biografi syeikh ibnu

16

Click here to load reader

Upload: endo

Post on 19-Feb-2018

214 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Biografi Syeikh Ibnu

7/23/2019 Biografi Syeikh Ibnu

http://slidepdf.com/reader/full/biografi-syeikh-ibnu 1/16

Biografi Syeikh Ibnu Athaillah

Syekh Ibnu Athaillah

Syeikh Ibn ‘Atha’illah as-Sakandari (w. 1309 M) hidup di Mesir di masa

kekuasaan Dinasti Mameluk. Ia lahir di kota Alexandria (Iskandariyah), lalu

pindah ke Kairo. Di kota inilah ia menghabiskan hidupnya dengan mengajar

fikih mazhab Imam Maliki di berbagai lembaga intelektual, antara lain

Masjid Al-Azhar. Di waktu yang sama dia juga dikenal luas dibidang tasawuf

sebagai seorang “master” (syeikh) besar ketiga di lingkungan tarekat sufi

Syadziliyah ini.

Ibn ‘Athaillah tergolong ulama yang produktif. Tak kurang dari 20 karya yang pernah dihasilkannya. Meliputi bidang tasawuf, tafsir, aqidah, hadits,

nahwu, dan ushul fiqh. Dari beberapa karyanya itu yang paling terkenal

adalah kitab al-Hikam. Buku ini disebut-sebut sebagai magnum opusnya.

Kitab itu sudah beberapa kali disyarah. Antara lain oleh Muhammad bin

Ibrahim ibn Ibad ar Rundi, Syaikh Ahmad Zarruq, dan Ahmad ibn Ajiba.

Beberapa kitab lainnya yang ditulis adalah Al-Tanwir fi Isqath al-Tadbir,

‘Unwan at-Taufiq fi’dab al-Thariq, miftah al-Falah dan al-Qaul al-Mujarrad

fil al-Ism al-Mufrad. Yang terakhir ini merupakan tanggapan terhadap

Syaikhul Islam ibn Taimiyyah mengenai persoalan tauhid. Kedua ulama

 besar itu memang hidup dalam satu zaman, dan kabarnya beberapa kali

terlibat dalam dialog yang berkualitas tinggi dan sangat santun. Ibn

 Taimiyyah adalah sosok ulama yang tidak menyukai praktek sufisme.

Sementara ibn ‘Athaillah dan para pengikutnya melihat tidak semua jalan

sufisme itu salah. Karena mereka juga ketat dalam urusan syari’at.

Ibn ‘Athaillah dikenal sebagai sosok yang dikagumi dan bersih. Ia menjadipanutan bagi banyak orang yang meniti jalan menuju Tuhan. Menjadi

teladan bagi orang-orang yang ikhlas, dan imam bagi para juru nasihat.

Ia dikenal sebagai master atau syaikh ketiga dalam lingkungan tarikat

Syadzili setelah yang pendirinya Abu al Hasan Asy Syadzili dan penerusnya,

 Abu Al Abbas Al Mursi. Dan Ibn ‘Athillah inilah yang pertama menghimpun

ajaran-ajaran, pesan-pesan, doa dan biografi keduanya, sehingga khazanah

tarikat syadziliah tetap terpelihara.

Page 2: Biografi Syeikh Ibnu

7/23/2019 Biografi Syeikh Ibnu

http://slidepdf.com/reader/full/biografi-syeikh-ibnu 2/16

Meski ia tokoh kunci di sebuah tarikat, bukan berarti aktifitas dan

pengaruh intelektualismenya hanya terbatas di tarekat saja. Buku-buku ibn

 Athaillah dibaca luas oleh kaum muslimin dari berbagai kelompok, bersifat

lintas mazhab dan tarikat, terutama kitab Al Hikam yang melegenda ini.

Pengarang kitab al-Hikam yang cukup populer di negeri kita ini adalah

 Tajuddin, Abu al-Fadl, Ahmad bin Muhammad bin Abd al-Karim bin Atho’

al-Sakandari al-Judzami al-Maliki al-Syadzili. Ia berasal dari bangsa Arab.

Nenek moyangnya berasal dari Judzam yaitu salah satu Kabilah Kahlan

 yang berujung pada Bani Ya’rib bin Qohton, bangsa Arab yang terkenal

dengan Arab al-Aa’ribah. Kota Iskandariah merupakan kota kelahiran sufi

 besar ini. Suatu tempat di mana keluarganya tinggal dan kakeknya

mengajar. Kendatipun namanya hingga kini demikian harum, namun kapansufi agung ini dilahirkan tidak ada catatan yang tegas. Dengan menelisik

 jalan hidupnya DR. Taftazani bisa menengarai bahwa ia dilahirkan sekitar

tahun 658 sampai 679 H.

 Ayahnya termasuk semasa dengan Syaikh Abu al-Hasan al-Syadili -pendiri

 Thariqah al-Syadziliyyah-sebagaimana diceritakan Ibnu Atho’ dalam

kitabnya “Lathoiful Minan “ : “Ayahku bercerita kepadaku, suatu ketika aku

menghadap Syaikh Abu al-Hasan al-Syadzili, lalu aku mendengar beliau

mengatakan: “Demi Allah… kalian telah menanyai aku tentang suatu

masalah yang tidak aku ketahui jawabannya, lalu aku temukan jawabannya

tertulis pada pena, tikar dan dinding”.

Keluarga Ibnu Atho’ adalah keluarga yang terdidik dalam lingkungan

agama, kakek dari jalur nasab ayahnya adalah seorang ulama fiqih pada

masanya. Tajuddin remaja sudah belajar pada ulama tingkat tinggi di

Iskandariah seperti al-Faqih Nasiruddin al-Mimbar al-Judzami. Kota

Iskandariah pada masa Ibnu Atho’ memang salah satu kota ilmu disemenanjung Mesir, karena Iskandariah banyak dihiasi oleh banyak ulama

dalam bidang fiqih, hadits, usul, dan ilmu-ilmu bahasa arab, tentu saja

 juga memuat banyak tokoh-tokoh tasawwuf dan para Auliya’ Sholihin

Oleh karena itu tidak mengherankan bila Ibnu Atho’illah tumbuh sebagai

seorang faqih, sebagaimana harapan dari kakeknya. Namun kefaqihannya

terus berlanjt sampai pada tingkatan tasawuf. Hal mana membuat

kakeknya secara terang-terangan tidak menyukainya.

Page 3: Biografi Syeikh Ibnu

7/23/2019 Biografi Syeikh Ibnu

http://slidepdf.com/reader/full/biografi-syeikh-ibnu 3/16

Ibnu Atho’ menceritakan dalam kitabnya “Lathoiful minan” : “Bahwa

kakeknya adalah seorang yang tidak setuju dengan tasawwuf, tapi mereka

sabar akan serangan dari kakeknya. Di sinilah guru Ibnu Atho’ yaitu Abul

 Abbas al-Mursy mengatakan: “Kalau anak dari seorang alim fiqih

Iskandariah (Ibnu Atho’illah) datang ke sini, tolong beritahu aku”, dan

ketika aku datang, al-Mursi mengatakan: “Malaikat jibril telah datang

kepada Nabi bersama dengan malaikat penjaga gunung ketika orang quraisy

tidak percaya pada Nabi. Malaikat penjaga gunung lalu menyalami Nabi dan

mengatakan: ” Wahai Muhammad.. kalau engkau mau, maka aku akan

timpakan dua gunung pada mereka”. Dengan bijak Nabi mengatakan : ”

 Tidak… aku mengharap agar kelak akan keluar orang-orang yang bertauhid

dan tidak musyrik dari mereka”. Begitu juga, kita harus sabar akan sikap

kakek yang alim fiqih (kakek Ibnu Atho’illah) demi orang yang alim fiqih ini”.

Pada akhirnya Ibn Atho’ memang lebih terkenal sebagai seorang sufi besar.

Namun menarik juga perjalanan hidupnya, dari didikan yang murni fiqh

sampai bisa memadukan fiqh dan tasawuf. Oleh karena itu buku-buku

 biografi menyebutkan riwayat hidup Atho’illah menjadi tiga masa:

Masa pertama

Masa ini dimulai ketika ia tinggal di Iskandariah sebagai pencari ilmu

agama seperti tafsir, hadits, fiqih, usul, nahwu dan lain-lain dari para alim

ulama di Iskandariah. Pada periode itu beliau terpengaruh pemikiran-

pemikiran kakeknya yang mengingkari para ahli tasawwuf karena

kefanatikannya pada ilmu fiqih, dalam hal ini Ibnu Atho’illah bercerita:

“Dulu aku adalah termasuk orang yang mengingkari Abu al-Abbas al-

Mursi, yaitu sebelum aku menjadi murid beliau”. Pendapat saya waktu itu

 bahwa yaang ada hanya ulama ahli dzahir, tapi mereka (ahli tasawwuf)

mengklaim adanya hal-hal yang besar, sementara dzahir syariat

menentangnya”.

Masa kedua

Masa ini merupakan masa paling penting dalam kehidupan sang guru

pemburu kejernihan hati ini. Masa ini dimulai semenjak ia bertemu dengan

gurunya, Abu al-Abbas al-Mursi, tahun 674 H, dan berakhir dengan

kepindahannya ke Kairo. Dalam masa ini sirnalah keingkarannya ulama’

tasawwuf. Ketika bertemu dengan al-Mursi, ia jatuh kagum dan simpati.

 Akhirnya ia mengambil Thariqah langsung dari gurunya ini.

Page 4: Biografi Syeikh Ibnu

7/23/2019 Biografi Syeikh Ibnu

http://slidepdf.com/reader/full/biografi-syeikh-ibnu 4/16

 Ada cerita menarik mengapa ia beranjak memilih dunia tasawuf ini. Suatu

ketika Ibn Atho’ mengalami goncangan batin, jiwanya tertekan. Dia

 bertanya-tanya dalam hatinya : “apakah semestinya aku membenci tasawuf.

 Apakah suatu yang benar kalau aku tidak menyukai Abul Abbas al-Mursi ?.

setelah lama aku merenung, mencerna akhirnya aku beranikan diriku

untuk mendekatnya, melihat siapa al-Mursi sesungguhnya, apa yang ia

ajarkan sejatinya. Kalau memang ia orang baik dan benar maka semuanya

akan kelihatan. Kalau tidak demikian halnya biarlah ini menjadi jalan

hidupku yang tidak bisa sejalan dengan tasawuf.

Lalu aku datang ke majlisnya. Aku mendengar, menyimak ceramahnya

dengan tekun tentang masalah-masalah syara’. Tentang kewajiban,

keutamaan dan sebagainya. Di sini jelas semua bahwa ternyat al-Mursi

 yang kelak menjadi guru sejatiku ini mengambil ilmu langsung dari Tuhan.

Dan segala puji bagi Allah, Dia telah menghilangkan rasa bimbang yang ada

dalam hatiku”.

Maka demikianlah, ketika ia sudah mencicipi manisnya tasawuf hatinya

semakin tertambat untuk masuk ke dalam dan lebih dalam lagi. Sampai-

sampai ia punya dugaan tidak akan bisa menjadi seorang sufi sejati kecuali

dengan masuk ke dunia itu secara total, menghabiskan seluruh waktunyauntuk sang guru dan meningalkan aktivitas lain. Namun demikian ia tidak

 berani memutuskan keinginannya itu kecuali setelah mendapatkan izin dari

sang guru al-Mursi.

Dalam hal ini Ibn Athoilah menceritakan : “Aku menghadap guruku al-

Mursi, dan dalam hatiku ada keinginan untuk meninggalkan ilmu dzahir.

Belum sempat aku mengutarakan apa yang terbersit dalam hatiku ini tiba-

tiba beliau mengatakan : “Di kota Qous aku mempunyai kawan namanya

Ibnu Naasyi’. Dulu dia adalah pengajar di Qous dan sebagai wakil

penguasa. Dia merasakan sedikit manisnya tariqah kita. Kemudian ia

menghadapku dan berkata : “Tuanku… apakah sebaiknya aku

meninggalkan tugasku sekarang ini dan berkhidmat saja pada tuan?”. Aku

memandangnya sebentar kemudian aku katakan : “Tidak demikian itu

tariqah kita. Tetaplah dengan kedudukan yang sudah di tentukan Allah

padamu. Apa yang menjadi garis tanganmu akan sampai padamu juga”.

Setelah bercerita semacam itu yang sebetulnya adalah nasehat untuk diriku

Page 5: Biografi Syeikh Ibnu

7/23/2019 Biografi Syeikh Ibnu

http://slidepdf.com/reader/full/biografi-syeikh-ibnu 5/16

 beliau berkata: “Beginilah keadaan orang-orang al-Siddiqiyyin. Mereka

sama sekali tidak keluar dari suatu kedudukan yang sudah ditentukan

 Allah sampai Dia sendiri yang mengeluarkan mereka”. Mendengar uraian

panjang lebar semacam itu aku tersadar dan tidak bisa mengucapkan

sepatah katapun. Dan alhamdulillah Allah telah menghapus angan

kebimbangan yang ada dalam hatiku, sepertinya aku baru saja melepas

pakaianku. Aku pun rela tenang dengan kedudukan yang diberikan oleh

 Allah”.

Masa ketiga

Masa ini dimulai semenjak kepindahan Ibn Atho’ dari Iskandariah ke Kairo.

Dan berakhir dengan kepindahannya ke haribaan Yang Maha Asih pada

tahun 709 H. Masa ini adalah masa kematangan dan kesempurnaan Ibnu

 Atho’illah dalam ilmu fiqih dan ilmu tasawwuf. Ia membedakan antara

Uzlah dan kholwah. Uzlah menurutnya adalah pemutusan (hubungan)

maknawi bukan hakiki, lahir dengan makhluk, yaitu dengan cara si Salik

(orang yang uzlah) selalu mengontrol dirinya dan menjaganya dari perdaya

dunia. Ketika seorang sufi sudah mantap dengan uzlah-nya dan nyaman

dengan kesendiriannya ia memasuki tahapan khalwah. Dan khalwah

dipahami dengan suatu cara menuju rahasia Tuhan, kholwah adalah

perendahan diri dihadapan Allah dan pemutusan hubungan dengan selain

 Allah SWT.

Menurut Ibnu Atho’illah, ruangan yang bagus untuk ber-khalwah adalah

 yang tingginya, setinggi orang yang berkhalwat tersebut. Panjangnya

sepanjang ia sujud. Luasnya seluas tempat duduknya. Ruangan itu tidak

ada lubang untuk masuknya cahaya matahari, jauh dari keramaian,

pintunya rapat, dan tidak ada dalam rumah yang banyak penghuninya.

Ibnu Atho’illah sepeninggal gurunya Abu al-Abbas al-Mursi tahum 686 H,menjadi penggantinya dalam mengembangkan Tariqah Syadziliah. Tugas ini

ia emban di samping tugas mengajar di kota Iskandariah. Maka ketika

pindah ke Kairo, ia bertugas mengajar dan ceramah di Masjid al-Azhar.

Ibnu Hajar berkata: “Ibnu Atho’illah berceramah di Azhar dengan tema yang

menenangkan hati dan memadukan perkatan-perkatan orang kebanyakan

dengan riwayat-riwayat dari salafus soleh, juga berbagai macam ilmu. Maka

tidak heran kalau pengikutnya berjubel dan beliau menjadi simbol

kebaikan”. Hal senada diucapkan oleh Ibnu Tagri Baradi : “Ibnu Atho’illahadalah orang yang sholeh, berbicara di atas kursi Azhar, dan dihadiri oleh

Page 6: Biografi Syeikh Ibnu

7/23/2019 Biografi Syeikh Ibnu

http://slidepdf.com/reader/full/biografi-syeikh-ibnu 6/16

hadirin yang banyak sekali. Ceramahnya sangat mengena dalam hati. Dia

mempunyai pengetahuan yang dalam akan perkataan ahli hakekat dan

orang orang ahli tariqah”. Termasuk tempat mengajar beliau adalah

Madrasah al-Mansuriah di Hay al-Shoghoh. Beliau mempunyai banyak

anak didik yang menjadi seorang ahli fiqih dan tasawwuf, seperti Imam

 Taqiyyuddin al-Subki, ayah Tajuddin al-Subki, pengarang kitab “Tobaqoh al-

syafi’iyyah al-Kubro”. Karya.

Sebagai seoarang sufi yang alim Ibn Atho’ meninggalkan banyak karangan

sebanyak 22 kitab lebih. Mulai dari sastra, tasawuf, fiqh, nahwu, mantiq,

falsafah sampai khitobah.

Kitabnya yang paling masyhur sehingga telah menjadi terkenal di seluruh

dunia Islam ialah kitabnya yang bernama Hikam, yang telah diberikan

komentar oleh beberapa orang ulama di kemudian hari dan yang juga telah

diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa asing lain, termasuklah bahasa

Melayu dan bahasa Indonesia.

Kitab ini dikenali juga dengan nama al-Hikam al-ata’iyyah untuk

membezakannya daripada kitab-kitab lain yang juga berjudul Hikam.Karomah Ibn Athoillah

 Al-Munawi dalam kitabnya “Al-Kawakib al-durriyyah mengatakan: “Syaikh

Kamal Ibnu Humam ketika ziarah ke makam wali besar ini membaca Surat

Hud sampai pada ayat yang artinya: “Diantara mereka ada yang celaka dan

 bahagia…”. Tiba-tiba terdengar suara dari dalam liang kubur Ibn Athoillah

dengan keras: “Wahai Kamal… tidak ada diantara kita yang celaka”. Demi

menyaksikan karomah agung seperti ini Ibnu Humam berwasiat supaya

dimakamkan dekat dengan Ibnu Atho’illah ketika meninggal kelak.

Di antara karomah pengarang kitab al-Hikam adalah, suatu ketika salah

satu murid beliau berangkat haji. Di sana si murid itu melihat Ibn Athoillah

sedang thawaf. Dia juga melihat sang guru ada di belakang maqam

Ibrahim, di Mas’aa dan Arafah. Ketika pulang, dia bertanya pada teman-

temannya apakah sang guru pergi haji atau tidak. Si murid langsung

terperanjat ketiak mendengar teman-temannya menjawab “Tidak”. Kurangpuas dengan jawaban mereka, dia menghadap sang guru. Kemudian

Page 7: Biografi Syeikh Ibnu

7/23/2019 Biografi Syeikh Ibnu

http://slidepdf.com/reader/full/biografi-syeikh-ibnu 7/16

pembimbing spiritual ini bertanya : “Siapa saja yang kamu temui ?” lalu si

murid menjawab : “Tuanku… saya melihat tuanku di sana “. Dengan

tersenyum al-arif billah ini menerangkan : “Orang besar itu bisa memenuhi

dunia. Seandainya saja Wali Qutb di panggil dari liang tanah, dia pasti

menjawabnya”.

Pandangan tentang Maqam Sufi

Dalam pandangan tasawuf secara umum, konsep maqām dan hāl adalah

dua konsep yang sangat berhubungan dengan salik (pejalan sufi).

Maqām adalah tahapan-tahapan thariqah yang harus dilalui oleh seorang

salik, yang membuahkan keadaan tertentu yang merasuk dalam diri salik.

Semisal maqām taubat; seorang salik dikatakan telah mencapai maqām iniketika dia telah bermujahadah dengan penuh kesungguhan untuk

menjauhi segala bentuk maksiat dan nafsu syahwati. Dengan demikian,

maqām adalah suatu keadaan tertentu yang ada pada diri salik yang

didapatnya melalui proses usaha riyadhah (melatih hawa nafsu).

Sedangkan yang dimaksud dengan hāl − sebagaimana diungkapkan oleh al-

Qusyairi − adalah suatu keadaan yang dianugerahkan kepada seorang sālik

tanpa melalui proses usaha riyadhah.

Namun, dalam konsep maqām ini Ibn Atha’illah memiliki pemikiran yang

 berbeda, dia memandang bahwa suatu maqām dicapai bukan karena

adanya usaha dari seorang salik, melainkan semata anugerah Allah swt.

Karena jika maqām dicapai karena usaha salik sendiri, sama halnya dengan

menisbatkan bahwa salik memiliki kemampuan untuk mencapai suatu

maqām atas kehendak dan kemampuan dirinya sendiri.

Pun jika demikian, maka hal ini bertentangan dengan konsep fana’ iradah,

 yaitu bahwa manusia sama sekali tidak memiliki kehendak, dan juga bertentangan dengan keimanan kita bahwa Allah yang menciptakan semua

perbuatan manusia. Dengan demikian, bagi seorang salik untuk mencapai

suatu maqām hendaknya salik menghilangkan segala kehendak dan angan-

angannya (isqath al-iradah wa al-tadbir).

Mengenai maqām, Ibn Atha’illah membaginya tingkatan maqam sufi

menjadi 9 tahapan;

1.Maqam taubat2.Maqam zuhud

Page 8: Biografi Syeikh Ibnu

7/23/2019 Biografi Syeikh Ibnu

http://slidepdf.com/reader/full/biografi-syeikh-ibnu 8/16

3.Maqam shabar

4.Maqam syukur

5.Maqam khauf

6.Maqam raja’

7.Maqam ridha8.Maqam tawakkal

9.Maqam mahabbah

10. Maqam Taubat

 Taubat adalah maqam awal yang harus dilalui oleh seorang salik. Sebelum

mencapai maqam ini seorang salik tidak akan bisa mencapai maqam-

maqam lainnya. Karena sebuah tujuan akhir tidak akan dapat dicapai

tanpa adanya langkah awal yang benar.

Cara taubat sebagaimana pandangan Ibn Atha’illah adalah dengan

 bertafakkur dan berkhalwat. sedang tafakkur itu sendiri adalah hendaknya

seorang salik melakukan instropeksi terhadap semua perbuatannya di siang

hari. Jika dia mendapati perbuatannya tersebut berupa ketaatan kepada

 Allah, maka hendaknya dia bersyukur kepada-Nya. Dan sebaliknya jika dia

mendapati amal perbuatannya berupa kemaksiatan, maka hendaknya dia

segera beristighfar dan bertaubat kepada-Nya.

Untuk mencapai maqam taubat ini, seorang salik harus meyakini dan

mempercayai bahwa irodah (kehendak) Allah meliputi segala sesuatu yang

ada. Termasuk bentuk ketaatan salik, keadaan lupa kepada-Nya, dan nafsu

syahwatnya, semua atas kehendak-Nya.

Sedangkan hal yang dapat membangkitkan maqam taubat ini adalah

 berbaik sangka (husn adz-dzon) kepada-Nya. Jika seorang salik terjerumus

dalam sebuah perbuatan dosa, hendaknya ia tidak menganggap bahwa

dosanya itu sangatlah besar sehingga menyebabkan dirinya merasa putus

asa untuk bisa sampai kepada-Nya.

Maqam Zuhud

Dalam pandangan Ibn ‘Aţā’illah, zuhd ada 2 macam; ZuhdẒ   ahir Jalī seperti

zuhd dari perbuatan berlebih-lebihan dalam perkara ḥ   alal, seperti:

makanan, pakaian, dan hal lain yang tergolong dalam perhiasan duniawi.

Dan Zuhd Bāţin Khafī seperti zuhd dari segala bentuk kepemimpinan, cinta

Page 9: Biografi Syeikh Ibnu

7/23/2019 Biografi Syeikh Ibnu

http://slidepdf.com/reader/full/biografi-syeikh-ibnu 9/16

penampilan zahir, dan juga berbagai hal maknawi yang terkait dengan

keduniaan”.

Hal yang dapat membangkitkan maqām zuhd adalah dengan merenung

(ta’ammul). Jika seorang sālik benar-benar merenungkan dunia ini, maka

dia akan mendapati dunia hanya sebagai tempat bagi yang selain Allah, dia

akan mendapatinya hanya berisikan kesedihan dan kekeruhan. Jikalau

sudah demikian, maka sālik akan zuhd terhadap dunia. Dia tidak akan

terbuai dengan segala bentuk keindahan dunia yang menipu.

Maqām zuhd tidak dapat tercapai jika dalam hati sālik masih terdapat rasa

cinta kepada dunia, dan rasa ḥ   asud kepada manusia yang diberi

kenikmatan duniawi. Alangkah indahnya apa yang dikatakan oleh Ibn

‘Aţā’illah: ”Cukuplah kebodohan bagimu jika engkauḥ   asud kepada mereka

 yang diberi kenikmatan dunia. Namun, jika hatimu sibuk dengan

memikirkan kenikmatan dunia yang diberikan kepada mereka, maka

engkau lebih bodoh daripada mereka. Karena mereka hanya disibukkan

dengan kenikmatan yang mereka dapatkan, sedangkan engkau disibukkan

dengan apa yang tidak engkau dapatkan”.

Inti dari zuhd adalah keteguhan jiwa, yaitu tidak merasa bahagia dengan

kenikmatan dunia yang didapat, dan tidak bersedih dan putus asa ataskenikmatan dunia yang tidak didapat.

Seorang salik tidak dituntut menjadi orang yang faqir yang sama sekali

tidak memiliki apa-apa. Karena ciri-ciri seorang zuhd ada dua; yaitu saat

kenikmatan dunia tidak ada dan saat kenikmatan dunia itu ada. Ini

dimaksudkan bahwa jika kenikmatan dunia itu didapat oleh sālik, maka

dia akan menghargainya dengan bershukur dan memanfaatkan nikmat

tersebut hanya karena Allah. Sebaliknya, jika nikmat sirna dari dirinya,

maka dia merasa nyaman, tenang dan tidak sedih.

Maqam Sabar

Ibn ‘Ata’illah membagi sabar menjadi 3 macam sabar terhadap perkara

haram, sabar terhadap kewajiban, dan sabar terhadap segala perencanaan

(angan-angan) dan usaha.

Sabar terhadap perkara haram adalah sabar terhadap hak-hak manusia.

Sedangkan sabar terhadap kewajiban adalah sabar terhadap kewajiban dan

Page 10: Biografi Syeikh Ibnu

7/23/2019 Biografi Syeikh Ibnu

http://slidepdf.com/reader/full/biografi-syeikh-ibnu 10/16

keharusan untuk menyembah kepada Allah. Segala sesuatu yang menjadi

kewajiban ibadah kepada Allah akan melahirkan bentuk sabar yang ketiga

 yaitu sabar yang menuntut salik untuk meninggalkan segala bentuk angan-

angan kepada-Nya.

“Sabar atas keharaman adalah sabar atas hak-hak kemanusiaan. Dan

sabar atas kewajiban adalah sabar atas kewajiban ibadah. Dan semua hal

 yang termasuk dalam kewajiban ibadah kepada Allah mewajibkan pula atas

salik untuk meniadakan segala angan-angannya bersama Allah”.

Sabar bukanlah suatu maqam yang diperoleh melalui usaha salik sendiri.

Namun, sabar adalah suatu anugerah yang diberikan Allah kepada salik

dan orang-orang yang dipilih-Nya.

Maqam sabar itu dilandasi oleh keimanan yang sempurna terhadap

kepastian dan ketentuan Allah, serta menanggalkan segala bentuk

perencanaan (angan-angan) dan usaha.

Maqam Syukur

Shukur dalam pandangan Ibn ‘Ata’illah terbagi menjadi 3 macam; pertamashukur dengan lisan, yaitu mengungkapkan secara lisan, menceritakan

nikmat yang didapat. Kedua, shukur dengan anggota tubuh, yaitu shukur

 yang diimplementasikan dalam bentuk ketaatan. Ketiga, shukur dengan

hati, yaitu dengan mengakui bahwa hanya Allah Sang Pemberi Nikmat,

segala bentuk kenikmatan yang diperoleh dari manusia semata-mata dari-

Nya. Sebagaimana diungkapkan oleh Ibn ‘Ata’illah:

“Dalam shukur menurut Ibn ‘Ata’illah terdapat tiga bagian; shukur lisan

 yaitu memberitakan kenikmatan (pada orang lain), shukur badan adalah

 beramal dengan ketaatan kepada Allah, dan shukur hati adalah mengakui

 bahwa Allah semata Sang Pemberi nikmat. Dan segala bentuk kenikmatan

dari seseorang adalah semata-mata dari Allah.”

Ibn ‘Ata’illah juga menjelaskan bahwa bentuk shukur orang yang berilmu

adalah dengan menjadikan ilmunya sebagai landasan untuk memberipetunjuk kepada manusia lainnya. Sedangkan bentuk shukur orang yang

Page 11: Biografi Syeikh Ibnu

7/23/2019 Biografi Syeikh Ibnu

http://slidepdf.com/reader/full/biografi-syeikh-ibnu 11/16

diberi kenikmatan kekayaan adalah dengan menyalurkan hartanya kepada

mereka yang membutuhkan. Bentuk shukur orang yang diberi kenikmatan

 berupa jabatan dan kekuasaan adalah dengan memberikan perlindungan

dan kesejahteraan terhadap orang-orang yang ada dalam kekuasaannya.

Lebih lanjut Ibn ‘Aţā’illah memaparkan bahwa shukur juga terbagi menjadi

2 bagian; shukur ẓ   āhir dan shukur bāţin. Shukur ẓ   āhir adalah

melaksanakan perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya.

Sedangkan shukur bāţin adalah mengakui dan meyakini bahwa segala

 bentuk kenikmatan hanyalah dari Allah semata.

Manfaat dari shukur adalah menjadikan anugerah kenikmatan yang

didapat menjadi langgeng, dan semakin bertambah. Ibn ‘Ata’illah

memaparkan bahwa jika seorang salik tidak menshukuri nikmat yang

didapat, maka bersiap-siaplah untuk menerima sirnanya kenikmatan

tersebut. Dan jika dia menshukurinya, maka rasa shukurnya akan menjadi

pengikat kenikmatan tersebut. Allah berfirman:زييدنكشكرتلئ

 (Jika kalian

 bershukur [atas nikmat-Ku) niscaya akan kutambah [kenikmatan itu]).1

 Jika seorang salik tidak mengetahui sebuah nikmat yang diberikan Allah

kepada-Nya, maka dia akan mengetahuinya ketika nikmat tersebut telah

hilang. Hal inilah yang telah diperingatkan oleh Ibn ‘Ata’illah.

Lebih lanjut Ibn ‘Ata’illah menambahkan hendaknya seorang salik selalu

 bershukur kepada Allah sehingga ketika Allah memberinya suatu

kenikmatan, maka dia tidak terlena dengan kenikmatan tersebut dan

menjadikan-Nya lupa kepada Sang Pemberi Nikmat.

Meskipun pada dasarnya semua kenikmatan pada hakikatnya adalah dari

 Allah, shukur kepada makhluk juga menjadi kewajiban seorang salik. Dia

harus bershukur terhadap apa yang telah diberikan orang lain kepadanya,

karena hal ini adalah suatu tuntutan shari‘at, seraya mengakui dan

meyakini dalam hati bahwa segala bentuk kenikmatan tersebut adalah dari

 Allah.

Pengejawantahan shukur tetap harus dilandasi dengan menanggalkan

segala bentuk angan-angan dan keinginan. Akal adalah kenikmatan paling

agung yang diberikan Allah kepada manusia. Karena akal inilah manusia

menjadi berbeda dari sekalian makhluk. Namun, dengan kelebihan akal ini

pula manusia memiliki potensi untuk bermaksiat kepada Allah. Dengan

akal ini manusia dapat berpikir, berangan-angan, dan berkehendak.

Sehingga manusia memiliki potensi untuk mengangan-angankan dan

Page 12: Biografi Syeikh Ibnu

7/23/2019 Biografi Syeikh Ibnu

http://slidepdf.com/reader/full/biografi-syeikh-ibnu 12/16

menginginkan suatu bentuk kenikmatan yang akan diberikan oleh Allah.

Hal inilah yang harus ditiadakan dalam pengejawantahan shukur.

Maqam khauf

Seorang salik dapat mencapai derajat maqam khauf apabila dia merasa

takut atas sirnanya ḥ   al dan maqamnya, karena dia tahu bahwa Allah

memiliki kepastian hukum dan kehendak yang tidak dapat dicegah. Ketika

 Allah berkehendak untuk mencabut suatu maqām danḥ al yang ada pada

diri salik, seketika itu juga Allah akan mencabutnya.

“Bukti dari makna ini mengharuskan maqām khauf bagi seorang hamba

terwujud, ketika dia memiliki ucapan yang baik dan perilaku yang terpuji

maka dia tak akan terputus maqām khauf ini, serta dia tidak terpedaya

dengan urusan duniawi, karena hukum kepastian dan kehendak Allah

terwujud.”

Khauf seorang sālik bukanlah sekedar rasa takut semata. Khauf pasti

diiringi dengan rajā’ (harapan) kepada Allah, karena khauf adalah

pembangkit dari rajā’. Maqām khauf adalah maqām yang membangkitkan

maqām rajā’. Rajā’ tidak akan ada jika khauf tidak ada.

Ibn ‘Atā’illah menyatakan bahwa jika sālik ingin agar dibuka baginya pintu

rajā’ maka hendaknya dia melihat apa yang diberikan Allah kepadanya berupa anugerah maqām,ḥ   al dan berbagai kenikmatan yang dia terima.

 Jika dia ingin agar terbuka baginya pintu khauf, maka hendaknya dia

melihat apa yang dia berikan kepada-Nya berupa peribadatan dan ketaatan

penuh pada-Nya. Sebagaimana diutarakan oleh Ibn ‘Atā’illah:

”Jika engkau ingin agar Allah membukakan bagimu pintu rajā’, maka

lihatlah segala sesuatu yang diberikan Allah kepadamu. Dan jika engkau

ingin agar Allah membukakan bagimu pintu khauf, maka lihatlah apa yang

telah kau berikan kepada-Nya.”

Rajā’ bukan semata-mata berharap, rajā’ harus disertai dengan perbuatan.

 Jika rajā’ hanya berupa harapan tanpa perbuatan, maka tidak lain itu

hanyalah sebuah angan-angan atau impian belaka. Dengan demikian wajib

 bagi seorang sālik untuk menyertakan rajā’nya dengan amal kepatuhan,

dan peribadatan yang dapat mendekatkan dirinya kepada Allah secara

kontinu.

 Jika rajā’ sudah ada dalam diri sālik, maka rajā’ ini akan semakin

menguatkan khauf yang ada pada dirinya. Karena suatu harapan, pasti

Page 13: Biografi Syeikh Ibnu

7/23/2019 Biografi Syeikh Ibnu

http://slidepdf.com/reader/full/biografi-syeikh-ibnu 13/16

akan disertai dengan rasa takut akan sesuatu, sehingga dapat dinyatakan

 bahwa khauf akan melahirkan rajā’, dan rajā’ akan menjadi penguat khauf.

Maqam Ridha dan Tawakkal

Riḍ   a dalam pandangan Ibn ‘Ata’illah adalah penerimaan secara total

terhadap ketentuan dan kepastian Allah. Hal ini didasarkan pada QS. al-

Mā’idah ayat 119:

(Allah riḍ   a terhadap mereka, dan mereka riḍ   a kepada Allah), dan juga sabda

Rasulullah SAW.:

(Orang yang merasakan [manisnya] iman adalah orang yang riḍ   a kepada

 Allah).

Maqam riḍ   a bukanlah maqam yang diperoleh atas usaha salik sendiri. Akan

tetapi riḍ   a adalah anugerah yang diberikan Allah.

 Jika maqam riḍ   a sudah ada dalam diri sālik, maka sudah pasti maqām

tawakkal juga akan terwujud. Oleh karena itu, ada hubungan yang erat

antara maqām riḍ   a dan maqām tawakkal. Orang yang riḍ   a terhadap

ketentuan dan kepastian Allah, dia akan menjadikan Allah sebagai

penuntun dalam segala urusannya, dia akan berpegang teguh kepada-Nya,

dan yakin bahwa Dia akan menentukan yang terbaik bagi dirinya.

Maqām tawakkal akan membangkitkan kepercayaan yang sempurna bahwa

segala sesuatu ada dalam kekuasaan Allah. Sebagaimana termaktub dalam

QS. Hūd ayat 123:

(…kepada-Nya lah segala urusan dikembalikan, maka sembahlah Dia, dan

 bertawakkallah kepada-Nya).

Sebagaimana maqām-maqām lainnya, maqām riḍ   a dan tawakkal tidak akan

 benar jika tanpa menanggalkan angan-angan. Ibn ‘Aţā’illah menyatakan

 bahwa angan-angan itu bertentangan dengan tawakkal, karena barangsiapa

telah berpasrah kepada Allah, dia akan menjadikan Allah sebagai

penuntunnya, dia akan berpegang teguh kepada-Nya atas segala

urusannya, dan jika sudah demikian tiadalah bagi dirinya segala bentuk

angan-angan.

Page 14: Biografi Syeikh Ibnu

7/23/2019 Biografi Syeikh Ibnu

http://slidepdf.com/reader/full/biografi-syeikh-ibnu 14/16

“Perencanaan (tadbīr) juga bertentangan dengan maqam tawakkal karena

seorang yang bertawakkal kepada Allah adalah orang yang menyerahkan

kendali dirinya kepada-Nya, dan berpegang teguh kepada-Nya atas segala

urusannya. Barangsiapa telah menetapi semua hal tersebut, maka tiada

lagi perencanaan baginya, dan dia berpasrah terhadap perjalanan takdir.

Peniadaan perencanaan (isqaţ tadbīr) juga terkait dengan maqām tawakkal

dan riḍ   a, hal ini jelas, karena seorang yang riḍ   a maka cukup baginya

perencanaan Allah atasnya. Maka bagaimana mungkin dia menjadi

perencana bersama Allah, sedangkan dia telah rela dengan perencanan-

Nya. Apakah engkau tidak tahu bahwa cahaya riḍ   a telah membasuh hati

dengan curahan perencanan-Nya. Dengan demikian, orang yang riḍ   a

terhadap Allah telah dianugrahkan baginya cahaya riḍ   a atas keputusan-

Nya, maka tiada lagi baginya perencanaan bersama Allah…”

Hikmah riḍ   a kepada qaḍ   ā’ dan qadar, antara lain dapat menghilangkan

keruwetan dan kesusahan. Musibah yang diperoleh seseorang, jika

dihadapi/dengan pikiran yang lapang dan dengan bekerja yang sungguh-

sungguh di sanalah seseorang akan mendapatkan jalan dan petunjuk yang

lebih berguna, daripada dihadapi dengan meratapi kesusahan-kesusahan

itu, yang tidak ada berkesudahan.

Dasar riḍ   a akan qaḍ   ā’ dan qadar, ialah firman Allah dalam al-Qur’an:

“Orang-orang (yang mu’min) jika mereka mendapat sesuatu bencana

 berkatalah mereka “Bahwasanya kami ini kepunyaan Allah, dan kami

(semua) pasti kembali lagi kepada-Nya.”

 Jika seseorang ditimpa bencana hendaklah dia riḍ   a, hatinya tidak boleh

mendongkol. Riḍ   a dengan qaḍ   ā’ ialah menerima segala kejadian yang

menimpa diri seseorang, dengan rasa senang hati dan lapang dada.

Meriḍ   ai qaḍ   ā’ dan qadar, karena ditimpa bencana atau menderita sesuatu,

sangat disukai oleh agama. Tetapi sekali-kali tiada dibenarkan seseorang

meriḍ   ai kekufuran dan kemaksiatan.

Riḍ   a dengan taqdir Allah adalah suatu perangai yang terpuji dan mulia

serta membiasakan jiwa menyerahkan diri atas keputusan Allah, juga dapat

mendapatkan hiburan yang sempurna di kala menderita segala bencana.

Dialah obat yang sangat mujarab untuk menolak penyakit gelap mata hati.

Dengan riḍ   a atas segala ketetapan Allah, hidup seseorang menjadi tenteramdan tidak gelisah.

Page 15: Biografi Syeikh Ibnu

7/23/2019 Biografi Syeikh Ibnu

http://slidepdf.com/reader/full/biografi-syeikh-ibnu 15/16

Seseorang wajib berkeyakinan, bahwa bencana yang menimpa seseorang,

adakalanya juga merupakan cobaan bagi seorang hamba, untuk lebih suka

mengoreksi segala amal perbuatan pada masa-masa yang lampau, agar

seseorang dapat mengubah dan memperbaiki jejak langkah dan

perbuatannya pada masa-masa yang akan datang.

Menyerah kepada qaḍ   ā’illah (keputusan takdir) Allah termasuk tidak boleh

mengandai-andaikan, misalnya andaikan tadinya dia tidak ikut rombongan

ini, barangkali dia tidak termasuk korban kecelakaan ini, sebagaimana

firman Allah SWT.:

Hai orang yang beriman, janganlah kamu seperti orang-orang kafir, yang

 berkata kepada saudara-saudara mereka tatkala mereka bepergian di bumi,

atau sedang bertempur : Sekiranya bersama-sama kami, niscaya mereka

tidak akan mati, dan tidak akan terbunuh. Yang demikian karena Allah

hendak jadikan yang tersebut itu duka cita di hati-hati mereka dan Allah

rnenghidupkan dan mematikan, dan Allah Maha melihat akan apa yang

engkau kerjakan.

Maqam Mahabbah

Imam al-Ghazālī berpendapat bahwa maqām maḥ   abbah adalah maqām

tertinggi dari sekian maqām-maqām dalam tarekat. Dia menggambarkan bahwa maḥ   abbah adalah tujuan utama dari semua maqām.

Namun, Ibn ‘Aţā’illah memiliki pandangan yang berbeda tentang konsep

maḥ   abbah bahwa dalam maḥ   abbah seorang sālik harus menanggalkan

segala angan-angannya. Dia berpendapat demikian karena alasan bahwa

sālik yang telah sampai pada maḥ   abbah (cinta) bisa jadi dia masih

mengharapkan balasan atas cintanya kepada yang dicintainya. Dari sini

tampak bahwa rasa cinta sālik didasarkan atas kehendak dirinya untuk

mendapatkan balasan cinta sebagaimana cintanya. Karena pecinta sejatiadalah orang yang rela mengorbankan segala yang ada pada dirinya demi

 yang dicintainya, dan tidak mengharapkan imbalan apapun dari yang

dicintainya, yang dalam konteks ini adalah Allah SWT.

”…maḥ abbah (cinta) kepada Allah adalah tujuan luhur dari seluruh maqām,

titik puncak dari seluruh derajat. Tiada lagi maqām setelah mahabbah,

karena maḥ   abbah adalah hasil dari seluruh maqām, menjadi akibat dari

seluruh maqām, seperti rindu, senang, riḍ   a dan lain sebagainya. Dan

tiadalah maqām sebelum maḥ   abbah kecuali hanya menjadi permulaan dari

Page 16: Biografi Syeikh Ibnu

7/23/2019 Biografi Syeikh Ibnu

http://slidepdf.com/reader/full/biografi-syeikh-ibnu 16/16

seluruh permulaan maqām, seperti taubat, sabar, zuhd dan lain

sebagainya…”

 Wafat

 Tahun 709 H adalah tahun kemalangan dunia maya ini. Karena tahuntersebut wali besar yang tetap abadi nama dan kebaikannya ini harus

 beralih ke alam barzah, lebih mendekat pada Sang Pencipta. Namun

demikian madrasah al-Mansuriyyah cukup beruntung karena di situlah

 jasad mulianya berpisah dengan sang nyawa. Ribuan pelayat dari Kairo dan

sekitarnya mengiring kekasih Allah ini untuk dimakamkan di pemakaman

al-Qorrofah al-Kubro.

dikutip dari :http://tasawuf.blog.com/2010/04/syekh-ibnu-athaillah/