sosialita dan politik
TRANSCRIPT
-
7/22/2019 Sosialita Dan Politik
1/8
Social Networker
Translate
Bagikan 0 Lainnya Blog Berikut Buat Blog Mas
http://www.blogger.com/http://www.blogger.com/http://www.blogger.com/home#createhttp://www.blogger.com/next-blog?navBar=true&blogID=3823122053705396964http://reiwealthmag.com/http://www.technorati.com/http://www.stumbleupon.com/http://www.squidoo.com/http://www.friendfeed.com/http://www.digg.com/http://www.bebo.com/http://www.linkedin.com/http://delicious.com/http://multiply.com/http://www.friendster.com/http://www.plurk.com/http://twitter.com/http://www.myspace.com/http://www.facebook.com/ -
7/22/2019 Sosialita Dan Politik
2/8
12/18/13 sosialita dan politik
sosialitadanpolitik.blogspot.com/2013/01/pemberdayaan-masyarakat-sebagai.html
kurang terakomodasi akibat sentralisasi ekonomi pada kalangan menengah keatas.
Dalam tulisan, setidaknya penulis akan mengajak para pembaca untuk kemudian meregulasi
ulang proses pengambilan kebijakan publik yang ada di Indonesia. Yaitu dengan memasukkan nilai
demokrasi deliberatif yang telah dicetuskan oleh Juergen Habermas dengan proses pembangunan
yang berpusat pada kebutuhan masyarakat atau people-centered development. Karena jika kita lihat
sekilas dari kedua istilah ini, banyak keterkaitan yang harus kita teliti secara bersama-sama untuk
kemudian memunculkan ide sebagai solusi atas segala permasalahan yang ada di Indonesia.
pertanyaan yang kemudian muncul sekarang adalah apakah sebenarnya pengertian dari demokrasi
deliberatif tersebut ? bagaimana skema deliberative ini dalam hal kebijakan publik ? apa yang menajdi
penghubung antara demokrasi deliberatif dengan model pembangunan yang berpusat pada kebutuhan
masyarakat ? dan yang terakhir adalah apakah hambatan-hambatan yang akan ditemui untuk
merealisasikan kedua sistem ini ? Pertanyaan-pertanyaan diatas akan menjadi pertanyaan pokok yang kemudian akan penulis
coba untuk membedah dan menjawab berbagai masalah yang tadi coba penulis utarakan diatas.
Pembahasan
Kerangka Teoritis
Sebelum kita menginjak pada tataran pembahasan mengenai konsep pemberdayaan
masyarakat melalui tindakan komunikatif dalam membentuk sistem demokrasi yang deliberatif
tersebut, maka sebelumnya penulis akan terlebih dahulu melakukan pembedahan mengenai kerangka
teoritis yang akan kita pergunakan sebagai pisau analisis dalam upaya membentuk dan
mengembangkan masyarakat sebagai st rategi perubahan sosial di Indonesia.
- Ruang Publik dan Demokrasi Deliberatif
Kebijakan deliberatif merupakan bentuk derivasi dari demokrasi deliberatif. Sementara demokrasi
deliberatif berakar pada konsepsi ruang publik (public sphere) dari Habermas (2007a, 2007b, 2008).
Demokrasi deliberatif mengutamakan penggunaan tata cara pengambilan keputusan yang
menekankan musyawarah dan penggalian masalah melalui dialog dan tukar pengalaman di antara
para pihak dan warga negara (stakeholder).[1] Tujuannya untuk mencapai mufakat melalui
musyawarah berdasarkan hasil-hasil diskusi dengan mempertimbangkan berbagai kriteria.
Keterlibatan warga (citizen engagement) merupakan inti dari demokrasi deliberatif. Demokrasi
deliberatif berbeda dengan demokrasi perwakilan, yang menekankan keterwakilan (representation),
prosedur pemilihan perwakilan yang ketat, dan mengenal istilah mayoritas dan minoritas. Demokrasi
deliberatif mengutamakan kerjasama antar-ide dan antarpihak, sedangkan kata kunci demokrasi
perwakilan adalah kompetisi antar-ide dan antarkelompok.
Jika demokrasi perwakilan ditandai oleh kompetisi politik, kemenangan, dan kekalahan satu
pihak, maka demokrasi deliberatif atau demokrasi musyawarah lebih menonjolkan argumentasi,
dialog, saling menghormati, dan berupaya mencapai titik temu dan mufakat. Demokrasi langsung
mengandalkan Pemilu, sistem keterwakilan (delegasi wewenang dan kekuasaan), dan elite-elite
politik, sedangkan demokrasi deliberatif lebih menekankan partisipasi dan keterlibatan langsung warga
negara. Menurut Pierre & Peters (2000), munculnya ide pemikiran demokrasi deliberatif tidak lepas
dari cara berpikir komunitarian. Lebih lanjut menurut mereka:
In some ways ideas about deliberative democracy comprise a subset of communitarian thinking. The
basic idea of creating a locus for making decisions at a low level of aggregation appears compatible
with communitarian think ing. What is most fundamental to the practice of deliberative democracy,
however, is a process of involving the public in making decisions through open debate and dialogue.
This process is in contrast to representative democracy in which the public is involved only as voters
selecting the elites who will later make the decisions. It is also in contrast to direct democracy in
which the public make decisions themselves, but do so with little or no collective deliberation or
confrontation of alternative views on the issues . [2]
Sejalan dengan pemikiran Pierre & Peters tadi, secara lebih spesifik dalam kaitannya dengan
kebijakan publik deliberatif, pengertian demokrasi deliberatif diuraikan Hardiman (2004) sebagai
berikut:Apa it u demokrasi deliberatif? Kata deliberasi berasal dari kata latin deliberatio yangartinya
konsultasi, menimbang-nimbang atau musyawarah. Demokrasi bersifat deliberatif, jika proses
pemberian alasan atas suatu kandidat kebijakan publik diuji lebihdahulu lewat konsultasi publik atau
lewat dalam kosakata teoretis Habermas diskursus publik. Demokrasi deliberatif inginmeningkatkan intensitas partisipasiwarga negara dalam pembentukan aspirasi dan opini (oefentlicher
Meinungs-undWillensbildungsprozess ) agar kebijakan-kebijakan dan undang-undang yang dihasilkan
oleh pihak yang memerintah semakin mendekati harapan pihak yang diperintah.[3]
Kemudian untuk dapat mengidentifikasi sebuah proses pengambilan keputusan dapat
dikategorikan sebagai proses yang memenuhi kriteria sebagai proses demokrasi deliberatif, maka
menurut Carson & Karp (2005:122) haruslah memenuhi tiga kriteria tertentu. Mereka mengungkapkan
sebagai berikut:
These can be thought of as three criteria for a fully democratic deliberative process: (1) Influence:
The process should have the ability to influence policy and decision making;(2) Inclusion: The
process should be representative of the population and inclusive to diverse viewpoints and values,
providing equal opportunity for all participate; (3) Deliberation: The process should provide open
dialogue, access to information, respect, space to understand and reframe issues, and movement
toward consensus.[4]
Ketiga kriteria: influence, inclusion dan deliberation di atas dapat digunakan sebagai alat
Select Language
Pow ered by Translate
Thanks for your support
$ 5.00
Support My Blog
ekonomi politik(4)
HAM(1)
kebijakan publik(8)
kolom sastra(2)
masyarakat sipil(5)
partai politik(3)
politik(23)
seri tokoh(11)
sosial(10)
Labels
2013(8)
June(1)
May(1)
January(6)
Peran Pabrik Gula dalam MeningkatkanEkonomi Daera...
PEMBERDAYAAN MASYARAKATSEBAGAI STRATEGI PERUBAHAN...
HAM DALAM ISLAM : TINJUAN TEORITISMENGENAI HAK AS...
PDI-P DALAM BINGKAI MARHAENISME :TINJAUAN ANALISI...
DARI GERINDRA UNTUK INDONESIA :
TINJAUAN ANALISIS ...
Partai Politik
2012(43)
2011(2)
Blog Archive
iwanisme.23
Seorang yang hanya ingin
dikenal karena karyanya.
Sedang mendalami ilmu politik,
filsafat, dan sastra. Mahasiswa
Ilmu Politik Universitas
Brawijaya '10
About Me
http://www.blogger.com/profile/01781629612436966435http://sosialitadanpolitik.blogspot.com/search?updated-min=2011-01-01T00:00:00-08:00&updated-max=2012-01-01T00:00:00-08:00&max-results=2http://sosialitadanpolitik.blogspot.com/search?updated-min=2012-01-01T00:00:00-08:00&updated-max=2013-01-01T00:00:00-08:00&max-results=43http://sosialitadanpolitik.blogspot.com/2013/01/partai-politik.htmlhttp://sosialitadanpolitik.blogspot.com/2013/01/dari-gerindra-untuk-indonesia-tinjauan.htmlhttp://sosialitadanpolitik.blogspot.com/2013/01/pdi-p-dalam-bingkai-marhaenisme.htmlhttp://sosialitadanpolitik.blogspot.com/2013/01/ham-dalam-islam-tinjuan-teoritis.htmlhttp://sosialitadanpolitik.blogspot.com/2013/01/pemberdayaan-masyarakat-sebagai.htmlhttp://sosialitadanpolitik.blogspot.com/2013/01/peran-pabrik-gula-dalam-meningkatkan.htmlhttp://sosialitadanpolitik.blogspot.com/2013_01_01_archive.htmlhttp://sosialitadanpolitik.blogspot.com/2013_05_01_archive.htmlhttp://sosialitadanpolitik.blogspot.com/2013_06_01_archive.htmlhttp://sosialitadanpolitik.blogspot.com/search?updated-min=2013-01-01T00:00:00-08:00&updated-max=2014-01-01T00:00:00-08:00&max-results=8http://sosialitadanpolitik.blogspot.com/search/label/sosialhttp://sosialitadanpolitik.blogspot.com/search/label/seri%20tokohhttp://sosialitadanpolitik.blogspot.com/search/label/politikhttp://sosialitadanpolitik.blogspot.com/search/label/partai%20politikhttp://sosialitadanpolitik.blogspot.com/search/label/masyarakat%20sipilhttp://sosialitadanpolitik.blogspot.com/search/label/kolom%20sastrahttp://sosialitadanpolitik.blogspot.com/search/label/kebijakan%20publikhttp://sosialitadanpolitik.blogspot.com/search/label/HAMhttp://sosialitadanpolitik.blogspot.com/search/label/ekonomi%20politikhttps://translate.google.com/http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=3823122053705396964#_ftn4http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=3823122053705396964#_ftn3http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=3823122053705396964#_ftn2http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=3823122053705396964#_ftn1 -
7/22/2019 Sosialita Dan Politik
3/8
12/18/13 sosialita dan politik
sosialitadanpolitik.blogspot.com/2013/01/pemberdayaan-masyarakat-sebagai.html
analisis untuk mengidentifikasi sejauh mana sebuah proses pembuatan keputusan dalam suatu
lembaga atau komunitas dapat dikategorikan ke dalam proses demokrasi deliberatif. Masih tentang
kriteria sebuah proses pembuatan keputusan dalam suatu komunitas dapat dikategorikan ke dalam
proses demokrasi deliberatif yang berkualitas, Fishkin (2009) mengemukakan dibutuhkannya lima
kondisi:
By deliberation we mean the process by which individuals sincerely weigh the merits of competing
arguments in discussions together. We can talk about the quality of a deliberative process in terms of
five conditions: (a) Information: The extent to which participants are given access to reasonably
accurate information that they believe to be relevant to the issue; (b) Substantive balance: The extent
to which arguments offered by one side or from one perspective are answered by considerations
offered by those who hold other perspectives; (c) Diversity: The extent to which the major positions in
the public are represented by participants in the discussion; (d) Conscientiousness: The extent towhich participants sincerely weigh the merits of the arguments; (e) Equal consideration: The extent to
which arguments offered by all participants are considered on the merits regardless of which
participants offer them (Fishkin 2009:33-34,126,160).[5]
Teori demokrasi deliberatif tidak memfokuskan pandangannya dengan aturan-aturan tertentu
yang mengatur warga, tetapi sebuah prosedur yang menghasilkan aturan-aturan itu. Teori ini
membantu untuk bagaimana keputusan-keputusan politis diambil dan dalam kondisi bagaimanakah
aturan-aturan tersebut dihasilkan sedemikian rupa sehingga warganegara mematuhi peraturan-
peraturan tersebut.Dengan kata lain, demokrasi deliberatif meminati kesahihan keputusn-keputusan
kolektif itu. Secara tidak langsung, opini-opini publik di sini dapat mengklaim keputusan-keputusan
yang membuat warga mematuhinya.
Di dalam demokrasi deliberatif, kedaulatan rakyat dapat mengkontrol keputusan-keputusan
mayoritas.Kita sebagai rakyat dapat mengkritisi keputusan-keputusan yang dibuat oleh orang-orang
yang memegang mandat. Jika kita berani mengkritisi kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh
pemerintah, maka secara tidak langsung kita sudah menjadi masyarakta rasional, bukan lagi
masyarakat irasional. Opini publik atau aspirasi memiliki fungsi untuk mengendalikan politik formal
atau kebijakan-kebijakan politik. Jika kita berani mengkritik kebijakan-kebijakan yang legal itu, secara
tidak langsung kita sudah tunduk terhadap sistem.
Konsepan yang seperti inilah yang memang sekiranya patut untuk kemudian dipraktekan
dalam rangka merekonstruksi kondisi politik dinegara kita. Artinya, ketika mungkin suatu opini publik
sudah mulai banyak berkembang, tentunya mereka akan secara otomatis melakukan kontrol terhadap
segala jenis kebijakan yang akan maupun telah ditetapkan oleh birokrasi pemerintahan. Dan inilah
yang akan menjadikan upaya untuk mendemokratitasi negara Indonesia menjadi lebih baik untuk
kedepannya. Namun, yang tak kalah pentingnya adalah bagaimana nantinya kita harus senantiasa
mencoba untuk kemudian merubah pola berpikir masyarakat yang memang masih terkesan
konservatif dan belum mampu untuk berfikir jauh kedepan. Kita bisa mencoba menarik ini dengan
menggunakan paradigm teori tindakan komunikatif Jurgen Habermas.
Tindakan komunikatif memiliki 2 aspek, aspek teleologis yang terdapat pada perealisasian
tujuan seseorang (atau dalam proses penerapan rencana tindakannya) dan aspek komunikatif yang
terdapat dalam interpretasi atas situasidan tercapainya kesepakatan. Dalam tindakan komunikatif,
partisipan menjalankan rencananya secara kooperatif berdasarkan definisi situasi bersama. Jika
definisi situasi bersama tersebut harus dinegosiasikan terlebih dahulu atau jika upaya untuk sampai
pada kesepakatan dalam kerangka kerja definisi situasi bersama gagal, maka pencapaian konsensus
dapat menjadi tujuan tersendiri., karena konsensus adalah syarat bagi tercapainya tujuan. Namun
keberhasilan yang dicapai oleh tindakan teleologis dan konsensus yang lahir dari tercapainya
pemahaman merupakan kriteria bagi apakah situasi tersebut telah dijalani dan ditanggulangi dengan
baik atau belum. Oleh karen itu, syarat utama agar tindakan komunikatif bisa terbentuk adalah
partisipan menjalankan rencana mereka secara kooperatif dalam situasi tindakan yang didefiniskan
bersama. Sehingga mereka bisa menghindarkan diri dari dua resiko, resiko tidak tercapainya
pemahaman (ketidaksepakatan atau ketidaksetujuan) dan resiko pelaksanaan rencana tindakan
secara salah (resiko kegagalan).
- People Centered Development
Peran serta masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan daerah merupakan salah satusyarat mutlak dalam era kebebasan dan keterbukaan ini. Pengabaian terhadap faktor ini, terbukti telah
menyebabkan terjadinya deviasi yang cukup signifikan terhadap tujuan pembangunan itu sendiri yaitu
keseluruhan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pemborosan keuangan negara
merupakan implikasi lain deviasi tersebut. Proses pelibatan partisipasi masyarakat lokal dalam
implementasi proyek-proyek pembangunan di tingkat kabupaten/kota, terbukti telah berhasil
membawa perubahan-perubahan mendasar dalam peningkatan kesejahteraan keluarga-keluarga
pedesaan (John Clark:1995; John Friedmann:1992).[6]
Lebih lanjut Gunawan Sumodiningrat (1996) mengemukakan bahwa pemihakan dan
pemberdayaan masyarakatdalam keseluruhan rangkaian penyusunan program-program
pembangunan, perlu diyakini oleh aparatur pemerintah (daerah) sebagai strategi yang tepat untuk
menggalang kemampuan ekonomi nasional, sehingga mampu berperan secara nyata dalam
meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Selanjutnya, keyakinan itu juga perlu terus
ditanamkan dalam diri aparatur yang secara fungsional menangani proses-proses penyusunanan
View my complete profile
http://www.blogger.com/profile/01781629612436966435http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=3823122053705396964#_ftn6http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=3823122053705396964#_ftn5 -
7/22/2019 Sosialita Dan Politik
4/8
12/18/13 sosialita dan politik
sosialitadanpolitik.blogspot.com/2013/01/pemberdayaan-masyarakat-sebagai.html
program pada kabupaten/kota untuk selanjutnya ditingkatkan serta dimasyarakatkan, kemudian yang
terpenting dan juga menjadi tantangan utama adalah bagaimana menerjemahkannya dalam usaha-
usaha yang nyata.[7]
Upaya-upaya ke arah tersebut tidak secara serta merta dapat terwujud dan tidak semudah
seperti membalikkan telapak tangan, melainkan harus melalui proses berliku-liku yang akan
menghabiskan banyak waktu serta tenaga, dan tampaknya harus dilakukan oleh aparatur yang
memiliki integritas dan hati nurani yang jernih, karena dalam pelaksanaannya dalam masyarakat akan
banyak mempergunakan mekanisme komunikasi timbal balik, mendengar dan menampung dengan
penuh kesabaran, dan sikap toleransi dalam menghadapi pandangan yang berbeda (community
approach).
Dimasa depan, masyarakat sendirilah yang akan memainkan peran utama dalam
pengimplementasian program-program pembangunan didaerahnya, sedangkan kelompok luar yaituNGOs akan bertindak sebagai fasilitator, dinamisator, katalisator, mediator dan komunikator, serta
peran pemerintah (daerah) lebih merupakan pelengkap dan penunjang termasuk menentukan aturan
dasar permainannya. Bagi aparatur pemerintah, NGOs maupun masyarakat, implementasi program-
program pembangunan harus dianggap sebagai suatu proses b elajar sosial(John Clark : 1995; John
Friedmann : 199),melalui proses evaluasi terhadap segala hal yang telah dicapai dalam pelaksanaan
proyek, serta mempelajari berbagai kendala yang dihadapi. Perubahan mendasar tampaknya sangat
perlu dilakukan disini, oleh karena existing condition yang terjadi pada hampir seluruh pemerintah
daerah, peran-peran kontributor, fasilitator, dinamisator, katalisator, mediator dan komunikator
penyusunan konsep-konsep dan ide-ide pembangunan seperti yang sering kita baca pada media-
massa, seringkali dominan berada pada pemerintah (daerah). Proses belajar sosial yang seyogyanya
terjadi pada implementasi proyek-proyek pembangunankhususnya di desa-desatersebut tidak
pernah terjadi, bahkan jika kita pandang secara ekstrim maka yang terjadi adalah hal sebaliknya yaitu
dengan apa yang dinamakan dengan upaya pembodohan masyarakat.
Jika kita perhatikan dengan seksama, aturan main proses penyusunan program-program
pembangunan yang dilakukan selama ini sesungguhnya merupakan mekanisme ideal, artinya berniat
mengakomodasikan sebesar-besarnya aspirasi masyarakat (desa). Proses penyusunan program
pembangunan, dilakukan melalui tahapan-tahapan yang dimulai dari tingkat desa yaitu kegiatan
musyawarah pembangunan desa, kemudian dibawa ke tingkat kecamatan melalui diskusi unit daerah
kerja pembangunan, demikian seterusnya hingga disalurkan di tingkat kabupaten/kota yang
melibatkan lintas unit-unit kerja kabupaten/kota. Namun mengapa mekanisme yang cukup baik
tersebut tetap dianggap kurang dapat mengakomodasikan hal-hal yang sesungguhnya diinginkan
masyarakat ? Seperti yang telah dikemukakan di atas, kesalahan tentu akan dialamatkan kepada
tidak dilakukannya secara sungguh-sungguh participant observation atau grounded research oleh
aparatur yang terlibat secara fungsional dalam proses penyusunan program-program pembangunan,
kepada masyarakat desa dimana proyek-proyek pembangunan tersebut berlokasi. Jika dilakukan
secara benar, penerapan mekanisme tersebut memastikan terjadinya identifikasi yang menyeluruh
dan mendalam hingga ke tingkat grassroots terhadap yang sesungguhnya dibutuhkan masyarakat,
walaupun harus melalui proses-proses yang akan menghabiskan banyak waktu dan tenaga.
Lebih jauh, David C. Korten mengidentifikasikan banyaknya faktor yang ditemukan dan turut
memperburuk citra kinerja penyusunan program-program pembangunan (daerah), antara lain yang
dianggap dominan adalah faktor kekurang-keterbukaan aparatur pemerintah (daerah) terhadap
masyarakat dalam proses penyusunan program-program pembangunan, akumulasi kondisi seperti ini
selama berpuluh-puluh tahun telah menyebabkan perasaan apriori masyarakat menumpuk dan
membatu, sehingga seperti yang kita lihat, telah mempengaruhi secara langsung maupun tidak
langsung kepada kurangnya intensitas peran serta masyarakat dalam penyusunan program-program
pembangunan.[8]Jika kita tidak bercermin, belajar dan mengantisipasi keadaan ini sedini mungkin,
maka setelah mencapai titik jenuh dikuatirkan pada saatnya akan berkembang menjadi gerakan yang
destruktif sebagai reaksi terhadap dominasi yang berlebihan dari pemerintah (daerah) serta dianggap
merupakan pemaksaanprogram-program pembangunan di tingkat desa.
Adanya kekhawatiran pemerintah (daerah) dengan alasan akan sulitnya mengakomodasikan
keinginan masyarakat yang begitu banyakjika dilakukan transparansi seluas mungkin kepada
masyarakat, harus sudah mulai ditinggalkan dan harus dianggap sebagai suatu konsekuensi logis dan
buah dari kekurangtepatan orientasi implementasi program-program pembangunan yang dilakukanselama ini. Langkah bijaksana yang dilakukan oleh aparatur pemerintah terhadap kondisi-kondisi yang
telah terlanjur terjadi tersebut, pertama-tama tentu harus dimaknai sebagai suatu rangkaian dari
keseluruhan belajar sosial.
Proses pemberdayaan masyarakat secara implisit mengandung makna, terdapatnya faktor
inisiatif yang berasal dan berkembang dari masyarakat sendiri, sedangkan peranan pemerintah
bertindak sebagai penampung dan mempertimbangkan keluhan masyarakat. Dalam hal ini aparatur
pemerintah (daerah) sangat dituntut agar memiliki kepekaan serta kemampuan untuk dapat memberi
respon, terhadap inisiatif dan keluhan yang berasal dari tingkat bawah daripada menonjolkan
kepentingan mereka sendiri atau berdalih pada menjaga kewibawaan pemerintah. Dalam kenyataan,
inisiatif dan keluhan masyarakat bawah seringkali diabaikan, dan untuk memperoleh perhatian dan
tanggapan mereka terpaksa mengambil jalan pintas walaupun kadang-kadang merupakan pelanggaran
hukum, yaitu dengan melakukan pengrusakan ataupun pembakaran.
Pada hakikatnya partisipasi sosial mengandung makna agar masyarakat lebih berperan
dalam proses pembangunan, mengusahakan penyusunan program-program pembangunan melalui
http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=3823122053705396964#_ftn8http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=3823122053705396964#_ftn7 -
7/22/2019 Sosialita Dan Politik
5/8
12/18/13 sosialita dan politik
sosialitadanpolitik.blogspot.com/2013/01/pemberdayaan-masyarakat-sebagai.html
mekanisme dari bawah ke atas (bottom up), dengan pendekatan memperlakukan manusia sebagai
subyek dan bukan obyek pembangunan. Hal ini dipertegas oleh Philip J. Eldridge (1995) participation
means a shift in decision making power from more powerful to poor, disadvantages, and less
influential groups.[9]Keberdayaan rakyat merupakan kemampuan dan kebebasan untuk membuat
pilihan-pilihan, baik yang menyangkut penentuan nasib sendiri maupun perubahan diri sendiri atas
dasar kekuatan sendiri sebagai faktor penentu.
Faktor-faktor yang turut memperburuk citra kinerja penyusunan program-program
pembangunan (daerah), juga tidak terlepas dari terjadinya perbedaan pemahaman tentang
pembangunan dan partisipasi masyarakat, yang dapat ditinjau dari dua sudut pandang (Goulet,
D.:1989 dalam Yosef P. Widyatmadja :1992): Pertama, dari perspektif pemerintah, partisipasi yang
dikehendaki adalah yang lebih menekankan pada pengorbanan dan kontribusi rakyat dari pada hak
rakyat untuk ikut menikmati manfaat pembangunan itu sendiri. Kedua, dari perspektif rakyat,partisipasi merupakan praktek dari keadilan. Oleh karena itu, pemahaman partisipasi sebagai
pemberdayaan rakyat atau empowering people, meliputi praktek keadilan dan hak untuk menikmati
hasil pembangunan yang mungkin dapat menimbulkan konflik antara pihak-pihak yang
berkepentingan.
People-centered Development sebagai tahapan menuju kebijakan yang deliberatif
Berdasarkan asumsi bahwa demokrasi ibarat suatu pola dengan titik gravitasi dari rakyat,
oleh rakyat dan untuk rakyat, maka terdapat tiga proses pentahapan yang perlu dilalui (Onny
S.Prijono dan A.M.W. Pranarka : 1996), sebagai berikut : a) tahap inisial : dari pemerintah, oleh
pemerintah, dan untuk rakyat; b) tahap partisipatoris : dari pemerintah bersama masyarakat, oleh
pemerintah bersama masyarakat, untuk rakyat; dan c) tahap emansipatif : dari rakyat, oleh rakyat,
untuk rakyat, dan didukung oleh pemerintah bersama masyarakat. Pada umumnya, dapat dikatakan
bahwa kita sudah mencapai tahap kedua, dengan mengecualikan beberapa wilayah yang mungkin
sudah memasuki tahap ketiga. Tantangan di masa depan menuntut terjadinya proses akselerasi
gerak kita memasuki tahap emansipatif : dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat.
[10]
Dalam kerangka ini, pemberdayaan partisipasi masyarakat dalam pembangunan, merupakan
langkah yang amat penting bagi gerak akselerasi tahap ketiga dalam pembangunan demokrasi kita.
Dalam proses pembangunan manusia yang berkesinambungan, hendaknya tidak hanya difokuskan
pada peningkatkan pertumbuhan ekonomi saja, namun pengembangan sumber daya manusia dan
pemberdayaan masyarakat yang pro-kaum miskin, pro-petani, pro-pekerja, pro-wanita, dan pro-
demokrasi juga perlu mendapat perhatian. Pendekatan pemberdayaan baik individu maupun kelompok
masyarakat (to empower people)merupakan salah satu prasyarat pembangunan sosial.
Sejalan dengan pendapat tersebut, lebih lanjut Laode M. Kalamuddin (2000), mengemukakan
bahwa selama ini kitabangsa Indonesia telah salah dalam memandang atau dalam
mempersepsikan pembangunan selama ini, yaitu karena pembangunan hanya dilihat sebagai output,
sebagai hasil-hasil yang nyata dari jerih payah dan usaha yang dijalankan oleh manusia baik secara
pribadi, kelompok maupun masyarakat. Melihat hasil-hasil pembangunan dengan kacamata fisikal
tersebut, misalnya dengan melihat kenyataan bahwa hasil-hasil pembangunan fisik selama 10 tahun
terakhir, telah menyebabkan kita mengabaikan (over look ing)akan arti, arah dan tujuan pembangunan
itu sendiri. Pola yang ditawarkan dalam membangun perspektif dan orientasi yang baru adalah dengan
memfokuskan kepada pembangunan sosial. Sosial dalam pengertian ini lebih dimaksudkan sebagai
perspektif global atau holistik yang memfokuskan penekanannya kepada keseluruhan masyarakat
manusia (civil society), dimana aspek pembangunan fisik dan ekonomi hanya merupakan salah satu
aspek pengamatan terhadap realitas sosial itu sendiri. Tujuan-tujuan strategis seperti ini, akan selalu
dapat dikoreksi pada setiap tahap kemajuan atau proses pembangunan atau perubahan sosial yang
direncanakan secara terus menerus. Sehingga pembangunan dengan demikian merupakan upaya
yang sadar dan terus menerus, dalam perubahan masyarakat ke arah yang lebih baik dan lebih maju.
Dari berbagai pendapat para ahli (Onny S. Prijono:1996; A.M.W. Prranarka:1996; Daoed
Joesoef: 1996; J. Babari:1996; Vidyandika Moeljarto:1996; Murwatie B. Rahardjo:1996; Sukardi
Rinakit:1996; Medelina K. Hendytio:1996), salah satu kunci utama dari keseluruhan upaya yang dapat
dilakukan untuk mengeliminasi permasalahan tersebut adalah bagaimana memperkuat kemampuan
masyarakat lapisan bawah, yang masih berada dalam kondisi tidak mampu melepaskan diri dari
perangkap kemiskinan, keterbelakangan, dan membutuhkan pertolongan agar lebih berdaya dalamkemandirian, keswadayaan, partisipasi dan demokratisasi.[11]
Dengan kata lain, memberdayakan masyarakat mengandung makna mengembangkan,
memandirikan, menswadayakan, dan memperkuat posisi tawar masyarakat lapisan bawah terhadap
kekuatan-kekuatan penekan di segala bidang dan sektor kehidupan. Di samping itu, juga mengandung
arti melindungi dan membela dengan berpihak pada yang lemah, untuk mencegah terjadinya
persaingan yang tidak seimbang dan eksploitasi atas yang lemah. Masyarakat yang perlu
diberdayakan antara lain kaum buruh, petani, nelayan, orang miskin di kota dan di desa, kelompok
masyarakat dalam kondisi yang marginal, dan dalam posisi lemah, serta pinggiran. Pemberdayaan
rakyat merupakan proses yang tidak dapat dilakukan secara partial, tetapi membutuhkan strategi
pendekatan yang menyeluruh. Pemberdayaan bukan hanya meliputi individu dan kelompok
masyarakat lapisan bawah (grassroots), pinggiran (peripheris), dan pedesaan (rural communities)
sebagai kelompok sasaran, tetapi juga meliputi NGOssebagai pelaku dan kelompok organisasi juga
perlu diberdayakan. Selain masyarakat sebagai kelompok sasarannya, NGOs pun perlu
mempertahankan kemandirian dan keswadayaannya, serta diberi kebebasan untuk berkembang, agar
http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=3823122053705396964#_ftn11http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=3823122053705396964#_ftn10http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=3823122053705396964#_ftn9 -
7/22/2019 Sosialita Dan Politik
6/8
12/18/13 sosialita dan politik
sosialitadanpolitik.blogspot.com/2013/01/pemberdayaan-masyarakat-sebagai.html
memiliki kekuatan sendiri tanpa perlu dibina dan dikontrol oleh pemerintah.
Kebijakan Publik Deliberatif dan upaya untuk mewujudkan pembangunan yang berpusat
pada masyarakat
Situasi demokrasi yang tidak sehat ini perlu segera disembuhkan. Rakyat sudah jengah
dengan kebijakan yang tidak rasional demi untuk kepentingan elitis. Perlu penelaahan ulang tentang
demokrasi yang berlaku di Indonesia. Adalah seorang Jurgen Habermas, seorang ilmuwan sosial
kritis Madzhab Frankfurt generasi kedua, menawarkan tentang demokrasi deliberatif. Habermas
mengkritik pendahulunya yang memahami rasionalisasi (marxian) hanya sebagai praksis kerja.
Padahal, Hegel sendiri membagi praksis jadi dua bagian: kerja dan komunikasi .
Latar belakang pemikirannya adalah pesimisme rasionalisme Barat dalam masyarakat
kapitalisme-renta. Dalam kapitalisme-renta, rasio hanya bermakna dominatif melalui kerja yang
berharsrat ekonomik dan naluris. Meminjam istilah Lyotard dalam kondisi postmodern, yang bisamenjadi jalan keluar kejengahan manusia modern dalam kapitalisme-renta adalah komunikasi yang
mengemansipasikan manusia. Komunikasi yang bukan tuan-budak, tapi setara-sejajar; bebas dari
dominasi menjadi landasan demokrasi deliberatifnya. Kemudian ia mengkrongkitkan komunikasi
kemanusiaan itu dalam konsep ruang publik (public sphere). Demokrasi deliberatif adalah derivasi
konsep ruang publik dalam teori politiknya.
Secara sederhana, demokrasi deliberatif ditandai dengan adanya ruang untuk curhat, usul,
atau kritik bagi seluruh elemen masyarakat, tanpa pandang bulu, agar segala sisi kemanusiaan dapat
diserap sistem politik-ekonomi atau ekonomi-politik. Sehingga apa yang dicita-citakan Habermas,
kekuasaan komunikatif melalui jaring-jaring komunikasi publik masyarakat sipil tercipta. Kebijakan
tidak lagi dimonopoli oleh kaum elitis, baik itu negara atau bahkan pemilik modal, diskursus-diskursus
liar yang terjadi dalam masyarakat dapat mempengaruhi kebijakan-kebijakan publik.
Penutup
Kesimpulan
Dari berbagai argumen yang telah penulis jelaskan diatas, maka penulis disini akan
memberikan kesimpulan mengenai pemberdayaan masyarakat dengan membangun pola tindakan
komunikatif sebagai berikut :
1. Dari awal komunikasi antar masyarakat inilah yang kemudian menjadi kolerasi antara
kebijakan deliberatif dengan pembangunan yang berpusat pada masyarakat. Bagaimana
kebijakan yang memang seharusnya terpusat pada kebutuhan masyarakatnya itu bisa
terealisasikan secara harfiah dan menyeluruh. Artinya, dalam upaya membangun demokrasi
deliberatif yang sangat mengedepankan peran serta masyarakatnya untuk turut serta dalam
pembangunan dapat tercapai dengan pemberdayaan masyarakat yang komunikatif.
2. Disini masyarakat juga ikut andil dalam melakukan monitoring evaluasi terhadap kebijakan
yang telah ditetap oleh pemerintahan. Ruang publik yang menjadi cirri utama dari demokrasi
deliberatif akan bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh masyarakat yang dapat turun
langsung kedalamnya. Itulah yang kemudian menjadi titik temu antara pemberdayaan
masyarakat dengan pola tindakan komunikatif dengan tujuan membangun demokrasi yang
deliberatif.
3. Dengan adanya pemberdayaan masyarakat melalui penerapan pola tindakan komunikatif,
diharapkan adanya keseimbangan dan kesinambungan antara peran pemerintah dan peran
masyarakat dalam berbagai hal. Dan ini juga sebagai sarana pembangunan demokrasi yang
lebih substansial.
Rekomendasi
Dari kesimpulan tersebut, maka ada beberapa rekomendasi yang akan penulis sampaikan
melalui tulisan ini, yaitu :
1. Pemerintah harus memperbanyak ruang publik bagi masyarakat secara keseluruhan, baik
itu pada masyarakat yang bersegmentasi di wilayah pedesaan maupun yang ada di
perkotaan.
2. Pembangunan demokrasi deliberatif harus segera diaktualisasikan sebagai upaya
perubahan sosial yang berdampak pada kedewasaan politik masyarakat Indonesia.
3. Kegiatan-kegiatan seperti Musrenbang dan lain sebagainya harus senantiasa dilakukan
secara kontinuitas dan konsisten demi meningkatkan daya kritis masyarakat Indonesia.
Daftar Pustaka
- Rachman, Fadjroel. 2007. Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat : Tentang Kebebasan,
Demokrasi, dan Negara Kesejahteraan. Jakarta : Koeskoesan
- De Tocqoueville, Alexis. 2005. tentang Revolusi, Demokrasi, dan Masyarakat. Jakarta :
Yayasan Obor Indonesia
- Onny S. Prijono dan A.M.W Pranarka. 1996. Pemberdayaan : Konsep, Kebijakan dan
Implementasi. Jakarta : CSIS
- Eldridge J, Philip. 1995. Non-government organizations and democratic participation in
Indonesia. Oxvord University Press.
- Habermas, J (2007a) Teori Tindakan Komunikatif I: Rasio dan Rasionalisasi Masyarakat
(terjemahan: Nurhadi). Yogyakarta: Kreasi Wacana, cetakan ke dua.
-
7/22/2019 Sosialita Dan Politik
7/8
12/18/13 sosialita dan politik
sosialitadanpolitik.blogspot.com/2013/01/pemberdayaan-masyarakat-sebagai.html
Newer Post Older PostHome
Subscribe to: Post Comm ents (Atom)
Posted by iw anisme.23 at 2:47 AM
Labels: kebijakan publik, politik, sosial
- Hardiman, FB (2004) Demokrasi deliberatif: model untuk Indonesia pasca-Soeharto?Majalah
Basis Nomor 11-12, Tahun ke 53, November-Desember 2004
- Pierre, J & Peters, BG. 2000. Governance, Politics and The State.New York: St. Martins
Press.
- Levine, J & Levine, P. 2005. The Deliberative Democracy Handbook: Strategies for Effective
Civic Engagement in the 21st Century.San Francisco: Jossey-Bass.
- Korten, David. 1984. People-Centered Development. Kumarian Press.
[1]Habermas, J (2007a) Teori Tindakan Komunikatif I: Rasio dan Rasionalisasi Masyarakat
(terjemahan: Nurhadi). Yogyakarta: Kreasi Wacana, cetakan ke dua. Hlm 78
[2]Pierre, J & Peters, BG (2000) Governance, Politics and The State. New York: St. Martins Press .
Hlm 150
[3]Hardiman, FB (2004) Demokrasi deliberatif: model untuk Indonesia pasca-Soeharto? MajalahBasis Nomor 11-12, Tahun ke 53, November-Desember 2004. Hlm 18
[4]Levine, J & Levine, P (eds) (2005) The Deliberative Democracy Handbook: Strategies for EffectiveCivic Engagement in the 21st Century. San Francisco: Jossey-Bass. Hlm 122
[5]Fishkin, JS (2009) When the People Speak: Deliberative Democracy & Public Consultation. NewYork: Oxford University Press. Hlm 33-34
[6]Pratikno (2005) Good governance dan governability. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, FISIPOLUGM 8(3): 231-248.
[7]Ibid
[8]Korten, David. 1984. People-Centered Development. Kumarian Press. Hlm 152[9]Eldridge J, Philip. 1995. Non-government organizations and democratic participation in Indonesia.
Oxvord University Press. Hlm 87
[10]Onny S. Prijono dan A.M.W Pranarka. 1996. Pemberdayaan : Konsep, Kebijakan danImplementasi, CSIS, Jakarta, hal.44-46
[11]Ibid. hlm 131
Recommend this on Google
Post a Comment
Create a Link
No comments:
Links to this post
Subscribe To
Posts
Comments
http://www.blogger.com/blog-this.ghttp://www.blogger.com/comment.g?blogID=3823122053705396964&postID=7171008769502674044http://www.blogger.com/share-post.g?blogID=3823122053705396964&postID=7171008769502674044&target=facebookhttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=3823122053705396964&postID=7171008769502674044&target=twitterhttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=3823122053705396964&postID=7171008769502674044&target=bloghttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=3823122053705396964&postID=7171008769502674044&target=emailhttp://www.blogger.com/blogger.g?blogID=3823122053705396964#_ftnref11http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=3823122053705396964#_ftnref10http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=3823122053705396964#_ftnref9http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=3823122053705396964#_ftnref8http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=3823122053705396964#_ftnref7http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=3823122053705396964#_ftnref6http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=3823122053705396964#_ftnref5http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=3823122053705396964#_ftnref4http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=3823122053705396964#_ftnref3http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=3823122053705396964#_ftnref2http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=3823122053705396964#_ftnref1http://sosialitadanpolitik.blogspot.com/search/label/sosialhttp://sosialitadanpolitik.blogspot.com/search/label/politikhttp://sosialitadanpolitik.blogspot.com/search/label/kebijakan%20publikhttp://sosialitadanpolitik.blogspot.com/2013/01/pemberdayaan-masyarakat-sebagai.htmlhttp://www.blogger.com/profile/01781629612436966435http://sosialitadanpolitik.blogspot.com/feeds/7171008769502674044/comments/defaulthttp://sosialitadanpolitik.blogspot.com/http://sosialitadanpolitik.blogspot.com/2013/01/ham-dalam-islam-tinjuan-teoritis.htmlhttp://sosialitadanpolitik.blogspot.com/2013/01/peran-pabrik-gula-dalam-meningkatkan.html -
7/22/2019 Sosialita Dan Politik
8/8
12/18/13 sosialita dan politik
sosialitadanpolitik.blogspot.com/2013/01/pemberdayaan-masyarakat-sebagai.html
13,806
Total Pageviews
Simple template. Template images by gaffera. Powered by Blogger.
http://www.blogger.com/http://www.istockphoto.com/googleimages.php?id=4072573&platform=blogger&langregion=en