responsi rheuma dr.putra awal

Upload: agnes-wanda-suwanto

Post on 10-Feb-2018

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 7/22/2019 Responsi Rheuma Dr.putra Awal

    1/41

    RESPONSI KASUS RHEUMATOLOGI

    SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS

    Oleh:

    Ganang Dwi Cahya 0810710048

    Inneke Kusuma Basuki 0810713070

    Royan Mechi Varendra 0810713049

    Agnes Wanda Suwanto 0810713044

    Pembimbing:

    Dr. dr. BP Putra Suryana, Sp.PD-KR

    Laboratorium Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Univarsitas Brawijaya

    Rumah Sakit Umum Dr. Saiful AnwarMalang

    2012

    1

  • 7/22/2019 Responsi Rheuma Dr.putra Awal

    2/41

    BAB I

    PENDAHULUAN

    Systemic Lupus Erythematosus (SLE) merupakan suatu penyakit inflamasi

    kronis akibat autoimun yang menyerang berbagai sistem dalam tubuh, di

    antaranya kulit, sendi, ginjal, paru- paru, dan sistem syaraf. Pada SLE, tubuh

    memproduksi autoantibody untuk melawan autoantigen sehingga membentuk

    kompleks imun yang dapat terdeposit pada seluruh organ dalam tubuh. SLE

    merupakan kelainan autoimun dengan broad spectrum presentasi klinis. Karena

    bisa didapatkan bermacam- macam tanda dan gejala yang menyerupai penyakit

    lain, penyakit ini disebut sebagai TheGreat Imitator(GinzlerandTayar, 2008).

    Penyakit ini sembilan kali lebih banyak menyerang wanita dibanding laki-

    laki dengan onset usia awal 40 tahun. Ras etnis seperti Afrika dan Asia memiliki

    resiko lebih tinggi menderita SLE dibandingkan dengan ras Kaukasia. Insiden

    tahunan SLE di Eropa bervariasi sekitas 3,3 kasus dalam 100.000 populasi

    dengan prevalensi tertinggi di Swedia yaitu sebesar 39 kasus per 100.000

    populasi. Di Amerika Serikat, didapatkan insiden bervariasi sebesar 1,8 hingga7,6 kasus dalam 100.000 populasi setiap tahun. Prevalensi bervariasi antara

    14,6 hingga 50 kasus dalam 100.000 populasi. Prevalensi dan Insiden SLE di

    Indonesia diperkirakan mengalami peningkatan (Cervera et al., 2009). Jadi,

    prevalensi terjadinya SLE secara luas di seluruh dunia berkisar mulai dari 14

    sampai 172 kasus per 100.000 orang dengan insiden tahunan berkisar mulai dari

    1,8 sampai 7,6 kasus per 100.000 (Wallace, 2008).

    Semula SLE digambarkan sebagai suatu gangguan kulit, pada sekitar

    tahun 1800-an, dan diberi nama lupus karena sifat ruamnya yang berbentuk

    kupu- kupu, melintasi tonjolan hidung dan meluas pada kedua pipi yang

    menyerupai gigitan serigala (lupus adalah kata dari bahasa Latin yang berarti

    serigala). Lupus discoid adalah nama yang sekarang diberikan pada penyakit ini

    apabila kelainannya hanya terbatas pada gangguan kulit.

    SLE adalah salah satu kelompok penyakit jaringan ikat difus yang

    etiologinya tidak diketahui. SLE dapat bervariasi dari suatu gangguan ringan

    sampai suatu gangguan yang bersifat fulminan dan mematikan. Namun

    demikian, keadaan yang paling sering ditemukan adalah keadaan eksaserbasi

    2

  • 7/22/2019 Responsi Rheuma Dr.putra Awal

    3/41

    atau hampir remisi yang berlangsung dalam waktu yang lama. Identifikasi dan

    penatalaksanaan dini SLE biasanya dapat memberikan prognosis yang lebih baik

    karena prognosis SLE bergantung pada keparahan gejala, organ- organ yang

    terkena, dan lama waktu remisi dipertahankan. SLE tidak dapat disembuhkan,

    sedangkan penatalaksanaan hanya untuk mengatasi gejala. Prognosis berkaitan

    dengan sejauh mana gejala- gejala ini dapat diatasi.

    Insiden herpes zoster ditentukan pada pasien dengan lupus eritematosus

    sistemik (SLE) dan seluler dan humoral kekebalan terhadap varicella-zoster virus

    (VZV) survei di 45 dari 92 pasien. Insiden herpes zoster adalah tinggi, terjadi

    pada 40 pasien (43%), meskipun itu jinak di semua. Pasien dengan SLE yang

    memiliki zoster menunjukkan antibodi secara signifikan lebih tinggi dari pada

    pasien SLE pada umumnya. Tingginya insiden zoster pada pasien dengan SLE

    adalah mungkin karena cacat pada imunitas seluler sekuritas dan antibodi

    normal atau meningkat VZV tidak akan bertindak sebagai tindakan pencegahan

    terhadap herpes zoster. Selain itu, reaktivasi VZV, gejala atau tidak, sering

    tampak terjadi pada pasien dengan SLE. Herpes zoster, suatu bentuk infeksi

    berulang varicella-zoster virus (VZV), sering dapat mengembangkan dalam 2

    subyek lansia dan immunocompromised host. Ini termasuk pasien keganasan,khususnya lymphoproliferative penyakit, dan beberapa jenis autoimun penyakit,

    seperti systemic lupus erythematosus (SLE). 15 Penindasan imunitas seluler

    telah terlibat dalam patogenesis VZV reaktivasi, herpes zoster, untuk

    berulang VZV infeksi pada pasien dengan antibodi terhadap tujuh VZV.4

    Imunologi studi pasien dengan SLE menunjukkan hipersensitivitas tertunda

    cacat Reaksi " dan immunlity humoral hiperaktif. 12 Jan kortikosteroid atau

    imunosupresif Pengobatan untuk SLE, atau keduanya, dapat menyebabkan

    pengurangan lebih lanjut dari perlawanan tuan rumah untuk infeksi. 13 14

    Hubungan antara herpes zoster dengan SLE belum sepenuhnya diselidiki,

    Namun, dan ada beberapa laporan mengenai hal ini. Dalam '9 kami Mengamati

    10 tahun pasien dengan Kami mencatat bahwa herpes zoster terjadi pada pasien

    dengan SLE lebih sering daripada tidak diharapkan. Kami melaporkan di sini

    kejadian zoster pada pasien dengan SLE, dan efek imunologi status patogenesis

    herpes zoster dibahas.

    3

  • 7/22/2019 Responsi Rheuma Dr.putra Awal

    4/41

    BAB 2

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Definisi Systemic Lupus Erythematosus (SLE)

    Systemic Lupus Erythemathosus (SLE) merupakan penyakit multisistem

    dimana etiologinya masih belum diketahui dengan pasti. Pendapat paling kuat

    SLE merupakan suatu penyakit autoimun kronis dimana organ dan sel

    mengalami kerusakan yang disebabkan oleh tissue-binding autoantibodi dan

    kompleks imun yang berhubungan dengan autoantibodi terhadap komponen inti

    sel (antinuclear antibodies [ANA]). SLE ditandai dengan inflamasi multi sistem.

    Pada keadaan awal, sering sukar dikenali sebagai SLE, karena manifestasinya

    sering tidak terjadi bersamaan. Manifestasi klinis bervariasi dari gejala ringan

    sampai gejala yang mengancam nyawa, selain itu, dapat muncul eksaserbasi

    akut maupun kronis. Pasien dengan SLE memiliki kelainan sistem imun humoral

    dan seluler. (Isbagio, 2008)

    2.2 Epidemiologi dan Prevalensi Systemic Lupus Erythematosus (SLE)

    Dalam 30 tahun terakhir, SLE menjadi salah satu penyakit rematik utama

    di dunia. Prevalensi pada berbagai negara bervariasi antara 2,9/100.000

    400/100.000. SLE dapat terjadi pada semua usia, pada umumnya antara 15

    sampai 40 tahun. Penyakit ini lebih sering menyerang wanita, dengan

    perbandingan rasio wanita : pria 9 : 1 pada dewasa. Di New Zealand, terjadi

    perbedaan prevalensi antara etnis Polynesian sebanyak 50 kasus per 100.000

    populasi dengan orang kulit putih sebesar 14,6 kasus dalam 100.000 populasi.

    Estimasi prevalensi SLE di Indonesia 0,4-0,5%, yaitu sekitar 1,3 juta penduduk

    Indonesia. Pada lupus eritematosus yang diinduksi obat, rasionya lebih rendah

    3 : 2. Insiden di Yogyakarta antara tahun 1983 1986 adalah 10,1/10.000

    perawatan. Di Jakarta, antara tahun 1988 1990, sebesar 37,7/10.000

    perawatan. (Velazquez, 2002)

    4

  • 7/22/2019 Responsi Rheuma Dr.putra Awal

    5/41

  • 7/22/2019 Responsi Rheuma Dr.putra Awal

    6/41

    merupakan faktor resiko terjadinya AVN. Selain itu juga terjadi

    osteoporosis dan memburuk dengan penggunaan steroid. Myositis

    jarang terjadi, namun dapat terjadi karena kortikosteroid dan

    hidroksiklorokuin. Fibromyalgia juga ditemukan pada SLE. (Isbagio,

    2008)

    3. Gejala Mukokutaneus : Pasien mengalami fotosensitif dengan

    manifestasi di kulit dan sistemik karena sinar matahari. Terdapat

    tanda klasik butterfly rash yang terdistribusi malar namun tidak di

    lipatan nasolabial. Lesi lainnya dapat berupa diskoid LE, sub acute

    cutaneous lupus erythematosus, lupus profundus/paniculitis, alopesia,

    eritema periungual, livedo retikularis, teleangiektasis, fenomena

    Raynauds / vaskulitis / bercak yang menonjol berwarna putih perak

    atau bercak eritematus pada palatum molle dan palatum durum,

    bercak atrofis, eritema, atau depigmentasi pada bibir. (Myers, 2001)

    4. Manifestasi Paru : Pasien dapat mengalami penumonitis, emboli paru,

    hipertensi pulmonum, perdarahan paru, atau shrinking lung syndrome.

    Pasien akan merasa sesak, batuk kering, dan dijumpai ronkhi di

    basal. Hal ini disebabkan deposisi kompleks imun pada alveolus atau

    pembuluh darah paru, baik disertai vaskulitis maupun tidak.

    Manifestasi yang sering adalah pleuritis dengan atau tanpa efusi

    pleura. Jika manifestasi ini ringan maka akan berespon terhadap

    terapi NSAID, jika lebih parah maka pasien memerlukan terapi

    glukokortikoid. Infiltrat pada paru juga merupakan manifestasi yang

    muncul, yang sulit dibedakan dengan infeksi pada pemeriksaan

    radiologis. Manifestasi SLE pulmonal yang mengancam jiwa antara

    lain, yaitu inflammasi interstitial, yang bisa mengarah pada fibrosis

    dan perdarahan intraalveolar. Keduanya memerlukan pengobatan

    imunosupressi agresif dan terapi suportif segera setelah onset. (Hahn,

    2010)

    5. Manifestasi Renal : Nefritis adalah manifestasi klinis yang paling

    serius karena bersama dengan infeksi. Nefritis asimptomatik pada

    kebanyakan pasien lupus, oleh karena itu urinalisis harus dilakukan

    pada setiap pasien yang dicurigai menderita SLE. Klasifikasi lupus

    nefritis didasarkan pada gambaran histologisnya. Pasien dengan

    6

  • 7/22/2019 Responsi Rheuma Dr.putra Awal

    7/41

    bentuk kerusakan glomerolus yang proliferatif, biasanya menunjukkan

    gambaran mikroskopik hematuria dan proteinuria (>500 mg/24 jam),

    sekitar setengahnya berkembang menjadi sindroma nefrotik dan

    kebanyakan berkembang menjadi hipertensi. Oleh karena itu,

    immunosupresif aggresif (glukokortikoid sistemik ditambah dengan

    obat sitotoksik) diindikasikan, kecuali sudah irreversibel. Beberapa

    pasien dengan proteinuria mempunyai perubahan glomerular

    membranous tanpa proliferasi pada biopsi ginjal memberikan

    prognosis yang lebih baik daripada DPGN. Lupus nefritis bisa terus

    berkembang dan memerlukan terapi kembali jika kambuh. Pada

    kebanyakan pasien dengan lupus nefritis, percepatan atherosklerosis

    bisa memberikan manifestasi seperti hipertensi, hiperlipidemia, dan

    hiperglikemia setelah beberapa tahun. (Isbagio, 2008)

    6. Manifestasi CNS : Banyak manifestasi klinis yang berhubungan

    dengan CNS pada pasien dengan SLE, pada beberapa pasien

    menjadi penyebab morbiditas dan mortalitas. Jika keluhan

    berhubungan dengan SLE maka harus dibedakan apakah keluhan

    tersebut berhubungan dengan proses difus atau penyakit oklusi

    vaskular. Gejala yang paling sering muncul adalah gangguan kognitif,

    dengan muncul gangguan pada memori dan penalaran. Sakit kepala

    juga mungkin muncul mulai dari migrain, tension headache sampai

    vertigo. Gejala CNS lain yang mungkin muncul pada pasien SLE

    adalah seizure, psikosis, dan myelopati. Pemberian glukokortikoid

    dosis tinggi direkomendasikan dan dimulai dari beberapa jam sampai

    beberapa hari sejak onset. (Isbagio, 2008)

    7. Manifestasi Vaskuler : TIA, stroke, dan infark myokard meningkat

    pada pasien SLE. Kejadian ini berhubungan dengan adanya antibodi

    phospholipid (aPL). Tes untuk aPL dan pencarian terhadap sumber

    emboli perlu dilakukan untuk mengetahui intensitas dan durasi terapi

    anti-inflammasi dan antikoagulan. Iskemik otak bisa disebabkan oleh

    oklusi fokal atau embolisasi dari plak arteri karotis atau fibrin dari

    Libman-Sachs endocarditis. Pada SLE, infark myokard adalah

    manifestasi utama atherosklerosis yang cepat. Peningkatan kejadian

    yang berhubungan dengan vaskular dan atherosklerosis ini

    7

  • 7/22/2019 Responsi Rheuma Dr.putra Awal

    8/41

    dihubungkan dengan umur tua, hipertensi, dislipidemia, aPL, aktivitas

    penyakit yang berulang, dan akumulasi tinggi glukokortikoid. Jika

    kejadian ini akibat dari clotting maka penggunaan antikoagulan jangka

    panjang merupakan terapi pilihan. Kedua proses oklusi dan vaskulitis

    dapat terjadi bersamaan sehingga memerlukan terapi yang tepat

    dengan antikoagulan dan imunosuppresan. (Hahn, 2010)

    8. Manifestasi Jantung : yang paling sering adalah pericarditis yang

    biasanya berespon terhadap terapi antiinflammasi dan jarang menjadi

    tamponade jantung. Manifestasi yang lebih serius yaitu myokarditis

    dan fibrinous endokarditis (Libman-Sachs). Keterlibatan endokard bisa

    menyebabkan insufisiensi katup, umumnya katup mitral atau aorta

    dan juga bisa terjadi embolus. Belum terbukti penggunaan

    glukokortikoid atau terapi imunosuppresan lain berguna dalam

    perbaikan lupus myokarditis atau endokarditis, tapi biasa digunakan

    steroid dosis tinggi untuk gagal jantung, aritmia, dan kejadian emboli.

    Pasien SLE mempunyai resiko lebih tinggi terkena infark myokard

    akibat atherosklerosis. (Hahn, 2010)

    9. Manifestasi Hematologi : berupa anemia, biasanya normokhrom

    normositer, yang merefleksikan penyakit kronis. Hemolisis bisa

    muncul dengan onset yang cepat dan parah, memerlukan terapi

    glukokortikoid dosis tinggi, yang efektif untuk kebanyakan pasien.

    Leukopenia sering juga muncul dan umumnya disertai dengan

    lymphopenia, bukan granulositopenia, jarang sebagai predisposisi

    infeksi dan jarang memerlukan terapi. Thrombositopenia juga bisa

    muncul. Jika kadar thrombosit > 40.000/L dan tidak ada perdarahan

    abnormal maka terapi tidak diperlukan. Dosis tinggi glukokortikoid

    (prednison 1 mg/kgBB perhari ato ekuivalen) biasanya efektif untuk

    beberapa episode pertama trombositopenia yang parah. (Isbagio,

    2008)

    10. Manifstasi Saluran Pencernaan : mual kadang disertai muntah dan

    diare dapat bermanifestasi pada pasien SLE, begitu juga dengan nyeri

    abdomen difus yang disebabkan oleh autoimun peritonitis.

    Peningkatan serum AST dan ALT biasa muncul pada pasien dengan

    SLE aktif. Manifestasi ini bisa membaik dengan pemberian terapi

    8

  • 7/22/2019 Responsi Rheuma Dr.putra Awal

    9/41

    glukokortikoid sistemik. Vaskulitis yang terjadi di usus kecil mungkin

    bisa menyebabkan ancaman nyawa karena bisa menyebabkan

    perforasi, iskemia, perdarahan, dan sepsis. Glukokortikoid dosis tinggi

    sebagai terapi imunosupressan agresif direkomendasikan untuk

    kontrol jarak pendek, jika rekuren maka diperlukan terapi tambahan.

    (Isbagio, 2008)

    11. Manifestasi Penglihatan : Sindrom Sicca (Sindrom Sjorgen) dan

    konjungtivitis non spesifik umumnya muncul pada SLE dan jarang

    menyebabkan gangguan penglihatan. Kebutaan bisa terjadi dalam

    hitungan hari atau minggu jika terjadi vaskulitis retina dan neuritis

    perifer. Terapi imunosupresi agresif harus segera direkomendasikan

    walaupun belum ada penelitian yang membuktikan keefektifitasannya.

    Efek samping pengobatan dengan glukokortikoid yang sering adalah

    katarak dan glaukoma. (Hahn, 2010)

    2.4. Klasifikasi Systemic Lupus Erythematosus (SLE)

    Menurut Myers SA and Mary (2001), lupus eritematosus dibagi ke dalam

    4 kategori (Hahn, 2010), yaitu:

    1. Chronic Cutaneous Lupus Erythematosus (CCLE), dibagi lagi ke dalam 2

    subtipe :

    a. Discoid Lupus Erythematosus (DLE)

    1) Palmar-palmar Lupus Erythematosus

    2) Oral Discoid lupus Erythematosus

    3) Lupus Erythematosus panniculitis

    b. Hypertrophic Lupus Erythematosus (HLE)

    2. Subacute Cutaneous Lupus Erythematosus (SCLE)

    3. Systemic Lupus Erythematosus (SLE)

    4. Drug-Induced Lupus Erythematosus (DILE)

    9

  • 7/22/2019 Responsi Rheuma Dr.putra Awal

    10/41

  • 7/22/2019 Responsi Rheuma Dr.putra Awal

    11/41

    4 Ulkus oral Termasuk ulkus oral dan nasofaring yang dapat

    ditemukan

    5 Arthritis Arthritis nonerosif pada dua atau lebih sendi

    perifer disertai rasa nyeri, bengkak, atau efusi

    6 Serositis Pleurits atau pericarditis yang ditemukan melalui

    ECG atau bukti adanya efusi pleura

    7 Gangguan Ginjal Proteinuria >0,5 g/hari atau 3+, atas serpihan

    seluler

    8 Gangguan Neurologis Psikosis atau kejang tanpa penyebab yang jelas

    9 Gangguan Hematologis Anemia atau leucopenia hemolytic (

    10 Gangguan Imunologis Anti-dsDNA, anti-Sm, dan/atau anti-phospholipid

    11 Antibodi Antinuklear Jumlah ANA yang abnormal ditemukan dengan

    immunofluoroscence atau pemeriksaan serupa jika

    diketahui tidak ada pemberian obat yang dapat

    memicu ANA sebelumnya.

    Diagnosis SLE berdasarkan ciri khas gejala klinisnya dan adanyaautoantibodi. Kriteria ini bertujuan untuk mengkonfirmasi diagnosis SLE pada

    pasien yang termasuk dalam suatu penelitian; penyusun penilitian menggunakan

    kriteria ini pada beberapa individu untuk menilai kecenderungan terjadinya SLE.

    Kombinasi 4 dari 11 kriteria, yang terdokumentasi pada saat apapun dalam

    riwayat medis pasien, membuat pasien cenderung memiliki SLE (spesifitas dan

    sensitivitas secara berurutan 95% dan 75%). Pada beberapa pasien, gejala

    semakin b dalam selang waktu tertentu. Antinuclear antibodies (ANA) ditemukan

    pada >98% pasien selama perjalanan penyakit; pemeriksaan ANA berulang yang

    negative menandakan diagnosisnya bukan SLE, kecuali jika autoantibodi lainnya

    ditemukan. Antibodi IgG dengan jumlah banyak pada DNA dan antibodi pada

    antigen Sm spesifik untuk SLE dan mendukung diagnosis terutama dengan

    keberadaan gejala klinis. Keberadaan beberapa autoantibodi pada seseorang

    tanpa gejala klinis sebaiknya tidak didiagnosis SLE, walaupun pada orang

    11

  • 7/22/2019 Responsi Rheuma Dr.putra Awal

    12/41

    tersebut terjadi peningkatan resiko karena SLE secara klinis terjadi pada pasien

    setelah beberapa tahun ditemukannya autoantibodi. (Isbagio, 2008)

    2.6 Pemeriksaan Laboratorium untuk SLE

    Pemeriksaan laboratorium bertujuan untuk (Wallace, 1997):

    1) penegakkan atau menyingkirkan suatu diagnosis :

    2) untuk mengikuti perkembangan penyakit, terutama untuk

    menandai terjadinya suatu serangan atau sedang berkembang

    pada suatu organ;

    3) untuk mengidentifikasi efek samping dari suatu pengobatan.

    2.6 .1 Pemeriksaan Autoantibodi

    Secara diagnostik, antibodi yang paling penting untuk dideteksi adalah

    ANA karena pemeriksaan ini positif pada 95% pasien, biasanya pada onset

    gejala. Pada beberapa pasien ANA berkembang dalam 1 tahun setelah onset

    gejala; sehingga pemeriksaan berulang sangat berguna. Lupus dengan ANA

    negative dapat terjadi namun keadaan ini sangat jarang pada orang dewasa dan

    biasanya terkait dengan kemunculan dari autoantibodi lainnya (anti-Ro atau anti-

    DNA). Jumlah IgG yang besar pada dsDNA (double-strand DNA) spesifik untuk

    SLE. Tidak ada pemeriksaan berstandar internasional untuk ANA; variabilitas

    antara pemeriksaan yang berbeda antara laboratorium sangat tinggi. (Hahn,

    2010)

    2.6 .2 Pemeriksaan Standar untuk Diagnosis

    Pemeriksaan skrining dapat dengan pemeriksaan darah lengkap, hitung

    platelet, dan urinalisis dapat mendeteksi abnormalitas yang berperan terhadap

    diagnosis dan mempengaruhi keputusan penatalaksanaan. (Velazquez, 2002)

    12

  • 7/22/2019 Responsi Rheuma Dr.putra Awal

    13/41

    2.6 .3 Pemeriksaan untuk Menilai Perkembangan Penyakit

    Sangat berguna untuk mengikuti hasil pemeriksaan yang

    mengindikasikan status dari keterlibatan organ yang diketahui keberadaannya

    saat serangan SLE berlangsung. Pemeriksaan mencakup kadar hemoglobin,

    platelet, urinalysis, dan kadar kreatinin atau albumin serum. Terdapat minat yang

    tinggi dari identifikasi marker tambahan lainnya untuk menilai aktivitas penyakit.

    Kandidat marker termasuk kadar antibodi anti-DNA, beberapa komponen

    komplemen (C3 tersedia luas), produk komplemen teraktifasi (termasuk yang

    berikatan dengan reseptor C4d pada eritrosit), gen penginduksi IFN, IL-2, dan

    adiponektin urin atau monosit kemotaktik protein.1. Tidak ada yang disetujui

    sebagai indikator terpercaya pada serangan atau respon dari intervensi.

    Dokter sebaiknya menginformasikan kepada tiap pasien pemeriksaan

    laboratorium yang berubah dapat memprediksi serangan. Jika terjadi, perubahan

    terapi berespon dengan perubahan hasil laboratorium dapat mencegah suatu

    serangan. (Isbagio, 2008)

    2.7 Penatalaksanaan Systemic Lupus Erythematosus (SLE)

    Tidak ada terapi untuk menyembuhkan SLE, dan remisi sempurna jarang

    terjadi. Sehingga dokter sebaiknya merencanakan untuk mengendalikan

    serangan akut yang berat dan mencegah kerusakan organ. Biasanya pasien

    akan mengalami beberapa efek samping pada medikasi. Pilihan terapi

    bergantung pada manifestasi penyakit, kerusakan organ, reversible atau tidak,

    dan pencegahan komplikasi penyakit. Selain itu diperlukan edukasi mengenai

    penyakit SLE, tipe dari penyakit ini, masalah fisik yang akan terganggu, masalah

    psikologis, pemakaian obat dalam jangka waktu lama, dan sumber informasi

    dimana pasien dapat lebih mengetahui tentang penyakit SLE. (Hahn, 2010)

    2.8.1 Terapi Konservatif untuk Penanganan Keadaan yang Tidak

    Membahayakan Nyawa

    13

  • 7/22/2019 Responsi Rheuma Dr.putra Awal

    14/41

    Pada pasien dengan letih, nyeri, dan adanya autoantibodi untuk SLE,

    namun tidak disertai dengan keterlibatan pada organ utama, penatalaksanaan

    diarahkan untuk menekan gejala. Analgesik dan antimalaria merupakan yang

    sering digunakan. NSAID merupakan analgesic/antiinflamasi yang bermanfaat,

    terutama untuk arthritis/arthralgia. Namun 2 masalah penting dalam pemakaian

    NSAIDs. Pertama, pasien SLE dibandingkan dengan populasi pada umumnya

    memiliki peningkatan resiko terjadinya meningitis aseptic terinduksi NSAID,

    peningkatan serum transaminase, hipertensi, dan disfungsi renal. (Isbagio, 2008)

    Yang kedua, semua jenis NSAIDs, terutama yang mencegah

    siklooksigenase-2 secara spesifik, dapat meningkatkan resiko untuk infark

    myokard. Acetaminophen untuk mengendalikan nyeri mungkin strategi yang baik,namun NSAIDs dapat lebih efektif pada beberapa pasien, dan perbandingan

    antara bahaya pada NSAID dengan kortikosteroid belum diketahui. Antimalaria

    (hydroxychloroquine, chloroquine, and quinacrine) dapat meringankan dermatitis,

    arthritis, dan keletihan. Obat ini juga dapat menurunkan kerusakan jaringan.

    Karena potensi toksik pada retina, pasien yang mendapatkan antimalaria

    sebaiknya menjalani pemeriksaan ophtalmologi paling tidak tiap tahun. Jika

    kualitas hidup belum cukup membaik dengan pemberian terapi konservatif ini,

    maka dosis glukokortikoid sistemik mungkin diperlukan. (Isbagio, 2008)

    2.8.2 SLE Membahayakan Nyawa : Bentuk Proliferative dari Lupus

    Nephritis

    Penanganan utama untuk semua manifestasi inflamasi yang

    membahayakan nyawa atau organ pada SLE adalah glukokortikoid sistemik

    (0.52 mg/kg per hari PO atau 1000 mg methylprednisolone sodium succinate IV

    harian untuk 3 hari diikuti dengan 0.51 mg/kg prednisone per hari). Bukti bahwa

    terapi glukokortikoid menyelamatkan nyawa disimpulkan dari suatu penelitian

    retrospektif; harapan hidup lebih baik pada pasien yang disembuhkan dengan

    glukokortikoid dosis tinggi (4060 mg prednisone harian selama 4-6 bulan)

    dibandingkan dengan dosis yang lebih rendah. Saat ini, dosis tinggi

    direkomendasikan untuk jangka waktu yang lebih singkat; penelitian terkini pada

    intervensi SLE berat membutuhkan 4-6 minggu dari dosis tersebut. Setelah itu,

    14

  • 7/22/2019 Responsi Rheuma Dr.putra Awal

    15/41

    dosis ditappering-off jika keadaan klinis mengizinkan, biasanya hingga dosis

    maintenance mulai dari 5 hingga 10 mg prednisone per hari atau 10 hingga 20

    mg tiap 2 hari. (Isbagio, 2008)

    Kebanyakan pasien dengan episode SLE berat membutuhkan terapi

    maintenance ini untuk beberapa tahun, dimana dosisnya dapa ditingkatkan untuk

    mencegah atau mengobati serangan. Penelitian prospektif pada lupus nephritis

    menunjukkan bahwa pemberian glukokortikoid dosis tinggi melalui intravena

    (Methylprednisolone 1000 mg/hari selama 3 hari) lebih mempersingkat waktu

    penyembuhan dibandingkan dengan pemberian oral namun tidak lebih baik

    dalam memperbaiki fungsi ginjal. Pendekatan ini harus dipertimbangkan tingkat

    keamanannya, seperti keberadaan efek samping yang disebabkan glukokortikoid(infeksi, hyperglycemia, hipertensi, osteoporosis, dan lainnya) (Hahn, 2010).

    Agen immunosupresif/sitotoksik yang diberikan dengan glukokortikoid

    direkomendasikan untuk mengatasi SLE yang berat. Kebanyakan penelitian

    prospektif pada SLE melibatkan agen sitotoksik telah dilakukan pada pasien

    dengan lupus nephritis, dan selalu dengan kombinasi bersama glukokortikoid.

    Sehingga, pemberiannya direkomendasikan untuk mengatasi nephritis.

    Penelitian jangka pendek terhadap glukokortikoid disertai mycophenolate mofetil

    menunjukkan bahwa regimen ini lebih aman dan tidak lebih jelek daripada

    siklophosphamide dalam mempertahankan perbaikan setelah 6 bulan fase

    induksi. Jika siklophosphamide digunakan, dosis yang direkomendasikan adalah

    500-700 mg/m2 secara intravena, setiap bulan selama 3 hingga 6 bulan,

    kemudian pemberiannya dihentikan dan melanjutkannya dengan mycophenolate

    atau azathioprin. (Isbagio, 2008)

    Penelitian di Eropa menyimpulkam bahwa siklophosphamide dengan

    dosis 500 mg tiap 2 minggu untuk 6 dosis sama efektifnya dengan dosis yang

    lebih tinggi dan durasi yang lebih lama yang direkomendasikan sebelumnya,

    selama masa 5-7 tahun. Siklophosphamide dan mycophenolate mulai berespon

    setelah 3-16 minggu terapi dimulai, dimana glukokortikoid berespon dalam waktu

    24 jam pertama. Pasien dengan kadar kreatinin serum yang tinggi [misal, 265

    mol/L (3,0 mg/dL)] selama beberapa bulan dan angka kronisitas pada biopsy

    renal sepertinya tidak berspon dengan baik. Efek samping siklophosphamide

    15

  • 7/22/2019 Responsi Rheuma Dr.putra Awal

    16/41

    yang memiliki angka tinggi kejadian kegagalan ovarium dan testis seiring dengan

    akumulasi dosis obat yang meningkat, mual dan malaise yang sering mengikuti

    tiap dosis IV adalah alopesia dan infeksi oportunis. (Isbagio, 2008)

    Karena glukokortikoid disertai dengan siklophosphamide memiliki efek

    samping dan sering tidak disukai oleh pasien, telah dilakukan penelitian terhadap

    terapi yang kurang toksik; hal ini mengarah kepada penelitian terkini serta

    penggunaan mycophenolate. Azathioprine disertai dengan glukokotikoid

    kemungkinan mengurangi angka serangan SLE dan menjaga kebutuhan dosis

    glukokortikoid.

    BAB 3

    LAPORAN KASUS

    16

  • 7/22/2019 Responsi Rheuma Dr.putra Awal

    17/41

    Nama : Khoiro Insiyah

    Umur : 39 th

    Jenis kelamin : Perempuan

    Status : Kawin

    Alamat :Jl. Tejowangi RT:04/02, Purwosari Pasuruan

    Suku :Jawa

    Pendidikan :SMP

    Pekerjaan :Wiraswasta

    3.1 Anamnesa

    Keluhan utama: Mual muntah

    Pasien datang dengan keluhan mual muntah sejak 2 minggu yang lalu.

    Rasa mual teraasa terus menerus sepanjang hari. Muntah dialami pasien setiap

    kali pasien makan 2-3 sendok dengan isi munthan sesuai yang dimakan dan

    volume muntahan sesuai dengan yang dimakan. Muntah disertai rasa panas

    pada daerah ulu hati serta rasa kaku pada perut seperti kram.

    Pasien juga mengeluhkan bintik-bintik merah pada daerah payudara kiri

    sampai ke punggung kiri sejak 10 hari yang lalu. Awalnya timbul hanya bintik-

    bintik merah yang kemudian membesar menonjol berisi air, terasa nyeri terus

    menerus terutama bila disentuh, dan tidak berkurang walaupun sudah diberi

    salep acyclovir yang dipakai sejak 2 hari yang lalu dan dioleskan 2 kali sehari.

    Pasien juga mengeluh pusing sejak 2 hai yang lalu. Pusing terasa

    sepanjang hari berkurang bila minum paracetamol. Pusing terasa di seluruh

    kepala namun terasa lebih nyeri pada daerah kedua alis.

    Pasien mengeluh penglihatan kabur sejak 5-6 bulan yang lalu. Rasa

    kabur terutama pada siang hari dan berkurang pada malam hari. Pasien

    mengatakan bahwa dirinya terdiagnosa SLE sejak bulan Maret 2008.

    Rekam Medis pasien, 27 Juli 2011

    Keluhan utama: pro biopsi ginjal

    Px mengeluh bengkak pada kaki kanan terutama sendi lutut dan pergelangan

    kaki sejak 3 tahun yang lalu. Pasien mengeluh bengkak bertambah parah hingga

    ke tangan dan jari-jari tangan 1.5 tahun yll. Pasien juga mengeluh kulit kaki

    mengelupas karena obat. Sebelumnya px pernah MRS di Bangil (14-16 hari) dan

    17

  • 7/22/2019 Responsi Rheuma Dr.putra Awal

    18/41

    mendapat terapi methylprednisolon. Lalu px pergi ke dokter untuk control dan

    mendapat pengobatan hexylon dan cellebex. Px juga pernah MRS karena

    bengkak di RSSA 8 bln yll, dan pernah MRS karena diare 2 bln yll. Sekarang Px

    diberi terapi methylprednisolon, fuosemide, dan captopril. Tidak ada keluarga

    yang mengalami hal serupa. Riwayat DM (-).

    3.2 Pemeriksaan fisik

    General appearance looked moderately

    ill

    GCS E4 V5 M6

    TD =

    120/90

    mmHg

    HR = 102 bpm

    regular

    RR =

    22

    tpm

    Tax =

    37.10C

    Head Anemic

    edema periorbita-

    Icteric

    Rash + pada

    daerah wajah.

    Neck JVP R + 1 cm in 300

    Thorax cor Invisible, Palpable at ICS V MCL S,

    RHM in SL D

    LHM as ictus

    S1 S2 single, murmur systolic (-)

    lung I:Simetric, P: SF D = S v v Rh - - Wh - -

    v v - - - -

    v v - - - -

    Kulit Terdapat lesi macula, bulae, erosi dan krustae bergerombol

    setinggi torakal 4-6, bulla meluas dari thoraks kiri ke

    punggung kiri.

    Abdomen Flat, soefl,, BU (+) normal, liver span 8 cm, troube space

    tymphani

    18

  • 7/22/2019 Responsi Rheuma Dr.putra Awal

    19/41

    Extremitie

    s

    Anemis (-), icterik (-), arthritis paa kedua lutut dan jari-jari

    tangan, Edema (+) pada kedua tungka kaki D/S

    3.3 Pemeriksaan Laboratorium

    Lab Value Lab Value

    Leukocyte 4720 3500-10000/L

    RBS 85 (

  • 7/22/2019 Responsi Rheuma Dr.putra Awal

    20/41

    Glucose -Leukocyte 0-1

    Erythrocyte +3Erythrocyte

    40 x

    Keton urine - Eritrosit 8-10

    Urobilinogen - Leukocyte 4-6

    Bilirubin - Crystal -

    Bacteria - Bact -

    20

  • 7/22/2019 Responsi Rheuma Dr.putra Awal

    21/41

    2.2 Problem Oriented Medical Record

    Cue and Clue Problem

    List

    IDx PDx Planning Therapy Monitori

    ng

    Perempuan/ 39 th

    Linu sendi,

    kemerahan di

    wajah, rambut

    rontok, fotosensitif,

    badan lemah,

    riwayat sariawan

    tidak nyeri,

    Pem. Fisik:

    BP 140/90. PR 84.

    RR 32 Tax 36,8,

    anemic -, malar

    rash +, bulae +,

    Lab.:Hb 13.10

    leukosit 4720,

    ANA test +

    1. SLE IVFD NS 0.9% 20 tpm

    Per oral:

    Methylprednisolone

    3x4 mg

    Paracetamol 500 mg

    Vital

    sign

    Keluhan

    DL

    UL

    Perempuan/39 th

    Mengeluh nyeri di

    daerah dada s.d

    punggung sejak 3

    hari yang lalu.

    Terdapat bula

    sepanjang

    dermatome T4-T5.

    Awalnya hanya

    nyeri dan bercak

    kemerahan, lama-

    2.Herpes

    Zooster

    TZank

    test

    Per oral:

    Acyclovir 5x 800mg

    tab

    Per Topikal:

    Salep acyclovir,

    Perbaikan Keadaan

    umum.

    Subjekti

    ve, VS

    21

  • 7/22/2019 Responsi Rheuma Dr.putra Awal

    22/41

    lama muncul bulae

    berisi cairan

    bewarna bening

    kemudian keruh.

    Perempuan/39 th

    Mual muntah sejak

    2 minggu SMRS,

    mual terus

    menerus. Muntah

    setiap kali makan.

    Muntah disertai

    rasa panas di ulu

    hati.

    Lab: SGOT: 26 U/L,

    SGPT: 16 U/L

    3.Dyspepsi

    a

    syndrome

    Inj. Metoclopramide

    3x10 mg iv

    22

  • 7/22/2019 Responsi Rheuma Dr.putra Awal

    23/41

    BAB III

    PEMBAHASAN

    Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah suatu penyakit multisistem

    dan pleiomorphic di mana terjadi inflamasi, produksi antibodi, dan deposit

    complement-fixing immune complex sehingga menyebabkan kerusakan pada

    jaringan ikat (Wallace, 2008).

    Penegakan diagnosis SLE terdiri dari anamnesis untuk mencari keluhan

    (symptom) dari pasien, pemeriksaan fisik untuk mencari gambaran klinis (sign)

    dari pasien, dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis, pemeriksaan fisik danpemeriksaan penunjang yang telah dilakukan pada pasien ini, dapat ditegakkan

    diagnosis SLE karena telah memenuhi 5 dari 11 kriteria SLE menurut American

    College Rheumatology (ACR). Pemenuhan kriteria SLE pada pasien ini dapat

    dilihat pada tabel 3.1.

    Tabel 3.1 Kriteria SLE menurutAmerican College Rheumatology(ACR) dibandingkan dengan sign

    dan symptoms pada pasien

    No.

    Kriteria SLE

    menurutAmerican

    College

    Rheumatology

    (ACR)

    DefinisiKriteria SLE yang

    ditemukan pada pasien

    1 Malar rash Erythema menetap,

    datar ataupun meninggi

    melewati penonjolan

    malar, hingga lipatan

    nasolabial

    Pada pasien ini

    ditemukan gambaran

    erythematous

    membentuk gambaran

    kupu- kupu dengan

    tubuh pada basis hidung

    dan sayap melebar pada

    penonjolan malar.

    2 Discoid rash Ruam erithematous

    dengan perlekatan

    keratotic scalling dan

    plug folikulaer, lesi

    atrofik dapat terjadi

    23

  • 7/22/2019 Responsi Rheuma Dr.putra Awal

    24/41

    pada lesi yang lebih tua

    3 Photosensitivity Ruam kulit sebagai

    reaksi dari paparan

    sinar matahari,didapatkan dari

    anamnesa ataupun

    pemeriksaan

    Pasien mengeluhkan

    muncul ruam-ruam di

    kulit ketika terkenapaparan sinar matahari

    dengan disertai rasa

    panas dan nyeri.

    4 Oral ulcers Ulkus oral atau

    nasofaring, biasanya

    tanpa nyeri

    Pada pasien ini memiliki

    riwayat adanya lesi oral

    yang dikeluhkan pasien

    menyerupai sariawan

    pada lidah sebelah kiri,

    berwarna putih dan tidak

    nyeri.

    5 Arthritis Arthritis nonerosif

    melibatkan dua atau

    lebih sendi perifer

    dengan karakteristik

    tenderness, bengkak,

    atau efusi

    Pada pasien ini

    mengalami nyeri sendi

    pada kedua lutut dengan

    krepitasi (+)

    6 Serositis a. Pleuritis : riwayat

    nyari peluritik dan

    terdengar suara

    gesekan (rub) atau bukti

    adanya efusi pleura

    b. Perikarditis: dapat

    dilihat dari EKG,

    terdengar suara

    gesekan, ataupun

    ditemukan efusi perikard

    7 Renal disorder a. Proteinuria persisten

    > 500mg /hari atau >3+

    tanpa kuantifikasi

    b. Silinder selular: dapat

    berupa eritrosit,

    hemoglobin, granular,

    24

  • 7/22/2019 Responsi Rheuma Dr.putra Awal

    25/41

    tubular, atau mixed

    8 Neurologic

    disorder

    a. Kejang: tanpa

    penggunaan obat yang

    berpengaruh ataukondisi metabolik

    tertentu seperti uremia,

    ketoasidosis, atau

    elektrolit imbalans

    b. Psikosis: tanpa

    penggunaan obat yang

    berpengaruh atau

    kondisi metaboliktertentu seperti uremia,

    ketoasidosis, ataupu

    imbalans elektrolit

    Tidak didapatkan

    gangguan elektrolit,

    uremia, ataupunpenggunaan obat-obatan

    yang dapat memicu

    kejang

    9 Hematologik

    Disorder

    a. Anemia

    hemolitikdengan

    retikulositosis

    b. Leukopenia