hukum kelembaganegaraaan
TRANSCRIPT
-
7/22/2019 Hukum kelembaganegaraaan
1/25
1
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar BelakangAmandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah
mengakibatkan terjadinya perubahan dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia
termasuk dalam hal fungsi legislasi dalam pola hubungan lembaga kepresidenan dengan
DPR. Perubahan dilatar belakangi adanya kehendak untuk membangun pemerintahan yang
demokratis dengan " checks and balances " yang setara dan seimbang diantara cabang -
cabang kekuasan. Sebelum Amandemen Pasal 5 Ayat 1 Undang - Undang Dasar Tahun
1945 menyatakan bahwasanya Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang
setelah Amandemen Presiden hanya berhak mengajukan rancangan undang - undang kepada
Dewan Perwakilan Rakyat. Hal ini lebih dipertegas dalam Pasal 20 Ayat 1 Amandemen
yang menyatakan Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-
undang, disini terlihat terjadinya pergeseran kekuasan Presiden dalam bidang legislasi.
Amandemen merupakan suatu upaya untuk mengurangi kekuasaan Presiden yang terlalu
besar. Oleh karena itu lah melalui penulisan makalah ini akan terlihat bahwa terjadi
pergeseran fungsi legislasi Presiden dalam hal pembentukan undang-undang dari tanganPresiden ke tangan Dewan Perwakilan Rakyat, namun pada prinsipnya Presiden dan Dewan
Perwakilan ltakyat tetap bekerjasama dalam hal pembentukan undang-undang karena
Presrden nantinya yang akan mengesahkan rancangan undang-undang yang telah dibahas
oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Di sini peran serta dan kerjasama yang baik antara Presiden
dan lembaga-lembaga negara yang lain sangat diperlukan demi terwujudnya tujuan Negara.
B.Rumusan Masalah1. Apa hakikat dari legislasi itu ?2. Bagaimana fungsi legislasi dalam system pemerintahan presidensial ?3. Bagaimana fungsi legislasi sebelum perubahan UUD 1945 pada masa orde baru ?4. Bagaimana implikasi praktik legislasi setelah perubahan UUD 1945 ?
-
7/22/2019 Hukum kelembaganegaraaan
2/25
2
BAB II
PEMBAHASAN
A.Hakikat LegislasiLEGISLASI selama ini dikenal merupakan proses dan produk pembuatan undang-
undang (the creation of general legal norm by special organ). Sering arti legislasi itu
dikaitkan dengan upaya badan parlemen untuk membentuk undang-undang sebagai primary
legislation, yang dibedakan dengan otoritas badan pelaksana/eksekutif untuk membuat
peraturan pelaksanaan undang-undang sebagai secondary legislation melalui proses regulasi.
Namun, sering kedua istilah tersebut (legislasi dan regulasi) disamakan artinya karena
memang pengertian legislasi dalam arti luas mencakup pula pengertian regulasi, yaitu bahwa
legislasi dalam arti luas termasuk pula pembentukan peraturan pemerintah dan peraturan-
peraturan lain yang mendapat delegasian kewenangan dari undang-undang (delegation of
rule making power by the laws).
Regulasi sendiri sejatinya memiliki makna proses menetapkan peraturan umum oleh
badan eksekutif atau badan yang memiliki kekuasaan atau fungsi eksekutif. Kekuasaan
tersebut merupakan kekuasaan delegasian (delegation of legislative power, delegation of rule
making power, delegatie van wetgevendemacht).
Proses legislasi merupakan upaya untuk membentuk norma hukum yang ditetapkan
sebagai pedoman perilaku (the guidance of behaviour) bagi masyarakat. Norma tersebut
berasal dari kata nomos yang berarti nilai dan kemudian dipersempit maknanya menjadi
norma hukum. Jadi, hakikat proses legislasi adalah proses pelembagaan nilai yang dapat
dipergunakan sebagai ukuran baik/buruk dan boleh/tidak suatu perbuatan dilakukan
seseorang yang dapat dilekati dengan sanksi sebagai pemaksa kepatuhan (legal and order).
Tak dapat disangkal bahwa pembentukan suatu norma hukum (arti sempit dari nomos)
dilakukan melalui suatu proses legislasi yang dilakukan parlemen sebagai lembaga politik
-
7/22/2019 Hukum kelembaganegaraaan
3/25
3
dan di beberapa negara dilakukan bersama-sama dengan eksekutif. Proses yang sarat dengan
muatan politik tersebut selama ini dikesankan undang-undang sebagaiprimary
legislationadalah produk politik. Namun, pemahaman seperti itu tak boleh dilepaskan dari
hakikat makna dari legislasi untuk membentuk suatu nilai (nomos). Jika makna legislasi
dilepaskan dari upaya pembentukan nomos dan hanya menekankan pada prosesnya dapat
berimplikasi makna legislasi direduksi sekadar sebagai hasil dari proses tawarmenawar
politik (political bargaining) yang mencabut makna legislasi dari makna hakikinya. Hal
kedua itulah yang selama ini terjadi dalam realitas proses legislasi di negeri ini.
Dalam telaah filsafat legislasi, sebuah legislasi yang baik dalam pandangan Max
Weber harus legitimate. Menurut Weber, sebuah produk hukum tergolong legitimate
manakala di dalamnya terkandung keistimewaan sebagai teladan dan mampu mendorong
kepatuhan. Ketika seseorang mematuhi produk hukum bukan karena kepentingan diri,
melainkan karena kepercayaan terhadap nilai substantif sebuah produk hukum, di situlah
suatu produk hukum sebagai hasil dari proses legislasi memiliki legitimasi.
Proses legislasi yang dilaksanakan badan parlemen bersama dengan eksekutif di negeri
ini harus sampai pada upaya untuk menghasilkan berbagai produk hukum yang memiliki
legitimasi yang di dalamnya terkandung nilai (nomos). Semua itu tentunya menghendaki para
legislator yang mampu menjadi anutan/ teladan dalam perilaku dan pelaksanaan fungsisebagai wakil rakyat.
Para wakil rakyat yang bermasalah dan kemudian bertindak sebagai legislator hanya
akan menghasilkan proses legislasi yang bermasalah dengan berbagai produk hukum yang
sebenarnya hanya menjadi bukti kasat mata kepentingan politik/kelompok/parsial yang diberi
baju hukum dan agar `berkesan' sebagai sebuah norma, kepadanya diatasnamakan
`kepentingan rakyat'.1
B.Fungsi Legislasi Dalam Sistem Presidensial1W Riawan Tjandra, Hakikat Legislasi, Media Indonesia: 19 April 2012
-
7/22/2019 Hukum kelembaganegaraaan
4/25
4
Konstitusi kita telah menegaskan melalui ciri- cirinya, bahwa Indonesia menganut
sistem pemerintahan presidensial, akan tetapi sistem presidensial ini diterapkan dalam
konstruksi politik multipartai. Sistem multipartai merupakan sebuah konteks politik yang
sulit dihindari karena Indonesia merupakan negara yang memiliki tingkat kemajemukan
masyarakat yang sangat tinggi dan tingkat pluralitas sosial yang kompleks. Secara teoretis,
presidensialisme menjadi masalah kalau berkombinasi dengan sistem multipartai.
Ketidakstabilan pemerintahan dalam sistem presidensial diyakini semakin kentara bila
dipadukan dengan sistem multipartai. Pengalaman di beberapa negara yang mampu
membentuk pemerintahan yang stabil karena memadukan sistem presidensial dengan sistem
dwi partai, bukan multipartai, contohnya Amerika Serikat.2
Pemisahan yang tegas antara cabang kekuasaan eksekutif dan cabang kekuasaan
legislative menjadi titik penting untuk menjelaskan fungsi legislasi dalam system
pemerintahan presidensial. Menurut Christoper Manuel dan Anne M. Carmissa, salah satu
karakter mendasar dari system presidensial adalahseparation of Legislative (congressional)
dan executive (presidential) power.3
Dengan pemisahan itu, dalam system presidensial, badan legislative menetukan
agendanya sendiri, membahas dan menyetujui rancangan udang-undang pun sendiri pula.
Biasanya, lembaga legislative mengusulkan dan menformulasikan dan dapat bekerja sama
dengan eksekutif dalam merumuskan legislasi, terutama pada saat partai politik yang sama
berkuasa di kedua cabang pemerintahan itu.4
Meskipun kekuasaan membentuk undang-undang berada di lembaga legislative,
eksekutif dapat mengusulkan rancangan undang-undang. Biasanya rancangan undang-
undang tersebut disampaikan kepada angota-anggota legislative atau melalui partai politik
(pendukung eksekutif) untuk diajukan di lembaga legislative.5
Namun demikian, secara umum karakter fungsi legislasi dalam system pemerintahan
presidensial adalah sebagai berikut :
2Retno Saraswati, 2012, Desain Sistem Presidensial Yang Efektif, Fakultas Hukum Universitas Dipongoro, hal 137
3Paul Christoper Manuel dan Anne Maria Carmissa, 1999, Checks and Balance? How a Paliamentary System Could
Changed American Politics, United State Of America, Westview Press, hlm 16.4Saldi Isra,2010, Pergeseran fungsi legislasi; Menguatnya Model Legislasi Parlementer Dalam Sistem Presidensial
Indonesia, Jakarta,Rajawali Pers, hal825Ibid.
-
7/22/2019 Hukum kelembaganegaraaan
5/25
5
1. The legislature tends to have broad powers to amend any legislation. Lack ofresources, and other factory may act to blunt this power.
2. The potential for legislative assertiveness is greater in presidential systems, but theactual realization ( and staffing up for assertiveness) depends on the presence of other
conditions.
3. Legislatures in presidential system are more likely to have specialized and permanentstanding committees and subcommittees with a number of professional staff to help
draft, review and amend legislation.
4. Via the comitte system, the legislature has extensive powers to call expert witness,members of the cabinet, presidential advisors, etc. for public or private hearings before
the legislature.
5. The president can veto legislaton, which can only be overridden by 2/3 vote in thelegislature.
6
Karakter umum tersebut menjelaskan, lembaga legislative cenderung mempunyai
kekuasaan besar dalam proses legislasi. Sekalipun dalam praktik kekuasaan tersebut amat
mungkin berkurang karena disebabkan oleh factor keterbatasan sumber daya manusia,
kekuasaan partai politik pendukung presiden di lembaga legislative, atau system kepartaian
dominan fungsi legislasi berada di tangan lembaga legislative. Untuk itu presiden diberikan
hak untuk menolak (berupa hak veto) rancangan undang-undang yang sudah disetujui
legislative. Namun, hak veto presiden dapat dibatalkan lembaga legislative dengan
komposisi suara tertentu.7
Sejak Pemilihan Umum 1999, praktik sistem pemerintahan presidensial Indonesia
beralih dari sistem kepartaian dominan(dominant party) menjadi sistem kepartaian majemuk
(multiparty). Melalui perubahan UUD 1945, peralihan itu diikuti dengan purifikasi sistem
pemerintahan presidensial. Berdasarkan ketentuan Pasal 6A UUD 1945, salah satu upaya
purifikasi tersebut pemilihan presiden dan wakil presiden dilakukan secara langsung.
Gambaran praktik sistem pemerintahan presidensial yang dibangun dengan model
6Anonim, tanpa tahun, Governing Systems and Executive-Legislative Relations; Presidential, Parliamentary and
Hybrid Systems, http://mirror.undp.org/magnet/Docs/parliaments/governing%20system.htm, dikunjungi 22/09-
2013.7Saldi Isra, op. cit, hlm 83
http://mirror.undp.org/magnet/Docs/parliaments/governing%20system.htmhttp://mirror.undp.org/magnet/Docs/parliaments/governing%20system.htm -
7/22/2019 Hukum kelembaganegaraaan
6/25
6
kepartaian majemuk baru dapat dilihat agak lebih utuh setelah Pemilihan Umum (Pemilu)
2004. Gagal menghasilkan pemenang mayoritas, pemilu pertama paska perubahan UUD
1945 menghasilkan 17 partai politik yang mendapat kursi di DPR.
Dibandingkan dengan sistem pemerintahan parlementer, sistem kepartaian dalam sistempresidensial menjadi isu yang amat menarik karena anggota lembaga legislatif dan presiden
dipilih secara langsung oleh rakyat (pemilih). Bila mayoritas anggota legislatif menentukan
pilihan politik yang berbeda dengan presiden, sering kali sistem pemerintahan presidensial
terjebak dalam pemerintahan yang terbelah (divided government) antara legislatif dengan
eksekutif. Dukungan legislatif makin sulit didapat jika pemerintahan presidensial dibangun
dalam sistem multipartai.
Ada kekhawatiran dalam UUD 1945 hasil amandemen adalah menguatnya dominasieksekutif (presiden) dalam fungsi legislasi atau pembuatan undang-undang. Ini
berseberangan dengan tujuan amendemen konstitusi yang dilakukan dalam era reformasi,
yakni mengembalikan eksekutif, legislatif, dan yudikatif pada peran semestinya di negara
penganut sistem presidensial. Akar persoalan ini, ada di Pasal 5 ayat 1 hasil amendemen.
Yang berbunyi Presiden memegang membentuk undang-undang dengan persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat dan Pasal 20 ayat 2 UUD 1945 yang berbunyi jika rancangan
undang-undang tidak mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, maka rancangan
tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.
Kedua pasal ini memberi peran eksekutif terlibat dari tahap pengajuan (inisiatif),
pembahasan, persetujuan, pengesahan, hingga pengundangan. Singkatnya, eksekutif terlibat
di semua tahapan. Sedangkan keterlibatan Dewan Perwakilan Rakyat terhenti pada tahap
persetujuan. Padahal hakikat legislasi seharusnya menjadi kewenangan DPR.8
Kendala utama dalam pelaksanaan fungsi eksekutif dalam sistem presidensial tidak
murni adalah jika pemerintah tidak mendapat dukungan dari mayoritas parlemen. Faktanya
demikian sebab sistem multi partai akan selalu tidak kompatible terhadap sistem presidensil.
Sebab sangat sulit mencapai parlemen yang di dominasi oleh partai pemerintahan dalam
sistem pemilihan langsung yang dilakukan baik pada eksekutif maupun legislatifnya. Sistem
8Anonim, 2012, Legislasi Dalam Sistem Kepresidenan,http://putrapogon.blogspot.com/2012/12/legislasi-dalam-
sistem-presidensil.html,dikunjungi 22/09-2013
http://putrapogon.blogspot.com/2012/12/legislasi-dalam-sistem-presidensil.htmlhttp://putrapogon.blogspot.com/2012/12/legislasi-dalam-sistem-presidensil.htmlhttp://putrapogon.blogspot.com/2012/12/legislasi-dalam-sistem-presidensil.htmlhttp://putrapogon.blogspot.com/2012/12/legislasi-dalam-sistem-presidensil.htmlhttp://putrapogon.blogspot.com/2012/12/legislasi-dalam-sistem-presidensil.htmlhttp://putrapogon.blogspot.com/2012/12/legislasi-dalam-sistem-presidensil.html -
7/22/2019 Hukum kelembaganegaraaan
7/25
7
presidensil hanya akan kuat jika, pemerintahan berasal dari partai pemenangan pemilu
legislatif yang mayoritas di parlemen. Adalah wajar jika eksekutif berani mengeluarkan
undang-undang yang bertentangan dengan Kostitusi (UUD)[5] yang sudah bisa dipastikan
tidak mendapatkan perlawanan yang berarti dari legislatif. Proses politiklah yang menjadi
penentu lahirnya sebuah regulasi. Dominannya unsur politik dalam pembentukan Undang-
undang menyebabkan kuatnya politik transaksional dalam praktek perundangan.
Batasan kewenangan, fungsi dan bentuk lembaga Negara menjadi hal penting dalam
real penyelenggaraan Negara. Dalam praktek penyelenggaraan Negara, kendala utama
dalam mencapai situasi stabil dalam pengertian pemerintahan bisa berjalan efektif adalah
bahwa masing-masing lembaga kekuasaan berfungsinya dalam batas kewenangan yang
terpisah (separation of power). Pemisahan (separation of power) dan bukan pembagian
(distribution of power) antara lembaga Negara terutama Eksekutif dan legislative.
Dengan situasi seperti saat ini, banyak kalangan meragukan kelangsungan dan stabilitas
pemerintah dalam sistem presidensial. Misalnya, Jose A. Cheibub, Adam Przeworzki, dan
Sebastian M. Saiegh dalam tulisan Government Coalitions and Legislative Success Under
Presidentialism and Parliamentarism mencatat banyak pendapat yang meragukan
kelangsungan dan stabilitas pemerintahan dalam sistem multipartai, seperti:9
1. Institutions shape incentives: presidentialism generates fewer or weaker incentives toform coalitions
2. Coalitions are difficult to form and rarely, only exceptionally, do form underpresidentialism.
3. When no coalition is formed under presidentialism, a long-term legislative impasseensues.
4. There is no alternative but deadlock.5. The norm is conflictual government.6. As a result, the very notion of majority government is problematic in presidential
systems without a majority party.
7. Stable multi-party presidential democracy is difficult, dan9Jose Antonio Cheibub, Adam Przeworzki, and Sebastian M. Saiegh, 2004, Government Coalitions and Legislative
Success Under Presidentialism and Parliamentarism, dalam British Journal of Political Science, No. 34, hal. 565-566
-
7/22/2019 Hukum kelembaganegaraaan
8/25
8
8. Presidential systems which consistently fail to provide the president with sufficientlegislative support are unlikely to prosper.
Pertanyaan mendasar yang selalu dikemukakan berkenaan dengan sistem pemerintahan
presidensial multipartai adalah: mengapa multipartai dan sistem pemerintahan presidensialsulit digabungkan? Menjawab pertanyaan tersebut, Scott Mainwaring dalam
Presidentialism in Latin Amerika mengatakan:10
The combination of a fractionalized party system and presidentialism is inconducive to
democratic stability because it easily creates difficulties in the relationship between
the president and the congress. To be effective, government must be able to push
through policy measures, which is difficult to do when the executive faces a sizeable
majority opposition in the legislature.
Sesuai dengan gambaran itu, keadaan dapat makin rumit karena kedua-kedua
institusi itu presiden dan lembaga legislatif-- sama-sama mendapat mandat langsung
rakyat. Berhubungan hal ini, Juan J. Linz mengemukakan pertanyaan yang amat mendasar:
who has the stronger claim to speak on behalf of the people?11
Karena klaim itu, Scott
Mainwaring menambahkan bahwa konflik antara eksekutif dan legislatif sering sekali
timbul bila partai-partai yang berbeda menguasai kedua cabang itu. Konflik yang
berkepanjangan dapat menimbulkan akibat yang buruk terhadap stabilitas demokrasi. Dalamfungsi legislasi, sulitnya mencapai kesepakatan antara legislatif dan Presiden yang sama-
sama mendapat mandat langsung dari rakyat. lembaga legislatif besar kemungkinan akan
ditolak oleh Presiden atau eksekutif. Berkaitan dengan hal itu, mengutip pendapat Scot
Mainwaring, Saiful Mujani menjelaskan, sistem multipartai dan sistem pemerintahan
presidensial adalah kombinasi yang sulit untuk sebuah pemerintahan yang demokratis12
.
Kesulitan ini terletak bukan saja pada masalah tidak mudahnya mencapai konsensus antara
dua lembaga, antara presiden dan lembaga legislatif, tetapi juga kekuatan-kekuatan di
10ScottMainwaring, 1990, Presidentialism in Latin America, Latin American Research Review, 25.
11Juan J. Linz, 1994, Presidential or Parliamentary Democracy: Does it Make a Difference? dalam Juan J. Linz and
Arturo Venezuela, eds,The Failure of Presidential Democracy: The Case of Latin America, Johns Hopkins, Baltimore,
hal. 1912
Saiful Mujani, 2002,JadikanPresiden Hanya sebagai Kepala Negara, dalam Gerak Politik yang Tertawan:Menggagas Ulang Prinsip-prinsip Lembaga Kepresidenan, The Center for Presidential and Parliamentary Studies,
Jakarta. Hal 9
-
7/22/2019 Hukum kelembaganegaraaan
9/25
9
lembaga legislatif sendiri. Berkenaan dengan dukungan lembaga legislatif kepada presiden
(eksekutif), meski presiden memenangkan pemilihan umum dan mendapat dukungan
mayoritas dari pemilih, tidak jarang partai politik presiden menjadi kekuatan minoritas di
lembaga legislatif. Karena presiden dan lembaga legislatif sama-sama mendapat mandat
langsung dari rakyat (pemilih), perbedaan partai mayoritas di lembaga legislatif dengan
partai politik presiden sering berdampak pada ketegangan di antara keduanya. Misalnya,
praktik sistem pemerintahan presidensial di Amerika Serikat perbedaan partai politik
mayoritas di kongres dengan partai politik presiden sering menimbulkan pemerintahan yang
terbelah (divided government).
Tidak hanya dalam sistem dua partai, perbedaan suara mayoritas di lembaga legislatif
dengan partai politik pendukung presiden juga terjadi dalam sistem multi-partai. Biasanya,
untuk mendapatkan dukungan di lembaga legislatif, presiden melakukan koalisi dengan
sejumlah partai politik. Namun demikian, Scott Mainwaring mengemukakan, pembentukan
koalisi dalam sistem presidensial jauh lebih sulit dibandingkan dengan koalisi dalam sistem
parlementer. Kesulitan itu terjadi karena dalam sistem presidensial coalitions are not
institutionally necessary dan sistem presidensial not conducive to political cooperation.
Kalaupun terbentuk, koalisi dalam sistem presidensial lebih rapuh (vulnerable)
dibandingkan dengan koalisi dalam sistem parlementer. Secara umum, sistem kepertaian
majemuk akan mempersulit konsolidasi antar-partai politik dalam fungsi legislasi.13
Bagaimanapun, seperti dikemukakan Giovanni Sartori, Presiden tetap memerlukan
dukungan lembaga legislatif. Tanpa dukungan, Presiden akan menghadapi situasi sulit yang
mengancam stabilitas pemerintah. Biasanya, situasi seperti itu akan menimbulkan konflik
antara Presiden dan lembaga legislatif.
Terkait dengan hal itu, Scott Mainwaring mengemukakan bahwa dalam situasi sulit dan
konflik itu presiden dapat melakukan (salah satu) langkah dari beberapa pilihan berikut ini:
pertama, the president can attempt to bypass congress, tetapi tindakan ini dapat merusak
demokrasi.14
Dalam situasi seperti ini, partai-partai oposisi dapat menilai dan menuduh
13Scott Maiwaring, 1993,Presidentialism, Multipartism, and Democracy: the Difficult Combination,dalamJournal
of Comparative Political Studies, Vol. 26, No. 2.14
Scott Mainwaring & Mariano Torcal, 2005, Party System Institutionalization and Party System Theory After
the Third Wave of Democratization, Working Paper 319
-
7/22/2019 Hukum kelembaganegaraaan
10/25
10
presiden melanggar konstitusi. Bahkan, sejumlah pengalaman menunjukkan bahwa cara
seperti itu dapat mengundang intervensi militer. Kedua, the president can seek constitutional
reforms in order to obtain broader powers. Pilihan pada langkah kedua ini akan mengurangi
kesempatan untuk terjadinya negosiasi dan kompromi antara presiden lembaga
legislatif.Ketiga, the president can attempt to form a coalition government. Upaya
membentuk pemerintahan koalisi mungkin dilakukan dalam sistem presidensial untuk
mendapatkan dukungan di lembaga legislatif. Dalam praktik, koalisi merupakan cara paling
umum dilakukan oleh pemerintah yang hanya mendapatkan dukungan minoritas (minority
government). Sebagai dikemukakan Jose Antonio Cheibub pada awal tulisan ini, minority
government adalah pemerintah yang tidak mengontrol suara mayoritas di lembaga legislatif
atau, dalam sistem bikameral, pemerintah tidak mengontrol suara mayoritas di salah satu
kamar di lembaga legislatif. Dalam kondisi minority government, tambah Jose Antonio
Cheibub :15
In much the same way as prime ministers in paliamentary system, presidents who find
themselves in a minority situation may enter into coalition to obtain the support of a
mojority in congress. They do so by distributing cabinet in congress. Goverment, thus, is
here defined by all the parties that hold cabinet positions, and the government legislative
support by sum of seats held by all parties that are in the government.
Dengan penjelasan Cheibub tersebut, presiden yang tidak mengontrol kekuatan
mayoritas di lembaga legislatif akan melakukan langkah seperti lazimnya yang dilakukan
pemenang minoritas pemilihan umum dalam sistem pemerintahan parlementer yaitu
melakukan koalisi dengan sejumlah partai politik. Langkah itu dilakukan untuk
mendapatkan dukungan mayoritas di lembaga legislatif. Dalam sistem pemerintahan
presidensial, cara yang paling umum dilakukan presiden adalah membagikan posisi menteri
kabinet kepada partai politik yang memberikan dukungan kepada presiden di lembaga
legislatif. Dengan cara seperti itu, membagi kekuasaan dengan semua partai politik yang
mendukung pemerintah. Namun, di tambahkan Scott Mainwaring, koalisi dalam sistem
15Jose Antonio Cheibub, Adam Przeworzki, and Sebastian M. Saiegh, 2004, Government Coalitions and LegislativeSuccess Under Presidentialism and Parliamentarism, dalam British Journal of Political Science, No. 34.
-
7/22/2019 Hukum kelembaganegaraaan
11/25
11
pemerintahan presidensial jauh lebih sulit dibandingkan dengan koalisi dalam sistem
pemerintahan parlementer. Dalam pandangan David Altman, kesulitan koalisi itu terjadi
karena coalitions are not institutionally necessary dan sistem pemerintahan presidensial not
conducive to political cooperation.
Sejalan dengan pendapat Mainwaring dan Altman, Jose A. Cheibub, Adam
Przeworzki, dan Sebastian M. Saiegh menegaskan:
Minority governments supported by a legislative majority should be legislatively successful
under both systems. They are not failures of coalition formation, but a result of
compromises about policies. Yet presidential minorities facing hostile legislative majorities
fail to pass legislation. When the presidents party likes the outcome of the legislative
impasse, presidents willingly go down to defeat. But the president may want to passlegislation and still may be unable to do so when a legislative majority expects to gain more
by opposing governments legislative initiatives. We should thus see minority governments
to be generally quite successful legislatively but less successful under presidentialism.
Menguatkan pendapat di atas, dalam tulisan Constitutional Frameworks and
Democratic Consolidation: Parliamentarianism and Presidentialism Alfred Stepan & Cindy
Skach menambahkan:
There are far fewer incentives for coalitional cooperation in presidentialism. The office of
presidency is nondivisible. The presiden may select members of the political parties other
than his own to serve in the cabinet, but they are selected as individuals, not as members of
an enduring and diciplined coalition.
Karena itu, dalam tulisan Presidentialism, Multipartism, and Democracy: The
Difficult Combination Mainwaring menyatakan bahwa the combination of presidentialism
and multipartism is complicated by the difficulties of interparty coalition-buliding in
prresidential democracies. Jika dibandingkan dengan pembentukan koalisi dalam sistem
parlementer, Scott Mainwaring mengemukakan tiga perbedaan koalisi multi-partai dalam
sistem pemerintahan presidensial.
Pertama, dalam sistem parlementer, koalisi partai politik yang memilih menteri-
menteri dan perdana menteri. Karenanya, mereka bertanggung jawab memberikan dukungan
-
7/22/2019 Hukum kelembaganegaraaan
12/25
12
kepada pemerintah. Sedangkan dalam sistem presidensial, presiden membentuk sendiri
kabinetnya (presidents put together their own cabinets) dan partai politik punya komitmen
yang rendah untuk mendukung presiden. Kedua, berbeda dengan sistem parlementer, dalam
banyak sistem pemerintahan presidensial, anggota legislatif dari partai politik yang punya
menteri di kabinet tidak mendukung pemerintah. Ketiga, secara umum, keinginan partai
politik untuk membubarkan koalisi lebih kuat dalam sistem pemerintahan presidensial.16
C.Fungsi Legislasi Sebelum Perubahan UUD 1945 Pada Masa Orde BaruSetelah Pemilihan Umum 1971 dilaksanakan dan sidang MPR 1973 memilih kembali
Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia, semua agenda ketatanegaraan berubah
menjadi rutinitas kenegaraan untuk memperkuat posisi presiden menjadi pusat kekuasaan
Negara. Praktik system pemerintahan benar-benar mengarah kepada concentration of power
and responsibility upon the President sebagaimana termaktub dalam penjelasan Angka IV
UUD 1945. Keberhasilan melaksanakan pemilihan umum pada 1971 (pemilihan kedua sejak
Indonesia merdeka) memberi legitimasi kuat kepada Presiden Soeharto dan Rezim Orde
Baru. Pelaksanaan Pemilihan Umum 1971 menandai permulaan pemilihan umum regular
sepanjang kekuasaan Soeharto. Keteraturan pelaksanaan pemilihan umum itu diikuti pula
dengan partisipasi pemilih yang selalu mencapai angka diatas 90% makin memperkuat
legitimasi politik orde baru.17
Sepanjang kekuasaan Orde Baru, karena tidak diatur dalam UUD 1945,18 proses
penyelenggaraan pemilihan umum sangat tergantung pada undang-undang yang mengatur
pemilihan umum. Jamak dikeahui, karena dominasi pemerintah dan Golkar di DPR, semua
aturan tentan penyelenggaraan pemilihan umum menjadi sulit diatur di luar mindset
pemerintah dan Golkar. Karena pemerintahan adalah pemerintahan Golkar maka seluruh
program pemilihan selalu diupayakan untuk memenangkan Golkar.19
Sekalipun dalam semua undang-undang tentang pemilihan umum sepanjang
kekuaasaan Orde Baru disebutkan bahwa pemilihan umum adalah untuk memilih anggota
16Anonim, Op.cit, ,http://putrapogon.blogspot.com/2012/12/legislasi-dalam-sistem-presidensil.html
17Aulia A Rachman, 2007, Sistem Pemerintahan Presidentil Sebelum dan Sesudah Perubahan UUD 1945: Studi
Ilmiah tentang Tipe Rezim, Tipe Institusi, dan Tipe Konstitusi, Disertasi, Program Doktor Pascasarjana Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, Hal 24918
Ali Masykur Musa, 2003, Sistem Pemilu: Proporsional Terbuka, Pustaka, Pustaka Indonesia Satu dan UNDP,
Jakarta, hlm 319
Ibid.
http://putrapogon.blogspot.com/2012/12/legislasi-dalam-sistem-presidensil.htmlhttp://putrapogon.blogspot.com/2012/12/legislasi-dalam-sistem-presidensil.htmlhttp://putrapogon.blogspot.com/2012/12/legislasi-dalam-sistem-presidensil.htmlhttp://putrapogon.blogspot.com/2012/12/legislasi-dalam-sistem-presidensil.html -
7/22/2019 Hukum kelembaganegaraaan
13/25
13
DPR dipilih melalui pemilihan umum. Pasal 10 Ayat (3) Undang-undang Nomor 16 Tahun
1969 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD, menyatakan bahwa jumlah
anggota DPR ditetapkan sebanyak 460 orang, terdiri dari 360 orang dipilih dalam pemilihan
umum dan 100 orang diangkat.20
Komposisi anggota DPR antara yang dipilih dengan yang
diangkat (360:100) tersebut bertahan sampai pemilihan umum 1982. Perubahan baru terjadi
pada Pemilihan Umum 1987. Pasal 10 Undang-undang Nomor 2 Tahun 1985 tentang
Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD, menyatakan :
1) Dewan Perwakilan Rakyat terdiri atas wakil-wakil dari (a). organisasi peserta pemilhanumum, dan (b) golongan karya ABRI
2) Pengisian keanggotaan DPR dilakukan dengan cara pemilihan umum dan pengangkatan3) Jumlah anggota DPR ditetapkan sebanyak 500 orang, terdiri dari 400 orang dipilih
melalui pemilihan umum dan 100 orang diangkat.
4) Anggota DPR yang diangkat sebanyak 100 orang sebagaiamana dimaksud dalam ayat(3) diambilkan dari golongan karya ABRI dan pengangkatannya ditetapkan oleh
presiden atas usul Panglima Angkatan Bersenjata.
Dengan dominasi jumlah Golkar dan ABRI di DPR, lembaga ini benar-benar berada
dibawah kendali kekuasaan Orde Baru dibawah pimpinan Presiden Soeharto. Berikut ini
gambaran fungsi legislasi sepanjang kekuasaan Orde Baru.
Sesat Tafsir Pasal 5 Ayat (1) UUD 1945. Setting memberikan kursi gratis kepada
ABRI dan dominasi Golkar di DPR berimplikasi pada performance di DPR berimplikasi
pada fungsi legislasi. Selama periode Orde Baru, fungsi legislasi dipegang oleh presiden
sementara DPR hanya memberikan persetujuan21
. Dalam hal ini A. Hamid S. Attamimi
berpendapat, apabila ditafsirkan secara harfiah, ketentuan Pasal 5 Ayat (1) UUD 1945 yang
menyatakan bahwa Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, Presidenlah yang memegang kekuasaan membentuk
20Anonim, 2011, Partisipasi Politik Militer Studi Perbandingan Partisipasi Politik Di Zaman Orde Baru dengan Era
Reformasi,http://sefasdesak.wordpress.com/2011/05/10/perbandingan-partisipasi-politik-zaman-orde-baru-
dengan-era-reformasi/,dikunjungi 23/09-201321
Saldi Isra, Op.Cit, hlm 139
http://sefasdesak.wordpress.com/2011/05/10/perbandingan-partisipasi-politik-zaman-orde-baru-dengan-era-reformasi/http://sefasdesak.wordpress.com/2011/05/10/perbandingan-partisipasi-politik-zaman-orde-baru-dengan-era-reformasi/http://sefasdesak.wordpress.com/2011/05/10/perbandingan-partisipasi-politik-zaman-orde-baru-dengan-era-reformasi/http://sefasdesak.wordpress.com/2011/05/10/perbandingan-partisipasi-politik-zaman-orde-baru-dengan-era-reformasi/http://sefasdesak.wordpress.com/2011/05/10/perbandingan-partisipasi-politik-zaman-orde-baru-dengan-era-reformasi/http://sefasdesak.wordpress.com/2011/05/10/perbandingan-partisipasi-politik-zaman-orde-baru-dengan-era-reformasi/ -
7/22/2019 Hukum kelembaganegaraaan
14/25
14
undang-undang, sedangkan DPR memberi (atau tidak memberi) persetujuan terhadap
pelaksanaan kekuasaan yang berada pada presiden tersebut.22
Pasal 5 Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa presiden memegang kekuasaan
membentuk undang-undang, bagi Bagir Manan ketentuan itu bukan saja membingungkantetapi mengandung anomaly, karena dalam system pemerintahan mana pun kekuasaan
membentuk undang-undang ada pada lembaga perwakilan rakyat sebagai pemegang
kekuasaan legislative.23
Selain mengandung anomaly, praktik ketatanegaraan sepanjang
kekuasaan soeharto, ketentuan Pasal 5 Ayat (1) UUD 1945 menimbulkan berbagai persoalan
berikut :
Pertama, kekuasaan presiden menjadi begitu kuat, termasuk menentukan isi undang-
undan. Tidak jarang perbedaan pendapat antara frasi di DPR atau antara pemerintahmengenai naskah suatu rancangan undang-undang, diselesaikan menurut kehendak
presiden atau pesan presiden, atau setelah menghadap presiden. Kedua, ketentuan itu
sangat mengendurkan kemauan DPR untuk menggunakan hak inisiatif mengajukan
rancangan undang-undang. Ketiga, seolah-olah setiap rancangan undang-undang.
Ketiga, seolah-olah setiap rancangan undang-undang harus disetujui dan DPR harus
menyetujui sesuai kehendak pemerintah, khususnya presiden.24
Menegaskan pendapat tersebut, Bagir Manan mengatakan bahwa dalam pelaksanaanfungsi legislasi sepanjang kekuasaan Orde Baru, tidak berarti tidak ada perubahan atas
rancangan undang-undang yang diajukan presiden. Namun itu dapat dilakukan sepanjang
tidak bertentangan dengan kehendak Presiden.25
Dengan demikian, dominasi presiden dalam
proses legislasi tidak terlepas dari kekeliruan pemahaman bahwa fungsi legislasi berada di
tangan presiden. Padahal, dalam system presidensial, ketentuan yang terdapat dalam Pasal 5
Ayat (1) UUD 1945 harus dimaknai sebagai kewenagan mengajukan rancangan undang-
undang. Dari konteks historis, penafsiran seperti itu dapat dibenarkan karena pembentuk
UUD 1945 mengakui bahwa inisiatif untuk membentuk rancangan undang-undang terletak di
2222A. Hamid S. Attamimi, 1990, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan, Disertasi, Fakultas Pascasarjana UI, hal 14623
Bagir Manan, 2003.DPR, DPD, dan MPR dalam UUD 1945 Baru. FH UII Press, Yogyakarta, hal 20.24
Ibid. hlm 20-2125
Ibid. hlm 21
-
7/22/2019 Hukum kelembaganegaraaan
15/25
15
tangan pemerintah.26
Inisiatif demikian dibenarkan Soepomo, dalam system pemerintahan
apa pun, umunya rancangan undang-undang diajukan oleh pemerintah kepada DPR.27
Pelaksanaan fungsi legislasi selama kekuasaan Orde Baru tidak jauh berbeda dengan
praktik yang terjadi sepanjang periode 1945-1959 yaitu ketika Indonesia menggunakansystem pemerintahan parlementer. Ketika berada di bawah konstitusi RIS 1949 dan UUD
Sementara 1950, pembahasan bersama antara DPR dan menteri-menteri tidak menjadi
masalah karena di dalam kedua konstitusi tersebut menyebutkan secara eksplisit bahwa
pembahasan rancangan undang-undang dilakukan oleh pemerintah bersama-sama dengan
DPR. Dengan demikian, warisan fungsi legislasi dalam system pemerintahan presidensial
tidak hanya dapat dibaca dari frasa bersama-sama DPR dan Presiden yang ada dalam UUD
1945, tetapi juga dapat ditelusuri dari pola pembahasan bersama menteri-menteri dan DPR.28
Dengan komposisi jumlah dukungan suara yang dapat dikatakan mayoritas absolut,
praktik pemerintahan berada di bawah kendali Presiden Soeharto dengan menggunakan
stempel dukungan DPR.
Karenanya, dalam melaksanakan fungsi sebagai lembaga legislative, Golkar dan ABRI
menampilkan diri sebagai partai pemerintah yang berkewajiban menjaga, membela, dan
mempertahankan semua kepentingan pemerintah di DPR.
Dengan gambaran tersebut, tidak mungkin DPR mampu menjalankan fungsi-fungsi
konstitusionalnya ketika berhadapan dengan pemerintah. Bahkan dari produk-prodk undang-
undang yang dihasilkan. DPR sepanjang kekuasaan Orde Baru kalah produktif, misalnya
dengan KNIP dan DPRS 1950-1956. Dalam kurun waktu 1972-1997, DPR hanya
menghasilkan 273 undang-undang. Dengan jumlah itu, setiap tahun DPR menghasilkan
kurang dari 11 undang-undang, atau kurang dari satu undang-undang setiap bulannya.
Karena itu, anggota DPR sering dijuluki 5D, yaitu dating, duduk, daftar, dengar, dan duit.
Kondisi itu bertahan sampai berakhirnya kekuasaan Soeharto 21 Mei 1998.29
26RM. A.B. Kusuma, 2004, Lahirnya Undang-undang Dasar 1945, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, Jakarta, hlm 336-34427
Ibid.28
Saldi Isra, Op.Cit, hlm 14729
Ibid. hlm 149
-
7/22/2019 Hukum kelembaganegaraaan
16/25
16
D.Implikasi Praktik Legislasi Setelah Perubahan UUD 19451. Prakarsa Pengajuan Rancangan Undang-undang
Dalam pandangan Jimly Assiddiqie, peruahan Pasal 5 Ayat (1) UUD 1945
menjadi: Presiden berhak mengajukan rancangan kepada DPR, yang diikuti dengan
perubahan Pasal 5 Ayat (1) UUD 1945 menjadi DPR mempunyai kekuasaan
membentuk undang-undang telah terjadi pergeseran kekuasaan subtantif dalam
kekuasaan legislative atau kekuasaan pembentukan undang-undang telah terjadi
pergeseran kekuasaan subtantif dalam kekuasaan legislative atau kekuasaan pembentukan
undang-undang dari tangan presiden ke tangan DPR.30
Sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan Negara, presiden hanya berhak
mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR. Artinya, perubahan terhadap Pasal
5 Ayat (1) dan Pasal 20 Ayat (1) UUD 1945 menggeser bandul kekuasaan pembuatan
undang-undang dari eksekutif ke legislative. Dalam hal ini Jimly Assiddiqie menegaskan
bahwa :
Dengan adanya perubahan ini, jelaslah bahwa kekuasaan legislative yang semula
utamanya dipegang oleh presiden dengan persetujuan DPR dialihkan menjadi
dipegang DPR. Sedangkan presiden hanya dinyatakan berhak mengajukan
rancangan undan-undang, bukan sebagai pemegang kekuasaan legislative yang
utama. Perubahan ini yang biasa saya sebut sebagai pergeseran kekuasaanlegislative dari presiden ke DPR.
31
Dengan adanya ketentuan Pasal 5 Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan
Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang dan Pasal 21 UUD 1945
yang menyatakan anggota DPR berhak mengajukan rancangan undang-undang, proses
legislasi setelah perubahan UUD 1945 harus mengatur hak yang dimiliki oleh presiden
dan anggota DPR tersebut terutama kalau keduanya mengajujkan rancangan undang-
undang mengenai hal atau masalah yang sama.
30Jimly Asshiddiqie, 2006, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sekertariat Jenderal
dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, hlm 135.31
Jimly Asshiddiqie, 2002, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, Pusat Studi Hukum Tata
Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hlm 25
-
7/22/2019 Hukum kelembaganegaraaan
17/25
17
Selain berasal dari inisiatif presiden, sebagai ditentukan dalam Pasal 21 UUD
1945, usul rancangan undang-undang dapat berasal dari anggota DPR. Karenanya,
setelah perubahan undang-undang dinyatakan secara eksplisit dalam Undang-undang
tentang Susunan dan Kedudukan Anggota MPR, DPR, dan DPRD. Dalam pasal 28 huruf
a Undang-undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Sususnan dan Kedudukan Anggota
MPR, DPR, dan DPRD dinyatakan anggota DPR mempunyai hak mengajukan
rancangan undang-undang.
Sekalipun prakarsa untuk mengajukan rancangan undang-undang bukan
merupakan masalah esensial dalam fungsi legislasi pada system pemerintahan
presidensial, perubahan UUD 1945 telah menghidupkan kembali inisiaif DPR untuk
mengajukan rancangan undang-undang anggota DPR yang mengalami mati suri
sepanjang kekuasaan Orde Lama dan Orde Baru hidup kembali sejak kekuasaan
Soeharto.
2. Pembahasan Rancangan Undang-UndangKeinginan para pengubah UUD 1945 untuk mengubah proses legislasi sebelum
perubahan UUD 1945 itu dieksplisitkan dalam Pasal 32 Ayat (1) UU No. 10/2004 yang
menyatakan bahwa pembahasan rancangan undang-undang di DPR dilakukan oleh DPR
bersama Presiden atau menteri yang ditugasi. Pembahasan bersama tersebut dilakukan
melalui tingkat-tingkat pembicaraan dalam rapat komisi/panitia/alat kelengkapan Dewan
Perwakilan Rakyat yang khusus menangani bidang legislasi dan rapat paripurna sesuai
dengan Tatib DPR. Dengan adanya ketentuan dalam Pasal 32 UU No. 10/2004,
pembahasan yang dimaksudkan dalam Pasal 20 Ayat (2) UUD 1945 adalah pembahasan
bersama antara presiden dan DPR dalam sidang DPR. Dengan demikian, model
pembahasan bersama antara presiden dan DPR. Dengan demikian pembahasan terpisah
tidak tepat diletakkan dalam Pasal 20 Ayat (2) UUD 1945.32
Yang menjadi masalah, UU No. 10/2004 dan Tatib DPR tidak mengatur secara jelas
tentang pembahasan bersama rancangan undang-undang antara presiden dan DPR. Yang
paling menonjol diatur dalam Tatib DPR hanya penyampaian pandangan dan pendapat
presidenuntuk rancangan undang-undang yang berasal dari DPR, serta tanggapan
32Saldi Isra, Op.Cit, hlm 217
-
7/22/2019 Hukum kelembaganegaraaan
18/25
18
presiden atas pandangan dan pendapat fraksi-fraksi atau pandangan dan pendapat fraksi-
fraksi dan DPD apabila rancangan undang-undang berkaitan dengan wewenang DPD,
untuk rancangan undang-undang yang berasal dari Presiden. Satu-satunya aturan yang
secara eksplisit berhubungan dengan pembahasan yaitu Pasal 138 Ayat (1) huruf C Tatib
DPR 2004-2009 menyatakan, pembahasan rancangan undang-undang oleh DPR dan
Presiden berdasarkan Daftar Inventarisasi Masalah.
Berdasarkan Penjelasan itu, Tatib DPR tidak mampu menjelaskan proses pembahasan
rancangan undang-undang di DPR dilakukan oleh DPR bersama Presiden sebagaimana
dalam Pasal 32 Ayat (1) UU No. 10/2004. Padahal, untuk memperjelas hubungan
presiden dan DPR dalam proses legislasi, pola pembahasan bersama harus
diformulasikan secara tepat terutama untuk menentukan: apakah dalam pembahasan
bersama presiden berhadapan dengan DPR. Apalagi, hasil pembahasan bersama akan
bermuara kepada persetujuan bersama antara presiden dan DPR.33
3. Persetujuan Rancangan Undang-UndangSetelah perubahan UUD 1945 praktik pembahasan bersama dan persetujuan
bersama tersebut diangkat menjadi norma didalam UUD 1945. Wewenang DPR untuk
menyetujui rancangan undang-undang sebagaimana terdapat dalam Pasal 20 UUD 1945
sebelum perubahan dibagi secara bersama-sama sehingga DPR dan presiden setara dalam
persetujuan. Secara konstitusional, ketentuan yan terdapat dalam Pasal 20 UUD 1945
sebelum perubahan posisi DPR lebih kuat dalam persetujuan rancangan undang-undang
karena wewenang untuk menyetujui rancangan undang-undang berada di tangan DPR
atau tidak dibagi dengan presiden.34
Dengan perubahan itu, dalam proses pembahasan dan persetujuan rancangan
undang-undang ketentuan yang terdapat dalam Pasal 20 Ayat (2) dan (3) UUD 1945
bergeser memperkuat posisi presiden dalam fungsi legislasi. Pergeseran itu terjadi karena
wewenang presiden dalam pembahasan dan persetujuan rancangan undang-undang sama
kuatnya dengan wewenang DPR. Dengan menggunakan pendapat yang dikemukakan
Charles O. Jones, hasil perubahan UUD 1945 membagi ultimate authority fungsi legislasi
33Ibid.
34Saldi Isra, Op.Cit, hlm 222
-
7/22/2019 Hukum kelembaganegaraaan
19/25
19
kepada DPR dan presiden. Padahal, dalam system pemerintahan presidensial,
pembahasan dan persetujuan rancangan undang-undang tidak dilakukan bersama-sama
oleh pemegang kekuasaan legislative dan pemegang kekuasaan eksekutif. Seperti dalam
pembahasan dan persetujuan rancangan undang-undang juga direduksi oleh
ketidakjelasan aturan mekanisme pembahasan bersama dan persetujuan bersama antara
DPR dan presiden dalam UU No. 10/2004 dan dalam Tatib DPR. Dengan praktik
demikian, penguatan kewenangan presiden dalam pembahasan dan persetujuan
rancangan undang-undang yang dinyatakan Pasal 20 Ayat (2) UUD 1945 hasil perubahan
digeser melalui Tatib DPR, yaitu dengan cara mengaburkan mekanisme pembahasan
bersama dan persetujuan bersama antara DPR dan presiden.35
4. Pengesahan Rancangan Undang-UndangBerdasarkan rumusan yang terdapat dalam Pasal 21 Ayat (2) UUD 1945 sebelum
perubahan tersebut, pengesahan dilakukan setelah proses persetujuan rancangan undang-
undang. Namun, ketika praktik fungsi legislasi menyatukan pembahasan dan persetujuan
bersama antara DPR dan presiden, praktik fungsi legislasi sekaligus memperkenalkan
pengesahan materiil dan pengesahan formal dalam proses pembentukan undang-undang.
Artinya dalam praktik, pengesahan tunggal berupa pengesahan formal yang terdapat
dalam Pasal 21 Ayat (2) UUD 1945 sebelum perubahan diperluas dengan pengesahan
materiil.
Pengesahan Materiil. Sekalipun hasil perubahan UUD 1945 secara expressis
verbs menyatakan pengesahan rancangan undang menjadi undang-undang, namun sejak
sebelum perubahan UUD 1945 telah berlangsung dua model pengesahan rancangan
undang-undang, yaitu pengesahan materiil dan pengesahan formal. Dengan praktik
persetujuan bersama antara DPR dan presiden, pengesahan materiil rancangan undang-
undang menjadi undang-undang telah terjadi sejak adanya persetujuan bersama antara
DPR dan presiden (pemerintah) dalam sidang paripurna DPR. Pengesahan materiil tidak
akan terjadi jika salah satu pihak (presiden dan/ atau DPR) menolak menyetujui
rancangan undang-undang dalam sidang paripurna DPR.
35Ibid, hlm 223
-
7/22/2019 Hukum kelembaganegaraaan
20/25
20
Pengesahan Formal. Jika pengesahan materiil tercapai, akan dilaksanakan
pengesahan formal atas rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama oleh
DPR dan presiden. Sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 20 Ayat (4) UUD
1945, presiden akan mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui
bersama untuk menjadi undang-undang. Dalam hal ini, Pasal 37 Ayat (1) UU No.
10/2004 menyatakan, rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama oleh DPR
dan presiden, disampaikan oleh pimpinan DPR kepada presiden untuk disahkan menjadi
undang-undang. Untuk menghindari kemungkinan adanya penundaan penyampaian
rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama, Pasal 37 Ayat (2) UU No.
10/2004 menentukan secara ketat bahwa dalam tenggat waktu paling lama tujuh hari
terhitung sejak tanggal persetujuan bersama, pimpinan DPR harus menyampaikannya
kepada presiden.
Pengesahan formal merupakan kelanjutan dari pengesahan materiil. Hal itu
berarti, pengesahan materiil menjadi prasayarat konstutusional untuk adanya pengesahan
formal. Apabila rancangan undang-undang tidak mendapatkan persetujuan bersama,
maka secara konstitusional, presiden tidak perlu mengesahkan rancangan undang-undang
tersebut. Dalam hal ini presiden tidak dapat dikatakan melanggar konstitusi (UUD 1945)
apabila tidak mengesahkan rancangan undang-undang yang tidak disetujui bersama.
Begitu sebaliknya, sebagai pemegang hak konstitusional pengesahan formal, Presiden
tidak diperbolehkan mengesahkan rancangan undang-undang yang ketika persetujuan
bersama DPR menolak untuk menyetujui rancangan undang-undang tersebut.
Undang-Undang Tanpa Persetujuan Presiden. Sekalipun hasil pembahasan
UUD 1945 meneguhkan praktik pembahasan bersama dan persetujuan bersama
dalam fungsi legislasi, para pengubah UUD 1945 khawatir bahwa masih mungkin
rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tidak akan disahkan oleh
presiden. Untuk mengantisipasi hal itu, muncul Pasal 20 Ayat (5) UUD 1945
menyatakan, dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut
tidak disahkan oleh presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-
undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-
undnag dan wajib diundangkan.36
36Ibid.Hlm 227
-
7/22/2019 Hukum kelembaganegaraaan
21/25
21
5. Pengundangan Undang-UndangSetelah perubaha UUD 1945, masalah mendasar yang terkait dengan
pengundangan adalah pengundangan undang-undang yang tidak disahkan oleh presiden,
dalam tenggat waktu 30 hari setelah mendapat persetujuan bersama anatara DPR dan
presiden dalam rapat paripurna DPR, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi
undang-undang dan wajib diundangkan. Sesuai dengan Pasal 48 UU No. 10/2004, yang
ditunjuk untuk melakukan pengundangan adalah menteri yang tugas dan
tanggungjawabnya di bidang perauran perundang-undangan, dalam hal ini Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia.37
Dengan menggunakan hubungan presiden dan menteri dalam system
pemerintahan presidensial, dengan posisi sebagai bawahan, aneh jika seorang menteri
melakukan tindakan berbeda dengan keinginan presiden. Dalam system pemerintahan
presidensial, presiden merupakan pemegang kekuasaan tunggal dan tertinggi. Saat
presiden memutuskan tidak mengesahkan rancangan undang-undang menjadi undang-
undang, seharusnya menteri membaca hal itu sebagai penolakan kabinet termasuk
menteri yang diberi wewenang mengundangkan peraturan perundang-undangan. Oleh
karena itu, Jimly Asshidiqie mengatakan, pengundangan suatu undang-undang yang tidak
ditandatangani oleh presiden adalah pengundangan oleh pejabat yang tidak berwenang
(onbevoegheid).38
Oleh karena itu, agar tidak terjadi pengundangan undang-undang oleh pejabat
yang tidak berwenang, penolakan presiden seharusnya dilakukan dalam fase pembahasan
dan/atau persetujuan bersama. Dalam system legislasi yang dianut setelah perubahan
UUD 1945, kesempatan bagi presiden untuk menolak rancangan undang-undang hanya
dapat dilakukan dalam fase terebut. Khusus bagi presiden yang diberi hak konstitusional
untuk mengesahkan secara formal, begitu menyetujui rancangan undang-undang dalam
persetujuan bersama, presiden tidak dapat menolak untuk mengesahkannya.
37Ibid.Hlm 227
38Jimly Asshidiqie, 2006, Perihal Undang-undang di Indonesia, Sekertariat Jenderak Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia, Jakarta, hlm305
-
7/22/2019 Hukum kelembaganegaraaan
22/25
22
Berdasarkan penjelasan tersebut, setelah perubahan UUD 1945, meski hasil
perubahan UUD 1945 memperkuat kewenangan legislasi presiden, dalam praktik
kewenangan tersebut digeser oleh Peraturan Tata Tertib DPR, yaitu dengan cara tidak
mengatur secara jelas posisi presiden dalam pembahasan dan persetujuan bersama
rancangan undang-undang. Kesempatan itu muncul karena UU No. 1/2004 menyerahkan
pengaturan mekanisme pembahasan dan persetujuan rancangan undang-undang kepada
Peraturan Tata Tertib DPR juga makin mereduksi peran DPD dalam pembentukan
undang-undang. Karena kelemahan dalam tatib DPR, semua rancangan undang-undang
yang berasal dari DPD tidak pernah ditindaklanjuti oleh DPR.
BAB III
-
7/22/2019 Hukum kelembaganegaraaan
23/25
23
KESIMPULAN
1) Sebelum adanya perubahan UUD 1945 kekuasaan Presiden dalam membuat Undang-Undang sangatlah besar. Hal ini dapat dilihat dari masa pemerintahan Orde Baru (Soeharto),
kekuasaan membuat Undang-Undang ada di tangan Presiden. Sesuai pasal 5 ayat (1) DPR
hanya sekedar memberikan persetujuan atas Undang-Undang itu. Perubahan yang berkaitan
dengan kekuasaan Presiden dan DPR, perubahan pertama UUD 1945 terhadap Pasal 5 ayat
(1) dan Pasal 20 UUD 1945 dipandang sebagai permulaan terjadinya pergeseran executive
heavy ke arah legislatif heavy. Hal tersebut terlihat dari pergeseran kekuasaan Presiden
dalam membentuk Undang-Undang yang diatur dalam Pasal 5, berubah menjadi Presiden
berhak mengjukan Rancangan Undang-Undang, dan DPR memegang kekuasaan membentukUndang-Undang (Pasal 20). Perubahan pasal-pasal tersebut memindahkan titik berat
kekuasaan legislatif nasional yang semula berada di tangan Presiden beralih ke tangan DPR.
2) Sesudah amandemen UUD 1945kekuasaan legislasi ada ditangan DPR dengan persetujuandari Presiden (Pasal 20 ayat (2) perubahan pertama UUD 1945). Dengan demikian, telah
terjadi perubahan kewenangan legislasi dari Presiden dengan persetujuan DPR kepada DPR
dengan persetujuan bersama. Selain memiliki fungsi legislasi, DPR juga memiliki fungsi
anggaran dan pengawasan (Pasal 20A ayat (1) perubahan kedua UUD 1945). Sementara
kewenangan mengajukan Rancangan Undang-Undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk
mendapat persetujuan bersama (Pasal 20 ayat (2) perubahan pertama UUD 1945).
DAFTAR PUSTAKA
-
7/22/2019 Hukum kelembaganegaraaan
24/25
24
Buku
1. Retno Saraswati, 2012. Desain Sistem Presidensial Yang Efektif. Fakultas HukumUniversitas Dipongoro.
2. Paul Christoper Manuel dan Anne Maria Carmissa. 1999. Checks and Balance? How aPaliamentary System Could Changed American Politics.Westview Press. United State Of
America.
3. Saldi Isra. 2010. Pergeseran fungsi legislasi; Menguatnya Model Legislasi ParlementerDalam Sistem Presidensial Indonesia. Rajawali Pers. .Jakarta.
4. Jose Antonio Cheibub, Adam Przeworzki, and Sebastian M. Saiegh. 2004. GovernmentCoalitions and Legislative Success Under Presidentialism and Parliamentarism.
Dalam British Journal of Political Science.
5. Jose Antonio Cheibub, Adam Przeworzki, and Sebastian M. Saiegh, 2004, GovernmentCoalitions and Legislative Success Under Presidentialism and Parliamentarism,
dalam British Journal of Political Science, No. 34.
6. ScottMainwaring, 1990, Presidentialism in Latin America,Latin American ResearchReview.
7. Juan J. Linz. 1994. Presidential or Parliamentary Democracy: Does it Make a Difference?dalam Juan J. Linz and Arturo Venezuela, eds,The Failure of Presidential Democracy: The
Case of Latin America, Johns Hopkins, Baltimore.
8. Saiful Mujani. 2002.JadikanPresiden Hanya sebagai Kepala Negara, dalam Gerak Politikyang Tertawan: Menggagas Ulang Prinsip-prinsip Lembaga Kepresidenan, The Center for
Presidential and Parliamentary Studies, Jakarta.
9. Scott Maiwaring, 1993,Presidentialism, Multipartism, and Democracy: the DifficultCombination,dalamJournal of Comparative Political Studies, Vol. 26, No. 2
10.Scott Mainwaring & Mariano Torcal, 2005, Party System Institutionalization and PartySystem Theory After the Third Wave of Democratization, Working Paper 319
11.Aulia A Rachman. 2007. Sistem Pemerintahan Presidentil Sebelum dan Sesudah PerubahanUUD 1945: Studi Ilmiah tentang Tipe Rezim, Tipe Institusi, dan Tipe Konstitusi . Disertasi,
Program Doktor Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Jakarta.
-
7/22/2019 Hukum kelembaganegaraaan
25/25
25
12.Ali Masykur Musa. 2003. Sistem Pemilu: Proporsional Terbuka, Pustaka, Pustaka IndonesiaSatu dan UNDP. Jakarta.
13.A. Hamid S. Attamimi. 1990. Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalamPenyelenggaraan Pemerintahan. Disertasi, Fakultas Pascasarjana UI
14.Bagir Manan. 2003. DPR, DPD, dan MPR dalam UUD 1945 Baru. FH UII Press.Yogyakarta.
15.RM. A.B. Kusuma. 2004. Lahirnya Undang-undang Dasar 1945. Badan Penerbit FakultasHukum Universitas Indonesia. Jakarta.
16.Jimly Asshiddiqie. 2006. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara PascaReformasi, Sekertariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia. Jakarta.
17.Jimly Asshiddiqie. 2002.Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat. PusatStudi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Jakarta.
18.Jimly Asshidiqie. 2006. Perihal Undang-undang di Indonesia. Sekertariat JenderakMahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Jakarta.
19.W Riawan Tjandra, Hakikat Legislasi, Media Indonesia: 19 April 2012INTERNET
1.
Anonim, tanpa tahun, Governing Systems and Executive-Legislative Relations;Presidential, Parliamentary and Hybrid Systems,
http://mirror.undp.org/magnet/Docs/parliaments/governing%20system.htm,dikunjungi
22/09-2013.
2. Anonim, 2012, Legislasi Dalam Sistem Kepresidenan,http://putrapogon.blogspot.com/2012/12/legislasi-dalam-sistem-presidensil.html,dikunjungi
22/09-2013
3. Anonim, 2011,Partisipasi Politik Militer Studi Perbandingan Partisipasi Politik Di ZamanOrde Baru dengan Era Reformasi,
http://sefasdesak.wordpress.com/2011/05/10/perbandingan-partisipasi-politik-zaman-orde-
baru-dengan-era-reformasi/,dikunjungi 23/09-2013
http://mirror.undp.org/magnet/Docs/parliaments/governing%20system.htmhttp://putrapogon.blogspot.com/2012/12/legislasi-dalam-sistem-presidensil.htmlhttp://sefasdesak.wordpress.com/2011/05/10/perbandingan-partisipasi-politik-zaman-orde-baru-dengan-era-reformasi/http://sefasdesak.wordpress.com/2011/05/10/perbandingan-partisipasi-politik-zaman-orde-baru-dengan-era-reformasi/http://sefasdesak.wordpress.com/2011/05/10/perbandingan-partisipasi-politik-zaman-orde-baru-dengan-era-reformasi/http://sefasdesak.wordpress.com/2011/05/10/perbandingan-partisipasi-politik-zaman-orde-baru-dengan-era-reformasi/http://putrapogon.blogspot.com/2012/12/legislasi-dalam-sistem-presidensil.htmlhttp://mirror.undp.org/magnet/Docs/parliaments/governing%20system.htm