urgensi sariyanto.docx

Upload: tiara-mahardika

Post on 16-Oct-2015

13 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Urgensi: Komunikasi Politik adalah komunikasi yang melibatkan pesan-pesan politik dan aktor-aktor politik, atau berkaitan dengan kekuasaan, pemerintahan, dan kebijakan pemerintah. Dengan pengertian ini, sebagai sebuah ilmu terapan, komunikasi politik bukanlah hal yang baru. Komunikasi politik juga bisa dipahami sebagai komunikasi antara "yang memerintah" dan "yang diperintah".Menurut Gabriel Almond (1960): komunikasi politik adalah salah satu fungsi yang selalu ada dalam setiap sistem politik.Dalam sistem pemilu dapat diambil secara garis besar sistemnya yaitu sistem distrik dan proporsional. Sistem yang mendorong pada pola komunikasi politik yang lebih efektif, real dan kongkrit. Komunikasi politik yang diperlukan dalam kampanye politik sangat tergantung pada sistem kampanye. Demikian pula dengan kemampuan dan kredibilitas partai akan menjadi prasyarat dalam pembentukan citra politik, membina pendapat umum, mendorong partisipasi politik serta memenangkan pemilu. Untuk mencapai target yang ditentukan maka dalam menjalin komunikasi politik sangat terpola pada sistem lama yang lebih dominan. Yaitu pola rapat umum, atau lebih mentereng disebut kampanye umum. Pola perubahan yang fenomenal adalah kampanye dialogis. Berikut ini perbandingan antara rapat/kampanye umum dan rapat/kampanye dialogis.Partai politik: Persoalan lain yang dihadapi sistem kepartaian adalah belum berjalannya secara maksimal fungsi yang dimiliki oleh partai politik, baik fungsi partai politik terhadap negara maupun fungsi partai politik terhadap rakyat. Fungsi partai politik terhadap negara antara lain adalah menciptakan pemerintahan yang efektif dan adanya partisipasi politik terhadap pemerintahan yang berkuasa. Sedangkan fungsi partai politik terhadap rakyat antara lain adalah memperjuangkan kepentingan, aspirasi, dan nilai-nilai pada masyarakat serta memberikan perlindungan dan rasa aman. Kebanyakan partai politik pada saat ini belum sepenuhnya memberikan pendidikan politik dan melakukan pengkaderan serta rekrutmen politik yang efektif untuk menghasilkan keder-kader pemimpin yang memiliki kemampuan di bidang politik.Sistem kepartaian yang ada juga masih menghadapi derajat kesisteman yang rendah serta kurang mengakar dalam masyarakat, struktur organisasi partai yang tidak stabil yang tidak mengacu pada AD/ART, dan citra partai di mata publik yang masih relatif buruk. Selain itu, partai politik yang ada pada umumnya cenderung mengarah pada tipe partai politik kharismatik dan klientelistik ketimbang partai programatik.Lemahnya pelembagaan partai politik di Indonesia, terutama disebabkan oleh belum munculnya pola partai kader. Partai politik cenderung membangun partai massa yang memiliki ciri-ciri: meningkatnya aktivitas hanya menjelang pemilu, menganut sistem keanggotaan yang amat longgar, belum memiliki sistem seleksi dan rekrutmen keanggotaan yang memadai serta belum mengembangkan sistem pengkaderan dan kepemimpinan politik yang kuat.Kelemahan yang mencolok partai politik yang berorientasi pada massa adalah kurang intensif dan efektifnya kerja partai. Sepanjang tahun sebagian besar kantor partai hampir tidak memiliki agenda kegiatan yang berarti. Hal ini ditandai dengan tidak dimilikinya rencana kerja partai yang bersifat jangka panjang, menegah dan jangka pendek. Partai politik semestinya merupakan suatu kelompok terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, serta cita-cita yang sama, dan yang mempunyai visi, misi, program dan tujuan untuk memperoleh kekuasaan politik dan melalui kekuasaan politik itu memperjuangkan kepentingan rakyat. Sebagai akibatnya, partai politik tidak memiliki program yang jelas dalam melakukan pendidikan politik kepada masyarakat, melakukan artikulasi dan agregasi kepentingan, belum dapat membangun sosialisasi politik dan komunikasi politik untuk menjembatani rakyat dengan pemerintah.Partai politik semacam ini hanya berorientasi pada perolehan dukungan suara di daerah pemilihannya dalam rangka memperoleh kekuasaan tanpa memperhatikan kepentingan dan pemenuhan hak konstituen. Hal ini yang membuat partai gagal dalam mengembangkan dan mempertahankan kepercayaan masyarakat. Dalam kondisi krisis kepercayaan masyarakat terhadap partai politik yang berakibat pada penurunan dukungan masyarakat terhadap perolehan suara, hal ini dapat menimbulkan frustasi bagi kader dan pengurus partai. Kondisi ini akan berakibat kader dan pengurus partai yang berdedikasi tinggi sekaligus memiliki karakter, dengan mudah mengubah garis politik.Bertolak dari sistem rekrutmen dan ketidakjelasan program kerja dan orientasi partai, pemenuhan hak dan kewajiban yang terabaikan, rendahnya kepercayaan masyarakat, kepemimpinan partai yang kurang responsif dan inovatif sehingga menimbulkan sejumlah problematik dan konflik yang sering tidak terselesaikan oleh internal partai. Konflik yang tidak terselesaikan tersebut disebabkan oleh terbatasnya pengaturan penyelesaian konflik yang dilakukan melalui prinsip musyawarah mufakat internal partai, maupun penyelesaian konflik/perselisihan yang dilakukan melalui pengadilan. Tambahan lagi, tidak adanya kesadaran para pengurus untuk segera menyelesaikan konflik dan masing-masing mau menangnya sendiri akan mengakibatkan semakin berlarut-larutnya konflik tersebut.Faktor lain yang menyebabkan lemahnya pelembagaan sistem kepartaian adalah belum ada pengaturan yang dapat dijadikan pedoman untuk membekukan kepengurusan partai politik, baik untuk kepengurusan tingkat pusat, tingkat provinsi, maupun tingkat kabupaten/kota. Problem lain yang dihadapi adalah upaya untuk meningkatkan keterwakilan perempuan dalam kepengurusan partai politik sekalipun masih menemukan kendala kultural dan struktural.Budaya politik: Tipe tipe budaya politik yang berkembang pada masa orde baru di Indonesia Pertama, politik diatur oleh doktrin tunggal yang mengurusi segalanya mulai dari urusan privat sampai publik. Kedua, akuntabilitas tubuh-tubuh politik menjadi kebal dari skrutinisasi publik. Ketiga, mekanisme penundukan menyebar di semua lini kehidupan: ekonomi, sosial, budaya, dan religi. Ketiganya berakar dari sebuah kebenaran sederhana: absennya deliberasi publik oleh proses penundukan halus yang menyerang kesadaran sosial secara simbolik. Kedua adalah seni berpolitik futuris. Seni berpolitik yang selalu ingin meratakan masa lalu. Ia berpijak pada janji-janji keesokan: pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan sosial, tinggal landas, dan sebagainya. Semuanya berkisar seputar harapan-harapan, bukan kelukaan. Politik futuris selalu mengatakan, Marilah kita lupakan masa lalu untuk bersama-sama membangun bangsa ini ke depan. Masa lalu adalah sumber konflik yang harus dikubur dalam-dalam. Semuanya cukup diselesaikan lewat kompromi elite. Rekonsiliasi menjadi sekadar seremonial yang kehilangan jejak pada ingatan sosial masyarakat. Etika solidaritas adalah sarana sekaligus hasil sebuah ranah publik yang sehat. Disebut sarana karena melaluinya ranah publik menjadi sungguh-sungguh publik, bukan sekadar ajang perjuangan kepentingan jangka pendek. Dalam hal ini, ranah publik berfungsi mendesektarianisasi nilai-nilai privat. Di lain pihak, ranah publik yang sehat menghasilkan etika solidaritas yang kuat. Saat segala urusan dibicarakan secara terbuka dalam semangat kebersamaan guna menjamin kesetaraan dan kebebasan, lambat laun sebuah bangunan etika sosial yang kokoh akan berdiri.

Persoalannya, bagaimana menstrukturkan etika solidaritas dalam tubuh politik bangsa ini. Tubuh yang diwarisi rezim sebelumnya dalam kondisi memprihatinkan: koyak oleh politik kekerasan dan penundukan. Politik yang acuh terhadap hak-hak dasar manusia. Itu semua membuat perubahan mendasar dalam struktur politik bangsa ini bukan hal sepele. Paling tidak ada dua hal yang menjadi kunci perubahan. Pertama, struktur itu sendiri dan kedua, karakter politisi. Pertama bersifat sosial, sedang kedua individual. Keduanya berbeda, namun saling bertautan.

Menurut Giddens, struktur adalah kebiasaan yang berulang dan membuat pola. Hukum adalah salah satu sarana sekaligus hasil sebuah struktur. Dalam kontens sarana, bila ditengok produk perundang-undangan kita, masih banyak yang belum bisa lepas dari struktur penundukan. Banyak undang-undang yang bisa dijadikan justifikasi untuk perampasan hak-hak dasar manusia. Selain itu, fairness dalam politik masih belum tertampung sempurna dalam undang-undang. Undang- undang masih menjadi obyek sasaran manipulasi ideologis. Dengan kata lain, undang-undang masih dijadikan sarana memantapkan dominasi ideologis satu kelompok atas yang lain. Ini tentu amat tidak kondusif bagi moralitas yang berporos pada solidaritas.

Perubahan menuntut orang berkarakter kuat. Sebuah struktur, sekuat apa pun ia, akan berubah saat banyak orang berani mengambil jarak dari kesadaran dominan. Masalahnya, struktur bisa begitu dominan sehingga orang-orang berkarakter kuat pun bisa larut di dalamnya. Banyak kisah bagaimana cendekiawan yang semula terkenal vokal, kini menjadi the most loyal spokeperson of authority. Padahal, seperti ditegaskan Edward Said, fungsi pokok cendekiawan adalah berbicara kebenaran di hadapan kekuasaan. Ini membuat kita bertanya-tanya seputar maraknya cendekiawan terjun ke politik. Apakah mereka akan membuat perubahan atau lenyap dalam pusaran habitus yang sudah mengendap lama.

Pendidikan menjadi instrumen strategis guna membangun karakter politik nonsektarian. Sayang, ia pun menjadi sasaran strategis kelompok sektarian untuk menancapkan kukunya. Pendidikan yang seharusnya menghasilkan insan yang memiliki daya pertimbangan otonom, menjadi ajang indoktrinasi ideologis yang tertutup bagi nilai-nilai solidaritas. Ini membuat perbincangan mengenai pendidikan kewarganegaraan kembali relevan. Bukan semata-mata pendidikan teknis mengenai tata cara penyelenggaraan negara. Namun, pendidikan yang menanamkan moral politik yang berpijak pada solidaritas, kebebasan, dan keadilan.

Pendidikan yang akan menghasilkan insan-insan yang tidak saja melek politik, namun mampu menjalankannya secara etis dan rasional. Kader-kader bangsa yang tahu bagaimana berpolitik secara santun.1. Masa Orde Lama

Pemilu nasional pertama dilaksanakan pada masa Orde Lama, dilaksanakan secara bertingkat, tanggal 29 September 1955 Pemilu untuk memilih anggota DPR dan tanggal 15 Desember 1955 untuk memilih anggota Konstituante (Dewan Pembentuk Undang-Undang Dasar). Jumlah kursi yang diperebutkan adalah anggota DPR adalah 260 orang untuk anggota DPR dan 520 orang Badan Konstituante ditambah 14 wakil golongan minoritas yang diangkat pemerintah. Pemilu 1955 berdasarkan pada UU No. 27 Tahun 1948 jo. UU No. 12 Tahun 1949 tentang Pemilu yang diikuti oleh lebih dari 170 partai politik, termasuk perseorangan calon independent yang terbagi dalam 15 distrik pemilih, disesuaikan dengan wilayah provinsi yang ada pada saat itu. Yang memiliki hak suara adalah WNI, keturuanan Arab, Cina dan Eropa, serta anggota tentara dan polisi.

Pada masa ini budaya politik yang berkembang berada dibawah pengaruh dominasi agama Islam yang merupakan agama mayoritas dari masyarakat Indonesia. Namun demikiran, menurut Deliar Noer, umat Islam di Indonesia secara politis sering terlibat kontroversi teoritis dan ideologis, baik dengan pihak nasionalis sekuler maupun antarsesama umat Islam sendiri. Perpecahan komunitas muslim ini melahirkan kebangkitan berbagai partai politik. Dengan pola multi partai, partai politik yang ada saat itu terbagi menjadi dua, yaitu yang menganut asas politik agama, seperti Partai keagamaaseperti Majelis Syuro Muslim Indonesia (Masyumi), Nahdatul Ulama (NU) Partai Serikat Islam Indonesia (PSII), Partai Tarbiyah Islamiyah (Perti), Partai PersatuanTarekat Islam Indonesia, dan Angkatan Kesatuan Umat Islam, partai nasionalis dan yang menganut asas politik sekuler seperti Partai Nasional Indonesia (PNI) dan partai komunis adalah Partai Komunis Indonesia (PKI). Banyaknya partai tidak menguntungkan berkembangnya pemerintahan yang stabil. Namun kenyataannya partai partai politik tersebut tidak menyelenggarakan fungsi sebagaimana yang diharapkan. Kondisi seperti ini sangat rentan, sehingga menimbulkan banyaknya penyimpangan terhadap Pancasila dan UUD 1945.

2. Masa Orde Baru

Pemilu pertama pada Masa Orde Baru dilaksanakan pada tahun 1971 yang didasarkan pada UU No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilu. Pemilu pada tahun 1971 lahir sebagai koreksi total terhadap pemerintahan Orde Lama yang dianggap telah melakukan penyimpangan terhadap Pancasila dan UUD 1945. Pemilu berikutnya dilaksanakan pada tanggal 2 Mei 1977 berdasarkan UU Pemilu No. 4 Tahun 1975 dengan sistem proporsional di daerah pemilihan. Pada masa Orde Baru, partai politik diberi kesempatan untuk bergerak lebih leluasa, walaupun masih dengan pola multi partai. Pelaksanaan Pemilu pada tahun 1977 terjadi penyederhanaan partai politik peserta pemilu berdasarkan UU No 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar yaitu sebagai berikut :

a. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan gabungan dari NU, Partai Muslimin Indonesia, Partai Syarikat Islam, dan Perti.

b. Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang merupakan gabungan dari Partai Nasional Indonesia, Partai Kristen Indonesia, Partai Katolik, Partai Murba

c. Golongan Karya (Golkar) yang merupakan kumpulan dari berbagai golongan masyarakat Indonesia dari berbagai profesi. Kedua partai politik dan satu golongan ini tetap bertahan sejak pelaksanaan Pemilu tahun 1982 berdasarkan UU Pemilu No. 2 Tahun 1980, 1987 berdasarkan UU Pemilu No. 1 Tahun 1985 dan terus dipakai sampai pelaksanaan Pemilu tahun 1992.

Perolehan suara mulai tahun 1977 selalu didominasi oleh Golkar. Dalam perkembangannya, ternyata Orde Baru pun masih melakukan penyimpanganpenyimpangan yang hampir sama dengan pemerintahan Orde Lama, bahkan dalam kaitannya dengan masalah rasial terjadi kesalahan yang lebih besar. Hal ini terjadi karena budaya politik yang berkembang pada masa Orde Baru lebih bersifat pada nilai sentralistik dan budaya politik yang tertutup. Pemerintahan Orde Baru dianggap telah gagal dalam melakukan koreksi terhadap apa yang telah terjadi pada pemerintahan yang lalu.

3. Masa Reformasi

Pemilu 1999 merupakan pemilu pertama setelah Presiden Suharto lengser yang merupakan babak baru yang dikenal dengan reformasi. Pemilu tahun 1999 dilaksanakan berdasarkan UU Pemilu No. 3 tahun 1999 yang dilaksanakan pada tanggal 7 Juni 1999 di bawah pemerintahan B.J. Habiebie yang diikui oleh 48 partai politik. Awal terjadinya reformasi di Indonesia dipicu dengan adanya praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Reformasi lahir di Indonesia sebagai upaya untuk melakukan perubahan terhadap kekeliruan-kekeliruan politik yang terjadi dalam perkembangan politik di Indonesia dan berupaya merubah tatanan kehidupan budaya politik yang kondusif, transparan dan inklusif. Dengan tetap mempertahankan pola multi partai, bahkan lebih banyak dibandingkan dengan partai politik pada masa Orde Baru, pada pelaksanaan Pemilu pada tahun 1997 diikuti oleh 48 partai politik.

Dalam pelaksanannya reformasi malah melahirkan euphoria politik yang kebablasan sehingga melahirkan perubahan perilaku politik yang anarkis, peranan legislatif yang lebih dominan dan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia. Oleh karena itu, semua pihak dituntut untuk lebih menyadari akan pentingnya nilai-nilai kesatuan, karena dengan adanya berbagai kepentingan yang berbeda sangat memungkinkan lahirnya berbagai konflik dalam kehidupan masyarakat. Perilaku politik yang dijalankan harus sesuai dengan tata aturan yang berlaku, termasuk pendayagunaan lembaga-lembaga negara yang ada sesuai dengan fungsi dan perannya masing-masing, sehingga diharapkan dapat melahirkan budaya politik yang diharapkan.Sistem distrik dengan system proposional: Sistem pemilu dibagi dua yaitu : 1. Sistem perwakilan distrik single member constituency 2. Sistem perwakilan berimbang multi member constituency

1. A. Sistem perwakilan distrik yaitu -. sistem yang di tentukan atas kesatuan geografis di mana setiap geografis / distrik hanya mewakili satu wakil . -. jumlah distrik yang di bagi ama dengan jumlah satu permanen . B. Sistem perwakilan Distrik Kelemahan : - kurang memperhatikan partai kecil / minoritas - kurang represiantif karena calon yang kalah kehilangan suara pendukung nya Kelebihan : - calon yang di pilih di kenal baik karena batas distrik - mendorong kearah integrasi parpol , karena hanya memperebutkan satu wakil . - sederhana dan mudah di laksanakan - berkurangnya parpol memudahkan pemerintahan yang lebih stabil integrasi

2. A. Sistem Perwakilan Proporsional-jumlah kursi yang di peroleh sesuai dengan jumlah suara yang di peroleh- wilayah Negara dibagi-bagi ke dalam daerah-daerah tetapi batas-batas nya lebih besar dari pada sistem distrik - kelebihan suara dari jatah satu kursi bisa di kompensasikan dengan kelebihan daerah lain- Terkadang,dikombinasikan dengan sistem daftar , diamana daftar calon disusun berdasarkan peringkat . B.Sistem perwakilan Proporsional Kelemahan - mempermudah fragmentasi dan timbulnya partai partai baru - wakil lebih terikat dan loyal dengan partai daripada rakyat atau daerah yang di wakilinya - banyaknya partai bia mempersulit terbentuknya pemerintah stabil Kelebihan - setiap suara dihitung , dan yang kalah suaranya dikompensasikan sehingga tidak ada suara yang hilang

Perbedaan pemilu orde la,a dengan orde baru: Pelaksaan Pemilu masa Orde LamaPada masa sesudah kemerdekaan, Indonesia menganut sistem multi partai yang ditandai dengan hadirnya 25 partai politik. Hal ini ditandai dengan Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945 dan Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945. Menjelang Pemilihan Umum 1955 yang berdasarkan demokrasi liberal bahwa jumlah parpol meningkat hingga 29 parpol dan juga terdapat peserta perorangan.Pada masa diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sistem kepartaian Indonesia dilakukan penyederhanaan dengan Penpres No. 7 Tahun 1959 dan Perpres No. 13 Tahun 1960 yang mengatur tentang pengakuan, pengawasan dan pembubaran partai-partai. Kemudian pada tanggal 14 April 1961 diumumkan hanya 10 partai yang mendapat pengakuan dari pemerintah, antara lain adalah sebagai berikut: PNI, NU, PKI, PSII, PARKINDO, Partai Katholik, PERTI MURBA dan PARTINDO. Namun, setahun sebelumnya pada tanggal 17 Agustus 1960, PSI dan Masyumi dibubarkan.Dengan berkurangnya jumlah parpol dari 29 parpol menjadi 10 parpol tersebut, hal ini tidak berarti bahwa konflik ideologi dalam masyarakat umum dan dalam kehidupan politik dapat terkurangi. Untuk mengatasi hal ini maka diselenggarakan pertemuan parpol di Bogor pada tanggal 12 Desember 1964 yang menghasilkan Deklarasi Bogor.Tokoh partai PNI Dr. Tjipto Mangunkusumo Mr. Sartono Mr Iskaq Tjokrohadisuryo Mr Sunaryo Soekarno Moh. Hatta Gatot Mangkuprojo Soepriadinata Maskun Sumadiredja Amir Sjarifuddin Wilopo Ali Sastroamidjojo Djuanda Kartawidjaja Mohammad Isnaeni Supeni Sanusi Hardjadinata Sukmawati Soekarno Agus Supartono SupeniTokoh Partai Masyumi KH Hasyim Asyarie KH Wahid Hasjim, Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka), Muhammad Natsir, Syafrudin Prawiranegara, Mr. Mohammad Roem, KH. Dr. Isa Anshari, Kasman Singodimedjo, Dr. Anwar Harjono,Tokoh Partai NU Syeikh Nawawi al-Bantani Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari Syeikh Sulaiman ar-Rasuli al-Minangkabawi Syeikh Ahmad Khatib Sambas Syeikhona Kholil Bangkalan Kyai Abdullah Termas KH. Hasyim Asari KH. Wahab Hasbullah KH. Bisri Syamsuri . KH. Wahid Hasyim KH. Ahmad Siddiq . KH. Asad Syamsul Arifin KH Saifuddin Zuhri KH. Maksum Ali KH. Zainul Arifin KH TURAICHAN KUDUS KH Agus Maksum Jauhari KH. Bisri Mustafa KH. Asnawi Kudus KH. Abbas Djamil BuntetTokoh partai PKI Mr. Amir Syarifuddin Maruto Darusma Tan Ling Djie Abdulmajid Muso SetiadjitPemilu 1955Hasil penghitungan suara dalam Pemilu 1955 menunjukkan bahwa Masyumi mendapatkan suara yang signifikan dalam percaturan politik pada masa itu. Masyumi menjadi partai Islam terkuat, dengan menguasai 20,9 persen suara dan menang di 10 dari 15 daerah pemilihan, termasuk Jakarta Raya, Jawa Barat, Sumatera Selatan, Sumatera Tengah, Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara Selatan, dan Maluku. Namun, di Jawa Tengah, Masyumi hanya mampu meraup sepertiga dari suara yang diperoleh PNI, dan di Jawa Timur setengahnya. Kondisi ini menyebabkan hegemoni penguasaan Masyumi secara nasional tak terjadi.Berikut hasil Pemilu 1955:1. Partai Nasional Indonesia (PNI) 8,4 juta suara (22,3%)2. Masyumi 7,9 juta suara (20,9%)3. Nahdlatul Ulama 6,9 juta suara (18,4%)4. Partai Komunis Indonesia (PKI) 6,1 juta suara (16%)Kelebihan sistem Pemerintahan Orde Baru perkembangan GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS$70 dan pada 1996 telah mencapai lebih dari AS$1.000 sukses transmigrasi sukses KB sukses memerangi buta huruf sukses swasembada pangan pengangguran minimum sukses REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun) sukses Gerakan Wajib Belajar sukses Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh sukses keamanan dalam negeri Investor asing mau menanamkan modal di Indonesia sukses menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam negeriKekurangan Sistem Pemerintahan Orde Baru semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme pembangunan Indonesia yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan pembangunan antara pusat dan daerah, sebagian disebabkan karena kekayaan daerah sebagian besar disedot ke pusat munculnya rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan pembangunan, terutama di Aceh dan Papua kecemburuan antara penduduk setempat dengan para transmigran yang memperoleh tunjangan pemerintah yang cukup besar pada tahun-tahun pertamanya bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si kaya dan si miskin) kritik dibungkam dan oposisi diharamkan kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang dibreidel penggunaan kekerasan untuk menciptakan keamanan, antara lain dengan program Penembakan Misterius (petrus) tidak ada rencana suksesi (penurunan kekuasaan ke pemerintah/presiden selanjutnya)Pasca-Orde BaruMundurnya Soeharto dari jabatannya pada tahun 1998 dapat dikatakan sebagai tanda akhirnya Orde Baru, untuk kemudian digantikan Era Reformasi.Masih adanya tokoh-tokoh penting pada masa Orde Baru di jajaran pemerintahan pada masa Reformasi ini sering membuat beberapa orang mengatakan bahwa Orde Baru masih belum berakhir. Oleh karena itu Era Reformasi atau Orde Reformasi sering disebut sebagai Era Pasca Orde Baru.Pelaksanaan Pemilu Masa ReformasiBerakhirnya rezim Orde Baru, telah membuka peluang guna menata kehidupan demokrasi. Reformasi politik, ekonomi dan hukum merupakan agenda yang tidak bisa ditunda. Demokrasi menuntut lebih dari sekedar pemilu. Demokrasi yang mumpuni harus dibangun melalui struktur politik dan kelembagaan demokrasi yang sehat. Namun nampaknya tuntutan reformasi politik, telah menempatkan pelaksanan pemilu menjadi agenda pertama.Pemilu pertama di masa reformasi hampir sama dengan pemilu pertama tahun 1955 diwarnai dengan kejutan dan keprihatinan. Pertama, kegagalan partai-partai Islam meraih suara siginifikan. Kedua, menurunnya perolehan suara Golkar. Ketiga, kenaikan perolehan suara PDI P. Keempat, kegagalan PAN, yang dianggap paling reformis, ternyata hanya menduduki urutan kelima. Kekalahan PAN, mengingatkan pada kekalahan yang dialami Partai Sosialis, pada pemilu 1955, diprediksi akan memperoleh suara signifikan namun lain nyatanya.Walaupun pengesahan hasil Pemilu 1999 sempat tertunda, secara umum proses pemilu multi partai pertama di era reformasi jauh lebih Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia (Luber) serta adil dan jujur dibanding masa Orde Baru. Hampir tidak ada indikator siginifikan yang menunjukkan bahwa rakyat menolak hasil pemilu yang berlangsung dengan aman. Realitas ini menunjukkan, bahwa yang tidak mau menerima kekalahan, hanyalah mereka yang tidak siap berdemokrasi, dan ini hanya diungkapkan oleh sebagian elite politik, bukan rakyat.Pemilu 2004, merupakan pemilu kedua dengan dua agenda, pertama memilih anggota legislatif dan kedua memilih presiden. Untuk agenda pertama terjadi kejutan, yakni naiknya kembali suara Golkar, turunan perolehan suara PDI-P, tidak beranjaknya perolehan yang signifikan partai Islam dan munculnya Partai Demokrat yang melewati PAN. Dalam pemilihan presiden yang diikuti lima kandidat (Susilo Bambang Yudhoyono, Megawati Soekarno Putri, Wiranto, Amin Rais dan Hamzah Haz), berlangsung dalam dua putaran, telah menempatkan pasangan SBY dan JK, dengan meraih 60,95 persen.