hukum kelembaganegaraaan

Upload: gilar-amrizal

Post on 09-Feb-2018

224 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 7/22/2019 Hukum kelembaganegaraaan

    1/25

    1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A.Latar BelakangAmandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah

    mengakibatkan terjadinya perubahan dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia

    termasuk dalam hal fungsi legislasi dalam pola hubungan lembaga kepresidenan dengan

    DPR. Perubahan dilatar belakangi adanya kehendak untuk membangun pemerintahan yang

    demokratis dengan " checks and balances " yang setara dan seimbang diantara cabang -

    cabang kekuasan. Sebelum Amandemen Pasal 5 Ayat 1 Undang - Undang Dasar Tahun

    1945 menyatakan bahwasanya Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang

    setelah Amandemen Presiden hanya berhak mengajukan rancangan undang - undang kepada

    Dewan Perwakilan Rakyat. Hal ini lebih dipertegas dalam Pasal 20 Ayat 1 Amandemen

    yang menyatakan Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-

    undang, disini terlihat terjadinya pergeseran kekuasan Presiden dalam bidang legislasi.

    Amandemen merupakan suatu upaya untuk mengurangi kekuasaan Presiden yang terlalu

    besar. Oleh karena itu lah melalui penulisan makalah ini akan terlihat bahwa terjadi

    pergeseran fungsi legislasi Presiden dalam hal pembentukan undang-undang dari tanganPresiden ke tangan Dewan Perwakilan Rakyat, namun pada prinsipnya Presiden dan Dewan

    Perwakilan ltakyat tetap bekerjasama dalam hal pembentukan undang-undang karena

    Presrden nantinya yang akan mengesahkan rancangan undang-undang yang telah dibahas

    oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Di sini peran serta dan kerjasama yang baik antara Presiden

    dan lembaga-lembaga negara yang lain sangat diperlukan demi terwujudnya tujuan Negara.

    B.Rumusan Masalah1. Apa hakikat dari legislasi itu ?2. Bagaimana fungsi legislasi dalam system pemerintahan presidensial ?3. Bagaimana fungsi legislasi sebelum perubahan UUD 1945 pada masa orde baru ?4. Bagaimana implikasi praktik legislasi setelah perubahan UUD 1945 ?

  • 7/22/2019 Hukum kelembaganegaraaan

    2/25

    2

    BAB II

    PEMBAHASAN

    A.Hakikat LegislasiLEGISLASI selama ini dikenal merupakan proses dan produk pembuatan undang-

    undang (the creation of general legal norm by special organ). Sering arti legislasi itu

    dikaitkan dengan upaya badan parlemen untuk membentuk undang-undang sebagai primary

    legislation, yang dibedakan dengan otoritas badan pelaksana/eksekutif untuk membuat

    peraturan pelaksanaan undang-undang sebagai secondary legislation melalui proses regulasi.

    Namun, sering kedua istilah tersebut (legislasi dan regulasi) disamakan artinya karena

    memang pengertian legislasi dalam arti luas mencakup pula pengertian regulasi, yaitu bahwa

    legislasi dalam arti luas termasuk pula pembentukan peraturan pemerintah dan peraturan-

    peraturan lain yang mendapat delegasian kewenangan dari undang-undang (delegation of

    rule making power by the laws).

    Regulasi sendiri sejatinya memiliki makna proses menetapkan peraturan umum oleh

    badan eksekutif atau badan yang memiliki kekuasaan atau fungsi eksekutif. Kekuasaan

    tersebut merupakan kekuasaan delegasian (delegation of legislative power, delegation of rule

    making power, delegatie van wetgevendemacht).

    Proses legislasi merupakan upaya untuk membentuk norma hukum yang ditetapkan

    sebagai pedoman perilaku (the guidance of behaviour) bagi masyarakat. Norma tersebut

    berasal dari kata nomos yang berarti nilai dan kemudian dipersempit maknanya menjadi

    norma hukum. Jadi, hakikat proses legislasi adalah proses pelembagaan nilai yang dapat

    dipergunakan sebagai ukuran baik/buruk dan boleh/tidak suatu perbuatan dilakukan

    seseorang yang dapat dilekati dengan sanksi sebagai pemaksa kepatuhan (legal and order).

    Tak dapat disangkal bahwa pembentukan suatu norma hukum (arti sempit dari nomos)

    dilakukan melalui suatu proses legislasi yang dilakukan parlemen sebagai lembaga politik

  • 7/22/2019 Hukum kelembaganegaraaan

    3/25

    3

    dan di beberapa negara dilakukan bersama-sama dengan eksekutif. Proses yang sarat dengan

    muatan politik tersebut selama ini dikesankan undang-undang sebagaiprimary

    legislationadalah produk politik. Namun, pemahaman seperti itu tak boleh dilepaskan dari

    hakikat makna dari legislasi untuk membentuk suatu nilai (nomos). Jika makna legislasi

    dilepaskan dari upaya pembentukan nomos dan hanya menekankan pada prosesnya dapat

    berimplikasi makna legislasi direduksi sekadar sebagai hasil dari proses tawarmenawar

    politik (political bargaining) yang mencabut makna legislasi dari makna hakikinya. Hal

    kedua itulah yang selama ini terjadi dalam realitas proses legislasi di negeri ini.

    Dalam telaah filsafat legislasi, sebuah legislasi yang baik dalam pandangan Max

    Weber harus legitimate. Menurut Weber, sebuah produk hukum tergolong legitimate

    manakala di dalamnya terkandung keistimewaan sebagai teladan dan mampu mendorong

    kepatuhan. Ketika seseorang mematuhi produk hukum bukan karena kepentingan diri,

    melainkan karena kepercayaan terhadap nilai substantif sebuah produk hukum, di situlah

    suatu produk hukum sebagai hasil dari proses legislasi memiliki legitimasi.

    Proses legislasi yang dilaksanakan badan parlemen bersama dengan eksekutif di negeri

    ini harus sampai pada upaya untuk menghasilkan berbagai produk hukum yang memiliki

    legitimasi yang di dalamnya terkandung nilai (nomos). Semua itu tentunya menghendaki para

    legislator yang mampu menjadi anutan/ teladan dalam perilaku dan pelaksanaan fungsisebagai wakil rakyat.

    Para wakil rakyat yang bermasalah dan kemudian bertindak sebagai legislator hanya

    akan menghasilkan proses legislasi yang bermasalah dengan berbagai produk hukum yang

    sebenarnya hanya menjadi bukti kasat mata kepentingan politik/kelompok/parsial yang diberi

    baju hukum dan agar `berkesan' sebagai sebuah norma, kepadanya diatasnamakan

    `kepentingan rakyat'.1

    B.Fungsi Legislasi Dalam Sistem Presidensial1W Riawan Tjandra, Hakikat Legislasi, Media Indonesia: 19 April 2012

  • 7/22/2019 Hukum kelembaganegaraaan

    4/25

    4

    Konstitusi kita telah menegaskan melalui ciri- cirinya, bahwa Indonesia menganut

    sistem pemerintahan presidensial, akan tetapi sistem presidensial ini diterapkan dalam

    konstruksi politik multipartai. Sistem multipartai merupakan sebuah konteks politik yang

    sulit dihindari karena Indonesia merupakan negara yang memiliki tingkat kemajemukan

    masyarakat yang sangat tinggi dan tingkat pluralitas sosial yang kompleks. Secara teoretis,

    presidensialisme menjadi masalah kalau berkombinasi dengan sistem multipartai.

    Ketidakstabilan pemerintahan dalam sistem presidensial diyakini semakin kentara bila

    dipadukan dengan sistem multipartai. Pengalaman di beberapa negara yang mampu

    membentuk pemerintahan yang stabil karena memadukan sistem presidensial dengan sistem

    dwi partai, bukan multipartai, contohnya Amerika Serikat.2

    Pemisahan yang tegas antara cabang kekuasaan eksekutif dan cabang kekuasaan

    legislative menjadi titik penting untuk menjelaskan fungsi legislasi dalam system

    pemerintahan presidensial. Menurut Christoper Manuel dan Anne M. Carmissa, salah satu

    karakter mendasar dari system presidensial adalahseparation of Legislative (congressional)

    dan executive (presidential) power.3

    Dengan pemisahan itu, dalam system presidensial, badan legislative menetukan

    agendanya sendiri, membahas dan menyetujui rancangan udang-undang pun sendiri pula.

    Biasanya, lembaga legislative mengusulkan dan menformulasikan dan dapat bekerja sama

    dengan eksekutif dalam merumuskan legislasi, terutama pada saat partai politik yang sama

    berkuasa di kedua cabang pemerintahan itu.4

    Meskipun kekuasaan membentuk undang-undang berada di lembaga legislative,

    eksekutif dapat mengusulkan rancangan undang-undang. Biasanya rancangan undang-

    undang tersebut disampaikan kepada angota-anggota legislative atau melalui partai politik

    (pendukung eksekutif) untuk diajukan di lembaga legislative.5

    Namun demikian, secara umum karakter fungsi legislasi dalam system pemerintahan

    presidensial adalah sebagai berikut :

    2Retno Saraswati, 2012, Desain Sistem Presidensial Yang Efektif, Fakultas Hukum Universitas Dipongoro, hal 137

    3Paul Christoper Manuel dan Anne Maria Carmissa, 1999, Checks and Balance? How a Paliamentary System Could

    Changed American Politics, United State Of America, Westview Press, hlm 16.4Saldi Isra,2010, Pergeseran fungsi legislasi; Menguatnya Model Legislasi Parlementer Dalam Sistem Presidensial

    Indonesia, Jakarta,Rajawali Pers, hal825Ibid.

  • 7/22/2019 Hukum kelembaganegaraaan

    5/25

    5

    1. The legislature tends to have broad powers to amend any legislation. Lack ofresources, and other factory may act to blunt this power.

    2. The potential for legislative assertiveness is greater in presidential systems, but theactual realization ( and staffing up for assertiveness) depends on the presence of other

    conditions.

    3. Legislatures in presidential system are more likely to have specialized and permanentstanding committees and subcommittees with a number of professional staff to help

    draft, review and amend legislation.

    4. Via the comitte system, the legislature has extensive powers to call expert witness,members of the cabinet, presidential advisors, etc. for public or private hearings before

    the legislature.

    5. The president can veto legislaton, which can only be overridden by 2/3 vote in thelegislature.

    6

    Karakter umum tersebut menjelaskan, lembaga legislative cenderung mempunyai

    kekuasaan besar dalam proses legislasi. Sekalipun dalam praktik kekuasaan tersebut amat

    mungkin berkurang karena disebabkan oleh factor keterbatasan sumber daya manusia,

    kekuasaan partai politik pendukung presiden di lembaga legislative, atau system kepartaian

    dominan fungsi legislasi berada di tangan lembaga legislative. Untuk itu presiden diberikan

    hak untuk menolak (berupa hak veto) rancangan undang-undang yang sudah disetujui

    legislative. Namun, hak veto presiden dapat dibatalkan lembaga legislative dengan

    komposisi suara tertentu.7

    Sejak Pemilihan Umum 1999, praktik sistem pemerintahan presidensial Indonesia

    beralih dari sistem kepartaian dominan(dominant party) menjadi sistem kepartaian majemuk

    (multiparty). Melalui perubahan UUD 1945, peralihan itu diikuti dengan purifikasi sistem

    pemerintahan presidensial. Berdasarkan ketentuan Pasal 6A UUD 1945, salah satu upaya

    purifikasi tersebut pemilihan presiden dan wakil presiden dilakukan secara langsung.

    Gambaran praktik sistem pemerintahan presidensial yang dibangun dengan model

    6Anonim, tanpa tahun, Governing Systems and Executive-Legislative Relations; Presidential, Parliamentary and

    Hybrid Systems, http://mirror.undp.org/magnet/Docs/parliaments/governing%20system.htm, dikunjungi 22/09-

    2013.7Saldi Isra, op. cit, hlm 83

    http://mirror.undp.org/magnet/Docs/parliaments/governing%20system.htmhttp://mirror.undp.org/magnet/Docs/parliaments/governing%20system.htm
  • 7/22/2019 Hukum kelembaganegaraaan

    6/25

    6

    kepartaian majemuk baru dapat dilihat agak lebih utuh setelah Pemilihan Umum (Pemilu)

    2004. Gagal menghasilkan pemenang mayoritas, pemilu pertama paska perubahan UUD

    1945 menghasilkan 17 partai politik yang mendapat kursi di DPR.

    Dibandingkan dengan sistem pemerintahan parlementer, sistem kepartaian dalam sistempresidensial menjadi isu yang amat menarik karena anggota lembaga legislatif dan presiden

    dipilih secara langsung oleh rakyat (pemilih). Bila mayoritas anggota legislatif menentukan

    pilihan politik yang berbeda dengan presiden, sering kali sistem pemerintahan presidensial

    terjebak dalam pemerintahan yang terbelah (divided government) antara legislatif dengan

    eksekutif. Dukungan legislatif makin sulit didapat jika pemerintahan presidensial dibangun

    dalam sistem multipartai.

    Ada kekhawatiran dalam UUD 1945 hasil amandemen adalah menguatnya dominasieksekutif (presiden) dalam fungsi legislasi atau pembuatan undang-undang. Ini

    berseberangan dengan tujuan amendemen konstitusi yang dilakukan dalam era reformasi,

    yakni mengembalikan eksekutif, legislatif, dan yudikatif pada peran semestinya di negara

    penganut sistem presidensial. Akar persoalan ini, ada di Pasal 5 ayat 1 hasil amendemen.

    Yang berbunyi Presiden memegang membentuk undang-undang dengan persetujuan

    Dewan Perwakilan Rakyat dan Pasal 20 ayat 2 UUD 1945 yang berbunyi jika rancangan

    undang-undang tidak mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, maka rancangan

    tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.

    Kedua pasal ini memberi peran eksekutif terlibat dari tahap pengajuan (inisiatif),

    pembahasan, persetujuan, pengesahan, hingga pengundangan. Singkatnya, eksekutif terlibat

    di semua tahapan. Sedangkan keterlibatan Dewan Perwakilan Rakyat terhenti pada tahap

    persetujuan. Padahal hakikat legislasi seharusnya menjadi kewenangan DPR.8

    Kendala utama dalam pelaksanaan fungsi eksekutif dalam sistem presidensial tidak

    murni adalah jika pemerintah tidak mendapat dukungan dari mayoritas parlemen. Faktanya

    demikian sebab sistem multi partai akan selalu tidak kompatible terhadap sistem presidensil.

    Sebab sangat sulit mencapai parlemen yang di dominasi oleh partai pemerintahan dalam

    sistem pemilihan langsung yang dilakukan baik pada eksekutif maupun legislatifnya. Sistem

    8Anonim, 2012, Legislasi Dalam Sistem Kepresidenan,http://putrapogon.blogspot.com/2012/12/legislasi-dalam-

    sistem-presidensil.html,dikunjungi 22/09-2013

    http://putrapogon.blogspot.com/2012/12/legislasi-dalam-sistem-presidensil.htmlhttp://putrapogon.blogspot.com/2012/12/legislasi-dalam-sistem-presidensil.htmlhttp://putrapogon.blogspot.com/2012/12/legislasi-dalam-sistem-presidensil.htmlhttp://putrapogon.blogspot.com/2012/12/legislasi-dalam-sistem-presidensil.htmlhttp://putrapogon.blogspot.com/2012/12/legislasi-dalam-sistem-presidensil.htmlhttp://putrapogon.blogspot.com/2012/12/legislasi-dalam-sistem-presidensil.html
  • 7/22/2019 Hukum kelembaganegaraaan

    7/25

    7

    presidensil hanya akan kuat jika, pemerintahan berasal dari partai pemenangan pemilu

    legislatif yang mayoritas di parlemen. Adalah wajar jika eksekutif berani mengeluarkan

    undang-undang yang bertentangan dengan Kostitusi (UUD)[5] yang sudah bisa dipastikan

    tidak mendapatkan perlawanan yang berarti dari legislatif. Proses politiklah yang menjadi

    penentu lahirnya sebuah regulasi. Dominannya unsur politik dalam pembentukan Undang-

    undang menyebabkan kuatnya politik transaksional dalam praktek perundangan.

    Batasan kewenangan, fungsi dan bentuk lembaga Negara menjadi hal penting dalam

    real penyelenggaraan Negara. Dalam praktek penyelenggaraan Negara, kendala utama

    dalam mencapai situasi stabil dalam pengertian pemerintahan bisa berjalan efektif adalah

    bahwa masing-masing lembaga kekuasaan berfungsinya dalam batas kewenangan yang

    terpisah (separation of power). Pemisahan (separation of power) dan bukan pembagian

    (distribution of power) antara lembaga Negara terutama Eksekutif dan legislative.

    Dengan situasi seperti saat ini, banyak kalangan meragukan kelangsungan dan stabilitas

    pemerintah dalam sistem presidensial. Misalnya, Jose A. Cheibub, Adam Przeworzki, dan

    Sebastian M. Saiegh dalam tulisan Government Coalitions and Legislative Success Under

    Presidentialism and Parliamentarism mencatat banyak pendapat yang meragukan

    kelangsungan dan stabilitas pemerintahan dalam sistem multipartai, seperti:9

    1. Institutions shape incentives: presidentialism generates fewer or weaker incentives toform coalitions

    2. Coalitions are difficult to form and rarely, only exceptionally, do form underpresidentialism.

    3. When no coalition is formed under presidentialism, a long-term legislative impasseensues.

    4. There is no alternative but deadlock.5. The norm is conflictual government.6. As a result, the very notion of majority government is problematic in presidential

    systems without a majority party.

    7. Stable multi-party presidential democracy is difficult, dan9Jose Antonio Cheibub, Adam Przeworzki, and Sebastian M. Saiegh, 2004, Government Coalitions and Legislative

    Success Under Presidentialism and Parliamentarism, dalam British Journal of Political Science, No. 34, hal. 565-566

  • 7/22/2019 Hukum kelembaganegaraaan

    8/25

    8

    8. Presidential systems which consistently fail to provide the president with sufficientlegislative support are unlikely to prosper.

    Pertanyaan mendasar yang selalu dikemukakan berkenaan dengan sistem pemerintahan

    presidensial multipartai adalah: mengapa multipartai dan sistem pemerintahan presidensialsulit digabungkan? Menjawab pertanyaan tersebut, Scott Mainwaring dalam

    Presidentialism in Latin Amerika mengatakan:10

    The combination of a fractionalized party system and presidentialism is inconducive to

    democratic stability because it easily creates difficulties in the relationship between

    the president and the congress. To be effective, government must be able to push

    through policy measures, which is difficult to do when the executive faces a sizeable

    majority opposition in the legislature.

    Sesuai dengan gambaran itu, keadaan dapat makin rumit karena kedua-kedua

    institusi itu presiden dan lembaga legislatif-- sama-sama mendapat mandat langsung

    rakyat. Berhubungan hal ini, Juan J. Linz mengemukakan pertanyaan yang amat mendasar:

    who has the stronger claim to speak on behalf of the people?11

    Karena klaim itu, Scott

    Mainwaring menambahkan bahwa konflik antara eksekutif dan legislatif sering sekali

    timbul bila partai-partai yang berbeda menguasai kedua cabang itu. Konflik yang

    berkepanjangan dapat menimbulkan akibat yang buruk terhadap stabilitas demokrasi. Dalamfungsi legislasi, sulitnya mencapai kesepakatan antara legislatif dan Presiden yang sama-

    sama mendapat mandat langsung dari rakyat. lembaga legislatif besar kemungkinan akan

    ditolak oleh Presiden atau eksekutif. Berkaitan dengan hal itu, mengutip pendapat Scot

    Mainwaring, Saiful Mujani menjelaskan, sistem multipartai dan sistem pemerintahan

    presidensial adalah kombinasi yang sulit untuk sebuah pemerintahan yang demokratis12

    .

    Kesulitan ini terletak bukan saja pada masalah tidak mudahnya mencapai konsensus antara

    dua lembaga, antara presiden dan lembaga legislatif, tetapi juga kekuatan-kekuatan di

    10ScottMainwaring, 1990, Presidentialism in Latin America, Latin American Research Review, 25.

    11Juan J. Linz, 1994, Presidential or Parliamentary Democracy: Does it Make a Difference? dalam Juan J. Linz and

    Arturo Venezuela, eds,The Failure of Presidential Democracy: The Case of Latin America, Johns Hopkins, Baltimore,

    hal. 1912

    Saiful Mujani, 2002,JadikanPresiden Hanya sebagai Kepala Negara, dalam Gerak Politik yang Tertawan:Menggagas Ulang Prinsip-prinsip Lembaga Kepresidenan, The Center for Presidential and Parliamentary Studies,

    Jakarta. Hal 9

  • 7/22/2019 Hukum kelembaganegaraaan

    9/25

    9

    lembaga legislatif sendiri. Berkenaan dengan dukungan lembaga legislatif kepada presiden

    (eksekutif), meski presiden memenangkan pemilihan umum dan mendapat dukungan

    mayoritas dari pemilih, tidak jarang partai politik presiden menjadi kekuatan minoritas di

    lembaga legislatif. Karena presiden dan lembaga legislatif sama-sama mendapat mandat

    langsung dari rakyat (pemilih), perbedaan partai mayoritas di lembaga legislatif dengan

    partai politik presiden sering berdampak pada ketegangan di antara keduanya. Misalnya,

    praktik sistem pemerintahan presidensial di Amerika Serikat perbedaan partai politik

    mayoritas di kongres dengan partai politik presiden sering menimbulkan pemerintahan yang

    terbelah (divided government).

    Tidak hanya dalam sistem dua partai, perbedaan suara mayoritas di lembaga legislatif

    dengan partai politik pendukung presiden juga terjadi dalam sistem multi-partai. Biasanya,

    untuk mendapatkan dukungan di lembaga legislatif, presiden melakukan koalisi dengan

    sejumlah partai politik. Namun demikian, Scott Mainwaring mengemukakan, pembentukan

    koalisi dalam sistem presidensial jauh lebih sulit dibandingkan dengan koalisi dalam sistem

    parlementer. Kesulitan itu terjadi karena dalam sistem presidensial coalitions are not

    institutionally necessary dan sistem presidensial not conducive to political cooperation.

    Kalaupun terbentuk, koalisi dalam sistem presidensial lebih rapuh (vulnerable)

    dibandingkan dengan koalisi dalam sistem parlementer. Secara umum, sistem kepertaian

    majemuk akan mempersulit konsolidasi antar-partai politik dalam fungsi legislasi.13

    Bagaimanapun, seperti dikemukakan Giovanni Sartori, Presiden tetap memerlukan

    dukungan lembaga legislatif. Tanpa dukungan, Presiden akan menghadapi situasi sulit yang

    mengancam stabilitas pemerintah. Biasanya, situasi seperti itu akan menimbulkan konflik

    antara Presiden dan lembaga legislatif.

    Terkait dengan hal itu, Scott Mainwaring mengemukakan bahwa dalam situasi sulit dan

    konflik itu presiden dapat melakukan (salah satu) langkah dari beberapa pilihan berikut ini:

    pertama, the president can attempt to bypass congress, tetapi tindakan ini dapat merusak

    demokrasi.14

    Dalam situasi seperti ini, partai-partai oposisi dapat menilai dan menuduh

    13Scott Maiwaring, 1993,Presidentialism, Multipartism, and Democracy: the Difficult Combination,dalamJournal

    of Comparative Political Studies, Vol. 26, No. 2.14

    Scott Mainwaring & Mariano Torcal, 2005, Party System Institutionalization and Party System Theory After

    the Third Wave of Democratization, Working Paper 319

  • 7/22/2019 Hukum kelembaganegaraaan

    10/25

    10

    presiden melanggar konstitusi. Bahkan, sejumlah pengalaman menunjukkan bahwa cara

    seperti itu dapat mengundang intervensi militer. Kedua, the president can seek constitutional

    reforms in order to obtain broader powers. Pilihan pada langkah kedua ini akan mengurangi

    kesempatan untuk terjadinya negosiasi dan kompromi antara presiden lembaga

    legislatif.Ketiga, the president can attempt to form a coalition government. Upaya

    membentuk pemerintahan koalisi mungkin dilakukan dalam sistem presidensial untuk

    mendapatkan dukungan di lembaga legislatif. Dalam praktik, koalisi merupakan cara paling

    umum dilakukan oleh pemerintah yang hanya mendapatkan dukungan minoritas (minority

    government). Sebagai dikemukakan Jose Antonio Cheibub pada awal tulisan ini, minority

    government adalah pemerintah yang tidak mengontrol suara mayoritas di lembaga legislatif

    atau, dalam sistem bikameral, pemerintah tidak mengontrol suara mayoritas di salah satu

    kamar di lembaga legislatif. Dalam kondisi minority government, tambah Jose Antonio

    Cheibub :15

    In much the same way as prime ministers in paliamentary system, presidents who find

    themselves in a minority situation may enter into coalition to obtain the support of a

    mojority in congress. They do so by distributing cabinet in congress. Goverment, thus, is

    here defined by all the parties that hold cabinet positions, and the government legislative

    support by sum of seats held by all parties that are in the government.

    Dengan penjelasan Cheibub tersebut, presiden yang tidak mengontrol kekuatan

    mayoritas di lembaga legislatif akan melakukan langkah seperti lazimnya yang dilakukan

    pemenang minoritas pemilihan umum dalam sistem pemerintahan parlementer yaitu

    melakukan koalisi dengan sejumlah partai politik. Langkah itu dilakukan untuk

    mendapatkan dukungan mayoritas di lembaga legislatif. Dalam sistem pemerintahan

    presidensial, cara yang paling umum dilakukan presiden adalah membagikan posisi menteri

    kabinet kepada partai politik yang memberikan dukungan kepada presiden di lembaga

    legislatif. Dengan cara seperti itu, membagi kekuasaan dengan semua partai politik yang

    mendukung pemerintah. Namun, di tambahkan Scott Mainwaring, koalisi dalam sistem

    15Jose Antonio Cheibub, Adam Przeworzki, and Sebastian M. Saiegh, 2004, Government Coalitions and LegislativeSuccess Under Presidentialism and Parliamentarism, dalam British Journal of Political Science, No. 34.

  • 7/22/2019 Hukum kelembaganegaraaan

    11/25

    11

    pemerintahan presidensial jauh lebih sulit dibandingkan dengan koalisi dalam sistem

    pemerintahan parlementer. Dalam pandangan David Altman, kesulitan koalisi itu terjadi

    karena coalitions are not institutionally necessary dan sistem pemerintahan presidensial not

    conducive to political cooperation.

    Sejalan dengan pendapat Mainwaring dan Altman, Jose A. Cheibub, Adam

    Przeworzki, dan Sebastian M. Saiegh menegaskan:

    Minority governments supported by a legislative majority should be legislatively successful

    under both systems. They are not failures of coalition formation, but a result of

    compromises about policies. Yet presidential minorities facing hostile legislative majorities

    fail to pass legislation. When the presidents party likes the outcome of the legislative

    impasse, presidents willingly go down to defeat. But the president may want to passlegislation and still may be unable to do so when a legislative majority expects to gain more

    by opposing governments legislative initiatives. We should thus see minority governments

    to be generally quite successful legislatively but less successful under presidentialism.

    Menguatkan pendapat di atas, dalam tulisan Constitutional Frameworks and

    Democratic Consolidation: Parliamentarianism and Presidentialism Alfred Stepan & Cindy

    Skach menambahkan:

    There are far fewer incentives for coalitional cooperation in presidentialism. The office of

    presidency is nondivisible. The presiden may select members of the political parties other

    than his own to serve in the cabinet, but they are selected as individuals, not as members of

    an enduring and diciplined coalition.

    Karena itu, dalam tulisan Presidentialism, Multipartism, and Democracy: The

    Difficult Combination Mainwaring menyatakan bahwa the combination of presidentialism

    and multipartism is complicated by the difficulties of interparty coalition-buliding in

    prresidential democracies. Jika dibandingkan dengan pembentukan koalisi dalam sistem

    parlementer, Scott Mainwaring mengemukakan tiga perbedaan koalisi multi-partai dalam

    sistem pemerintahan presidensial.

    Pertama, dalam sistem parlementer, koalisi partai politik yang memilih menteri-

    menteri dan perdana menteri. Karenanya, mereka bertanggung jawab memberikan dukungan

  • 7/22/2019 Hukum kelembaganegaraaan

    12/25

    12

    kepada pemerintah. Sedangkan dalam sistem presidensial, presiden membentuk sendiri

    kabinetnya (presidents put together their own cabinets) dan partai politik punya komitmen

    yang rendah untuk mendukung presiden. Kedua, berbeda dengan sistem parlementer, dalam

    banyak sistem pemerintahan presidensial, anggota legislatif dari partai politik yang punya

    menteri di kabinet tidak mendukung pemerintah. Ketiga, secara umum, keinginan partai

    politik untuk membubarkan koalisi lebih kuat dalam sistem pemerintahan presidensial.16

    C.Fungsi Legislasi Sebelum Perubahan UUD 1945 Pada Masa Orde BaruSetelah Pemilihan Umum 1971 dilaksanakan dan sidang MPR 1973 memilih kembali

    Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia, semua agenda ketatanegaraan berubah

    menjadi rutinitas kenegaraan untuk memperkuat posisi presiden menjadi pusat kekuasaan

    Negara. Praktik system pemerintahan benar-benar mengarah kepada concentration of power

    and responsibility upon the President sebagaimana termaktub dalam penjelasan Angka IV

    UUD 1945. Keberhasilan melaksanakan pemilihan umum pada 1971 (pemilihan kedua sejak

    Indonesia merdeka) memberi legitimasi kuat kepada Presiden Soeharto dan Rezim Orde

    Baru. Pelaksanaan Pemilihan Umum 1971 menandai permulaan pemilihan umum regular

    sepanjang kekuasaan Soeharto. Keteraturan pelaksanaan pemilihan umum itu diikuti pula

    dengan partisipasi pemilih yang selalu mencapai angka diatas 90% makin memperkuat

    legitimasi politik orde baru.17

    Sepanjang kekuasaan Orde Baru, karena tidak diatur dalam UUD 1945,18 proses

    penyelenggaraan pemilihan umum sangat tergantung pada undang-undang yang mengatur

    pemilihan umum. Jamak dikeahui, karena dominasi pemerintah dan Golkar di DPR, semua

    aturan tentan penyelenggaraan pemilihan umum menjadi sulit diatur di luar mindset

    pemerintah dan Golkar. Karena pemerintahan adalah pemerintahan Golkar maka seluruh

    program pemilihan selalu diupayakan untuk memenangkan Golkar.19

    Sekalipun dalam semua undang-undang tentang pemilihan umum sepanjang

    kekuaasaan Orde Baru disebutkan bahwa pemilihan umum adalah untuk memilih anggota

    16Anonim, Op.cit, ,http://putrapogon.blogspot.com/2012/12/legislasi-dalam-sistem-presidensil.html

    17Aulia A Rachman, 2007, Sistem Pemerintahan Presidentil Sebelum dan Sesudah Perubahan UUD 1945: Studi

    Ilmiah tentang Tipe Rezim, Tipe Institusi, dan Tipe Konstitusi, Disertasi, Program Doktor Pascasarjana Fakultas

    Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, Hal 24918

    Ali Masykur Musa, 2003, Sistem Pemilu: Proporsional Terbuka, Pustaka, Pustaka Indonesia Satu dan UNDP,

    Jakarta, hlm 319

    Ibid.

    http://putrapogon.blogspot.com/2012/12/legislasi-dalam-sistem-presidensil.htmlhttp://putrapogon.blogspot.com/2012/12/legislasi-dalam-sistem-presidensil.htmlhttp://putrapogon.blogspot.com/2012/12/legislasi-dalam-sistem-presidensil.htmlhttp://putrapogon.blogspot.com/2012/12/legislasi-dalam-sistem-presidensil.html
  • 7/22/2019 Hukum kelembaganegaraaan

    13/25

    13

    DPR dipilih melalui pemilihan umum. Pasal 10 Ayat (3) Undang-undang Nomor 16 Tahun

    1969 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD, menyatakan bahwa jumlah

    anggota DPR ditetapkan sebanyak 460 orang, terdiri dari 360 orang dipilih dalam pemilihan

    umum dan 100 orang diangkat.20

    Komposisi anggota DPR antara yang dipilih dengan yang

    diangkat (360:100) tersebut bertahan sampai pemilihan umum 1982. Perubahan baru terjadi

    pada Pemilihan Umum 1987. Pasal 10 Undang-undang Nomor 2 Tahun 1985 tentang

    Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD, menyatakan :

    1) Dewan Perwakilan Rakyat terdiri atas wakil-wakil dari (a). organisasi peserta pemilhanumum, dan (b) golongan karya ABRI

    2) Pengisian keanggotaan DPR dilakukan dengan cara pemilihan umum dan pengangkatan3) Jumlah anggota DPR ditetapkan sebanyak 500 orang, terdiri dari 400 orang dipilih

    melalui pemilihan umum dan 100 orang diangkat.

    4) Anggota DPR yang diangkat sebanyak 100 orang sebagaiamana dimaksud dalam ayat(3) diambilkan dari golongan karya ABRI dan pengangkatannya ditetapkan oleh

    presiden atas usul Panglima Angkatan Bersenjata.

    Dengan dominasi jumlah Golkar dan ABRI di DPR, lembaga ini benar-benar berada

    dibawah kendali kekuasaan Orde Baru dibawah pimpinan Presiden Soeharto. Berikut ini

    gambaran fungsi legislasi sepanjang kekuasaan Orde Baru.

    Sesat Tafsir Pasal 5 Ayat (1) UUD 1945. Setting memberikan kursi gratis kepada

    ABRI dan dominasi Golkar di DPR berimplikasi pada performance di DPR berimplikasi

    pada fungsi legislasi. Selama periode Orde Baru, fungsi legislasi dipegang oleh presiden

    sementara DPR hanya memberikan persetujuan21

    . Dalam hal ini A. Hamid S. Attamimi

    berpendapat, apabila ditafsirkan secara harfiah, ketentuan Pasal 5 Ayat (1) UUD 1945 yang

    menyatakan bahwa Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan

    persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, Presidenlah yang memegang kekuasaan membentuk

    20Anonim, 2011, Partisipasi Politik Militer Studi Perbandingan Partisipasi Politik Di Zaman Orde Baru dengan Era

    Reformasi,http://sefasdesak.wordpress.com/2011/05/10/perbandingan-partisipasi-politik-zaman-orde-baru-

    dengan-era-reformasi/,dikunjungi 23/09-201321

    Saldi Isra, Op.Cit, hlm 139

    http://sefasdesak.wordpress.com/2011/05/10/perbandingan-partisipasi-politik-zaman-orde-baru-dengan-era-reformasi/http://sefasdesak.wordpress.com/2011/05/10/perbandingan-partisipasi-politik-zaman-orde-baru-dengan-era-reformasi/http://sefasdesak.wordpress.com/2011/05/10/perbandingan-partisipasi-politik-zaman-orde-baru-dengan-era-reformasi/http://sefasdesak.wordpress.com/2011/05/10/perbandingan-partisipasi-politik-zaman-orde-baru-dengan-era-reformasi/http://sefasdesak.wordpress.com/2011/05/10/perbandingan-partisipasi-politik-zaman-orde-baru-dengan-era-reformasi/http://sefasdesak.wordpress.com/2011/05/10/perbandingan-partisipasi-politik-zaman-orde-baru-dengan-era-reformasi/
  • 7/22/2019 Hukum kelembaganegaraaan

    14/25

    14

    undang-undang, sedangkan DPR memberi (atau tidak memberi) persetujuan terhadap

    pelaksanaan kekuasaan yang berada pada presiden tersebut.22

    Pasal 5 Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa presiden memegang kekuasaan

    membentuk undang-undang, bagi Bagir Manan ketentuan itu bukan saja membingungkantetapi mengandung anomaly, karena dalam system pemerintahan mana pun kekuasaan

    membentuk undang-undang ada pada lembaga perwakilan rakyat sebagai pemegang

    kekuasaan legislative.23

    Selain mengandung anomaly, praktik ketatanegaraan sepanjang

    kekuasaan soeharto, ketentuan Pasal 5 Ayat (1) UUD 1945 menimbulkan berbagai persoalan

    berikut :

    Pertama, kekuasaan presiden menjadi begitu kuat, termasuk menentukan isi undang-

    undan. Tidak jarang perbedaan pendapat antara frasi di DPR atau antara pemerintahmengenai naskah suatu rancangan undang-undang, diselesaikan menurut kehendak

    presiden atau pesan presiden, atau setelah menghadap presiden. Kedua, ketentuan itu

    sangat mengendurkan kemauan DPR untuk menggunakan hak inisiatif mengajukan

    rancangan undang-undang. Ketiga, seolah-olah setiap rancangan undang-undang.

    Ketiga, seolah-olah setiap rancangan undang-undang harus disetujui dan DPR harus

    menyetujui sesuai kehendak pemerintah, khususnya presiden.24

    Menegaskan pendapat tersebut, Bagir Manan mengatakan bahwa dalam pelaksanaanfungsi legislasi sepanjang kekuasaan Orde Baru, tidak berarti tidak ada perubahan atas

    rancangan undang-undang yang diajukan presiden. Namun itu dapat dilakukan sepanjang

    tidak bertentangan dengan kehendak Presiden.25

    Dengan demikian, dominasi presiden dalam

    proses legislasi tidak terlepas dari kekeliruan pemahaman bahwa fungsi legislasi berada di

    tangan presiden. Padahal, dalam system presidensial, ketentuan yang terdapat dalam Pasal 5

    Ayat (1) UUD 1945 harus dimaknai sebagai kewenagan mengajukan rancangan undang-

    undang. Dari konteks historis, penafsiran seperti itu dapat dibenarkan karena pembentuk

    UUD 1945 mengakui bahwa inisiatif untuk membentuk rancangan undang-undang terletak di

    2222A. Hamid S. Attamimi, 1990, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan

    Pemerintahan, Disertasi, Fakultas Pascasarjana UI, hal 14623

    Bagir Manan, 2003.DPR, DPD, dan MPR dalam UUD 1945 Baru. FH UII Press, Yogyakarta, hal 20.24

    Ibid. hlm 20-2125

    Ibid. hlm 21

  • 7/22/2019 Hukum kelembaganegaraaan

    15/25

    15

    tangan pemerintah.26

    Inisiatif demikian dibenarkan Soepomo, dalam system pemerintahan

    apa pun, umunya rancangan undang-undang diajukan oleh pemerintah kepada DPR.27

    Pelaksanaan fungsi legislasi selama kekuasaan Orde Baru tidak jauh berbeda dengan

    praktik yang terjadi sepanjang periode 1945-1959 yaitu ketika Indonesia menggunakansystem pemerintahan parlementer. Ketika berada di bawah konstitusi RIS 1949 dan UUD

    Sementara 1950, pembahasan bersama antara DPR dan menteri-menteri tidak menjadi

    masalah karena di dalam kedua konstitusi tersebut menyebutkan secara eksplisit bahwa

    pembahasan rancangan undang-undang dilakukan oleh pemerintah bersama-sama dengan

    DPR. Dengan demikian, warisan fungsi legislasi dalam system pemerintahan presidensial

    tidak hanya dapat dibaca dari frasa bersama-sama DPR dan Presiden yang ada dalam UUD

    1945, tetapi juga dapat ditelusuri dari pola pembahasan bersama menteri-menteri dan DPR.28

    Dengan komposisi jumlah dukungan suara yang dapat dikatakan mayoritas absolut,

    praktik pemerintahan berada di bawah kendali Presiden Soeharto dengan menggunakan

    stempel dukungan DPR.

    Karenanya, dalam melaksanakan fungsi sebagai lembaga legislative, Golkar dan ABRI

    menampilkan diri sebagai partai pemerintah yang berkewajiban menjaga, membela, dan

    mempertahankan semua kepentingan pemerintah di DPR.

    Dengan gambaran tersebut, tidak mungkin DPR mampu menjalankan fungsi-fungsi

    konstitusionalnya ketika berhadapan dengan pemerintah. Bahkan dari produk-prodk undang-

    undang yang dihasilkan. DPR sepanjang kekuasaan Orde Baru kalah produktif, misalnya

    dengan KNIP dan DPRS 1950-1956. Dalam kurun waktu 1972-1997, DPR hanya

    menghasilkan 273 undang-undang. Dengan jumlah itu, setiap tahun DPR menghasilkan

    kurang dari 11 undang-undang, atau kurang dari satu undang-undang setiap bulannya.

    Karena itu, anggota DPR sering dijuluki 5D, yaitu dating, duduk, daftar, dengar, dan duit.

    Kondisi itu bertahan sampai berakhirnya kekuasaan Soeharto 21 Mei 1998.29

    26RM. A.B. Kusuma, 2004, Lahirnya Undang-undang Dasar 1945, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas

    Indonesia, Jakarta, hlm 336-34427

    Ibid.28

    Saldi Isra, Op.Cit, hlm 14729

    Ibid. hlm 149

  • 7/22/2019 Hukum kelembaganegaraaan

    16/25

    16

    D.Implikasi Praktik Legislasi Setelah Perubahan UUD 19451. Prakarsa Pengajuan Rancangan Undang-undang

    Dalam pandangan Jimly Assiddiqie, peruahan Pasal 5 Ayat (1) UUD 1945

    menjadi: Presiden berhak mengajukan rancangan kepada DPR, yang diikuti dengan

    perubahan Pasal 5 Ayat (1) UUD 1945 menjadi DPR mempunyai kekuasaan

    membentuk undang-undang telah terjadi pergeseran kekuasaan subtantif dalam

    kekuasaan legislative atau kekuasaan pembentukan undang-undang telah terjadi

    pergeseran kekuasaan subtantif dalam kekuasaan legislative atau kekuasaan pembentukan

    undang-undang dari tangan presiden ke tangan DPR.30

    Sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan Negara, presiden hanya berhak

    mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR. Artinya, perubahan terhadap Pasal

    5 Ayat (1) dan Pasal 20 Ayat (1) UUD 1945 menggeser bandul kekuasaan pembuatan

    undang-undang dari eksekutif ke legislative. Dalam hal ini Jimly Assiddiqie menegaskan

    bahwa :

    Dengan adanya perubahan ini, jelaslah bahwa kekuasaan legislative yang semula

    utamanya dipegang oleh presiden dengan persetujuan DPR dialihkan menjadi

    dipegang DPR. Sedangkan presiden hanya dinyatakan berhak mengajukan

    rancangan undan-undang, bukan sebagai pemegang kekuasaan legislative yang

    utama. Perubahan ini yang biasa saya sebut sebagai pergeseran kekuasaanlegislative dari presiden ke DPR.

    31

    Dengan adanya ketentuan Pasal 5 Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan

    Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang dan Pasal 21 UUD 1945

    yang menyatakan anggota DPR berhak mengajukan rancangan undang-undang, proses

    legislasi setelah perubahan UUD 1945 harus mengatur hak yang dimiliki oleh presiden

    dan anggota DPR tersebut terutama kalau keduanya mengajujkan rancangan undang-

    undang mengenai hal atau masalah yang sama.

    30Jimly Asshiddiqie, 2006, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sekertariat Jenderal

    dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, hlm 135.31

    Jimly Asshiddiqie, 2002, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, Pusat Studi Hukum Tata

    Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hlm 25

  • 7/22/2019 Hukum kelembaganegaraaan

    17/25

    17

    Selain berasal dari inisiatif presiden, sebagai ditentukan dalam Pasal 21 UUD

    1945, usul rancangan undang-undang dapat berasal dari anggota DPR. Karenanya,

    setelah perubahan undang-undang dinyatakan secara eksplisit dalam Undang-undang

    tentang Susunan dan Kedudukan Anggota MPR, DPR, dan DPRD. Dalam pasal 28 huruf

    a Undang-undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Sususnan dan Kedudukan Anggota

    MPR, DPR, dan DPRD dinyatakan anggota DPR mempunyai hak mengajukan

    rancangan undang-undang.

    Sekalipun prakarsa untuk mengajukan rancangan undang-undang bukan

    merupakan masalah esensial dalam fungsi legislasi pada system pemerintahan

    presidensial, perubahan UUD 1945 telah menghidupkan kembali inisiaif DPR untuk

    mengajukan rancangan undang-undang anggota DPR yang mengalami mati suri

    sepanjang kekuasaan Orde Lama dan Orde Baru hidup kembali sejak kekuasaan

    Soeharto.

    2. Pembahasan Rancangan Undang-UndangKeinginan para pengubah UUD 1945 untuk mengubah proses legislasi sebelum

    perubahan UUD 1945 itu dieksplisitkan dalam Pasal 32 Ayat (1) UU No. 10/2004 yang

    menyatakan bahwa pembahasan rancangan undang-undang di DPR dilakukan oleh DPR

    bersama Presiden atau menteri yang ditugasi. Pembahasan bersama tersebut dilakukan

    melalui tingkat-tingkat pembicaraan dalam rapat komisi/panitia/alat kelengkapan Dewan

    Perwakilan Rakyat yang khusus menangani bidang legislasi dan rapat paripurna sesuai

    dengan Tatib DPR. Dengan adanya ketentuan dalam Pasal 32 UU No. 10/2004,

    pembahasan yang dimaksudkan dalam Pasal 20 Ayat (2) UUD 1945 adalah pembahasan

    bersama antara presiden dan DPR dalam sidang DPR. Dengan demikian, model

    pembahasan bersama antara presiden dan DPR. Dengan demikian pembahasan terpisah

    tidak tepat diletakkan dalam Pasal 20 Ayat (2) UUD 1945.32

    Yang menjadi masalah, UU No. 10/2004 dan Tatib DPR tidak mengatur secara jelas

    tentang pembahasan bersama rancangan undang-undang antara presiden dan DPR. Yang

    paling menonjol diatur dalam Tatib DPR hanya penyampaian pandangan dan pendapat

    presidenuntuk rancangan undang-undang yang berasal dari DPR, serta tanggapan

    32Saldi Isra, Op.Cit, hlm 217

  • 7/22/2019 Hukum kelembaganegaraaan

    18/25

    18

    presiden atas pandangan dan pendapat fraksi-fraksi atau pandangan dan pendapat fraksi-

    fraksi dan DPD apabila rancangan undang-undang berkaitan dengan wewenang DPD,

    untuk rancangan undang-undang yang berasal dari Presiden. Satu-satunya aturan yang

    secara eksplisit berhubungan dengan pembahasan yaitu Pasal 138 Ayat (1) huruf C Tatib

    DPR 2004-2009 menyatakan, pembahasan rancangan undang-undang oleh DPR dan

    Presiden berdasarkan Daftar Inventarisasi Masalah.

    Berdasarkan Penjelasan itu, Tatib DPR tidak mampu menjelaskan proses pembahasan

    rancangan undang-undang di DPR dilakukan oleh DPR bersama Presiden sebagaimana

    dalam Pasal 32 Ayat (1) UU No. 10/2004. Padahal, untuk memperjelas hubungan

    presiden dan DPR dalam proses legislasi, pola pembahasan bersama harus

    diformulasikan secara tepat terutama untuk menentukan: apakah dalam pembahasan

    bersama presiden berhadapan dengan DPR. Apalagi, hasil pembahasan bersama akan

    bermuara kepada persetujuan bersama antara presiden dan DPR.33

    3. Persetujuan Rancangan Undang-UndangSetelah perubahan UUD 1945 praktik pembahasan bersama dan persetujuan

    bersama tersebut diangkat menjadi norma didalam UUD 1945. Wewenang DPR untuk

    menyetujui rancangan undang-undang sebagaimana terdapat dalam Pasal 20 UUD 1945

    sebelum perubahan dibagi secara bersama-sama sehingga DPR dan presiden setara dalam

    persetujuan. Secara konstitusional, ketentuan yan terdapat dalam Pasal 20 UUD 1945

    sebelum perubahan posisi DPR lebih kuat dalam persetujuan rancangan undang-undang

    karena wewenang untuk menyetujui rancangan undang-undang berada di tangan DPR

    atau tidak dibagi dengan presiden.34

    Dengan perubahan itu, dalam proses pembahasan dan persetujuan rancangan

    undang-undang ketentuan yang terdapat dalam Pasal 20 Ayat (2) dan (3) UUD 1945

    bergeser memperkuat posisi presiden dalam fungsi legislasi. Pergeseran itu terjadi karena

    wewenang presiden dalam pembahasan dan persetujuan rancangan undang-undang sama

    kuatnya dengan wewenang DPR. Dengan menggunakan pendapat yang dikemukakan

    Charles O. Jones, hasil perubahan UUD 1945 membagi ultimate authority fungsi legislasi

    33Ibid.

    34Saldi Isra, Op.Cit, hlm 222

  • 7/22/2019 Hukum kelembaganegaraaan

    19/25

    19

    kepada DPR dan presiden. Padahal, dalam system pemerintahan presidensial,

    pembahasan dan persetujuan rancangan undang-undang tidak dilakukan bersama-sama

    oleh pemegang kekuasaan legislative dan pemegang kekuasaan eksekutif. Seperti dalam

    pembahasan dan persetujuan rancangan undang-undang juga direduksi oleh

    ketidakjelasan aturan mekanisme pembahasan bersama dan persetujuan bersama antara

    DPR dan presiden dalam UU No. 10/2004 dan dalam Tatib DPR. Dengan praktik

    demikian, penguatan kewenangan presiden dalam pembahasan dan persetujuan

    rancangan undang-undang yang dinyatakan Pasal 20 Ayat (2) UUD 1945 hasil perubahan

    digeser melalui Tatib DPR, yaitu dengan cara mengaburkan mekanisme pembahasan

    bersama dan persetujuan bersama antara DPR dan presiden.35

    4. Pengesahan Rancangan Undang-UndangBerdasarkan rumusan yang terdapat dalam Pasal 21 Ayat (2) UUD 1945 sebelum

    perubahan tersebut, pengesahan dilakukan setelah proses persetujuan rancangan undang-

    undang. Namun, ketika praktik fungsi legislasi menyatukan pembahasan dan persetujuan

    bersama antara DPR dan presiden, praktik fungsi legislasi sekaligus memperkenalkan

    pengesahan materiil dan pengesahan formal dalam proses pembentukan undang-undang.

    Artinya dalam praktik, pengesahan tunggal berupa pengesahan formal yang terdapat

    dalam Pasal 21 Ayat (2) UUD 1945 sebelum perubahan diperluas dengan pengesahan

    materiil.

    Pengesahan Materiil. Sekalipun hasil perubahan UUD 1945 secara expressis

    verbs menyatakan pengesahan rancangan undang menjadi undang-undang, namun sejak

    sebelum perubahan UUD 1945 telah berlangsung dua model pengesahan rancangan

    undang-undang, yaitu pengesahan materiil dan pengesahan formal. Dengan praktik

    persetujuan bersama antara DPR dan presiden, pengesahan materiil rancangan undang-

    undang menjadi undang-undang telah terjadi sejak adanya persetujuan bersama antara

    DPR dan presiden (pemerintah) dalam sidang paripurna DPR. Pengesahan materiil tidak

    akan terjadi jika salah satu pihak (presiden dan/ atau DPR) menolak menyetujui

    rancangan undang-undang dalam sidang paripurna DPR.

    35Ibid, hlm 223

  • 7/22/2019 Hukum kelembaganegaraaan

    20/25

    20

    Pengesahan Formal. Jika pengesahan materiil tercapai, akan dilaksanakan

    pengesahan formal atas rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama oleh

    DPR dan presiden. Sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 20 Ayat (4) UUD

    1945, presiden akan mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui

    bersama untuk menjadi undang-undang. Dalam hal ini, Pasal 37 Ayat (1) UU No.

    10/2004 menyatakan, rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama oleh DPR

    dan presiden, disampaikan oleh pimpinan DPR kepada presiden untuk disahkan menjadi

    undang-undang. Untuk menghindari kemungkinan adanya penundaan penyampaian

    rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama, Pasal 37 Ayat (2) UU No.

    10/2004 menentukan secara ketat bahwa dalam tenggat waktu paling lama tujuh hari

    terhitung sejak tanggal persetujuan bersama, pimpinan DPR harus menyampaikannya

    kepada presiden.

    Pengesahan formal merupakan kelanjutan dari pengesahan materiil. Hal itu

    berarti, pengesahan materiil menjadi prasayarat konstutusional untuk adanya pengesahan

    formal. Apabila rancangan undang-undang tidak mendapatkan persetujuan bersama,

    maka secara konstitusional, presiden tidak perlu mengesahkan rancangan undang-undang

    tersebut. Dalam hal ini presiden tidak dapat dikatakan melanggar konstitusi (UUD 1945)

    apabila tidak mengesahkan rancangan undang-undang yang tidak disetujui bersama.

    Begitu sebaliknya, sebagai pemegang hak konstitusional pengesahan formal, Presiden

    tidak diperbolehkan mengesahkan rancangan undang-undang yang ketika persetujuan

    bersama DPR menolak untuk menyetujui rancangan undang-undang tersebut.

    Undang-Undang Tanpa Persetujuan Presiden. Sekalipun hasil pembahasan

    UUD 1945 meneguhkan praktik pembahasan bersama dan persetujuan bersama

    dalam fungsi legislasi, para pengubah UUD 1945 khawatir bahwa masih mungkin

    rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tidak akan disahkan oleh

    presiden. Untuk mengantisipasi hal itu, muncul Pasal 20 Ayat (5) UUD 1945

    menyatakan, dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut

    tidak disahkan oleh presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-

    undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-

    undnag dan wajib diundangkan.36

    36Ibid.Hlm 227

  • 7/22/2019 Hukum kelembaganegaraaan

    21/25

    21

    5. Pengundangan Undang-UndangSetelah perubaha UUD 1945, masalah mendasar yang terkait dengan

    pengundangan adalah pengundangan undang-undang yang tidak disahkan oleh presiden,

    dalam tenggat waktu 30 hari setelah mendapat persetujuan bersama anatara DPR dan

    presiden dalam rapat paripurna DPR, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi

    undang-undang dan wajib diundangkan. Sesuai dengan Pasal 48 UU No. 10/2004, yang

    ditunjuk untuk melakukan pengundangan adalah menteri yang tugas dan

    tanggungjawabnya di bidang perauran perundang-undangan, dalam hal ini Menteri

    Hukum dan Hak Asasi Manusia.37

    Dengan menggunakan hubungan presiden dan menteri dalam system

    pemerintahan presidensial, dengan posisi sebagai bawahan, aneh jika seorang menteri

    melakukan tindakan berbeda dengan keinginan presiden. Dalam system pemerintahan

    presidensial, presiden merupakan pemegang kekuasaan tunggal dan tertinggi. Saat

    presiden memutuskan tidak mengesahkan rancangan undang-undang menjadi undang-

    undang, seharusnya menteri membaca hal itu sebagai penolakan kabinet termasuk

    menteri yang diberi wewenang mengundangkan peraturan perundang-undangan. Oleh

    karena itu, Jimly Asshidiqie mengatakan, pengundangan suatu undang-undang yang tidak

    ditandatangani oleh presiden adalah pengundangan oleh pejabat yang tidak berwenang

    (onbevoegheid).38

    Oleh karena itu, agar tidak terjadi pengundangan undang-undang oleh pejabat

    yang tidak berwenang, penolakan presiden seharusnya dilakukan dalam fase pembahasan

    dan/atau persetujuan bersama. Dalam system legislasi yang dianut setelah perubahan

    UUD 1945, kesempatan bagi presiden untuk menolak rancangan undang-undang hanya

    dapat dilakukan dalam fase terebut. Khusus bagi presiden yang diberi hak konstitusional

    untuk mengesahkan secara formal, begitu menyetujui rancangan undang-undang dalam

    persetujuan bersama, presiden tidak dapat menolak untuk mengesahkannya.

    37Ibid.Hlm 227

    38Jimly Asshidiqie, 2006, Perihal Undang-undang di Indonesia, Sekertariat Jenderak Mahkamah Konstitusi Republik

    Indonesia, Jakarta, hlm305

  • 7/22/2019 Hukum kelembaganegaraaan

    22/25

    22

    Berdasarkan penjelasan tersebut, setelah perubahan UUD 1945, meski hasil

    perubahan UUD 1945 memperkuat kewenangan legislasi presiden, dalam praktik

    kewenangan tersebut digeser oleh Peraturan Tata Tertib DPR, yaitu dengan cara tidak

    mengatur secara jelas posisi presiden dalam pembahasan dan persetujuan bersama

    rancangan undang-undang. Kesempatan itu muncul karena UU No. 1/2004 menyerahkan

    pengaturan mekanisme pembahasan dan persetujuan rancangan undang-undang kepada

    Peraturan Tata Tertib DPR juga makin mereduksi peran DPD dalam pembentukan

    undang-undang. Karena kelemahan dalam tatib DPR, semua rancangan undang-undang

    yang berasal dari DPD tidak pernah ditindaklanjuti oleh DPR.

    BAB III

  • 7/22/2019 Hukum kelembaganegaraaan

    23/25

    23

    KESIMPULAN

    1) Sebelum adanya perubahan UUD 1945 kekuasaan Presiden dalam membuat Undang-Undang sangatlah besar. Hal ini dapat dilihat dari masa pemerintahan Orde Baru (Soeharto),

    kekuasaan membuat Undang-Undang ada di tangan Presiden. Sesuai pasal 5 ayat (1) DPR

    hanya sekedar memberikan persetujuan atas Undang-Undang itu. Perubahan yang berkaitan

    dengan kekuasaan Presiden dan DPR, perubahan pertama UUD 1945 terhadap Pasal 5 ayat

    (1) dan Pasal 20 UUD 1945 dipandang sebagai permulaan terjadinya pergeseran executive

    heavy ke arah legislatif heavy. Hal tersebut terlihat dari pergeseran kekuasaan Presiden

    dalam membentuk Undang-Undang yang diatur dalam Pasal 5, berubah menjadi Presiden

    berhak mengjukan Rancangan Undang-Undang, dan DPR memegang kekuasaan membentukUndang-Undang (Pasal 20). Perubahan pasal-pasal tersebut memindahkan titik berat

    kekuasaan legislatif nasional yang semula berada di tangan Presiden beralih ke tangan DPR.

    2) Sesudah amandemen UUD 1945kekuasaan legislasi ada ditangan DPR dengan persetujuandari Presiden (Pasal 20 ayat (2) perubahan pertama UUD 1945). Dengan demikian, telah

    terjadi perubahan kewenangan legislasi dari Presiden dengan persetujuan DPR kepada DPR

    dengan persetujuan bersama. Selain memiliki fungsi legislasi, DPR juga memiliki fungsi

    anggaran dan pengawasan (Pasal 20A ayat (1) perubahan kedua UUD 1945). Sementara

    kewenangan mengajukan Rancangan Undang-Undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk

    mendapat persetujuan bersama (Pasal 20 ayat (2) perubahan pertama UUD 1945).

    DAFTAR PUSTAKA

  • 7/22/2019 Hukum kelembaganegaraaan

    24/25

    24

    Buku

    1. Retno Saraswati, 2012. Desain Sistem Presidensial Yang Efektif. Fakultas HukumUniversitas Dipongoro.

    2. Paul Christoper Manuel dan Anne Maria Carmissa. 1999. Checks and Balance? How aPaliamentary System Could Changed American Politics.Westview Press. United State Of

    America.

    3. Saldi Isra. 2010. Pergeseran fungsi legislasi; Menguatnya Model Legislasi ParlementerDalam Sistem Presidensial Indonesia. Rajawali Pers. .Jakarta.

    4. Jose Antonio Cheibub, Adam Przeworzki, and Sebastian M. Saiegh. 2004. GovernmentCoalitions and Legislative Success Under Presidentialism and Parliamentarism.

    Dalam British Journal of Political Science.

    5. Jose Antonio Cheibub, Adam Przeworzki, and Sebastian M. Saiegh, 2004, GovernmentCoalitions and Legislative Success Under Presidentialism and Parliamentarism,

    dalam British Journal of Political Science, No. 34.

    6. ScottMainwaring, 1990, Presidentialism in Latin America,Latin American ResearchReview.

    7. Juan J. Linz. 1994. Presidential or Parliamentary Democracy: Does it Make a Difference?dalam Juan J. Linz and Arturo Venezuela, eds,The Failure of Presidential Democracy: The

    Case of Latin America, Johns Hopkins, Baltimore.

    8. Saiful Mujani. 2002.JadikanPresiden Hanya sebagai Kepala Negara, dalam Gerak Politikyang Tertawan: Menggagas Ulang Prinsip-prinsip Lembaga Kepresidenan, The Center for

    Presidential and Parliamentary Studies, Jakarta.

    9. Scott Maiwaring, 1993,Presidentialism, Multipartism, and Democracy: the DifficultCombination,dalamJournal of Comparative Political Studies, Vol. 26, No. 2

    10.Scott Mainwaring & Mariano Torcal, 2005, Party System Institutionalization and PartySystem Theory After the Third Wave of Democratization, Working Paper 319

    11.Aulia A Rachman. 2007. Sistem Pemerintahan Presidentil Sebelum dan Sesudah PerubahanUUD 1945: Studi Ilmiah tentang Tipe Rezim, Tipe Institusi, dan Tipe Konstitusi . Disertasi,

    Program Doktor Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Jakarta.

  • 7/22/2019 Hukum kelembaganegaraaan

    25/25

    25

    12.Ali Masykur Musa. 2003. Sistem Pemilu: Proporsional Terbuka, Pustaka, Pustaka IndonesiaSatu dan UNDP. Jakarta.

    13.A. Hamid S. Attamimi. 1990. Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalamPenyelenggaraan Pemerintahan. Disertasi, Fakultas Pascasarjana UI

    14.Bagir Manan. 2003. DPR, DPD, dan MPR dalam UUD 1945 Baru. FH UII Press.Yogyakarta.

    15.RM. A.B. Kusuma. 2004. Lahirnya Undang-undang Dasar 1945. Badan Penerbit FakultasHukum Universitas Indonesia. Jakarta.

    16.Jimly Asshiddiqie. 2006. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara PascaReformasi, Sekertariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik

    Indonesia. Jakarta.

    17.Jimly Asshiddiqie. 2002.Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat. PusatStudi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Jakarta.

    18.Jimly Asshidiqie. 2006. Perihal Undang-undang di Indonesia. Sekertariat JenderakMahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Jakarta.

    19.W Riawan Tjandra, Hakikat Legislasi, Media Indonesia: 19 April 2012INTERNET

    1.

    Anonim, tanpa tahun, Governing Systems and Executive-Legislative Relations;Presidential, Parliamentary and Hybrid Systems,

    http://mirror.undp.org/magnet/Docs/parliaments/governing%20system.htm,dikunjungi

    22/09-2013.

    2. Anonim, 2012, Legislasi Dalam Sistem Kepresidenan,http://putrapogon.blogspot.com/2012/12/legislasi-dalam-sistem-presidensil.html,dikunjungi

    22/09-2013

    3. Anonim, 2011,Partisipasi Politik Militer Studi Perbandingan Partisipasi Politik Di ZamanOrde Baru dengan Era Reformasi,

    http://sefasdesak.wordpress.com/2011/05/10/perbandingan-partisipasi-politik-zaman-orde-

    baru-dengan-era-reformasi/,dikunjungi 23/09-2013

    http://mirror.undp.org/magnet/Docs/parliaments/governing%20system.htmhttp://putrapogon.blogspot.com/2012/12/legislasi-dalam-sistem-presidensil.htmlhttp://sefasdesak.wordpress.com/2011/05/10/perbandingan-partisipasi-politik-zaman-orde-baru-dengan-era-reformasi/http://sefasdesak.wordpress.com/2011/05/10/perbandingan-partisipasi-politik-zaman-orde-baru-dengan-era-reformasi/http://sefasdesak.wordpress.com/2011/05/10/perbandingan-partisipasi-politik-zaman-orde-baru-dengan-era-reformasi/http://sefasdesak.wordpress.com/2011/05/10/perbandingan-partisipasi-politik-zaman-orde-baru-dengan-era-reformasi/http://putrapogon.blogspot.com/2012/12/legislasi-dalam-sistem-presidensil.htmlhttp://mirror.undp.org/magnet/Docs/parliaments/governing%20system.htm