sosialita dan politik

Upload: mbelgedeshu

Post on 10-Feb-2018

223 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 7/22/2019 Sosialita Dan Politik

    1/8

    Social Networker

    Translate

    Bagikan 0 Lainnya Blog Berikut Buat Blog Mas

    http://www.blogger.com/http://www.blogger.com/http://www.blogger.com/home#createhttp://www.blogger.com/next-blog?navBar=true&blogID=3823122053705396964http://reiwealthmag.com/http://www.technorati.com/http://www.stumbleupon.com/http://www.squidoo.com/http://www.friendfeed.com/http://www.digg.com/http://www.bebo.com/http://www.linkedin.com/http://delicious.com/http://multiply.com/http://www.friendster.com/http://www.plurk.com/http://twitter.com/http://www.myspace.com/http://www.facebook.com/
  • 7/22/2019 Sosialita Dan Politik

    2/8

    12/18/13 sosialita dan politik

    sosialitadanpolitik.blogspot.com/2013/01/pemberdayaan-masyarakat-sebagai.html

    kurang terakomodasi akibat sentralisasi ekonomi pada kalangan menengah keatas.

    Dalam tulisan, setidaknya penulis akan mengajak para pembaca untuk kemudian meregulasi

    ulang proses pengambilan kebijakan publik yang ada di Indonesia. Yaitu dengan memasukkan nilai

    demokrasi deliberatif yang telah dicetuskan oleh Juergen Habermas dengan proses pembangunan

    yang berpusat pada kebutuhan masyarakat atau people-centered development. Karena jika kita lihat

    sekilas dari kedua istilah ini, banyak keterkaitan yang harus kita teliti secara bersama-sama untuk

    kemudian memunculkan ide sebagai solusi atas segala permasalahan yang ada di Indonesia.

    pertanyaan yang kemudian muncul sekarang adalah apakah sebenarnya pengertian dari demokrasi

    deliberatif tersebut ? bagaimana skema deliberative ini dalam hal kebijakan publik ? apa yang menajdi

    penghubung antara demokrasi deliberatif dengan model pembangunan yang berpusat pada kebutuhan

    masyarakat ? dan yang terakhir adalah apakah hambatan-hambatan yang akan ditemui untuk

    merealisasikan kedua sistem ini ? Pertanyaan-pertanyaan diatas akan menjadi pertanyaan pokok yang kemudian akan penulis

    coba untuk membedah dan menjawab berbagai masalah yang tadi coba penulis utarakan diatas.

    Pembahasan

    Kerangka Teoritis

    Sebelum kita menginjak pada tataran pembahasan mengenai konsep pemberdayaan

    masyarakat melalui tindakan komunikatif dalam membentuk sistem demokrasi yang deliberatif

    tersebut, maka sebelumnya penulis akan terlebih dahulu melakukan pembedahan mengenai kerangka

    teoritis yang akan kita pergunakan sebagai pisau analisis dalam upaya membentuk dan

    mengembangkan masyarakat sebagai st rategi perubahan sosial di Indonesia.

    - Ruang Publik dan Demokrasi Deliberatif

    Kebijakan deliberatif merupakan bentuk derivasi dari demokrasi deliberatif. Sementara demokrasi

    deliberatif berakar pada konsepsi ruang publik (public sphere) dari Habermas (2007a, 2007b, 2008).

    Demokrasi deliberatif mengutamakan penggunaan tata cara pengambilan keputusan yang

    menekankan musyawarah dan penggalian masalah melalui dialog dan tukar pengalaman di antara

    para pihak dan warga negara (stakeholder).[1] Tujuannya untuk mencapai mufakat melalui

    musyawarah berdasarkan hasil-hasil diskusi dengan mempertimbangkan berbagai kriteria.

    Keterlibatan warga (citizen engagement) merupakan inti dari demokrasi deliberatif. Demokrasi

    deliberatif berbeda dengan demokrasi perwakilan, yang menekankan keterwakilan (representation),

    prosedur pemilihan perwakilan yang ketat, dan mengenal istilah mayoritas dan minoritas. Demokrasi

    deliberatif mengutamakan kerjasama antar-ide dan antarpihak, sedangkan kata kunci demokrasi

    perwakilan adalah kompetisi antar-ide dan antarkelompok.

    Jika demokrasi perwakilan ditandai oleh kompetisi politik, kemenangan, dan kekalahan satu

    pihak, maka demokrasi deliberatif atau demokrasi musyawarah lebih menonjolkan argumentasi,

    dialog, saling menghormati, dan berupaya mencapai titik temu dan mufakat. Demokrasi langsung

    mengandalkan Pemilu, sistem keterwakilan (delegasi wewenang dan kekuasaan), dan elite-elite

    politik, sedangkan demokrasi deliberatif lebih menekankan partisipasi dan keterlibatan langsung warga

    negara. Menurut Pierre & Peters (2000), munculnya ide pemikiran demokrasi deliberatif tidak lepas

    dari cara berpikir komunitarian. Lebih lanjut menurut mereka:

    In some ways ideas about deliberative democracy comprise a subset of communitarian thinking. The

    basic idea of creating a locus for making decisions at a low level of aggregation appears compatible

    with communitarian think ing. What is most fundamental to the practice of deliberative democracy,

    however, is a process of involving the public in making decisions through open debate and dialogue.

    This process is in contrast to representative democracy in which the public is involved only as voters

    selecting the elites who will later make the decisions. It is also in contrast to direct democracy in

    which the public make decisions themselves, but do so with little or no collective deliberation or

    confrontation of alternative views on the issues . [2]

    Sejalan dengan pemikiran Pierre & Peters tadi, secara lebih spesifik dalam kaitannya dengan

    kebijakan publik deliberatif, pengertian demokrasi deliberatif diuraikan Hardiman (2004) sebagai

    berikut:Apa it u demokrasi deliberatif? Kata deliberasi berasal dari kata latin deliberatio yangartinya

    konsultasi, menimbang-nimbang atau musyawarah. Demokrasi bersifat deliberatif, jika proses

    pemberian alasan atas suatu kandidat kebijakan publik diuji lebihdahulu lewat konsultasi publik atau

    lewat dalam kosakata teoretis Habermas diskursus publik. Demokrasi deliberatif inginmeningkatkan intensitas partisipasiwarga negara dalam pembentukan aspirasi dan opini (oefentlicher

    Meinungs-undWillensbildungsprozess ) agar kebijakan-kebijakan dan undang-undang yang dihasilkan

    oleh pihak yang memerintah semakin mendekati harapan pihak yang diperintah.[3]

    Kemudian untuk dapat mengidentifikasi sebuah proses pengambilan keputusan dapat

    dikategorikan sebagai proses yang memenuhi kriteria sebagai proses demokrasi deliberatif, maka

    menurut Carson & Karp (2005:122) haruslah memenuhi tiga kriteria tertentu. Mereka mengungkapkan

    sebagai berikut:

    These can be thought of as three criteria for a fully democratic deliberative process: (1) Influence:

    The process should have the ability to influence policy and decision making;(2) Inclusion: The

    process should be representative of the population and inclusive to diverse viewpoints and values,

    providing equal opportunity for all participate; (3) Deliberation: The process should provide open

    dialogue, access to information, respect, space to understand and reframe issues, and movement

    toward consensus.[4]

    Ketiga kriteria: influence, inclusion dan deliberation di atas dapat digunakan sebagai alat

    Select Language

    Pow ered by Translate

    Thanks for your support

    $ 5.00

    Support My Blog

    ekonomi politik(4)

    HAM(1)

    kebijakan publik(8)

    kolom sastra(2)

    masyarakat sipil(5)

    partai politik(3)

    politik(23)

    seri tokoh(11)

    sosial(10)

    Labels

    2013(8)

    June(1)

    May(1)

    January(6)

    Peran Pabrik Gula dalam MeningkatkanEkonomi Daera...

    PEMBERDAYAAN MASYARAKATSEBAGAI STRATEGI PERUBAHAN...

    HAM DALAM ISLAM : TINJUAN TEORITISMENGENAI HAK AS...

    PDI-P DALAM BINGKAI MARHAENISME :TINJAUAN ANALISI...

    DARI GERINDRA UNTUK INDONESIA :

    TINJAUAN ANALISIS ...

    Partai Politik

    2012(43)

    2011(2)

    Blog Archive

    iwanisme.23

    Seorang yang hanya ingin

    dikenal karena karyanya.

    Sedang mendalami ilmu politik,

    filsafat, dan sastra. Mahasiswa

    Ilmu Politik Universitas

    Brawijaya '10

    About Me

    http://www.blogger.com/profile/01781629612436966435http://sosialitadanpolitik.blogspot.com/search?updated-min=2011-01-01T00:00:00-08:00&updated-max=2012-01-01T00:00:00-08:00&max-results=2http://sosialitadanpolitik.blogspot.com/search?updated-min=2012-01-01T00:00:00-08:00&updated-max=2013-01-01T00:00:00-08:00&max-results=43http://sosialitadanpolitik.blogspot.com/2013/01/partai-politik.htmlhttp://sosialitadanpolitik.blogspot.com/2013/01/dari-gerindra-untuk-indonesia-tinjauan.htmlhttp://sosialitadanpolitik.blogspot.com/2013/01/pdi-p-dalam-bingkai-marhaenisme.htmlhttp://sosialitadanpolitik.blogspot.com/2013/01/ham-dalam-islam-tinjuan-teoritis.htmlhttp://sosialitadanpolitik.blogspot.com/2013/01/pemberdayaan-masyarakat-sebagai.htmlhttp://sosialitadanpolitik.blogspot.com/2013/01/peran-pabrik-gula-dalam-meningkatkan.htmlhttp://sosialitadanpolitik.blogspot.com/2013_01_01_archive.htmlhttp://sosialitadanpolitik.blogspot.com/2013_05_01_archive.htmlhttp://sosialitadanpolitik.blogspot.com/2013_06_01_archive.htmlhttp://sosialitadanpolitik.blogspot.com/search?updated-min=2013-01-01T00:00:00-08:00&updated-max=2014-01-01T00:00:00-08:00&max-results=8http://sosialitadanpolitik.blogspot.com/search/label/sosialhttp://sosialitadanpolitik.blogspot.com/search/label/seri%20tokohhttp://sosialitadanpolitik.blogspot.com/search/label/politikhttp://sosialitadanpolitik.blogspot.com/search/label/partai%20politikhttp://sosialitadanpolitik.blogspot.com/search/label/masyarakat%20sipilhttp://sosialitadanpolitik.blogspot.com/search/label/kolom%20sastrahttp://sosialitadanpolitik.blogspot.com/search/label/kebijakan%20publikhttp://sosialitadanpolitik.blogspot.com/search/label/HAMhttp://sosialitadanpolitik.blogspot.com/search/label/ekonomi%20politikhttps://translate.google.com/http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=3823122053705396964#_ftn4http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=3823122053705396964#_ftn3http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=3823122053705396964#_ftn2http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=3823122053705396964#_ftn1
  • 7/22/2019 Sosialita Dan Politik

    3/8

    12/18/13 sosialita dan politik

    sosialitadanpolitik.blogspot.com/2013/01/pemberdayaan-masyarakat-sebagai.html

    analisis untuk mengidentifikasi sejauh mana sebuah proses pembuatan keputusan dalam suatu

    lembaga atau komunitas dapat dikategorikan ke dalam proses demokrasi deliberatif. Masih tentang

    kriteria sebuah proses pembuatan keputusan dalam suatu komunitas dapat dikategorikan ke dalam

    proses demokrasi deliberatif yang berkualitas, Fishkin (2009) mengemukakan dibutuhkannya lima

    kondisi:

    By deliberation we mean the process by which individuals sincerely weigh the merits of competing

    arguments in discussions together. We can talk about the quality of a deliberative process in terms of

    five conditions: (a) Information: The extent to which participants are given access to reasonably

    accurate information that they believe to be relevant to the issue; (b) Substantive balance: The extent

    to which arguments offered by one side or from one perspective are answered by considerations

    offered by those who hold other perspectives; (c) Diversity: The extent to which the major positions in

    the public are represented by participants in the discussion; (d) Conscientiousness: The extent towhich participants sincerely weigh the merits of the arguments; (e) Equal consideration: The extent to

    which arguments offered by all participants are considered on the merits regardless of which

    participants offer them (Fishkin 2009:33-34,126,160).[5]

    Teori demokrasi deliberatif tidak memfokuskan pandangannya dengan aturan-aturan tertentu

    yang mengatur warga, tetapi sebuah prosedur yang menghasilkan aturan-aturan itu. Teori ini

    membantu untuk bagaimana keputusan-keputusan politis diambil dan dalam kondisi bagaimanakah

    aturan-aturan tersebut dihasilkan sedemikian rupa sehingga warganegara mematuhi peraturan-

    peraturan tersebut.Dengan kata lain, demokrasi deliberatif meminati kesahihan keputusn-keputusan

    kolektif itu. Secara tidak langsung, opini-opini publik di sini dapat mengklaim keputusan-keputusan

    yang membuat warga mematuhinya.

    Di dalam demokrasi deliberatif, kedaulatan rakyat dapat mengkontrol keputusan-keputusan

    mayoritas.Kita sebagai rakyat dapat mengkritisi keputusan-keputusan yang dibuat oleh orang-orang

    yang memegang mandat. Jika kita berani mengkritisi kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh

    pemerintah, maka secara tidak langsung kita sudah menjadi masyarakta rasional, bukan lagi

    masyarakat irasional. Opini publik atau aspirasi memiliki fungsi untuk mengendalikan politik formal

    atau kebijakan-kebijakan politik. Jika kita berani mengkritik kebijakan-kebijakan yang legal itu, secara

    tidak langsung kita sudah tunduk terhadap sistem.

    Konsepan yang seperti inilah yang memang sekiranya patut untuk kemudian dipraktekan

    dalam rangka merekonstruksi kondisi politik dinegara kita. Artinya, ketika mungkin suatu opini publik

    sudah mulai banyak berkembang, tentunya mereka akan secara otomatis melakukan kontrol terhadap

    segala jenis kebijakan yang akan maupun telah ditetapkan oleh birokrasi pemerintahan. Dan inilah

    yang akan menjadikan upaya untuk mendemokratitasi negara Indonesia menjadi lebih baik untuk

    kedepannya. Namun, yang tak kalah pentingnya adalah bagaimana nantinya kita harus senantiasa

    mencoba untuk kemudian merubah pola berpikir masyarakat yang memang masih terkesan

    konservatif dan belum mampu untuk berfikir jauh kedepan. Kita bisa mencoba menarik ini dengan

    menggunakan paradigm teori tindakan komunikatif Jurgen Habermas.

    Tindakan komunikatif memiliki 2 aspek, aspek teleologis yang terdapat pada perealisasian

    tujuan seseorang (atau dalam proses penerapan rencana tindakannya) dan aspek komunikatif yang

    terdapat dalam interpretasi atas situasidan tercapainya kesepakatan. Dalam tindakan komunikatif,

    partisipan menjalankan rencananya secara kooperatif berdasarkan definisi situasi bersama. Jika

    definisi situasi bersama tersebut harus dinegosiasikan terlebih dahulu atau jika upaya untuk sampai

    pada kesepakatan dalam kerangka kerja definisi situasi bersama gagal, maka pencapaian konsensus

    dapat menjadi tujuan tersendiri., karena konsensus adalah syarat bagi tercapainya tujuan. Namun

    keberhasilan yang dicapai oleh tindakan teleologis dan konsensus yang lahir dari tercapainya

    pemahaman merupakan kriteria bagi apakah situasi tersebut telah dijalani dan ditanggulangi dengan

    baik atau belum. Oleh karen itu, syarat utama agar tindakan komunikatif bisa terbentuk adalah

    partisipan menjalankan rencana mereka secara kooperatif dalam situasi tindakan yang didefiniskan

    bersama. Sehingga mereka bisa menghindarkan diri dari dua resiko, resiko tidak tercapainya

    pemahaman (ketidaksepakatan atau ketidaksetujuan) dan resiko pelaksanaan rencana tindakan

    secara salah (resiko kegagalan).

    - People Centered Development

    Peran serta masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan daerah merupakan salah satusyarat mutlak dalam era kebebasan dan keterbukaan ini. Pengabaian terhadap faktor ini, terbukti telah

    menyebabkan terjadinya deviasi yang cukup signifikan terhadap tujuan pembangunan itu sendiri yaitu

    keseluruhan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pemborosan keuangan negara

    merupakan implikasi lain deviasi tersebut. Proses pelibatan partisipasi masyarakat lokal dalam

    implementasi proyek-proyek pembangunan di tingkat kabupaten/kota, terbukti telah berhasil

    membawa perubahan-perubahan mendasar dalam peningkatan kesejahteraan keluarga-keluarga

    pedesaan (John Clark:1995; John Friedmann:1992).[6]

    Lebih lanjut Gunawan Sumodiningrat (1996) mengemukakan bahwa pemihakan dan

    pemberdayaan masyarakatdalam keseluruhan rangkaian penyusunan program-program

    pembangunan, perlu diyakini oleh aparatur pemerintah (daerah) sebagai strategi yang tepat untuk

    menggalang kemampuan ekonomi nasional, sehingga mampu berperan secara nyata dalam

    meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Selanjutnya, keyakinan itu juga perlu terus

    ditanamkan dalam diri aparatur yang secara fungsional menangani proses-proses penyusunanan

    View my complete profile

    http://www.blogger.com/profile/01781629612436966435http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=3823122053705396964#_ftn6http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=3823122053705396964#_ftn5
  • 7/22/2019 Sosialita Dan Politik

    4/8

    12/18/13 sosialita dan politik

    sosialitadanpolitik.blogspot.com/2013/01/pemberdayaan-masyarakat-sebagai.html

    program pada kabupaten/kota untuk selanjutnya ditingkatkan serta dimasyarakatkan, kemudian yang

    terpenting dan juga menjadi tantangan utama adalah bagaimana menerjemahkannya dalam usaha-

    usaha yang nyata.[7]

    Upaya-upaya ke arah tersebut tidak secara serta merta dapat terwujud dan tidak semudah

    seperti membalikkan telapak tangan, melainkan harus melalui proses berliku-liku yang akan

    menghabiskan banyak waktu serta tenaga, dan tampaknya harus dilakukan oleh aparatur yang

    memiliki integritas dan hati nurani yang jernih, karena dalam pelaksanaannya dalam masyarakat akan

    banyak mempergunakan mekanisme komunikasi timbal balik, mendengar dan menampung dengan

    penuh kesabaran, dan sikap toleransi dalam menghadapi pandangan yang berbeda (community

    approach).

    Dimasa depan, masyarakat sendirilah yang akan memainkan peran utama dalam

    pengimplementasian program-program pembangunan didaerahnya, sedangkan kelompok luar yaituNGOs akan bertindak sebagai fasilitator, dinamisator, katalisator, mediator dan komunikator, serta

    peran pemerintah (daerah) lebih merupakan pelengkap dan penunjang termasuk menentukan aturan

    dasar permainannya. Bagi aparatur pemerintah, NGOs maupun masyarakat, implementasi program-

    program pembangunan harus dianggap sebagai suatu proses b elajar sosial(John Clark : 1995; John

    Friedmann : 199),melalui proses evaluasi terhadap segala hal yang telah dicapai dalam pelaksanaan

    proyek, serta mempelajari berbagai kendala yang dihadapi. Perubahan mendasar tampaknya sangat

    perlu dilakukan disini, oleh karena existing condition yang terjadi pada hampir seluruh pemerintah

    daerah, peran-peran kontributor, fasilitator, dinamisator, katalisator, mediator dan komunikator

    penyusunan konsep-konsep dan ide-ide pembangunan seperti yang sering kita baca pada media-

    massa, seringkali dominan berada pada pemerintah (daerah). Proses belajar sosial yang seyogyanya

    terjadi pada implementasi proyek-proyek pembangunankhususnya di desa-desatersebut tidak

    pernah terjadi, bahkan jika kita pandang secara ekstrim maka yang terjadi adalah hal sebaliknya yaitu

    dengan apa yang dinamakan dengan upaya pembodohan masyarakat.

    Jika kita perhatikan dengan seksama, aturan main proses penyusunan program-program

    pembangunan yang dilakukan selama ini sesungguhnya merupakan mekanisme ideal, artinya berniat

    mengakomodasikan sebesar-besarnya aspirasi masyarakat (desa). Proses penyusunan program

    pembangunan, dilakukan melalui tahapan-tahapan yang dimulai dari tingkat desa yaitu kegiatan

    musyawarah pembangunan desa, kemudian dibawa ke tingkat kecamatan melalui diskusi unit daerah

    kerja pembangunan, demikian seterusnya hingga disalurkan di tingkat kabupaten/kota yang

    melibatkan lintas unit-unit kerja kabupaten/kota. Namun mengapa mekanisme yang cukup baik

    tersebut tetap dianggap kurang dapat mengakomodasikan hal-hal yang sesungguhnya diinginkan

    masyarakat ? Seperti yang telah dikemukakan di atas, kesalahan tentu akan dialamatkan kepada

    tidak dilakukannya secara sungguh-sungguh participant observation atau grounded research oleh

    aparatur yang terlibat secara fungsional dalam proses penyusunan program-program pembangunan,

    kepada masyarakat desa dimana proyek-proyek pembangunan tersebut berlokasi. Jika dilakukan

    secara benar, penerapan mekanisme tersebut memastikan terjadinya identifikasi yang menyeluruh

    dan mendalam hingga ke tingkat grassroots terhadap yang sesungguhnya dibutuhkan masyarakat,

    walaupun harus melalui proses-proses yang akan menghabiskan banyak waktu dan tenaga.

    Lebih jauh, David C. Korten mengidentifikasikan banyaknya faktor yang ditemukan dan turut

    memperburuk citra kinerja penyusunan program-program pembangunan (daerah), antara lain yang

    dianggap dominan adalah faktor kekurang-keterbukaan aparatur pemerintah (daerah) terhadap

    masyarakat dalam proses penyusunan program-program pembangunan, akumulasi kondisi seperti ini

    selama berpuluh-puluh tahun telah menyebabkan perasaan apriori masyarakat menumpuk dan

    membatu, sehingga seperti yang kita lihat, telah mempengaruhi secara langsung maupun tidak

    langsung kepada kurangnya intensitas peran serta masyarakat dalam penyusunan program-program

    pembangunan.[8]Jika kita tidak bercermin, belajar dan mengantisipasi keadaan ini sedini mungkin,

    maka setelah mencapai titik jenuh dikuatirkan pada saatnya akan berkembang menjadi gerakan yang

    destruktif sebagai reaksi terhadap dominasi yang berlebihan dari pemerintah (daerah) serta dianggap

    merupakan pemaksaanprogram-program pembangunan di tingkat desa.

    Adanya kekhawatiran pemerintah (daerah) dengan alasan akan sulitnya mengakomodasikan

    keinginan masyarakat yang begitu banyakjika dilakukan transparansi seluas mungkin kepada

    masyarakat, harus sudah mulai ditinggalkan dan harus dianggap sebagai suatu konsekuensi logis dan

    buah dari kekurangtepatan orientasi implementasi program-program pembangunan yang dilakukanselama ini. Langkah bijaksana yang dilakukan oleh aparatur pemerintah terhadap kondisi-kondisi yang

    telah terlanjur terjadi tersebut, pertama-tama tentu harus dimaknai sebagai suatu rangkaian dari

    keseluruhan belajar sosial.

    Proses pemberdayaan masyarakat secara implisit mengandung makna, terdapatnya faktor

    inisiatif yang berasal dan berkembang dari masyarakat sendiri, sedangkan peranan pemerintah

    bertindak sebagai penampung dan mempertimbangkan keluhan masyarakat. Dalam hal ini aparatur

    pemerintah (daerah) sangat dituntut agar memiliki kepekaan serta kemampuan untuk dapat memberi

    respon, terhadap inisiatif dan keluhan yang berasal dari tingkat bawah daripada menonjolkan

    kepentingan mereka sendiri atau berdalih pada menjaga kewibawaan pemerintah. Dalam kenyataan,

    inisiatif dan keluhan masyarakat bawah seringkali diabaikan, dan untuk memperoleh perhatian dan

    tanggapan mereka terpaksa mengambil jalan pintas walaupun kadang-kadang merupakan pelanggaran

    hukum, yaitu dengan melakukan pengrusakan ataupun pembakaran.

    Pada hakikatnya partisipasi sosial mengandung makna agar masyarakat lebih berperan

    dalam proses pembangunan, mengusahakan penyusunan program-program pembangunan melalui

    http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=3823122053705396964#_ftn8http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=3823122053705396964#_ftn7
  • 7/22/2019 Sosialita Dan Politik

    5/8

    12/18/13 sosialita dan politik

    sosialitadanpolitik.blogspot.com/2013/01/pemberdayaan-masyarakat-sebagai.html

    mekanisme dari bawah ke atas (bottom up), dengan pendekatan memperlakukan manusia sebagai

    subyek dan bukan obyek pembangunan. Hal ini dipertegas oleh Philip J. Eldridge (1995) participation

    means a shift in decision making power from more powerful to poor, disadvantages, and less

    influential groups.[9]Keberdayaan rakyat merupakan kemampuan dan kebebasan untuk membuat

    pilihan-pilihan, baik yang menyangkut penentuan nasib sendiri maupun perubahan diri sendiri atas

    dasar kekuatan sendiri sebagai faktor penentu.

    Faktor-faktor yang turut memperburuk citra kinerja penyusunan program-program

    pembangunan (daerah), juga tidak terlepas dari terjadinya perbedaan pemahaman tentang

    pembangunan dan partisipasi masyarakat, yang dapat ditinjau dari dua sudut pandang (Goulet,

    D.:1989 dalam Yosef P. Widyatmadja :1992): Pertama, dari perspektif pemerintah, partisipasi yang

    dikehendaki adalah yang lebih menekankan pada pengorbanan dan kontribusi rakyat dari pada hak

    rakyat untuk ikut menikmati manfaat pembangunan itu sendiri. Kedua, dari perspektif rakyat,partisipasi merupakan praktek dari keadilan. Oleh karena itu, pemahaman partisipasi sebagai

    pemberdayaan rakyat atau empowering people, meliputi praktek keadilan dan hak untuk menikmati

    hasil pembangunan yang mungkin dapat menimbulkan konflik antara pihak-pihak yang

    berkepentingan.

    People-centered Development sebagai tahapan menuju kebijakan yang deliberatif

    Berdasarkan asumsi bahwa demokrasi ibarat suatu pola dengan titik gravitasi dari rakyat,

    oleh rakyat dan untuk rakyat, maka terdapat tiga proses pentahapan yang perlu dilalui (Onny

    S.Prijono dan A.M.W. Pranarka : 1996), sebagai berikut : a) tahap inisial : dari pemerintah, oleh

    pemerintah, dan untuk rakyat; b) tahap partisipatoris : dari pemerintah bersama masyarakat, oleh

    pemerintah bersama masyarakat, untuk rakyat; dan c) tahap emansipatif : dari rakyat, oleh rakyat,

    untuk rakyat, dan didukung oleh pemerintah bersama masyarakat. Pada umumnya, dapat dikatakan

    bahwa kita sudah mencapai tahap kedua, dengan mengecualikan beberapa wilayah yang mungkin

    sudah memasuki tahap ketiga. Tantangan di masa depan menuntut terjadinya proses akselerasi

    gerak kita memasuki tahap emansipatif : dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat.

    [10]

    Dalam kerangka ini, pemberdayaan partisipasi masyarakat dalam pembangunan, merupakan

    langkah yang amat penting bagi gerak akselerasi tahap ketiga dalam pembangunan demokrasi kita.

    Dalam proses pembangunan manusia yang berkesinambungan, hendaknya tidak hanya difokuskan

    pada peningkatkan pertumbuhan ekonomi saja, namun pengembangan sumber daya manusia dan

    pemberdayaan masyarakat yang pro-kaum miskin, pro-petani, pro-pekerja, pro-wanita, dan pro-

    demokrasi juga perlu mendapat perhatian. Pendekatan pemberdayaan baik individu maupun kelompok

    masyarakat (to empower people)merupakan salah satu prasyarat pembangunan sosial.

    Sejalan dengan pendapat tersebut, lebih lanjut Laode M. Kalamuddin (2000), mengemukakan

    bahwa selama ini kitabangsa Indonesia telah salah dalam memandang atau dalam

    mempersepsikan pembangunan selama ini, yaitu karena pembangunan hanya dilihat sebagai output,

    sebagai hasil-hasil yang nyata dari jerih payah dan usaha yang dijalankan oleh manusia baik secara

    pribadi, kelompok maupun masyarakat. Melihat hasil-hasil pembangunan dengan kacamata fisikal

    tersebut, misalnya dengan melihat kenyataan bahwa hasil-hasil pembangunan fisik selama 10 tahun

    terakhir, telah menyebabkan kita mengabaikan (over look ing)akan arti, arah dan tujuan pembangunan

    itu sendiri. Pola yang ditawarkan dalam membangun perspektif dan orientasi yang baru adalah dengan

    memfokuskan kepada pembangunan sosial. Sosial dalam pengertian ini lebih dimaksudkan sebagai

    perspektif global atau holistik yang memfokuskan penekanannya kepada keseluruhan masyarakat

    manusia (civil society), dimana aspek pembangunan fisik dan ekonomi hanya merupakan salah satu

    aspek pengamatan terhadap realitas sosial itu sendiri. Tujuan-tujuan strategis seperti ini, akan selalu

    dapat dikoreksi pada setiap tahap kemajuan atau proses pembangunan atau perubahan sosial yang

    direncanakan secara terus menerus. Sehingga pembangunan dengan demikian merupakan upaya

    yang sadar dan terus menerus, dalam perubahan masyarakat ke arah yang lebih baik dan lebih maju.

    Dari berbagai pendapat para ahli (Onny S. Prijono:1996; A.M.W. Prranarka:1996; Daoed

    Joesoef: 1996; J. Babari:1996; Vidyandika Moeljarto:1996; Murwatie B. Rahardjo:1996; Sukardi

    Rinakit:1996; Medelina K. Hendytio:1996), salah satu kunci utama dari keseluruhan upaya yang dapat

    dilakukan untuk mengeliminasi permasalahan tersebut adalah bagaimana memperkuat kemampuan

    masyarakat lapisan bawah, yang masih berada dalam kondisi tidak mampu melepaskan diri dari

    perangkap kemiskinan, keterbelakangan, dan membutuhkan pertolongan agar lebih berdaya dalamkemandirian, keswadayaan, partisipasi dan demokratisasi.[11]

    Dengan kata lain, memberdayakan masyarakat mengandung makna mengembangkan,

    memandirikan, menswadayakan, dan memperkuat posisi tawar masyarakat lapisan bawah terhadap

    kekuatan-kekuatan penekan di segala bidang dan sektor kehidupan. Di samping itu, juga mengandung

    arti melindungi dan membela dengan berpihak pada yang lemah, untuk mencegah terjadinya

    persaingan yang tidak seimbang dan eksploitasi atas yang lemah. Masyarakat yang perlu

    diberdayakan antara lain kaum buruh, petani, nelayan, orang miskin di kota dan di desa, kelompok

    masyarakat dalam kondisi yang marginal, dan dalam posisi lemah, serta pinggiran. Pemberdayaan

    rakyat merupakan proses yang tidak dapat dilakukan secara partial, tetapi membutuhkan strategi

    pendekatan yang menyeluruh. Pemberdayaan bukan hanya meliputi individu dan kelompok

    masyarakat lapisan bawah (grassroots), pinggiran (peripheris), dan pedesaan (rural communities)

    sebagai kelompok sasaran, tetapi juga meliputi NGOssebagai pelaku dan kelompok organisasi juga

    perlu diberdayakan. Selain masyarakat sebagai kelompok sasarannya, NGOs pun perlu

    mempertahankan kemandirian dan keswadayaannya, serta diberi kebebasan untuk berkembang, agar

    http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=3823122053705396964#_ftn11http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=3823122053705396964#_ftn10http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=3823122053705396964#_ftn9
  • 7/22/2019 Sosialita Dan Politik

    6/8

    12/18/13 sosialita dan politik

    sosialitadanpolitik.blogspot.com/2013/01/pemberdayaan-masyarakat-sebagai.html

    memiliki kekuatan sendiri tanpa perlu dibina dan dikontrol oleh pemerintah.

    Kebijakan Publik Deliberatif dan upaya untuk mewujudkan pembangunan yang berpusat

    pada masyarakat

    Situasi demokrasi yang tidak sehat ini perlu segera disembuhkan. Rakyat sudah jengah

    dengan kebijakan yang tidak rasional demi untuk kepentingan elitis. Perlu penelaahan ulang tentang

    demokrasi yang berlaku di Indonesia. Adalah seorang Jurgen Habermas, seorang ilmuwan sosial

    kritis Madzhab Frankfurt generasi kedua, menawarkan tentang demokrasi deliberatif. Habermas

    mengkritik pendahulunya yang memahami rasionalisasi (marxian) hanya sebagai praksis kerja.

    Padahal, Hegel sendiri membagi praksis jadi dua bagian: kerja dan komunikasi .

    Latar belakang pemikirannya adalah pesimisme rasionalisme Barat dalam masyarakat

    kapitalisme-renta. Dalam kapitalisme-renta, rasio hanya bermakna dominatif melalui kerja yang

    berharsrat ekonomik dan naluris. Meminjam istilah Lyotard dalam kondisi postmodern, yang bisamenjadi jalan keluar kejengahan manusia modern dalam kapitalisme-renta adalah komunikasi yang

    mengemansipasikan manusia. Komunikasi yang bukan tuan-budak, tapi setara-sejajar; bebas dari

    dominasi menjadi landasan demokrasi deliberatifnya. Kemudian ia mengkrongkitkan komunikasi

    kemanusiaan itu dalam konsep ruang publik (public sphere). Demokrasi deliberatif adalah derivasi

    konsep ruang publik dalam teori politiknya.

    Secara sederhana, demokrasi deliberatif ditandai dengan adanya ruang untuk curhat, usul,

    atau kritik bagi seluruh elemen masyarakat, tanpa pandang bulu, agar segala sisi kemanusiaan dapat

    diserap sistem politik-ekonomi atau ekonomi-politik. Sehingga apa yang dicita-citakan Habermas,

    kekuasaan komunikatif melalui jaring-jaring komunikasi publik masyarakat sipil tercipta. Kebijakan

    tidak lagi dimonopoli oleh kaum elitis, baik itu negara atau bahkan pemilik modal, diskursus-diskursus

    liar yang terjadi dalam masyarakat dapat mempengaruhi kebijakan-kebijakan publik.

    Penutup

    Kesimpulan

    Dari berbagai argumen yang telah penulis jelaskan diatas, maka penulis disini akan

    memberikan kesimpulan mengenai pemberdayaan masyarakat dengan membangun pola tindakan

    komunikatif sebagai berikut :

    1. Dari awal komunikasi antar masyarakat inilah yang kemudian menjadi kolerasi antara

    kebijakan deliberatif dengan pembangunan yang berpusat pada masyarakat. Bagaimana

    kebijakan yang memang seharusnya terpusat pada kebutuhan masyarakatnya itu bisa

    terealisasikan secara harfiah dan menyeluruh. Artinya, dalam upaya membangun demokrasi

    deliberatif yang sangat mengedepankan peran serta masyarakatnya untuk turut serta dalam

    pembangunan dapat tercapai dengan pemberdayaan masyarakat yang komunikatif.

    2. Disini masyarakat juga ikut andil dalam melakukan monitoring evaluasi terhadap kebijakan

    yang telah ditetap oleh pemerintahan. Ruang publik yang menjadi cirri utama dari demokrasi

    deliberatif akan bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh masyarakat yang dapat turun

    langsung kedalamnya. Itulah yang kemudian menjadi titik temu antara pemberdayaan

    masyarakat dengan pola tindakan komunikatif dengan tujuan membangun demokrasi yang

    deliberatif.

    3. Dengan adanya pemberdayaan masyarakat melalui penerapan pola tindakan komunikatif,

    diharapkan adanya keseimbangan dan kesinambungan antara peran pemerintah dan peran

    masyarakat dalam berbagai hal. Dan ini juga sebagai sarana pembangunan demokrasi yang

    lebih substansial.

    Rekomendasi

    Dari kesimpulan tersebut, maka ada beberapa rekomendasi yang akan penulis sampaikan

    melalui tulisan ini, yaitu :

    1. Pemerintah harus memperbanyak ruang publik bagi masyarakat secara keseluruhan, baik

    itu pada masyarakat yang bersegmentasi di wilayah pedesaan maupun yang ada di

    perkotaan.

    2. Pembangunan demokrasi deliberatif harus segera diaktualisasikan sebagai upaya

    perubahan sosial yang berdampak pada kedewasaan politik masyarakat Indonesia.

    3. Kegiatan-kegiatan seperti Musrenbang dan lain sebagainya harus senantiasa dilakukan

    secara kontinuitas dan konsisten demi meningkatkan daya kritis masyarakat Indonesia.

    Daftar Pustaka

    - Rachman, Fadjroel. 2007. Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat : Tentang Kebebasan,

    Demokrasi, dan Negara Kesejahteraan. Jakarta : Koeskoesan

    - De Tocqoueville, Alexis. 2005. tentang Revolusi, Demokrasi, dan Masyarakat. Jakarta :

    Yayasan Obor Indonesia

    - Onny S. Prijono dan A.M.W Pranarka. 1996. Pemberdayaan : Konsep, Kebijakan dan

    Implementasi. Jakarta : CSIS

    - Eldridge J, Philip. 1995. Non-government organizations and democratic participation in

    Indonesia. Oxvord University Press.

    - Habermas, J (2007a) Teori Tindakan Komunikatif I: Rasio dan Rasionalisasi Masyarakat

    (terjemahan: Nurhadi). Yogyakarta: Kreasi Wacana, cetakan ke dua.

  • 7/22/2019 Sosialita Dan Politik

    7/8

    12/18/13 sosialita dan politik

    sosialitadanpolitik.blogspot.com/2013/01/pemberdayaan-masyarakat-sebagai.html

    Newer Post Older PostHome

    Subscribe to: Post Comm ents (Atom)

    Posted by iw anisme.23 at 2:47 AM

    Labels: kebijakan publik, politik, sosial

    - Hardiman, FB (2004) Demokrasi deliberatif: model untuk Indonesia pasca-Soeharto?Majalah

    Basis Nomor 11-12, Tahun ke 53, November-Desember 2004

    - Pierre, J & Peters, BG. 2000. Governance, Politics and The State.New York: St. Martins

    Press.

    - Levine, J & Levine, P. 2005. The Deliberative Democracy Handbook: Strategies for Effective

    Civic Engagement in the 21st Century.San Francisco: Jossey-Bass.

    - Korten, David. 1984. People-Centered Development. Kumarian Press.

    [1]Habermas, J (2007a) Teori Tindakan Komunikatif I: Rasio dan Rasionalisasi Masyarakat

    (terjemahan: Nurhadi). Yogyakarta: Kreasi Wacana, cetakan ke dua. Hlm 78

    [2]Pierre, J & Peters, BG (2000) Governance, Politics and The State. New York: St. Martins Press .

    Hlm 150

    [3]Hardiman, FB (2004) Demokrasi deliberatif: model untuk Indonesia pasca-Soeharto? MajalahBasis Nomor 11-12, Tahun ke 53, November-Desember 2004. Hlm 18

    [4]Levine, J & Levine, P (eds) (2005) The Deliberative Democracy Handbook: Strategies for EffectiveCivic Engagement in the 21st Century. San Francisco: Jossey-Bass. Hlm 122

    [5]Fishkin, JS (2009) When the People Speak: Deliberative Democracy & Public Consultation. NewYork: Oxford University Press. Hlm 33-34

    [6]Pratikno (2005) Good governance dan governability. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, FISIPOLUGM 8(3): 231-248.

    [7]Ibid

    [8]Korten, David. 1984. People-Centered Development. Kumarian Press. Hlm 152[9]Eldridge J, Philip. 1995. Non-government organizations and democratic participation in Indonesia.

    Oxvord University Press. Hlm 87

    [10]Onny S. Prijono dan A.M.W Pranarka. 1996. Pemberdayaan : Konsep, Kebijakan danImplementasi, CSIS, Jakarta, hal.44-46

    [11]Ibid. hlm 131

    Recommend this on Google

    Post a Comment

    Create a Link

    No comments:

    Links to this post

    Subscribe To

    Posts

    Comments

    http://www.blogger.com/blog-this.ghttp://www.blogger.com/comment.g?blogID=3823122053705396964&postID=7171008769502674044http://www.blogger.com/share-post.g?blogID=3823122053705396964&postID=7171008769502674044&target=facebookhttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=3823122053705396964&postID=7171008769502674044&target=twitterhttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=3823122053705396964&postID=7171008769502674044&target=bloghttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=3823122053705396964&postID=7171008769502674044&target=emailhttp://www.blogger.com/blogger.g?blogID=3823122053705396964#_ftnref11http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=3823122053705396964#_ftnref10http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=3823122053705396964#_ftnref9http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=3823122053705396964#_ftnref8http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=3823122053705396964#_ftnref7http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=3823122053705396964#_ftnref6http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=3823122053705396964#_ftnref5http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=3823122053705396964#_ftnref4http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=3823122053705396964#_ftnref3http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=3823122053705396964#_ftnref2http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=3823122053705396964#_ftnref1http://sosialitadanpolitik.blogspot.com/search/label/sosialhttp://sosialitadanpolitik.blogspot.com/search/label/politikhttp://sosialitadanpolitik.blogspot.com/search/label/kebijakan%20publikhttp://sosialitadanpolitik.blogspot.com/2013/01/pemberdayaan-masyarakat-sebagai.htmlhttp://www.blogger.com/profile/01781629612436966435http://sosialitadanpolitik.blogspot.com/feeds/7171008769502674044/comments/defaulthttp://sosialitadanpolitik.blogspot.com/http://sosialitadanpolitik.blogspot.com/2013/01/ham-dalam-islam-tinjuan-teoritis.htmlhttp://sosialitadanpolitik.blogspot.com/2013/01/peran-pabrik-gula-dalam-meningkatkan.html
  • 7/22/2019 Sosialita Dan Politik

    8/8

    12/18/13 sosialita dan politik

    sosialitadanpolitik.blogspot.com/2013/01/pemberdayaan-masyarakat-sebagai.html

    13,806

    Total Pageviews

    Simple template. Template images by gaffera. Powered by Blogger.

    http://www.blogger.com/http://www.istockphoto.com/googleimages.php?id=4072573&platform=blogger&langregion=en