7g khusus_skp_bpjs kesehatan tinjauan atas penerima bantuan iuran jaminan kesehatan

26
 1 BPJS Kesehatan : Tinjauan Atas Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan BPJS Kesehatan: Tinjauan Atas Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan Andi Fahmi, Angesti Margi Rahayuningsih, Made Ricky Prasetya, dan Wishnu Kusumo Agung  Mahasiswa Diploma IV Aku ntansi Kurikulum Khusus Kelas 7G Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, Jakarta A. Program Jaminan Kesehatan Kesehatan merupakan harta paling berharga dari setiap individu dan juga negara dalam konteks yang lebih besar. Karena dengan rakyat yang sehat,  perekonomian yang maju akan terwujud. Roda-roda perekonomian akan berjalan lancar, pertahanan dan keamanan negara dapat dijaga, pendidikan dapat dijalankan dengan maksimal. Oleh karena pentingnya kesehatan rakyat terhadap kemajuan sebuah negara itulah yang akhirnya menjadikan kesehatan sebagai salah satu hal yang harus dijamin oleh negara disamping pendidikan, pertahanan dan keamanan, dan lain-lain. Hal ini sudah disadari oleh negara-negara di dunia. Pentingnya jaminan kesehatan yang universal bagi seluruh masyarakatnya menuntut negara-negara di dunia menyediakan akses pelayanan kesehatan yang adil dan bermutu bagi setiap warganya juga perlindungan finansial ketika warga menggunakan pelayanan kesehatan tersebut. Konsep Jaminan atau Asuransi Kesehatan Nasional ini pertama kali dicetuskan di Inggris pada tahun 1911 yang didasarkan pada mekanisme asuransi kesehatan sosial yang pertama kali diselenggarakan di Jerman tahun 1883. Konsep  jaminan tersebut selanjutnya diikuti oleh negara-negara lain di dunia. Beberapa negara yang telah mengimplementasikan jaminan kesehatan semesta bagi warganya atau lebih dikenal dengan Universal Health Care (UHC) ditunjukkan dalam tabel di  bawah ini. Tabel Beberapa Negara yang Telah Menjalankan UCHC No Negara Tahun dimulai Jenis Sistem No Negara Tahun dimulai Jenis Sistem 1. Norwegia 1912 Single Payer 8. Brunei 1958 Single Payer 2. Selandia Baru 1938 Two Tier 9. Denmark 1973 Two-Tier 3. Jepang 1938 Single Payer 10. Luxembourg 1973 Insurance Mandate 4. Jerman 1941 Insurance Mandate 11. Korea Selatan 1988 Insurance Mandate 5. Inggris 1948 Single Payer 12. Singapura 1993 Two-Tier

Upload: akatsiku

Post on 09-Oct-2015

59 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Tinjauan BPJS Kesehatan

TRANSCRIPT

1

BPJS Kesehatan: Tinjauan Atas Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan

Andi Fahmi, Angesti Margi Rahayuningsih, Made Ricky Prasetya, dan Wishnu Kusumo AgungMahasiswa Diploma IV Akuntansi Kurikulum Khusus Kelas 7G Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, Jakarta

A. Program Jaminan Kesehatan Kesehatan merupakan harta paling berharga dari setiap individu dan juga negara dalam konteks yang lebih besar. Karena dengan rakyat yang sehat, perekonomian yang maju akan terwujud. Roda-roda perekonomian akan berjalan lancar, pertahanan dan keamanan negara dapat dijaga, pendidikan dapat dijalankan dengan maksimal. Oleh karena pentingnya kesehatan rakyat terhadap kemajuan sebuah negara itulah yang akhirnya menjadikan kesehatan sebagai salah satu hal yang harus dijamin oleh negara disamping pendidikan, pertahanan dan keamanan, dan lain-lain. Hal ini sudah disadari oleh negara-negara di dunia. Pentingnya jaminan kesehatan yang universal bagi seluruh masyarakatnya menuntut negara-negara di dunia menyediakan akses pelayanan kesehatan yang adil dan bermutu bagi setiap warganya juga perlindungan finansial ketika warga menggunakan pelayanan kesehatan tersebut.Konsep Jaminan atau Asuransi Kesehatan Nasional ini pertama kali dicetuskan di Inggris pada tahun 1911 yang didasarkan pada mekanisme asuransi kesehatan sosial yang pertama kali diselenggarakan di Jerman tahun 1883. Konsep jaminan tersebut selanjutnya diikuti oleh negara-negara lain di dunia. Beberapa negara yang telah mengimplementasikan jaminan kesehatan semesta bagi warganya atau lebih dikenal dengan Universal Health Care (UHC) ditunjukkan dalam tabel di bawah ini.Tabel Beberapa Negara yang Telah Menjalankan UCHCNoNegaraTahun dimulaiJenis SistemNoNegaraTahun dimulaiJenis Sistem

1.Norwegia1912Single Payer8.Brunei1958Single Payer

2.Selandia Baru1938Two Tier9.Denmark1973Two-Tier

3.Jepang1938Single Payer10.Luxembourg1973Insurance Mandate

4.Jerman1941Insurance Mandate11.Korea Selatan1988Insurance Mandate

5.Inggris1948Single Payer12.Singapura1993Two-Tier

6.Kuwait1950Single Payer13.Amerika Serikat2014Insurance Mandate

7.Bahrain1957Single Payer

Sumber: Truecostblog.comSistem pembiayaan kesehatan untuk cakupan universal dapat dibagi menjadi tiga kategori: (1) single payer (single payer), (2) pembayar ganda (two-tier), dan (3) sistem mandat asuransi. Tabel di atas menunjukkan sistem pembiayaan dan tahun dimulainya implementasi sistem pembiyaan pelayanan kesehatan universal. Single Payer, pemerintah memberikan asuransi kepada semua warga dan membayar semua pengeluaran kesehatan, meskipun mungkin terdapat co-payment dan co-insurance. Sistem single payer merupakan suatu bentuk monopsoni, karena hanya terdapat sebuah pembeli (pemerintah) dan sejumlah penjual pelayanan kesehatan. Biaya kesehatan berasal dari anggaran pemerintah yang diperoleh dari pajak umum (general taxation) atau pajak khusus (misalnya, payroll tax).TwoTier, dalam sistem ganda (dual health care system), pemerintah menyediakan pelayanan kesehatan atau memberikan cakupan asuransi katastrofik atau cakupan minimal untuk semua warga. Kemudian warga melengkapinya dengan membeli pelayanan kesehatan tambahan di sektor swasta, baik melalui asuransi sukarela atau membayar langsung (direct payment).Sebagai contoh, sistem pelayanan kesehatan universal di Singapura menggunakan kombinasi tabungan wajib melalui potongan gaji (payroll tax) yang didanai perusahaan dan pekerja suatu skema asuransi kesehatan nasional, dan subsidi pemerintah. Selain itu banyak warga Singapura yang juga membeli asuransi kesehataan swasta tambahan (biasanya dibayar oleh perusahaan) untuk pelayanan kesehatan yang tidak diliput dalam program pemerintah. Sebagian besar pelayanan kesehatan disediakan oleh sektor swasta.Insurance Mandate, pemerintah memberikan mandat (mewajibkan) agar semua warga memiliki asuransi dari perusahaan asuransi swasta, pemerintah, atau nirlaba.Untuk mencapai tujuan cakupan universal, elemen pembiayaan kesehatan tidak dapat dipisahkan dengan implikasinya pada penyediaan pelayanan kesehatan. Kelebihan dan kekurangan pilihan sistem pengelolaan asuransi kesehatan nasional perlu dianalisis berdasarkan kriteria keadilan, efisiensi, dan daya tanggap (responsiveness), baik dalam aspek pembiayaan maupun penyediaan pelayanan kesehataan (Sreshthaputra dan Indaratna, 2001; WHO, 2005):1. Keadilan (Equity)Keadilan dalam pembiayaan pelayanan kesehatan dan akses terhadap pelayanan kesehatan dengan kualitas yang sama bagi setiap warga1. Efisiensi (Efficiency)Efisiensi penggunaan sumber daya, baik dalam administrasi dan manajemen dana asuransi maupun efisiensi penyediaan pelayanan kesehatan1. Daya tanggap (Responsiveness)Daya tanggap sistem pembiayaan dan penyediaan pelayanan kesehatan dalam memenuhi hak dan ekspektasi warga terhadap pelayanan kesehatan yang efektif, bermutu, dan dibutuhkan.Dr. Peerapol menyampaikan bahwa upaya-upaya yang dilakukan negara ASEAN dalam mencapai UHC sangat beragam, meliputi reformasi keuangan terkait paket manfaat, memperkuat layanan kesehatan dasar, promosi desentralisasi dan partisipasi masyarakat.Keberagaman ini merupakan aset berharga dimana setiap negara bisa belajar dari pengalaman negara lainnya.Dr. Peerapol menekankan beberapa hal mengenai UHC, yaitu1. UHC dapat dicapai pada tingkat penghasilan masyarakat yang rendah sekalipun karena inti dari UHC adalah akses ke pelayanan kesehatan, bukan hanya sekedar masalah perlindungan keuangan.2. UHC terbukti efektif mengurangi kemiskinan.3. Ketersediaan fiskal dan pembiayaan yang inovatif dimungkinkan apabila para pengambil kebijakan memiliki komitmen yang kuat untuk melakukan pembelian strategis yang didasarkan pada program-program yang cost-effective melalui Health Technology assessment.4. Penelitian kesehatan yang berbasis bukti harus dikembangkan guna menjamin pendanaan yang berkelanjutan serta untuk mengatasi tantangan yang muncul.Indonesia yang telah merdeka sejak tahun 1945 ternyata tertinggal dari negara-negara lain dalam hal perlindungan sosial terhadap rakyatnya. Padahal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 jelas mengamanatkan perlindungan terhadap rakyat Indonesia. Tersebut dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28 H, bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan bathin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Disebutkan juga pasa lPasal 33 bahwa Negara mengamanatkan penyelenggaraan jaminan sosial bagi seluruh rakyat. Dan pada Amandemen UUD Pasal 34 ayat (2) disebutkan bahwa negara mengembangkan Sistem Jaminan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena itu, sudah seharusnya negara menyediakan pelayanan kesehatan untuk memenuhi hak hidup sehat bagi warganya, termasuk masyarakat miskin dan tidak mampu.Seperti negara berkembang lainnya, banyak dari rakyat Indonesia yang masih berada dibawah garis kemiskinan. Bahkan 70% dari pengeluaran untuk kesehatan dibayarkan "out-of-pocket", yaitu seseorang harus membayar langsung kepada penyedia jasa kesehatan, tanpa bantuan pihak ketiga, baik asuransi maupun pemerintah(Ghufron Mukti, 2008). Pihak yang paling terpengaruh dalam masalah kesehatan ini adalah masyarakat miskin dan kurang mampu, yang malah mempunyai resiko terkena penyakit dan gangguan kesehatan lebih besar daripada orang lain. Namun karena kondisi perekonomian mereka yang kurang mampu, masyarakat miskin dan tidak mampu sulit untuk mendapatkan pelayanan jasa kesehatan, yang diperparah dengan penurunan pemasukan mereka karena tidak bisa bekerja selagi sakit.Golongan masayarakat yang paling rentan terpengaruh dalam masalah kesehatan ini adalah masyarakat miskin dan kurang mampu. Masyarakat miskin dan kurang mampu mempunyai resiko terkena penyakit dan gangguan kesehatan lebih besar daripada golongan lain. Masyarakat golongan tersebut sulit untuk mendapatkan pelayanan jasa kesehatan karena keadaan perekonomian mereka yang kurang mampu. Hal ini diperparah dengan penurunan pemasukan mereka karena tidak bisa bekerja selagi sakit.Walaupun dapat dikatakan tertinggal, Pemerintah sebenarnya telah menerapkan dan menjalankan beberapa program kesehatan sebelum tahun 2004, sebelum disahkannya UU SJSN. Program tersebut adalah sebagai berikut: Program Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPSBK) yang diselenggarakan pada tahun 1998-2002 dengan dana pinjaman dari Asian Development Bank (ADB). JPSBK ini dibuat untuk mengatasi dampak krisis ekonomi yang dimulai pada tahun 1997 terhadap kesehatan keluarga miskin. Program penanggulangan Dampak Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak Bidang Kesehatan (PDPSE Bidkes) yang berlaku tahun 2001 dan 2002. Program ini merupakan kelanjutan dari JPSBK. Pada tahun 2003, PDPSE Bidkes diubah menjadi Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak Bidang Kesehatan (PKPS BBM Bidkes). Pada Tahun 2004, terbitlah Undang-Undang Nomor 40 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang mengatur tentang Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). JKN sendiri merupakan bagian dari SJSN, yang diselenggarakan dengan mekanisme asuransi kesehatan wajib. Sehubungan dengan itu, pada tahun 2005 dimulai program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi Masyarakat Miskin/JPKMM atau yang lebih dikenal dengan nama Askeskin. Berbeda dengan program sebelumnya, program JPKMM ini lebih terfokus pada upaya penyembuhan. PT Askes (persero) ditunjuklah sebagai Badan Pelaksana JPKMM.Terkait kekhawatiran PT Askes selaku penyedia layanan Askes akan memanfaatkan dana iuran Askes untuk masyarakat miskin maupun dana jaminan masyarakat miskin akan digunakan oleh mereka yang tidak miskin, maka disepakati bahwa PT Askes akan mengelola dana JPKMM tersebut secara terpisah, dimana untuk administrasi pengelolaan dana JPKMM ini berprinsip nirlaba. Nirlaba artinya apabila terjadi kelebihan dana pada tahun tersebut akan menjadi sumber dana di tahun berikutnya. Sebaliknya, jika terjadi kekurangan dana, maka akan diperhitungkan pada tahun berikutnya. Untuk iuran bagi masyarakat miskin dan orang terlantar dibayarkan oleh pemerintah melalui DIPA Departemen Kesehatan dalam APBN.Program JPKMM/Askeskin ini hanya berumur 3 tahun (2005-2007) karena pada tahun 2008 digantikan oleh Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat). Setelah dievaluasi, maka pada tahun 2008 dilakukan beberapa perubahan. Perubahan yang signifikan adalah adanya pemisahan fungsi pengelola dan fungsi pembayaran, yang didukung dengan adanya penempatan tenaga verifikator di setiap Rumah Sakit.Setiap peserta Jamkesmas berhak mendapat pelayanan kesehatan dasar meliputi pelayanan kesehatan rawat jalan, rawat inap, dan pelayanan kesehatan rujukan rawat jalan tingkat lanjutan, rawat inap tingkat lanjutan, serta pelayanan gawat darurat.Penetapan peserta program Askeskin dan Jemkesmas menggunakan data dari Badan Pusat Statistik (BPS). Berdasarkan data BPS tahun 2004, jumlah masyarakat miskin di Indonesia adalah sebesar 36.146.700 jiwa. Angka tersebut dijadikan dasar oleh PT. Askes (Persero) dalam menetapkan jumlah peserta yang dijamin oleh JPKMM / Askeskin pada tahun 2005. Namun dalam pelaksanaan Program Askeskin tahun 2005 tersebut, jumlah peserta yang ditetapkan sebagai peserta Askeskin lebih kecil dari jumlah masyarakat miskin yang ditetapkan kabupaten/kota, sehingga pada tahun 2006 dipandang perlu untuk meningkatkan cakupan sasaran pelayanan kesehatan sehingga dapat mencakup masyarakat miskin dan masyarakat tidak mampu. Beberapa hal yang menyebabkan terjadinya perbedaan adalah perbedaan kriteria masyarakat miskin, mekanisme pendataan, verifikasi dan pemutakhiran data.Pada Tahun 2007, sesuai dengan data BPS, jumlah masyarakat miskin dan tidak mampu adalah sebesar 76,4 juta jiwa. Angka tersebut menjadi dasar penetapan jumlah sasaran peserta Jamkesmas pada tahun 2007 oleh Menteri Kesehatan. Dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2012, rata-rata anggaran yang dibutuhkan dalam program Jamkesmas adalah Rp.6.000 per orang perbulan (POPB). Jumlah peserta tetap sepanjang tahun 2007-2012. Pada tahun 2013 pemerintah memandang perlu untuk menaikkan jumlah peserta program Jamkesmas menjadi 86,4 juta jiwa berdasarkan hasil survey Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) 2011 yang dilaksanakan oleh BPS. Jumlah tersebut tidak sesuai dengan jumlah awal yang direncanakan yaitu sebesar 96,4 juta jiwa. Akan tetapi sesuai pertimbangan Wakil Menteri Kesehatan Ali Ghufron, anggaran yang ada hanya bisa untuk memberi Jamkesmas pada 86,4 juta penduduk. Pada tahun 2013 anggaran yang digelontorkan untuk program Jamkesmas ini meningkat menjadi sebesar 8,29 Triliun Rupiah.Tabel Jumlah Peserta dan Aggaran Jamkesmas 2005-2013 200520062007200820092010201120122013

Jumlah Peserta (dalam Juta Jiwa)36,14607676,476,476,476,476,486,4

Anggaran (dalam Triliun Rupiah)2,232,63,5264,64,65,16,37,48,29

Sumber: Buku Pedoman Pelaksanaan Jamkesmas

BPJS Kesehatan sebagaimana akan dijelaskan dalam paparan berikutnya sejatinya melanjutkan program sebelumnya (Askeskin dan Jamkesmas). BPJS Kesehatan mempunyai cakupan yang lebih luas (seluruh penduduk Indonesia) dan memperbaiki beberapa kelemahan program sebelumnya. BPJS Kesehatan mempunyai semangat bahwa pasien yang dijamin oleh BPJS Kesehatan, fasilitas kesehatan akan melayani dengan segera, tidak lagi menunda pengobatan atau menunggu uang muka dibayar. Paparan berikut akan menjelaskan mengenai BPJS Kesehatan, Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan (PBI Jaminan Kesehatan) dan potensi permasalahan yang mungkin muncul dalam pelaksanaan program tersebut.

B. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan)Pada tahun 2011, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) diundangkan. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tersebut merupakan kelanjutan dari Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang merupakan amanat dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk menjamin seluruh rakyat Indonesia. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) sebagaimana diatur dalam UU BPJS adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial. BPJS terdiri dari BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. BPJS Kesehatan adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan kesehatan (Jaminan Kesehatan Nasional) sedangkan BPJS Ketenagakerjaan menyelenggarakan program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian. BPJS Kesehatan merupakan transformasi dari PT Askes (Persero). Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah.JKN diselenggarakan dengan prinsip sebagai berikut:1. prinsip kegotongroyongan, 2. prinsip nirlaba, 3. prinsip keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, efisiensi, dan efektifitas4. prinsip portabilitas 5. prinsip kepesertaan bersifat wajib, 6. prinsip dana amanat dan 7. prinsip hasil pengelolaan dana jaminan sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta. JKN dirancang sedemikian rupa untuk menjamin bahwa setiap peserta (seluruh penduduk) mendapat layanan kesehatan sesuai kebutuhan medisnya. Kebutuhan medis adalah kebutuhan seseorang untuk mendapatkan pemeriksaan, obat, atau, perawatan yang hanya dapat dikenali oleh tanaga medis.BPJS Kesehatan menyelenggarakan program jaminan kesehatan bagi seluruh penduduk Indonesia termasuk orang asing yang bekerja di Indonesia paling singkat 6 (enam) bulan. Peserta Program JKN terdiri atas:1. peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan yang meliputi orang yang tergolong fakir miskin dan orang tidak mampu dan 2. peserta bukan PBI yaitu peserta yang tidak tergolong fakir miskin dan orang tidak mampu. Peserta program diwajibkan membayar iuran, namun khusus untuk iuran bagi masyarakat miskin dan tidak mampu (peserta PBI), pemerintah yang membayarkannya dengan sumber dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).Dengan adanya BPJS Kesehatan, Indonesia menganut sistem Single Payer, yaitu Pemerintah memberikan asuransi kepada semua warga dan membayar semua pengeluaran kesehatan.

C. PBI Jaminan Kesehatan Penerima Bantuan Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan adalah Fakir Miskin dan Orang Tidak Mampu. Fakir miskin adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan/atau mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi kehidupan dirinya dan/atau keluarganya. Orang Tidak Mampu adalah orang yang mempunyai sumber mata pencaharian, gaji atau upah, yang hanya mampu memenuhi kebutuhan dasar yang layak namun tidak mampu membayar Iuran bagi dirinya dan keluarganya.1. Peserta PBI Jaminan Kesehatan Tahun 2014Peserta program JKN tahap awal tahun 2014 mencakup 121 juta peserta yang terdiri dari 16 juta peserta Askes, 1,2 juta peserta dari unsur TNI dan Polri, 7 juta peserta Jamsostek, 86,4 juta peserta Jamkesmas, dan 11 juta peserta Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda). Dari jumlah tersebut, sebanyak 86,4 juta peserta dari Jamkesmas menjadi peserta program JKN dengan status Peserta PBI Jaminan Kesehatan yang iurannya dibayar oleh pemerintah dengan sumber dana dari APBN.Mekanisme penetapan peserta PBI Jaminan Kesehatan diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 101 tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan.Kriteria peserta PBI Jaminan Kesehatan ditetapkan oleh Menteri Sosial setelah berkoordinasi dengan BPS. Hasil pendataan Fakir Miskin dan Orang Tidak Mampu yang dilakukan oleh BPS ditetapkan sebagai Data Terpadu oleh Menteri Sosial setelah berkoordinasi dengan Menteri Keuangan dan lembaga terkait. Data terpadu tersebut merupakan dasar bagi penentuan jumlah nasional PBI Jaminan Kesehatan yang kemudian dirinci menurut provinsi dan kabupaten/kota. Untuk mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Jadi, penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Garis Kemiskinan (GK) merupakan penjumlahan dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non-Makanan (GKM). Penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan dikategorikan sebagai penduduk miskin.BPS menetapkan 14 (empat belas) kriteria keluarga miskin yang digunakan menjadi acuan bagi penanggulangan masalah kemiskinan seperti program Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan penentuan status Penerima Bantuan Iuran (PBI) dalam program JKN.Empat belas kriteria rumah tangga miskin adalah sebagai berikut:a. Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang.b. Jenis lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan.c. Jenis dinding tempat tinggal terbuat dari bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok tanpa diplester.d. Tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama dengan rumah tangga lain.e. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik.f. Sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan.g. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah.h. Hanya mengkonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu.i. Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun.j. Hanya sanggup makan sebanyak satu/dua kali dalam sehari.k. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/poliklinik.l. Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah: petani dengan luas lahan 0,5 ha, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan di bawah Rp600.000 per bulan.m. Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga: tidak sekolah/tidak tamat SD/hanya SD.n. Tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai Rp500.000 seperti: sepeda motor (kredit/non-kredit), emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya.Seseorang atau seuatu keluarga dapat dikategorikan peserta PBI Jaminan Kesehatan apabila memenuhi 9 (sembilan) dari 14 (empat belas) kriteria tersebut.Penetapan peserta PBI Jaminan Kesehatan sebanyak 86,4 juta peserta lebih kecil dari hasil survey PPLS 2011 yang dilaksanakan oleh BPS sebanyak 96,4 juta jiwa. Hasil survey PPLS 2011 menyebutkan bahwa yang termasuk kategori miskin sebanyak 96,4 juta jiwa yang terdiri atas 86,4 juta warga miskin dan 10 juta jiwa warga rentan miskin akibat jatuh sakit. Jadi, penetapan peserta PBI Jaminan Kesehatan hanya diperuntukkan kepada warga miskin, tidak termasuk warga rentan miskin akibat jatuh sakit.Bahkan Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS) menyatakan bahwa peserta PBI Jaminan Kesehatan tidak hanya 86,4 juta jiwa, melainkan 156 juta jiwa. Jumlah tersebut terdiri dari 96,7 juta orang miskin dan tidak mampu berdasarkan data Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) dan DJSN ditambah 45,5 juta orang peserta Jamkesda (data Kementerian Kesehatan) dan ditambah buruh yang berpenghasilan upah minimum yang juga harus dikategorikan sebagai PBI Jaminan Kesehatan.

2. Besaran Iuran PBI Jaminan Kesehatan Per Orang Per Bulan Tahun 2014Penentuan jumlah anggaran BPJS PBI Jaminan Kesehatan tahun 2014 berjalan cukup panjang. Beberapa pihak telah melakukan kajian dan usulan untuk menentukan nilai iuran peserta PBI yang layak, antara lain PT. Askes, Jamsostek, Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Kementerian Keuangan, dan Ikatan Dokter Indonesia. Tabel Usulan Besarnya Iuran PBI per Orang per Bulan dari Beberapa InstansiNo.Nama InstansiUsulan Besaran PBI per Orang per Bulan (Rupiah)

1.Kementerian Kesehatan22.201

2.PT. Askes28.456

3.Jamsostek24.951

4.DJSN27.000

5.Kementerian Keuangan15.483

6.IDI60.000

dari berbagai sumberRapat Koordinasi Nasional BPJS pada tanggal 21 Maret 2013 memutuskan angka premi peserta PBI Jaminan Kesehatan sebesar Rp15.500 yang kemudian akan dibahas lebih lanjut bersama DPR.Penetapan besaran tersebut menimbulkan beberapa tanggapan dari berbagai pihak, diantaranya:a. Direktur Utama PT Askes Fahmi Idris yang menyatakan bahwa iuran PBI tersebut berdampak pada manajemen anggaran PT Askes yang bertransformasi menjadi BPJS Kesehatan karena dana operasional BPJS Kesehatan akan semakin kecil.b. Mantan Direktur Utama PT Jamsostek Hotbonar Sinaga mengatakan hitungan premi PBI sebesar Rp15.500 tidak jelas asal muasal perhitungannya dan mengusulkan besaran premi PBI dinaikkan menjadi Rp27.000. c. Ketua Umum Pengurus Besar IDI, Zaenal Abidin Besaran mengatakan premi dinilai masih terlalu kecil, sehingga bila dipaksakan dapat berakibat tidak memadainya pelayanan kesehatan, dan tidak mampu mendorong persebaran tenaga kesehatan dalam rangka mewujudkan keadilan sosial kesehatan. Selain itu, terkesan pemerintah hanya memberi alokasi dana seadanya.Setelah mengalami proses yang cukup panjang, pemerintah memutuskan besaran iuran PBI Jaminan Kesehatan tahun 2014 sebesar Rp19.225, naik dari perencanaan sebelumnya yaitu sebesar Rp15.500.

3. Anggaran PBI Jamininan Kesehatan Tahun 2014Pelaksanaan program Jaminan Kesehatan untuk PBI Jaminan Kesehatan bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Alokasi dana APBN 2014 untuk membayar iuran premi bagi 86.4 juta peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) program JKN mencapai Rp19,932 triliun, naik lebih dari dua kali lipat alokasi tahun 2013 sebesar Rp8,29 triliun, serta hampir 2/3 jumlah anggaran BPJS 2014 tahap awal yang diprediksi sekitar Rp30 triliun.Prinsip transparansi, kehati-hatian dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan JKN Kesehatan khususnya harus diterapkan dengan seksama, termasuk iuran peserta PBI dari alokasi APBN tahun 2014 sebesar Rp19,932 triliun. Pemanfaatan harus dimonitoring dan dievaluasi secara terpisah untuk dipertanggungjawabkan sebagai pertimbangan dalam menetapan nilai iuran peserta PBI periode berikutnya.Bila terjadi kelebihan anggaran dari alokasi APBN untuk peserta PBI tidak selayaknya dimanfaatkan untuk memberi subsidi peserta BPJS lainnya, peserta Non-PBI. Atau sebaliknya bila alokasi APBN untuk iuran peserta PBI tidak mencukupi, tidak diambil dari iuran peserta Non-PBI, tetapi mengajukan usulan tambahan alokasi APBN-P. Tata cara penyediaan, pencairan, dan pertanggungjawaban dana Iuran Jaminan Kesehatan Penerima Bantuan Iuran diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 206/PMK.02/2013 tentang Tata Cara Penyediaan, Pencairan, dan Pertanggungjawaban Dana Iuran Jaminan Kesehatan Penerima Bantuan Iuran. BPJS Kesehatan bertanggung jawab sepenuhnya atas penggunaan dana Iuran PBI yang diterimanya. Penggunaan dana tersebut diaudit oleh auditor independen. Hasil audit kemudian disampaikan kepada KPA dan Menteri Keuangan.

D. Dampak Penetapan Anggaran PBI Jaminan Kesehatan terhadap Keuangan Negara dan Pelayanan KesehatanSebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, besaran iuran dana PBI antara usulan tim DJSN, Jamsostek, Askes, dan IDI berbeda dengan besaran iuran PBI Jaminan Kesehatan yang akhirnya ditetapkan oleh pemerintah. Pemerintah telah menganggarkan dana sebesar Rp19,932 triliun dalam pelaksanaan program SJSN. Dana tersebut digunakan untuk membayar premi sebesar Rp19.225 per orang penerima bantuan iuran selama 12 bulan. Walaupun anggaran untuk kesehatan yang telah ditetapkan pemerintah untuk tahun anggaran 2008-2013 terus mengalami peningkatan rata-rata 4,5% per tahun. Namun, peningkatan tersebut cenderung setara dengan tingkat inflasi dalam kurun waktu tersebut kecuali untuk semester akhir tahun 2013 dan tahun 2008 dengan tingkat inflasi masing-masing berada pada kisaran 8% dan 11%.Pada bagian terdahulu telah dijelaskan mengenai perbedaan usulan skema tarif baik dari tim DJSN, Jamsostek, Askes, dan IDI. Pertanyaan selanjutnya lantas berapakah tarif yang wajar atau pantas ditetapkan untuk penentuan besaran iuran PBI Jaminan Kesehatan oleh BPJS ini? Jawaban atas pertanyaan tersebut akan berbeda-beda karena banyaknya standar tarif yang ada saat ini selain isu mengenai Equity dan Quality, mana yang harus didahulukan. Prinsip Equity mensyaratkan jaminan kesehatan bersifat universal dengan mencakup seluruh penduduk, sedangkan prinsip Quality menyatakan bahwa jumlah dana yang ditetapkan harus cukup untuk menyediakan pelayanan kesehatan yang memadai. Pada beberapa waktu yang lalu muncul wacana untuk menyesuaikan besaran iuran PBI dengan tarif berdasarkan INA-CBG seluruhnya. Apa yang berjalan saat ini, pembayaran JKN secara garis besar dibagi menjadi dua. Untuk fasilitas kesehatan primer (meliputi pengobatan oleh Puskesmas, dokter praktek, bidan praktek, klinik pratama, RS pratama) akan menggunakan Kapitasi. Sedangkan untuk pengobatan tertentu yang tercakup dalam fasilitas kesehatan lanjutan perhitungan standard biayanya mengikuti standar biaya berdasarkan INA-CBG.Kapitasi adalah metode pembayaran untuk jasa pelayanan kesehatan dimana Pemberi Pelayanan Kesehatan (dokter atau rumah sakit) menerima sejumlah tetap penghasilan per peserta, per periode waktu (bulanan), untuk pelayanan yang telah ditentukan per periode waktu. Kapitasi didasari dari jumlah tertanggung (orang yang diberi jaminan atau anggota) baik dalam keadaan sakit atau dalam keadaan sehat yang besarnya dibayarkan di muka tanpa memperhitungkan jumlah konsultasi atau pemakaian pelayanan di PPK tersebut. Contoh penerapan sistem kapitasi :RS Husada dikontrak oleh PT Indojaya untuk meng-cover pelayanan rawat jalan sebagai berikut:1. Pemeriksaan dokter umum2. Pemeriksaan dokter spesialis3. Obat4. Laboratorium5. RontgenData tahun lalu menunjukkan angka utilisasi per 1000 orang sebagai berikut:1. Pemeriksaan dokter umum: 24% per bulan2. Pemeriksaan dokter spesialis: 10% per bulan3. Obat: 34% per bulan4. Laboratorium: 5% per bulan5. Rontgen: 7% per bulanHarga masing-masing pelayanan (rata-rata) sebagai berikut:1. Pemeriksaan dokter umum: Rp15.0002. Pemeriksaan dokter spesialis: Rp30.0003. Obat: Rp75.0004. Laboratorium: Rp125.0005. Rontgen: Rp45.000

Bila PT Indojaya ingin menjamin 1500 orang karyawannya dengan kontrak kapitasi rawat jalan kepada RS maka berapa besar kapitasi per orang per bulan?Jawabannya :a. Kapitasi Pemeriksaan dokter umum: 24% x 1000 x 15.000 : 1500 = 2.400b. Kapitasi pemeriksaan dokter spesialis: 10% x 1000 x 30.000 : 1500 = 2.000c. Kapitasi obat: 34% x 1000 x 75.000 : 1500 = 17.000d. Kapitasi laboratorium: 5% x 1000 x 125.000 : 1500 = 4.000e. Kapitasi rontgen: 7% x 1000 x 45.000 : 1500 = 2.100f. Total kapitasi: 2.400 + 2.000 + 17.000 + 4.000 + 2.100 =27.500

Namun penggunaan sistem kapitasi memungkinkan timbulnya underutilization atau pengurangan fasilitas dan kualitas pelayanan agar penyedia layanan bisa mendapat keuntungan sebesar-besarnya.Berbeda dengan sistem kapitasi, pada INA-CBG menggunakan casemix sebagai acuan untuk menetapkan standar biaya pelayanan kesehatan. Casemix adalah pengelompokan diagnosis penyakit yang dikaitkan dengan biaya perawatan dimana satu kelompok biaya mencakup penyakit yang memiliki ciri klinis yang sama dan menggunakan sumber daya/biaya perawatan yang cenderung sama. Sistem ini dikembangkan untuk sistem pembayaran paket prospektif rumah sakit yang memberikan pelayanan JKN dan berbasis pada real cost dari rumah sakit terpilih. Struktur tarif diupayakan stabil, sederhana, berbasis pada jenis pelayanan, dan dapat terus di-update yang mengacu pada perbaikan biaya rumah sakit. Alangkah baiknya jika penetapan porsi dana subsidi bagi PBI mengacu seluruhnya pada standard biaya INA CBG, karena standar biaya inilah yang mampu menggambarkan biaya penyelenggaraan pelayanan kesehatan secara tepat. Subsidi dana bagi iuran PBI sebesar Rp19,932 triliun memiliki porsi hanya sebesar 1,09% dari total alokasi belanja negara untuk tahun 2014 sebesar Rp1.816,7 triliun. Jika besaran subsidi bagi PBI ini kita naikkan sebesar 15% saja, maka dana yang tersedia bagi setiap PBI adalah kurang lebih Rp22.000 per orangnya dengan total beban anggaran menjadi Rp22,921 triliun. Tentunya anggaran yang telah ditetapkan oleh pemerintah telah melalui kajian yang matang, namun tidak menutup kemungkinan besaran dana PBI yang tercantum dalam RAPBN 2014 akan berubah dalam RAPBN-P 2014 yang akan ditetapkan oleh pemerintah. Masukan, kajian, dan perhitungan yang matang yang bersumber dari berbagai pihak akan menjadi pertimbangan pemerintah untuk menaikkan besaran iuran PBI atau tetap pada jumlah yang sama sebelumnya sebesar Rp19.225 per orangnya. Permasalahan baru yang mungkin muncul adalah, jika penyesuaian (peningkatan) tidak ditetapkan oleh pemerintah pada besaran iuran PBI adalah munculnya penolakan-penolakan dari berbagai kalangan profesi terkait. Baik dokter, penyedia obat (farmasi), atau pihak rumah sakit itu sendiri. Kalangan dokter sendiri telah lebih dulu menuntut pemerintah untuk merevisi besaran iuran PBI menjadi Rp60.000. Besaran ini diperoleh dari perhitungan sederhana dengan asumsi Upah Minimum Regional sebesar Rp1.200.000 x 5% = Rp60.000 per orang untuk maksimum 5 orang penerima manfaat (peserta + 4 anggota keluarga). Sedangkan dari penyedia alat kesehatan dan obat akan menuntut penyempurnaan harga obat (group purchasing) dan standard pelayanan farmasi lainnya. Pada akhirnya, jawaban dari pertanyaan-pertanyaan seputar besaran iuran PBI yang layak ini bukan sesuatu yang bisa langsung diperoleh melalui perhitungan sederhana sebagaimana di atas. Masih diperlukan penelaahan dan masukan dari berbagai pihak. Salah satu pihak yang telah melakukan penelitian kecukupan iuran PBI adalah Peneliti Pusat Kebijakan Pembiayaan dan Manajemen Asuransi Kesehatan (PUSAT KPMAK) FK UGM, maka iuran PBI tersebut cukup untuk men-cover pasien miskin di Indonesia. Dalam laporannya, Tim PUSAT KPMAK FK UGM menggunakan tiga skenario, yaitu 1. prediksi biaya berdasarkan biaya riil, 2. prediksi biaya dengan mempertimbangkan kenaikan rerata tarif INA-CBG sebesar 35% tahun 2012, dan3. prediksi biaya dengan mempertimbangkan kenaikan rerata tarif INA-CBG sebesar 35% tahun 2012 dan kapitasi pelayanan primer sebesar Rp7500 POPB.Kesimpulan dari penelitian tersebut menyatakan bahwa iuran PBI yang ditetapkan oleh pemerintah sebesar Rp19.225 per orang cukup untuk memberikan layanan kesehatan di era SJSN dengan kualitas yang lebih baik dibandingkan JamkesmasUsulan, masukan dan penelitian dari berbagai pihak terkait dengan besaran iuran PBI akan sangat bermanfaat dalam penentuan iuran PBI yang lebih baik. Selain itu. masing-masing pihak juga tidak boleh mengabaikan asumsi-asumsi ekonomi makro yang tertuang dalam RAPBN 2014. Karena penetapan asumsi dasar tersebut dapat memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap struktur APBN. Sampai saat ini, belum ada perubahan yang nampak dalam penetapan besaran iuran PBI. Nantinya, kapitasi dan INA CBG akan menjadi pola pembayaran bagi JKN bagi seluruh penduduk.

E. Potensi Masalah yang Mungkin Timbul dalam Pelaksanaan JKN BPJS Kesehatan, Khususnya PBI Jaminan Kesehatan1. Informasi mengenai BPJS Kesehatan khususnya PBI Jaminan Kesehatan belum tersampaikan secara optimal, atau kalaupun sudah tersampaikan, masih terdapat perbedaan pemahaman.Pemahaman yang seragam dan komprehensif dari masyarakat, penyedia layanan kesehatan, dokter, dan stakeholder lain di lapangan akan sangat mendukung terlaksananya program JKN dengan baik2. Terdapat kemungkinan perbedaan perlakuan antara peserta PBI dan peserta non-PBI.Sebagai contoh, peserta PBI dan peserta non-PBI, walaupun mendapat ruang perawatan yang sama yaitu kelas III tapi besaran iuran dan jumlah anggota keluarga yang dicakup berbeda. Iuran PBI ditanggung oleh Pemerintah, sedangkan peserta non-PBI harus membayar untuk dirinya sendiri Rp25.500 setiap bulan dan jika peserta ingin mendaftarkan anggota keluarga (istri/suami dan anak), besaran iuran itu harus dibayar berdasarkan jumlah anggota keluarga yang didaftarkan.Perbedaan tersebut tentu dapat menyebabkan perbedaan perlakuan peserta PBI dan peserta non-PBI, sehingga terdapat kasus peserta PBI Jaminan Kesehatan ditolak di salah satu rumah sakit.3. Tidak semua peserta Jamkesmas terdaftar menjadi peserta PBI Jaminan Kesehatan dan kemungkinan adanya peserta ganda.Sesuai dengan semangat PBI Jaminan Kesehatan, semua peserta Jamkesmas otomatis menjadi peserta PBI Jaminan Kesehatan. Akan tetapi, pada kenyataannya, terdapat beberapa kasus peserta Jamkesmas ditolak oleh rumah sakit karena tidak termasuk dalam database PBI Jaminan Kesehatan.Hal ini dapat terjadi karena kesalahan dalam penempatan keluarga PBI Jaminan Kesehatan oleh Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Sosial. Kesalahan dapat terjadi dalam memasukkan sebuah keluarga (inclusion error) atau tidak memasukkan sebuah keluarga (exclusion error) dalam daftar PBI (Thabrany, 2012). Selain itu, terdapat kemungkinan peserta terdaftar dua kali atau peserta ganda mengingat bahwa tidak semua BPJS Kesehatan di daerah mengunakan sistem komputerisasi online. Bahkan, pada beberapa daerah, terdapat BPJS dan fasilitas kesehatan yang masih memproses data secara manual. 4. Tata cara perubahan status peserta dari peserta PBI menjadi non-PBI maupun sebaliknya masih belum diatur dengan jelas.Belum adanya peraturan yang mengatur dengan jelas perubahan status tersebut berpotensi menimbulkan permasalahan pada pelaksanaan di lapangan. Menurut artikel dari situs JamsosIndonesia.com, ada tiga hal yang memerlukan pengaturan yang rinci dan operasional, yaitu a. Siapa atau instansi mana yang berwenang menentukan perubahan status kepesertaan seseorang? b. Bagaimana tata cara penilaiannya dan penghapusan namanya dari daftar kepesertaan sebelumnya?c. Siapa yang melakukan pendaftaran dan membayar iuran pertama, apakah Peserta yang bersangkutan atau Pemberi Kerja/dan atau Pekerja yang bersangkutan dalam hal yang bersangkutan Pekerja Penerima Upah?Pengaturan perubahan tersebut berkaitan dengan instansi yang bertanggung jawab menentukan status kepesertaan, keterlibatan pemerintah daerah, proses perubahan status, sosialisasi kepada fasilitas kesehatan dan masyarakat, dan beberapa permasalahan lain. PP Nomor 101 Tahun 2012 hanya mengamanatkan verifikasi dan validasi terhadap perubahan data PBI Jaminan Kesehatan dilakukan setiap enam bulan.5. Mekanisme integrasi dari Jamkesda ke PBI Jaminan Kesehatan belum diatur secara tegas dan jelas. Sebanyak 107 kabupaten/kota telah menandatangani kesepakatan untuk siap mengintegrasikan Jamkesda ke BPJS Kesehatan. Namun, tercatat baru 32 yang merealisasikannya dengan jumlah peserta yang dimigrasi sebanyak 3,5 juta lebih. Iuran PBI yang dibayar oleh pemerintah sebesar Rp19.225, sedangkan iuran Jamkesda yang dijamin oleh Pemda kurang dari itu, bahkan terdapat Pemda yang hanya menyediakan pagu iuran per orang per bulan kurang dari sepuluh ribu rupiah. Mekanisme yang ada saat ini, penerima Jamkesda yang diintegrasikan ke PBI, selisih kekurangan iuran PBI Jaminan Kesehatan dengan Jamkesda dibayar oleh pemda dengan dana dari APBD. Hal ini tentu saja memberatkan APBD Pemerintah Daerah.6. Kemampuan Keuangan Negara, dalam hal ini APBN, untuk mendanai PBI jaminan kesehatan, sehingga menjadi program yang berkelanjutan.Sesuai dengan Pasal 11 ayat (4) PP Nomor 101 Tahun 2012, verifikasi dan validasi terhadap perubahan data PBI Jaminan Kesehatan dilakukan setiap enam bulan. Begitu juga dengan besaran PBI per orang per bulan juga direviu setiap enam bulan. Semakin banyak jumlah peserta PBI dan semakin besar iuran PBI per orang per bulan serta besarnya biaya pelayanan kesehatan dan obat yang meningkat setiap tahun, akan membebani Keuangan Negara. Persoalan berikutnya adalah apabila terjadi perpindahan jenis kepesertaan yang cukup besar dari peserta non-PBI menjadi PBI yang tentu akan berdampak pada besarnya anggaran PBI yang harus disiapkan pemerintah dalam APBN, ditambah adanya faktor inflasi tiap tahun. Roadmap JKN 2012-2019 juga mensyaratkan integrasi Jamkesda ke BPJS Kesehatan yang pasti akan menambah jumlah peserta PBI cukup signifikan. Masih menurut Roadmap JKN tersebut, pada akhir tahun 2019 iuran PBI akan ditetapkan hampir sama dengan iuran non-PBI, sehingga perlu disiapkan pendanaan yang cukup dan berkelanjutan. Perlu diketahui bahwa untuk tahun 2014 saja terdapat selisih Rp6.275 antara iuran PBI dengan iuran non-PBI kelas terendah. Selisih tersebut sangat mungkin akan semakin besar pada tahun-tahun berikutnya.7. Jumlah fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan belum memadai dan tidak tersebar merata di seluruh Indonesia, serta terdapat perbedaan kondisi geografis Indonesia. Di wilayah Indonesia Timur, terjadi kekurangan penyediaan pelayanan kesehatan sebagai akibat dari penyediaan fasilitas kesehatan yang terbatas dan sulitnya akses. Pelayanan kesehatan yang diberikan mungkin gratis, tetapi biaya transportasi menuju tempat fasilitas kesehatan juga perlu diperhitungkan. Penyediaan pelayanan kesehatan tergantung pada infrastruktur yang ada. Tanpa ada perbaikan infrastruktur dikawatirkan pemerataan pelayanan kesehatan menjadi sulit.8. Belum diatur dengan jelas mekanisme pemberian kompensasi dalam hal tidak terdapat fasilitas kesehatan yang memenuhi syarat. Pasal 34 Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2003 tentang Jaminan Kesehatan menyebutkan bahwa, dalam hal di suatu daerah belum tersedia Fasilitas Kesehatan yang memenuhi syarat guna memenuhi kebutuhan medis sejumlah peserta, BPJS Kesehatan wajib memberikan kompensasi. Kompensasi dapat berupa:a. penggantian uang tunai (digunakan untuk biaya pelayanan kesehatan dan transportasi);b. pengiriman tenaga kesehatan; atauc. penyediaan Fasilitas Kesehatan tertentu.Tata cara pemberian kompensasi tersebut belum diatur.

F. KesimpulanJaminan kesehatan yang universal bagi seluruh rakyatnya sudah seharusnya disediakan oleh negara. Penyediaan jaminan kesehatan yang universal oleh negara mengurangi biaya out-of-pocket yang harus dikeluarkan oleh seseorang ketika sakit. UUD 1945 jelas mengamanatkan perlindungan terhadap rakyat Indonesia. Dalam rangka memberikan perlindaungan sosial tersebut, Indonesia telah merintis penyediaan jaminan kesehatan dengan berbagai program hingga yang terakhir sebelum tahun 2014 adalah Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas).BPJS Kesehatan merupakan lembaga yang menyelenggarakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sebagaimana diamanatkan oleh UU 24 Tahun 2011 tentang BPJS yang merupakan tindak lanjut dari UU SJSN. Kepesertaan JKN bersifat wajib bagi seluruh penduduk Indonesia termasuk orang asing yang bekerja di Indonesia paling singkat 6 (enam) bulan. Peserta Program JKN terdiri atas peserta PBI Jaminan Kesehatan dan peserta bukan PBI. Pemerintah membayar iuran untuk peserta PBI Jaminan Kesehatan dengan dana dari APBN.Penetapan peserta PBI Jaminan Kesehatan tahun 2014 sebanyak 86,4 juta peserta lebih kecil dari hasil survey PPLS 2011 yang dilaksanakan oleh BPS sebanyak 96,4 juta jiwa yang terdiri atas 86,4 juta warga miskin dan 10 juta jiwa warga rentan miskin akibat jatuh sakit. Jadi, penetapan peserta PBI Jaminan Kesehatan hanya diperuntukkan kepada warga miskin, tidak termasuk warga rentan miskin akibat jatuh sakit.Pemerintah memutuskan besaran iuran PBI Jaminan Kesehatan tahun 2014 sebesar Rp19.225 yang berbeda dengan usulan dari beberapa pihak terkait. Alokasi dana APBN 2014 untuk membayar iuran premi bagi 86.4 juta peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) program JKN mencapai Rp19,932 triliun. Bila terjadi kelebihan anggaran dari alokasi APBN untuk peserta PBI tidak dimanfaatkan untuk memberi subsidi peserta BPJS lainnya, peserta Non-PBI. Atau sebaliknya bila alokasi APBN untuk iuran peserta PBI tidak mencukupi, tidak diambil dari iuran peserta Non-PBI, tetapi mengajukan usulan tambahan alokasi APBN-P.Beberapa lembaga terkait meragukan bahwa besaran iuran PBI dan dana disediakan akan cukup meng-cover biaya penyediaan layanan kesehatan. Akan tetapi, penelitian dari Tim PUSAT KPMAK FK UGM menyatakan bahwa iuran PBI Rp19.225 cukup. Penetapan dana iuran PBI akan lebih baik jika mengacu seluruhnya pada standar biaya INA CBG, karena standar biaya inilah yang mampu menggambarkan biaya penyelenggaraan pelayanan kesehatan secara tepat, tentunya dengan mempertimbangkan kemampuan APBN. Terdapat beberapa potensi masalah yang mungkin timbul dalam penyelenggaraan JKN PBI Jaminan Kesehatan selama tahun 2014. Mulai dari penetapan peserta PBI Jaminan Kesehatan, kriteria peserta, perubahan peserta, validitas data, besaran iuran PBI per orang per bulan apakah cukup secara keekonomian atau tidak, jumlah anggaran dalam APBN, sistem pembiayaan dan pembayaran kepada fasilitas kesehatan, pengelolaan dana PBI, dan beberapa hal lainnya.Terlepas dari penyelenggaraan BPJS Kesehatan pada tahun 2014 yang merupakan tahun pertama, BPJS Kesehatan harus terbuka dan transparan, khususnya dalam pengelolaan dana PBI jaminan kesehatan. Selain itu BPJS Kesehatan juga bertanggung jawab dengan kendali biaya dan mutu layanan berdasarkan prinsip pelaksanaan yang telah ditetapkan untuk mewujudkan program Jaminan Kesehatan Nasional yang berkelanjutan bagi seluruh penduduk Indonesia. G. Saran 1. BPJS Kesehatan berkerjasama dengan pemerintah harus melakukan sosialisasi yang lebih intensif tentang BPJS Kesehatan, khususnya PBI Jaminan Kesehatan. Sosialisasi diberikan kepada semua pihak yang terlibat, baik itu peserta, pemerintah pusat, pemerintah daerah, fasilitas kesehatan, dokter, asosiasi, dan stakeholder lainnya dan dilakukan secara intensif dan berkelanjutan ke masyarakat tentang cara pengunaan PBI Jaminan Kesehatan. Masyarakat juga perlu diberi pemahaman bahwa dengan PBI Jaminan Kesehatan sudah memadai untuk pelayan kesehatan. Selain itu, penyedia layanan kesehatan dan doker juga perlu diberikan pemahaman. Sebagai contoh, penyedia layanan kesehatan tidak boleh membeda-bedakan perlakuan layanan medis terhadap peserta PBI Jaminan Kesehatan dan Non-PBI Jaminan Kesehatan. Perbedaan perlakuan dapat diberikan dalam hal layanan non-medis seperti ruangan berpendingin ruangan dan jumlah pasien per ruangan yang lebih sedikit untuk peserta non-PBI sesuai kelasnya.2. Validasi atas peserta PBI dilakukan dengan baik dengan kerjasama antara pemerintah pusat dan daerah serta lembaga-lembaga terkait untuk menghindari ketidaksesuaian data di lapangan seperti inclusion error, exclusion error, maupun peserta ganda. BPJS Kesehatan dapat bekerja sama dengan pemerintah daerah dan pihak terkait untuk menghasilkan data peserta PBI yang valid. Kerja sama juga dapat dilakukan dengan memberdayakan petugas verifikator Jamkesmas yang dulu pernah dibentuk.3. Perlu diatur dengan jelas beberapa hal sebagai berikut:a. Tata cara perubahan status peserta dari peserta PBI menjadi non-PBI maupun sebaliknya. Penentuan peserta PBI yang tepat dan valid akan meningkatkan pelayanan dan memberikan pelayanan kesehatan kepada yang berhak serta adil. Penetapan jumlah peserta yang tepat dan sesuai kenyataan juga berdampak pada jumlah anggaran yang harus disediakan dalam APBN.b. Peraturan mengenai integrasi program Jamkesda ke dalam PBI Jaminan Kesehatan. Apakah semua peserta Jamkesda otomatis menjadi peserta PBI Jaminan Kesehatan atau terdapat penyaringan kembali dengan kriteria yang ada? Apakah pemerintah daerah membayar selisih kekurangan iuran atau semua ditanggung oleh APBN?c. Mekanisme pemberian kompensasi dalam hal tidak terdapat fasilitas kesehatan yang memenuhi syarat.4. Untuk menghindari penolakan dari rumah sakit atau fasilitas kesehatan, besaran PBI Jaminan Kesehatan perlu disesuaikan dengan harga keekonomian, tidak terlalu rendah dan tidak terlalu tinggi. Penelitian dari Tim PUSAT KPMAK FK UGM memang menyatakan untuk tahun 2014 sudah mencukupi. Akan tetapi, tetap perlu dilakukan penyesuaian secara berkala dengan penelitian dan kajian lebih lanjut. 5. Pendanaan PBI Jamianan Kesehatan yang bersumber dari APBN harus disiapkan dengan sebaik-baiknya demi keberlanjutan program tersebut.6. BPJS diharapkan melakukan pendekatan dan pembicaraan dengan fasilitas kesehatan untuk memperluas jangkauan di Indonesia, sehingga tidak terpusat di Jawa atau Indonesia Barat, tetapi juga di Indonesia Timur, tidak hanya di kawasan perkotaan, tetapi juga di pedesaan dan pelosok daerah.7. Dukungan dan keterlibatan langsung dalam implementasi JKN dari semua pemangku kepentingan baik itu pemerintah, dari level tertinggi sampai terendah, pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, tidak lupa dari elit politik agar program ini dapat berkelanjutan, bukannya menjadikan PBI Jaminan Kesehatan sebagai alat untuk mendulang suara pada Pemilu.8. Penguatan Monitoring Kebijakan BPJS Kesehatan. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS menyatakan bahwa pengawasan pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional oleh BPJS Kesehatan di lakukan oleh lembaga internal dan eksternal. Lembaga internal sendiri terdiri dari Dewan Pengawas dan satuan pengawas internal. Lembaga eksternal dilakukan oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) serta Badan Pemeriksa Keuangan dalam hal tertentu sesuai dengan kewenangannya dapat melakukan pemeriksaan. Lembaga pengawas tersebut harus dikuatkan fungsinya sehingga tidak menjadi seperti macan ompong yang tidak dilaksanakan perintah maupun rekomendasinya.

DAFTAR PUSTAKAAprianto, A., Prianto, E., Arianto, G., & Meliardi. (2014). Potensi Kendala dan Solusi untuk Jaminan Kesehatan Nasional ( JKN ). Retrieved May 04, 2014, from http://www.kpmak-ugm.org/2012-05-12-04-54-35/2012-05-12-05-03-45/article/647-potensi-kendala-dan-solusi-untuk-jaminan-kesehatan-nasional-jkn.html#ixzz30i5kPVow Ghufron Mukti, A. (2008). Health Insurance Reform: Indonesian Case. Retrieved May 04, 2014, from http://www.kpmak-ugm.org/2012-05-12-04-54-35/2012-05-12-05-03-45/article/216-health-insurance-reform-indonesian-case.html#ixzz30pEJzHX2Jumlah PBI dari Peserta Jamkesda Bakal Diciutkan. (2014). Retrieved May 04, 2014, from http://www.jamsosindonesia.com/cetak/print_externallink/7579/#sthash.i5hNMGLA.dpuf KAJS Tuntut Peserta PBI harus 156 Juta Orang dengan Iuran Rp 22 . 500. (2013). Retrieved from http://www.tribunnews.com/bisnis/2013/07/25/kajs-tuntut-peserta-pbi-harus-156-juta-orang-dengan-iuran-rp-22500 Kenaikan Kapitasi dan Iuran PBI Paling Lambat Enam Bulan. (2014). Retrieved May 04, 2014, from http://www.jamsosindonesia.com/cetak/print_externallink/7533/Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 125/Menkes/SK/II/2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Masyarakat 2008 (2008).Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 140/Menkes/SK/III/2013 tentang Penerima Dana Tahap Kedua Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Masyarakat Tahun 2013 (2013).Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 686/Menkes/SK/VI/2010 tentang Pedoman Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Masyarakat (2010).Kirana, K. (2014). Transparansi Anggaran BPJS untuk Peserta PBI. Retrieved April 23, 2014, from http://kesehatan.kompasiana.com/medis/2014/01/24/transparansi-anggaran-bpjs-untuk-peserta-pbi-630244.htmlMurti, B. (2010). Strategi untuk Mencapai Cakupan Universal Pelayanan Kesehatan di Indonesia. Retrieved May 04, 2014, from https://fk.uns.ac.id/index.php/download/file/36Muttaqien, Hafidsz, F., Tsalatshita, R., & Tia Pika, F. (n.d.). Analisis Biaya Per Kapita Jamkesmas. Retrieved May 04, 2014, from http://www.kpmak-ugm.org/2012-05-12-04-54-35/2012-05-12-05-03-45/field-report/427-analisis-biaya-per-kapita-jamkesmas.htmlMuttaqien, Hafidsz, F., Tsalatshita, R., & Tia Pika, F. (2014a). Biaya pelayanan kesehatan dalam persiapan implementasi universal coverage. doi:(diakses 4 Mei 2014)Muttaqien, Hafidsz, F., Tsalatshita, R., & Tia Pika, F. (2014b). Cukupkah Premi PBI BPJS Kesehatan Rp19.225? Retrieved May 04, 2014, from http://kebijakankesehatanindonesia.net/images/2013/9/Muttaqien.pdf Pedoman Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Masyarakat tahun 2009 (2009).Pemerintah putuskan premi besaran PBI Rp 15.500. (2013). Retrieved May 05, 2014, from http://nasional.kontan.co.id/news/pemerintah-putuskan-premi-besaran-pbi-rp-15.500Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 40 tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Masyarakat (2012).Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 903/Menkes/PER/V/2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Masyarakat (2011).Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 101 Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan (2012).Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun2013 tentang Jaminan Kesehatan (2013).Peserta dan Kepesertaan Jaminan Kesehatan. (2014). Retrieved June 02, 2014, from http://www.jamsosindonesia.com/cetak/printout/410Peta Jalan Menuju Jaminan Kesehatan Nasional 2012-2019. (2012). Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat. Retrieved May 04, 2014, from https://www.bkkbn.go.id/Documents/JKN/Peta-Jalan-Jaminan-Kesehatan-Nasional-2012-2019.pdf Suthiwisesak, P. (2013). Universal Health Coverage: Sharing within the ASEAN Economic Community. Retrieved May 04, 2014, from http://manajemen-jaminankesehatan.net/index.php/using-joomla/extensions/templates/beez5/home-page-beez5/88-reportase/821-universal-health-coverage-sharing-within-the-asean-economic-community Thabrany, H. (2009). Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan Nasional: Sebuah Policy Paper dalam Analisis Kesesuaian, 147. doi:(diakses 5 Mei 2014)Thabrany, H. (2012). Tantangan dan Harapan Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional. Retrieved April 28, 2014, from http://dib-online.org/wp-content/uploads/Tantangan dan Harapan Penyelenggaraan JKN.pdf diaksesTim DJSN Jamsostek Askes. (2012). Kajian Angaran Jaminan Sosial Bagi Penerima Bantuan Iuran. doi:(diakses 4 Mei 2014)Tim Penyususn Bahan Sosialisasi dan Advokasi JKN. (n.d.-a). Buku Pegangan Sosialisasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Retrieved from http://www.depkes.go.id/pdf.php?pg=JKN-SOSIALISASI-ISI_FA_REV Tim Penyususn Bahan Sosialisasi dan Advokasi JKN. (n.d.-b). Jaminan Kesehatan Nasional dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional. Retrieved May 04, 2014, from www.jkn.depkes.go.id/attachment/.../BAHAN_PAPARAN_JKN.pptxUndang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (2011).Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (2004).

BPJS Kesehatan : Tinjauan Atas Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan