185-647-1-pb (2)
TRANSCRIPT
-
7/25/2019 185-647-1-PB (2)
1/14
Tanggung Jawab Ilmu Pengetahuan (Ahmad Tarifin) 255
TANGGUNG JAWAB ILMU PENGETAHUAN:
Pergulatan Antara Kaum Pragmatis dan Puritan-Elitis
Ahmad Tarifin*
Abstrak:Munculnyapenemuan dalamilmu pengetahuan selalu diikutioleh dua penyikapan: (1) etis, bahwa perkembangan ilmu pengetahuan
sesuai dengan nilai-nilai etika dan bermanfaat; dan (2) bebas nilai,
bahwa sejak kemunculannya, ilmu pengetahuan dimaksudkan dalam
rangka untuk pengembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Pandangan
awal diusung oleh kelompok pragmatisme yang berpendapat bahwa
ilmu pengetahuan di samping bertujuan untuk menemukan kebenaran,
juga berguna bagi kehidupan manusia untuk memecahkan berbagai
persoalan yang dihadapinya. Sementara pandangan kedua diusung
oleh kelompok puritan-elitis yang berpendapat bahwa tujuan ilmupengetahuan adalah menemukan kebenaran dan menemukan
penjelasan objektif tentang segala sesuatu. Untuk itu, ilmu pengetahuan
tidak boleh tunduk pada otoritas lain di luar dirinya. Untuk menengahi
kedua kecenderungan di atas, diperlukan pemahaman secara sintesis
terhadap contex of discovery dan contex of justification di mana
ilmu pengetahuan itu muncul dan berkembang.
The emergence of discovery in science is always followed by two
attitudes: (1) ethical, the development of science is accord with ethicalvalues and benefit; and (2) free values, since its emergence, science
is meant to develop itself. The former is promoted by pragmatism
group viewing that science is not only to find the truth, but also benefit
human life to solve many problems in their life. The latter, on the
other hand, is promoted by puritan-elite group viewing that the aim of
science is to find the truth and the objective explanation of everything.
*. Jurusan Tarbiyah STAIN Pekalongan, Jl. Kusumabangsa No 9 PekalonganEmail: [email protected]
-
7/25/2019 185-647-1-PB (2)
2/14
256 RELIGIAVol. 13, No. 2, Oktober 2010. Hlm. 255-268
Therefore, science cannot submit to other authority out of itself. To
bridge these two tendencies, the synthesis understanding of the context
of discovery and the context of justification wherein the science
emerges and develops is needed.
Kata Kunci: Ilmu Pengetahuan, Puritan-elitisme, Pragmatisme
PENDAHULUAN
Ketika bom Hiroshima dan Nagasaki dijatuhkan oleh tentara AS pada 6
dan 9 Agustus 1945, Jepang luluh lantak dan menyatakan menyerah tanpa
syarat kepada sekutu. Tetapi di balik keberhasilan sekutu, Einstein, penemu
Teori Relativitassebagai teori konstruk bom atommerasa kecewa, karenabom atom telah membawa banyak korban tak bersalah dan kerusakan alam
sedemikian hebatnya (Adisusilo, 1983: 96).
Ia menyatakan, Mengapa ilmu yang indah ini, yang menghemat kerja
dan membikin hidup lebih mudah, hanya membawa kebahagiaan yang sedikit
kepada kita? Dalam peperangan, ilmu menyebabkan kita saling meracuni dan
menjegal. Ilmu yang seharusnya membebaskan dari pekerjaan yang
melelahkan secara spiritual malahan menjadikan manusia budak-budak
mesin (Suriasumantri, 1978: 249).Demikian pula berkembangnya ilmu pengetahuan dalam bentuk rekayasa
genetika, mulai dari kloning tumbuhan, hewan sampai manusia, memunculkan
pro-kontra, tarik-ulur antara kelompok yang menolak dan kelompok yang
mendukungnya, baik dari kalangan ilmuwan maupun agamawan.
Artinya, perkembangan ilmu pengetahuan yang pada mulanya untuk
menemukan pembuktian kebenaran ilmu pengetahuan, dalam kenyataannya
bisa memunculkan dampak negatif yang demikian hebat bagi kehidupanmanusia.
Dalam rangka menjawab permasalahan di atas, tulisan ini berusaha
mendudukkan ilmu pengetahuan pada tempat semestinya, dengan mengamati
ruang, waktu dan kepentingan munculnya ilmu pengetahuan, sehingga pada
akhirnya, ilmu pengetahuan tidak dikambing-hitamkan ketika muncul
kesalahan-kesalahan.
-
7/25/2019 185-647-1-PB (2)
3/14
Tanggung Jawab Ilmu Pengetahuan (Ahmad Tarifin) 257
PEMBAHASAN
A. Ilmu Pengetahuan: Antara Bencana dan Berkah
Ilmu pengetahuan berbeda dengan mitos dalam menjelaskan fenomena
alam yang kompleks, termasuk soal bencana alam. Ketika terjadi gempa bumi,longsor, banjir, erupsi gunung, tsunami, luapan lumpur Lapindo/Lusi, dan
bencana lainnya, para ahli geologi mencoba mencari penjelasan secara ilmiah
berdasarkan fakta-fakta tabiat alam yang dikontruksikan oleh temuan-temuan
ilmiah sebelumnya serta teori-teori yang dikembangkan secara sistematik.
Mereka lalu mencari penjelasan pada sejarah gempa dan menumpahkan
energi bumi di lokasi tertentu, kemudian menyampaikan indikasi dan predikasi
mengenai gempa. Begitu pula dengan gejala alam lainnya. Karena itu, Sultan
Hamengkubuwono X pernah menyatakan bahwa dirinya lebih percaya padailmu pengetahuan ketimbang cerita-cerita berdasarkan kepercayaan tertentu
(mitos) mengenai gunung berapi. Hal itu diungkapkan ketika betapa sulitnya
meyakinkan penduduk untuk mengungsi karena lebih menuruti Mbah
Maridjan, sang juru kunci, yang masih tetap bertahan di sekitar Gunung Merapi
pada erupsi tahun 2006. Kini, pembuktian ilmiah yang diyakini Sultan
Hamengkubuwono X menemukan pembenarannya, ketika Mbah Maridjan
yang berpegang teguh pada mitos menemui ajal oleh alam (baca: Gunung
Merapi) yang dicintainya, ketika terjadi eruspsi Merapi tahun 2010.
Ilmu pengetahuan yang didukung teori dan teknologi canggih dapat
menjelaskan terjadinya bencana secara lebih objektif, rasional, dan
berdasarkan pada perilaku alam sebagaimana apa adanya. Bukan dengan
cerita-cerita dan legenda. Itulah ciri dari masyarakat modern. Namun karena
fenomena alam dan tingkah lakunya seringkali kompleks dan multifaktor, maka
ilmu pengetahuan pun belum sepenuhnya dapat menjelaskan bencana alam
secara ideal dan meyakinkan. Bagaimana pun, ilmu pengetahuan memilikiketerbatasan; kapan pastinya gempa, tsunami, gunung meletus akan terjadi,
ilmu pengetahuan hanya dapat memberikan indikasi dan prediksi, tetapi tidak
bisa memastikan. Tsunami Mentawai adalah bukti keterbatasan ilmu
pengetahuan, di mana ketika BMKG telah mencabut peringatan tsunami, justru
tsunami meluluhlantakkan Mentawai pada 26 Oktober 2010.
Namun keterbatasan ilmu pengetahuan tersebut tidak lantas menjadikan
kita menolak kebenaran ilmu pengetahuan dan lebih mempercayai mitos. Mitos
pun dalam batas tertentu dapat dijadikan masukan untuk menangkap fenomena
-
7/25/2019 185-647-1-PB (2)
4/14
258 RELIGIAVol. 13, No. 2, Oktober 2010. Hlm. 255-268
alam, terutama dari isi harmoni dan kearifan lokal. Bencana alam dengan segala
hal yang berkaitan dapat dijelaskan oleh ilmu pengetahuan, sedangkan mitos
pada aspek tertentu sekedar jadi salah satu masukan mengenai kerahasiaan
perilaku alam. Selebihnya, bagaimana manusia mengambil keputusan dan sikap.
Di sinilah pentingnya orang-orang beragama memiliki kekayaan referensi
dalam memahami dunia dan semesta kehidupan secara multidimensi dan
menyeluruh. Jika para mubaligh, tokoh agama, dan para ustadz hanya
menggunakan rujukan agama secara sempit dan terbatas, lebih-lebih tidak di
dukung referensi keilmuan, maka dengan gampang menjelaskan bencana alam
secara terbatas pula. Bencana hanya dimaknai sebagai azab, tanpa melihat
hakikat, tabiat, dan fakta alam secara menyeluruh.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi akan menghambatataupun meningkatkan keberadaan manusia tergantung pada manusianya itu
sendiri, karena ilmu pengetahuan dan teknologi dilakukan oleh manusia dan
untuk kepentingan manusia dalam kebudayaannya. Kemajuan di bidang
teknologi memerlukan kedewasaan manusia dalam arti yang sesungguhnya,
yaitu kedewasaan untuk mengerti mana yang layak dan yang tidak layak,
yang buruk dan yang baik (Melsen, 1992: 68).
Di bawah ini ditampilkan secara umum sisi menguntungkan dan sisi
merugikan dari hasil rekayasa teknologi manusia (Zubair, 2002: 133-138):
1. Penggunaan penemuan hukum fisika modern yang ditimbulkan oleh
rekayasa teknologi diikuti dengan jatuhnya bom atom di Hiroshima, telah
membawa banyak korban.
2. Penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi serta rekayasanya dalam
bidang industri, telah menghasilkan limbah di antaranya plastik yang
tidak dapat di daur ulang.
3. Penemuan-penemuan senjata pembunuh massal baik senjata kimia,
biologis, ekologis, psikologis beserta teknologi yang telah membayangi
kepunahan manusia, membuat manusia dihantui oleh ketakutan dan
neurosisyang seharusnya tidak perlu terjadi.
4. Rekayasa teknik, misalnya telah menghasilkan pesawat jumbo jet DC-
10 yang ternyata telah menewaskan 346 jiwa karena terdapat cacat
pada desain pesawat tersebut.
5. Rekayasa teknik juga telah menghasilkan pesawat terbang angkut aman
yang mampu membantu mobilitas manusia memenuhi hajat hidupnya.
-
7/25/2019 185-647-1-PB (2)
5/14
Tanggung Jawab Ilmu Pengetahuan (Ahmad Tarifin) 259
6. Rekayasa teknik telah telah menciptakan kendaraan yang membuat bumi
semakin panas, karena memunculkan polusi udara. Demikian juga,
rekayasa teknik mampu menciptakan teknologi kendaraan yang ramah
lingkungan dan hemat bahan bakar, seperti mobil berbahan bakar hybrida,
tenaga surya, biosel, maupun gas.
7. Peristiwa hancurnya Challenger akibat kegagalan peluncuran pesawat
ulang alik membahayakan keselamatan para awaknya.
8. Rekayasa bioteknik berupa temuan tentang kode molekuler DNA
membimbing manusia ke arah metode pengrusakan bagi kehidupan,
penciptaan, penyakit baru, dan pengendalian pikiran.
9. Penemuan rekayasa genetika, telah mengantarkan manusia kepada usaha
mengklon mereka, yang pada dasarnya merendahkan derajatkemanusiaan pada umumnya.
Memang, rekayasa teknologi sebagai hasil keputusan tindakan manusia,
berkembang dalam kebudayaan manusia dan sekaligus mempengaruhi
kebudayaan manusia secara keseluruhan. Ia mengandung dua sisi, sebagaimana
telah disebutkan di atas, yakni sisi menguntungkan dan sisi yang dapat mengarah
ke hal-hal yang membahayakan manusia. Kenyataan ini menantang manusia
lebih lanjut untuk menggunakan semaksimal mungkin daya akal budinya untuk
menyelamatkan kehidupan manusia serta alam semesta.
B. Batas-batas Tanggung Jawab Ilmu Pengetahuan
Tanggung jawab ilmu pengetahuan menyangkut juga tanggung jawab
terhadap hal-hal yang akan dan telah diakibatkan ilmu pengetahuan di masa
lalu, sekarang, maupun akibatnya bagi masa depan berdasarkan keputusan-
keputusan bebas manusia dalam kegiatannya. Penemuan-penemuan baru
dalam ilmu pengetahuan terbukti ada yang dapat mengubah sesuatu aturanbaik alam maupun manusia (Zubair, 2002: 56).
Hal ini tentu saja menuntut tanggung jawab untuk menjaga agar apa yang
diwujudkan dalam perubahan tersebut berdampak positif, baik bagi
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri maupun bagi
perkembangan eksistensi manusia secara utuh. Dalam bahasa Melsen (1992:
72), tanggung jawab dalam ilmu pengetahuan menyangkut problem etis, karena
menyangkut ketegangan-ketegangan antara realitas yang ada dan realitas yangseharusnya ada.
-
7/25/2019 185-647-1-PB (2)
6/14
260 RELIGIAVol. 13, No. 2, Oktober 2010. Hlm. 255-268
Menurut Zubair (Zubair, 2002: 139-140) ilmu pengetahuan seharusnya
berguna dalam empat hal, yaitu:pertama, bermanfaat bagi orang yang bergulat
dalam ilmu pengetahuan bersangkutan. Kedua, bermanfaat bagi ilmu
pengetahuan itu sendiri dalam mencari kebenaran.Ketiga, bermanfaat bagi
kehidupan manusia sezaman, di mana ilmu pengetahuan itu muncul.Keempat,
bermanfaat bagi siapa saja pada kurun waktu kapan saja.
Dalam konteks ini, ilmu pengetahuan tidak dapat menyelesaikan masalah
manusia secara mutlak, namun ilmu pengetahuan sangat berguna bagi manusia.
Untuk itu, manusia diharapkan tidak hanya mengekor secara membabi buta
ke arah yang tak dapat dipandunya, sebab ilmu pengetahuan tidak cukup
mampu menyelesaikan masalah kehidupan yang amat rumit ini. Keterbatasan
ilmu pengetahuan, membuat manusia harus berhenti sejenak untukmerenungkan adanya sesuatu sebagai pegangan.
Dengan demikian, kemajuan ilmu pengetahuan memerlukan misi moral
yang tepat. Manusia dengan ilmu pengetahuan akan mampu untuk berbuat
apa saja yang diinginkannya, namun pertimbangan tidak hanya sampai pada
apa yang dapat diperbuat olehnya, tetapi perlu pertimbangan apakah
memang harus diperbuat dan apa yang seharusnya diperbuat dalam rangka
kedewasaan manusia yang utuh.
Pada dasarnya, mengupayakan rumusan konsep etika dalam ilmu
pengetahuan harus sampai kepada rumusan normatif yang berupa pedoman
pengarah konkrit, bagaimana keputusan tindakan manusia di bidang ilmu
pengetahuan harus dilakukan. Moralitas/etika sering dipandang banyak or-
ang sebagai konsep abstrak yang akan mendapatkan kesulitan apabila harus
diterapkan begitu saja terhadap masalah manusia konkrit. Realitas
permasalahan manusia yang bersifat konkrit-empirik, seolah-olah mempunyai
kekuasaan untuk memaksa rumusan moral sebagai konsep abstrak
menjabarkan kriteria-kriteria baik-buruknya sehingga menjadi konsep
normatif, secara nyata sesuai dengan daerah yang ditanganinya.
C. Etika dan Masalah Bebas Nilai dalam Ilmu Pengetahuan
Kenyataan bahwa ilmu pengetahuan tidak boleh terpengaruh oleh nilai-
nilai yang letaknya di luar ilmu pengetahuan, dapat diungkapkan juga dengan
rumusan singkat bahwa ilmu pengetahuan itu seharusnya bebas (Keraf, 2001:
149; Situmorang, tt.: 13). Namun demikian jelaslah kiranya bahwa kebebasan
-
7/25/2019 185-647-1-PB (2)
7/14
Tanggung Jawab Ilmu Pengetahuan (Ahmad Tarifin) 261
yang dituntut ilmu pengetahuan sekali-kali tidak sama dengan ketidak-terikatan
mutlak. Bila kata kebebasan dipakai, yang dimaksudkan adalah dua hal
yaitu kemungkinan untuk memilih dan kemampuan atau hak subjek
bersangkutan untuk memilih sendiri. Supaya terdapat kebebasan, harus ada
penentuan sendiri dan bukan penentuan dari luar (Keraf, 2001: 150).
Etika memang tidak masuk dalam kawasan ilmu pengetahuan yang bersifat
otonom, tetapi tidak dapat disangkal ia berperan dalam perbincangan ilmu
pengetahuan. Tanggung jawab etis merupakan hal yang menyangkut kegiatan
maupun penggunaan ilmu pengetahuan. Dalam kaitan hal ini terjadi keharusan
untuk memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, menjaga
kesimbangan ekosistem, bertanggungjawab pada kepentingan umum,
kepentingan pada generasi mendatang, dan bersifat universal. Karena padadasarnya ilmu pengetahuan adalah untuk mengembangkan dan memperkokoh
eksistensi manusia bukan untuk menghancurkan eksistensi manusia (Zubair,
2002: 49).
Tanggung jawab etis ini bukanlah berkehendak mencampuri atau bahkan
menghancurkan otonomi ilmu pengetahuan, tetapi bahkan dapat menjadi
umpan balik bagi pengembangan ilmu pengetahuan itu sendiri, yang sekaligus
akan memperkokoh eksistensi manusia (Zubair, 2002: 49-50). Lebih lanjut
Zubair (2002: 57) mengatakan, tanggung jawab etis tidak hanya menyangkutupaya penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi secara tepat dalam
kehidupan manusia, tetapi harus menyadari juga apa yang seharusnya
dikerjakan atau tidak, untuk memperkokoh kedudukan serta martabat manusia
yang seharusnya, baik dalam hubungannya sebagai pribadi, dalam
hubungannya dengan lingkungan maupun sebagai makhluk yang
bertanggungjawab terhadap Khalik-nya.
1. Pengertian Bebas NilaiBebas nilai sesungguhnya adalah tuntutan yang ditujukan kepada ilmu
pengetahuan, agar ilmu pengetahuan dikembangkan dengan tidak
memperhatikan nilai-nilai lain di luar ilmu pengetahuan. Tuntutan dasarnya adalah
agar ilmu pengetahuan dikembangkan hanya dengan ilmu pengetahuan. Ilmu
pengetahuan harus dikembangkan hanya semata-maa berdasarkan
pertimbangan ilmiah murni (Keraf, 2001: 149). Maksud dasar dari tuntutan
ini adalah agar ilmu pengetahuan tidak tunduk kepada pertimbangan lain di
luar ilmu pengetahuan sehingga menimbulkan distorsi.
-
7/25/2019 185-647-1-PB (2)
8/14
262 RELIGIAVol. 13, No. 2, Oktober 2010. Hlm. 255-268
Sesungguhnya tuntutan bebas nilai itu sendiri tidak mutlak, karena tuntutan
agar ilmu pengetahuan bebas dari nilai tertentu, hanya berlaku bagi nilai lain di
luar nilai yang menjadi taruhan utama ilmu pengetahuan, yang berarti
sesungguhnya ilmu pengetahuan pada dirinya sendiri mulai peduli terhadap
nilai tertentu, yaitu nilai kebenaran dan dalam kaitan dengan itu nilai kejujuran
(Keraf, 2001: 150).
Dengan demikian, yang mau diwujudkan dengan tuntutan bebas nilai
adalah tuntutan agar ilmu pengetahuan dikembangkan hanya demi kebenaran
saja, dan tidak perlu pada pertimbangan lain di luar ilmu pengetahuan.
2. Dua Kecenderungan Dasar
Dalam hal ini, muncul pertanyaan mendasar, apakah ilmu pengetahuanmemiliki otonom yang sedemikian mutlak lepas dari campur tangan pihak
lain? Bagaimana jadinya kalau ilmu pengetahuan dikembangan sedemikian
otonom sehingga pada akhirnya tidak mempedulikan berbagai nilai di luar
ilmu pengetahuan, dan akhirnya malah merugikan manusia? Padahal, tujuan
akhir ilmu pengetahuan adalah untuk mencari dan memberi penjelasan tentang
masalah dan fenomena dalam alam semesta ini. Ilmu pengetahuan bertujuan
memberikan pemahaman kepada manusia tentang berbagai masalah dan
fenomena dalam hidup ini.Oleh karena itu diperlukan adanya pembedaan dua macam
kecenderungan dasar dalam melihat tujuan ilmu pengetahuan, yaitu:
a. Kecenderungan Puritan-Elitis
Kecenderungan ini beranggapan bahwa tujuan akhir dari ilmu pengetahuan
adalah demi ilmu pengetahuan (Keraf, 2001: 151). Ilmu pengetahuan
memang bertujuan untuk mencari dan menemukan penjelasan, yaitu
penjelasan yang benar tentang segala sesuatu.Kepuasan seorang ilmuwan di sini terutama terletak dalam menemukan
teori-teori besar yang mampu menjelaskan segala persoalan, teka-teki,
dan gejala alam ini, terlepas dari apakah ilmu pengetahuan itu berguna
atau tidak bagi kehidupan praktis manusia. Bagi mereka, yang terpenting
adalah teori-teori besar itu, tanpa mempersoalkan keterkaitannya dengan
kegunaan praktisnya dalam kehidupan sehari-hari manusia (Keraf, 2001:
150).
-
7/25/2019 185-647-1-PB (2)
9/14
Tanggung Jawab Ilmu Pengetahuan (Ahmad Tarifin) 263
Dengan kata lain, bagi kecenderungan puritan elitis, tidak ada yang
disebut link and matchkarena ilmu pengetahuan memang hanya
bertujuan mencapai penjelasan dan pemahaman tentang masalah-masalah
dalam alam ini. Mereka tidak mempersoalkan aplikasinya bagi kehidupan
kongkrit (Keraf, 2001: 152). Konsekuensinya, ilmu pengetahuan menjadi
bidang yang sangat elitis, yang digeluti oleh segelintir orang saja. Tidak
semua orang bisa mencapainya. Ilmu pengetahuan lalu menjadi sesuatu
yang mewah, jauh dari kehidupan riil manusia.
Berdasarkan kecenderungan di atas, ilmu pengetahuan harus bebas nilai,
termasuk pertimbangan nilai guna dari ilmu pengetahuan tersebut.
Kebenaran harus ditegakkan, apapun konsekuensi dan kegunaan praktis
dari ilmu pengetahuan. Karena, tujuan dari ilmu pengetahuan adalahmenemukan kebenaran, menemukan penjelasan objektif tentang segala
sesuatu. Untuk itu, ilmu tidak boleh tunduk pada otoritas lain di luar ilmu
pengetahuan. Selama ilmu pengetahuan dikembangkan demi
meningkatkan keuntungan dan kemakmuran bagi hidup manusia,
kebenaran bisa dikorbankan demi keuntungan dan kemakmuran tadi
(Keraf, 2001: 152).
Contoh, kasus tambang emas Busang di Kalimantan beberapa tahun
lalu, memperlihatkan dengan jelas kesalahan ini: Demi meningkatkan nilaisaham Bre-X (perusahaan pemilik tambang emas Busang), di pasar saham
dunia, perusahaan itu tega mengorbankan kebenaran ilmiah dengan
melaporkan kebohongan bahwa mereka telah menemukan, dalam
penelitian ilmiah yang mereka lakukan, jutaan ons emas di Busang
Kalimantan.
Di tahun 2009, Pemprov Jawa Tengah menggandeng perguruan tinggi
untuk melakukan penelitian tentang kelayakan sebuah daerah di
Kabupaten Pati untuk dijadikan lokasi penambangan Pabrik SemenGresik, tetapi komunitas lingkungan hidup di daerah tersebut menolaknya.
Untungnya, perusahaan semen tersebut menarik diri dari proyek bernilai
5 triliun tersebut. Meski secara ekonomi, dinilai mampu meningkatkan
kesejahteraan dan membuka lapangan pekerjaan bagi penduduk Pati,
tetapi dilihat dari kacamata konservasi lingkungan di sana, penambangan
semen akan merusak habitat dan ekosistem alam di sana.
Demikian pula ketika di Muria akan dibangun PLTN, masyarakat di
sana dengan keras menolaknya dengan alasan khawatir berdampak
-
7/25/2019 185-647-1-PB (2)
10/14
264 RELIGIAVol. 13, No. 2, Oktober 2010. Hlm. 255-268
negatif pada masa mendatang bila terjadi kebocoran nuklir. Akhirnya
hingga kini, pemerintah belum menindaklanjuti gagasan PLTN di Muria,
meski pertimbangan ilmiah memungkinkan pembangunannya.
b. Kecenderungan PragmatisKecenderungan ini beranggapan bahwa ilmu pengetahuan dikembangkan
demi mencari dan memperoleh penjelasan tentang berbagai persoalan
dalam alam semesta ini (Keraf, 2001: 153). Ilmu pengetahuan memang
bertujuan untuk menemukan kebenaran, yang penting juga bahwa ilmu
pengetahuan itu pada akhirnya berguna bagi kehidupan manusia, yaitu
bahwa ilmu pengetahuan berguna bagi manusia untuk memecahkan
berbagai persoalan yang dihadapi dalam hidupnya. Jadi ilmu pengetahuan
bukan dikembangkan demi ilmu pengetahuan semata, melainkan jugademi menjawab berbagai persoalan hidup manusia.
Bagi kelompok ini, ilmu pengetahuan menjadi menarik justru karena ia
berguna membantu manusia. Tanpa itu, ilmu pengetahuan tidak berguna
sama sekali. Penjelasan dan kebenaran objektif; ya! Tetapi, kebenaran
dan penjelasan itu punya arti justru karena ia berguna bagi kehidupan
manusia. Yaitu membuat hidup manusia lebih baik, lebih bahagia, lebih
memahami banyak hal. Tegasnya, membuat hidup lebih hidup!Oleh
karenanya, kebenaran ilmiah, menurut kelompok ini, tidak hanya bersifat
logis-rasionaldan empiris, melainkan juga bersifat pragmatis, yakni bahwa
kebenaran berguna menjawab berbagai persoalan hidup manusia (Keraf,
2001:153).
Dewasa ini, ilmu pengetahuan berkembang pesat, karena memiliki nilai
guna (pragmatis) dalam menjawab persoalan kehidupan manusia.
Sebutlah misalnya, berkembangnya teknologi informasi dan
telekomunikasi (komputer, internet, komunikasi seluler), elektronika,
otomotif, medis, dan lain-lain adalah buah dari prisnip pragmatisme dalam
ilmu pengetahuan.
Dalam cara pandang ini, ilmu pengetahuan betul-betul melayani
kepentingan manusia dan bukan demi ilmu pengetahuan semata. Demikian
pula, manusia bukan demi ilmu pengetahuan melainkan ilmu pengetahuan
demi manusia. Jadi yang ditekankan adalah aspek utiliter dari ilmu
pengetahuan, aspek kegunaan, dengan manusia sebagai tujuannya (Keraf,
2001: 153-4).
-
7/25/2019 185-647-1-PB (2)
11/14
Tanggung Jawab Ilmu Pengetahuan (Ahmad Tarifin) 265
3. Sintesis: Context of Discovery dan Context of Justification
Menurut Sony Keraf dan Mikhael Dua (Keraf, 2001: 154), jalan keluar
dari kesulitan mengenai masalah bebas nilai ilmu pengetahuan adalah dengan
membedakan antara context of discoverydan context of justification.a. Context of Discovery
Context of discoverymenyangkut konteks di mana ilmu pengetahuan
ditemukan (Keraf, 2001: 154). Maksudnya adalah bahwa ilmu
pengetahuan tidak terjadi, ditemukan, dan berlangsung dalam kevakuman.
Ilmu pengetahuan selalu ditemukan dan berkembang dalam konteks ruang
dan waktu tertentu, dalam konteks sosial tertentu. Termasuk di dalamnya
adalah bahwa ilmu pengetahuan muncul dan berkembang demi
memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh manusia. Karena
itulah, manusia melakukan kegiatan ilmiah (Keraf, 2001: 154).
Jadi, ilmu pengetahuan tidak muncul secara mendadak begitu saja. Oleh
karena itu, ketika seorang ilmuwan melakukan kegiatan penelitian, ia
dimotivasi oleh keinginan, baik personal maupun kolektif untuk mencapai
sasaran dan tujuan yang lebih luas dari sekedar kebenaran ilmiah murni.
Artinya, banyak faktor yang mendorong lahirnya ilmu pengetahuan, antara
lain: faktor religius, ideologi, ekonomi, moral, tradisi, budaya, politik,
lingkungan, dan lain-lain.
Maka, bisa saja seorang ilmuwan melakukan kegiatan ilmiah bukan murni
alasan kebenaran ilmiah/ilmu pengetahuan saja, tapi bisa karena alasan
kemakmuran/kesejahteraan/keselamatan manusia; tetapi juga karena
alasan untuk mendapatkan penghargaan, materi, kemasyhuran, dan lain-
lain, yang jauh dari pertimbangan ilmiah murni (Keraf, 2001: 155).
Kalau mau jujur, sejatinya penelitian ilmiah dan ilmu pengetahuan
merupakan hasil dari beberapa faktor berikut (Keraf, 2001: 155-156).Pertama, latar belakang etnis, agama, budaya individu ilmuwan tentang
masalah mana yang akan diteliti.
Kedua, nilai, kepentingan, dan kegiatan lembaga tentang jenis penelitian
yang mereka lakukan. Setiap lembaga memiliki keunikan masing-masing,
yang akan mempengaruhi hasil penelitian lembaga tersebut.
Ketiga, keputusan lembaga penyandang dana yang dipengaruhi oleh
minat, nilai, kepentingan, ideologi dari lembaga tersebut.
Keempat, keputusan dan kebijaksanaan umum dalam masyarakatbersangkutan. Ini menjelaskan, mengapa perkembangan ilmiah berbeda
-
7/25/2019 185-647-1-PB (2)
12/14
266 RELIGIAVol. 13, No. 2, Oktober 2010. Hlm. 255-268
antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain karena setiap
masyarakat mempunyai penghargaan dan perhatian berbeda terhadap
pengembangan berbeda terhadap ilmu pengetahuan.
b. Context of Justification
Yang dimaksud dengan context of justification adalah konteks
pengujian ilmiah terhadap hasil penelitian dan kegiatan ilmiah (Keraf,
2001: 156). Inilah konteks di mana kegiatan ilmiah dan hasil-hasilnya
diuji berdasarkan kategori dan kriteria yang murni ilmiah. Yang berbicara
di sini adalah data dan fakta, tanpa mempertimbangkan unsur lain di luar
kriteria ilmiah (Keraf, 2001: 156). Artinya, untuk membuktikan hipotesis
atau teori, maka yang menentukan hanyalah faktor dan kriteria ilmiah,dengan meninggalkan faktor di luar itu. Jadi, satu-satunya yang bernilai
adalah nilai kebenaran.
Dengan pembedaan kedua konteks di atas, maka dalam context of
discovery ilmupengetahuan tidak bebas nilai; ilmu pengetahuan mau
tidak mau peduli akan berbagai nilai lain di luar ilmu pengetahuan.
Sedangkan dalam context of justification, ilmu pengetahuan harus
bebas nilai; nilai-nilai lain itu tidak lagi ikut menentukan. Satu-satunya
yang menentukan adalah benar-tidaknya hipotesis atau teori ituberdasarkan bukti-bukti empiris dan penalaran logis yang bisa
ditunjukkan.
Tujuan pembedaan ini adalah untuk melindungi objektivitas dari hasil
akhir kegiatan ilmiah, dan dengan demikian sekaligus melindungi otonomi
ilmu pengetahuan. Yaitu, kendati dalam proses penemuan sebuah hukum/
teori ilmiah ada berbagai nilai, faktor dan pertimbangan ekstra yang ikut
menentukan, namun ketika sampai pada tahap pengujiannya, kebenaran
hukum/teori ilmiah harus berlandaskan data dan fakta empiris-logis.Dengan kata lain, pada tahap penemuan ilmu pengetahuan memang tidak
otonom seratus persen, tetapi pada tahap pengujian, ilmu pengetahuan
harus otonom mutlak, karena hanya berada di bawah pertimbangan
ilmiah murni.
Ada pertanyaan relevan dalam hal ini, bagaimana dengan hasil penelitian
ilmiah yang telah terbukti kebenarannya berdasarkan kriteria ilmiah murni,
tetapi ternyata dianggap bertentangan dengan nilai moral-religius tertentu?
Contohnya adalah kloning manusia. Pada kasus ini, sesungguhnya yang
-
7/25/2019 185-647-1-PB (2)
13/14
Tanggung Jawab Ilmu Pengetahuan (Ahmad Tarifin) 267
menjadi kriteria untuk menerima atau menolak kloning sebagai hasil ilmu
pengetahuan adalah kriteria kegunaan (pragmatis)-nya. Dalam pengertian,
dari segi context of justification, dari segikriteria kebenarannya tidak
bisa dibantah. Tetapi dari segi context of discovery, muncul pertanyaan,
apakah hasil ilmu pengetahuan tersebut berguna? Kalau ternyata tidak
berguna, merendahkan derajat, martabat, dan nilai kemanusiaan, hasil
tersebut perlu ditolak. Jadi, ditolaknya kloning bukan karena tidak benar,
tapi karena tidak berguna bagi hidup manusia yang merupakan tujuan
ilmu pengetahuan.
KESIMPULAN
Dengan merujuk kepada pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa:1. Munculnya berbagai penemuan dalamilmu pengetahuan selalu diikuti
pergulatan dua kecenderungan dasar, yakni: (a) pragmatisme, yang
berpendapat bahwa ilmu pengetahuan di samping bertujuan untuk
menemukan kebenaran, juga pada akhirnya berguna bagi kehidupan
manusia untuk memecahkan berbagai persoalan yang dihadapinya.
Dampak dari kecenderungan ini adalah pada penyikapan secara etis
dan melihat manfaat-mudlaratnya ilmu pengetahuan; (b) puritan-elitisme,
yang berpendapat bahwa tujuan dari ilmu pengetahuan adalah menemukan
kebenaran, menemukan penjelasan objektif tentang segala sesuatu. Untuk
itu, ilmu pengetahuan tidak boleh tunduk pada otoritas lain di luar ilmu
pengetahuan.
2. Untuk menengahi kedua kecenderungan di atas, diperlukan pemahaman
terhadap contex of discoverydan contex of justificationdi mana ilmu
pengetahuan itu muncul dan berkembang. Contex of discovery
menyangkut konteks di mana ilmu pengetahuan ditemukan. Maksudnya
adalah bahwa ilmu pengetahuan tidak terjadi, ditemukan, dan berlangsung
dalam kevakuman. Ilmu pengetahuan selalu ditemukan dan berkembang
dalam konteks sosial tertentu, bisa karena kepentingan negara, etnis,
agama atau bahkan kepentingan pribadi dalam rangka memecahkan
persoalan-persoalan yang dihadapi oleh manusia. Sedangkan contex of
justificationadalah konteks pengujian ilmiah terhadap hasil penelitian
dan kegiatan ilmiah. Inilah konteks di mana kegiatan ilmiah dan hasil-
hasilnya diuji berdasarkan kategori dan kriteria yang murni ilmiah. Yang
-
7/25/2019 185-647-1-PB (2)
14/14
268 RELIGIAVol. 13, No. 2, Oktober 2010. Hlm. 255-268
berbicara di sini adalah data dan fakta, tanpa mempertimbangkan unsur
lain di luar kriteria ilmiah. Jadi, satu-satunya yang bernilai adalah nilai
kebenaran.
3. Dengan pembedaan kedua konteks di atas, maka dalam context of
discovery ilmupengetahuan tidak bebas nilai; ilmu pengetahuan mau
tidak mau peduli akan berbagai nilai lain di luar ilmu pengetahuan.
Sedangkan dalam context of justification, ilmu pengetahuan harus
bebas nilai; nilai-nilai lain itu tidak lagi ikut menentukan. Satu-satunya
yang menentukan adalah benar-tidaknya hipotesis atau teori itu
berdasarkan bukti-bukti empiris dan penalaran logis yang bisa
ditunjukkan.
DAFTAR PUSTAKA
Adisusilo, Soetarjo, Problematika Perkembangan Ilmu, Yogyakarta:
Kanisius, 1983.
Keraf, A. Sonny & Mikhael Dua,Ilmu Pengetahuan; Sebuah Tinjauan
Filosofis, Yogyakarta: Kanisius, Cet. Ke-5. 2005.
Suriasumantri, Jujun S,Ilmu dalam Perspektif Moral, Sosial, dan Politik.
Jakarta: Gramedia, 1987.
Situmorang, Joseph MMT, Ilmu Pengetahuan dan Nilai-nilai, dalamMajalah Driyarkara, Tahun XXII.
van Melsen, A. G. M.Ilmu Pengetahuan dan Tanggung Jawab Kita Terj.
Dr. K. Bertens, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1992.
Zubeir, Ahmad Charis,Kajian Filsafat Ilmu, Dimensi Etik dan Asketik
Ilmu Pengetahuan Manusia, Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam.
2002.