185-647-1-pb (2)

Upload: dwiameliasavitri

Post on 27-Feb-2018

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 7/25/2019 185-647-1-PB (2)

    1/14

    Tanggung Jawab Ilmu Pengetahuan (Ahmad Tarifin) 255

    TANGGUNG JAWAB ILMU PENGETAHUAN:

    Pergulatan Antara Kaum Pragmatis dan Puritan-Elitis

    Ahmad Tarifin*

    Abstrak:Munculnyapenemuan dalamilmu pengetahuan selalu diikutioleh dua penyikapan: (1) etis, bahwa perkembangan ilmu pengetahuan

    sesuai dengan nilai-nilai etika dan bermanfaat; dan (2) bebas nilai,

    bahwa sejak kemunculannya, ilmu pengetahuan dimaksudkan dalam

    rangka untuk pengembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Pandangan

    awal diusung oleh kelompok pragmatisme yang berpendapat bahwa

    ilmu pengetahuan di samping bertujuan untuk menemukan kebenaran,

    juga berguna bagi kehidupan manusia untuk memecahkan berbagai

    persoalan yang dihadapinya. Sementara pandangan kedua diusung

    oleh kelompok puritan-elitis yang berpendapat bahwa tujuan ilmupengetahuan adalah menemukan kebenaran dan menemukan

    penjelasan objektif tentang segala sesuatu. Untuk itu, ilmu pengetahuan

    tidak boleh tunduk pada otoritas lain di luar dirinya. Untuk menengahi

    kedua kecenderungan di atas, diperlukan pemahaman secara sintesis

    terhadap contex of discovery dan contex of justification di mana

    ilmu pengetahuan itu muncul dan berkembang.

    The emergence of discovery in science is always followed by two

    attitudes: (1) ethical, the development of science is accord with ethicalvalues and benefit; and (2) free values, since its emergence, science

    is meant to develop itself. The former is promoted by pragmatism

    group viewing that science is not only to find the truth, but also benefit

    human life to solve many problems in their life. The latter, on the

    other hand, is promoted by puritan-elite group viewing that the aim of

    science is to find the truth and the objective explanation of everything.

    *. Jurusan Tarbiyah STAIN Pekalongan, Jl. Kusumabangsa No 9 PekalonganEmail: [email protected]

  • 7/25/2019 185-647-1-PB (2)

    2/14

    256 RELIGIAVol. 13, No. 2, Oktober 2010. Hlm. 255-268

    Therefore, science cannot submit to other authority out of itself. To

    bridge these two tendencies, the synthesis understanding of the context

    of discovery and the context of justification wherein the science

    emerges and develops is needed.

    Kata Kunci: Ilmu Pengetahuan, Puritan-elitisme, Pragmatisme

    PENDAHULUAN

    Ketika bom Hiroshima dan Nagasaki dijatuhkan oleh tentara AS pada 6

    dan 9 Agustus 1945, Jepang luluh lantak dan menyatakan menyerah tanpa

    syarat kepada sekutu. Tetapi di balik keberhasilan sekutu, Einstein, penemu

    Teori Relativitassebagai teori konstruk bom atommerasa kecewa, karenabom atom telah membawa banyak korban tak bersalah dan kerusakan alam

    sedemikian hebatnya (Adisusilo, 1983: 96).

    Ia menyatakan, Mengapa ilmu yang indah ini, yang menghemat kerja

    dan membikin hidup lebih mudah, hanya membawa kebahagiaan yang sedikit

    kepada kita? Dalam peperangan, ilmu menyebabkan kita saling meracuni dan

    menjegal. Ilmu yang seharusnya membebaskan dari pekerjaan yang

    melelahkan secara spiritual malahan menjadikan manusia budak-budak

    mesin (Suriasumantri, 1978: 249).Demikian pula berkembangnya ilmu pengetahuan dalam bentuk rekayasa

    genetika, mulai dari kloning tumbuhan, hewan sampai manusia, memunculkan

    pro-kontra, tarik-ulur antara kelompok yang menolak dan kelompok yang

    mendukungnya, baik dari kalangan ilmuwan maupun agamawan.

    Artinya, perkembangan ilmu pengetahuan yang pada mulanya untuk

    menemukan pembuktian kebenaran ilmu pengetahuan, dalam kenyataannya

    bisa memunculkan dampak negatif yang demikian hebat bagi kehidupanmanusia.

    Dalam rangka menjawab permasalahan di atas, tulisan ini berusaha

    mendudukkan ilmu pengetahuan pada tempat semestinya, dengan mengamati

    ruang, waktu dan kepentingan munculnya ilmu pengetahuan, sehingga pada

    akhirnya, ilmu pengetahuan tidak dikambing-hitamkan ketika muncul

    kesalahan-kesalahan.

  • 7/25/2019 185-647-1-PB (2)

    3/14

    Tanggung Jawab Ilmu Pengetahuan (Ahmad Tarifin) 257

    PEMBAHASAN

    A. Ilmu Pengetahuan: Antara Bencana dan Berkah

    Ilmu pengetahuan berbeda dengan mitos dalam menjelaskan fenomena

    alam yang kompleks, termasuk soal bencana alam. Ketika terjadi gempa bumi,longsor, banjir, erupsi gunung, tsunami, luapan lumpur Lapindo/Lusi, dan

    bencana lainnya, para ahli geologi mencoba mencari penjelasan secara ilmiah

    berdasarkan fakta-fakta tabiat alam yang dikontruksikan oleh temuan-temuan

    ilmiah sebelumnya serta teori-teori yang dikembangkan secara sistematik.

    Mereka lalu mencari penjelasan pada sejarah gempa dan menumpahkan

    energi bumi di lokasi tertentu, kemudian menyampaikan indikasi dan predikasi

    mengenai gempa. Begitu pula dengan gejala alam lainnya. Karena itu, Sultan

    Hamengkubuwono X pernah menyatakan bahwa dirinya lebih percaya padailmu pengetahuan ketimbang cerita-cerita berdasarkan kepercayaan tertentu

    (mitos) mengenai gunung berapi. Hal itu diungkapkan ketika betapa sulitnya

    meyakinkan penduduk untuk mengungsi karena lebih menuruti Mbah

    Maridjan, sang juru kunci, yang masih tetap bertahan di sekitar Gunung Merapi

    pada erupsi tahun 2006. Kini, pembuktian ilmiah yang diyakini Sultan

    Hamengkubuwono X menemukan pembenarannya, ketika Mbah Maridjan

    yang berpegang teguh pada mitos menemui ajal oleh alam (baca: Gunung

    Merapi) yang dicintainya, ketika terjadi eruspsi Merapi tahun 2010.

    Ilmu pengetahuan yang didukung teori dan teknologi canggih dapat

    menjelaskan terjadinya bencana secara lebih objektif, rasional, dan

    berdasarkan pada perilaku alam sebagaimana apa adanya. Bukan dengan

    cerita-cerita dan legenda. Itulah ciri dari masyarakat modern. Namun karena

    fenomena alam dan tingkah lakunya seringkali kompleks dan multifaktor, maka

    ilmu pengetahuan pun belum sepenuhnya dapat menjelaskan bencana alam

    secara ideal dan meyakinkan. Bagaimana pun, ilmu pengetahuan memilikiketerbatasan; kapan pastinya gempa, tsunami, gunung meletus akan terjadi,

    ilmu pengetahuan hanya dapat memberikan indikasi dan prediksi, tetapi tidak

    bisa memastikan. Tsunami Mentawai adalah bukti keterbatasan ilmu

    pengetahuan, di mana ketika BMKG telah mencabut peringatan tsunami, justru

    tsunami meluluhlantakkan Mentawai pada 26 Oktober 2010.

    Namun keterbatasan ilmu pengetahuan tersebut tidak lantas menjadikan

    kita menolak kebenaran ilmu pengetahuan dan lebih mempercayai mitos. Mitos

    pun dalam batas tertentu dapat dijadikan masukan untuk menangkap fenomena

  • 7/25/2019 185-647-1-PB (2)

    4/14

    258 RELIGIAVol. 13, No. 2, Oktober 2010. Hlm. 255-268

    alam, terutama dari isi harmoni dan kearifan lokal. Bencana alam dengan segala

    hal yang berkaitan dapat dijelaskan oleh ilmu pengetahuan, sedangkan mitos

    pada aspek tertentu sekedar jadi salah satu masukan mengenai kerahasiaan

    perilaku alam. Selebihnya, bagaimana manusia mengambil keputusan dan sikap.

    Di sinilah pentingnya orang-orang beragama memiliki kekayaan referensi

    dalam memahami dunia dan semesta kehidupan secara multidimensi dan

    menyeluruh. Jika para mubaligh, tokoh agama, dan para ustadz hanya

    menggunakan rujukan agama secara sempit dan terbatas, lebih-lebih tidak di

    dukung referensi keilmuan, maka dengan gampang menjelaskan bencana alam

    secara terbatas pula. Bencana hanya dimaknai sebagai azab, tanpa melihat

    hakikat, tabiat, dan fakta alam secara menyeluruh.

    Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi akan menghambatataupun meningkatkan keberadaan manusia tergantung pada manusianya itu

    sendiri, karena ilmu pengetahuan dan teknologi dilakukan oleh manusia dan

    untuk kepentingan manusia dalam kebudayaannya. Kemajuan di bidang

    teknologi memerlukan kedewasaan manusia dalam arti yang sesungguhnya,

    yaitu kedewasaan untuk mengerti mana yang layak dan yang tidak layak,

    yang buruk dan yang baik (Melsen, 1992: 68).

    Di bawah ini ditampilkan secara umum sisi menguntungkan dan sisi

    merugikan dari hasil rekayasa teknologi manusia (Zubair, 2002: 133-138):

    1. Penggunaan penemuan hukum fisika modern yang ditimbulkan oleh

    rekayasa teknologi diikuti dengan jatuhnya bom atom di Hiroshima, telah

    membawa banyak korban.

    2. Penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi serta rekayasanya dalam

    bidang industri, telah menghasilkan limbah di antaranya plastik yang

    tidak dapat di daur ulang.

    3. Penemuan-penemuan senjata pembunuh massal baik senjata kimia,

    biologis, ekologis, psikologis beserta teknologi yang telah membayangi

    kepunahan manusia, membuat manusia dihantui oleh ketakutan dan

    neurosisyang seharusnya tidak perlu terjadi.

    4. Rekayasa teknik, misalnya telah menghasilkan pesawat jumbo jet DC-

    10 yang ternyata telah menewaskan 346 jiwa karena terdapat cacat

    pada desain pesawat tersebut.

    5. Rekayasa teknik juga telah menghasilkan pesawat terbang angkut aman

    yang mampu membantu mobilitas manusia memenuhi hajat hidupnya.

  • 7/25/2019 185-647-1-PB (2)

    5/14

    Tanggung Jawab Ilmu Pengetahuan (Ahmad Tarifin) 259

    6. Rekayasa teknik telah telah menciptakan kendaraan yang membuat bumi

    semakin panas, karena memunculkan polusi udara. Demikian juga,

    rekayasa teknik mampu menciptakan teknologi kendaraan yang ramah

    lingkungan dan hemat bahan bakar, seperti mobil berbahan bakar hybrida,

    tenaga surya, biosel, maupun gas.

    7. Peristiwa hancurnya Challenger akibat kegagalan peluncuran pesawat

    ulang alik membahayakan keselamatan para awaknya.

    8. Rekayasa bioteknik berupa temuan tentang kode molekuler DNA

    membimbing manusia ke arah metode pengrusakan bagi kehidupan,

    penciptaan, penyakit baru, dan pengendalian pikiran.

    9. Penemuan rekayasa genetika, telah mengantarkan manusia kepada usaha

    mengklon mereka, yang pada dasarnya merendahkan derajatkemanusiaan pada umumnya.

    Memang, rekayasa teknologi sebagai hasil keputusan tindakan manusia,

    berkembang dalam kebudayaan manusia dan sekaligus mempengaruhi

    kebudayaan manusia secara keseluruhan. Ia mengandung dua sisi, sebagaimana

    telah disebutkan di atas, yakni sisi menguntungkan dan sisi yang dapat mengarah

    ke hal-hal yang membahayakan manusia. Kenyataan ini menantang manusia

    lebih lanjut untuk menggunakan semaksimal mungkin daya akal budinya untuk

    menyelamatkan kehidupan manusia serta alam semesta.

    B. Batas-batas Tanggung Jawab Ilmu Pengetahuan

    Tanggung jawab ilmu pengetahuan menyangkut juga tanggung jawab

    terhadap hal-hal yang akan dan telah diakibatkan ilmu pengetahuan di masa

    lalu, sekarang, maupun akibatnya bagi masa depan berdasarkan keputusan-

    keputusan bebas manusia dalam kegiatannya. Penemuan-penemuan baru

    dalam ilmu pengetahuan terbukti ada yang dapat mengubah sesuatu aturanbaik alam maupun manusia (Zubair, 2002: 56).

    Hal ini tentu saja menuntut tanggung jawab untuk menjaga agar apa yang

    diwujudkan dalam perubahan tersebut berdampak positif, baik bagi

    perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri maupun bagi

    perkembangan eksistensi manusia secara utuh. Dalam bahasa Melsen (1992:

    72), tanggung jawab dalam ilmu pengetahuan menyangkut problem etis, karena

    menyangkut ketegangan-ketegangan antara realitas yang ada dan realitas yangseharusnya ada.

  • 7/25/2019 185-647-1-PB (2)

    6/14

    260 RELIGIAVol. 13, No. 2, Oktober 2010. Hlm. 255-268

    Menurut Zubair (Zubair, 2002: 139-140) ilmu pengetahuan seharusnya

    berguna dalam empat hal, yaitu:pertama, bermanfaat bagi orang yang bergulat

    dalam ilmu pengetahuan bersangkutan. Kedua, bermanfaat bagi ilmu

    pengetahuan itu sendiri dalam mencari kebenaran.Ketiga, bermanfaat bagi

    kehidupan manusia sezaman, di mana ilmu pengetahuan itu muncul.Keempat,

    bermanfaat bagi siapa saja pada kurun waktu kapan saja.

    Dalam konteks ini, ilmu pengetahuan tidak dapat menyelesaikan masalah

    manusia secara mutlak, namun ilmu pengetahuan sangat berguna bagi manusia.

    Untuk itu, manusia diharapkan tidak hanya mengekor secara membabi buta

    ke arah yang tak dapat dipandunya, sebab ilmu pengetahuan tidak cukup

    mampu menyelesaikan masalah kehidupan yang amat rumit ini. Keterbatasan

    ilmu pengetahuan, membuat manusia harus berhenti sejenak untukmerenungkan adanya sesuatu sebagai pegangan.

    Dengan demikian, kemajuan ilmu pengetahuan memerlukan misi moral

    yang tepat. Manusia dengan ilmu pengetahuan akan mampu untuk berbuat

    apa saja yang diinginkannya, namun pertimbangan tidak hanya sampai pada

    apa yang dapat diperbuat olehnya, tetapi perlu pertimbangan apakah

    memang harus diperbuat dan apa yang seharusnya diperbuat dalam rangka

    kedewasaan manusia yang utuh.

    Pada dasarnya, mengupayakan rumusan konsep etika dalam ilmu

    pengetahuan harus sampai kepada rumusan normatif yang berupa pedoman

    pengarah konkrit, bagaimana keputusan tindakan manusia di bidang ilmu

    pengetahuan harus dilakukan. Moralitas/etika sering dipandang banyak or-

    ang sebagai konsep abstrak yang akan mendapatkan kesulitan apabila harus

    diterapkan begitu saja terhadap masalah manusia konkrit. Realitas

    permasalahan manusia yang bersifat konkrit-empirik, seolah-olah mempunyai

    kekuasaan untuk memaksa rumusan moral sebagai konsep abstrak

    menjabarkan kriteria-kriteria baik-buruknya sehingga menjadi konsep

    normatif, secara nyata sesuai dengan daerah yang ditanganinya.

    C. Etika dan Masalah Bebas Nilai dalam Ilmu Pengetahuan

    Kenyataan bahwa ilmu pengetahuan tidak boleh terpengaruh oleh nilai-

    nilai yang letaknya di luar ilmu pengetahuan, dapat diungkapkan juga dengan

    rumusan singkat bahwa ilmu pengetahuan itu seharusnya bebas (Keraf, 2001:

    149; Situmorang, tt.: 13). Namun demikian jelaslah kiranya bahwa kebebasan

  • 7/25/2019 185-647-1-PB (2)

    7/14

    Tanggung Jawab Ilmu Pengetahuan (Ahmad Tarifin) 261

    yang dituntut ilmu pengetahuan sekali-kali tidak sama dengan ketidak-terikatan

    mutlak. Bila kata kebebasan dipakai, yang dimaksudkan adalah dua hal

    yaitu kemungkinan untuk memilih dan kemampuan atau hak subjek

    bersangkutan untuk memilih sendiri. Supaya terdapat kebebasan, harus ada

    penentuan sendiri dan bukan penentuan dari luar (Keraf, 2001: 150).

    Etika memang tidak masuk dalam kawasan ilmu pengetahuan yang bersifat

    otonom, tetapi tidak dapat disangkal ia berperan dalam perbincangan ilmu

    pengetahuan. Tanggung jawab etis merupakan hal yang menyangkut kegiatan

    maupun penggunaan ilmu pengetahuan. Dalam kaitan hal ini terjadi keharusan

    untuk memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, menjaga

    kesimbangan ekosistem, bertanggungjawab pada kepentingan umum,

    kepentingan pada generasi mendatang, dan bersifat universal. Karena padadasarnya ilmu pengetahuan adalah untuk mengembangkan dan memperkokoh

    eksistensi manusia bukan untuk menghancurkan eksistensi manusia (Zubair,

    2002: 49).

    Tanggung jawab etis ini bukanlah berkehendak mencampuri atau bahkan

    menghancurkan otonomi ilmu pengetahuan, tetapi bahkan dapat menjadi

    umpan balik bagi pengembangan ilmu pengetahuan itu sendiri, yang sekaligus

    akan memperkokoh eksistensi manusia (Zubair, 2002: 49-50). Lebih lanjut

    Zubair (2002: 57) mengatakan, tanggung jawab etis tidak hanya menyangkutupaya penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi secara tepat dalam

    kehidupan manusia, tetapi harus menyadari juga apa yang seharusnya

    dikerjakan atau tidak, untuk memperkokoh kedudukan serta martabat manusia

    yang seharusnya, baik dalam hubungannya sebagai pribadi, dalam

    hubungannya dengan lingkungan maupun sebagai makhluk yang

    bertanggungjawab terhadap Khalik-nya.

    1. Pengertian Bebas NilaiBebas nilai sesungguhnya adalah tuntutan yang ditujukan kepada ilmu

    pengetahuan, agar ilmu pengetahuan dikembangkan dengan tidak

    memperhatikan nilai-nilai lain di luar ilmu pengetahuan. Tuntutan dasarnya adalah

    agar ilmu pengetahuan dikembangkan hanya dengan ilmu pengetahuan. Ilmu

    pengetahuan harus dikembangkan hanya semata-maa berdasarkan

    pertimbangan ilmiah murni (Keraf, 2001: 149). Maksud dasar dari tuntutan

    ini adalah agar ilmu pengetahuan tidak tunduk kepada pertimbangan lain di

    luar ilmu pengetahuan sehingga menimbulkan distorsi.

  • 7/25/2019 185-647-1-PB (2)

    8/14

    262 RELIGIAVol. 13, No. 2, Oktober 2010. Hlm. 255-268

    Sesungguhnya tuntutan bebas nilai itu sendiri tidak mutlak, karena tuntutan

    agar ilmu pengetahuan bebas dari nilai tertentu, hanya berlaku bagi nilai lain di

    luar nilai yang menjadi taruhan utama ilmu pengetahuan, yang berarti

    sesungguhnya ilmu pengetahuan pada dirinya sendiri mulai peduli terhadap

    nilai tertentu, yaitu nilai kebenaran dan dalam kaitan dengan itu nilai kejujuran

    (Keraf, 2001: 150).

    Dengan demikian, yang mau diwujudkan dengan tuntutan bebas nilai

    adalah tuntutan agar ilmu pengetahuan dikembangkan hanya demi kebenaran

    saja, dan tidak perlu pada pertimbangan lain di luar ilmu pengetahuan.

    2. Dua Kecenderungan Dasar

    Dalam hal ini, muncul pertanyaan mendasar, apakah ilmu pengetahuanmemiliki otonom yang sedemikian mutlak lepas dari campur tangan pihak

    lain? Bagaimana jadinya kalau ilmu pengetahuan dikembangan sedemikian

    otonom sehingga pada akhirnya tidak mempedulikan berbagai nilai di luar

    ilmu pengetahuan, dan akhirnya malah merugikan manusia? Padahal, tujuan

    akhir ilmu pengetahuan adalah untuk mencari dan memberi penjelasan tentang

    masalah dan fenomena dalam alam semesta ini. Ilmu pengetahuan bertujuan

    memberikan pemahaman kepada manusia tentang berbagai masalah dan

    fenomena dalam hidup ini.Oleh karena itu diperlukan adanya pembedaan dua macam

    kecenderungan dasar dalam melihat tujuan ilmu pengetahuan, yaitu:

    a. Kecenderungan Puritan-Elitis

    Kecenderungan ini beranggapan bahwa tujuan akhir dari ilmu pengetahuan

    adalah demi ilmu pengetahuan (Keraf, 2001: 151). Ilmu pengetahuan

    memang bertujuan untuk mencari dan menemukan penjelasan, yaitu

    penjelasan yang benar tentang segala sesuatu.Kepuasan seorang ilmuwan di sini terutama terletak dalam menemukan

    teori-teori besar yang mampu menjelaskan segala persoalan, teka-teki,

    dan gejala alam ini, terlepas dari apakah ilmu pengetahuan itu berguna

    atau tidak bagi kehidupan praktis manusia. Bagi mereka, yang terpenting

    adalah teori-teori besar itu, tanpa mempersoalkan keterkaitannya dengan

    kegunaan praktisnya dalam kehidupan sehari-hari manusia (Keraf, 2001:

    150).

  • 7/25/2019 185-647-1-PB (2)

    9/14

    Tanggung Jawab Ilmu Pengetahuan (Ahmad Tarifin) 263

    Dengan kata lain, bagi kecenderungan puritan elitis, tidak ada yang

    disebut link and matchkarena ilmu pengetahuan memang hanya

    bertujuan mencapai penjelasan dan pemahaman tentang masalah-masalah

    dalam alam ini. Mereka tidak mempersoalkan aplikasinya bagi kehidupan

    kongkrit (Keraf, 2001: 152). Konsekuensinya, ilmu pengetahuan menjadi

    bidang yang sangat elitis, yang digeluti oleh segelintir orang saja. Tidak

    semua orang bisa mencapainya. Ilmu pengetahuan lalu menjadi sesuatu

    yang mewah, jauh dari kehidupan riil manusia.

    Berdasarkan kecenderungan di atas, ilmu pengetahuan harus bebas nilai,

    termasuk pertimbangan nilai guna dari ilmu pengetahuan tersebut.

    Kebenaran harus ditegakkan, apapun konsekuensi dan kegunaan praktis

    dari ilmu pengetahuan. Karena, tujuan dari ilmu pengetahuan adalahmenemukan kebenaran, menemukan penjelasan objektif tentang segala

    sesuatu. Untuk itu, ilmu tidak boleh tunduk pada otoritas lain di luar ilmu

    pengetahuan. Selama ilmu pengetahuan dikembangkan demi

    meningkatkan keuntungan dan kemakmuran bagi hidup manusia,

    kebenaran bisa dikorbankan demi keuntungan dan kemakmuran tadi

    (Keraf, 2001: 152).

    Contoh, kasus tambang emas Busang di Kalimantan beberapa tahun

    lalu, memperlihatkan dengan jelas kesalahan ini: Demi meningkatkan nilaisaham Bre-X (perusahaan pemilik tambang emas Busang), di pasar saham

    dunia, perusahaan itu tega mengorbankan kebenaran ilmiah dengan

    melaporkan kebohongan bahwa mereka telah menemukan, dalam

    penelitian ilmiah yang mereka lakukan, jutaan ons emas di Busang

    Kalimantan.

    Di tahun 2009, Pemprov Jawa Tengah menggandeng perguruan tinggi

    untuk melakukan penelitian tentang kelayakan sebuah daerah di

    Kabupaten Pati untuk dijadikan lokasi penambangan Pabrik SemenGresik, tetapi komunitas lingkungan hidup di daerah tersebut menolaknya.

    Untungnya, perusahaan semen tersebut menarik diri dari proyek bernilai

    5 triliun tersebut. Meski secara ekonomi, dinilai mampu meningkatkan

    kesejahteraan dan membuka lapangan pekerjaan bagi penduduk Pati,

    tetapi dilihat dari kacamata konservasi lingkungan di sana, penambangan

    semen akan merusak habitat dan ekosistem alam di sana.

    Demikian pula ketika di Muria akan dibangun PLTN, masyarakat di

    sana dengan keras menolaknya dengan alasan khawatir berdampak

  • 7/25/2019 185-647-1-PB (2)

    10/14

    264 RELIGIAVol. 13, No. 2, Oktober 2010. Hlm. 255-268

    negatif pada masa mendatang bila terjadi kebocoran nuklir. Akhirnya

    hingga kini, pemerintah belum menindaklanjuti gagasan PLTN di Muria,

    meski pertimbangan ilmiah memungkinkan pembangunannya.

    b. Kecenderungan PragmatisKecenderungan ini beranggapan bahwa ilmu pengetahuan dikembangkan

    demi mencari dan memperoleh penjelasan tentang berbagai persoalan

    dalam alam semesta ini (Keraf, 2001: 153). Ilmu pengetahuan memang

    bertujuan untuk menemukan kebenaran, yang penting juga bahwa ilmu

    pengetahuan itu pada akhirnya berguna bagi kehidupan manusia, yaitu

    bahwa ilmu pengetahuan berguna bagi manusia untuk memecahkan

    berbagai persoalan yang dihadapi dalam hidupnya. Jadi ilmu pengetahuan

    bukan dikembangkan demi ilmu pengetahuan semata, melainkan jugademi menjawab berbagai persoalan hidup manusia.

    Bagi kelompok ini, ilmu pengetahuan menjadi menarik justru karena ia

    berguna membantu manusia. Tanpa itu, ilmu pengetahuan tidak berguna

    sama sekali. Penjelasan dan kebenaran objektif; ya! Tetapi, kebenaran

    dan penjelasan itu punya arti justru karena ia berguna bagi kehidupan

    manusia. Yaitu membuat hidup manusia lebih baik, lebih bahagia, lebih

    memahami banyak hal. Tegasnya, membuat hidup lebih hidup!Oleh

    karenanya, kebenaran ilmiah, menurut kelompok ini, tidak hanya bersifat

    logis-rasionaldan empiris, melainkan juga bersifat pragmatis, yakni bahwa

    kebenaran berguna menjawab berbagai persoalan hidup manusia (Keraf,

    2001:153).

    Dewasa ini, ilmu pengetahuan berkembang pesat, karena memiliki nilai

    guna (pragmatis) dalam menjawab persoalan kehidupan manusia.

    Sebutlah misalnya, berkembangnya teknologi informasi dan

    telekomunikasi (komputer, internet, komunikasi seluler), elektronika,

    otomotif, medis, dan lain-lain adalah buah dari prisnip pragmatisme dalam

    ilmu pengetahuan.

    Dalam cara pandang ini, ilmu pengetahuan betul-betul melayani

    kepentingan manusia dan bukan demi ilmu pengetahuan semata. Demikian

    pula, manusia bukan demi ilmu pengetahuan melainkan ilmu pengetahuan

    demi manusia. Jadi yang ditekankan adalah aspek utiliter dari ilmu

    pengetahuan, aspek kegunaan, dengan manusia sebagai tujuannya (Keraf,

    2001: 153-4).

  • 7/25/2019 185-647-1-PB (2)

    11/14

    Tanggung Jawab Ilmu Pengetahuan (Ahmad Tarifin) 265

    3. Sintesis: Context of Discovery dan Context of Justification

    Menurut Sony Keraf dan Mikhael Dua (Keraf, 2001: 154), jalan keluar

    dari kesulitan mengenai masalah bebas nilai ilmu pengetahuan adalah dengan

    membedakan antara context of discoverydan context of justification.a. Context of Discovery

    Context of discoverymenyangkut konteks di mana ilmu pengetahuan

    ditemukan (Keraf, 2001: 154). Maksudnya adalah bahwa ilmu

    pengetahuan tidak terjadi, ditemukan, dan berlangsung dalam kevakuman.

    Ilmu pengetahuan selalu ditemukan dan berkembang dalam konteks ruang

    dan waktu tertentu, dalam konteks sosial tertentu. Termasuk di dalamnya

    adalah bahwa ilmu pengetahuan muncul dan berkembang demi

    memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh manusia. Karena

    itulah, manusia melakukan kegiatan ilmiah (Keraf, 2001: 154).

    Jadi, ilmu pengetahuan tidak muncul secara mendadak begitu saja. Oleh

    karena itu, ketika seorang ilmuwan melakukan kegiatan penelitian, ia

    dimotivasi oleh keinginan, baik personal maupun kolektif untuk mencapai

    sasaran dan tujuan yang lebih luas dari sekedar kebenaran ilmiah murni.

    Artinya, banyak faktor yang mendorong lahirnya ilmu pengetahuan, antara

    lain: faktor religius, ideologi, ekonomi, moral, tradisi, budaya, politik,

    lingkungan, dan lain-lain.

    Maka, bisa saja seorang ilmuwan melakukan kegiatan ilmiah bukan murni

    alasan kebenaran ilmiah/ilmu pengetahuan saja, tapi bisa karena alasan

    kemakmuran/kesejahteraan/keselamatan manusia; tetapi juga karena

    alasan untuk mendapatkan penghargaan, materi, kemasyhuran, dan lain-

    lain, yang jauh dari pertimbangan ilmiah murni (Keraf, 2001: 155).

    Kalau mau jujur, sejatinya penelitian ilmiah dan ilmu pengetahuan

    merupakan hasil dari beberapa faktor berikut (Keraf, 2001: 155-156).Pertama, latar belakang etnis, agama, budaya individu ilmuwan tentang

    masalah mana yang akan diteliti.

    Kedua, nilai, kepentingan, dan kegiatan lembaga tentang jenis penelitian

    yang mereka lakukan. Setiap lembaga memiliki keunikan masing-masing,

    yang akan mempengaruhi hasil penelitian lembaga tersebut.

    Ketiga, keputusan lembaga penyandang dana yang dipengaruhi oleh

    minat, nilai, kepentingan, ideologi dari lembaga tersebut.

    Keempat, keputusan dan kebijaksanaan umum dalam masyarakatbersangkutan. Ini menjelaskan, mengapa perkembangan ilmiah berbeda

  • 7/25/2019 185-647-1-PB (2)

    12/14

    266 RELIGIAVol. 13, No. 2, Oktober 2010. Hlm. 255-268

    antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain karena setiap

    masyarakat mempunyai penghargaan dan perhatian berbeda terhadap

    pengembangan berbeda terhadap ilmu pengetahuan.

    b. Context of Justification

    Yang dimaksud dengan context of justification adalah konteks

    pengujian ilmiah terhadap hasil penelitian dan kegiatan ilmiah (Keraf,

    2001: 156). Inilah konteks di mana kegiatan ilmiah dan hasil-hasilnya

    diuji berdasarkan kategori dan kriteria yang murni ilmiah. Yang berbicara

    di sini adalah data dan fakta, tanpa mempertimbangkan unsur lain di luar

    kriteria ilmiah (Keraf, 2001: 156). Artinya, untuk membuktikan hipotesis

    atau teori, maka yang menentukan hanyalah faktor dan kriteria ilmiah,dengan meninggalkan faktor di luar itu. Jadi, satu-satunya yang bernilai

    adalah nilai kebenaran.

    Dengan pembedaan kedua konteks di atas, maka dalam context of

    discovery ilmupengetahuan tidak bebas nilai; ilmu pengetahuan mau

    tidak mau peduli akan berbagai nilai lain di luar ilmu pengetahuan.

    Sedangkan dalam context of justification, ilmu pengetahuan harus

    bebas nilai; nilai-nilai lain itu tidak lagi ikut menentukan. Satu-satunya

    yang menentukan adalah benar-tidaknya hipotesis atau teori ituberdasarkan bukti-bukti empiris dan penalaran logis yang bisa

    ditunjukkan.

    Tujuan pembedaan ini adalah untuk melindungi objektivitas dari hasil

    akhir kegiatan ilmiah, dan dengan demikian sekaligus melindungi otonomi

    ilmu pengetahuan. Yaitu, kendati dalam proses penemuan sebuah hukum/

    teori ilmiah ada berbagai nilai, faktor dan pertimbangan ekstra yang ikut

    menentukan, namun ketika sampai pada tahap pengujiannya, kebenaran

    hukum/teori ilmiah harus berlandaskan data dan fakta empiris-logis.Dengan kata lain, pada tahap penemuan ilmu pengetahuan memang tidak

    otonom seratus persen, tetapi pada tahap pengujian, ilmu pengetahuan

    harus otonom mutlak, karena hanya berada di bawah pertimbangan

    ilmiah murni.

    Ada pertanyaan relevan dalam hal ini, bagaimana dengan hasil penelitian

    ilmiah yang telah terbukti kebenarannya berdasarkan kriteria ilmiah murni,

    tetapi ternyata dianggap bertentangan dengan nilai moral-religius tertentu?

    Contohnya adalah kloning manusia. Pada kasus ini, sesungguhnya yang

  • 7/25/2019 185-647-1-PB (2)

    13/14

    Tanggung Jawab Ilmu Pengetahuan (Ahmad Tarifin) 267

    menjadi kriteria untuk menerima atau menolak kloning sebagai hasil ilmu

    pengetahuan adalah kriteria kegunaan (pragmatis)-nya. Dalam pengertian,

    dari segi context of justification, dari segikriteria kebenarannya tidak

    bisa dibantah. Tetapi dari segi context of discovery, muncul pertanyaan,

    apakah hasil ilmu pengetahuan tersebut berguna? Kalau ternyata tidak

    berguna, merendahkan derajat, martabat, dan nilai kemanusiaan, hasil

    tersebut perlu ditolak. Jadi, ditolaknya kloning bukan karena tidak benar,

    tapi karena tidak berguna bagi hidup manusia yang merupakan tujuan

    ilmu pengetahuan.

    KESIMPULAN

    Dengan merujuk kepada pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa:1. Munculnya berbagai penemuan dalamilmu pengetahuan selalu diikuti

    pergulatan dua kecenderungan dasar, yakni: (a) pragmatisme, yang

    berpendapat bahwa ilmu pengetahuan di samping bertujuan untuk

    menemukan kebenaran, juga pada akhirnya berguna bagi kehidupan

    manusia untuk memecahkan berbagai persoalan yang dihadapinya.

    Dampak dari kecenderungan ini adalah pada penyikapan secara etis

    dan melihat manfaat-mudlaratnya ilmu pengetahuan; (b) puritan-elitisme,

    yang berpendapat bahwa tujuan dari ilmu pengetahuan adalah menemukan

    kebenaran, menemukan penjelasan objektif tentang segala sesuatu. Untuk

    itu, ilmu pengetahuan tidak boleh tunduk pada otoritas lain di luar ilmu

    pengetahuan.

    2. Untuk menengahi kedua kecenderungan di atas, diperlukan pemahaman

    terhadap contex of discoverydan contex of justificationdi mana ilmu

    pengetahuan itu muncul dan berkembang. Contex of discovery

    menyangkut konteks di mana ilmu pengetahuan ditemukan. Maksudnya

    adalah bahwa ilmu pengetahuan tidak terjadi, ditemukan, dan berlangsung

    dalam kevakuman. Ilmu pengetahuan selalu ditemukan dan berkembang

    dalam konteks sosial tertentu, bisa karena kepentingan negara, etnis,

    agama atau bahkan kepentingan pribadi dalam rangka memecahkan

    persoalan-persoalan yang dihadapi oleh manusia. Sedangkan contex of

    justificationadalah konteks pengujian ilmiah terhadap hasil penelitian

    dan kegiatan ilmiah. Inilah konteks di mana kegiatan ilmiah dan hasil-

    hasilnya diuji berdasarkan kategori dan kriteria yang murni ilmiah. Yang

  • 7/25/2019 185-647-1-PB (2)

    14/14

    268 RELIGIAVol. 13, No. 2, Oktober 2010. Hlm. 255-268

    berbicara di sini adalah data dan fakta, tanpa mempertimbangkan unsur

    lain di luar kriteria ilmiah. Jadi, satu-satunya yang bernilai adalah nilai

    kebenaran.

    3. Dengan pembedaan kedua konteks di atas, maka dalam context of

    discovery ilmupengetahuan tidak bebas nilai; ilmu pengetahuan mau

    tidak mau peduli akan berbagai nilai lain di luar ilmu pengetahuan.

    Sedangkan dalam context of justification, ilmu pengetahuan harus

    bebas nilai; nilai-nilai lain itu tidak lagi ikut menentukan. Satu-satunya

    yang menentukan adalah benar-tidaknya hipotesis atau teori itu

    berdasarkan bukti-bukti empiris dan penalaran logis yang bisa

    ditunjukkan.

    DAFTAR PUSTAKA

    Adisusilo, Soetarjo, Problematika Perkembangan Ilmu, Yogyakarta:

    Kanisius, 1983.

    Keraf, A. Sonny & Mikhael Dua,Ilmu Pengetahuan; Sebuah Tinjauan

    Filosofis, Yogyakarta: Kanisius, Cet. Ke-5. 2005.

    Suriasumantri, Jujun S,Ilmu dalam Perspektif Moral, Sosial, dan Politik.

    Jakarta: Gramedia, 1987.

    Situmorang, Joseph MMT, Ilmu Pengetahuan dan Nilai-nilai, dalamMajalah Driyarkara, Tahun XXII.

    van Melsen, A. G. M.Ilmu Pengetahuan dan Tanggung Jawab Kita Terj.

    Dr. K. Bertens, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1992.

    Zubeir, Ahmad Charis,Kajian Filsafat Ilmu, Dimensi Etik dan Asketik

    Ilmu Pengetahuan Manusia, Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam.

    2002.