empirik jan-jun 2012.pdf

Upload: altahsif07

Post on 06-Feb-2018

255 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

  • 7/21/2019 empirik jan-jun 2012.pdf

    1/323

    i

  • 7/21/2019 empirik jan-jun 2012.pdf

    2/323

  • 7/21/2019 empirik jan-jun 2012.pdf

    3/323

    Jurnal Penelitian

    ISLAM EMPIRIK

    Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (P3M)Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Kudus Jawa Tengah

  • 7/21/2019 empirik jan-jun 2012.pdf

    4/323

    PEMIMPIN UMUM

    Ahmad Supriyadi

    PEMIMPIN REDAKSI

    M. Saekhan Muchith

    SEKRETARIS REDAKSI

    Santoso

    DEWAN REDAKSI

    Masudi

    Amin Nasir

    Murtadlo Ridwan

    PENYUNTING AHLI

    Muhammad Ivan Alfian

    Ahmad At tabik

    Ahmad Zain

    Muhammad Mustaqim

    TAT USAHA

    Dwi Sulistiono

    Ahmad Anif

    Nur Kholis

    Vol 5, Nomor 1, Januari - Juni 2012 ISSN: 1693-6019

    Alamat Redaksi

    P3M STAIN Kudus

    Jl. Conge Ngembalrejo

    PO BOX 51 Telp. (0291) 432677,

    Fax 441613 Kudus 59322

    Email: [email protected]

    Jurnal Penelitian ISLAM

    EMPIRIK diterbitkan oleh

    Pusat Penelitian dan

    Pengabdian Masyarakat

    STAIN Kudus setiap

    enam bulan sekali dan

    menerima setiap karya tulis

    sesuai dengan maksud

    jurnal tersebut diatas.

    Naskah diketik rapi sekitar

    20 halaman spasi 1.5

    beserta biodata penulis

    dan mencantumkan daftar

    pustaka sebagai sumber

    referensi. redaksi berhak

    memperbaiki susunan

    kalimat tanpa merubah isi

    tulisan yang dimuat

    Jurnal Penelitian

    ISLAM EMPIRIKMeretas Nalar Islam, Mengusung Nalar Terapan

    Diterbitkan OlehPusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat

    Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Kudus Jawa Tengah

  • 7/21/2019 empirik jan-jun 2012.pdf

    5/323

    - v -

    DAFTAR ISI

    Pengantar Redaksi........................................................................ v - vi

    Daar Isi............................................................................................ vii - viii

    PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT

    TINJAUAN FIQIH

    Oleh: Dr. H. Abdurrohman Kasdi, Lc, M.Si .......................... 1 - 26

    MODEL PENGEMBANGAN KARAKTER MELALUI

    SISTEM PENDIDIKAN TERPADU INSANTAMA

    BOGOR

    Oleh: Agus Retnanto ................................................................ 27 - 76

    LEGALITAS LEMBAGA KEUANGAN GADAI

    SYARIAH DI INDONESIA (Studi Peraturan

    Pemerintah Nomor 103 Tahun 2000 tentang

    Perusahaan Umum PERUM Pegadaian)

    Oleh: Ahmad Supriyadi .......................................................... 77 - 126

    KEUNGGULAN KOMPETITIF BERKELANJUTAN

    MELALUI RANTAI NILAI DAN STRATEGI

    BERSAING PADA MINI MARKET

    Oleh:Muhammad Husni Mubarok ......................................... 127 - 152

    RELIGIUSITAS ANAK JALANAN DI KAMPUNG

    ARGOPURO DESA HADIPOLO KABUPATENKUDUS

    Oleh: Irzum Farihah, S.Ag., M.Si ............................................ 153 - 176

  • 7/21/2019 empirik jan-jun 2012.pdf

    6/323

    - vi -

    KONSTRUKSI MODEL PENILAIAN KINERJA

    PEGAWAI NEGERI SIPIL PADA SEKOLAH TINGGI

    AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS

    Oleh: Ismanto .............................................................................. 177 - 204

    EPISTEMOLOGI MULL SADR (Kajian TentangIlmu Husu>li>dan Ilmu Hudu>ri>)

    Oleh: Fathul Mufd.................................................................... 205 - 234

    PERGULATAN PEMIKIRAN ISLAM DI RUANG

    PUBLIK MAYA (Analisis Terhadap Tiga Website

    Organisasi Islam di Indonesia)

    Oleh: Muhamad Mustaqim ....................................................... 235 - 258

    TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP

    TRANSAKSI SIMBIOSIS PARASITISMA (Studi

    Analisis Persoalan Riba dalam Kajian Normatif

    Filosos) Oleh: H. Solikhul Hadi, M.Ag. ................................................ 259 - 282

    POLA KEBERAGAMAAN KAUM TUNA RUNGU

    WICARA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG

    MEMPENGARUHINYA Oleh: Sulthon, M.Ag. ................................................................ 283 - 318

  • 7/21/2019 empirik jan-jun 2012.pdf

    7/323

    1EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam

    PERNIKAHAN BEDA AGAMAMENURUT TINJAUAN FIQIH

    Oleh: Dr. H. Abdurrohman Kasdi, Lc, M.Si1

    Abstrak

    Pernikahan beda agama adalah pernikahan yang dilakukanoleh seorang pria dan wanita yang beda agama. Pernikahanini menjadi salah satu persoalan dalam hubungan antar umatberagama. Persoalan ini menimbulkan perbedaan pendapat daridua pihak yang pro dan kontra, masing-masing pihak memilikidasar hukum berupa dalil maupun argumen rasional yang berasaldari penafsiran mereka masing-masing terhadap dalil-dalil Islamtentang pernikahan beda agama. Penelitian ini menggunakanmetode pendekatan kualitatif dengan kajian deskriptif-komparatif-analitis. Mendiskripsikan tentang pernikahan beda agama,mengkomparasikan pendapat ulama, kemudian menganalisisnyasecara kritis. Studi banding (komparasi) dilakukan terhadapbeberapa pendapat, baik yang melarang pernikahan beda agamamaupun yang memperbolehkannya.

    Hasil dari penelitian ini adalah bahwa ulama berbeda pendapat

    tentang pernikahan beda agama dalam beberapa pendapat: pertama,kelompok yang membolehkan nikah antara pria muslim denganwanita Ahli Kitab, yakni pendapat jumhur ulama (mayoritasulama) baik ulama Salaf maupun ulama Khalaf dari Imam-imamMadzhab Empat; kedua, kelompok yang mengharamkan menikahiwanita Ahli Kitab. Yang terkemuka dari kelompok ini dari kalangansahabat adalah Ibn Umar, dan pendapat ini diikuti oleh kalanganSyiah Imamiyah; ketiga, kelompok yang berpendapat bahwaperempuan Ahli Kitab halal hukumnya, tetapi secara politik tidak

    diperkenankan.Kata Kunci:Nikah Beda Agama, Madzhab, Jumhur Ulama, Fiqih

    1Penulis adalah Dosen Tetap STAIN Kudus, alumni Fakultas SyariahUniversitas al-Azhar dan Doktor Hukum Islam IAIN Walisongo Semarang.

  • 7/21/2019 empirik jan-jun 2012.pdf

    8/323

    2 Vol. 5, No.1 Januari - Juni 2012

    Abdurrohman Kasdi

    A. Pendahuluan

    Dalam pandangan qih, pernikahan yang ideal adalah

    pernikahan yang dilakukan oleh pasangan pria dan wanita

    yang sekufu (seimbang), sehingga tercipta keluarga yang sakinah,

    mawaddah wa rahmah. Keluarga yang demikian, akan diselimuti

    rasa tenteram dan penuh cinta kasih sayang. Pernikahan seperti

    itu hanya akan terjadi jika suami istri berpegang pada agama

    yang sama, keduanya beragama Islam dan menjalankan syariat

    Islam. Apabila agama keduanya berbeda, maka akan timbul

    berbagai persoalan dalam keluarga, seperti dalam pelaksanaan

    ibadah, memilih pendidikan anak, pembinaan karir anak danpermasalahan lainnya.

    Kemungkinan terjadinya nikah beda agama biasanya di

    beberapa negara yang hiterogen dan majemuk, seperti bangsa

    Indonesia yang dikenal dengan Bhinneka Tunggal Ika

    (berbeda-beda tetapi tetap satu juga). Ini menunjukkan bahwa

    masyarakat yang majemuk, terutama bila dilihat dari segi etnis,

    suku bangsa dan agama mempunyai potensi munculnya nikahbeda agama. Konsekuensinya, dalam menjalani kehidupannya

    masyarakat yang majemuk dihadapkan pada perbedaan

    perbedaan dalam berbagai hal, mulai dari kebudayaan, cara

    pandang hidup dan interaksi antar sesama warga. Oleh karena

    itu, masalah hubungan antar umat beragama mendapat

    perhatian serius dari pemerintah dan warga masyarakatnya.

    Fenomena bangsa yang majemuk ini menjadikanpergaulan di masyarakat semakin hiterogen dan beragam. Hal

    ini telah mengakibatkan pergeseran nilai agama yang lebih

    dinamis daripada yang terjadi pada masa lampau, seorang

    Muslim dan Muslimat sekarang ini banyak berinteraksi dan

    bermuamalah dengan non-Muslim. Seorang Muslim dan

    Muslimat yang hidup di negara yang majemuk seperti ini

    hampir dipastikan sulit untuk menghindari pergaulan denganorang yang beda agama. Permasalahan akan muncul apabila

    interaksi ini kemudian memunculkan ketertarikan pria atau

    wanita Muslim dengan orang yang beda agama dengannya

  • 7/21/2019 empirik jan-jun 2012.pdf

    9/323

    3EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam

    Pernikahan Beda Agama menurut Tinjauan Fiqih

    atau sebaliknya, yang berujung pada pernikahan. Dengan kata

    lain, persoalan pernikahan antar agama menjadi persoalan

    yang terjadi pada setiap masyarakat yang hiterogen.

    Salah satu persoalan dalam hubungan antar umat

    beragama ini adalah masalah Pernikahan Muslim dengan non-

    Muslim yang selanjutnya disebut sebagai pernikahan beda

    agama. Persoalan ini menimbulkan perbedaan pendapat dari

    dua pihak yang pro dan kontra, masing-masing pihak memiliki

    dasar hukum berupa dalil maupun argumen rasional yang

    berasal dari penafsiran mereka masing-masing terhadap dalil-

    dalil Islam tentang pernikahan beda agama.

    Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode

    pendekatan kualitatif dengan kajian deskriptif-komparatif-

    analitis. Mendiskripsikan tentang pernikahan beda

    agama, mengkomparasikan pendapat ulama, kemudian

    menganalisisnya secara kritis. Studi banding (komparasi)

    dilakukan terhadap beberapa pendapat, baik yang melarang

    pernikahan beda agama maupun yang memperbolehkannya.

    B. Konsep Pernikahan Beda Agama

    Sebelum memaparkan lebih jauh tentang pernikahan

    beda agama, alangkah baiknya delaskan terlebih dulu tentang

    denisi nikah baik menurut syariah maupun menurut undang-

    undang. Nikah menurut Muhammad Abu Ishrah adalah akad

    yang memberikan faidah hukum kebolehan mengadakanhubungan keluarga (suami-istri) antara pria dan wanita, serta

    mengadakan tolong menolong dan memberi batas hak bagi

    pemiliknya, serta pemenuhan kewajiban bagi masing-masing.

    Adapun denisi nikah menurut jumhur ulama adalah akad

    yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan

    kelamin dengan lafadz nikah atau ziwaj atau yang semakna

    dengan keduanya (Darajat, 1995: 37).Sedangkan pengertian pernikahan menurut Undang-

    undang No. 1 Tahun 1974 adalah ikatan lahir batin antara

    seorang pria dan wanita sebagai suami-istri dengan tujuan

  • 7/21/2019 empirik jan-jun 2012.pdf

    10/323

    4 Vol. 5, No.1 Januari - Juni 2012

    Abdurrohman Kasdi

    untukmembentuk keluarga (rumah tangga) bahagia dan kekal

    berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Bab 1 Pasal 1).

    Maksud dari pernikahan beda agama adalah pernikahan

    yang dilakukan oleh seorang pria dan wanita yang beda agama.

    Masalah pernikahan berbeda agama ini sebenarnya terbagi dalam

    2 kasus keadaan, antara lain:pertama,pernikahan antara laki-laki

    non-Muslim dengan wanita Muslimah, dan kedua, pernikahan

    antara laki-laki Muslim dengan wanita non-Muslimah.

    Yusuf Qardhawi membagi golongan non-Muslim

    menjadi beberapa golongan, di antaranya: Golongan Musyrik,

    Mulhid, Murtad, Bahai, dan Ahli Kitab (Qardhawi, 1978: 402-

    406). Musyrik adalah penyembah berhala atau orang yang

    menyekutukan Allah, Mulhid adalah golongan orang-orang

    yang menganut ateis, Murtad adalah golongan orang yang

    keluar dari agama Islam, Bahai termasuk di antara golongan

    orang-orang yang Murtad, dan Ahli Kitab adalah kaum Yahudi

    dan Nashrani (Chuzaimah dan Hazh Anshary (ed.), 2002: 13).

    Sedangkan menurut al-Jaziry dalam bukunya Kitab al-Fiqh al al-Madzhib al-Arbaah,, golongan non-Muslim dibagi

    menjadi tiga golongan: pertama, golongan yang tidak berkitab,

    baik samawi maupun kitab lainnya. Mereka adalah penyembah

    berhala, dan orang-orang Murtad disamakan dengan mereka.

    Kedua, golongan yang mempunyai kitab semacam samawi.

    Mereka adalah orang-orang Majusi yang menyembah api.

    Mereka mengubah-ubah kitab yang diturunkan kepada merekadan membunuh nabi mereka dari Zaradusyta. Ketiga, golongan

    yang mempunyai kitab suci samawi. Mereka adalah orang-orang

    Yahudi yang percaya kepada Taurat dan orang-orang Nashrani

    yang mempercayai Injil (al-Jazairi, 1986: 11).

    Adapun non-Muslim dalam al-Quran dibagi menjadi

    dua bagian di antaranya adalah: pertama, kaum Musyrikin.

    Al-Quran menyebut tentang golongan Musyrikin, sekaligusmenjadi dasar hukum nikah antara kaum Muslimin dan

    Muslimat dengan mereka yaitu rman Allah SWT.:

  • 7/21/2019 empirik jan-jun 2012.pdf

    11/323

    5EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam

    Pernikahan Beda Agama menurut Tinjauan Fiqih

    Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka

    beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari

    wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. dan janganlah kamu

    menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin)sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik

    dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. mereka mengajak ke

    neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya.

    dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada

    manusia supaya mereka mengambil pelajaran. (QS. Al-Baqarah:

    221)

    Kedua, Ahli Kitab. Sebagaimana rman Allah:

    (Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan

    orang-orang yang diberi al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan

    kamu halal (pula) bagi mereka. (dan dihalalkan mangawini) wanita

    yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan

    wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang

    diberi al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin

    mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan

    tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang karsesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah

    amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang yang merugi.

    (QS. Al-Midah: 5)

  • 7/21/2019 empirik jan-jun 2012.pdf

    12/323

    6 Vol. 5, No.1 Januari - Juni 2012

    Abdurrohman Kasdi

    Ulama sangat bervariasi dan tidak ada kata sepakat (ma)

    dalam menetapkan Musyrik dan Ahli Kitab. Sebagian ulama

    memasukkan istilah Ahli Kitab ke dalam kategori Musyrik, dan

    ada pula yang membedakan keduanya secara tegas. Ibn Umar

    misalnya, ia menganut yang pertama, sebagaimana ditegaskan:

    Saya tidak melihat syirik yang lebih berat dari perkataan wanita

    itu bahwa tuhannya Isa (ash-Shabuni, 1972: 536). Sedangkan

    seperti Syaikh Mahmud Syaltut, Muhammad Abduh, Rasyid

    Ridha dan yang sependapat dengan mereka membedakan

    dengan jelas antara musyrik dengan ahli kitab (Ridha, 1380

    H: 186-187). Qatadah, seorang mufassir dari kalangan tabiin,

    sebagaimana dikutip oleh Rasyid Ridha, berpendapat bahwa

    yang dimaksud musyrik dalam ayat 221 surat al-Baqarah adalah

    penyembahan berhala pada saat al-Quran turun. Karena itu

    ayat tersebut tidak tegas melarang menikahi dengan orang

    Musyrik selain bangsa Arab, seperti Cina/Konghucu, Budha,

    dan lain-lain (Ridha, 1380 H: 190).

    Rasyid Ridha lebih tegas lagi, ia menganggap bahwaMajusi (penyembahan api ) Shabiin (penyembahan bintang)

    sebenarnya mereka dulunya mempunyai kitab dan nabi, namun

    karena masanya sudah terlalu lama dan jarak yang terlalu jauh

    dengan nabi maka kitab yang asli tidak dapat diketahui (Ridha,

    1380 H: 186-187). Pendapat inilah yang dadikan ketentuan

    oleh negara Pakistan. Rasyid Ridha mendasarkan pendapatnya

    pada rman Allah SWT.:

    Sesungguhnya kami mengutus kamu dengan membawa kebenaran

    sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, serta

    tidak ada suatu umatpun melainkan telah ada padanya seorang pemberi

    peringatan.(QS. Fatir: 24)

    Juga rman Allah:

  • 7/21/2019 empirik jan-jun 2012.pdf

    13/323

    7EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam

    Pernikahan Beda Agama menurut Tinjauan Fiqih

    Orang-orang yang kar berkata, Mengapa tidak diturunkan kepadanya

    (Muhammad) suatu tanda (kebesaran) dari Tuhannya? Sesungguhnya

    kamu hanyalah seorang pemberi peringatan; dan bagi tiap-tiap kaum ada

    orang yang memberi petunjuk. (QS. Ar-Rad: 7)

    Juga rman Allah:

    Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuktunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah

    turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang

    sebelumnya telah diturunkan al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah

    masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan

    kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS. Al-

    Hadd: 16)

    Juga rman Allah:

    Dan dialah yang telah menciptakan bagi kamu sekalian, pendengaran,

    penglihatan dan hati, amat sedikitlah kamu bersyukur. (QS. Al-

    Mukmin: 78)

    Di samping itu, ada pendapat lain dari ulama Syaiyah

    yang menegaskan bahwa yang dimaksud Ahli Kitab yang

    halal dinikahi adalah mereka yang memeluk agama nenekmoyangnya sebelum Nabi Muhammad diutus dan setelah itu

    tidak dapat dikatakan lagi Ahli Kitab (as-Sayis, 1953: 168).

    C. Hasil Penelitian dan Pembahasan

    Realita masyarakat sekarang ini sangat majemuk, yang

    terdiri dari berbagai macam suku, golongan, ras dan agama serta

    kaya akan budaya. Hiterogenitas masyarakat yang majemukitu sangat memungkinkan terjadinya perkawinan antar suku,

    antar golongan bahkan antar agama. Namun hal yang terakhir

    ini bagi umat Islam merupakan hal yang sangat peka, bahkan

  • 7/21/2019 empirik jan-jun 2012.pdf

    14/323

    8 Vol. 5, No.1 Januari - Juni 2012

    Abdurrohman Kasdi

    sangat merisaukan sebagian umat Muslim di manapun mereka

    berada (Baidan, 2001: 23). Persoalan sosial yang kompleks

    tersebut tentunya harus didekati melalui berbagai disiplin ilmu,

    sehingga persoalan-persoalan tersebut bisa terjawab dengan

    benar dan jelas serta memberikan kepastian hukum kepada

    masyarakat.

    Pernikahan beda agama antara Muslim dengan non-

    Muslim dalam perspektif qih, tentunya berangkat dari pene-

    lusuran terhadap sumber pokok ajaran Islam (al-Quran dan

    sunnah) serta pendapat ulama dalam mencermati perkembangan

    hukum Islam tentang hal tersebut. Untuk mempersingkat

    pembahasan, paling tidak ada dua golongan yang disebutkan

    dalam al-Quran, yaitu golongan Musyrik dan golongan Ahli

    Kitab yang sekaligus menjadi dasar hukum pernikahan antara

    Muslim dengan mereka.

    C.1. Pernikahan pria Muslim dengan wanita non-Muslimah

    Dalam konteks qih, wanita non-Muslimah yangdimaksud dalam pernikahan ini dibagi menjadi dua:

    Pertama, pernikahan pria Muslim dengan wanita Musyrik

    dan wanita Murtad. Semua ulama sepakat bahwa seorang

    pria Muslim haram hukumnya menikahi wanita Musyrik dan

    wanita Murtad. Dasar hukumnya adalah:

    1. Tentang keharaman menikahi wanita Musyrik, Allah SWT.

    berrman:

    Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum

    mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik

  • 7/21/2019 empirik jan-jun 2012.pdf

    15/323

    9EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam

    Pernikahan Beda Agama menurut Tinjauan Fiqih

    dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. dan janganlah kamu

    menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin)

    sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik

    dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak keneraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya.

    Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada

    manusia supaya mereka mengambil pelajaran. (QS. Al-Baqarah:

    221)

    2. Tentang keharaman menikahi wanita Murtad. Seorang

    wanita yang Murtad dari agama Islam dianggap tidak

    beragama, sekalipun ia pindah ke agama Samawi (Abu

    Zahra, t.th.: 114). Apabila seorang pria Muslim menikahiwanita Ahli Kitab, kemudian istrinya pindah ke agama

    orang kar yang bukan Ahli Kitab, maka wanita itu boleh

    dipaksa untuk masuk Islam. Jika tidak mau maka harus

    ditalak.

    Ulama qih sepakat bahwa seorang pria Muslim tidak

    boleh menikah dengan wanita yang tidak beragama Samawi

    (agama yang mempunyai kitab dan diturunkan oleh Allah

    melalui Nabi, serta agama Samawi ini namanya disebut dalam

    al-Quran). Wanita yang tidak beragama samawi tidak boleh

    dinikahi, karena mereka termasuk golongan Musyrikat yang

    dilarang dinikahi dalam surat Al-Baqarah ayat 221 di atas.

    Kedua, pernikahan pria Muslim dengan wanita Ahli

    Kitab. Ibrahim Hosen mengelompokkan pendapat para ulama

    mengenai pernikahan tersebut, dalam tiga kelompok, yakni ada

    yang menghalalkan, ada yang mengharamkan dan ada yang

    menyatakan halal tetapi secara politik tidak diperkenankan

    (Husen, 1971: 201-204). Secara detil pengelompokan Ibrahim

    Hosen ini sebagai berikut:

    1. Kelompok yang membolehkan nikah antara pria muslim

    dengan wanita Ahli Kitab, yakni pendapat jumhur ulama

    (mayoritas ulama) baik ulama Salaf maupun ulama Khalaf

    dari Imam-imam Madzhab Empat. Mereka mendasarkan

    pendapatnya pada:

  • 7/21/2019 empirik jan-jun 2012.pdf

    16/323

    10 Vol. 5, No.1 Januari - Juni 2012

    Abdurrohman Kasdi

    Pertama, dalil al-Quran surat Al-Midah ayat 5:

    (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan di

    antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga

    kehormatan di antara orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu, bila

    kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya,

    tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-

    gundik. (QS. Al-Midah: 5)

    Kedua,Ahli Kitab tidak termasuk Musyrikin. Surat

    Al-Baqarah ayat 221 bersifat umum, sedangkan surat Al-

    Midah ayat 5 berfungsi mengkhususkan keumuman surat

    Al-Baqarah ayat 221. Mereka juga mengatakan bahwa surat

    Al-Midah ayat 5 merupakan nasikhdari surat Al-Baqarah

    ayat 221.Ketiga, sejarah telah menunjukkan bahwa beberapa

    sahabat Nabi pernah menikahi wanita Ahli Kitab. Pada

    zaman nabi ada beberapa sahabat yang melakukannya (Abu

    Zahra, 1991: 113). Mayoritas sahabat (kecuali Abdullah bin

    Umar) telah sepakat bahwa menikahi wanita-wanita Ahli

    Kitab hukumnya boleh. Dalam praktiknya ada di antara

    sahabat yang menikahi Ahli Kitab, seperti Thalhah binUbaidillah.

    Perlu diketahui bahwa menurut Imam Syai, wanita

    Ahli Kitab yang halal dinikahi oleh seorang pria Muslim

    adalah wanita yang menganut agama Yahudi dan Nasrani

    sebagai agama keturunan dari nenek moyang mereka

    yang menganut agama tersebut sejak masa sebelum Nabi

    Muhammad Saw. diutus menjadi Rasul, berarti sebelumal-Quran diturunkan. Dengan demikian, orang yang baru

    menganut agama Yahudi dan Nasrani sesudah al-Quran

    diturunkan, tidak dianggap Ahli Kitab. Hal ini karena ada

  • 7/21/2019 empirik jan-jun 2012.pdf

    17/323

    11EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam

    Pernikahan Beda Agama menurut Tinjauan Fiqih

    ungkapan min qablikum (dari sebelum kamu) dalam surat

    Al-Midah ayat 5. Ungkapan min qablikum tersebut menjadi

    qayyidbagi Ahli Kitab yang dimaksud.

    2. Kelompok yang mengharamkan menikahi wanita Ahli

    Kitab. Yang terkemuka dari kelompok ini dari kalangan

    sahabat adalah Ibn Umar, dan pendapat ini diikuti oleh

    kalangan Syiah Imamiyah. Ketika Ibn Umar ditanya

    tentang menikahi wanita Yahudi dan Nasrani, ia menjawab,

    Sesungguhnya Allah SWT. mengharamkan wanita-wanita

    Musyrik bagi kaum Muslimin. Saya tidak tahu, syirik

    manakah yang lebih besar daripada seorang wanita yang

    berkata bahwa Tuhannya adalah Nabi Isa, sedangkan Nabi

    Isa adalah seorang di antara hamba Allah SWT (Ibnu Hazm,

    t.th.: 445).

    Dasar hukum yang digunakan oleh kelompok ini

    adalah: Pertama, pemahaman terhadap al-Quran surat al-

    Baqarah ayat 221:

    Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita Musyrik, sebelum mereka

    beriman. Sesungguhnya wanita budak yang Mukmin lebih baik dari

    wanita Musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu

    menikahkan orang-orang Musyrik (dengan wanita-wanita Mukmin)

    sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang Mukmin lebih baik

    dari orang Musyrik, walaupun dia menarik hatimu. mereka mengajak ke

    neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya.

    Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada

    manusia supaya mereka mengambil pelajaran. (QS. Al-Baqarah:221)

  • 7/21/2019 empirik jan-jun 2012.pdf

    18/323

    12 Vol. 5, No.1 Januari - Juni 2012

    Abdurrohman Kasdi

    Kedua,rman Allah SWT. dalam surat Mumtahanah

    ayat 10:

    Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan

    perempuan-perempuan kar; dan hendaklah kamu minta mahar yang

    telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah

    mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di

    antara kamu. Dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Baksana. (QS.Mumtahanah: 10)

    Menurut kelompok ini, kedua ayat di atas melarang

    seorang pria Muslim menikahi wanita-wanita kar. Ahli

    Kitab termasuk golongan orang kar Musyrik karena orang

    Yahudi menuhankan Uzer dan orang Nasrani menuhankan

    Isa bin Maryam, sedangkan dosa syirik tidak diampuni oleh

    Allah jika mereka tidak mau bertaubat kepada Allah SWT.Imam Muhammad ar-Razi dalam at-Tafsr al-Kabr wa Maftih

    al-Ghaibmenyebutkan bahwa ayat tersebut sebagai ayat-ayat

    permulaan yang secara eksplisit menjelaskan hal-hal yang

    halal (m yuhallu) dan hal-hal yang dilarang (m yuhramu).

    Menikahi orang Musyrik dan Ahli Kitab merupakan salah

    satu perintah Allah dalam kategori haram dan dilarang

    (ar-Razi, 1995: 59).Imam ar-Razi juga berpandangan bahwa dalam

    beberapa ayat di dalam al-Quran memasukkan Kristen dan

    Yahudi sebagai Musyrik. Kategori Musyrik dalam kedua

    agama samawi tersebut, dikarenakan orang-orang Yahudi

    menganggap Uzair sebagai anak Tuhan, sedang orang-

    orang Kristen menganggap al-Masih sebagai anak Tuhan.

    Dapat dilihat bagaimana al-Quran secara cermat dan jelasmembedakan pengertian antara Musyrik dan Ahli Kitab.

    Dalam surat al-Baqarah ayat 5, Allah berrman, Orang-

    orang kar dari Ahli Kitab dan orang-orang Musyrik tidak

  • 7/21/2019 empirik jan-jun 2012.pdf

    19/323

    13EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam

    Pernikahan Beda Agama menurut Tinjauan Fiqih

    menginginkan diturunkannya suatu kebaikan kepadamu dari

    Tuhanmu Dalam surat al-Bayyinah ayat 1, Allah juga

    menyebutkan, Orang-oring kar dari Ahli Kitab dan orang-

    orang kar Musyrik tak akan melepaskan (kepercayaan mereka)

    sampai datang kepada mereka bukti yang nyata.

    Ketiga, surat Al-Midah ayat 5 yang dadikan dalil

    bagi kelompok yang membolehkan pria Muslim menikahi

    wanita Ahli Kitab, menurut kelompok ini hendaknya

    dipahami sebagai wanita Ahli Kitab yang telah masuk

    Islam, atau dimungkinkan pengertiannya adalah menikahi

    Ahli Kitab pada saat wanita masih sedikit.

    3. Kelompok yang berpendapat bahwa perempuan Ahli Kitab

    halal hukumnya, tetapi secara politik tidak diperkenankan.

    Pendapat ini didasarkan pada beberapa hal:

    Pertama, riwayat Umar ibn Khaththab yang

    memerintahkan kepada para sahabat yang beristri Ahli Kitab

    untuk menceraikannya, lalu para sahabat mematuhinya

    kecuali Hudzaifah. Maka Umar memerintahkan keduakalinya kepada Hudzaifah, Ceraikanlah ia. Lalu Hudzaifah

    berkata kepada Umar, Maukah kamu menjadi saksi bahwa

    menikahi perempuan Ahli Kitab itu adalah haram? Umar

    menjawab, Ia akan menjadi tnah, ceraikanlah, kemudian

    Hudzaifah mengulangi permintaan tersebut, namun jawab

    Umar, Ia adalah tnah. Akhirnya Hudzaifah berkata,

    Sesungguhnya aku tahu ia adalah tnah tetapi ia halalbagiku. Setelah Hudzaifah meninggalkan Umar, barulah

    ia mentalak istrinya. Kemudian ada sahabat yang bertanya

    kepadanya, Mengapa tidak engkau talak istrimu ketika

    diperintah Umar? Jawab Hudzaifah, Karena aku tidak

    ingin diketahui orang bahwa aku melakukan hal-hal yang

    tidak layak. (Ibnu Qudamah, t.th.: 590).

    Kedua, menikahi wanita Ahli Kitab berbahaya karenadikhawatirkan si suami akan terikat hatinya, apalagi setelah

    mereka memperoleh keturunan. Bolehnya pernikahan

  • 7/21/2019 empirik jan-jun 2012.pdf

    20/323

    14 Vol. 5, No.1 Januari - Juni 2012

    Abdurrohman Kasdi

    wanita Ahli Kitab akan menjadi persoalan karena kebolehan

    itu tidak mutlaqtetapi muqayyad.

    Madzhab Hana berpendapat bahwa wanita Ahli

    Kitab yang berada di Darul Harbi, merupakan pembuka pintu

    tnah. Melakukan pernikahan dengan mereka hukumnya

    makruh tahrim,karena akan mengakibatkanmafasid.Menikahi

    wanita Ahli Kitab Dzimmi yang tunduk pada undang-

    undang Islam hukumnya makruh tahrim. Sedangkan ulama

    Madzhab Maliki terbagi menjadi dua pendapat; pertama,

    menikahi wanita Ahli Kitab hukumnya makruh mutlak,baik

    Dzimmi maupun Harbi. Kedua, tidak makruh secara mutlak,

    karena ada ayat yang membolehkannya.

    Adapun menurut ulama kontemporer, ada beberapa

    pendapat tentang pernikahan pria Muslim dengan wanita Ahli

    Kitab:

    1. Al-Jaziri berpendapat bahwa hukum pernikahan antara

    pria Muslim dengan wanita Ahli Kitab hukumnya mubah,

    akan tetapi menjadi persoalan bagi suami (muslim) terlebih

    setelah punya anak. Sebab kemudahan itu tidak bersifat

    mutlaq, namun muqayyad (a1-Jazairi, 1986: 76).

    2. Menurut Sayyid Sabiq, hukum pernikahan antara pria

    Muslim dengan wanita Ahli Kitab, meskipun jaiz tetapi

    makruh karena menurutnya suami tersebut tidak terjamin

    bebas dari tnah istri. Terlebih dengan kitabiyah harbiyah

    (Sabiq, 1973: 101).

    3. Demikian juga dengan Yusuf Qardhawi yang berpendapat

    bahwa kebolehan nikah dengan wanita kitabiyahtidak mutlaq,

    tetapi terikat dengan qayid-qayid yang perlu diperhatikan,

    yaitu:

    a. wanita Ahli Kitab itu benar-benar berpegangan pada

    ajaran Samawi, tidak ateis dan murtad.

    b. wanita Ahli Kitab itu muhshanah (memelihara dirinya

    dari perbuatan zina).

    c. Ia tidak kitabiyah harbiyah. Hal ini berarti kitabiyah

  • 7/21/2019 empirik jan-jun 2012.pdf

    21/323

    15EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam

    Pernikahan Beda Agama menurut Tinjauan Fiqih

    dzimmiyhukumnya boleh.

    d. Dipastikan tidak terjadi tnah, baik dalam kehidupan

    rumah tangga terlebih dalam kehidupan sosial

    masyarakat. Sehingga semakin tinggi kemungkinan

    terjadi tnah dan mafsadah, maka semakin besar tingkat

    larangan dan keharamannya (Qardhawi, 1978: 470).

    4. Rasyid Ridha mengemukakan, Kami telah memperingatkan

    bahaya pernikahan dengan wanita Ahli Kitab. Suami

    bisa tertarik mengikuti agama istrinya karena ilmu dan

    kecantikannya, atau karena kebodohan dan kelemahan

    akhlak suami. Hal ini banyak terjadi pada pernikahan pria

    Muslim yang lemah dengan wanita Eropa modern atau

    wanita Ahli Kitab lainnya. Mereka terpengaruh tnah istri

    mereka, sehingga dengan prinsip saddudzdzariah seorang

    pria Muslim haram menikah dengan wanita Ahli Kitab

    (Ridha, 1380 H: 193).

    5. Yusuf Qardhawi juga mengatakan, Kita mengetahui

    bahwa nikah dengan wanita non-Muslimah pada masakita terlarang guna menghindari dzariah, karena banyak

    madharat dan mafsadahnya, di antaranya:

    a. Pada abad modern, kekuasaan pria Muslim atas wanita

    modern semakin berkurang. Padahal pribadi wanita

    semakin menguat, terutama wanita Barat.

    b. Jika pernikahan antara pria Muslim dengan wanita non-

    Muslimah diperbolehkan, maka hal ini akan berpengaruhpada perimbangan antara wanita Muslimah dengan

    pria Muslim. Wanita Muslimah yang belum nikah akan

    semakin banyak dibandingkan dengan pria Muslim yang

    belum menikah.

    c. Pernikahan dengan wanita non-Muslimah akan

    menimbulkan kesulitan dalam interaksi suami istri dan

    dalam mengatur pendidikan anak-anak. Terlebih lagijika pria Muslim dan wanita non-Muslimah berbeda

    tanah air, bahasa, kebudayaan, dan tradisi, misalnya

  • 7/21/2019 empirik jan-jun 2012.pdf

    22/323

    16 Vol. 5, No.1 Januari - Juni 2012

    Abdurrohman Kasdi

    seorang pria Muslim Indonesia menikah dengan wanita

    non-Muslimah dari Eropa atau negara lainnya.

    d. Suami mungkin bisa terpengaruh oleh agama istrinya,

    demikian juga anak-anaknya. Jika hal ini terjadi, maka

    tnah yang dikhawatirkan itu benar-benar menjadi

    kenyataan.

    Oleh karena itu, dengan adanya empat madharat dan

    mafsadah di atas, menurut Yusuf Qardhawi menghindarinya

    harus didahulukan daripada mendatangkan mashlahat

    (Qardhawi, 1978: 414). Oleh karena itu, menghindari

    nikah beda agama harus lebih didahulukan daripada

    melakukannya.

    6. Muhammad Quraish Shihab menyimpulkan bahwa

    memang surat al-Midah ayat 5 di atas membolehkan

    pernikahan antar pria muslim dengan wanita ahl al-kitab,

    tetapi izin tersebut adalah sebagai jalan keluar karena

    kebutuhan mendesak ketika itu, di mana kaum muslimin

    sering berpergian jauh melaksanakan jihad tanpa mampukembali ke keluarga mereka, sekaligus juga untuk tujuan

    dakwah (Shihab, 2005: 30).

    C.2. Pernikahan wanita Muslimah dengan pria non-Muslim

    Jumhur ulama sepakat bahwa wanita Muslimah haram

    hukumnya menikah dengan pria non-Muslim. Hal ini karena al-

    Quran secara tegas menyebutkan keharamannya, sebagaimanarman Allah SWT:

  • 7/21/2019 empirik jan-jun 2012.pdf

    23/323

    17EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam

    Pernikahan Beda Agama menurut Tinjauan Fiqih

    Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum

    mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik

    dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. dan janganlah kamu

    menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin)sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik

    dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. mereka mengajak ke

    neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya.

    Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada

    manusia supaya mereka mengambil pelajaran. (QS. Al-Baqarah:

    221)

    Ayat di atas menjelaskan kepada para wali untuk tidak

    menikahkan wanita Muslimah dengan pria non-Muslim.Keharaman tersebut bersifat mutlak, maksudnya wanita

    Muslimah haram hukumnya secara mutlak menikah dengan

    pria non-Muslim, baik pria Musyrik maupun Ahli Kitab.

    Syaikh al-Maraghi dalam menafsirkan ayat di atas,

    menjelaskan bahwa menikahkan wanita dengan laki-laki non

    muslim adalah haram, berdasarkan sunah (hadits) Nabi dan

    maulama. Rahasia larangan ini (menurutnya) adalah karenaistri tidak punya wewenang seperti suami, bahkan keyakinan

    berusaha memaksa istri untuk menukar keimanannya sesuai

    dengan keyakinan suami, karena lemahnya posisi istri (a1-

    Maraghi, 1974: 153).

    Pendapat senada juga disampaikan ash-Shabuni.

    Menurutnya, dalam surat al-Midah ayat 5 Allah hanya

    menegaskan makananmu halal bagi mereka dan tidakditegaskannya wanita-wanitamu halal bagi mereka. Penegasan

    teks tersebut, sebagaimana delaskan oleh ash-Shabuni, dapat

    dadikan indikator bahwa hukum kedua kasus itu tidak sama,

    artinya dalam makanan mereka boleh saling memberi dan

    menerima serta masing-masing boleh menekan dari keduanya.

    Namun dalam kasus menikahkan wanita-wanita Muslimah

    dengan pria non-Muslim lebih urgen ketimbang dengan

    masalah makan serta memberikan dampak yang lebih luas,

    sehingga tidak ada hubungan antara keduanya dan tidak bisa

    diqiyaskan begitu saja (ash-Shabuni, 1972: 536).

  • 7/21/2019 empirik jan-jun 2012.pdf

    24/323

    18 Vol. 5, No.1 Januari - Juni 2012

    Abdurrohman Kasdi

    C.3.Pernikahan Beda Agama Menurut Undang-undang

    Perkawinan

    Sebagamana telah penulis paparkan pendapat ulama

    qih, mereka sepakat bahwa seorang wanita Muslimah dilarang

    menikah dengan pria non-Muslim. Sedangkan seorang pria

    Muslim dilarang menikah dengan wanita non-Muslimah yang

    Musyrik, namun para ulama berbeda pendapat ketika mereka

    menetapkan hukum pernikahan pria Muslim dengan perempuan

    Ahli Kitab. Adanya perbedaan hukum dalam masalah ini akan

    berimplikasi pada timbulnya putusan yang berbeda pada

    kasus yang sama di pengadilan, karena hakimnya mempunyai

    paham hukum yang berbeda, hal ini akan menimbulkan suatu

    ketidakpastian hukum.

    Untuk keluar dari problem tersebut para pakar hukum

    Islam di Indonesia telah berupaya menyatukan pendapat

    yang mereka kumpulkan dalam sebuah Undang-undang

    dan Kompilasi dengan berbagai metode dalam menyatukan

    pendapat itu. Usaha tersebut telah menghasilkan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi

    Hukum Islam yang kemudian ditetapkan dengan Inpres No.

    1/1991. Agar Undang-undang Perkawinan (No. 1 Tahun 1974)

    dapat dilaksanakan dengan seksama, pemerintah mengeluarkan

    Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 Tahun 1975.

    Dengan demikian, Undang-undang No. 1 Tahun

    1974 tentang Perkawinan merupakan Undang-undang yangdadikan rujukan dalam menyelesaikan segala permasalahan

    yang terkait dengan perkawinan (nikah, talak, cerai, dan rujuk)

    di Indonesia, yang ditanda tangani pengesahannya pada

    tanggal 2 Januari 1974 oleh Presiden Soeharto. Undang-undang

    ini merupakan hasil usaha untuk menciptakan hukumnasional

    dan merupakan hasil unikasi hukum yang menghormati

    adanya variasi berdasarkan agama.Dalam konteks pernikahan, UU No. 1/1974, PP. No. 9

    Tahun 1975 dan Inpres No. 1/1991 merupakan peraturan yang

    memuat nilai-nilai hukum Islam, bahkan KHI merupakan qh

  • 7/21/2019 empirik jan-jun 2012.pdf

    25/323

    19EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam

    Pernikahan Beda Agama menurut Tinjauan Fiqih

    Indonesia yang sepenuhnya memuat materi hukum keperdataan

    Islam (perkawinan, kewarisan dan perwakafan). Dalam

    perkembangan hukum perbedaan agama dan keluarga Islam

    kontemporer mengalami banyak perkembangan pemikiran,

    antara lain dalam hal pernikahan beda agama.

    Sebelum diundangkannya Undang-undang Perkawinan

    Nomor 1 Tahun 1974, di Indonesia pernah berlaku peraturan

    hukum antar golongan tentang pernikahan campuran, yaitu

    Regeling op de Gemengde Huwelken(GHR) atau peraturan tentang

    perkawinan campuran sebagaimana dimuat dalam Staatblad

    1898 Nomor 158 (Redaksi, 1989: 744-788). Pasal 1 dari peraturan

    tentang perkawinan campur (GHR) itu dinyatakan bahwa yang

    dinamakan perkawinan campuran ialah perkawinan antara

    orang-orang di Indonesia yang tunduk kepada hukum yang

    berlainan. Terhadap pasal ini ada tiga pandangan dari para

    ahli hukum mengenai perkawinan antara agama. Sebagaimana

    diungkapkan oleh Sudargo Gautama adalah: perkawinan

    campuran antar agama dan antar tempat termasuk di bawahGHR, perkawinan antar agama dan antartempat tidak termasuk

    di bawah GHR, hanya perkawinan antar agama yang termasuk

    di bawah GHR (Abu Bakar, 1993: 139).

    Dengan berlakunya Undang-undang Perkawinan

    Nomor 1 Tahun 1974, seperti disebut pada pasal 66 UUP, maka

    semua ketentuan-ketentuan perkawinan terdahulu sepanjang

    telah diatur dalam Undang-undang tersebut dinyatakantidak berlaku. Pemahaman tentang Pasal demi Pasal dari UU

    No.1/1974, khususnya yang berkaitan dengan perkawinan

    beda agama, di kalangan para ahli dan praktisi hukum, dapat

    dumpai tiga pendapat:

    Pertama, golongan yang berpendapat bahwa perkawinan

    beda agama merupakan pelanggaran terhadapUU No. 1/1974.

    Hal ini karena dalam pasal 2 ayat (1) disebutkan: Perkawinanadalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing

    agamanya kepercayaan itu, demikian juga pasal 8 huruf (f):

    Perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai

  • 7/21/2019 empirik jan-jun 2012.pdf

    26/323

    20 Vol. 5, No.1 Januari - Juni 2012

    Abdurrohman Kasdi

    hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang

    berlaku, dilarang kawin.

    Kedua, golongan yang berpendapat bahwa perkawinan

    beda agama hukumnya sah dan dapat dilangsungkan karena

    telah tercakup dalam perkawinan campuran, sebagaimana

    termaktub dalam pasal 57Undang-undang Perkawinan ini dan

    pelaksanaannya dilakukan menurut tatacara yang diatur oleh

    pasal 6 GHR dengan merujuk pasal 66 UU No. 1/1974.

    Sedangkan golongan yang ketiga berpendapat bahwa

    perkawinan antara agama sama sekali tidak diatur dalam UU

    No. 1/1974, oleh karenanya sesuai dengan pasal 66 UU No.

    1/1974, maka peraturan-peraturan lama dapat diberlakukan.

    Oleh karena itu, persoalan pernikahan beda agama bisa

    merujuk pada Peraturan Perkawinan Campuran yang terdapat

    padaRegeling op de Gemengde Huwelken(GHR) atau peraturan

    tentang perkawinan campuran sebagaimana dimuat dalam

    Staatblad 1898 Nomor 158.

    Menanggapi tiga pandangan di atas, menurut AhmadSukarja bahwa tidak diaturnya perkawinan antar agama secara

    tegas dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974, karena

    perkawinan itu memang tidak dikehendaki pelaksanaannya.

    Hal ini mengacu pasal 2 ayat (1) menentukan sah atau tidaknya

    perkawinan. Jadi bila pasal 66 UU No. 1/1974 yang merujuk

    pasal 2 dan 7 ayat (2) GHR dimaksudkan untuk memenuhi

    kebutuhan hukum materiil adalah terlalu dipaksakan, karenamengingat lembaga perkawinan antar agama di Indonesia

    kurang dikehendaki, sehingga tidak diperlukan adanya

    pemenuhan hukum materiil.

    Sedangkan terhadap pendapat yang cenderung membuka

    kemungkinan dipaksakannya perkawinan berbeda agama

    berdasarkan pasal 57 UU No. 1/1974 perkawinan antara

    dua orang di Indonesia tunduk pada hukum yang berbeda,tentunya Pasal tersebut tidak dipahami secara parsial dan

    seharusnya antara pasal-pasal dalam bab itu dipahami secara

    menyeluruh dalam satu kesatuan dengan konteks perbedaan

  • 7/21/2019 empirik jan-jun 2012.pdf

    27/323

    21EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam

    Pernikahan Beda Agama menurut Tinjauan Fiqih

    kewarganegaraan. Dengan demikian menurut Ahmad Sukarja

    ketentuan boleh tidaknya perkawinan di Indonesia harus

    dikembalikan kepada hukum agama (Chuzaimah dan Hazh

    Anshary (ed.), 2002: 31-32).

    Prof. HM. Rasjidi, menteri agama pertama RI, dalam

    artikelnya di Harian Abadi edisi 20 Agustus 1973, menyoroti

    secara tajam RUU Perkawinan yang dalam pasal 10 ayat (2)

    disebutkan: Perbedaan karena kebangsaan, suku, bangsa,

    negara asal, tempat asal, agama, kepercayaan dan keturunan,

    tidak merupakan penghalang perkawinan. Pasal dalam RUU

    tersebut jelas ingin mengadopsi Deklarasi Universal Hak

    Asasi Manusia pasal 16 yang menyatakan: Lelaki dan wanita

    yang sudah dewasa, tanpa sesuatu pembatasan karena suku,

    kebangsaan dan agama, mempunyai hak untuk kawin dan

    membentuk satu keluarga. Mereka mempunyai hak yang

    sama dengan hubungan dengan perkawinan, selama dalam

    perkawinan dan dalam soal perceraian.

    Adapun dalam Kompilasi Hukum Islam yang ditetapkandengan Inpres No. 1/1991, dalam pasal 40 huruf c terdapat

    rumusan yang menetapkan perkawinan seorang pria Muslim

    dilarang melangsungkan perkawinan dengan wanita yang

    tidak beragama Islam. Dengan demikian Kompilasi Hukum

    Islam khususnya dalam pasal tersebut telah menghilangkan

    wacana perbedaan pendapat dalam masalah nikah beda agama

    yang sekaligus akan dapat menjaga aqidah agamanya sertamewujudkan kemaslahatan umat. Adapun posisi pemerintah

    (Inpres) untuk menghilangkan perbedaan dan menjaga

    kemaslahatan ini adalah merupakan hak yang melekat padanya

    sehingga mempuyai kewenangan karena dalam kaidah qih

    disebutkan:

    Kebakan Imam terhadap rakyat ini harus disesuaikan dengan

    kemaslahatan (Mudjib, 1980: 51)

  • 7/21/2019 empirik jan-jun 2012.pdf

    28/323

    22 Vol. 5, No.1 Januari - Juni 2012

    Abdurrohman Kasdi

    Larangan pernikahan beda agama ini tujuannya semata-

    mata untuk menjaga keutuhan dan kebahagiaan rumah tangga

    serta akidah dan kemaslahatan umat Islam. Hal ini sebagaimana

    kaidah qih yang menyebutkan; sesuatu yang diharamkankarena saddudzdzariah dapat dibolehkan karena ada maslahat yang

    lebih kuat (Syafei, 1999: 256) Dengan beberapa uraian kaidah

    qih di atas maka Presiden selaku Kepala Negara dibenarkan

    jika menetapkan sesuatu yang tadinya menjadi polemik di

    masyarakat dengan mengambil salah satu pendapat karena

    adanya alasan saddudzdzariahdan kemaslahatan umat tersebut

    (asy-Syaukani, t.th.: 246).Mengenai pengaturan hukum Perkawinan Campuran,

    terutama perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda dalam

    Negara Republik Indonesia berdasar Pancasila ada perbedaan

    pendapat di kalangan para pakar hukum di Indonesia. Ada

    yang menyatakan bahwa Negara Republik Indonesia berdasar

    Pancasila menghormati agama-agama dan mendudukkan

    hukum agama dalam kedudukan fundamental. Dalam negaraberdasar Pancasila tidak boleh agama-agama yang ada di

    Indonesia melarang perkawinan antar pemeluk agama yang

    berbeda. Pendapat ini menyatakan bahwa UU Perkawinan tidak

    mengatur perkawinan (campuran) antar agama. Tiap agama

    telah ada ketentuan tersendiri yang melarang perkawinan beda

    agama.

    Seorang guru besar Fakultas Hukum Universitas

    Indonesia, Prof. Dr. Muhammad Daud Ali (alm.) menjelaskan

    dalam bukunya yang bejudul Perkawinan Antar Pemeluk

    Agama Yang Berbeda, bahwa perkawinan antara orang-orang

    yang berbeda agama adalah penyimpangan dari pola umum

    perkawinan yang benar menurut hukum agama dan Undang-

    undang Perkawinan yang berlaku di tanah air kita. Untuk

    penyimpangan ini, kendatipun merupakan kenyataan dalam

    masyarakat, tidak perlu dibuat peraturan tersendiri dantidak perlu dilindungi oleh negara. Memberi perlindungan

    hukum pada warga negara yang melakukan perbuatan yang

    bertentangan dengan Pancasila sebagai cita hukum bangsa dan

  • 7/21/2019 empirik jan-jun 2012.pdf

    29/323

    23EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam

    Pernikahan Beda Agama menurut Tinjauan Fiqih

    kaidah fundamental negara serta hukum agama yang berlaku

    di Indonesia, menurutnya selain tidak konstitusional, juga tidak

    legal.

    Lebih lanjut M. Daud Ali menyatakan: sikap negaraatau penyelenggara negara dalam mewujudkan perlindungan

    hukum haruslah sesuai dengan cita hukum bangsa dan kaidah

    fundamental negara serta hukum agama yang dipeluk oleh

    bangsa Indonesia. Perkawinan antar orang-orang yang berbeda

    agama, dengan berbagai cara pengungkapannya sesungguhnya

    tidaklah sah menurut agama yang diakui keberadaannya dalam

    Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini karena sahnyaperkawinan didasarkan pada hukum agama, maka perkawinan

    yang tidak sah menurut hukum agama tidak sah pula menurut

    Undang-undang perkawinan Indonesia. Perkawinan antar

    orang-orang yang berbeda agama adalah penyimpangan dari

    pola umum perkawinan benar menurut hukum agama dan

    Undang-undang Perkawinan yang berlaku di Indonesia.

    Dengan demikian, larangan pemerintah ini munculkarena dilatarbelakangi oleh keinginan untuk menciptakan

    keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah dalam keluarga yang

    merupakan tujuan pernikahan, dan hal ini sesuai sekali dengan

    isi pasal 3 Kompilasi Hukum Islam. Pasangan yang beda agama

    akan kesulitan memperoleh sakinah dan mawaddah dalam

    rumah tanggganya, apalagi rahmat Allah itu juga tidak akan

    didapatkan. Karena pernikahan merupakan ikatan lahir batin

    antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri

    dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal

    berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

    D. Kesimpulan

    Ulama sepakat bahwa seorang wanita Muslimah dilarang

    menikah dengan pria non-Muslim. Sedangkan seorang pria

    Muslim dilarang menikah dengan wanita non-Muslimah yangMusyrik dan Murtad, namun para ulama berbeda pendapat

    ketika mereka menetapkan hukum pernikahan pria Muslim

    dengan perempuan Ahli Kitab: pertama, kelompok yang

  • 7/21/2019 empirik jan-jun 2012.pdf

    30/323

    24 Vol. 5, No.1 Januari - Juni 2012

    Abdurrohman Kasdi

    membolehkan nikah antara pria muslim dengan wanita Ahli

    Kitab, yakni pendapat jumhur ulama (mayoritas ulama) baik

    ulama Salaf maupun ulama Khalaf dari Imam-imam Madzhab

    Empat. Kedua, kelompok yang mengharamkan menikahi wanitaAhli Kitab. Yang terkemuka dari kelompok ini dari kalangan

    sahabat adalah Ibn Umar, dan pendapat ini diikuti oleh kalangan

    Syiah Imamiyah. Ketiga, kelompok yang berpendapat bahwa

    perempuan ahli kitab halal hukumnya, tetapi secara politik

    tidak diperkenankan. Menikahi wanita Ahli Kitab yang berada

    di Darul Harbi, merupakan pembuka pintu tnah. Melakukan

    pernikahan dengan mereka hukumnya makruh tahrim, karenaakan mengakibatkan mafasid. Menikahi wanita Ahli Kitab

    Dzimmi yang tunduk pada undang-undang Islam hukumnya

    makruh tahrim.

    Selain itu, UU No. 1/1974, PP. No. 9 Tahun 1975 dan

    Inpres No. 1/1991 juga memuat larangan pernikahan beda

    agama. Larangan itu agaknya dilatarbelakangi oleh harapan

    akan lahirnya keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah.Perkawinan baru akan langgeng dan tenteram jika terdapat

    kesesuaian pandangan hidup antar suami dan istri, karen

    perbedaan agama, perbedaan budaya, atau bahkan perbedaan

    tingkat pendidikan antara suami dan istri pun tidak jarang

    mengakibatkan kegagalan perkawinan. Bagaimana mendidik

    anak-anak mereka jika suami istri beda agama. Karena dalam

    kasus seperti ini, seorang anak akan kebingungan untuk

    mengikuti ayahnya atau ibunya.

    Larangan pernikahan beda agama ini tujuannya semata-

    mata untuk menjaga keutuhan dan kebahagiaan rumah

    tangga serta akidah dan kemaslahatan umat Islam. Hal ini

    sebagaimana kaidah qh yang menyebutkan; sesuatu yang

    diharamkan karena saddudzdzariah dapat dibolehkan karena ada

    maslahat yang lebih kuat. Perkawinan beda agama ini tampaknya

    banyak madharatnya baik bagi saddudzariah maupun untukkemaslahatan dalam membentuk suatu rumah tangga yang

    sakinah, mawaddah wa rahmah.

  • 7/21/2019 empirik jan-jun 2012.pdf

    31/323

    25EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam

    Pernikahan Beda Agama menurut Tinjauan Fiqih

    DAFTAR PUSTAKA

    Abdul Mudjib, 2004, Kaidah-kaidah Ilmu Fiqih (al-Qawid

    Fiqhiyyah),Jakarta: Kalam Mulia, Cet. V.

    Abu Bakar, Zainal Abidin, 1993, Kumpulan Peraturan Perundang-

    undangan dalam Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta: al-

    Hikmah.

    Abu Zahrah, Muhammad, t.th., al-Ahwl asy-Syakhsiyyah, Mesir:

    Dr al-Fikr al-Arabi.

    Al-Jazairi, Abdurrahman, 1986, Kitb al-Fiqh al al-Madzhib al-

    Arbaah, Beirut: Dr Ihy at-Turts al-Araby.

    Al-Maraghi, Syaikh Musthafa, 1974, Tafsr al-Maraghi, Beirut:

    Dr al-Fikr.

    Ar-Razi, Muhammad Fakhr ad-Din ibn al-Allamah Dhiyau

    ad-Din Umar, 1995, Tafsr al-Fakhr ar-Razi al-Musytahar

    bi at-Tafsr al-Kabr wa Maftih al-Ghaib, dikomentari oleh

    Syaikh Khalil Muhyiddin al-Mays, Beirut: Dr al-Fikir.

    Ash-Shabuni, Muhammad Ali, 1972, Rawiul Bayn Tafsr Ayat

    al-Ahkm min al-Qurn, Mekah: Dr al-Quran.

    As-Sayis, Muhammad Ali, 1953, Tafsr Ayt al-Ahkm, Mesir:Matbaah Muhammad Ali Sabih w Aulduh.

    Asy-Syaukani, t.th., Irsyd al-Fuhl il Tahqq min Ilm al-Ushl,

    Surabaya: Maktabah Ahmad ibn Saad ibn Nabhan.

    Baidan, Nasrudin, 2001, Tafsr Maudhi; Solusi Qurani atas

    Masalah Kontemporer, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

    Zakiah Darajat, 1995, Ilmu Fiqih, Yogyakarta: Penerbit Dana

    Bhakti Wakaf, jilid II.

    Husen, Ibrahim, 1971, Fiqih Perbandingan,Jakarta: Yayasan Ihya

    Ulumuddin Indonesia.

  • 7/21/2019 empirik jan-jun 2012.pdf

    32/323

    26 Vol. 5, No.1 Januari - Juni 2012

    Abdurrohman Kasdi

    Ibnu Hazm, t.th., al-Muhall, Beirut: Dr al-Fikr.

    Ibnu Qudamah, t.th., al-Mughni, Riyadh: al-Maktabah ar-Riyadh

    al-Hadtsah.

    Qardhawi, Yusuf, 1978, Hud al-Islm Fatw Mushirah, Cairo:

    Dr Afaq al-Ghad.

    Ridha, Rasyid, 1380 H, Tafsr al-Manr, Mesir: Matbaah al-

    Qahirah.

    Sabiq, Sayyid, 1973, Fiqh as-Sunnah, II , Beirut: Dr Kitab al-

    Arabi.

    Shihab, Muhammad Quraish, 2005, Tafsir al-Mishbah; Pesan

    Kesan dan Keserasian al-Quran, Jakarta: Lentera Hati.

    Syafei, Rachmat, 1999, Ilmu Ushul Fiqh,Jakarta: Pustaka Setia.

  • 7/21/2019 empirik jan-jun 2012.pdf

    33/323

    27EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam

    MODEL PENGEMBANGAN KARAKTERMELALUI SISTEM PENDIDIKAN TERPADU

    INSANTAMA BOGOR

    Oleh: Agus Retnanto

    Abstrak

    Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara mendalam

    tentang: (1) Mengapa Pendidikan Terpadu Insantama Bogor

    melakukan model pengembangan karakter melalui pendidikan

    terpadu? (2) Bagaimanakah model pengembangan karakter siswapada Pendidikan Terpadu Insantama Bogor? (3) Bagaimanakah

    Budaya Sekolah yang dikembangkan pada Pendidikan Terpadu

    Insantama Bogor? (4) Bagaimanakah dampak penerapan model

    pengembangan karakter yang dilaksanakan di Pendidikan Terpadu

    Insantama Bogor?

    Penelitian difokuskan pada: Bagaimanakah model pengembangan

    karakter siswa pada Pendidikan Terpadu Insantama Bogor?

    Dalam penelitian ini menggunakan penelitian etnogra yaitu

    metode penelitian kualitatif yang mengkaji perilaku manusiadalam seing alamiah dengan fokus interpretasi budaya terhadap

    perilaku tersebut. Teknik pengambilan data meliputi pengamatan

    (untuk sumber data peristiwa), wawancara (untuk sumber data

    responden), dan analisis dokumen (untuk sumber data dokumen).

    Teknik analisis data data yang digunakan dalam penelitian ini

    adalah teknik analisis data kualitatif model Spreadley. Analisis

    tersebut terdiri atas empat langkah, yaitu analisis domein, analisis

    taksonomi, analisis komponen, dan analisis tema.

    Nilai kegunaan atau urgensi dari penelitian ini diharapkan

    mempunyai implikasi untuk membantu menyumbangkan

    pemikiran yang berkaitan pendidikan, dalam rangka pencapaian

  • 7/21/2019 empirik jan-jun 2012.pdf

    34/323

    28 Vol. 5, No.1 Januari - Juni 2012

    Agus Retnanto

    Tujuan Pendidikan Nasional dalam Sistem Pendidikan Nasional

    sehingga dapat menambah khasanah ilmu pendidikan khususnya

    dalam rangka membentuk manusia Indonesia seutuhnya.

    Membantu memberikan sebuah konsep sistem pendidikan yangdapat digunakan untuk menciptakan manusia cerdas sekaligus

    berakhlaq mulia yang mampu mengatasi berbagai macam

    problem yang sedang melanda manusia Indonesia yang sedang

    membangun.

    Kata Kunci:Model Pengembangan Karakter, Sistem Pendidikan

    Terpadu.

    A. Latar BelakangTujuan pendidikan merupakan gambaran dari falsafah

    atau pandangan hidup manusia, baik secara perseorangan

    maupun kelompok. Membicarakan tujuan pendidikan akan

    menyangkut sistem nilai dan norma-norma dalam suatu

    konteks kebudayaan, baik dalam mitos, kepercayaan, religi,

    lsafat, ideologi dan sebagainya. Oleh karena pendidikan

    merupakan suatu proses sengaja dari suatu generasi kepadaanak didik sebagai generasi penerus yang lebih baik, maka

    tujuan pendidikan diarahkan oleh perseorangan atau kelompok

    suatu generasi pada core value yang telah dipikirkan atau

    disepakati bersama.

    Dalam pasal 3 Undang-undang Sistem Pendidikan

    Nasional menyebutkan bahwa pendidikan nasional

    berfungsi mengembangkan kemampuan membentukwatak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam

    rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk

    berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia

    yang beriman dan dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha

    Esa, berakhlaq mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri

    dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung

    jawab. Untuk menjadikan manusia yang utuh dari dua kutub:menuju manusia baik dan menuju manusia cerdas, maka model

    pendidikan yang dipakai adalah model pendidikan Integrasi

    (penyatuan) antara pendidikan yang membuat manusia baik

  • 7/21/2019 empirik jan-jun 2012.pdf

    35/323

    29EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam

    Model Pengembangan Karakter Melalui Sistem Pendidikan Terpadu .....

    dengan pendidikan yang membuat manusia cerdas, diperlukan

    model pendidikan yang sesuai dengan apa yang dicita-citakan

    oleh tujuan pendidikan nasional dan misi ilmu pendidikan

    yaitu menciptakan manusia yang being smart dan being good

    (Armstrong: 2006).

    Dunia pendidikan menyimpan kompleksitas masalah

    yang sangat luas, dari masalah dasar losos, gagasan, visi,

    misi, institusi, program, manajemen, SDM, kependidikan,

    kurikulum, sarana prasarana, teknologi kependidikan,

    lingkungan pendidikan, pembiayaan, partisipasi masyarakat,

    kualitas output pendidikan serta relevansinya dengan

    dinamika masyarakat dan tuntutan sosio kultural sekitarnya.

    Oleh karena itu, dibutuhkan adanya gagasan segar dan

    kreatif serta upaya dinamis untuk menyelenggarakan model-

    model pendidikan Islam yang excellent, bermartabat, dan

    menjadi kebanggaan umat serta mampu memberikan jawaban

    terhadap kebutuhan pendidikan yang dapat melakukan fungsi

    penyelamatan trah sekaligus pengembangan potensi-potensitrah manusiawi secara padu dan berimbang.

    Di Indonesia pendidikan diharapkan bersifat humanis

    relegius dimana dalam pengembangan kehidupan (ilmu

    pengetahuan) tidak terlepas dari nilai keagamaan dan

    kebudayaan. Masyarakat di negara kita sangat menghargai nilai-

    nilai keagamaan dan kebudayaan sebagai sumber mambangun

    kehidupan yang harmonis. Nilai keagamaan dan kebudayaanmerupakan nilai inti bagi masyarakat yang dipandang sebagai

    dasar untuk mewujudkan cita-cita kehidupan yang bersatu,

    bertoleransi, berkeadilan, dan sejahtera.

    Nilai keagamaan bukan dipandang sebagai nilai

    ritual yang sekedar digunakan untuk menjalankan upacara

    keagamaan dan tradisi, tetapi diharapkan menjadi bagian yang

    tidak terpisahkan dari kegiatan kehidupan untuk memenuhikebutuhan kesejahteraan sosial, intelektual, harga diri, dan

    aktualisasi diri. Masyarakat mengharapkan kehidupan material

    dan sosial tidak dipisahkan dari nilai keagamaan sehingga

  • 7/21/2019 empirik jan-jun 2012.pdf

    36/323

    30 Vol. 5, No.1 Januari - Juni 2012

    Agus Retnanto

    kemakmuran material yang ingin diwujudkan tidak menjadi

    pemenuhan keserakahan material yang dapat menghancurkan

    kemanusiaan manusia.

    Masalah-masalah sosial seperti kemiskinan, kebodohan,

    pengangguran, kejahatan, dan lain-lain, adalah merupakan

    keadaan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai keagamaan

    dan kemanusiaan. Oleh karenanya pemecahan masalah

    sosial tersebut harus menggunakan nilai keagamaan dan

    kemanusiaan sebagai dasar kearifan untuk mencari cara

    pemecahannya, disamping cara yang bersifat ilmiah pragmatis

    (Sodiq A. Kuntoro, 2008).Kehidupan yang didominasi oleh pemenuhan kebutuhan

    material akan mendorong kehidupan yang penuh dengan

    konik, ketidakadilan, kesenjangan sosial yang menghancurkan,

    dan menjauhkan dari hubungan persaudaraan yang harmonis,

    dan persamaan. Manusia menjadi dihinggapi dengan karakter

    kepemilikan (having character) yang membahayakan orang lain

    juga diri-sendiri. Having charactertidak terbatas pada kepuasanmenguasai benda material sebagai objek pemuasan, tetapi

    meluas pada penguasaan atas manusia lain dan alam sebagai

    bagian dari objek pemuasan (Erich Fromm dalam Sodiq A.

    Kuntoro, 2008).

    Kehidupan yang penuh persaingan dan konik antar

    umat manusia lebih dipicu oleh karakter dan sikap pemilikan

    material yang berlebihan. Perebutan sumber-sumber alammelampaui batas-batas wilayah, sehingga mendorong untuk

    terjadi proses ekspansi kekuasaan politik dan ekonomi untuk

    sekedar memperoleh keuntungan material yang lebih banyak.

    Pendidikan yang selama ini berkembang lebih menekankan

    pada penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang

    kurang disertai dasar yang kuat pada pengembangan karakter

    manusia yang memiliki hati nurani mulia.Penguasaan technical how lebih menonjol daripada

    pengembangan pengembangan nilai-nilai dan sikap untuk

    membangun manusia yang arif dan bak. Pengembangan

  • 7/21/2019 empirik jan-jun 2012.pdf

    37/323

    31EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam

    Model Pengembangan Karakter Melalui Sistem Pendidikan Terpadu .....

    sumberdaya manusia sebagai instrumen bagi perolehan

    kemajuan ekonomi dan persaingan lebih menonjol daripada

    pengembangan karakter atau akhlak manusia. Pendidikan

    keagamaan merupakan substansi penting bagi pendidikan

    di sekolah atau dalam kehidupan sosial agar pendidikan

    memiliki karakter humanis-relegius. Pendidikan Terpadu

    Insantama Bogor adalah salah satu lembaga pendidikan yang

    menggunakan dasar nilai-nilai Islam dalam pengembang-an

    ilmu pengetahuan, teknologi, dan pengembangan kepribadian

    peserta didiknya.

    Disadari bahwa di tengah-tengah masyarakat saat initengah berlangsung krisis multidimensional dalam segala

    aspek kehidupan. Kemiskinan, kebodohan, kedzaliman,

    penindasan, ketidakadilan di segala bidang, kemerosotan

    moral, peningkatan tindak kriminal dan berbagai bentuk

    penyakit sosial menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan

    masyarakat. Mengapa semua ini terjadi?

    Dalam keyakinan Islam, krisis multidimensi tadimerupakan fasad (kerusakan) yang ditimbulkan oleh

    kemaksiyatan yang dilakukan manusia setelah sekian lama

    hidup dalam sistem sekuleristik. Yakni tatanan ekonomi

    yang kapitalistik, perilaku politik yang oportunistik, budaya

    hedonistik, kehidupan sosial yang egoistik dan individualistik,

    sikap beragama yang sinkretistik serta paradigma pendidikan

    yang materialistik.Sistem pendidikan yang materialistik telah gagal

    melahirkan manusia shaleh yang sekaligus menguasai iptek

    sebagaimana yang dimaui oleh pendidikan Islam. Pendidikan

    yang materialistik lebih memberikan suatu basis pemikiran

    yang serba terukur secara material, semisal gelar kesarjanaan,

    jabatan, kekayaan atau apapun yang setara dan diilusikan

    harus segera dapat menggantikan investasi pendidikan yangtelah dikeluarkan. Dalam segi yang lain, disadari atau tidak

    tengah terjadi proses penghilangan capaian nilai non materi

    berupa nilai transendental yang seharusnya menjadi nilai paling

  • 7/21/2019 empirik jan-jun 2012.pdf

    38/323

    32 Vol. 5, No.1 Januari - Juni 2012

    Agus Retnanto

    utama dalam pendidikan. Atas semua hal di atas, sampailah

    kepada kita satu kesimpulan yang sangat mengkhawatirkan,

    yakni terasingkannya manusia dari hakikat visi dan misi

    penciptaannya.

    Satu-satunya cara yang harus dilakukan untuk keluar

    dari krisis pendidikan itu adalah mengembalikan proses

    pendidikan kepada konsepsi pendidikan Islam yang benar.

    Secara paradigmatis, aqidah Islam harus dadikan sebagai

    penentu arah dan tujuan pendidikan, penyusunan kurikulum

    dan standar nilai ilmu pengetahuan serta proses belajar

    mengajar, termasuk penentuan kualikasi guru serta budayasekolah yang akan dikembangkan. Paradigma baru yang

    berasaskan pada aqidah Islam ini harus berlangsung secara

    berkesinambungan pada seluruh jenjang pendidikan yang ada,

    mulai dari TK hingga Perguruan Tinggi.

    Selain itu, harus dilakukan pula solusi strategis dengan

    menggagas suatu pola pendidikan alternatif yang bersendikan

    pada dua cara yang lebih bersifat fungsional, yakni: Pertama,membangun lembaga pendidikan unggulan dengan semua

    komponen berbasis Islam, yaitu: (1) kurikulum yang

    paradigmatik, (2) guru yang amanah dan kaah, (3) proses

    belajar mengajar secara Islami, dan (4) lingkungan dan

    budaya sekolah yang optimal. Dengan melakukan optimasi

    proses belajar mengajar serta melakukan upaya meminimasi

    pengaruh-pengaruh negatif yang ada dan pada saat yang samameningkatkan pengaruh positif pada anak didik, diharapkan

    pengaruh yang diberikan pada pribadi anak didik adalah

    positif sejalan dengan arahan Islam. Kedua, membuka lebar

    ruang interaksi dengan keluarga dan masyarakat agar dapat

    berperan optimal dalam menunjang proses pendidikan. Sinergi

    pengaruh positif dari faktor pendidikan sekolah keluarga

    masyarakat inilah yang akan menjadikan pribadi anak didikyang utuh sesuai dengan kehendak Islam.

    Berangkat dari paparan di atas, maka implemetasinya

    adalah dengan mewujudkan lembaga pendidikan Islam

  • 7/21/2019 empirik jan-jun 2012.pdf

    39/323

    33EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam

    Model Pengembangan Karakter Melalui Sistem Pendidikan Terpadu .....

    unggulan secara terpadu dalam bentuk Taman Kanak-Kanak

    Islam Terpadu (TKIT), Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT),

    Sekolah Menengah Islam Terpadu (SMPIT), Sekolah Menengah

    Umum Terpadu (SMUIT), dan Perguruan Tinggi Islam Terpadu.

    Dengan latar belakang di atas penulis mengajukan judul Model

    Pengembangan Karakter Melalui Sistem Pendidikan Terpadu

    Insantama Bogor.

    B. Rumusan Masalah

    Berdasarkan latar belakang dan akar masalah yang telah

    dipaparkan di depan, rumusan masalah yang akan ditelitidalam disertasi ini adalah: (1) Mengapa Pendidikan Terpadu

    Insantama Bogor melakukan model pengembangan karakter

    melalui pendidikan terpadu? (2) Bagaimanakah model

    pengembangan karakter siswa pada Pendidikan Terpadu

    Insantama Bogor? (3) Bagaimanakah Budaya Sekolah yang

    dikembangkan pada Pendidikan Terpadu Insantama Bogor?

    (4) Bagaimanakah dampak penerapan model pengembangankarakter yang dilaksanakan di Pendidikan Terpadu Insantama

    Bogor?

    C. Fokus Penelitian

    Penelitian difokuskan pada bagaimanakah model

    pengembangan karakter siswa pada Pendidikan Terpadu

    Insantama Bogor.

    D. Tujuan Penelitian

    Sesuai dengan rumusan masalah dari penelitian ini,

    tujuan penelitian ini adalah: (1) Mendapatkan jawaban secara

    konseptual dan empiris tentang mengapa Pendidikan Terpadu

    Insantama Bogor melakukan model pengembangan karakter

    melalui pendidikan terpadu, (2) Memperoleh gambaran tentangmodel pengembangan karakter siswa pada Pendidikan Terpadu

    Insantama Bogor (3) Mendapatkan jawaban secara empiris

    tentang Budaya Sekolah yang dikembangkan pada Pendidikan

  • 7/21/2019 empirik jan-jun 2012.pdf

    40/323

    34 Vol. 5, No.1 Januari - Juni 2012

    Agus Retnanto

    Terpadu Insantama Bogor, (4) Mendapatkan jawaban secara

    empiris tentang dampak penerapan model pengembangan

    karakter yang dilaksanakan di Pendidikan Terpadu Insantama

    Bogor.

    E. Manfaat Penelitian

    Nilai kegunaan atau urgensi dari penelitian ini

    diharapkan mempunyai implikasi untuk: (1) Membantu

    menyumbangkan pemikiran yang berkaitan pendidikan, dalam

    rangka pencapaian Tujuan Pendidikan Nasional dalam Sistem

    Pendidikan Nasional sehingga dapat menambah khasanah

    ilmu pendidikan khususnya dalam rangka membentuk

    manusia Indonesia seutuhnya. (2) Membantu memberikan

    sebuah konsep sistem pendidikan yang dapat digunakan

    untuk menciptakan manusia cerdas sekaligus berakhlaq mulia

    yang mampu mengatasi berbagai macam problem yang sedang

    melanda manusia Indonesia yang sedang membangun.

    F. Kajian Teori

    1. Kerangka Teori

    a. Pengertian Pendidikan

    Dalam arti sederhana pendidikan sering diartikan

    sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya

    sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dankebudayaan. Dalam perkembangannya, istilah

    pendidikan atau paedagogie berarti bimbingan atau

    pertolongan yang diberikan dengan sengaja oleh orang

    dewasa agar ia menjadi dewasa. Selanjutnya, pendidikan

    diartikan sebagai usaha yang dalankan oleh seseorang

    atau kelompok orang lain agar menjadi dewasa atau

    mencapai tingkat hidup atau penghidupan yang lebih

    tinggi dalam arti mental.

    Sementara Carter V. Good berpendapat

    Pedagogy is the art, practice, or profession of teaching.

  • 7/21/2019 empirik jan-jun 2012.pdf

    41/323

    35EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam

    Model Pengembangan Karakter Melalui Sistem Pendidikan Terpadu .....

    The systematized learning or instruction concerning

    principles and methods of teaching and of student control

    and guidance; largely replaced by the term education.

    Ahmad D. Marimba mengemukakan pendidikan adalah

    bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik

    terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik

    menuju terbentuknya ke pribadian yang utama. Unsur-

    unsur yang terdapat dalam pendidikan dalam hal ini

    adalah: (a) usaha (kegiatan), usaha itu bersifat bimbingan

    (pimpinan atau pertolongan) dan dilakukan secara sadar;

    (b) ada pendidik, pembimbing; atau penolong; ada yang

    dididik atau si terdidik; (c) bimbingan itu mempunyai

    dasar dan tujuan; dalam usaha itu tentu ada alat-alat

    yang dipergunakan.

    Ki Hajar Dewantara berpendapat bahwa

    pendidikan yaitu tuntunan di dalam hidup tumbuh-

    nya anak-anak, adapun maksudnya, pendidikan yaitu

    menuntun segala kekuatan kodrat yang ada padaanak-anak itu, agar mereka sebagai manusia, dan sebagai

    anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan

    dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.

    Selanjutnya Menurut UU Nomor 2 Tahun 1989

    pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan

    peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran,

    dan atau latihan bagi peranannya di masa yang akandatang.

    Perkembangan berikutnya menurut UU No. 20 tahun

    2003 pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk

    mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran

    agar peserta didik secara aktif mengembangkan

    potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual

    keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecer-dasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diper-

    lukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.

  • 7/21/2019 empirik jan-jun 2012.pdf

    42/323

    36 Vol. 5, No.1 Januari - Juni 2012

    Agus Retnanto

    Dari beberapa pengertian atau batasan pendidikan

    redaksional namun secara essensial terdapat kesatuan

    unsur-unsur atau faktor-faktor yang terdapat di

    dalamnya, yaitu bahwa pengertian pendidikan tersebut

    menunjukkan suatu proses bimbingan, tuntunan atau

    pimpinan yang didalamnya mengandung unsur-unsur

    seperti pendidik, anak didik, tujuan dan sebagainya.

    Karena itu, dengan memperhatikan batasan-batasan

    pendidikan tersebut, ada beberapa pengertian dasar

    yang perlu dipahami sebagai berikut.

    b. Pendidikan Karakter

    Pendidikan karakter sebagaimana

    dinyatakan oleh Thomas Lickona (www. Cortland.

    edu.character.articles) adalah upaya mengembangkan

    kebajikan, yaitu keunggulan manusia sebagai fondasi

    dari kehidupan yang berguna, bermakna, produktif dan

    fondasi untuk masyarakat yang adil, penuh belas kasih

    dan maju. Karakter yang baik meliputl tiga komponen

    utama, yaitu: moral knowing, moral feeling, moral action.

    Moral knowing meliputi: sadar moral, mengenal nilai-

    nilai moral, perspektif, penalaran moral, pembuatan

    keputusan dan pengetahuan tentang diri. Moral eeling

    meliputi: kesadaran hati nurani, harga diri, empati,

    mencintai kebaikan, kontrol diri dan rendah hati.

    Moral action meliputi kompetensi, kehendak baik dan

    kebiasaan.

    Sejalan dengan itu Lickona, Ryan dan Bohlin (www.

    cortlandedu.character.articles) mengatakan bahwa karakter

    me-ngandung tiga unsur pokok, yaitu mengetahm

    kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan

    (loving the good) dan melakukan kebaikan (doing

    the good). Dalam pendidikan karakter, kebaikan ituseringkali dirangkum dalam sederet sifat-sifat baik

    (mulia). Dengan demikian, pendidikan karakter adalah

  • 7/21/2019 empirik jan-jun 2012.pdf

    43/323

    37EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam

    Model Pengembangan Karakter Melalui Sistem Pendidikan Terpadu .....

    sebuah upaya membimbing perilaku manusia menuju

    standar-standar baku. Upaya ini juga memberi jalan

    untuk menghargai persepsi dan nilai-nilai pribadi

    yang ditampilkan di sekolah. Fokus pendidikan karakter

    adalah pada tujuan-tujuan etika, tetapi praktiknya

    meliputi penguatan kecakapan-kecakapan yang penting

    yang mencakup perkembangan sosial peserta didik.

    Pendidikan nilai atau pendidikan karakter

    harus bermuatan pengalaman dan pengamalan, yang

    melibatkan unsur inti manusia, yaitu hati dan budi

    serta seluruh anggota tubuhnya (Adimassana, 2000:35-

    36). Nilai-nilai yang dijadikan acuan dalam pendidikan

    nilai adalah nilai-nilai yang berharga untuk

    membangun kehidupan. Masyarakat, negara, agama

    dan keluarga mengarahkan perhatian pada nilai-nilai

    yang penting untuk hidup, yang menjadi dasar untuk

    hidup bersama dan yang memperkaya manusia melalui

    norma-norma. Norma-norma adalah wahana ataupedoman untuk mewujudkan nilai-nilai. Matra, jika

    seseorang melaksanakan suatu norma dengan sungguh-

    sungguh; kemudian la merasakan dan menyadari

    nilainya, maka ia akan dapat menghayati nilai yang

    terkandung di dalamnya.

    Norma adalah aturan atau patokan (baik yang

    tertulis maupun yang tidak tertulis) yang berfungsisebagai pedoman bertindak atau juga sebagai tolok

    ukur baik-buruknya watu perbuatan. Sedangkan nilai

    menunjuk pada kualitas (makna, mutu, kebaikan)yang

    terkandung dalam suatu objek: tindakan, benda, hal,

    fakta, peristiwa dan lain-lain termasuk norma. Norma

    itu lebih untuk dimengerti dengan rasio, sedangkan

    nilai itu untuk ditangkap (dirasakan) dan dihayati(dialami) dengan hati nurani.

    Manusia hidup digerakkan oleh nilai-nilai. la

    harus memilih apakah mengambil nilai-nilai yang baik

  • 7/21/2019 empirik jan-jun 2012.pdf

    44/323

    38 Vol. 5, No.1 Januari - Juni 2012

    Agus Retnanto

    atau yang buruk, atau sama-sama balk atau nilai yang

    baik dan nilai yang lebih baik, bahkan terbaik. Dalam

    mempertimbangkan berbagai nilai yang dihadapi,

    manusia harus memutuskan nilai mana yang akan

    diambil untuk dasar tindakannya. Harapan semua orang

    tua dan pendidik tentunya adalah keputusan tersebut

    sesuai dengan nilai-nilai luhur yang meninggikan harkat

    dan martabat manusiawinya sehingga sisi kemanusiaan

    mengejawantah dalam perilaku dan perbuatannya.

    Max Scheler mengungkapkan bahwa nilai moral

    membonceng pada nilai-nilai lain (Bertens: 1993;

    147). Artinya, nilai moral mengikuti ke mana pun

    seseorang pergi dan apa yang dilakukannya. Maka,

    pendidikan nilai sesungguhnya dapat terlaksana

    melalui segala macam kegiatan yang memenuhi seluruh

    ruang dan waktu dalam hidup seseorang di mana

    saja, dan sudah tentu di sekolah. Di sekolah peserta

    didik sebagai manusia menangkap nilai-nilai, meresapi,mentransformasikan dan merealisasikannya dalam

    kehidupan.

    Pemisahan ini berlanjut sampai sekarang dengan

    berbagai instrumen yang digunakan mengacu pada tes

    intelegensi. Amstrong mengemukakan wacana yang

    berbeda, yaitu pengembangan manusia (human

    development). Hal yang paling penting dari wacana, iniadalah perhatian yang besar terhadap, manusia. Maka,

    wacana, pengembangan manusia memiliki perspektif

    yang lebih luas daripada wacana prestasi akademik.

    Istilah akademik mewakili sesuatu yang objektif

    dan nal/terbatas, di sisi lain istilah manusia

    merepresentasikan sebuah entitas kehidupan, subjektif

    dan tak terbatas. Istilah akademik berada di luar diridalam bentuk buku-buku, tes, kuhah, silabus dan

    sebagainya, sedangkan istilah manusia berada di sini

    diri kita sendiri yang sedang dibicarakan.

  • 7/21/2019 empirik jan-jun 2012.pdf

    45/323

    39EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam

    Model Pengembangan Karakter Melalui Sistem Pendidikan Terpadu .....

    Istilah pengembangan atau development lebih

    berkonotasi pada upaya menumbuhkan, memerdekakan

    manusia dari beban, rintangan dan kesulitan. Istilah

    ini juga bermakna proses yang berlangsung terus

    sepanjang waktu. Maka, pengembangan manusia

    dalam pendidikan dapat didefinisikan menjadi

    keseluruhan tindakan dan komunikasi lisan

    dan tertulis yang melihat tujuan pendidikan lebih

    mengutamakan pada upaya membantu, mendorong,

    memfasilitasi pertumbuhan siswa sebagai manusia utuh,

    termasuk di dalamnya sisi kognitif, emosional, sosial,

    etik, kreatif dan spiritualnya (Amstrong, 2006:39).

    c. Pendidikan Nilai

    Ada beberapa konsep atau teori yang berkaitan

    dengan pendidikan nilai dengan maksud agar

    diperoleh keutuhan kerangka pemikiran antara

    lain teori perkembangan bioekologis menurut Urie

    Bronfenbrenner, konsep tentang pendidikan nilai/

    karakter, bentuk-bentuk pendidikan nilai, prinsip-prinsip

    pendidikan nilai, peran sekolah dalam pendidikan

    nilai.

    Dapat dikatakan bahwa hal-hal yang ada

    di sekeliling anak baik yang dekat maupun yang

    jauh, langsung maupun tidak langsung berpengaruh

    terhadap pembentukan kepribadian seorang anak

    sampai la dewasa kelak, bahkan selama hidupnya.

    Sebab, kehidupan itu sendiri merupakan sistem yang

    kompleks.

    Menumbuhkembangkan nilai-nilai insani dan

    Ilahi di sekolah merupakan upaya terus-menerus yang

    memerlukan dukungan dari orang tua untuk sama-

    sama menciptakan lingkungan belajar nilai yang.seiring sejalan. Artinya, nilai-nilai yang diperkenalkan

    dan diinternalisasikan di sekolah sama dengan yang

  • 7/21/2019 empirik jan-jun 2012.pdf

    46/323

    40 Vol. 5, No.1 Januari - Juni 2012

    Agus Retnanto

    diinternalisasikan di rumah. Hal-hal yang dilarang

    di sekolah juga dilarang di rumah. Hal-hal yang

    harus dilakukan oleh subjek didik di sekolah juga

    harus dilakukan di sekolah sehingga kecil kesempatan

    anak untuk bermain peran atau menggunakan

    standar ganda, yaitu di sekolah bersikap patuh dan

    disiplin pada norma-norma, tetapi di rumah justru

    sebaliknya. Dengan upaya terus-menerus dari orang

    tua dan sekolah dalam pendidikan nilai diharapkan

    anak sebagai subjek didik memiliki karakter yang baik.

    2. Kajian Hasil Penelitian

    Pendidikan, baik dari pesantren salaf maupun

    pesantren khalafdan yang dikombinasikan berupa pendidikan

    pesantren modern belum menunjukkan tingkat ke-kaahan-

    nya. Kurukulum pada pesantren salaf cenderung didominasi

    ilmu-ilmu alat atau ilmu-ilmu praktis beribadah yang bisa

    langsung dipraktikkan untuk ibadah mahdlah. Untuk ilmu-

    ilmu tentang kehidupan (sain, teknologi dan keterampilan)

    tidak diajarkan.

    Sedangkan pesantren khalaf dan pondok pesantren

    modern telah memasukkan ilmu-ilmu umum (sain, teknologi

    dan keterampilan) dengan sistem pendidikan klasikal. Namun

    kedua macam ilmu itu masih terpisah secara konseptual, belum

    dilakukan proses internalisasi, interkoneksi dan integrasi.

    Sehingga ilmu-ilmu sosial khususnya yang jika ditelaah

    lebih dalam secara ideologi Islam akan menyesatkan umat

    akan masuk begitu saja meracuni akhlaq para siswa yang

    berkemungkinan besar akan merusak aqidah Islam.

    Seperti muatan isi dalam materi IPA yang menyatakan

    bahwa manusia adalah keturunan dari kera, materi ekonomi

    yang menyatakan kebutuhan manusia tak terbatas sehingga

    menghalalkan keserakahan dalam hidup berekonomi,

    menghalalkan riba dalam bentuk bunga bank. Perjudian

    terselubung dalam bentuk pembelian saham dan pasar bursa.

  • 7/21/2019 empirik jan-jun 2012.pdf

    47/323

    41EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam

    Model Pengembangan Karakter Melalui Sistem Pendidikan Terpadu .....

    Dalam ilmu sosial yang menyatakan agama adalah produk

    budaya manusia. Dalam pendidikan moral diterapkannya

    prinsip kebebasan individu dan lain-lain.

    Pendidikan nilai yang dilakukan oleh Wolfgang Althof,

    Berkowitz dan Marvin di Amerika. Penelitian mereka berjudut

    Moral Education and Character Education: Their Relationship and

    Roles in Citizenship Education dalamJournal of Moral Education,

    volume 35, December 2006. Hasil penelitian menunjukkan

    bahwa peran sekolah dalam membantu perkembangan

    moral warga negara dalam masyarakat demokratis perlu

    difokuskan pada pengembangan moral yang lebih luas

    dan pengembangan karakter terkait, mengajarkan

    pendidikan kewarganegaraan dan mengembangkan watak

    dan keterampilan /ketrampilan warga negara.

    Masih terkait dengan pendidikan nitai adalah penelitian

    yang dilakukan oleh suatu lembaga di Amerika Serikat: The

    What Works Clearing-house (WWC) yang mengidentikasi

    program-program pendidikan untuk me-ngembangkankarakter siswa dengan mengajarkan nilai-nilai inti (core values).

    Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat bukti yang

    meyakinkan mengenai pengaruh intervensi pendidikan

    karakter terhadap perilaku, pengetahuan, sikap dan nilai,

    serta prestasi akademik.

    Penelitian yang dilakukan oleh Ulrika Bergmark

    di sebuah SMP pada siswa-siswa kelas 7 dan 8 di Swediadengan judul: I Want People to Believe in -Me, Listen When I

    Say something and Remember Me How Student Wish to Be

    Treated yang dimuat dalam jurnal: Pastoral Care in Education,

    volume 26, nomor 4, Desember 2008 (267-269). Penelitian ini

    adalah penelitian fenomenologi dengan metode penelitian

    tindakan partisipatori dan apresiatif. Tujuan penelitian

    ini adalah untuk mengeksplorasi suara/pendapat pesertadidik mengenai gambaran tentang bagaimana mereka

    memperlakukan dan ingin diperlakukan oleh orang

  • 7/21/2019 empirik jan-jun 2012.pdf

    48/323

    42 Vol. 5, No.1 Januari - Juni 2012

    Agus Retnanto

    lain. Analisis data dihubungkan dengan empat tema:

    menghidupkan saling pengertian, penerimaan diri yang

    sebagaimana adanya, pencarian kejujuran dan kebenaran,

    dan menjadi berpengetahuan, dikenal dan didorong. Dengan

    pemahaman yang komprehensif terhadap tema-tema ini

    menegaskan bahwa praktik pendidikan dapat dikembangkan

    menjadi lebih baik. Kurikulum sekolah di Swedia

    mengharuskan memuat pembelajaran dengan beragam mata

    pelajaran di samping secara simultan membantu peserta

    didik untuk mengembangkan diri agar menjadi warga

    negara yang berkarakter baik. Untuk mencapai tujuan ini

    peserta didik perlu ditanamkan karakter tertentu seperti

    respek dan tanggungjawab sehinga mereka dapat membina

    hubungan yang positif dan hidup dalam komunitasnya.

    Penelitian menunjukkan bahwa pendidikan karakter yang

    baik membawa pada perkembangan moral peserta didik

    sekaligus juga meningkatkan pembelajaran akademik

    mereka. Memberikan hak bersuara kepada peserta didikmerupakan titik awal bagi pendidikan karakter. Jika orang

    dewasa mendengarkan dengan sungguh-sungguh peserta

    didiknya, praktik pendidikan dapat ditingkatkan.

    Penelitian Paul J. Dovre yang dimuat dalam jurnal:

    Education Next, volume 7 nomor 2, September 2007 (p.3845)

    dengan judul: From Aristotle to Angelou: Best Practice in Character

    Education mengemukakan bahwa gerakan pendidikankarakter di era modem muncul pada tahun 1980-an sebagai

    akibat dari tumbuhnya perhatian orang tua dan masyarakat

    karena adanya penyimpangan moral atau yang disebut

    sosiolog James Davison Hunter sebagai kematian karakter.

    Anomi publik ini ditangkap oleh Sanford McDonnell, ketua

    dari The Character Education Partnership (CEP) yang merupakan

    organisasi payung yang memberikan koordinasi, dorongandan dukungan kepada sekolah-sekolah. Donnell mengatakan

    bahwa telah terjadi krisis karakater di seluruh Amerika.

    Yang harus dilakukan adalah kembali kepada nilai-nilai

  • 7/21/2019 empirik jan-jun 2012.pdf

    49/323

    43EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam

    Model Pengembangan Karakter Melalui Sistem Pendidikan Terpadu .....

    inti dari warisan Amerika di dalam rumah, sekolah, bisnis,

    pemerintahan dan juga dalam kehidupan sehari-hari. Dua

    dekade kemudian, perlu diteliti sejauh mana kesuksesan

    dari gerakan pendidikan karakter tersebut. Maka, penelitian

    mengenai pendidikan karakter dilakukan di enam sekolah.

    Selama lebih dari dua bulan peneliti mengunjungi masing-

    masing sekolah untuk mempelajari program pendidikan

    karakter di sekolah masing-masing. Hasil penelitian

    menunjukkan bahwa walaupun sekolah ini berbeda dalam

    hal ukuran, tipe, jenjang dan lokasi, tetapi keenam sekolah

    ini menyumbangkan unsur-unsur penting bagi program

    komprehensif pendidikan karakter. Pendidikan diarahkan

    oleh sejumlah nilai-nilai inti atau kebajikan. Sekolah-sekolah

    memberikan kesempatan yang berlimpah bagi wacana

    moralmengenai hal-hal yang kompleks dan bertentangan,

    juga tindakan moral melalui balk layanan komunitas yang

    teratur maupun dalam aturan di sekolah.

    Penelitian lain yang berkaitan dengan sekolah adalahyang dilakukan oleh Solomon, dkk. (1997) untuk mengetahui

    hubungan antara tindakan guru, berbagai aspek perilaku siswa

    dan rasa komunitas dalam diri siswa di berbagai kelas yang

    ada. Penelitian ini antara lain mengkaji bagaimana pengaruh

    sekolah terhadap perasaan siswa tentang sekolahnya sebagai

    suatu komunitas.

    G. Kerangka Berfkir

    Pendidikan nasional menggalakkan potensi individu

    secara menyeluruh dan terpadu untuk mewujudkan insan yang

    seimbang dan harmonis dari segi intelektual, rohani dan iman,

    berdasarkan kepercayaan kepada Allah Swt. Memang adanya

    penekanan di bidang pembentukan manusia seutuhnya baik

    jasmani maupun rohani dalam sistem pendidikan nasionalmerupakan ciri pendidikan Islam. Karena itu, dalam kurikulum

    terpadu yang dimuat dalam kurikulum pendidikan maupun

    yang melekat pada setiap mata pelajaran sebagai bagian dari

  • 7/21/2019 empirik jan-jun 2012.pdf

    50/323

    44 Vol. 5, No.1 Januari - Juni 2012

    Agus Retnanto

    pendidikan nilai. Oleh sebab itu, nilai-nilai agama akan selalu

    memberikan corak dan warna pada pendidikan nasional di

    Indonesia.

    Pendidikan terpadu mengidealkan pendidikan yang

    komprehensip (kaah), dimana dalam rangka membentuk

    kepribadian Islam yang utuh yang disebut dengan Syaksiyyah

    Islamiyyah maka perlu membangun pondasi pendidikan.

    Pondasi pendidikan itu berupa Tsaqofah I