65

    dari bagaimana masa lalu masyarakat tersebut dibentuk

    terutama ketika seluruhnya masih kanak-kanak.

    Hati-hati itu

    pisau, nanti

    luka, biar

    mama yang iris

    bawang

    Jangan main

    api, kebakaran

    Keinginan untuk mengimitasi kegiatan orang dewasa sudahmuncul sejak kita masih kanak-kanak. Memasak bisa jadi satu

    pilihan dari sekian kegiatan lain yang melibatkan berbagai

    resiko di dalamnya. Tajamnya pisau dan panasnya api adalahkemungkinan resiko yang membahayakan sehingga kadang menjadi

    penghambat untuk mencoba hal yang baru. Kalaupun tetapdilakukan, memasak menjadi aktivitas yang menuntut kita

    untuk terus berwaspada agar tidak terluka. Fokus kita dari

    eksplorasi kemungkinan berinovasi dengan masak menjaditerkorbankan oleh rasa takut kita akan luka yang mungkinterjadi selama kita memasak. Suasana semacam itu tentu tidak

    menjadi harapan orang tua kita di masa lalu, namunpenyampaian resiko yang berlebihan dalam penekanannya sangatmungkin membuat kita menjadi pribadi yang akhirnya tidak

    sempat merasakan nikmatnya pengalaman memasak. Hari-hariini, kita acap menjalankan aktivitas dalam kehidupan sehari-

    hari yang penuh resiko hingga kita tidak cukup menikmatinya.Kuncinya adalah pada fokus kita yang lebih ditujukan pada

  • 7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat

    71/239

    Yohanes Sanaha Purba | 66

    keselamatan diri daripada kemungkinan beraktualisasi dari

    setiap kegiatan itu. Bekerja sebaik-baiknya agar tidakdipecat atau bangkrut membuat kita melupakan bahwa melaluipekerjaan itu, kita bisa berinovasi bahkan beraktualisasi

    hingga merasakan hidup yang sebenarnya.

    Hati-hati

    banyak

    ularnya, bisa

    mati digigit

    Hati-hati

    jangan dekat-

    dekat anjing,

    nanti digigit

    ... rabies ...

    bisa mati

    Hampir sama dengan pola peringatan yang melibatkan faktor-faktor magis seperti telah dibahas sebelumnya atau gigitan

    anjing sebagai resiko berdekatan dengannya, orang tua acapmemulai pembentukan rasa takut sejak kita masih kanak-kanak

    di masa lalu. Agak tipis membedakan antara kewaspadaan dan

    ketakutan akan tergigit oleh anjing atau terpatuk oleh ular.Namun kita tidak sedang berbicara mengenai pembentukantrauma atau persepsi negatif atas hewan tertentu, kali ini

    kita akan membongkar bagaimana kita terbentuk untukmembatasi diri pada aktivitas tertentu di tempat yangtertentu pula. Pembatasan ini diakibatkan oleh keraguan yang

    muncul pada suatu wilayah baru dan bukan lebih padakewaspadaan. Sebagian orang yang masa kecilnya terbentuk

    untuk meragukan tempat yang asing atau liar dalam artiantertentu bisa jadi diakibatkan oleh upaya menakut-nakuti

  • 7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat

    72/239

    Etika Pendidikan Anak | 67

    yang ditanamkan sejak kecil. Kita bisa membayangkan betapa

    terbatasnya kita bilamana disandingkan dengan para pendakigunung atau petugas penyelamat (SAR) yang tidak pernah raguturun ke alam liar untuk menjalankan fungsinya. Lebih amat

    disayangkan lagi bilamana kita menjadi pribadi yang selaumengedepankan kemungkinan terburuk dari langkah-langkah kitamemasuki wilayah baru yang tidak harus diartikan sebagai

    hutan atau lingkungan alam lain, melainkan kehidupan itusendiri. Cukup banyak anak muda yang kesulitan memutuskanmenikah hanya karena takut tersakiti sama seperti masa

    kecilnya yang ragu mengeksplorasi ladang rumput di sekitar

    rumah yang dicap banyak ularnya. Sangat sedikit orang tuayang pernah mengajarkan pada kita bagaimana menghindari ular

    ketika berhadapan dengannya daripada sekedar melarang kita

    untuk memasuki daerah yang kemungkinan banyak ularnya.

    Ayo berdoa,

    nanti masuk

    neraka kalau

    nakal

    Bagaimana kita mengenal Tuhan? Kita tentu masih sangat ingat

    dengan bagaimana cara orang tua mengenalkan kita pada Tuhan.Berdoa bisa jadi sebuah relasi yang mengasyikkan dan penuh

    cinta antara anak dan Tuhan. Kejujuran dan kepolosan kitapada masa lalu semakin mendekatkan diri pada Tuhan tanpa

  • 7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat

    73/239

    Yohanes Sanaha Purba | 68

    menuntut sesuatu bahkan. Dalam perjalanan, kita seolah

    diwarisi keyakinan, meski tidak juga sepenuhnya salah, bahwa

    Tuhan membutuhkan bayaran untuk memberikan sesuatu yang

    kita inginkan. Berdoa dan berbuat baik bisa jadi bukan hasil

    dari pengolahan keinginan tulus seorang anak untukmembahagiakan Tuhan dan sesama namun karena ketakutan akanneraka atau penderitaan. Lambat laun, bukan tidak mungkin,

    berdoa menjadi semacam bayaran yang diberikan agar Tuhantidak menghukum. Persoalannya adalah, hukuman acap hadirdari masyarakat daripada dari Tuhan itu sendiri. Anak yang

    lupa berdoa karena keluguannya menjadi dipersalahkan dan

    dilabelkan nakal oleh orang tua, guru, teman-teman danmasyarakat pada umumnya. Tuhan bukan lagi menjadi tempat

    nyaman dimana kita berlindung semenjak sebagian besar orangtua menanamkan rasa takut terlebih dahulu sebelum cinta

    kepada Tuhan.

  • 7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat

    74/239

    Etika Pendidikan Anak | 69

    Berbagai kemungkinan yang muncul secara

    implikatif dalam hidup kita saat ini seperti yang telah

    diuraikan di atas tidak selalu bersifat absolut. Namun

    demikian, berbagai bahasa yang digunakan oleh orang

    tua pada masa lalu menyimpan berbagai kecenderungan

    yang terbuka untuk kita kritisi dan bukan kita

    persalahkan. Bisa jadi, pada masa itu, orang tua sekedar

    melanjutkan apa yang diperolehnya pada masa

    sebelumnya. Itupun besar kemungkinannya sudah

    mengalami pengkritisan dan modifikasi oleh orang tua

    kita.

    Kita juga memerlukan kemampuan untukmengolah kembali berbagai hal yang muncul dalam diri

    kita melalui refleksi atas berbagai rekaman-rekaman

    kata yang tersimpan dalam diri kita oleh pendidikan di

    masa lalu. Berbagai hal tersebut terkadang tidak

    seluruhnya lebih buruk daripada gaya pendidikan masakini, bahkan nilai-nilai mengenai dasar hidup kultural

    tertentu masih perlu dipertahankan meski tetap dikritisi

    penyampaiannya.

    Namun sekali lagi, kita perlu meyakini bahwa

    anak-anak kita hidup di masa dimana kebebasan acap

    dibenturkan pada nilai-nilai agama dan kebudayaan.

  • 7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat

    75/239

    Yohanes Sanaha Purba | 70

    Masa dimana orang tidak lagi mampu membedakan

    antara pemerdekaan dan pembiaran. Sebagian orang tua

    yang tidak memahami makna kemerdekaan, akibat

    kurangnya pengolahan secara literal maupun empiris

    (pengalaman hidupnya), kerap jatuh pada dua ekstrim

    pendidikan: gaya disiplin yang ketat atau gaya

    pembiaran yang memanjakan.

  • 7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat

    76/239

    Etika Pendidikan Anak | 71

    Pada suatu siang, saya berbincang dengan

    seorang ibu yang menuturkan kesedihannya karena si

    buah hati mengalami kesulitan belajar di sekolah. Sebut

    saja nama anak itu Tasya. Usianya sudah 5 tahun. Dia kini

    duduk di bangku Taman Kanak-Kanak di sebuah sekolah

    lumayan elit di Yogyakarta.

    Sebagai anak pertama, keluarga menaruh harapan

    besar kepadanya. Wajar saja, dalam konteks masyarakat

    Indonesia khususnya Jawa, anak pertama menjadi simbol

    sekaligus bukti keutuhan keluarga secara sosial. Baik

    orang tuanya hingga kakek-neneknya, memperlakukanTasya sebagai instrumen untuk memenuhi harapan

    sosial.

    Ketika Tasya belum mampu menulis seperti

    teman-teman seusianya, orang tuanya mulai cemas

    bilamana masyarakat melihat anak mereka bodoh.

    Sayangnya kecemasan itu acap termanifestasikan dalam

  • 7/25/2019 ETIKA PENDIDIKAN ANAK: Refleksi Kultural Pendidikan Anak di Rumah, Sekolah dan Masyarakat

    77/239

    Yohanes Sanaha Purba | 72

    tindakan-tindakan yang memaksa dan mengintimidasi

    Tasya dalam hidup sehari-harinya.

    Perlu diterangkan sebelumnya bahwa Tasya

    adalah anak yang lebih banyak tumbuh di luar keluarga

    kecilnya. Karena kesibukan kedua orang tuanya yang

    bekerja sebagai pegawai negeri, Tasya kerap dititipkan di

    rumah kakek-neneknya kurang lebih 8 jam setiapharinya. Biasanya pada sore hari, sang ibu baru

    menjemputnya sepulang kerja.

    Mulai dari makan siang, tidur siang hingga mandi

    sore, semuanya dilakukan Tasya di rumah kakek-

    neneknya. Karena sebagian besar waktunya bersama

    kakek, Tasya dikenal sangat dekat dengan kakeknya lebih

    daripada dengan orang tua atau neneknya. Namun kini,

    seiring semakin sepuhnya kak