panduan tentang pemberian informasi mendapatkan hasil penelian pengobatan pasien

Upload: tri-irawand-alfiand-mahmund

Post on 21-Feb-2018

226 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 7/24/2019 Panduan Tentang Pemberian Informasi Mendapatkan Hasil Penelian Pengobatan Pasien

    1/24

    1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Farmasis sebagai praktisi pharmaceutical care bertanggung jawab untuk

    mengoptimalkan terapi pengobatan pasien, tanpa mempertimbangkan darimana

    sumber pengobatan tersebut apakah obat berdasarkan resep dokter, obat tanpa

    resep, obat alternatif lain atau obat tradisional, untuk mendapatkan luaran terapi

    pasien yang lebih baik dan meningkatkan kualitas hidup pasien. Hal ini dapat

    terlaksana bila ada kerjasama yang baik antara farmasis dengan pasien dan juga

    tenaga kesehatan yang lain (Cipolle et al., 2004). Salah satu kontribusi farmasis

    dalam pharmaceutical care adalah melalui pemberian edukasi dan konseling

    kepada pasien untuk mempersiapkan dan memotivasi pasien untuk mengikuti

    rejimen terapetik serta memonitoring keberhasilan terapi (American Society of

    Health-System Pharmacist[ASHP], 1997).

    Berbagai penelitian telah dilakukan untuk menunjukkan pentingnya peran

    farmasis dalam edukasi dan konseling kepada pasien-pasien dengan penyakit

    kronis seperti diabetes mellitus tipe 2 (DM tipe 2). Keterlibatan farmasis dalam

    pemberian edukasi dan konseling terbukti dapat memberikan efek positif pada

    kadar A1C, kolesterol dan tekanan darah pada pasien DM tipe 2 (National

    Diabetes education Program [NDEP], 2011). Intervensi oleh farmasis melalui

    pemberian booklet, wadah obat yang khusus dan juga konseling secara bersama-

    sama dapat memberikan efek positif luaran terapi pada pasien DM tipe 2

  • 7/24/2019 Panduan Tentang Pemberian Informasi Mendapatkan Hasil Penelian Pengobatan Pasien

    2/24

    2

    (Suppapitiporn et al., 2005). Pemberian program pharmaceutical careselama 12

    bulan pada pasien DM tipe 2 juga diketahui dapat menurunkan kadar gula dan

    tekanan darah dengan lebih baik (Clifford et al., 2005).

    Diabetes Melitus (DM) tipe 2 adalah penyakit kronis yang membutuhkan

    pelayanan medis berkelanjutan dan pemberian edukasi dan dukungan bagi pasien

    untuk dapat melakukan manajemen diri, mencegah komplikasi akut dan

    mengurangi resiko komplikasi jangka panjang (American Diabetic Association

    [ADA], 2011). Kegagalan terapi DM disebabkan oleh kurangnya kemampuan

    pasien dalam melakukan manajemen diri (self management) termasuk

    ketidakpatuhan penggunaan obat (World Health Organization [WHO], 2003).

    Menurut Visser dan Snoek (2004), pemberian edukasi sangat penting untuk

    meningkatkan kemampuan pasien DM dalam melakukan manajemen diri (self

    management).

    Beberapa tujuan konseling adalah meningkatkan kesadaran (Kreitler et al.,

    2004) dan adherence(kepatuhan) pasien (Kreps et al., 2011). Pengetahuan pasien

    merupakan awal untuk meraih tujuan tersebut (Blom dan Krass, 2011). Pasien

    yang kurang pengetahuan tentang penyakit dan pengobatan mereka cenderung

    kurang patuh terhadap rejimen terapi (Rapoff, 2010). Anggraini (2012) dalam

    penelitiannya di Bantul menggambarkan rendahnya kepatuhan pasien DM tipe 2

    terhadap penggunaan obat karena pengetahuan pasien yang juga rendah. Masih

    pada pasien DM tipe 2, diketahui bahwa pemberian konseling berdampak pada

    pengetahuan pasien yang memberikan outcomeberupa berkurangnya stres akibat

    diabetes dan kontrol kadar glikemik pasien mendekati angka yang diharapkan

  • 7/24/2019 Panduan Tentang Pemberian Informasi Mendapatkan Hasil Penelian Pengobatan Pasien

    3/24

    3

    (Karlsen et al., 2004), serta meningkatnya kualitas hidup dan kebugaran pasien

    (Tankova et al., 2004 ; Sarkadi dan Rosenqvist, 2004 ; Karlsen et al., 2004).

    Selain itu, penelitian oleh Ramadona (2011) tentang pengaruh konseling yang

    diberikan di poliklinik Khusus RSUP Dr. M. Djamil, Padang telah diketahui dapat

    meningkatkan pengetahuan dan sikap pasien yang akan berpengaruh terhadap

    kepatuhannya menggunakan obat antidiabetik (Ramadona, 2011).

    Pemberian edukasi dan konseling kepada pasien tidak hanya dapat

    dilaksanakan pada saat penyerahan obat kepada pasien, tetapi dapat juga diberikan

    sebagai bentuk pelayanan yang terpisah (ASHP, 1997), seperti misalnya melalui

    pelayanan kefarmasian di rumah (home care pharmacy) (ASHP, 1999).

    Pemberian edukasi dan konseling yang efektif harus mempertimbangkan

    lingkungan tempat dilakukannya konseling. Lingkungan tersebut harus kondusif,

    aman, mampu menjaga kerahasiaan untuk dapat membuat pasien menerima

    dengan baik dan lebih terlibat dalam proses pembelajaran (ASHP, 1997). Salah

    satu lingkungan yang kondusif dalam pemberian konseling adalah di rumah.

    Dalam Pedoman Pelayanan Kefarmasian di Rumah yang dikeluarkan oleh

    Departemen Kesehatan RI tahun 2008, disebutkan bahwa salah satu peran

    farmasis dalam manajemen penyakit kronis adalah memberikan pelayanan farmasi

    di rumah untuk melakukan konseling maupun monitoring penggunaan obat

    kepada pasien dan keluarga pasien (Depkes RI, 2008).

    Dari latar belakang tersebut maka perlu dilakukan penelitian mengenai

    perubahan yang terjadi dengan pemberian konseling yang diberikan oleh farmasis

  • 7/24/2019 Panduan Tentang Pemberian Informasi Mendapatkan Hasil Penelian Pengobatan Pasien

    4/24

    4

    di rumah pasien terhadap tingkat pengetahuan dan kepatuhan pasien DM tipe 2

    akan penyakit yang dideritanya dan dalam menggunakan obat antidiabetes oral.

    B. Perumusan Masalah

    Bagaimanakah perubahan pengetahuan dan kepatuhan pasien penderita

    DM tipe 2 setelah diberikan konseling terhadap penyakit yang diderita serta

    pengobatan yang diterima?

    C. Tujuan Penelitian

    Untuk mengetahui perubahan pengetahuan dan kepatuhan pasien DM tipe

    2 melalui pemberian konseling di rumah.

    D.

    Manfaat Penelitian

    1. Bagi rumah sakit: dapat memberikan saran melalui data yang diperoleh

    untuk pemberian intervensi konseling yang lebih tepat kepada pasien

    menderita DM tipe 2 sehingga meningkatkan pengetahuan pasien akan

    penyakit yang diderita, serta terapi yang diperoleh.

    2.

    Bagi peneliti (farmasis): hasil penelitian ini mengeksplorasi

    permasalahan-permasalahan di masyarakat yang berkaitan dengan

    pemberian konseling terutama untuk penyakit-penyakit kronis

    sehingga farmasis dapat menyiapkan solusi baru untuk meningkatkan

    pengetahuan dan kepatuhan pasien.

  • 7/24/2019 Panduan Tentang Pemberian Informasi Mendapatkan Hasil Penelian Pengobatan Pasien

    5/24

    5

    3.

    Bagi pasien dan masyarakat: penelitian ini sekaligus juga memberikan

    informasi mengenai penyakit DM tipe 2, terapi farmakologi dan non-

    farmakologi yang benar dan terpercaya serta dapat meningkatkan

    kepatuhan pasien, dan secara luas dapat meningkatkan derajat

    kesehatan dan kualitas hidup masyarakat.

    E. Tinjauan Pustaka

    1. Diabetes Melitus Tipe 2

    Diabetes melitus (DM) adalah kondisi dimana tingkat hiperglikemia

    meningkatkan resiko kerusakan mikrovaskular (retinopati, nefropati, dan

    neuropati) (WHO, 2006a). Guyton dan Hall dalam Buku Ajar Fisiologi

    Kedokteran (2008) mendefinisi diabetes melitus sebagai sindrom dengan

    terganggunya metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang disebabkan oleh

    berkurangnya sekresi insulin atau penurunan sensitivitas jaringan terhadap insulin.

    Klasifikasi diabetes meliputi 4 kelas (ADA, 2011) :

    a. Diabetes melitus tipe 1 (terjadi akibat kerusakan sel dan mengarah kepada

    defisiensi insulin)

    b.

    Diabetes melitus tipe 2 (terjadi akibat defek progresif pada sekresi insulin

    sehingga terjadi resistensi insulin).

    c. Diabetes melitus tipe spesifik lainnya, misalnya defek genetik pada fungsi sel

    , aksi insulin, penyakit pada eksokrin pankreas (misalnya cystic fibrosis), dan

    akibat obat atau induksi kimiawi (misalnya pada pengobatan HIV/AIDS atau

    setelah transplantasi organ)

  • 7/24/2019 Panduan Tentang Pemberian Informasi Mendapatkan Hasil Penelian Pengobatan Pasien

    6/24

    6

    d.

    Diabetes Melitus kehamilan (diabetes yang didiagnosa selama kehamilan dan

    bukan karena diabetes sebelumnya)

    Diabetes melitus kini menjadi ancaman yang serius bagi manusia. WHO

    memperkirakan bahwa terdapat 171 juta orang di seluruh dunia menderita

    diabetes pada tahun 2000 dan diproyeksikan akan meningkat menjadi 366 juta

    pada tahun 2030. Di Indonesia sendiri, prevalensi diabetes mencapai 8.426.000

    pada tahun 2000 dan diprediksi akan meningkat hingga 21.257.000 pada tahun

    2030 (WHO, 2006a). Menurut data dari Departemen Kesehatan RI, jumlah pasien

    diabetes melitus rawat inap dan rawat jalan menduduki peringkat pertama

    penyakit endokrin (Maulana, 2009).

    Diabetes sering kali tidak terdiagnosis karena banyak gejala yang tidak

    tampak begitu berbahaya. Beberapa tanda dan gejala klasik penyakit diabetes

    adalah sering buang air kecil (poliuria), sering haus (polidipsia), penurunan berat

    badan yang tidak biasa (Dipiro et al., 2009 ; McPhee dan Papadakis, 2011). Pada

    tahun 2010, American Diabetes Association (ADA) mengadopsi kriteria dari

    International Diabetes Federation(IDF) danEuropean Association for the Study

    of Diabetes (EASD) untuk menggunakan tes A1C untuk mendiagnosis diabetes,

    dengan batas 6,5%. Diagnosis juga dapat dilakukan dengan (ADA, 2011) :

    a. Glukosa darah puasa 126 mg/dl (7.0 mmol/l). Puasa artinya tidak ada asupan

    kalori selama minimal 8 jam, atau

    b. Glukosa darah 2 jam post prandial 200 mg/dl (11.1 mmol/l) selama tes

    toleransi glukosa oral sesuai panduan dari WHO, atau

  • 7/24/2019 Panduan Tentang Pemberian Informasi Mendapatkan Hasil Penelian Pengobatan Pasien

    7/24

    7

    c.

    Glukosa plasma sewaktu 200 mg/dl (11.1 mmol/l) pada pasien dengan

    gejala klasik hiperglikemia atau krisis hiperglikemia.

    Beberapa faktor resiko untuk diabetes mellitus adalah sebagai berikut:

    Tabel I. Faktor-faktor resiko penyakit DM (Depkes RI, 2005)

    Riwayat Diabetes dalam keluarga

    Diabetes gestasional

    Melahirkan bayi dengan berat badan> 4kg

    Kista ovarium

    Impaired fasting glukosa (IFG)

    Impaired Glucosa Tolerance (IGT)

    Obesitas >120 % berat badan total

    Umur 20-59 : 8,7 %

    >65 tahun :18 %

    Hipertensi >140/90 mmHg

    Hiperlipidemia Kadar HDL rendah 250 mg/dl

    Faktor-faktor lain Kurang olah raga

    Pola makan rendah serat

    Beberapa faktor yang dapat memberikan kontribusi terhadap

    perkembangan DM yaitu: a) faktor genetik, yang muncul pada individu dengan

    riwayat DM dalam keluarga dan kemungkinan untuk terjadinya DM pada individu

    ini adalah 15%; b) berkurangnya fungsi sel beta pankreas yang merupakan

    penyebab terjadinya abnormalitas sekresi insulin yang berakibat pada defisensi

    insulin; c) defek pada situs periferal yang menyebabkan resistensi insulin akibat

    terjadinya insensitivitas jaringan terhadap aktivitas biologis insulin (Shargel,

    2001).

  • 7/24/2019 Panduan Tentang Pemberian Informasi Mendapatkan Hasil Penelian Pengobatan Pasien

    8/24

    8

    Luaran yang diinginkan dalam pengobatan diabetes mellitus adalah

    mengurangi risiko-risiko penyakit akibat komplikasi makrovaskular dan

    mikrovaskular, mengurangi gejala, mengurangi mortalitas, meningkatkan kualitas

    hidup pasien (ADA, 2007). Sedangkan beberapa hal yang dapat dilakukan untuk

    mencapai luaran yang diinginkan tersebut adalah dengan mengubah gaya hidup /

    diet (pengendalian berat badan dan aktifitas fisik) dan menggunakan obat-obatan

    antidiabetik maupun insulin (Guyton dan Hall, 2008 ; ADA, 2011). Jika tidak

    ditangani dengan baik, komplikasi akibat diabetes dapat terjadi, yaitu komplikasi

    mikrovaskular (retinopati, nefropati, neuropati terutama pada saraf sensoris seperti

    akibat lesi pada kaki, saraf autonom seperti disfungsi seksual dan gastroparesis),

    komplikasi makrovaskular (CHD, cerebrovaskular disease, PAD), komplikasi

    lainnya (permasalahan psikososial, penyakit gigi) (ADA, 2011).

    Satu-satunya cara yang signifikan untuk mencegah atau memperlambat

    jalan perkembangan komplikasi adalah dengan pengendalian kadar gula darah

    yang ketat (Depkes RI, 2005). Diabetes melitus dikatakan terkendali baik apabila

    kadar glukosa, kadar lipid, dan HbA1c mencapai kadar yang diharapkan,

    demikian pula status gizi dan tekanan darah (PERKENI, 2006).

    Penatalaksanaan Diabetes Melitus dengan terapi obat juga dapat

    menimbulkan masalah terkait obat (drug related problems) yang dialami oleh

    penderita. Masalah terkait obat merupakan keadaan terjadinya ketidaksesuaian

    dalam pencapaian tujuan terapi sebagai akibat pemberian obat (Depkes RI, 2005).

    Menghadapi tantangan ini, farmasis dapat memainkan penting dalam membantu

    pasien mengikuti terapi. Untuk melakukan hal ini secara efektif, farmasis harus

  • 7/24/2019 Panduan Tentang Pemberian Informasi Mendapatkan Hasil Penelian Pengobatan Pasien

    9/24

    9

    mengerti faktor-faktor yang dapat mempengaruhi dan menyebabkan

    ketidakpatuhan pasien terhadap terapi obat antidiabetes.

    Mencermati hal-hal tersebut, maka salah satu upaya penting untuk

    meningkatkan kepatuhan pasien terhadap terapi adalah konseling dan pemberian

    informasi yang lengkap dan akurat tentang terapi tersebut. Di dalam hal ini,

    farmasis berada di posisi kunci untuk memberi penjelasan umum maupun khusus

    tentang terapi yang dijalani pasien, baik farmakoterapi maupun nonfarmakoterapi

    (Depkes RI, 2005).

    2. Penatalaksanaan Terapi Diabetes Melitus Tipe 2

    Tujuan utama secara umum pengobatan pada DM tipe 2 adalah

    menurunkan morbiditas dan mortalitas DM. Sedangkan tujuan khususnya adalah

    menjaga agar kadar gula darah pada tingkat normal atau mendekati normal,

    mencegah atau meminimalkan kemungkinan terjadinya komplikasi diabetes.

    Tatalaksana terapi paling awal pada penderita DM tipe 2 atau prediabetes adalah

    dengan perubahan gaya hidup menjadi lebih sehat, yang meliputi perubahan pola

    makan sesuai status gizi yang ditentukan, menyesuaikan aktivitas fisik dengan

    kalori yang masuk, menghindari stress, dan mempertahankan bobot ideal.

    Penggunaan obat antidiabetes dipilih apabila dengan cara pengubahan gaya hidup

    tidak dapat lagi efektif menurunkan gula darah secara signifikan. Penggunaannya

    bisa dengan terapi obat antidiabetes oral (ADO) tunggal atau kombinasi, terapi

    insulin atau kombinasi keduanya (Depkes RI, 2005).

  • 7/24/2019 Panduan Tentang Pemberian Informasi Mendapatkan Hasil Penelian Pengobatan Pasien

    10/24

    10

    Tabel II. Daftar obat Antidiabetika Oral (ADO) dan penjelasannya (Katzung, et al ., 2009)

  • 7/24/2019 Panduan Tentang Pemberian Informasi Mendapatkan Hasil Penelian Pengobatan Pasien

    11/24

    11

    Obat-obatan oral yang tersedia untuk mengobati DM tipe 2 adalah :

    a.

    Metformin (Biguanide)

    Metformin merupakan agen hemat insulin, tidak meningkatkan

    berat badan atau menyebabkan hipoglikemia, karena itu metformin

    menawarkan keuntungan yang melebihi insulin ataupun sulfonilurea pada

    pasien tersebut (Katzung, 2009).

    Metformin biasanya diberikan 2-3 kali sehari 500 mg. Dosis dapat

    ditambahkan jika perlu dengan maksimal dosis 2500 mg per hari

    (PERKENI, 2006).

    Efek samping yang umum dari metformin adalah kehilangan nafsu

    makan, mual atau muntah, kembung perut, atau sakit, gas dan diare. Efek

    samping yang jarang namun serius adalah asidosis laktat. Gejalanya

    termasuk kelelahan, kelemahan, nyeri otot, pusing dan mengantuk

    (Departemen Kesehatan RI, 2005).

    Kontraindikasi metformin adalah pasien yang memiliki penyakit

    ginjal, hati, infeksi atau trauma berat, dehidrasi dan mereka yang minum

    alkohol berlebihan (Sukandar et al., 2008). Selain itu, metformin juga

    tidak boleh diberikan pada pasien dengan penyakit jantung kongestif dan

    wanita hamil (Departemen Kesehatan RI, 2005).

    b. Sulfonilurea

    Sulfonilurea bekerja merangsang sekresi insulin di kelenjar

    pancreas. Sulfonilurea umumnya digunakan jika metformin tidak cukup

  • 7/24/2019 Panduan Tentang Pemberian Informasi Mendapatkan Hasil Penelian Pengobatan Pasien

    12/24

    12

    mengontrol kadar gula darah bila dikonsumsi sendirian. Sulfunilurea

    diminum 15-30 menit sebelum makan (PERKENI, 2006).

    Efek samping sulfonilurea adalah dapat menyebabkan gula darah

    rendah, yang dikenal sebagai hipoglikemia (PERKENI, 2006). Namun, hal

    ini merupakan masalah biasa dan tidak mungkin terjadi jika makan secara

    teratur, tidak lewatkan makan, dan tidak minum alkohol terlalu banyak.

    Gejala gula darah rendah dapat berupa berkeringat, goncangan, merasa

    lapar dan cemas.

    Kontraindikasi sulfonilurea adalah pasien yang memiliki gangguan

    hati atau fungsi ginjal, wanita hamil, pada pasien usia lanjut karena resiko

    hipoglikemik akan meningkat, porfiria, ketoasidosis (Sukandar et al.,

    2008).

    c.

    Thiazolidinedion

    Dua macam obat dari golongan Thiazolidinedion adalah

    rosiglitazone dan pioglitazone (Katzung, 2009). Pioglitazon adalah

    alternatif untuk sulfonilurea. Pioglitazone bekerja menurunkan kadar gula

    darah dengan cara meningkatkan sensitivitas tubuh terhadap insulin

    dengan jalan berikatan dengan PPAR (peroxisome proliferator activated

    receptor-gamma) di otot, jaringan lemak, dan hati untuk menurunkan

    resistensi insulin (Departemen Kesehatan RI, 2005). Biasanya obat ini

    dalam bentuk kombinasi dengan obat lain seperti metformin, sulfonilurea,

    atau insulin dan lebih efektif dalam bentuk kombinasi. Obat ini tidak

    tergantung dengan jadwal makan (PERKENI, 2006).

  • 7/24/2019 Panduan Tentang Pemberian Informasi Mendapatkan Hasil Penelian Pengobatan Pasien

    13/24

    13

    d.

    Meglitinide

    Repaglinide merupakan salah satu contoh dari golongan

    meglitinde. Repaglinida adalah pilihan bagi orang yang tidak dapat

    menggunakan sulfonilurea atau lebih memilih untuk menghindari

    suntikan. Meglitinide bekerja untuk menurunkan kadar gula darah, mirip

    dengan sulfonilurea.

    Meglitinide mempunyai efek puncak dan kadar puncak dalam

    serum darah dalam waktu 1 jam. Karena masa kerjanya sangat cepat, obat

    ini cocok untuk mengendalikan glukosa post-prandial. (Katzung, 2009)

    e.

    Penghambat -glukosidase

    Penghambat -glukosidase meliputi akarbose dan miglitol, bekerja

    dengan mengganggu penyerapan karbohidrat dalam usus. Penghambat -

    glukosidase membantu menurunkan kadar gula darah, tapi mekanisme

    aksinya tidak seperti metformin atau sulfonilurea. Efek samping yang

    tidak diinginkan dari penggunaan obat ini adalah flatulensi, diare, dan

    nyeri abdominal. Pada penggunaan monoterapi tidak terdapat masalah

    yang berarti, namun saat dikombinasikan dengan sulfonilurea, dapat

    terjadi hipoglikemia. Golongan ini dikontraindikasikan pada pasien

    dengan penyakit usus besar kronis atau peradangan usus besar.

    Penggunaan akarbose pada penderita penyakit hati perlu diawasi (Katzung,

    2009).

  • 7/24/2019 Panduan Tentang Pemberian Informasi Mendapatkan Hasil Penelian Pengobatan Pasien

    14/24

    14

    f.

    DPP IVInhibitor

    Ada pula langkah dalam pencegahan komplikasi DM, yaitu dengan cara

    yang disebut self care. Self care meliputi pemeriksaan kesehatan secara rutin

    (general check-up), menghindari rokok, perawatan gigi (penderita DM rentan

    infeksi gusi), kesehatan kaki (DM dapat menyerang saraf), pengawasan konsumsi

    alkohol (dapat menurunkan kadar gula namun penggunaannya harus dibatasi),

    serta menghindari pemicu stress (Anonim, 2011).

    3. Pengetahuan dan Pemahaman Masyarakat serta Keterkaitannya Dengan

    Kepatuhan Pasien Terhadap Penggunaan Obat

    Peran farmasis adalah memastikan pasien mendapat pemahaman,

    pengetahuan, dan ketrampilan yang cukup dalam aturan pakai farmakoterapi dan

    rencana monitoring (ASHP, 1997). Sering kali aspek-aspek tersebut

    (concordance) diidentikkan dengan compliance / kesesuaian (adherence /

    kepatuhan) (Hussar, 2000 ; Palaian et al., 2006).

    Penyebab dari ketidakpatuhan pasien mungkin disebabkan oleh

    pengetahuan pengobatan dan ketrampilan pasien yang tidak memadai. Idealnya,

    pasien harus memiliki pemahaman yang baik tentang mengapa pengobatan

    mereka sangat penting dan bagaimana menggunakan obat (pengetahuan), serta

    kemampuan untuk menggunakan obat (ketrampilan). Minimal pasien harus tahu

    tentang dosis, frekuensi dan dasar pemikiran untuk tepat menggunakan obat dan

    memiliki kemampuan untuk membaca label obat, membuka botol obat dan

  • 7/24/2019 Panduan Tentang Pemberian Informasi Mendapatkan Hasil Penelian Pengobatan Pasien

    15/24

    15

    membedakan atribut fisik obat mereka seperti warna dan bentuk (Nikolaus et al.,

    1996).

    Pada penderita penyakit kronis, pemahaman, pengetahuan, dan

    ketrampilan dapat meningkatkan kesadaran (kognisi) mengenai penanganan

    penyakit (self disease management) sehingga secara tidak langsung menyangkut

    peningkatan dari kualitas hidup dari pasien itu sendiri (Lewis et al., 1997 ;

    Malathy et al., 2011). Contohnya penyakit diabetes melitus yang telah banyak

    studi menyebutkan, tingkat pengetahuan mempengaruhi kontrol penyakit diabetes

    (Asha et al., 2004). Beberapa penelitian lain menyebutkan, pada pasien yang telah

    diberi edukasi (pengetahuan) memperlihatkan kontrol glikemik yang lebih baik.

    Hal tersebut berasosiasi dengan berkurangnya simptom, mood yang lebih baik,

    dan kebugaran tubuh, yang pada akhirnya berdampak pada quality of life dan

    keuntungan ekonomi bagi pasien (Ferdinad et al., 1996 ; Testa et al., 1998).

    4. Kepatuhan Dalam Pengobatan

    Kepatuhan (adherence) adalah kepatuhan yang memerlukan persetujuan

    pasien yang kemudian menjadi aturan yang telah disepakati antara penyedia

    layanan kesehatan dengan pasien, yang didasarkan pada argumen bahwa pasien

    harus menjadi mitra aktif dengan tenaga kesehatan yang profesional dalam

    perawatan diri mereka sendiri dan terjadi komunikasi yang baik antara pasien dan

    tenaga kesehatan adalah suatu keharusan untuk praktek klinis yang efektif.

    Sedangkan kesesuaian (compliance) lebih kepada kepatuhan terhadap hal yang

    telah disampaikan penyedia layanan kesehatan secara sepihak tanpa persetujuan

  • 7/24/2019 Panduan Tentang Pemberian Informasi Mendapatkan Hasil Penelian Pengobatan Pasien

    16/24

    16

    pasien (WHO, 2003). Namun ada beberapa literatur yang menyebutkan bahwa

    adherence dan complianceadalah kata lain dengan makna yang sama (McDonald

    et al., 2002).

    Faktor-faktor yang menyebabkan perbedaan tingkat kepatuhan dalam

    pengobatan menurut Rapoff (2010) antara lain:

    a. Faktor pasien atau keluarganya, meliputi demografi (seperti umur dan

    jenis kelamin), sosial ekonomi, ras (misalnya beberapa kaum minoritas

    biasanya memiliki kepatuhan yang rendah), dan pengetahuan. Dalam

    pedoman konseling Departemen Kesehatan RI (2006), kepribadian,

    motivasi diri, dukungan keluarga, dan komunikasi juga bisa

    mempengaruhi.

    b. Faktor-faktor yang berhubungan dengan penyakit, seperti lamanya

    menderita penyakit (perbedaan kepatuhan pada penyakit akut dan kronis),

    lamanya terapi berlangsung / course therapy (kepatuhan menurun seiring

    durasi terapi yang bertambah), gejala atau keparahan penyakit (tingkat

    keparahan penyakit yang lebih tinggi cenderung akan lebih patuh terhadap

    pengobatan yang diberikan), persepsi pasien tentang tingkat keparahan

    penyakit. Faktor yang berhubungan dengan obat, seperti bentuk sediaan

    dan kompleksitas penggunaannya, harga, efek samping, efikasi

    pengobatan.

    Sedangkan dari hasil publikasi McDonald et al.(2002) dapat ditambahkan

    faktor yang berpengaruh terhadap kepatuhan dapat ditambahkan beberapa hal,

    seperti:

  • 7/24/2019 Panduan Tentang Pemberian Informasi Mendapatkan Hasil Penelian Pengobatan Pasien

    17/24

    17

    a.

    Faktor fisik dan psikologis. Pasien dengan permasalahan psikiatrik akan

    lebih rendah kepatuhannya namun pasien dengan kekurangan fisik yang

    terjadi akibat penyakit biasanya akan lebih tinggi kepatuhannya.

    b. Faktor penyedia layanan kesehatan. Pasien cenderung melewatkan

    appointmentdan berhenti dari pengobatan jika terlalu lama menunggu di

    penyedia layanan kesehatan atau jarak antar appointment satu dengan

    lainnya terlalu jauh. Pemberian informasi yang tepat dan komunikasi yang

    baik dari penyedia layanan kesehatan dapat meningkatkan kepatuhan

    (Depkes RI, 2006).

    Ketidakpatuhan akan berdampak pada kesehatan pasien secara umum,

    menurunkan cost effectiveness / efektivitas biaya, serta meningkatkan tingkat

    kesulitan dalam pengambilan keputusan klinis (clinical decision) karena

    membiaskan penilaian efektivitas pengobatan (Rapoff, 2010). Pada penyakit

    kronis, ketidakpatuhan terhadap pengobatan akan mengarah pada hasil yang lebih

    buruk, tingkat hospitalisasi yang lebih tinggi, dan biaya pengobatan yang lebih

    tinggi (Kripalani, 2007).

    Sackett mereview dari beberapa literatur bahwa tingkat kepatuhan pasien

    dengan terapi jangka panjang hanya 50%. Dari kegagalan ini terlihat bahwa

    ketidakpatuhan menjadi salah satu tantangan terapi terbesar bagi para profesional

    kesehatan (Suppapitiporn et al., 2005).

    Intervensi dibutuhkan untuk meningkatkan edukasi pasien, meningkatkan

    perilaku dan kemampuan self-treatment, memfasilitasi indentifikasi dan

    pemakaian obat sendiri oleh pasien, dan meningkatkan monitoring penggunaan

  • 7/24/2019 Panduan Tentang Pemberian Informasi Mendapatkan Hasil Penelian Pengobatan Pasien

    18/24

    18

    obatnya. Sebagai tambahan atas intervensi berbasis pasien, peningkatan hal lain

    dapat juga memfasilitasi proses pengobatan seperti pendokumentasian kepatuhan

    pengobatan pasien dan memperbaiki komunikasi antara pemberi layanan

    kesehatan dengan pasien terkait dengan kepatuhan pengobatan. Intervensi yangb

    efektif dapat berupa kombinasi pelayanan yang lebih memuaskan, pemberian

    informasi, pengingatan kembali, self-monitoring, penguatan kembali tentang

    terapi, konseling, terapi keluarga, terapi psikologi, intervensi krisis, follow up

    manual dengan telepon, dan pelayanan pendukung (supportive care) (Carey dan

    Cryan, 2003).

    5. Pelayanan Kefarmasian Di Rumah (Home Care Pharmacy)

    Pelayanan kefarmasian di rumah oleh farmasis adalah pendampingan

    pasien oleh farmasis dalam pelayanan kefarmasian di rumah dengan persetujuan

    pasien atau keluarganya (Depkes RI, 2008). Pelayanan kefarmasian di rumah

    merupakan suatu pelayanan kepada pasien yang dilakukan di rumah khususnya

    untuk kelompok pasien lanjut usia dan pasien yang menggunakan obat dalam

    jangka waktu lama seperti penggunaan obat-obat kardiovaskular, diabetes,

    tuberkulosis, asma dan penyakit kronis lainnya, dengan harapan dapat

    meningkatkan pengetahuan dan kepatuhan pasien dalam penggunaan obat

    (Depkes RI, 2008).

    Secara khusus, tujuan dari dilakukannya pelayanan kefarmasian di rumah

    oleh farmasis adalah terlaksananya pendampingan pasien oleh farmasis untuk

    mendukung efektifitas, keamanan dan kesinambungan pengobatan, terwujudnya

  • 7/24/2019 Panduan Tentang Pemberian Informasi Mendapatkan Hasil Penelian Pengobatan Pasien

    19/24

    19

    komitmen, keterlibatan dan kemandirian pasien dan keluarga dalam penggunaan

    obat dan atau alat kesehatan yang tepat, terwujudnya kerjasama profesi kesehatan,

    pasien dan keluarga (Depkes RI, 2008). Salah satu tujuan pelayanan kefarmasian

    di rumah adalah untuk memastikan keamanan, ketepatan dan efektivitas

    penggunaan obat di rumah dan juga memberikan edukasi kepada keluarga pasien

    yang seringkali tidak punya pengalaman dalam menggunakan obat sehingga dapat

    memberikan dukungan kepada pasien untuk dapat menggunakan obat dengan

    tepat (ASHP, 1999).

    Kegiatan pelayanan kefarmasian di rumah tidak dapat diberikan pada

    semua pasien, mengingat waktu pelayanan yang cukup lama dan

    berkesinambungan. Oleh karena itu diperlukan seleksi pasien dengan menentukan

    prioritas pasien yang dianggap perlu mendapatkan pelayanan kefarmasian di

    rumah. Pasien yang perlu mendapat pelayanan kefarmasian di rumah antara lain :

    a. Pasien yang menderita penyakit kronis dan memerlukan perhatian khusus

    tentang penggunaan obat, interaksi obat dan efek samping obat,

    b. Pasien dengan terapi jangka panjang misalnya pasien tuberkulosis, HIV/AIDS,

    diabetes melitus, dan lain-lain,

    c.

    Pasien dengan risiko adalah pasien dengan usia 65 tahun atau lebih dengan

    regimen pengobatan yang kompleks (Depkes RI, 2008).

    Edukasi dan konseling akan berlangsung efektif saat dilakukan dalam

    ruangan tertutup yang memberikan privasi dan kesempatan bagi pasien dan

    farmasis untuk terlibat dalam komunikasi yang bersifat rahasia (ASHP, 1997).

  • 7/24/2019 Panduan Tentang Pemberian Informasi Mendapatkan Hasil Penelian Pengobatan Pasien

    20/24

  • 7/24/2019 Panduan Tentang Pemberian Informasi Mendapatkan Hasil Penelian Pengobatan Pasien

    21/24

    21

    c.

    Pemberian informasi obat

    Informasi obat meliputi tujuan pengobatan, dosis dan efektivitas obat, cara

    penggunaan, frekuensi dan durasi penggunaan, efek samping, interaksi,

    serta cara penyimpanan obat.

    d. Verifikasi Akhir dan menutup diskusi

    Farmasis memastikan pasien telah memahami informasi yang diperoleh.

    Farmasis juga menanyakan apakah ada hal-hal yang tidak dimengerti,

    mengulang pernyataan-pernyataan penting selama konseling dan

    mempertegasnya. Kemudian ditutup dengan salam, ucapan yang

    memotivasi pasien dan terima kasih.

    e. Follow up, dokumentasi, dan evaluasi

    Dilakukan untuk mengukur kemampuan atau efektivitas pelayanan dan

    mencari upaya untuk meningkatkan mutu pelayanan.

    (Depkes RI, 2006 dan ASHP. 1997)

    Evaluasi terhadap pelayanan klinis farmasis menunjukkan bahwa

    konseling terhadap pasien dan dokter dapat memperbaiki luaran yang berupa

    kepatuhan pengobatan dan pengetahuan pasien mengenai obatnya (Morrison dan

    Wertheimer, 2001). Penelitian yang dilakukan oleh Bouvy et al., (2003),

    menunjukkan bahwa program konseling intensif yang dilakukan oleh farmasis

    selama 3 bulan meningkatkan kepatuhan pengobatan pasien gagal jantung dari

    61% hingga 93%. Review pengobatan oleh farmasis, konseling pasien, dan tindak

    lanjut melalui telepon juga dihubungkan dengan tingkat Adverse Drug Events

  • 7/24/2019 Panduan Tentang Pemberian Informasi Mendapatkan Hasil Penelian Pengobatan Pasien

    22/24

    22

    yang lebih rendah setelah 30 hari sejak pengobatan rawat inap dihentikan

    (Schnipper et al., 2006). Rekomendasi farmasis tidak hanya memperbaiki kualitas

    hidup pasien namun juga menghemat biaya pengobatan. Farmasis dapat

    meningkatkan luaran terapi obat dengan memastikan efikasi, meminimalkan

    toksisitas, dan meningkatkan kepatuhan pasien (Oh et al., 2002).

    7. Teori Perubahan Perilaku Pasien The Precaution Adoption Process Model

    (PAPM)

    Komponen utama dalam konseling kepada pasien adalah pertimbangan

    psikologi pasien, sehingga keberhasilan dalam mempengaruhi pasien untuk

    sampai kepada perubahan perilaku harus memperhatikan teori-teori perilaku

    kesehatan pasien (health behavior) terutama teori yang berkaitan dengan

    perubahan perilaku (Rantucci, 2007). Salah satu teori perubahan perilaku adalah

    teori The Precaution Adoption Process Model(PAPM) yang dikembangkan oleh

    Weinstein dan Sandman tahun 1992 (Glanz et al., 2008). Teori PAPM

    menjelaskan bagaimana seseorang sampai pada keputusan untuk melakukan aksi

    tertentu dan bagaimana orang tersebut mentranslasikan keputusannya menjadi

    aksi. Ada 7 langkah perubahan yang dijelaskan dalam teori ini, seperti terlihat

    pada gambar 2.

  • 7/24/2019 Panduan Tentang Pemberian Informasi Mendapatkan Hasil Penelian Pengobatan Pasien

    23/24

    23

    8.

    9.

    10.

    Gambar 2. Tahap-tahap yang terjadi dalam Precaution Adoption Process Model(Glanz et al.,

    2008)

    Dalam proses transisi antar tahap dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang

    diterima oleh pasien. Faktor-faktor tersebut antara lain seperti terlihat pada tabel

    III (Glanz et al., 2008).

    Tabel III. Faktor-faktor yang berpengaruh dalam proses tansisi individu ke tahapan proses

    berikutnya dalam model PAPM (Glanz et al., 2008)

    Transisi tahap Faktor yang mempengaruhi

    Tahap 1 ke tahap 2 Informasi dari media atau informasi lain yang diterima

    Tahap 2 ke tahap 3 Informasi dari media atau informasi lainKomunikasi dengan orang yang dipercaya

    Pengalaman pribadi

    Tahap 3 ke tahap 4 / 5 Kepercayaan terhadap keparahan

    Kepercayaan terhadap kerentanan dirinya

    Rekomendasi perubahan perilaku oleh orang lain

    Takut dan khawatir

    Tahap 5 ke tahap 6 Waktu, usaha dan sumber-sumber yang diperlukan untuk melakukan

    tindakan

    Informasi detail tentang bagaimana melakukan suatu tindakan

    Pengingatan dan faktor lain yang mengingatkan untuk melakukan

    tindakanBantuan dalam melakukan tindakan yang diharapkan

    Tahap 4.Memutuskan

    untuk tidak

    melakukan

    Tahap 3.

    Belum memutuskan

    untuk melakukan

    tindakan

    Tahap 1.

    Tidak peduli

    terhadap suatu

    isu/masalah

    Tahap 2.

    Belum

    tergerak oleh

    isu/masalah

    Tahap 5.

    Memutuskan

    untuk melakukan

    tindakan

    Tahap 6.

    Melakukan

    tindakan

    Tahap 7.

    Melakukan

    tindakan

    dengan ajeg

  • 7/24/2019 Panduan Tentang Pemberian Informasi Mendapatkan Hasil Penelian Pengobatan Pasien

    24/24

    24

    Konseling yang dilakukan oleh farmasis diharapkan dapat mendeteksi

    permasalahan pasien dan kesiapan pasien dalam melakukan perubahan untuk

    mencapai hasil yang diharapkan. Konseling yang dilakukan harus disesuaikan

    dengan kebutuhan individu masing-masing pasien untuk berproses menuju tahap

    berikutnya dengan tujuan akhir sampai pada tahap perubahan perilaku yang

    kokoh.

    G. Keterangan Empiris

    Dari teori perubahan perilaku PAPM tersebut, maka keterangan empiris

    yang diharapkan dari penelitian ini adalah peningkatan pengetahuan

    (concordance) dan kepatuhan melalui pemberian konseling. Dengan peningkatan

    pengetahuan ini diharapkan pasien dapat berproses menuju ke tahap berikutnya

    sesuai dengan proses dalam PAPM sehingga hasil akhir yang diharapkan adalah

    kepatuhan pasien dalam menggunakan obat antidiabetes oral.