buku sarlan adijaya

Upload: anonymous-m8qky8eyj2

Post on 07-Feb-2018

301 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

  • 7/21/2019 Buku Sarlan Adijaya

    1/141

  • 7/21/2019 Buku Sarlan Adijaya

    2/141

    Daftar Isi

    Prawacana.. iKata Pengantar : Dr. Ir. San Afri Awang, M.Sc iiiDaftar Isi.. xi

    Bagian 1. Latar Belakang 1

    1.1. Tinjauan Umum. 11.2. Dasar Pemikiran. 21.3. Fokus dan Ruang Lingkup. 51.4. Metodologi. 6

    Bagian 2. Hutan Dalam Perspektif Kultural Orang Tolaki 8

    2.1. Pandangan Orang Tolaki tentang Hutan.. 82.1.1. Hutan Sebagai Basis Ekonomi.. 92.1.2. Hutan Sebagai Ruang Ekspresi Kultural.. 132.1.3. Hutan Sebagai Sarana Ritual. 13

    2.2. Karakteristik Tradisional Kawasan Hutan 152.2.1. Berdasarkan Usia Kawasan.. 152.2.2. Berdasarkan Jenis Vegetasi dan Aliran Sungai 192.2.3. Berdasarkan Kontur Geografis. 20

    2.3. Mondau Sebagai Pranata Pengelolaan Sumberdaya HutanOrang Tolaki. 21

    2.3.1. Monggikii Andoolo. 212.3.2. Mohoto Owuta. 222.3.3. Mosalei. 242.3.4. Monduehi. 252.3.5. Humunu 272.3.6. Moenggai.. 272.3.7. Motasu.. 282.3.8. Mosaira dan Meteia Inimo 332.3.9. Mosowi. 372.3.10.Molonggo.. 41

    2.4. Memudarnya Pranata Mondau. 41Bagian 3. Pengelolaan Sumberdaya Hutan Oleh Rakyat, Perspektif Hari Ini. 43

    3.1. Pola Penggunaan Lahan.. 433.2. Pemanfaatan Lahan : Dari Pekarangan Hingga Hutan Belantara 46

    3.2.1. Pemanfaatan Pekarangan. 463.2.2. Kebun dan Ladang/Tegalan. 483.2.3.

    Perkebunan Rakyat. 513.2.4. Hutan Rakyat.. 54

    xi

  • 7/21/2019 Buku Sarlan Adijaya

    3/141

    3.3. Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu. 563.4. Pemanfaatan Hasil Hutan Non-Kayu. 623.5. Perombakan Hutan Oleh Masyarakat Migran. 70

    3.5.1. Pola Struktural. 703.5.2. Pola Kultural 72

    Bagian 4. Masyarakat dan Intervensi Kebijakan PSDH.. 77

    4.1. Reboisasi plus HTI : Model Pengelolaan Sumberdaya HutanYang Menyesatkan, Belajar dari Kasus Lainea.. 774.1.1. Riwayat Proyek.. 774.1.2. Dari Reboisasi ke HTI 794.1.3. Masyarakat Sebagai Buruh. 814.1.4. Reboisasi dan HTI sebagai Proyek Sarat KKN.. 834.1.5. Berbagai Dampak Proyek.. 854.1.6. Kemelut Hutan Jati 93

    4.2. HPH PT. Intisixta : Potret Arogansi Bisnis Kehutanan.. 954.3. Kawasan Konservasi dan Fakta Peminggiran Masyarakat Adat 101

    4.3.1. Peminggiran Masyarakat di Taman Nasional RawaaopaWatumohai, Potret Petani Tanpa Lahan di KampungTua Lanowulu. 102

    4.3.2. Masyarakat Ditengah Buaian Janji Dan PerebutanKepentingan, Belajar Dari Kasus Pulau Bawulu 110

    Bagian 5. Menggagas PSDH berbasis Masyarakat, Beberapa Catatan Penutup.. 115

    5.1. Menyadap Dinamika Eksternal 1155.2. Otonomi PSDH dan Dinamika Daerah Otonom. 1165.3. Harapan dan Tantangan Otonomi PSDH Ke Depan.. 1215.4. Beberapa Catatan Penutup dan Rekomendasi. 123

    Bahan Bacaan. 127Sekilas Tentang Penulis.. 130

    xii

  • 7/21/2019 Buku Sarlan Adijaya

    4/141

    Daftar Tabel

    Tabel 1. Distribusi luas areal desa menurut pola penggunaan tanah padabeberapa lokasi penelitian, keadaan tahun 2001............................... 54

    Tabel 2. Distribusi jenis, luas dan produksi tanaman perkebunan yangdapat diidentifikasi pada beberapa lokasi penelitian, keadaan tahun

    2002................................................................................................... 64

    Tabel 3. Distribusi Izin Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Di KabupatenKendari, Keadaan Tahun 1990 s.d. 2002.. 68

    Tabel 4. Volume Produksi Kayu Di Kabupaten Kendari dalam 5 tahun

    terakhir . 72

    Tabel 5. Struktur Jenis dan Keadaan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu

    non-IPKTM/IPHHK pada beberapa lokasi penelitian, keadaan

    tahun 2002......................................................................................... 73

    Tabel 6. Volume produksi rotan di Kabupaten Kendari dalam 5 tahun

    terakhir............................................................................................... 78

    Tabel 7. Struktur jenis dan keadaan usaha pemanfaatan hasil hutan non

    kayu pada beberapa desa di lokasi penelitian, keadaan tahun

    2002.. 88

    xiii

  • 7/21/2019 Buku Sarlan Adijaya

    5/141

    PengantarMarginalisasi, Perubahan Sosial dan Kebijakan Tolaki

    Dr. Ir. San Afri Awang, M.Sc

    Misi yang tertangkap dalam buku ini adalah ingin menyampaikan suatu event

    sosial budaya dalam sbuah etnik tertentu yang disebut dengan etnik Tolaki di Kabupaten

    Kendari, Sulawesi Tenggara. Event itu sendiri sangat terkait dengan politik ekonomi

    pemerintah Indonesia dan konservatisme paham-paham konservasi alam pada tataran

    global yang berpengaruh di Indonesia dan penduduk lokal di seluruh Indonesia. Dengan

    demikian, buku pranata hutan rakyat ini sangat dekat dengan model studi etnografi,

    etnoscience dan etnoekologi.

    Etnografi etnik Dayak di Kalimantan dan etnik Tolaki di Sulawesi Tenggara, jika

    dilihat dalam perspektif historis fenomenologis pada kegiatan pertanian perladangan (ed :

    pertanian gilir balik), adala memiliki kesamaan kepercayaan, mitos dan manfaat sistem

    tersebut pada kehidupan masyarakatnya. Etnik dayak sangat percaya bahwa lahan adalah

    sumbr dan lambang kehidupan, sumberdaya hutan dipandang sebagai habitat kehidupan

    mereka, dan karenanya hutan tidak dapat dipisahkan dari lebensraum masyarakat Dayak.

    Demikian pula halnya dengan masyarakat Tolaki di Kendari yang memandang lahan dan

    hutan sebagai bagian dari keseharian hidup masyarakatnya, bagian dari kultur dan tradisi,

    dan sumber kehidupan ekonomi mereka. Di Indonesia masih banyak etnik-etnik lainnya

    yang nyaris sama dengan etnik Dayak dan Tolaki dalam relasinya dengan sumberdaya

    alam yang berada di sekitar kehidupan sosial mereka. Dalam kata yang populer,

    hubungan-hubungan etnik tersebut dengan alammnya tersebut haruslah dilihat dari

    perspektif tindakan-tindakan environmentalism. Namun demikian, menurut Goldblat

    (1996) dalam bukunya social theory and the environment, bahwa untuk melakukan

    kajian atas segala sesuatu yang terkait dengan lingkungan hendaknya harus dimulai

    dengan pengetahuan tentang sejarah sumberdaya dan sejarah etniknya, walaupun tidaklah

    mudah untuk mewujudkan keinginan tersebut karena adanya keterbatasan ilmu sosial

    untuk menjelaskannya.

    Secara political economy, persoalan-persoalan lingkungan di dunia selalu ada

    kaitannya dengan kepentingan-kepentingan kapitalisme dan keadilan sosial dalam

    masyarakat. Eckersley (1992) dalam bukunya environmentalism and polititical theory

    iv

  • 7/21/2019 Buku Sarlan Adijaya

    6/141

    berpendapat bahahwa pendekatan teori structural Karl Marx juga memberi perhatian pada

    relasi antara kerusakan lingkungan dengan kapitalisme, dan keadilan sosial. Tentu

    tidaklah berlebihan untuk dapat mengkaitkan antara kerusakan lingkungan dengan

    kapitalisme global, sebab sudah menjadi rahasia umum saat ini bahwa eksploitasi

    sumberdaya alam di Negara-negara sedang membangun banyak terkait dengan gerakan

    ekspansi bisnis multi national corporation (MNC) dengan pusar di Negara-negara maju

    seperti Ameropa dan Amerika Serikat. Dari gerakan MNC inilah, gurita bisnis

    merejalela di dunia ini. Sumberdaya alam selalu menjadi korban dari sistem itu dan

    kepunahan sumberdaya tersebut tampaknya hanya tinggal menunggu waktu saja. Tidak

    terkecuali di daerah-daerah di Indonesia yang masih banyak memiliki sumberdaya alam

    (hutan dan tambang) akan juga secara perlahan tetapi pasti mengalami kerusakan alam

    yang serius, dan pada saat yang sama, demiki kepentingan capital, baik itu yang

    dilakukan oleh Negara/pemerintah maupun oleh pengusaha, akan berakhir dengan

    tindakan memarginalkan penduduk lokal.

    Buku ini sesungguhnya mengajak para pembaca dan pera pengambil kebijakan di

    Kendari pada khususnya dan di Indonesia pada umumnya untuk mencermati ragam dan

    dinamika penduduk Tolaki dan respon mereka kepada pemanfaatan dan pengawetan

    sumberdaya alam yang ada di sekitar mereka. Pada sisi yang lain, buku ini ingin punyamenyampaikan pesan-pesan moral kepada penentu kebijakan agar tidak sewenang-

    wenang dalam menetapkan sebuah kebijakan yang pada akhirnya berdampak kepada

    ketidak berdayaan masyarakat luas.

    Secara metodologis, kamiagak merasa kesulitan untuk mengkategori penelitian

    dalam buku ini. Kesulitan tersebut karena banyak asumsi yang digunakan, banyak aspic

    yang ingin dicapai dari buku ini, dan aspek kebijakan dan politik lokal atas pengelolaan

    sumberdaya alam hutan lebih mendapat porsi untuk ditindak-lanjuti. Seandainay tujuan

    yang ingin dicapai adalah untuk mengetahui perubahan sosial akubat intervensi

    pembangunan- dan itu dipahami dari relasi fungsi dan struktur dalam masyarakat maka

    pendekatan fungsional structural dalam buku ini telah digunakan dengan baik. Katakan

    saja ketika peneliti mengurai tentang sistem mondau (sistem yang berkait dengan

    perladangan), maka tertangkap kesan sangat detail dan sarat dengan informasi yang kaya

    akan nuansa, diskursus dan manfaat. Ini merupakan nilai sangat memuaskan dari buku

    ini. Namun demikian ketika penulis mencoba mengurai pengaruh-pengaruh eksternal

    yang ikut mengambil bagian dalam proses pemarginalan etnik Tolaki dalam konteks

    v

  • 7/21/2019 Buku Sarlan Adijaya

    7/141

    pembangunan dan pemanfaatan sumberdaya alam utan yang kemudian diperhadapkan

    dengan pranata mondau (pertanian gilir balik) di sisi lain- maka terlihat ada ruang yang

    kosong hilang. Misalnya ruang perdebatan atas data-data yang berasal dari masyarakat

    maupun yang berasal dari pihak-pihak pemerintah. Dengan demikian, secara

    metodologis, buku ini mencoba menggunakan berbagai pendekatan fenomenologis yang

    digabungkan dengan model historiography.

    Secara historiografi digunakanoleh enulis ketika mencoba menggali dan

    menemukenali persoalan yang berkaitan dengan sejarah masa lalu tentang nostalgia

    pembuatan pertanian gilir balik (PGB) atau sistem mondau. Pendekatan ini digunakan

    dalam rangka mencari dinamika sosial budaya yang ada di dalam sistem mondau

    tersebut, ketika semua proses hubungan alam (nature) dengan tindakan-tindakan yang

    dilakukan oleh masyarakat masih memiliki derajat keseimbangan yang baik

    (equilibrium). Hanya saja keseimbangan seperti apa yang terjadi di alam tersebut tidak

    juga (belum) dieksplorasi dan penulis tidak mengajukan hasil analisisnya ke arah hal

    tersebut. Sebab keseimbangan alam tidak hanya dapat dilihat dari aspek pemanfaatan

    sumberdaya alam hutan oleh masyarakat saja, tetapi juga harus dilihat pada seberapa jauh

    daya dukung alam (carrying capacity) dari sumberdaya alam di sekitar kehidupan

    masyarakat Tolaki atau masyarakat di desa-desa penelitian itu telah diketahui dantersedia datanya dengan akurat.

    Keberhasilan penulis dalam konteks ini adalah dalam rangka mengetengahkan

    proses-proses kebijakan eksploitasi sumberdaya hutan secara sistemik dari pemerintah

    pusat maupun pemerintah daerah. Artinya, daya dukung alam itu memang tidak lagi

    dapat dikontrol oleh masyrakat Tolaki yang hidup di desa-desa sekitar hutan karena

    masyarakat tidak mampu melakukan control atas sumberdaya alam. Kiranya, politik

    bisnis kehutanan pemerintah pusat dan daerah memang tidak memihak kepada

    kepentingan masyarakat Tolaki tersebut. Penulis dengan jelas menunjukkan fakta-fakta

    kebijakan sumberdaya hutan (SDH) yang berpihak kepada pengusaha besar seperti

    pemegang ak pengusahaan hutan (HPH) untuk mengusahakan SDH yang ada, dan pada

    saat yang sama hak-hak etnik Tolaki atas PSDH dipinggirkan, dihilangkan secara

    sistematis. Demikian pula halnya dengan izin-izin pemanfaatan asil hutan yang

    dikeluarkan oleh Pemerintah daerah Kendari tiak dala konteks melestarikan hak-ak etnik

    masyarakat Tolaki, tetapi lebih berpihak pada hegemoni ekonomi untuk kepentingan

    mesin pencetak uang dalam pundi-pundi pendapatan aseli daerah- dan tentu untuk

    vi

  • 7/21/2019 Buku Sarlan Adijaya

    8/141

    kepentingan establishment politik lokal itu sendiri. Inilah fakta fenomena yang menjadi

    bacaaan penulis dalam melihat ketidakseimbangan hubungan alam dan masyarakat di

    desa-desa penelitian.

    Fakta paling serius yang mencolok mata yang ingin disampaikan oleh penulis

    adalah proses marginalisasi Etnik Tolaki di beberapa desa yang terkait dengan kebijakan

    pengelolaan kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TNRAW) yang bermuki

    di kampung tua Lawowulu. Jauh sebelum TNRAW ditetapkan sebagai daerah konservasi

    ole Pemerintah pada tahun 1976, etnik Tolaki di kampung tua Lanowulu sudah bermukim

    lama di sana. Penduduk kampung dalam berinteraksi dengan sumberdaya hutan sudah

    merupakan bagian dari kehidupan, kultur dan memiliki relasi dengan kepercayaan yang

    bersifat magis. Sejak ada claim oleh Negara/pemerintah atas wilayah kampung tua itu

    maka muncul konflik pertanahan (tenurial) yang sangat serius dan berdampak destruktif

    pada masyarakat dan pada sumberdaya alam hutannya. Salah satu yang terpenting dalam

    konflik ini adalah terusirnya penduduk Lanowulu dari habitat adatnya. Kini mereka

    menjadi masyarakat nomaden, tidak memiliki lahan bukan karena perilaku kultural, tetapi

    karena terpinggirkan (dipinggirkan) dan tidak boleh lagi menetap did ala kawasan

    TNRAW, meski secara historis sebagian kawasan hutan tersebut merupakan hak adat

    etnik Tolaki.Saat ini di lapangan sedang terjadi ketegangan sosial antara etnik Tolaki di

    wilayah tertentu dengan pihak TNRAW. Disinilah penulis ingin mencoba mengajak

    semua pihak menyelesaikan masalah di kampung tua itu secara damai dan

    berperikemanusiaan, bukan dengan cara melakukan genocide atas satu etnik tertentu.

    Pertanyaan kritisnya dalah dimana posisi pemerintah daerah yang otonom itu atas nasib

    masyarakatnya?.

    Untuks ebuah kajian akademik, buku ini dapat dianggap kurang focus, dalam arti

    kata unit-unit analisisnya sangat luas, sampel desa lebih dari 10 desa dengan karakteristik

    etnik dan alam yang hampir sama, sehingga aspek generalisasi kelihatannya sangat kuat.

    Boleh jadi kondisi seperti ini tidak menghilangkan aspek khusus yang seharusnya lebih

    bernilai dan lebih dapat diperdalam informasinya. Tetapi kami dapat memaklumi

    keinginan penulis Yusran Taridala dan Sarlan Adijaya, keduanya ingin melakukan

    generalisasi karena sesungguhnya ketidakadilan atas sumberdaya alam sebagaimana yang

    terjadi atas etnik Tolaki itu telah terjadi dimana-mana dan tidak ada pembelaan yang

    dilakukan oleh peerintah daerah terhadap masyarakat ketika kebijakan-kebijakan

    vii

  • 7/21/2019 Buku Sarlan Adijaya

    9/141

    pemerintah pusat mulai menindas dan meniadakan hak-hak etnik Tolaki (dan etnis

    senasib) atas sumberdaya alam hutan.

    Disadari sepenuhnya bahwa buku ini bukan dimaksudkan untuk kajian akademik

    atas sebuah teori besar yang telah mapan dalam ilmu-ilmu sosial. Penulis memilih

    langkah empirisme dalam menguraikan ragam informasi yang diperlukan dalam

    analisis. Secara jelas pula penulis mengatakan bahwa tujuan dari buku ini adalah

    menyiapkan kerangka analisis dan referensi kebijakan bagi sebuah proses penyerahan

    sistem pengelolaan SDH dari state based menjadi community based, yang lebih

    transparan, berkeadilan sosial, akuntabilitas publik yang tinggi dan memiliki kepastian

    hukum yang jelas. Dalam tataran seperti ini maka layak sekali jika buku ini menjadi salah

    satu referensi penting untuk kebijakan SDH di Kabupaten Kendari.

    Terlepas dari beberapa kekurangan dari buku ini, tentu banyak hal pula yang patut

    mendapat pujian dari buku ini. Jika saya ditanya apa yang sangat berguna dari buku ini,

    maka informasi yang sagat berguna dari buku ini, antara lain : (1) buku ini berhasil

    menggambarkan secara kualitatif tentang perubahan sistem penggunaan lahan yang

    semula diawali dengan sistem mondau kemudian karena introduksi teknologi dan pasar,

    sistem mondau berkembang ke arah penggunaan lahan yanglebih komersial walaupun

    masih ada bagian yang subsisten. Berubahnya mondau dari tanaman pangan menjaditanaman perkebunan adalah bentuk komersialisasi desa dan kapitalisasi global yang

    sudah sampai di desa-desa Kendari ; (2) fenomena pebukaan lahan hutan untuk ditanami

    tanaman koersial seperti kakao merupakan transformasi baru dasi sistem penggunaan

    lahan di masyarakat etnik Tolaki. Informasi seperti ini imemberikan pelajaran kepada kita

    bahwa perubahan sosial dalam satu masyarakat itu akan terjadi baiks secara terencana

    mauun secara alamiah oleh karena kebutuhan masyarakat sendiri. Karenanya, pranata

    sosial budaya hendaknya menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut, dan penyesuaian

    tersebut tetap dalam koridor yang positif dan konstruktif. Semua peluang yang merubah

    pranata kearah negatif sudah seharusnya diperkecil atau dihilangkan sama sekali ; (3)

    model hutan rakyat dalam etnik Tolaki adalah hutan rakyat campuran antara tanaman

    keras, tanaman perkebunan dan semak belukar. Kondisi ini menggabarkan bahwa tahapan

    perkembangan hutan rakyat di desa-desa penelitian berada pada tahap permulaan sebagai

    hutan buatan, karena terbukti dari komposisi tanaman jati lokal dan tanaman perkebunan.

    Hutan rakyat yang masih relatif berasal dari alam adalah hutan sagu yang terletak pada

    tepian sungai ; (4) intervensi peerintah dalam mengebangkan hutan rakyat (kehutanan

    viii

  • 7/21/2019 Buku Sarlan Adijaya

    10/141

    masyarakat) dengan cara memberi bantuan bibit jati putih, jati unggul, kakao, lada, jambu

    mete, durian, rabutan dan jeruk adalah positif. Hanya saja menanam tanaman asing

    seperti jatih putih dan padi unggul sangat tidak menguntungkan, sebab diketahui jatih

    putih di Jawa tidak memiliki nilai ekonomi, sementara jati unggul hanya korban dari

    pebisnis saja. Sampai saat ini belum ada bukti keberhasilan jati unggul tersebut. Di

    beberapa tempat di Indonesia, jati lokal lebih baik dari jati unggul. Seharusnya

    pemerintah daerah melindungi rakyatnya, bukan malah membuat kesalahan karena

    bekerja sama dengan pengusaha bibit jati unggul. Siapa yang akan bertanggungjawab jika

    jati unggul gagal secara ekonomi?; (5) dari buku ini semua orang dapat lebih memahami

    proses transformasi seperti apa yang sedang berlangsung di Kendari, dan perubahan

    sosial budaya seperti apa yang sedang berproses di etnik Tolaki khususnya dan di

    Kendari pada umumnya ; (6) marginalisasi Etnik Tolaki di desa-desa tertentu telah

    embawa kesengsaraan bagi penduduk desa tersebut, dan hal tersebut karena munculnya

    kebijakan konservasi sumberdaya alam. Terpikirkan bahwa pihak pemerintah yang

    berlindung atas dasar konservasi itu janganlah meneruskan tindakan yang fasis,

    otoritarian, dan feodalis.

    Buku ini sangat menarik dibaca oleh semua pihak, dosen, mahasiswa, LSM,

    pejabat pemerintah, rimbawan, pencinta lingkungan, dan masyarakat lainnya. Satu-satunya hal yang dapat membosankan pembaca sesungguhnya terletak pada istilah-istilah

    yang digunakan sangat bersifat lokal dan sulit dimengerti oleh pembaca non-Tolaki.

    Bagi masyarakat Tolaki dan pemerintah Kendari tentu dialeg-dialeg lokal ini akan lebih

    memudahkan cara memahami proses transformasi dan marginalisasi penduduk dalam

    rentang sejarah dan fenomena kekinian.

    Akhirnya selamat kepada penulis buku ini Yusran Taridala dan Sarlan Adijaya.

    Semoga ini menjadi ibadah kita dan menjadi lebih berguna bagi masyarakat Tolakid an

    pemerintah daerah Sulawesi Tenggara.*

    Bahan Bacaan

    Eckersley, R. (1992). Environmentalism and Political Theory: Toward an ecocentricapproach. UCL Press, New York.

    Goldblatt, D. (1996). Social Theory and the environment. Polity Press, UK.

    ix

  • 7/21/2019 Buku Sarlan Adijaya

    11/141

    Prawacana

    Keinginan banyak pihak untuk terus mendorong terwujudnya kegiatan kehutanan

    masyarakat sapai pada tingkatan realitas masyarakat terus enjadi dirkursus, dan prose situ

    seperti gerakan bola salju yang menggelinding, dan membesar. Namun demikian,

    tingkat peahaman atas demokratisasi sumberdaya ala hutan yang dikemas dalam gerakan

    kehutanan masyarakat di Indonesia ragamnya sangat tinggi antar institusi, antara

    pemerintah daerah, dan antar penggiat-penggiat kehutanan masyarakat.

    Perasaan tersebut di atas juga dirasakan oleh penggiat kehutanan masyarakat di

    Kabupaten Kendari, Sulawesi Tenggara (LSM, Perguruan Tinggi, Pemerintah Daerah,

    masyarakat dan lain-lain). Sesungguhnya perasaan tersebut juga dirakan oleh banyak

    orang yang ingin mendorong diskursus menjadi realitas yang dapat dirasakan manfaat

    dan fungsinya oleh sebagianb esar masyarakat. Ini tentu saja merupakan sebuah

    tantangan yang harus kita jawab bersama. Buka Pranata Hutan Rakyat (studi kasus

    Kabupaten Kendari) ini dimaksudkan untuk mengisi kekosongan inforasi yang berkaitandengan sumberdaya alam dan permasalahannya dengan masyarakat, khususnya pada satu

    etnik Tolaki di Kabupaten Kendari. Bagaimana proses perubahan sistem penggunaan

    lahan hutan berdasarkan adat dan sistem penggunaan lahan saat ini mendapat elaborasi

    yang baik dalam buku ini. Proses dimana satu etnik dala satu desa kehilangan hak-hak

    atas lahan mereka oleh kebijakan konservasi sumberdaya alam, juga mendapat perhatian

    yang tajam dalam buku ini. Inforasi seperti ini sangat penting dalam melakukan negosiasi

    kebijakan dengan pihak pemerintah, guna mencari solusi hendak dibawa kemana

    engelolaan sumberdaya hutan kita ini pada masa yang akan datang.

    Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM) adalah wadah independen

    untuk mengkounikasi berbagai aspek pembangunan kehutanan dan pembangunan

    masyarakat yang berpihak kepada kepentingan sosial asyarakat dan lingkungan yang

    sustensi. Buku ini ditulis atas dukungan penelitian penulisnya yang secara kebetulan

    sebagai bos FKKM di Sulawesi Tenggara, dan sudah barang tentu memiliki kesamaan

    gerakan dengan FKKM nasional. Pengurus FKKM mendukung sepenuhnya penerbitan

    buku ini dengan harapan lebih banyak lagi orang yang dapat mebaca dan menggunakan

    i

  • 7/21/2019 Buku Sarlan Adijaya

    12/141

    informasi yang ada di dalam buku ini. Kami mengucapkan selamat kepada saudara

    Yusran Taridala dan Sarlan Adijaya. Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima

    kasih kepada Ford Foundation yang telah bekerjasama untuk membantu penerbitgan buku

    ini. Semoga bermanfaatan untuk gerakan kehutanan masyarakat di Indonesia.

    Jogyakarta, Oktober 2002

    Pengurus FKKM

    ii

  • 7/21/2019 Buku Sarlan Adijaya

    13/141

    Bagian 1.Latar Belakang

    1.1. Tinjauan Umum

    Buku ini menyajikan beragam informasi, hasil analisis dan argumentasi-argumentasi

    praktis di seputar eksistensi masyarakat dalam konteks pengelolaan sumberdaya hutan(PSDH) di Kabupaten Kendari. Dengan misi utama untuk mengisi kelangkaan - bahkan

    ketiadaan - sumber informasi kehutanan masyarakat (KM) di tingkat lokal (Kabupaten

    Kendari), penyusunan buku ini diharapkan dapat merefleksikan posisi, atau sampai

    sejauh mana dan seberapa besar akses keterlibatan, serta proporsi manfaat yang dapat

    dinikmati oleh masyarakat lokal dalam konteks pengelolaan SDH. Dari refleksi ini,

    kesadaran dan motivasi kritis dari berbagai kalangan, terutama Pemerintah Kabupaten,

    Pengusaha dan eksponen masyarakat sipil (perguruan tinggi, LSM, lembaga adat, Ormas,

    Parpol, dll) di daerah ini, dapat dihadirkan untuk setidaknya - mengawali lahirnya

    gagasan-gagasan baru ke arah perubahan yang lebih mendasar dan konkrit.

    Gagasan untuk menilai potret PSDH dari paradigma kehutanan masyarakat (KM),

    bagi daerah semisal Kabupaten Kendari yang relatif masih cukup terisolir dari berbagai

    dinamika eksternal, tentu saja masih sangat baru. Paradigma KM itu sendiri, oleh

    berbagai kalangan di daerah ini, bahkan masih dipandang sebagai an sich isu minor-

    stream yang dihembuskan oleh LSM dan Perguruan Tinggi (PT). Padahal, apa yang

    sering dibahasakan oleh kalangan LSM dan PT tentang paradigma itu, tidak lain hanya

    merupakan stretching issue dari agenda kesejahteraan rakyat, keadilan dan

    pemberdayaan masyarakat pada sektor pembangunan kehutanan yang akhir-akhir ini

    justru selalu didengung-dengungkan oleh banyak pihak di daerah.

    Untuk mereduksi pandangan sinis seperti di atas, dalam penyusunan buku ini

    digunakan metode penulisan sejarah (historiography)berbentuk expose de facto, dengan

    paparan informasi, analisis dan argumentasi kasuistik yang diharapkan dapat diterima

    oleh logika umum (common sense). Karenanya, penyusunan buku ini diawali (padabagian II) dengan paparan kilas balik tentang bagaimana masyarakat Kabupaten Kendari

    1

  • 7/21/2019 Buku Sarlan Adijaya

    14/141

    (baca : orang Tolaki), sejak dulu kala telah memiliki pranata (visi dan praktek-praktek)

    PSDH yang spesifik, dengan spectrum discourse yang mampu menyentuh aspek-aspek

    ekonomi dan ekologi sumberdaya hutan kontemporer. Paparan ini secara khusus

    mengabsraksikan bagaimana pandangan masyarakat Tolaki terhadap hutan, dan

    bagaimana hutan harus dan sebaiknya kelola. Disini, khalayak pembaca akan mendapati

    deskripsi sepintas tentang konsepsi mondau sebagai pranata pengelolaan sumberdaya

    hutan orang Tolaki.

    Pada bagian IV, disajikan praktek-praktek PSDH yang sesungguhnya lebih

    bersifat anti-tesis dari sebuah tesis PSDH yang dipraktekkan secara turun-temurun oleh

    masyarakat Tolaki (seperti yang disajikan pada bagian II dan III). Uraian pada bagian IV

    itu, menyajikan potret eksistensi masyarakat lokal di tengah dinamika PSDH di

    Kabupaten Kendari paska intervensi kebijakan Pemerintah dan dunia usaha. Intervensi

    dimaksud antara lain diperlihatkan dalam bentuk analisis kasus kebijakan HTI dan

    Reboisasi, kasus penetapan kawasan pelestarian alam, aplikasi konsesi HPH, dll.

    Dari gambaran historis pada beberapa kasus penting yang dipaparkan dalam buku

    ini, para pembaca diharapkan akan memperoleh bahan renungan guna merakit cara-cara

    berpikir sintesis dalam melihat persoalan kehutanan secara utuh di Kabupaten Kendari.

    1.2. Dasar Pemikiran

    Mungkin saya keliru untuk menyatakan bahwa menyusul aspek-aspek

    administrasi pemerintahan dan hukum (perdata) perjanjian - aspek hutan dan

    kehutanan merupakan salah satu wacana, sekaligus sector pembangunan terbesar yang

    paling banyak di invervensi oleh negara (dalam hal ini pemerintah) melalui regulasi

    perundang-undangan dan kebijakan command and control (CAC) yang sangat

    mengikat. Hal ini dapat dilihat dari sejarah eksploitasi, pengelolaan dan pemanfaatan

    sumberdaya hutan (PSDH) di Indonesia yang sejak zaman kolonialisme Belanda hingga

    saat ini, masih sepenuhnya dikuasai oleh rezim kayu pemerintah yang didelegasikan

    pengelolaannya kepada para pengusaha melalui system perizinan dan pengendalian yang

    untouchable dan bahkan cenderung bersifat refresif bagi masyarakat.

    Kondisi demikian, secara regulative, berakar pada aplikasi kaidah hukum agraria

    domein verklaaring - yang mengklaim tanah hutan yang tidak dibebani hak sebagai

    domein (milik) negara. Kaidah hukum ini telah dirujuk secara kaku oleh para birorat,

    kalangan legislative serta sebagian pakar hukum positif dalam merumuskan berbagai

    2

  • 7/21/2019 Buku Sarlan Adijaya

    15/141

    peraturan perundang-undangan dan kebijakan di bidang kehutanan. Hal ini terutama

    dapat dilihat pada UU Nomor 5/1967 tentang Pokok-Pokok Kehutanan yang antara lain

    telah dideduksikan secara lebih spesifik ke dalam beberapa PP (termasuk PP 21/1970

    tentang Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan yang diperbaharui dengan

    PP 6/1999 tentang Pengusahaan hutan dan pemungungan hasil hutan produksi), PP

    33/1970 tentang Perencanaan Hutan dan PP 28/1985 tentang Perlindungan Hutan. UU

    5/1967 dan beberapa PP tersebut juga telah dijabarkan ke dalam berbagai SKMen dan SK

    Dirjen yang nyaris seluruhnya cenderung terus menjauhkan dan meminggirkan

    masyarakat dari ruang kelola dan akses penarikan manfaat atas sumberdaya hutan di

    sekitarnya.

    UU Nomor 41/1999 tentang Kehutanan (sebagai pengganti UU 5/1967), secara

    sepintas telah menunjukkan sedikit keberpihakan pada masyarakat (utamanya masyarakat

    adat). Namun dalam kenyataannya, disamping karena masih merujuk pada aspek

    perencanaan, perizinan dan perlindungan hutan yang sepenuhnya dikendalikan oleh

    pemerintah dan karenanya sangat sulit diakses oleh masyarakat, UU 41/1999 itu juga

    cenderung kurang serius dilaksanakan oleh Pemerintah (apalagi Pemerintah Daerah). SK

    Menhut 677/Kpts-II/1998 yang kemudian dijabarkan dengan SK Menhut 31/2001 tentang

    Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan, hingga saat ini masih lebih sebagai wacanaorang-orang pusat (ditjen RLPS Dephut RI) ketimbang sebagai wacana Pemda.

    Gambaran seperti itu pun hanya ditemukan pada konteks proyek rehabilitasi lahan

    kritis, dan bukan pada konteks pengelolaan hutan produksi dan lindung (selain cagar

    alam dan zone inti pada TNRAW). Tegasnya, SK Menhut No. 31/2001 belum secara

    inheren masuk dalam kesadaran dan kebijakan yuridis Pemerintah kabupaten.

    Di Kabupaten Kendari, wacana pelibatan masyarakat secara sengaja dalam

    konteks kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan (utamanya kayu), hanya dikenal dalam

    terminologi izin pemanfaatan kayu di atas tanah milik (IPKTM) yang diperdakan sejak

    tahun 1996. Kebijakan yuridis mengenai pemberian konsesi pengelolaan/pemanfaatan

    hutan yang meminjam nuansa kemasyarakatan lainnya, seperti IUPHK/BK dan

    IPHHK/BK, nyaris seluruhnya tak mengandung makna sadar untuk mendorong proses

    optimalisasi akses pemanfaatan SDH oleh masyarakat.

    Sejak tahun 1988, fenomena marginalisasi masyarakat dalam konteks PSDH di

    Kabupaten Kendari, semakin terlihat, terutama ketika - jangankan pada hutan lindung

    kegiatan pemanfaatan potensi hasil hutan pada kawasan hutan produksi untuk tujuan-

    tujuan pertanian sekalipun, telah dibatasi setelah terbitnya Perda Propinsi Sultra Nomor 3

    3

  • 7/21/2019 Buku Sarlan Adijaya

    16/141

    tahun 1988 tentang pemeliharaan lingkungan hidup. Dalam pasal 7 ayat (2) pada Bab IV

    Perda tersebut disebutkan bahwa terhadap hutan lindung, hutan suaka alam, hutan

    wisata, hutan produksi terbatas, hutan produksi biasa, cagar alam, suaka alam, marga

    satwa, taman wisata, taman buru dan taman pelestarian alam, dilarang dibuka dan atau

    dipergunakan untuk menjalankan usaha-usaha di bidang pertanian. Disini terlihat

    bahwa jangankan untuk menebang pohon, membuka lahan pertanian di kawasan hutan

    produksi pun, sangat dibatasi, yakni kecuali, menurut ayat (3) pasal 7 Perda tersebut,

    memperoleh izin Gubernur. Tentu saja, materi Perda ini mengandung muatan politik

    kehutanan yang terkesan sangat meminggirkan masyarakat. Sebab, bagaimana bisa,

    masyarakat petani papa yang telah, sedang dan akan membuka lahan-lahan pertanian

    mini di kampung halamannya sendiri, akan datang ke kota dan meminta izin Gubernur.

    Bukankah izin Gubernur hanya dapat diakses dengan mudah oleh para pemodal kuat

    (pengusaha)

    Dalam 7 tahun terakhir, beberapa kebijakan proyek (selain HTI dan Reboisasi) di

    Kabupaten Kendari justru lebih memperlihatkan adanya kesadaran untuk memperbesar

    akses masyarakat dalam mengelola potensi SDH. Kebijakan proyek dimaksud antara lain

    adalah komponen pengembangan perkebunan rakyat pada proyek SAADP (Sulawesi

    Agriculture Based Area Development Proyek), proyek SRADP (Sulawesi RainfedAgriculture Development Project), Proyek Hutan Rakyat (Dishut Kendari, dibiayai dari

    DAK DR), Proyek pengembangan perkebunan rakyat (Disbun Kendari, dibiayai dari

    dana DAU), dll.

    Gambaran di atas antara lain telah melahirkan beberapa dampak, seperti : (a) telah

    terjadi gejala degradasi ekosistem hutan berskala cukup luas pada sentra-sentra

    eksploitasi hutan yang dikelola di bawah konsesi, izin atau kontrak resmi antara pihak

    pemerintah (termasuk Pemda) dengan pihak swasta, (b) telah terjadi gejala disparitas

    (ketimpangan) sosial ekonomi yang cukup mencolok, dimana masyarakat lokal pada

    umumnya, dan masyarakat sekitar hutan pada khususnya, justru dikenal sebagai

    komunitas lokal yang paling miskin dari sekian banyak komunitas penduduk di daerah

    ini. Gejala kemiskinan dan pemiskinan masyarakat sekitar hutan (utamanya di

    pedalaman), telah membawa dampak pada struktur pemilikan, penguasaan dan

    pemanfaatan lahan-lahan di sekitar hutan yang umumnya tidak dapat dipertahankan oleh

    komunitas lokal. Dengan desakan ekonomi yang terus menguat, lahan-lahan sekitar hutan

    tersebut secara sistematis terus dipindah-tangankan kepada komunitas pendatang lewat

    transaksi jual beli di bawah tangan. Akibatnya, lambat-laun, komunitas lokal mulai

    4

  • 7/21/2019 Buku Sarlan Adijaya

    17/141

    kehilangan ruang ekspresi ekonomi, dan lalu melakukan migrasi ke daerah-daerah

    perkotaan, (c) aktifitas perambahan hutan dan penebangan kayu yang dilakukan oleh

    masyarakat secara liar (illegal logging) di sana sini semakin merajalela, dan karenanya

    telah menghabiskan banyak dana, energi dan perhatian pemerintah untuk mengatasinya,

    (d)banyak koloni-koloni masyarakat pedalaman yang bermukim di dalam dan di sekitar

    kawasan hutan, menjadi kehilangan tempat tinggal akibat pengukuhan status kawasan

    yang dilakukan secara sepihak dan tiba-tiba oleh pemerintah.

    Beberapa dampak buruk di atas, nampaknya belum disadari oleh para elit

    pengambil kebijakan di daerah, meskipun beragam isu, kebijakan maupun peraturan

    perundang-undangan yang baru saat ini, telah cukup banyak membonceng anasir

    revitalisasi dan pemberdayaan masyarakat adat dalam konteks PSDH. Hasil diskusi dan

    pembelajaran kritis yang dipublikasikan lewat buku sederhana seperti ini, mungkin

    sejenis ini yang sedang kami lakukan untuk sebuah proses inisiasi yang, entah oleh

    kalangan manapun, dapat dilanjutkan untuk mendorong perubahan sistem pengelolaan

    hutan di Kabupaten Kendari. Semoga !!

    1.3. Fokus dan Ruang Lingkup

    Penelitian ini menyoroti karakteristik sosial budaya dan sosial ekonomi masyarakat

    lokal dalam konteks hubungannya dengan eksistensi dan rezim pengelolaan sumberdaya

    hutan (PSDH) di Kabupaten Kendari. Karakteristik tersebut dimaksudkan sebagai

    gambaran tentang kompleksitas sikap dan pandangan, prilaku, pola interaksi, indikasi dan

    response kultural dan sosial ekonomi, serta model-model ekspresi masyarakat lokal

    dalam konteks PSDH.

    PSDH yang dimaksud dalam penelitian ini adalah keseluruhan isu dan sistem

    penataan (pengaturan dan pengurusan) tentang struktur pemanfaatan hasil hutan kayu dan

    non kayu, pemanfaatan dan pengelolaan kawasan hutan dan ekosistemnya, struktur

    kebijakan, serta kompleksitas peran para pihak (stakeholder) yang terlibat didalamnya.

    Sedangkan yang dimaksud dengan masyarakat lokal adalah masyarakat adat/etnik Tolaki

    (sebagai penduduk asli), serta kelompok masyarakat lainnya yang hidup di lingkungan

    dan memiliki ketergantungan yang sangat besar dengan potensi sumberdaya hutan di

    wilayah administratif Kabupaten Kendari.

    Sorotan pada aspek hubungan antara masyarakat dengan rezim PSDH, difokuskan

    pada struktur dan dinamika hubungan antara masyarakat itu sendiri dengan pihak

    5

  • 7/21/2019 Buku Sarlan Adijaya

    18/141

    pemerintah (atas nama negara) dan pihak pengusaha. Deskripsi tentang beragam kasus

    marginalisasi masyarakat, konflik horizontal dan vertikal, penyalah-gunaan kekuasaan

    (abuse of power), ketimpangan dan kerancuan kebijakan, dan sebagainya, merupakan

    ruang-ruang kajian yang disediakan untuk fokus penelitian itu.

    Output dari keseluruhan lingkup kajian di atas, diharapkan dapat menampilkan

    sekilas ilustrasi tentang dinamika kehutanan masyarakat (community forestry) di

    Kabupaten Kendari.

    1.4. Metodologi1.4.1. Tujuan

    Tujuan jangka panjang dari penelitian ini adalah untuk menyiapkan kerangka

    analisis dan referensi kebijakan bagi sebuah proses yang diharapkan tidak terlalu

    lama, untuk mendorong perwujudan sistem pengelolaan sumberdaya hutan berbasis

    masyarakat yang dapat menjamin terlaksananya prinsip-prinsip keadilan sosial,

    integritas ekosistem, kesejahteraan rakyat, demokratisasi, akuntabilitas publik dan

    kepastian hukum di Kabupaten Kendari. Adapun tujuan jangka pendek (objectives)

    yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran

    mengenai : (1) konsepsi lokal tentang kawasan hutan dan pengelolaan sumberdayahutan, (2) praktek-praktek pengelolaan sumberdaya hutan oleh masyarakat saat ini,

    dan (3) potret sosial ekonomi masyarakat pada kawasan yang diintervensi oleh

    kebijakan PSDH, baik oleh pemerintah, maupun oleh dunia usaha swasta.

    1.4.2. Lokasi Studi

    Lokasi penelitian ditetapkan dengan metode stratified purposive sampling,

    yakni penentuan sampel wilayah penelitian yang ditetapkan melalui penunjukkan

    langsung berdasarkan relevansi dan kebutuhan pencapaian tujuan (objectives)

    penelitian. Setiap item tujuan, dipandang sebagai sebuah strata dengan spesifikasi

    sampel wilayah penelitian yang sengaja ditunjuk untuk memenuhi kebutuhan data

    dan informasi. Meski demikian, khusus untuk memenuhi kebutuhan data dan

    informasi pada strata tujuan pertama, yakni menyangkut konsepsi lokal tentang

    kawasan hutan dan pengelolaan sumberdaya hutan, Penulis tidak menerapkan

    metode sampling, mengingat obyek penelitian pada item tujuan ini, lebih bersifat

    abstraktif (dari sejarah masa lalu), dan karenanya tidak memerlukan kajian

    deskriptif.

    6

  • 7/21/2019 Buku Sarlan Adijaya

    19/141

    Untuk memenuhi kebutuhan data dan informasi pada strata tujuan kedua,

    yakni praktek-praktek pengelolaan sumberdaya hutan oleh masyarakat dalam

    perspektif hari ini, penulis menetapkan 11 desa sebagai sampel wilayah penelitian,

    yakni : Desa Sanggula, Wawatu, Anggopiu, Ambondiaa, Lalowata, Lapulu,

    Waworaha, Kapoiala, Puulemo, dan Moolo Indah.

    Selanjutnya, untuk memenuhi kebutuhan data dan informasi pada strata

    tujuan kedua, yakni potret sosial ekonomi masyarakat pada kawasan yang

    diintervensi oleh kebijakan PSDH, baik oleh pemerintah, maupun oleh dunia usaha

    swasta, penulis menetapkan sampel wilayah penelitian berdasarkan obyek kasus

    yang diteliti. Untuk obyek kasus HTI dan Reboisasi, ditetapkan 3 desa sebagai

    sampel, yakni : Desa Pamandati, Ambesea dan Lainea. Untuk obyek kasus kawasan

    pelestarian alam, ditetapkan beberapa desa sampel, seperti : Desa Lanowulu (baru)

    dan Roraya, serta kawasan Pulau Bawulu dan desa-desa disekitarnya. Untuk obyek

    kasus HPH PT Intisixta, ditetapkan 2 desa sebagai sampel, yakni : Desa Mopute

    dan Laronaha.

    1.4.3. Metode Pengumpulan dan Analisa Data

    Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode studi

    dokumenter dan studi lapangan. Studi dokumenter diaplikasikan lewat teknik

    penelaahan, pengorganisasian dan analisis data dan informasi tertulis dari sumber-

    sumber yang dapat dipercaya, utamanya dari instansi pemerintah dan LSM.

    Sedangkan teknik aplikasi studi lapangan mencakup : (1) interview dengan

    para informan untuk memperoleh data dan informasi lisan mengenai fakta, keadaan,

    riwayat dan lain-lain yang terkait dengan obyek yang diteliti. Pada informan

    dimaksud terdiri dari tokoh masyarakat/adat, aktifis LSM, para akademisi, pejabat

    pemerintah terkait, dll., dan (2) observasi atau peninjauan lapangan guna melihat,

    mengamati, menilai dan mengukur kondisi obyektif serta komponen-komponen

    kritis lain yang terkait dengan obyek studi.

    Pengolahan data dilakukan secara manual melalui klasifikasi, tabulasi

    ataupun kategorisasi data/informasi berdasarkan sifat dan tujuan penggunaannya.

    Sedangkan analisis data dilakukan secara deskriptif (apa adanya) dengan sedikit

    penekanan pada teknik analisis isi (content analysis) untuk kasus-kasus yang

    memerlukan kajian intensif.

    7

  • 7/21/2019 Buku Sarlan Adijaya

    20/141

    Bagian 2.

    Hutan Dalam Perspektif Kultural Orang Tolaki

    Berdasarkan studi etnografi, diperoleh informasi bahwa hampir semua suku

    bangsa di muka bumi ini meliputi daerah-daerah tropik atau daerah-daerah kutub, baik

    yang bermukim di pedalaman maupun di daerah-daerah pesisir, seluruh atau separuhnyamenggantungkan kehidupannya pada sumber daya hutan. Sumber daya hutan merupakan

    salah satu sumber daya yang berfungsi sebagai basis ekonomi dan kultural

    (liebenstraum)1 bagi kelompok-kelompok suku bangsa tersebut. Karena itulah dalam

    kenyataannya ditemukan fakta dalam kebudayaan setiap suku bangsa selalu memiliki

    mitologi-mitologi, legenda, atau pun cerita-cerita rakyat yang berisikan atau mengisahkan

    tentang keterkaitan suatu suku bangsa dengan sumber daya hutan.2

    Orang Tolaki merupakan salah satu kelompok suku bangsa yang memiliki

    keterkaitan yang sangat tinggi terhadap sumber daya hutan. Hal ini sebagaimana

    dilukiskan dalam salah satu mitologi orang Tolaki yang mengisahkan tentang asal-usul

    orang Tolaki yang naik ke langit melalui ue waisalah satu jenis rotan yang tumbuh di

    hutan belantara. Mitologi seperti ini juga banyak terdapat pada kelompok suku bangsa

    lainnya yang menunjukkan kharakteristik yang khasseperti juga yang terdapat pada

    suku bangsa Tolaki.

    2. 1Pandangan Orang Tolaki Tentang HutanBagi orang Tolaki hutan tidak hanya dipandang sebagai sekumpulan pepohonan

    dan tumbuh-tumbuhan lainnya yang tumbuh dalam suatu kawasan. Hutan mengandung

    nilai yang sangat kompleks, meliputi nilai ekonomi, nilai budaya, maupun nilai religi.

    Nilai ekonomi yakni bahwa hutan memberi manfaat ekonomi bagi orang Tolaki untuk

    1Untuk lebih jelasnya mengenai hal ini perikasalah Sarlan Adijaya, 2000

    2 Periksa karya-karya etnografi dunia, dan untuk Indonnesia dapat ditelusuri padatulisan-tulisan etnografi yang disusun oleh Koentjaraningrat, diantaranya terbit tahun1993.

    8

  • 7/21/2019 Buku Sarlan Adijaya

    21/141

    memenuhi kebutuhan subsistensinya melalui berbagai model pengelolaan dan

    pemanfaatan hutan dan hasil-hasilnya seperti, berladang, mengumpulkan rotan, kayu,

    madu, pandan hutan, berbagai jenis buah-buahan, dan tempat berburu binatang liar.

    Nilai budaya, bahwa hutan merupakan ruang ekspresi kultural orang Tolaki. Hal

    ini sebagaimana yang nampak dalam berbagai praktek kebudayaan dan adat-istiadat

    orang Tolaki, meliputi bidang mata pencaharian hidup yang merupakan salah satu unsur

    kebudayaan orang Tolaki yang paling pokok, penggunaan berbagai jenis hasil hutan

    dalam penyelenggaraan adat (sara)orang Tolaki di antaranya kalobeserta perangkatnya

    sebagai fokus kebudayaan Tolaki3yang bahan-bahannya terdiri dari rotan alam, pandan

    hutan, daun siri, dan pinang.

    Sedangkan nilai religius yakni berupa kepercayaan orang Tolaki yang meyakini

    bahwa hutan adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa yang diwujudkan melalui berbagai

    praktek kebudayaan seperti, mooli yakni suatu adat istiadat orang Tokaki yang

    dimaksudkan untuk memohon kepada Dewa hutan (sangiano andoolo) apabila hendak

    melakukan aktifitas dalam suatu kawasan hutan baik pengelolaan kawasan maupun

    pemanfaatan hasil-hasil hutan. Selain itu pada masyarakat Tolaki dikenal pula konsep

    hutan keramat, tumbuh-tumbuhan tertentu yang memiliki nilai magi-religius.

    2.1.1. Hutan Sebagai Basis Ekonomi

    a. Sebagai Areal perladanganSalah satu arti yang sangat penting dari hutan bagi orang Tolaki adalah

    sebagai tempat berladang. Berladang merupakan pranata pengelolaan hutan yang

    paling utama dalam masyarakat Tolaki disamping pranata-pranata pengelolaan

    lainnya. Karena itulah berladang menjadi penopang kehidupan ekonomi yang utama

    bagi orang Tolaki.

    Orang Tolaki mengenal dan mempraktekan budaya mondau sebagai

    aktifitas pengelolaan hutan untuk menunjang kehidupan ekonominya. Karena itulah

    pada hampir setiap kawasan hutan dimana orang Tolaki bermukim hampir

    seluruhnya telah pernah diolah sebagai areal perladangan. Hal ini dapat dilihat

    melalui berbagai konsep kehutanan yang ada pada masyarakat Tolaki, seperti

    3Mengenai hal ini lihat Abdurrauf Tarimana, 1989.

    9

  • 7/21/2019 Buku Sarlan Adijaya

    22/141

    o rawu, ana homa, laliwata, o sambu,dan inalahi, yang menunjukkan bahwa areal

    tersebut telah pernah dikelola sebagai ladang selain inalahi.4

    b. Sebagai Tempat MerotanAktifitas ekonomi lainnya yang dilakukan pada kawasan hutan adalah

    mengumpulkan rotan. Rotan yang dikumpulkan terdiri dari berbagai jenis, tetapi

    yang paling utama adalah rotan batang dan lambang yang memiliki nilai jual yang

    tinggi dipasaran dengan kisaran harga Rp.60.000 Rp.80.000/Kg. Sedangkan jenis-

    jenis rotan lainnya juga diambil tetapi lebih sering hanya untuk keperluan tertentu

    saja, misalnya untuk pengikat rumah, bingkai tudung, basung, dan lain-lain.

    Dalam sehari, jika dilakukan dengan tekun setiap perotan dapat

    mengumpulkan 75 100 Kg. Sedangkan jika dilakukan seperti biasanya saja hanya

    menghasilkan rata-rata 50 Kg. Merotan dilakukan selama seminggu berturut-turut

    dan kemudian pada mingu berikutnya mereka akan istirahat. Jadi dalam sebulan

    kegiatan merotan dilakukan selama 2 minggu atau 14 hari.

    c. Sebagai Tempat Mengambil KayuMengambil kayu juga merupakan salah satu aktifitas ekonomi yang

    dilakukan orang Tolaki pada kawasan hutan. Kayu yang diambil terdiri dari

    berbagai jenis tergantung kebutuan, seperti untuk ramuan rumah orang Tolaki

    memilih beberapa jenis kayu yang tepat antara lain: pondo, kulipapo, asana, silae,

    dan wewu; untuk membuat perahu batang diperlukan kayu bolongita, benua, koni,

    kulipapo, asana, silae, nguru, dan pondo; untuk kayu bakar terdiri dari berbagai

    jenis kayu, antara lain yang paling baik adalah kulahi, eha dan sisio.

    Dalam proses pengambilan kayu teknologi yang digunakan masih relatif

    tradisional. Untuk keperluan ramuan rumah kayu dibentuk menjadi sebatang balok

    dalam ukuran tertentu dengan menggunakan parang; Untuk membuat perahu

    biasanya dipilih pohon yang besar dengan diameter rata-rata 50 Cm paling rendah

    4Pada kenyataannya penamaan orang Tolaki terhadap suatu kawasan hutan didasariatas suatu aktifitas perladangan yang pernah dilakukan pada kawasan tersebut.Misalnya tau i dou-doule, tau i osu hada. Penamaan ini pula sering dijadikan sebagaipatokan untuk menandai suatu peristiwa yang terjadi pada saat itu, seperti kelahiran.Misalnya si A lahir ketika tau i dou-doule artinya si A lahir pada saat ketika kawasan

    hutan di dou-doule diolah sebagai areal perladangan. Sehingga itu walaupun si A telahpernah ke Amerika dan kemudian kembali ke kampung, maka ketika ia melihatkawasan hutan tersebut akan mengatakan bahwa tau ikita nio anggu artinya tahundisana saya dilahirkan.

    10

  • 7/21/2019 Buku Sarlan Adijaya

    23/141

    hingga yang paling besar. Penebangan dan pemotongannya menggunakan kampak

    (o pali) termasuk untuk membentukmnya. Sedangkan untuk menghaluskan

    digunakan parang dan winggu;5 Kayu bakar diambil dengan menggunakan parang

    seperti biasanya.

    Berbagai produk tersebut di atas, selain untuk digunakan sendiri juga

    dijual kepada orang lain. Balok-balok untuk ramuan rumah dengan ukuran 4,5 m

    misalnya dijual dengan harga Rp. 7.500/batang; Perahu batang sebuah dengan

    diameter 50 Cm dijual seharga Rp.350.000.

    d. Sebagai Tempat BerburuHutan bermanfaat pula sebagai tempat berburu (dumahu). Jenis-jenis

    binatang yang diburu yang paling utama adalah jonga (donga) dan anoa (kadue),

    dan ayam hutan (manu kasu). Tata cara berburu dilaksanakan dengan teknologi

    yang masih tradisional. Diantara jenis-jenis teknologi yang digunakan adalah oho

    yaitu suatu jerat tali yang dibuat dari kulit kayu dengan sasaran pada leher binatang

    berkaki empat dan untuk ayam hutan disebut ohotai. Tali jerat tersebut diikatkan

    pada pohon kayu yang tahan. Apabila binatang sasaran melewati jalur pemasangan

    tersebut, maka lehernya akan masuk lubang jerat. Ada juga cara lainnya denganmenggunakan tali jerat yang disebut dengan istilah benggaro. Benggaromerupakan

    sebuah bangunan yang memanfaatkan tenaga kayu yang dilengkungkan kebawah

    yang telah diikatkan dengan tali jerat kemudian dikaitkan pada pengait yang sengaja

    dibuat sedemikian rupah lalu permukaan tali jerat tersebut diletakkan diatas lantai

    benggaro. Apabila binatang buruan melewati tempat itu dan menginjaknya maka

    kakinya akan terjerat.

    Cara lain yang tidak menggunakan tali jerat adalah dengan memasang

    perisai yang terdiri dari bambu yang diruncing (tuoi). Biasanya seperti halnya oho

    dan benggarodipasang pada jalur yang selalu dilewati oleh binatang buruan (koro).

    Tuoi ditancapkan ke permukaan tanah dengan kemiringan 45 sehingga apabila

    binatang buruan melewati jalur tersebut akan mengenai persis bawah perutnya.

    Perburuan dengan tidak menggunakan perangkap juga dilakukan orang

    Tolaki. Perburuan seperti ini dilakukan dengan menggunakan tombak (sungga)

    antara lain karada yakni tombak yang secara khusus dibuat sebagai senjata

    5 Sejenis alat berbentuk laksana pacul kecil yang berfungsi sebagai alat pengali isikayu untuk membentuk formasi yang diinginkan.

    11

  • 7/21/2019 Buku Sarlan Adijaya

    24/141

    melempar dan bambu runcing (kowuna sinapa). Untuk memperoleh binatang

    buruan, dilakukan dengan menombak binatang tersebut tepat mengenai sasarannya.

    Dalam melakukan tata cara ini biasanya dibantu dengan anjing piaraan yang

    dimaksudkan untuk mengganggu konsentrasi binatang buruan.

    Khusus untuk menangkap burung, orang Tolaki juga mengenal perangkap

    yang dinamakan oho-oho, yaitu sejenis jerat kecil yang diikat pada batang pohon

    seperti beringin atau mokupa yang sedang berbuah dimana burung-burung mencari

    makan. Sasarannya adalah burung-burung seperti nuri (kuluri dan weli), kakatua

    hijau (kea-kea bongo), kakatua putih (kea-kea wila) dan berbagai jenis burung

    lainnya.

    Binatang-binatang buruan tersebut di atas, setelah diperoleh langsung

    disembelih baik masih dalam keadaan hidup atau sudah mati. Setelah disembelih

    ada yang langsung dikonsumsi masih dalam keadaan daging segar dan ada pula

    yang dijadikan dendeng (kambatu). Selain untuk kebutuhan sendiri, dibagi-bagikan

    kepada orang lain, juga di jual ke pasar. Daging jonga dan anoa misalnya dijual

    kepasar dengan harga seperti harga daging pada umumnya yakni Rp.25.000/Kg.

    e.

    Hasil Hutan LainnyaSelain hasil-hasil hutan seperti disebutkan di atas, jenis-jenis hasil hutan

    lainnya yang dimanfaatkan orang Tolaki adalah sagu, ubi hutan; buah-buahan,

    daun-daunan, serta jamur-jamuran. Jenis-jenis sagu yang diolah adalah sagu biasa

    (tawaro) dan sagu berduri (tawaro merui) tetapi yang paling digemari adalah

    tawaro biasa. Sedangkan ubi hutan (wikoro) hanya terdiri satu jenis jasa.

    Jenis-jenis buah-buahan adalah dongi, ruruhi, eha, toho, pepundi, pede-

    pede ngisi, laku-laku, bete-bete, wua rau, pinisi, taipa, dan lain-lain. Daun-daunan

    adalah daun agel (tawa lanu),pandan hutan (onaha), anggrek hutan (sorume). Serta

    jenis-jenis jamur yakni : tau, olepe, tanggoreke, tawabiri nggooki, wuholombu,

    tambolota, tanggarebonata, taluwi, tambandawa, takongga, dan tangaho.

    Berbagai hasil hutan tersebut di atas dapat diperoleh di dalam kawasan

    hutan. Sagu misalnya sangat banyak terdapat di daerah rawa-rawa. Begitu pula ubi

    hutan. Buah-buahan juga terdapat dihampir seluruh kawasan hutan juga berbagai

    jenis dedaunan dan jamur. Hasil-hasil hutan dimaksud selain untuk memenuhi

    kebutuhan rumah tangga juga dijual ke pasar untuk manambah pennghasilan

    12

  • 7/21/2019 Buku Sarlan Adijaya

    25/141

    keluarga. Di antaranya yang memiliki nilai ekonomi paling penting adalah sagu,

    dan dedaunan yang dijadikan sebagai bahan dasar anyam-anyaman.

    2.1.2. Hutan Sebagai Ruang Ekspresi Kultural

    a. Tempat aktifitas kebudayaanHutan sebagai tempat berlangsungnya aktifitas budaya telah berulang-kali

    dibahas. Nilai hutan dalam pengertian ekonomi juga secara langsung menunjukkan

    makna hutan dalam konteks budaya. Berbagai praktek pengelolaan dan

    pemanfaatan sumber daya hutan dalam perspektif antropologi merupakan suatu

    kebudayaan. Karena itu mondau sebagai suatu pranata pengelolaan sumber daya

    alam juga termasuk suatu aktifitas kebudayaan yang dilakukan dalam kawasan

    hutan. Begitu pula berbagai tata cara berburu dan meramu hasil hutan yang

    dijelaskan di atas merupakan keseluruhan aktifitas kebudayaan orang Tolaki yang

    terjadi di hutan. Praktek-praktek yang baru saja disebutkan adalah mustahil untuk

    dilakukan manakala hutan dalam luasan yang cukup sudah tidak tersedia lagi.

    b. Sumber peralatan-peralatan budayaBerbagai artifak dalam kebudayaan orang Tolaki bersumber dari hasil-

    hasil hutan. Seperti peralatan tradisional untuk senjata: tangkai parang atau kampak

    diambil dari kayu roramo yang hanya tumbuh di hutan belantara. Begitu pula

    tombak (sungga). Berbagai peralatan untuk pemukiman/tempat berlindung seperti

    rumah yang tiang, dinding, pengikat, dan atapnya diperoleh dari hutan. Peralatan

    wadah seperti baskom (dula) yang terbuat dari kayu yang dilubangi di tengah.

    Peralatan kesenian seperti musik bambu (baasi) ,seruling (suli)dan berbagai jenis

    peralatan-peralatan lainnya. Begitu pula kaloseperti telah dijelsakan sebelumnya.

    2.1.3. Hutan Sebagai Sarana Ritual

    a. Pemujaan Dewa HutanOrang Tolaki mengenal berbagai macam dewa yang menguasai alam

    semesta ini. Salah satu dewa yang diagungkan oleh orang Tolaki sehingga itu selalu

    di puja adalah dewa hutan yang disebut dengan istilah sangiano andoolo. Yakni

    suatu dewa yang menguasai hutan beserta segala sumber dayanya. Karena itu setiap

    orang dan setiap usaha pengelolaan dan pemanfaatan hutan dan hasil hutan harus

    13

  • 7/21/2019 Buku Sarlan Adijaya

    26/141

    terlebih dahulu meminta izin kepada dewa hutan. Salah satu pranata pemujaan yang

    paling masyhur pada masyarakat Tolaki adalah moolibaik dengan melepas ayam

    kampung yang telah diberi mantra ke dalam hutan maupun menanam sebutir telur

    ayam kampung ke dalam tanah di hutan.

    Apabila ada orang atau usaha yang dilakukan dalam suatu kawasan hutan

    tanpa terlebih dahulu mooli, maka dalam keyakinan orang tolaki orang atau usaha

    tersebut akan gagal bahkan tertimpa musibah (abala).

    b. Lokasi keramatOrang Tolaki juga mengenal istilah hutan keramat (kokarama)yakni suatu

    kawasan hutan yang dalam keyakinan orang Tolaki dihuni oleh komunitas setan

    (onitu) seperti onitu wua lae,onitu doalo, onitu bui, onitu mengane, dan onitu

    kasumbia borombongae/sangia mbongae. Salah satu pertanda yang paling

    nampak pada hutan keramat adalah ditumbuhi pepohonan yang sangat rimbun

    sehingga kelihatan gelap dengan pohon beringin (kapu) banyak terdapat di

    dalamnya.

    Dalam keyakinan orang Tolaki dalam kawasan hutan seperti ini tidak

    boleh mengucapkan bahasa sembarang seperti kata-kata kotor (metonao) denganmenyebut nama-nama setan, membuang kotoran di sembarang tempat, dan terlalu

    berisik. Menurut cerita, dalam kawasan hutan keramat sering ditemui manusia

    seperti layaknya manusia biasa yang lalu lalang dalam kawasan hutan. Dan apabila

    kita bertemu dengan mereka kita tidak dapat untuk menegurnya (tekusi). Diantara

    hutan-hutan keramat adalah osuno teo, rumbalaka, dan popalia.

    c. Tumbuhan keramat

    Salah satu jenis tumbuhan yang dianggap keramat oleh orang Tolaki

    adalah pohon beringin (kapu)yakni kapu wone, leseahoa,dan kapu sorume. Dan di

    antara jenis pohon beringin yang dianggap paling keramat adalah pohon beringin

    yang berbentuk seperti tudung (kapu boru). Dalam keyakinan orang Tolaki, pohon

    beringin dihuni oleh berbagai macam mahluk halus. Sehingga itulah orang Tolaki

    tidak sembarang untuk menebang pohon beringin. Kalaupun mesti menebangnya,

    maka terlebih dahulu mesti dilakukan moolikepada pemiliknya. Dalam konteks ini

    makna mooliadalah membujuk mahluk halus yang tinggal dalam pohon beringin

    tersebut agar pergi meninggalkannya. Menurut cerita pernah suatu waktu orang

    14

  • 7/21/2019 Buku Sarlan Adijaya

    27/141

    yang menebang pohon beringin besar ketika berladang tidak lama berselang

    meninggal dunia. Konon cerita dimakan oleh mahluk halus karena tidak minta izin

    terlebih dahulu.

    2.2. Karakteristik Tradisional Kawasan Hutan

    Karakteristik kawasan hutan di kalangan masyarakat tolaki mengenal adanya

    pola-pola pembagian kawasan hutan yang didasarkan pada beberapa pertimbangan

    berikut ini.

    2.2.1. Berdasarkan Usia Kawasan

    Yang dimaksud dengan usia kawasan adalah selang waktu yang menunjukkan

    bahwa kawasan hutan tersebut telah pernah atau belum dikelola sebagai areal

    perladangan. Dalam masyarakat Tolaki, konsepsi pengelolaan hutan yang berkaitan

    dengan diferensiasi usia kawasan hutan, terdiri dari :

    a . Orawu

    Orawu yaitu suatu lahan bekas ladang yang baru saja dipanen atau diambilhasilnya kemudian dibersihkan untuk ditanami kembali atau dijadikan sebagai ladang

    pada tahun berikutnya. Kegiatan menanam kembali pada ladang o rawu sering pula

    disebut dengan istilah mondete. Sebagai areal bekas ladang yang baru saja

    ditinggalkan sekitar 5 bulan, maka orawu selain ditumbuhi oleh jerami juga

    ditumbuhi oleh tunas-tunas kayu, rerumputan, akar-akaran, bambu-bambuan, umbi-

    umbian, dan lain-lain. Bagi para peladang tradisional, terdapat berbagai

    pertimbangan yang digunakan pada saat membuka orawu, yakni :

    1) Apabila lahan bekas ladang tersebut sebelumnya adalah inalahi motuo, sehinggawalaupun areal tersebut telah dibuka/diolah tanahnya relatif masih subur. Tentu

    saja tidak sama suburnya jika dibandingkan dengan tahun pertama. Sedangkan

    apabila areal bekas ladang tersebut bukan bekas inalahi motuo, maka para

    peladang enggan untuk membukanya kembali pada tahun berikutnya. Hal ini

    disebabkan karena tanahnya kurang subur dan akan banyak ditumbuhi rerumputan

    yang akan mengganggu tanaman padi khususnya. Yang disebutkan terakhir ini

    merupakan salah satu faktor pula mengapa peladang enggan membuka seluruh

    bekas ladangnya karena khawatir tidak bisa dibersihkan.

    15

  • 7/21/2019 Buku Sarlan Adijaya

    28/141

    2) Apabila para peladang tetap sepakat untuk meneruskan membuka areal bekasperladangan masing-masing pada tahun berikutnya. Hal ini berkaitan dengan

    pengendalian hama, khususnya tikus yang dapat merusak tanaman padiyang

    biasanya akan sangat mengganggu tanaman pada tahun berikutnya karena

    binatang tersebut sudah mempunyai pengalaman ditahun sebelumnya; 3) dari segi

    tenaga (energi), waktu, dan biaya membuka o rawu jauh lebih sedikit jika

    dibandingkan membuka areal perladangan baru. Hal ini disebabkan karena pada

    o rawu hanya ditumbuhi tunas-tunas kayu dan pepohonan kecil, bambu-

    bambuan, umbi-umbian, rerumputan, akar-akaran, dan lain-lain yang cukup

    mudah dibersihkan. Dalam mengerjakan areal ini para peladang tidak setengah

    mati mengerjakannya karena tidak harus mosaleidan monduehilagi. Tetapi para

    peladang cukup membersihkan areal dengan menggunakan parang atau sabit.

    Karena itu pula waktu maupun biaya yang dikeluarkan para peladang untuk

    membuka areal perladangan ini cukup sedikit.

    b . Ana Sepu atau Ana homa

    Ana sepu atau Ana homa6 (selanjutnya dalam tulisan ini disebut sebagai ana

    homa) merupakan bekas ladang yang telah ditinggalkan sekitar 5 9 tahun untukkemudian diolah kembali sebagai lokasi perladangan. Sebagai areal perladangan yang

    ditinggalkan dalam waktu yang relatif lama tersebut, ana homasudah ditumbuhi oleh

    pepohonan walaupun masih kecil atau rata-rata diameter 15-30 cm. Selain itu pula

    telah banyak ditumbuhi oleh bambu-bambuan baik kecil maupun besar, umbi-

    umbian, akar-akaran, dan berbagai jenis rerumputan lainnya. Bagi para peladang

    tradisioan, terdapat berbagai pertimbangan untuk membuka ladang ana homa,

    yakni :

    1) apabila lokasi yang akan dijadikan sebagai areal perladangan baru sudah terlalujauh dari perkampungan penduduk. Hal mana berkaitan pula dengan masalah

    energi, waktu, dan biaya yang akan dikeluarkan oleh peladang yang akan menjadi

    lebih banyak.

    2) Lahan tersebut telah cukup subur untuk ditanami kembali, kendatipun gulma ataurerumputan yang tumbuh biasanya masih banyak. Hal ini pulalah yang

    6

    Istilah anahoma seringkali disingkat menjadi homa yang dapat menunjuk kepadaareal perladangan yang telah menghutan secara umum. Dimana hal itu digunakandalam kaitannya dengan masalah kepemilikan. Misalnya homa-nya si A berarti bekasareal perladangannya si A dan seterusnya.

    16

  • 7/21/2019 Buku Sarlan Adijaya

    29/141

    menyebabkan para peladang dalam membuka ana homa tidak akan terlalu luas,

    karena jangan sampai tidak dapat dibersihkan. Lain halnya bila hanya ingin

    mondau tau7pertimbangan yang terakhir ini tidak menjadi masalah.

    Ana homayang dibuka oleh setiap peladang umumnya adalah bekas ladangnya

    sendiri. Sehingga itulah peladang lain tidak akan membuka ana homatersebut selama

    yang bersangkutan masih akan membukanya sendiri. Dalam hal ini berlaku semacam

    konsensus diantara para peladang untuk tidak saling berebut lahan yang bukan bekas

    ladangnya. Bahkan kalau seandainya ada tanaman jangka panjang yang ditanam oleh

    para peladang di lokasi tersebut dan setelah lama ditinggalkan kemudian produktif,

    seperti misalnya mangga, langsat, durian, akan menjadi miliknya dan hal ini diakui

    dalam masyarakat Tolaki8.

    c. Laliwata

    Secara etimologis laliwata terdiri dari dua suku kata, yakni lali dan wata.

    Lali artinya hancur dan membusuk, sedangkan wata berarti batang pohon. Jadi

    laliwata berarti batang pohon yang telah hancur dan membusuk, hal mana yang

    dimaksud adalah batang-batang pohon yang ditebangi pada saat pembukaan pertama

    areal perladangan ini. Sebagai suatu areal bekas perladangan yang telah ditinggalkandalam waktu yang cukup lama sekitar 9 15 tahun, laliwata telah ditumbuhi oleh

    pepohonan yang relatif besar serta telah pula dirambati oleh berbagai akar-akaran

    seperti oue(rotan), hao tasea,dan lain-lain. Para peladang dalam membuka laliwata

    didasari atas pertimbangan bahwa tanahnya sudah cukup subur untuk ditanami

    kembali. Selain itu pula rerumputan atau gulma yang akan menganggu tanaman

    sangat kurang sekali. Sehingga para peladang tidak lagi khawatir untuk membuka

    areal perladangan yang luas.

    7Mondau-tau diambil dari kata dasar mondau. Secara etimologis berarti berladangkecil-kecilan dan biasanya hanya dilakukan oleh beberapa peladang saja dalam suatukawasan atau oleh seorang peladang saja.

    8Hal ini merupakan suatu proses lahirnya hak atas tanah dan tanaman tumbuh padamasyarakat Tolaki yang diakui secara adathal mana kemudian disebut sebagaiwaworaha yakni suatu bekas kebun yang telah ditinggalkan yang ditandai dengantanaman-tanaman jangka panjang seperti langsat, mangga, kelapa, durian, dan lain-lain. Selain waworaha, hak-hak adat atas tanah dan tanaman pada masyarakat Tolaki

    adalah anggalo, aepe, kumapo, walaka. Sedangkan potiso sebagaimana yang seringdimasukkan oleh berbagai pihak tidak termasuk, karena itu sifatnya hanya sementarasaja yang menunjuk pada sebuah tanda klaim calon areal perladangan.

    17

  • 7/21/2019 Buku Sarlan Adijaya

    30/141

    d. Osambu

    Bekas perladangan ini lebih lama lagi jika dibandingkan dengan laliwata, yakni

    suatu bekas perladangan yang telah ditinggalkan sekitar 15 tahun ke atas. Dengan

    rentang waktu yang telah cukup lama tersebut, kawasan hutan ini telah ditumbuhi

    oleh pepohonan yang besar-besar dengan diameter sekitar 50 cm dan akar-akaran

    yang menggantung sudah cukup rapat sehingga dikalangan peladang sering pula

    menyamakannya dengan inalahi. Sebahagian peladang mengaku bahwa generasi

    mereka tidak lagi menyaksikan pembukaan kawasan hutan ini sebagai areal

    perladangandan mereka mengetahui bahwa kawasan tersebut telah pernah

    dijadikan sebagai areal perladangan adalah dari cerita orang-orang tua generasi di

    atasnya9. Tanahnya yang sangat subur merupakan faktor penarik yang utama bagi

    para peladang untuk menjadikannya sebagai areal perladangan. Di samping

    rerumputan atau gulma yang akan mengganggu tanaman boleh dikatakan tidak ada

    selain dari tunas-tunas kayu. Kedua faktor di atas itu, membuat para peladang tidak

    lagi berfikir bagaimana besarnya pepohonan yang akan dihadapinya.

    e. InalahiSecara etimologis, inalahi terdiri dari 2 suku kata, yakni ina dan lahi. Ina

    artinya ibu atau induk, dan lahi artinya hutan rimba belantara. Jadi inalahi adalah

    suatu kawasan hutan yang belum sama sekali pernah diolah/dibuka atau masih rimba

    belantara10

    . Oleh orang Tolaki inalahisering pula disebut dengan inalahi motuoatau

    hutannya nenek moyang. Pada kawasan hutan ini pepohonannya sangat besar-besar

    seumur dengan terbentuknya daratan bumi ini yang mencapai diameter rata-rata 100-

    150 cm. Orang Tolaki menyebutnya sebagai wata inalahi. Vegetasi hutan ini sangat

    beragam baik pepohonan, akar-akaran, dan tumbuh-tumbuhan lainnya. Di dalamnya

    dihuni berbagai jenis binatang dan burung-burung yang hidup dan berkembang biak.

    9 Dalam kaitan ini, pada masyarakat Tolaki terdapat ungkapan-ungkapan tertentuyang menunjukkan adanya pembukaan areal perladangan pada suatu kurun waktutertentu. Misalnya tau idou-doule artinya pembukaan areal perladangan di kawasanhutan dou-doule pada suatu kurun waktu yang telah lalu. Contoh lain misalnya tau iulu windo, tau kaindi morini, tau i towulamea, dan lain-lain. Seluruh penamaan inidiambil dari nama sungai. Misalnya tau dou-doule artinya adalah pembukaan arealhutan di sekitar sungai dou-doule untuk perladangan.10

    Dalam hal ini lahi sepadan dengan istilah andoolo yang juga berarti hutan.Walaupun lahi tidak dapat digunakan secara tunggal tanpa merangkainya dengan kataina. Dalam penggunaannya misalnya inalahi motuo sama dengan andoolo motuo.

    18

  • 7/21/2019 Buku Sarlan Adijaya

    31/141

    Karena banyak dihuni oleh binatang-binatang dan jarang dijamah oleh manusia

    menyebabkan sebahagian dari lokasi ini dianggap keramat (kokarama). Dalam

    keyakinan orang Tolaki hutan yang demikian banyak dihuni oleh para wali yang

    tinggal di atas pohon-pohon beringin. Sehingga ada sejenis tumbuhan yang

    dinamakan pundi kia yakni sejenis pisang yang banyak tumbuh di hutan-hutan

    diyakini sebagai tanaman para wali tersebut11

    . Pisang jenis ini banyak tumbuh di

    pinggiran-pinggiran sungai atau di lembah pegunungan.

    Inalahi ini apabila dijadikan sebagai areal perladangan, maka tanahnya akan

    sangat subur sekali dan tidak ada gulma atau rerumputan yang akan mengganggu

    tanaman. Sehingga walaupun para peladang akan menghabiskan banyak tenaga dan

    waktu untuk membuka areal perladangan ini, tetapi nantinya mereka akan punya

    banyak sekali waktu luang untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan lainnya atau untuk

    beristirahat. Kesuburan tanahnya serta tiadanya rerumputan yang mengganggu

    tanaman, menjadikan tanaman tumbuh bukan lagi menghijau tetapi berwarna

    kehitam-hitaman dan layaknya berlumba-lumba tumbuh. Sehingga itulah dalam

    menanam tanaman apa saja tidak boleh terlalu rapat. Karena jika terlalu rapat, nanti

    tidak akan banyak hasilnya sebab tanaman akan saling tindis-menindis dan kita juga

    susah untuk jalan di kebun. Umumnya para peladang yang membuka inalahi akanmondaweako

    12yakni menghasilkan padi dalam jumlah tertentu yang cukup banyak.

    2.2.2. Berdasarkan Jenis Vegetasi dan Aliran Sungai

    Selain pengkategorian hutan seperti diuraikan di atas, orang Tolaki juga memiliki

    pengkategorian lain untuk memastikan tingkat kesuburan suatu lokasi. Pengkategorian ini

    didasarkan pada jenis pepohonan dan tumbuh-tumbuhan serta banyaknya aliran sungai

    yang terdapat dalam kawasan hutan. Ada jenis-jenis kayu tertentu baik yang keras

    maupun yang lembek sangat subur tanahnya apabila ditanami, dan ada juga jenis-jenis

    kayu tertentu yang kayunya keras dan lembek namun tanahnya sangat kurus. Jenis-jenis

    11 Wali adalah jin yang menghuni hutan belantara dan seperti halnya manusiamembentuk suatu komunitas dan melakukan berbagai aktifitas seperti tanam-menanam.

    12 Masalah pengertian mondaweako lihat pada sub bahasan mosowi pada halamanberikut tulisan ini.

    19

  • 7/21/2019 Buku Sarlan Adijaya

    32/141

    kayu tersebut bercampur baur dalam suatu kawasan hutan dan biasanya terdapat suatu

    atau beberapa jenis kayu yang dominan.

    Sekedar menyebut beberapa contoh jenis-jenis kayu yang tanahnya sangat subur

    adalah sebagai berikut :

    a) Kayu keras : pooti, ombuli, kalapi, kolaka, asana, o kuli, kuli papo, o lara,otolindi, moro one, morobite, lalo orope, upi, silae, nguru, sainea alu, kolaka,

    kikima, ui, wewu danwonggia.

    b) Kayu lunak : bolongita, undolia, kokabu, lorulinga, lalo umera, lalo lingato, benua,dongi, o see, ongawe, siapu, kole, kole uhu, wehuko/roramo, besulo (meranti),

    komea, kuma, onai, balo-balo, korongeo, taipa hada, koni, o rawa, ruruhi, huko.

    Sedangkan contoh jenis-jenis kayu yang tanahnya kurang subur adalah:eha, sisio,

    hokio, walahopa, kulahi, lalo roko, taliondo, dan lain-lain.

    Selain itu banyaknya populasi tumbuhan dalam suatu kawasan hutan juga turut

    menentukan tingkat kesuburan tanah. Tumbuhan selain kayu dimaksud adalah seperti

    kowuna (bambu) tumbuh di atas lahan yang sangat subur, sedangkan owulo (buluh)

    tumbuh di atas tanah yang kurus. Tumbuhan lainnya adalah : o naha, tasea, siambu, o

    wiu, dangge, rema, langgehao, wilalo dan ue (rotan) dalam berbagai jenis seperti: ue

    bao, umili, hoa, tahiti, tuu, wulu, alomanu, samba, batu, wowonga, wai, watu, o noko,kilala, kahi, wuta, daramasi, dan lain-lain.

    2.2.3. Berdasarkan Kontur Geografis

    Kontur geografis kawasan hutan bagi orang Tolaki terbagi atas dua kategori,

    yakni mosila yaitu kawasan hutan dengan gunung relatif terjal; mondape atau peboku-

    boku anoyaitu kawasan hutan yang gunungnya relatif datar dan lela wutaatau kawasan

    lembah. Dalam memilih areal perladangan, para peladang lebih suka memilih kawasan

    hutan yang mondape atau lelawuta dari pada yang mosila. Karena apabila gunungnya

    mosila peladang akan susah menanaminya sebab benihnya tidak akan tersalur dengan

    baik lagi pula banyak yang tidak tumbuh. Hal ini disebabkan oleh air hujan yang apabila

    turun hujan besar akan membawa benih-benih itu ke lembah. Sehingga itulah para

    peladang lebih suka memilih lokasi perladangan dengan hutan yang mondape atau

    lelawuta.

    Selain itu, berkaitan dengan kesuburan tanahfaktor sungai juga sangat

    mempengaruhi tingkat kesuburan tanah ladang. Kawasan hutan yang banyak dialiri oleh

    20

  • 7/21/2019 Buku Sarlan Adijaya

    33/141

    anak-anak sungai, tanahnya akan sangat subur sedangkan yang sangat kurang anak

    sungainya tanahnya kurang subur. Kategori hutan yang banyak ditumbuhi kayu-kayu

    lembek dan dialiri banyak anak sungai, gulma atau rerumputan juga sering ada yang

    tumbuh bahkan kalau pada hutan seperti ana homa, gulma atau rerumputan yang tumbuh

    bisa sangat banyak. Berbeda dengan kategori hutan yang banyak ditumbuhi oleh

    pepohonan yang kayu-kayunya keras dan aliran sungai-sungainya sedikit, gulma atau

    rerumputan yang tumbuh tidak terlalu banyak walaupun pada ana homa.

    2. 2 Mondau Sebagai Pranata Pengelolaan Sumberdaya Hutan OrangTolaki

    Mondau merupakan suatu bentuk usaha perladangan berpindah (shifting

    cultivation)13

    yang dikenal di kalangan masyarakat Tolaki, yang dilakukan melalui proses

    pembukaan kawasan hutan untuk keperluan penanaman berbagai jenis tanaman.Mondau

    dilakukan dengan cara menebang pepohonan dan membakarnya (slash and burn) dan

    terdiri beberapa tahapan, sebagai berikut: 1) monggiikii andoolo (pemilihan lokasi

    perladangan); 2) mohoto o wuta (upacara pra mondau); 3) mosalei (menebang

    pepohonan kecil, menebas akar-akaran, dan lain-lain); 4) monduehi (menebang

    pepohonan besar); 5) humunu (membakar); 6) moenggai (membersihkan sisa-sisa

    pembakaran); 7) motasu (menanam padi); 8) mosaira dan meteia ( membersihkan

    rerumputan dan menjaga tanaman); 9) mosowi (panen); 10) molonggo(memasukkan ke

    dalam lumbung)14

    .

    2.3.1. Monggikii andoolo

    Dalam melakukan usaha perladangan, orang Tolaki mengenal beberapa klasifikasi

    lahan untuk areal perladangan. Klasifikasi tersebut didasarkan pada faktor-faktor : (1)

    usia kawasan hutan, (2) jenis vegetasi dan aliran sungai, dan (3) kontur geografis

    13Dalam berbagai kepustakaan kita temukan beragam istilah baik dalam bahasa Inggris maupun bahasa Indonesiayang menunjuk pada makna yang sama antara lain slash and burning cultivation, rotary cultivation, sistem pertaniandengan tebang bakar, perladangan dengan pola gilir balik. Pertanian dengan sistem rotasi, dan lain-lain. Untuk lebihjelasnya periksa Yando Zakaria, 1994. , Owen J. Lynch dan Kirk Talbott, 2001; dan juga Rpnald E. Seavoy, 1973.

    14Dalam banyak tulisan yang membahas tentang mondau, para penulis mempunyai pentahapan yang berbeda-beda.Untuk lebih jelasnya periksalah Asrul Tawulo, 1990; Munsi Lampe, 1993 Dalam Koentjaraningrat (Ed); AbdurraufTarimana,1985. Sebagai pembanding periksa pula Koentjaraningrat,1990).

    21

  • 7/21/2019 Buku Sarlan Adijaya

    34/141

    kawasan hutan. Faktor-faktor tersebut sangat berkaitan dengan produktifitas hasil ladang

    dikemudian hari yang akan diperoleh para peladang. Karena itulah hal ini menjadi

    penting untuk dipertimbangkan bagi setiap peladang dalam menentukan lokasi

    perladangannya. Apabila peladang memilih lokasi yang tepat maka sipeladang tersebut

    akan memperoleh hasil panen yang banyak tetapi apabila salah memilih lokasi maka hasil

    yang diperoleh akan sedikit pula.15

    2.3.2 . Mohoto O Wuta

    Apabila areal perladangan seperti yang diuraikan di atas telah tersedia, maka

    dimulailah tahap selanjutnya, yakni mohoto o wuta. Secara etimologis mohoto o wuta

    terdiri dari 2 suku kata, yakni mohotoartinya memotong dan o wutaberarti tanah. Jadi

    mohoto o wutaberarti memotong tanah. Dalam kaitannya dengan mondau, maka mohoto

    o wuta adalah suatu prosesi upacara perladangan yang mengawali seluruh rangkaian

    proses mondau yang dalam keyakinan orang Tolaki harus dilaksanakan oleh setiap

    peladang apabila hendak membuka hutan atau berladang. Maksudnya adalah bahwa

    dengan melaksanakan upacara ini berarti para peladang telah meminta izin kepada Dewa

    hutan (sangiano andoolo) untuk membuka hutan atau lahan tersebut sehingga akan

    selalu terhindar dari malapetaka dan kutukan (tetutuara), baik yang akan menimpa petanimaupun tanaman-tanaman di ladang, misalnya kecelakaan atau gangguan hama seperti

    tikus, kera, babi, dan lain-lain. Sehingga itulah pula proses ini sering disebut dengan

    istilah mooli atau membeli hutan pada yang empunya. Selain itu pula hutan yang

    dijadikan sebagai lokasi perladangan tidak akan menjadi tandus dan dapat menghutan

    kembali sehingga suatu saat nanti dapat dibuka kembali. Salah satu simbol yang

    digunakan disini adalah air yang disimpan dalam sebuah wadah yang menandakan

    kesejukan. Artinya tanah ladang tersebut akan sejuk terus sehingga selain tanaman yang

    akan tumbuh dengan baik, juga pepohonan yang telah kita tebang akan dapat tumbuh

    kembali seperti semula.

    Mohoto o wuta dilaksanakan sekitar bulan agustus pada awal musim kemarau.

    Hari yang baik untuk masuk hutan dalam rangka melakukan prosesi ini adalah leleanggia

    atau tindono.16

    15Mengenai penjelasan tentang hal ini lihat bab 2.

    16Leleanggia dan tindono adalah suatu bagian dari sistem perbulanan orang Tolaki. Secara keseluruhan sistemperbulanan orang Tolaki adalah sebagai berikut: 1) mata loso;2) riolo; 3) matanggawe; 4) tombara kawe; 5)meorawesi; 6) mehau-hau; 7) mata tindo; 8) tombara tindo; 9) mata ndeue; 10) tombara teue; 11) toeno; 12) mataleanggia; 13) tombara leanggia; 14) molambu; 15) mataomehe; 16) tombaraomehe;17) riolo; 18) mata nggawe; 19)

    22

  • 7/21/2019 Buku Sarlan Adijaya

    35/141

    Mula-mula diawali dengan mempersiapkan semua perlengkapan yang dibutuhkan

    seperti parang (o pade), empat potongan kayu sepanjang 30 cm, serta air yang disimpan

    dalam suatu wadah biasanya adalah tempurung kelapa (takulo/aha nggaluku) atau

    potongan buah maja (o bila), sebuah batu asah (watu rambaha). Adapun fungsi masing-

    masing perlengkapan tersebut adalah sebagai berikut: Parang digunakan untuk

    membersihkan tempatpemanua; empat potongan kayu sebagai bahan pembentuk persegi

    empat yang diletakkan 2 menindis 2 lainnya; air untuk mengasah parang, dan ; batu asah

    untuk tempat mengasah parang.

    Setelah semua perlengkapan tersedia, maka dibuatlah pemanua yakni suatu

    bangunan yang dibuat dari empat rangkaian potongan kayu sepanjang 30 cm yang

    diletakkan pada sebidang tanah membentuk persegi empat mengelilingi suatu pohon kayu

    kecil (sebesar telunjuk) yang masih tumbuh. Empat potongan kayu tersebut pada masing-

    masing sudutnya dijepit dengan kayu supaya kokoh. Di atas bangunan tersebut

    diletakkanlah batu asah dan air, sambil membaca doa sebagai berikut :

    Doanya :

    Inggoo kum, inggoo rundulangi.17

    Apabila pemanua telah selesai, maka kegiatan selanjutnya adalah mosalei

    (menebas) sebanyak 4 putaran mengelilingi bangunanpemanua tadi. Pada setiap putaran

    peladang diharuskan untuk kembali ke pemanua moramba-ramba (mengasah-asah)

    parangnya. Setelah selesai kegiatan ini maka peladang akan mobeta (mosalei kecil-

    kecilan) pada setiap sudut sebagai pertanda batas calon areal perladangan yang akan

    diolahnya.

    Ketika peladang akan memulai melakukan proses upacara ini, terdapat tanda-

    tanda yang harus diperhatikan. Tanda-tanda tersebut antara lain adalah mendengarkan

    bunyi-bunyi burung yang merupakan alamat baik dan buruk seperti burung: sui, sarere,

    dan pondu-pondu belatu (burung pematuk pohon yang telah busuk). Apabila peladang

    mendengar bunyi burung sui seperti mekoe-koesi yakni laksana orang yang sedang

    bersiul dengan merdu ataumomburi laksana sedang meniup--maka tanda ini adalah baik

    sekali. Ini artinya ladang kita nantinya jika dibakar akan hangus; bunyi burung pondu-

    tombara kawe; 20) meorawesi; 21) mehau-hau; 22) mata tindo; 23) tombara rtindo; 24) mata ndeue; 25) tombara

    teue; 26) toeno; 27) mata leanggia; 28) tombara leanggia; 29) wawondowaha; 30) wula mbusu

    17Doa ini dituturkan bukan dalam bahasa Tolaki sebagai umumnya, tetapi dalam bahasa spesifik yang digunakanuntuk berkomunikasi dengan mahluk halus/gaib.

    23

  • 7/21/2019 Buku Sarlan Adijaya

    36/141

    pondu belatu menandakan hasil panen akan melimpah; dan bunyi sarere kita harus

    berhenti karena itu adalah alamat buruk seperti akan mengalami musibah atau kematian.

    Rangkaian kegiatan membuat pemanua ini disebut juga dengan istilah

    mombewulahako artinya bahwa setelah selesainya tahapan ini barulah para peladang

    memulai untuk tahapan selanjutnya atau masuk pada bulan pertama mondau. Rentang

    waktu antara mombewulahako dengan dimulainya kegiatan penebangan adalah empat

    hari. Masa empat hari ini menurut keyakinan orang Tolaki adalah kurun waktu dimana

    kita tidak boleh masuk hutan atau memasuki lokasi yang akan dijadikan sebagai areal

    perladangan. Masa ini disebut pula dengan istilah mombadoatau pemali.

    2.3.3. Mosalei

    Mosalei merupakan tahapan ketiga dalam rangkaian mondau yang dilakukan

    pada awal musim kemarau yakni sekitar bulan agustus. Secara etimologis mosaleiberarti

    menebas atau memotong pepohonan atau akar-akaran yang menggantung dan menjalar

    (o hao) dengan hanya sekali tebas. Dalam tahapan ini yang menjadi sasaran pekerjaan

    adalah menebang pepohonan kecil dan akar-akaran yang menggantung dan menjalar

    termasuk rotan dalam berbagai jenis. Setelah penebasan selesai, maka pepohonan yang

    ditebang dan akar-akaran tersebut dipotong-potong agar cepat mongering. Adapunmaksudnya pepohonan kecil dan akar-akaran ini dibersihkan lebih dulu adalah: 1) agar

    nanti dalam proses penebangan selanjutnya sipeladang bisa dengan leluasa bergerak dan

    pohon-pohon besar yang ditebang tidak tersangkut; 2) agar dalam proses pembakaran

    dapat hangus dengan baik, maka pepohonan kecil dan akar-akaran ditebang lebih dulu

    supaya cepat kering. Tidak semua bagian lahan yang harus melalui tahapan ini, misalnya

    lokasi yang relatif bersih dari pepohonan kecil atau akar-akaran.

    Pekerjaan ini dilakukan dengan menggunakan parang (o pade) dan batu asah

    (watu rambaha).Mosaleidikerjakan secara bergotong royong di antara sesama peladang

    laki-laki atau ada juga yang menggunakan sistem upah harian. Lamanya mosalei

    tergantung dari luasnya lahan yang akan dibuka tetapi umumnya berkisar antara 2 3

    minggu. Selama waktu ini, sebagian peladang memanfaatkannya untuk merotan (meue)

    yakni mengumpulkan rotan dalam segala jenis untuk dijual kepada pembeli kelak setelah

    selesai mosalei.18

    18Meue atau mengumpulkan rotan untuk berbagai keperluan rumah tangga dan dijual ke pasar merupakan suatukegiatan utama orang Tolaki sebagai suku bangsa Peramu. Hingga sekarang ini aktifitas mengumpulkan rotan darihutan belantara masih ditekuni oleh sebagian besar orang Tolaki sebagai penunjang kehidupan ekonomi keluargayang utama, disamping berladang dan berbagai pekerjaan lainnya. Untuk memperoleh gambaran yang lebih

    24

  • 7/21/2019 Buku Sarlan Adijaya

    37/141

    Selama masa mosalei, para peladang laki-laki untuk sementara tinggal menetap

    dalam hutan kecuali untuk sesekali mereka masuk kampung untuk membeli kebutuhan di

    hutan. Sebelum masuk hutan mereka telah membawa bekal seperlunya seperti beras (o

    woha), sagu (tawaro), garam (peanihi), ikan kering (ika moahi), tembako (inoso), korek

    api (api-api/tinggu), gula (gola) , kopi (kopi)sedangkan sayur-sayuran dapat diperoleh di

    hutan seperti tinira ue, tinira bao, dan daun melinjau (tawa huko). Kegiatan masak-

    memasak dilakukan sendiri tanpa bantuan perempuan. Mereka membangun rumah

    (pineworu) sebagai tempat berteduh dan tempat tidur. Untuk menahan hawa dingin dan

    nyamuk pada malam hari mereka membakar potongan-potongan kayu dan kulit kayu di

    bawah kolong rumah atau di dekatnya.

    Setelah mosalei, maka mereka akan kembali ke kampung sambil beristrihat

    sejenak. Lahan akan dibiarkan selama 1 2 minggu dengan maksud agar pepohonan dan

    akar-akar yang telah ditebang dan dipotong-potong itu telah mengering, sehingga dalam

    pembakaran nantinya batang-batang pepohonan dan akar-akar dapat terbakar dengan

    baik.

    2.3.4. Monduehi

    Monduehiadalah suatu tahapan kegiatan dalam mondauyang dilakukan dengan

    sasaran menebang pepohonan besar. Tahap awal monduehidisebut molowoyakni suatu

    kegiatan penebangan hutan selama 1 hari pada salah satu kawasan hutan dalam areal

    perladangan sebagai pertanda dimulainya monduehi. Hari yang baik untuk molowo

    adalah matanggawe atau o tindo.19

    Setelah molowo maka peladang akan mombado

    (larangan untuk masuk hutan) selama 4 hari.20

    Dalam tahapan ini hampir semua pepohonan yang berada dalam rencana lokasi

    atau lahan perladangan ditebang, baik dikemiringan (mosila ano)maupun di lembah (lela

    wuta). Pepohonan yang biasanya tidak ditebang adalah pohon yang terlalu besar atau

    yang kayunya keras serta sebagian pohon beringin (kapu), khususnya kapu boru(pohon

    beringin yang berbentuk seperti tudung (boru=tudung) yang dianggap keramat.

    Monduehidikerjakan dengan menggunakan parang ( o pade)dan kampak (o pali)yang

    mendalam mengenai hal ini dapat ditelusuri melalui mitologi Oheosuatu mitologi orang Tolaki yang mengisahkanasal-usul orang Tolaki yang turun ke bumi melalui jembatan ue waisuatu jenis rotan yang berbatang kecil.

    19Lihat catatan kaki nomor 15

    20Angka 4 merupakan simbol dari unsur utama pembentuk alam semesta yang terdiri api, air, udara, dan tanah. Untuklebih jelasnya mengenai hal ini, periksa Rauf Tarimana, 1989.

    25

  • 7/21/2019 Buku Sarlan Adijaya

    38/141

    tajam. Kampak digunakan untuk menebang pohon sedangkan parang digunakan

    keperluan memotong-motong dahan-dahan yang menjulang ke atas.

    Monduehi dikerjakan secara gotong royong (sama turu) secara beramai-ramai

    sesama peladang lainnya atau dengan tenaga bayaran. Peladang yang melakukan kerja

    sama ini biasanya bermukim dalam suatu rumah yang sama (seperti telah diuraikan pada

    tahapan mosalei). Pada hari yang pertama mereka akan mengerjakan areal salah seorang

    peladang, hari yang kedua areal peladang lainnya, hingga begitu seterusnya sampai

    monduehiselesai.

    Seperti dikemukakan di atas, bahwa monduehi dilakukan dengan sasaran

    menebang pepohonan besar, maka dalam mengerjakannya ditempuh beberapa cara.

    Apabila pohon yang akan ditebang tidak terlalu besar maka proses penebangannya

    dilakukan seperti biasa. Tetapi apabila pohon yang akan ditebang sangat besar dan

    pelare, maka proses penebangannya terlebih dulu dibuatkan tangga (o tenga) yang

    tingginya disesuaikan dengan tingginya lare-nya pohon tersebut. Tangga tersebut terdiri

    dari rangakaian kayu yang dibangun persis dekat pohon yang akan ditebang, diperkirakan

    dapat terjangkau dengan baik jika hendak menebang pohon tersebut. Ketika menebang

    pohon tersebut hingga tumbang, biasanya peladang menyingkir tidak terlalu jauh, guna

    menghindari tendangan kayu tersebut. Para peladang tidak takut ketika berada di atastangga disebabkan keahliannya dalam menebang pohon. Peladang sangat ahli dalam

    menentukan kemana arah tumbangnya pohon yang ditebang.

    Dalam melakukan penebangan, pepohonan tersebut ditebang searah. Pada bagian

    gunung tinggi (mosila)penebangan dimulai dari atas ke bawah sehingga batang-batang

    pohon yang sudah ditebang akan nampak menjulur ke bawah mengikuti lembah.

    Menebang pepohonan besar baik pada bagian gunung yang tinggi maupun yang relatif

    datar, sering sangat bermanfaat untuk mempercepat proses monduehi. Para peladang