kitab thoharoh (1)

51
 1 KITAB THOHAROH  Panduan Ringkas Ibadah Harian  Thaharah  Wudhu Disusun oleh : MAJELIS PENGKAJIAN AL QIRAN ( MPAQ ) 1435 H

Upload: yunan-maramis

Post on 08-Jul-2018

230 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kitab Thoharoh (1)

8/19/2019 Kitab Thoharoh (1)

http://slidepdf.com/reader/full/kitab-thoharoh-1 1/51

 

1

KITAB

THOHAROH Panduan Ringkas Ibadah Harian

 Thaharah

 

Wudhu

Disusun oleh :MAJELIS PENGKAJIAN AL QIRAN ( MPAQ ) 1435 H

Page 2: Kitab Thoharoh (1)

8/19/2019 Kitab Thoharoh (1)

http://slidepdf.com/reader/full/kitab-thoharoh-1 2/51

 

2

KITAB THAHARAH

BAB I THAHARAH

  Difinisi Thaharah

  Penjelasan najis

 

Adab Buang Hajat

BAB II WUDHU

  Dalil

  Keutamaan

  Rukun Wudhu

  Sunnah Wudhu

  Perkara Yang dimakruhkan

  Perkara yang membatalkan Wudhu

BAB III MANDI

  Dalil

  Hal –  hal yang diwajibkan untuk mandi

  Hal –  hal yang disunnahkan untuk mandi

  Rukun mandi

  Sunnah mandi

  Hal –  hal yang dimakruhkan dalam mandi

  Tata cara mandi

  Larangan –  larangan bagi orang junub

BAB IV TAYAMUM

  Dalil

  Orang –  orang yang boleh tayamum

  Rukuk Tayamum

  Sunah tayamum

  Hal –  hal yang membatalkan Tayamum

  Hal –  hal yang diperbolehkan bagi orang yang Tayamum

  Tata Cara Tayamum

Page 3: Kitab Thoharoh (1)

8/19/2019 Kitab Thoharoh (1)

http://slidepdf.com/reader/full/kitab-thoharoh-1 3/51

 

3

BAB V MENGUSAP SEPATU DAN PERBAN

  Dalil

  Syarat –  syarat mengusap

  Tata cara mengusap

BAB VI HUKUM HAID DAN NIFAS

  Definisi Haid

 

Macam –  macam Haid dan Hukumnya

  Definisi Nifas dan Hukumnya

  Larangan –  larangan bagi wanita haid dan nifas

  Hal –  hal yang diperbolehkan bagi wanita haid dan nifas

KITAB SHALAT

BAB I SHALAT

Hukum Shalat

Hikmah Shalat

Keutamaan Shalat

Syarat Wajib Shalat

Syarat Sah Shalat

Rukun Shalat

Sunnah –  sunnah ShalatHal yang dimakruhkan dalam shalat

Yang membatalkan shalat

Yang diperbolehkan dalam shalat

Tata Cara Shalat

BAB II PEMBAGIAN SHALAT

Shalat Wajib

Shalat Sunnah

Shalat Nafilah

BAB III SUJUD SYAHWI

Page 4: Kitab Thoharoh (1)

8/19/2019 Kitab Thoharoh (1)

http://slidepdf.com/reader/full/kitab-thoharoh-1 4/51

 

4

BAB IV SHALAT JAMAAH

Hukum

Keutamaan

Permasalahan seputar Shalat Jamaah

Imamah

Ma‟mum Masbuk  

BAB V ADZAN DAN IQAMAH

Sunnah –  sunnah Adzan

BAB VI SHALAT JAMA‟ DAN QASHAR  

Definisi Jama‟

Hukum

Definisi QasharHukum

BAB VII SHALAT KETIKA SAKIT DAN SHALAT KHAUF

BAB VIII SHALAT JUM‟AT 

Hukum

Hikmah

Keutamaan

Adab

Syarat WajibSyarat Sah

Tata Cara

BAB IX SHALAT SUNNAH

Macam –  macam Shalat Sunnah

Perbedaan Shalat Sunnah dan Tathawwu‟ 

BAB X SHALAT „IDAIN 

Hukum dan Waktu

Adab

Tata cara

Page 5: Kitab Thoharoh (1)

8/19/2019 Kitab Thoharoh (1)

http://slidepdf.com/reader/full/kitab-thoharoh-1 5/51

 

5

BAB XI SHALAT KHUSYUF

Hukum dan Waktu

Sunnah –  sunnahnya

Tata Cara

BAB XII SHALAT ISTITSYQA‟ 

Hukum dan Waktu

Hal yang disunnahkan

Tata Cara

Doa Istisyqa‟ 

Page 6: Kitab Thoharoh (1)

8/19/2019 Kitab Thoharoh (1)

http://slidepdf.com/reader/full/kitab-thoharoh-1 6/51

 

6

KITAB THAHARAH

BAB I : THAHARAH

1.  Definisi Thaharah

Thaharah ( bersuci ) ada dua macam :

a.  Thaharah Batin : yaitu mensucikan diri dari pengaruh dosa dan maksiyat dengan

 bertaubat, dan mensucikan hati dari kotoran syirik, ragu  –   ragu, iri, dendam, dengki,

menipu, sombong, ujub, riya dan pamer dengan berprilaku ikhlash, yakin, cinta kebaikan,

lembut, jujur , tawadhu‟ dan mengharap balasan Allah ta‟ala dalam setiap niat dan amal

shaleh.

 b.  Thaharah Lahir : membersihkan diri dari najis dengan menghilangkan kotoran dari

 pakaian, badan dan tempat shalat dengan air suci dan membersihkan diri dari hadats

dengan wudhu, mandi dan tayamum.

2.  Hukum Thaharah

Thaharah hukumnya wajib berdasarkan kitab dan sunnah , diantaranya ;

ا واا

ا    د  اة ا وج و    اذ ا  آ   ا

   

 وا  ج  ن ا  و    جر  وس و

 Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah

mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai

dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah  ( QS. Al Maidah : 6 )

ه

 ا  

 و   ا ا

  ا ن

Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang

menyucikan diri. ( QS. Al Baqarah : 222 )

ر

 ا ةا ح  سو  ا ص ا لسر ل

Page 7: Kitab Thoharoh (1)

8/19/2019 Kitab Thoharoh (1)

http://slidepdf.com/reader/full/kitab-thoharoh-1 7/51

 

7

 Rasulullah SAW bersabda : Kunci Shalat adalah bersuci ( HR. Abu Dawud , Tirmidzi dan

Ahmad dari Ali RA ) 

 ا  يا اور   ا ص ا  و س ل   صة  ر

 Nabi SAW bersabda : Shalat tidak diterima tanpa bersuci ( HR. Tirmidzi dari Ibnu Umar RA )  

  ان ر

 ا

 Rasulullah SAW bersabda : Bersuci adalah setengah dari Iman ( HR. Muslim dari Abu Malik al

Asy‟ari RA ) 

3.  Macam –  macam air

Di antara bukti lengkapnya agama Islam adalah dibahas juga masalah seputar air serta pembagiannya, dan bahwa air itu ada yang suci dan ada yang najis. Berikut ini penjelasan lebih

rincinya.

Air terbagi menjadi empat bagian sebagai berikut :

1. Air Mutlak

Air mutlak adalah air yang masih asli / belum berubah dari sifat asli penciptaannya. Hukumnya

adalah thahur, yakni air tersebut adalah suci dan dapat menyucikan yang lain. Termasuk kedalam air mutlak adalah air-air berikut ini:

-  Air hujan, air es dan air salju.

Dalilnya adalah firman Allah Subhaanahu wa Ta'aala:

"Dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk menyucikan kamu dengan hujan itu."

(terj. Al Anfaal: 11) 

Juga berdasarkan hadits Abu Hurairah yang menerangkan doa istiftah Nabi shallallahu 'alaihi wa

sallam sebelum membaca Al Fatihah, di bagian akhir disebutkan:

 ا   وا   و

 ي    ا 

"Ya Allah, cucilah kesalahanku dengan air, air es dan air salju." (HR. Jama'ah selain Tirmidzi)  

Hadits ini menunjukkan sucinya air-air tersebut karena dapat dipakai untuk membersihkan.

-  Air laut  

Page 8: Kitab Thoharoh (1)

8/19/2019 Kitab Thoharoh (1)

http://slidepdf.com/reader/full/kitab-thoharoh-1 8/51

 

8

Dalilnya adalah sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ketika ditanya tentang berwudhu'

menggunakan air laut:

 

ا   ؤ ر ا 

"Laut itu suci airnya dan halal bangkainya." (HR. lima orang ahli hadits, Tirmidzi berkata:

"Hadits ini hasan shahih") 

-  Air Zamzam 

Hal ini berdasarkan hadits hasan yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Ahmad dalam Zawa'idnya

 bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah meminta dibawakan setimba air Zamzam,

lalu Beliau meminumnya dan berwudhu' darinya.

- Air yang sudah berubah disebabkan sudah lama atau karena tidak mengalir atau karena bercampur sesuatu yang biasa ikut menyatu seperti lumut, dedaunan dsb. Para ulama sepakat

 bahwa air ini tergolong air mutlak.

Termasuk air mutlak juga adalah air sumur, air embun dan air mata air. Semua air di atas adalah

thahur, yakni suci lagi dapat dipakai untuk bersuci (berwudhu' dan mandi) serta dapatmenyucikan (membersihkan najis). Dalil umumnya adalah sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi

wa sallam:

ه

      ر 

ن 

"Sesungguhnya air itu suci, tidak dapat dinajiskan oleh sesuatu." (Diriwayatkan oleh tiga orang

ahli hadits dan dishahihkan oleh Ahmad) 

2. Air Musta'mal

Air Musta'mal adalah air yang bekas dipakai oleh orang yang bersuci (berwudhu' atau mandi).Hukumnya juga thahur, yakni suci lagi menyucikan. Di antara dalilnya adalah hadits berikut:

د س      ن  ن رسل ا ص ا  وس   ر

"Bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengusap kepalanya dengan sisa air yang ada

di tangannya."  (HR. Abu Dawud) 

Ibnul Mundzir berkata, "Telah diriwayatkan dari Ali, Ibnu Umar, Abu Umamah, 'Athaa', AlHasan, Makhul dan An Nakha'i bahwa mereka berpendapat bagi orang yang lupa mengusap

kepalanya, lalu didapati janggutnya masih basah, maka ia cukup mengusap kepalanya dengan

 basahnya (di janggut) tersebut", Ibnul Mundzir juga berkata, "Ini menunjukkan bahwa mereka berpendapat air musta'mal itu dapat menyucikan, dan inilah yang saya pegang."

Page 9: Kitab Thoharoh (1)

8/19/2019 Kitab Thoharoh (1)

http://slidepdf.com/reader/full/kitab-thoharoh-1 9/51

 

9

Dalil lain yang menjelaskan sucinya air musta'mal adalah hadits Abu Hurairah radhiyallahu

'anhu, suatu hari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berjumpa dengan Abu Hurairah di suatu jalan

di kota Madinah dalam keadaan junub, lalu Abu Hurairah menghindar pergi dan mandi, laludatang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam

 bertanya, "Pergi ke mana tadi kamu, wahai Abu Hurairah?" ia menjawab: "Tadi aku junub, aku

tidak suka duduk bersamamu dalam keadaan tidak suci." Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

     ا ن   ا نس

"Subhaanallah, sesungguhnya orang mukmin tidak najis."  (HR. Jama'ah) 

Wajhud dilaalah (sisi pengambilan dalilnya) adalah jika seorang mukmin tidak najis, bagaimana

mungkin menjadikan air yang dipakainya menjadi najis.

3. Air yang bercampur dengan sesuatu yang suci.

Sesuatu yang suci ini bisa berupa sabun, za'faran (tumbuhan seperti kunyit), tepung dsb. Hukumair yang tercampur barang-barang suci adalah thahur; suci lagi menyucikan selama masih tetap

mutlak, dalam arti belum berubah. Jika sudah berubah dari asalnya sehingga tidak disebut air

mutlak lagi, misalnya warnanya berubah, menjadi bau atau berubah rasanya maka keadaan air itu

tetap suci dan bisa dipakai untuk membersihkan najis, namun tidak bisa dipakai untuk bersuci(wudhu' dan mandi). Dalilnya adalah sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kepada

 beberapa wanita yang memandikan puterinya yang wafat:

 ي غا,م ,   تن         ,  ء

 م , ت

 ف ة ـ  ف ا ,اع ت

 ف     

"Basuhlah tiga kali, lima kali atau lebih dari itu jika kalian memandang perlu dengan air dan

daun bidara, serta jadikanlah basuhan terakhir dicampur kafur (kapur barus) atau sedikit kafur."

(HR. Jama'ah) 

Sudah maklum bahwa mayit itu tidak dimandikan kecuali dengan sesuatu yang bisa dipakai

 bersuci oleh orang yang hidup.

4. Air yang terkena najis.

Air yang terkena najis ada dua keadaan:

 Pertama, jika najis merubah rasanya, warnanya atau baunya, maka dalam keadaan seperti ini, air

tersebut tidak dapat dipakai bersuci berdasarkan kesepakatan para ulama sebagaimana telahdinukil oleh Ibnul Mundzir dan Ibnul Mulaqqin.

 Kedua, Air tersebut masih tetap mutlak, yakni tidak berubah warnanya, rasanya maupun baunya,

maka hukum air ini adalah tetap suci lagi menyucikan banyak atau sedikit. Dalilnya adalah

Page 10: Kitab Thoharoh (1)

8/19/2019 Kitab Thoharoh (1)

http://slidepdf.com/reader/full/kitab-thoharoh-1 10/51

 

10

hadits Abu Sa'id Al Khudriy radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam

 pernah ditanya: "Wahai Rasulullah, bolehkah kami berwudhu' dengan menggunakan air dari

sumur Bidhaa'ah?" Beliau menjawab:

  توت

ج

   ت يتر    م 

"Air itu suci, tidak dapat dinajiskan oleh sesuatu." (HR. Ahmad, Syafi'i, Abu Dawud, Nasa'i,

Tirmidzi dan ia menghasankannya. Imam Ahmad berkata, "Hadits sumur Bidha'ah adalah haditsshahih", dishahihkan juga oleh Yahya bin Ma'in dan Ibnu Hazm) 

Sumur Bidha'ah adalah sumur yang kadang kemasukan banjir dari lembah, bahkan kemasukan

 banyak kotoran, namun Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menghukuminya sebagai air

yang suci, karena kemutlakannya belum berubah oleh kotoran. Wallahu a'lam.

Kesimpulan 

Dari penjelasan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa air suci terbagi menjadi dua:a.  Air yang suci lagi menyucikan (thaahir muthahhir), yaitu air suci yang belum berubah warna,

rasa dan baunya. Air ini bisa digunakan untuk menghilangkan najis dan bisa dipakai bersuci.

 b.  Air yang suci tetapi tidak menyucikan, yaitu air suci yang berubah warna atau rasa atau pun

 baunya (sudah tidak mutlak lagi), karena terkena sesuatu yang suci seperti terkena teh, kopi, sari buah dsb. Sehingga salah satu sifat airnya berubah. Air ini hanya bisa digunakan untuk

menghilangkan najis, tetapi tidak bisa dipakai bersuci dalam berwudhu dan mandi. ( Menurut

Ulama Syafiiyah , lihat Kitab Fathul Qarib ).

c. Air najis yaitu air yang dirubah kemutlakannya oleh najis, dalam arti berubah warnanya, rasanyaatau pun baunya . Bila najis itu tidak merubah salah satu sifat air tersebut (warna, rasa atau

 baunya) maka air tersebut tidak najis (tetap suci).

Najis dan Cara Menyucikannya

Agama Islam datang untuk membersihkan manusia luar dan dalam. Allah Subhaanahu wa

Ta'aala berfirman:

"Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang

menyucikan diri." (terj. Al Baqarah: 222) 

Dengan tobat, batin seseorang menjadi bersih dan dengan bersuci, bagian luar manusia menjadi

 bersih. Bersuci di sini, mencakup bersuci dari khabats (kotoran) dan bersuci dari hadats. Bersuci

Page 11: Kitab Thoharoh (1)

8/19/2019 Kitab Thoharoh (1)

http://slidepdf.com/reader/full/kitab-thoharoh-1 11/51

 

11

dari kotoran yaitu dengan menghilangkan najis yang menimpa pakaian, badan maupun tempat

shalat, sedangkan bersuci dari hadats, yaitu dengan wudhu', mandi dan tayammum.

Dalam risalah ini insya Allah akan dibahas tentang najis dan cara membersihkannya, mudah-

mudahan tulisan ini bermanfa'at. Allahumma aamin.

Ta'rif (definisi) najis 

 Najis adalah kotoran yang wajib dijauhi oleh seorang muslim dan wajib dicuci bagian yang

terkena olehnya. Hukum asal sesuatu adalah suci dan mubah, tidak dibenarkan mengatakan

sesuatu itu najis tanpa dalil.

Macam-macam najis 

 Najis ada yang hissiy (dapat diraba) seperti kencing dan kotoran, ada juga yang hukmi/maknawi

(tidak dapat diraba) seperti janabat (junub). Berikut ini sesuatu yang termasuk najis:

1.  Bangkai  

Bangkai adalah binatang yang mati tanpa melalui proses penyembelihan. Dalil tentang najisnya

 bangkai adalah sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:

تي   ف  ىت    ت ا

"Apabila kulit (bangkai) disamak, maka ia menjadi suci." (HR. Muslim dan Abu Dawud) 

Termasuk ke dalam bangkai adalah anggota badan binatang hidup yang dipotong sebagaimanadisebutkan dalam hadits yang lain.

 Namun tidak termasuk ke dalam najis apa yang disebutkan di bawah ini:

- Bangkai ikan dan belalang, keduanya adalah suci. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam

 bersabda:

        نحت: ج ا ت   ف  نا ن

     ا  ات ت  ا م   ف  تن

 

"Dihalalkan untuk kita dua bangkai dan dua darah. Adapun dua bangkai tersebut adalah ikan dan

 belalang, sedangkan dua darah adalah hati dan limpa." (HR. Ahmad dan Baihaqi, Shahihul Jami'210) 

Page 12: Kitab Thoharoh (1)

8/19/2019 Kitab Thoharoh (1)

http://slidepdf.com/reader/full/kitab-thoharoh-1 12/51

 

12

- Bangkai binatang yang tidak mengalir darahnya, seperti lalat, semut dan lebah. Oleh karena itu,

 jika binatang-binatang ini jatuh ke dalam sesuatu dan mati di sana, maka tidaklah membuatnya

najis. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

 مو ح ت ف  ا  ف   لذ ت     ا,و  ن

ت, ا حو  ح  ف  ,   فن  ف

"Apabila lalat jatuh ke dalam minuman salah seorang di antara kamu maka tenggelamkanlah,

kemudian tariklah karena pada salah satu sayapnya ada penyakit, sedangkan pada sayap yang

lain ada obatnya.” (HR. Bukhari) 

- Tulang bangkai, tanduknya, kukunya, rambutnya, giginya, bulunya, dsb.

Hal itu, karena hukum asalnya adalah suci.

2.  Darah haidh  

Dalil tentang najisnya darah haidh adalah hadits Asma' binti Abi Bakar radhiyallahu 'anha, ia

 berkata: Ada seorang wanita yang datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata,

"Pakaian salah seorang di antara kami terkena darah haidh, apa yang harus dilakukannya?"

Beliau menjawab:

 ت ج فون

ت تو    تن

ت  م   وت    تن

ت توذ    ت

"Ia mengeriknya lalu menggosoknya dengan air, kemudian menyiramnya dan (boleh)

mengenakan shalat dengannya." (Muttafaq 'alaih, lafaz ini adalah lafaz Muslim) 

3.  Daging babi  

Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:

"Katakanlah: "Tidaklah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang

diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau

darah yang mengalir atau daging babi - karena sesungguhnya semua itu kotor." (terj. Al

 An'aam: 145) 

4.  Kencing dan kotoran manusia  

 Najisnya kencing dan kotoran manusia adalah perkara yang sudah maklum. Hanya saja diberikan

keringanan pada kencing bayi laki-laki yang belum memakan makanan. Oleh karena itu, caramembersihkannya cukup dengan dipercikkan. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

Page 13: Kitab Thoharoh (1)

8/19/2019 Kitab Thoharoh (1)

http://slidepdf.com/reader/full/kitab-thoharoh-1 13/51

 

13

 ت       ت     و  ت ت ت   ت  

“Kencing bayi laki-laki dipercikkan, sedangkan kencing bayi per empuan dicuci.” 

Qatadah berkata, “Hal ini jika keduanya masih belum memakan makanan. Jika sudah, maka

kencing keduanya harus dicuci.” 

(HR. Ahmad – ini adalah lafaznya-, juga diriwayatkan oleh pemilik kitab Sunan selain Nasa‟i, Al

Haafizh dalam Al Fat-h berk ata: “Isnadnya shahih”) 

5.  Madzy dan Wady  

Madzy adalah air yang keluar dari kemaluan berwarna putih dan lengket, biasanya keluar ketika

syahwat tinggi, namun tidak disudahi dengan lemas setelah keluarnya, berbeda dengan mani.

Sedangkan wady adalah air yang keluar dari kemaluan berwarna putih dan tebal, biasanya keluar

setelah kencing. Madzy dan wady adalah najis.

Dalil tentang najisnya madzy adalah hadits Ali radhiyallahu 'anhu ia berkata:

 ف تو ف   ا   ا م ا   و    م  ا  و ف ت   ن

 ن ا             لنا   تت ت ت

 ت» ت

ت  ضن    ت

. « ه

"Aku adalah seorang laki-laki yang banyak keluar madzy, aku malu bertanya kepada Nabi

shallallahu 'alaihi wa sallam karena puterinya, maka aku menyuruh Miqdad bin Aswad untuk

 bertanya kepada Beliau, sabdanya, "Hendaknya ia cuci kemaluannya dan berwudhu'."  (Muttafaq

'alaih, lafaz ini adalah lafaz Muslim) 

Jika madzi mengenai badan, maka wajib dicuci dan jika mengenai pakaian maka cukup dengandipercikkan (rasysy) dengan air. Dalil cukupnya memercikkan pakaian yang terkena madzy

adalah hadits Sahl bin Hunaif, ia berkata: “Wahai Rasulullah, bagaimana jika madzi mengenai

kainku?” Beliau menjawab, “Cukup bagimu dengan mengambil segenggam air, lalu kamu

 percikkan ke kainmu sampai kamu melihat air tersebut telah mengenainya.” (Hasan, HR. Abu

Dawud, Ibnu Majah dan Tirmidzi)

Sedangkan dalil tentang najisnya wady adalah kata-kata Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma

tentang wady dan madzy:

ة

ضت  ف ا ن

ت

  ضن    ال     غ

Page 14: Kitab Thoharoh (1)

8/19/2019 Kitab Thoharoh (1)

http://slidepdf.com/reader/full/kitab-thoharoh-1 14/51

 

14

"Basuhlah dzakarmu atau kemaluanmu dan berwudhu'lah seperti wudhu'mu untuk shalat."

(Diriwayatkan oleh Baihaqi) 

Tentang mani 

Adapun mani, di antara ulama ada yang berpendapat bahwa ia adalah najis, namun yang rajih bahwa mani itu suci, akan tetapi dianjurkan mencucinya jika basah dan mengeriknya jika kering.

Aisyah radhiyallahu 'anha berkata, "Aku mengerik mani dari pakaian Rasulullah shallallahu

'alaihi wa sallam ketika sudah kering dan mencucinya jika masih masah." (HR. Daruquthni, Abu

'Uwanah dan Al Bazzar)

6.  Kencing dan kotoran binatang yang tidak dimakan dagingnya  

Dalil tentang najisnya adalah hadits Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu ia berkata:

 Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah datang ke tempat buang hajat, lalu menyuruhku untuk

membawakan tiga buah batu. Aku mendapatkan dua buah batu dan mencari yang ketiganya,namun tidak menemukan, aku pun mengambil kotoran hewan dan membawanya, maka Beliau

mengambil kedua batu itu dan membuang kotoran hewan, Beliau bersabda, "Ini adalah najis."

(HR. Bukhari, dalam sebuah riwayat disebutkan: "Ia adalah najis, ia adalah kotoran keledai.")

 Namun dimaafkan jika hanya sedikit karena agak sulit menghindarkan diri darinya. Al Walid bin

Muslim berkata: Aku bertanya kepada Al Auza'iy, "Lalu bagaimana dengan kencing binatang

yang tidak dimakan dagingnya seperti bighal, keledai dan kuda?" Ia menjawab: "Dahulu orang-

orang terkena hal itu dalam perang mereka, namun mereka tidak mencuci badan atau pakaian

mereka."

Adapun kencing dan kotoran binatang yang dimakan dagingnya, maka menurut Imam Malik,

Ahmad dan jama'ah para ulama madzhab Syafi'i bahwa hal itu adalah suci. Ibnu Taimiyah

 berkata, "Tidak ada salah seorang sahabat yang mengatakan najisnya."

7.  Binatang Jallaalah (pemakan kotoran)  

Telah ada larangan menunggangi binatang jallalah, memakan dagingnya dan meminum susunya.

Ini semua menunjukkan najisnya. Ibnu Abbas berkata:

"Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang meminum susu binatang Jallalah." (HR. Lima

orang selain Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh Tirmidzi)

Amr bin Syu'aib meriwayatkan dari bapaknya dari kakeknya sbb:

Page 15: Kitab Thoharoh (1)

8/19/2019 Kitab Thoharoh (1)

http://slidepdf.com/reader/full/kitab-thoharoh-1 15/51

 

15

"Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang memakan daging keledai negeri dan melarang

 jallalah, yaitu melarang untuk ditunggangi dan dimakan dagingnya." (HR. Ahmad, Nasa'i dan

Abu Dawud)

Jallalah adalah binatang yang memakan kotoran, baik unta, sapi, kambing, ayam, itik dsb.

sehingga tercium bau. Jika binatang tersebut dijauhkan dari kotoran beberapa lama dan diberimakanan yang suci sehingga dagingnya menjadi enak dan tidak disebut lagi sebagai jallalah

(pemakan kotoran), maka binatang tersebut menjadi halal, karena sebab dilarangnya sudah

hilang.

8.  Anjing  

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

ا  ن     وت         ت ا    فو  ت ح     يتت  ,اذ   تىتن

“Sucinya bejana (wadah) salah seorang di antara kamu apabila dijilati anjing adalah dengandibasuh sebanyak tujuh kali, basuhan yang pertama (dicampur) dengan tanah." (HR. Muslim,

Ahmad, Abu Dawud dan Baihaqi) 

Kalau anjing menjilat suatu wadah yang di dalamnya terdapat makanan yang beku (jamid), maka

dibuang bagian yang dikenainya serta bagian sekitarnya, selebihnya bisa dimanfaatkan karena

masih suci. Adapun jika di dalam wadah tersebut berisi air, maka air tersebut harus dibuang.

Diqiaskan dengan mulutnya adalah seluruh badannya (yakni seluruh badannya juga najis),

 pendapat yang mengatakan najisnya „ain (badan) anjing adalah pendapat jumhur ulama.

 Menyucikan badan dan pakaian

Pakaian dan badan jika terkena najis wajib dicuci dengan air sampai hilang najisnya. Hal ini jika

najis tersebut dapat dilihat seperti darah haidh, namun jika masih tetap ada bekasnya dan sulit

dihilangkan setelah dicuci, maka bekasnya itu dimaafkan. Dan jika najisnya tidak terlihat seperti

air kencing, maka cukup dicuci meskipun hanya sekali.

Jika najis menimpa bagian bawah pakaian wanita, maka bisa disucikan oleh tanah.

 Menyucikan tanah

Tanah bisa menjadi suci jika terkena najis dengan dituangkan air ke atasnya, bisa juga dengan

membiarkannya hingga kering. Aisyah pernah mengatakan, “Sucinya tanah adalah dengan

keringnya.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah). 

Page 16: Kitab Thoharoh (1)

8/19/2019 Kitab Thoharoh (1)

http://slidepdf.com/reader/full/kitab-thoharoh-1 16/51

 

16

Hal ini apabila najisnya cair, adapun jika najisnya bukan cair (benda padat) maka tidak bisa

disucikan kecuali dengan menghilangkan „ainnya (benda padat tersebut) atau dengan

memindahkannya.

Menyucikan samin dan semisalnya (seperti mentega, dsb)

Dari Ibnu Abbas dari Maimunah: Bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah ditanya

tentang tikus yang jatuh ke dalam samin, Beliau bersabda: “Buanglah tikus tersebut, dan

 buanglah bagian sekitarnya, kemudian makanlah samin kalian (sisanya).” (HR. Bukhari) 

Al Haafizh berkata: Ibnu „Abdil Bar menukilkan tentang sepakatnya ulama, bahwa barang yang

 beku apabila kejatuhan bangkai, maka dibuang bangkainya dan bagian sekitarnya, jika memang

 bagian bangkai tersebut tidak mengenai lebih dari itu. Adapun jika benda cair, maka para ulama

 berselisih, jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa benda cair tersebut menjadi najis

semuanya karena terkena najis, namun Az Zuhriy dan Al Auzaa‟iy menyelisihinya." 

 Menyucikan kulit bangkai

Kulit bangkai bisa menjadi suci baik luar dan dalamnya dengan disamak (sudah disebutkan

dalilnya).

Semua kulit bangkai binatang apa saja bisa disamak selain babi, karena babi tidak memiliki kulit

 – ini adalah madzhab Abu Hanifah-.

Dalam Syarh Muslim disebutkan, "Menyamak itu boleh menggunakan sesuatu yang bisa

mengeringkan sisa yang menempel di kulit bangkai, membuat wangi dan bisa menghalanginya

dari kerusakan seperti dengan syats (sejenis tumbuhan yang wangi dan pahit rasanya), qarazh

(daun salam), kulit delima dan lainnya (seperti sabun), tidak bisa hanya dengan dijemur  – kecuali

menurut ulama madzhab Hanafi-, tidak juga dengan tanah, debu dan garam menurut pendapat

yang lebih shahih."

Menyucikan cermin dan sebagainya 

Menyucikan cermin, pisau, pedang, kuku, tulang, kaca, bejana dan semua benda berkilap yang

tidak berlubang cukup dengan diusap dengan usapan yang menghilangkan bekas najis.

Menyucikan sandal 

Page 17: Kitab Thoharoh (1)

8/19/2019 Kitab Thoharoh (1)

http://slidepdf.com/reader/full/kitab-thoharoh-1 17/51

 

17

Menyucikan sandal atau khuff (sepatu yang menutupi dua kaki) yang terkena najis cukup dengan

digosok-gosok ke tanah hingga hilang bekas najisnya. Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah

radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

يتر    وت اذ ا   فن و   ع ت تح     ا

“Apabila sandal salah seorang di antara kamu menginjak kotoran, maka tanah adalah

 pensucinya.” (shahih lighairih, diriwayatkan oleh Abu Dawud) 

Faedah: 

Apabila seseorang sudah selesai shalat, lalu dilihat pakaian atau badannya ada najis yang tidak

diketahui sebelumnya, atau ia mengetahuinya tetapi lupa, atau ia ingat tetapi kesulitan

menghilangkannya, maka shalatnya sah, tidak perlu diulangi. Hal ini berdasarkan firman Allah

Ta'ala:

"Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya." (terj. Al Ahzaab: 5) 

4.  Adab Qadhaa'il Haajah (Buang Air) 

Ada seseorang yang berkata kepada Salman radhiyallahu 'anhu: "Apakah Nabi kalian shallallahu

'alaihi wa sallam mengajarkan segala sesuatu sampai masalah buang air?" Ia menjawab:

      ن و        ن و  و  ل  ئط    ا     ن    د  ج

 

 

و

 

جع

 

 

 

 

ن

 

و

 

ر

 

 

 .

"Ya, Beliau melarang kami buang air besar atau buang air kecil menghadap kiblat, beristinja'

dengan tangan kanan, beristinja' dengan batu yang kurang dari tiga buah dan beristinja' dengankotoran binatang[i] atau tulang." (HR. Muslim, Abu Dawud dan Tirmidzi) 

Hadits ini menunjukkan lengkapnya agama Islam, di mana agama ini saking lengkapnya sampai

mengatur masalah buang air. Berikut ini contoh aturan (adab) Islam yang perlu diperhatikan

ketika seseorang buang air:

1. Tidak membawa sesuatu yang terdapat nama Allah ke dalam wc, kecuali jika khawatir hilang.

Hal ini berdasarkan hadits Anas radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallammemakai cincin yang bertuliskan Muhammad Rasulullah, ketika Beliau masuk jamban, Beliau

menaruhnya." (HR. Empat orang, Al Haafizh berkata, "Sesungguhnya hadits tersebut ma'lul(bercacat), sedangkan Abu Dawud berkata: "Sesungguhnya hadits tersebut munkar, namun bagian pertama berasal dari hadits yang shahih")

Page 18: Kitab Thoharoh (1)

8/19/2019 Kitab Thoharoh (1)

http://slidepdf.com/reader/full/kitab-thoharoh-1 18/51

 

18

Bagian pertama yang berasal dari hadits yang shahih adalah kata-kata " Bahwa Nabi shallallahu

'alaihi wa sallam memakai cincin yang bertuliskan Muhammad Rasulullah" selebihnya adalah

dha'if. Namun demikian, dalil-dalil yang lain menunjukkan bahwa seorang muslim hendaknyamemuliakan nama Allah Ta'ala, oleh karena itu tidak sepantasnya ia memasukkan sesuatu yang

terdapat nama Allah Ta'ala ke dalam wc.

2. Menjauh dan bersembunyi dari orang lain ketika buang air besar, agar tidak terdengar suara atautercium baunya. Hal ini berdasarkan hadits Jabir radhiyallahu 'anhu:

ت ف    ن ح زا  ا      ف ء

   ف ن  و ت

 ن ج

 ن ا   

"Kami pernah keluar bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam safar, Beliau biasanya

tidak buang air besar kecuali dengan menghilang, sehingga tidak terlihat." (Shahih, HR. IbnuMajah) 

3. Mengucapkan doa ketika hendak masuk wc, atau saat mengangkat baju ketika buang air besar di

tanah lapang yang sepi. Doanya adalah sbb:

 

ئ

 

ا و

   

ا

 

   

ذ

 

ه

 

 

ا

 

"Dengan nama Allah. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari setan laki-laki

dan perempuan." 

Dalil doa di atas adalah kedua hadits berikut:

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

ا  ن  ل     ا  د   ذا م     تارو ه

 ا      س

"Tirai penutup antara jin dengan aurat Bani Adam ketika salah seorang di antara mereka masuk jamban adalah mengucapkan "Bismillah." (Shahih, diriwayatkan oleh Tirmidzi, dan inilah

lafaznya, juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah) 

Anas radhiyallahu 'anhu berkata:

ا لسر نسو  ا صل   ا   ذا  :  ا     ذ  ه  

  ئ  ا و

"Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam apabila masuk ke jamban, Beliau mengucapkan, "Ya

 Allah, sesungguhnya saya berlindung kepadamu dari setan laki-laki dan perempuan."   (HR.

Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah, Tirmidzi dan Nasa'i) 

5. Menahan diri untuk tidak berbicara secara mutlak, baik dzikr maupun kata-kata lainnya. Olehkarena itu, ia tidak menjawab salam dan menjawab muazin, kecuali jika memang harus berbicara

seperti mengarahkan orang yang buta yang dikhawatirkan akan jatuh. Jika ia bersin ketika buang

Page 19: Kitab Thoharoh (1)

8/19/2019 Kitab Thoharoh (1)

http://slidepdf.com/reader/full/kitab-thoharoh-1 19/51

 

19

air, maka hendaknya ia mengucap hamdalah dalam hatinya tanpa menggerakkan lisannya. Hal di

atas berdasarkan hadits Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma:

       ل   و سو  ا ص ه

ا    جر ن

"Bahwa ada seseorang yang melewati Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ketika Beliau sedang

buang air kecil, orang itu mengucapkan salam kepadanya, namun Beliau tidak menjawabnya."(HR. Jama'ah selain Bukhari) 

Para ulama sepakat bahwa larangan berbicara ketika buang air adalah larangan makruh.

6. Menghormati kiblat. Oleh karena itu, ia tidak menghadap ke arahnya dan tidak

membelakanginya. Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwaRasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

د  و  ا       ج  د   ج اذ

"Apabila salah seorang di antara kamu duduk buang air, maka janganlah ia menghadap kiblat

dan jangan membelakanginya." (HR. Ahmad dan Muslim) 

Larangan ini adalah makruh, karena ada hadits Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma ia berkata:"Suatu hari, aku pernah memanjat rumah Hafshah. Aku melihat Nabi shallallahu 'alaihi wa

sallam sedang buang air menghadap ke Syam, membelakangi Ka'bah." (HR. Jama'ah)

 Namun ada yang menjama' (menggabung) kedua hadits di atas bahwa menghadap atau

membelakangi kiblat ketika buang air tetap haram (tidak makruh), kecuali jika tertutup

 bangunan. Wallahu a'lam.

Marwan Al Ashfar berkata, "Aku pernah melihat Ibnu Umar mendudukkan untanya menghadapkiblat, ia buang air menghadap ke arahnya", maka aku berkata: "Wahai Abu Abdirrahman,

 bukankah hal itu dilarang?" Ia menjawab: "Ya, tetapi hal itu dilarang jika di tempat terbuka. Jika

antara dirimu dengan kiblat ada sesuatu yang menutupimu, maka tidak mengapa." (HR. AbuDawud, Ibnu Khuzaimah, Hakim dan isnadnya hasan sebagaimana dalam Al Fat-h)

7. Menjauhi tempat orang-orang berteduh, jalan yang biasa mereka lalui dan tempat mereka duduk

 berbincang-bincang. Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi

shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

ا

  ت  ن ا ا  : ن ت  ت    ن ا  :يج   

 ا ن   ف ن     ل

 ن

"Hindarilah oleh kalian dua hal yang dapat mendatangkan laknat!" para sahabat bertanya, "Apa

dua hal yang dapat mendatangkan laknat?" Beliau menjawab: "Yaitu yang buang air di jalanyang biasa dilalui manusia atau di tempat mereka berteduh." (HR. Ahmad, Muslim dan Abu

Dawud) 

8. Makruh buang air kecil di tempat mandinya. Hal ini berdasarkan hadits Abdullah bin Mughaffal

radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

Page 20: Kitab Thoharoh (1)

8/19/2019 Kitab Thoharoh (1)

http://slidepdf.com/reader/full/kitab-thoharoh-1 20/51

 

20

 و ا    ا  ن

    فن ت فو ضن    ن

ت وج

  مت

  ف ت تح    ت ن  

"Janganlah salah seorang di antara kamu buang air di tempat mandinya, lalu ia berwudhu' di situ,

karena umumnya timbul was-was dari sana." (HR. Lima orang, akan tetapi lafaz "lalu ia

 berwudhu' di situ" adalah milik Ahmad dan Abu Dawud saja) 

Larangan dalam hadits ini adalah makruh, karena disebutkan „illat (sebab) mengapa dilarang.

Ada yang mengatakan, “Jika di tempat mandi itu ada lubang tempat berla lu air sehingga airkencingnya hilang maka tidak makruh”. 

9. Tidak buang air di air yang diam (tidak mengalir). Dalilnya adalah hadits Jabir radhiyallahu

'anhu berikut:

 ا  ت  ف ا م  ان  ي  ن  و ت

 ن ن

 ن ا  ن

"Bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melarang buang air kecil di air yang diam." (HR.Ahmad, Muslim, Nasa'i dan Ibnu Majah) 

10. Sebaiknya tidak buang air kecil sambil berdiri. Hal ini agar air kencingnya tidak bercipratan ke

mana-mana, namun jika aman dari bercipratan, maka tidak mengapa. Aisyah radhiyallahu 'anha

 berkata:

   ن  تت      ت

ه

 ت ج ت ف م     ن  و ت

 ن   ت  ن  ت    حن

"Siapa saja yang menceritakan kepada kalian bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam

 buang air kecil sambil berdiri, maka janganlah dibenarkan. Beliau tidak buang air kecil kecualidalam keadaan duduk." (HR. Limar orang selain Abu Dawud) 

Perkataan Aisyah di atas didasari atas pengetahuannya, sehingga tidaklah bertentangan dengan

apa yang disampaikan Hudzaifah radhiyallahu 'anhu berikut:

"Bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mendatangi tempat pembuangan sampah, laluBeliau kencing sambil berdiri, maka aku pun menjauh. Beliau bersabda: "Mendekatlah", maka

aku mendekat sehingga berdiri di dekat tumitnya, Beliau pun berwudhu' dan mengusap keduakhuffnya." (HR. Jama'ah)

Imam Nawawi berkata, "Buang air kecil sambil duduk lebih aku sukai, namun berdiri boleh,

 semuanya ada riwayatnya dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam."  

11. Ia wajib menghilangkan najis yang menimpa qubul maupun dubur, baik dengan batu atau yangsemakna dengannya ( yakni benda yang keras, suci dan dapat menghilangkan najis, namun tidak

memiliki kemuliaan ) atau ia hilangkan dengan air saja. Boleh juga ia gunakan batu dengan air

secara bersamaan.

Dalilnya adalah hadits Aisyah radhiyallahu 'anha, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

 و  ت ت ين ف ء

 ح           ف   ا   ت تح  ى ا

Page 21: Kitab Thoharoh (1)

8/19/2019 Kitab Thoharoh (1)

http://slidepdf.com/reader/full/kitab-thoharoh-1 21/51

 

21

"Apabila salah seorang di antara kamu pergi ke wc, maka hendaknya ia beristinja' dengan tiga

 buah batu, karena hal itu dapat mencukupi." (HR. Ahmad, Nasa'i, Abu Dawud dan Daruquthni) 

Anas radhiyallahu 'anhu pernah berkata: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah masuk

 jamban, maka saya bersama anak sepantar saya membawakan seember kecil air dan tongkat, laluBeliau beristinja' dengan air." (Muttafaq 'alaih)

Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma meriwayatkan sbb:

 ف       ن ن  و ت

 ن ن

 ن ا  :(ن

ن

      ا  ت

 ه    ف متىتح  ن

   ء

   ف  نلعت     نلعت متين   م ن    م   ف  ات

"Bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah melewati dua kubur, dan bersabda,

"Sesungguhnya keduanya sedang disiksa. Keduanya tidaklah disiksa kecuali karenaanggapannya bukan dosa besar, (padahal dosa besar). Yang satu karena ia tidak menjaga diri dari

 buang air kecilnya, sedangkan yang satunya lagi karena ia pergi untuk mengadu domba." (HR.

Jama'ah) 

12. Tidak beristinja' dengan tangan kanan. Dalilnya adalah hadits Salman yang sudah disebutkan di

awal pembahasan ini. Demikian juga berdasarkan hadits Hafshah berikut:    م    م و و   هل  و   و ت  و  وت م    عت    ن  و 

ت

 ن ن

 ن ا  ن

"Bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menggunakan tangan kanannya untuk makan, minum,

mengambil dan memberi, sedangkan tangan kirinya untuk selain itu." (HR. Ahmad, Abu Dawud,

Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Hakim dan Baihaqi) 

13. Menggosok tangannya setelah beristinja' ke tanah atau mencucinya dengan sabun dsb. agar

hilang bau yang masih tersisa di tangannya. Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairahradhiyallahu 'anhu ia berkata:

ا  ت

ه   ن

ت    ف ء

ة    ء

  ف ء

 م    توت     ا   ا  ن  و ت

 ن ذ

 ن ا  

"Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam apabila mendatangi jamban, maka aku membawakan airdalam bejana dari tembaga atau kulit, lalu Beliau beristinja', setelah itu mengusap tangannya ke

tanah." (HR. Abu Dawud, Nasa'i, Baihaqi dan Ibnu Majah) 

15. Hendaknya ia dahulukan kaki kirinya ketika masuk, dan mendahulukan kaki kanannya ketikakeluar, lalu mengucapkan "Ghufraanak" (artinya: Ampunanmu, ya Allah, (aku minta))

'Aisyah radhiyallahu 'anha berkata:

     ا    ا   ن  و ت

 ن ن

 ن ا  (غت ا ):ن

"Bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam apabila keluar dari jamban, mengucapkan:

"Ghufraanaka." (HR. Lima orang selain Nasa'i) 

5. 

Benda –  benda yang digunakan untuk bersuci

Page 22: Kitab Thoharoh (1)

8/19/2019 Kitab Thoharoh (1)

http://slidepdf.com/reader/full/kitab-thoharoh-1 22/51

 

22

1.  Air Mutlak

Yaitu air yang masih asli karena belum tercampur benda lain baik najis maupun suci. Seperti air

sumur , mata air , air wadi , air sungai , salju , air laut , air hujan , air embun.

را

  

  ا

 

 ز

  و

 Dan Kami turunkan dari langit air yang amat bersih ( QS. Al Furqaan : 48 )

 ص ا  وس له

ا       :و   و  ر    ن      

ا ن 

   ثد  س   Sesungguhnya air itu adalah suci , kecuali jika berubah baunya , rasanya atau warnanya karena

benda najis yang masuk ke dalamnya. ( HR. Baihaqi dari Abu Umamah RA )

2. 

Tanah Yang Suci

Yaitu permukaan bumi yang suci , seperti debu , pasir , batu atau tanah basah. Berdasarkan sabda

Rasulullah SAW ,

سو  ا ص ا لسر ل:رو اد  ضرا   جو

 Rasulullah SAW bersabda Bumi dijadikan tempat sujud dan bersuci bagiku ( HR Bukhari dari

 Jabir bin Abdillah RA )

Tanah sebagai alat bersuci ketika tidak ada air , atau tidak mampu menggunakan air karena sakit

atau hal lain.

ه

 ادص ا      اود   

 Kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci) (

QS. An Nisa : 43 )

س و  ا ص ا لسر  ش:ل  ا د   نإو ا  و   ا دا نأ

 س

Page 23: Kitab Thoharoh (1)

8/19/2019 Kitab Thoharoh (1)

http://slidepdf.com/reader/full/kitab-thoharoh-1 23/51

 

23

Rasulullah SAW bersabda : Tanah yang suci adalah wudhunya seorang muslim meskipun dia

tidak mendapatkan air selama sepuluh tahun .

BAB II : WUDHU

1.  Dalil disyari’atkan wudhu 

Dalil disyari‟atkan wudhu ada dalam Al Qur‟an, As Sunnah dan Ijma‟. Dalam Al Qur‟an, disurat Al Maa‟idah: 6,

 

ل ك م  

يدي

 

 م ك 

ىه

 

ج

 

 اى غ ف ة ل  الص  ا ق ت م  ذ   ىا  

آ نيرلا  

ي

 

 

ي

 ن  

   كلا  ل  ك م  

زج

 

 م كو 

 

 س ىا 

  

ا

 

 فا 

س

 

لا

 Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan

tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata

kaki  ( QS. Al Ma‟idah : 6 ) 

Sedangkan dalam As Sunnah adalah sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:

   

ى

 

ت

 

ت ي 

   

  د ا ذ  د  م  

    ة 

   

   

 ي Allah tidak menerima shalat salah seorang di antara kamu sampai ia berwudhu. ( HR. Bukhari,

Muslim, Abu Dawud dan Tirmidzi ) 

Sedangkan dalam ijma‟ adalah karena kaum muslimin dari zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi

wa sallam sampai sekarang telah sepakat tentang disyari‟atkannya wudhu.  

2.  Keutamaan wudhu

Page 24: Kitab Thoharoh (1)

8/19/2019 Kitab Thoharoh (1)

http://slidepdf.com/reader/full/kitab-thoharoh-1 24/51

 

24

Banyak hadits-hadits yang menerangkan tentang keutamaan wudhu, di antaranya sbb:

Dari Abdullah Ash Shunaabihiy bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

“Apabila seorang hamba berwudhu lalu berkumur -kumur, maka akan keluar dosa-dosa dari

mulutnya. Jika ia menghembuskan air dari hidung, maka akan keluar dosa-dosa dari hidungnya.Ketika ia membasuh mukanya, maka akan keluar dosa-dosa dari mukanya sampai keluar dari

 pinggir kelopak mata. Ketika ia membasuh kedua tangannya, maka akan keluar dosa-dosanyadari kedua tangannya sampai keluar dari bawah kuku tangannya. Ketika ia mengusap kepala,

maka akan keluar dosa-dosa dari atas kepalanya sampai keluar dari kedua telinganya. Ketika iamembasuh kedua kakinya, maka akan keluar dosa-dosanya dari kedua kakinya sampai keluar

dari bawah kuku kakinya. Kemudian dengan berjalannya menuju masjid dan shalat yang

dilakukannya sebagai tambahan untuknya.” (HR. Malik, Nasa‟i, Ibnu Majah dan Hakim) 

Dan dari Abu Huirairah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Maukah kamu

aku tunjukkan perbuatan yang dengannya Allah akan menghapuskan dosa-dosa dan meninggikanderajat?” Para sahabat menjawab: “Ya, mau wahai Rasulullah.” Beliau bersabda:

“Menyempurnakan wudhu saat keadaan tidak menyenangkan, banyak melangkahkan kaki

menuju masjid dan menunggu shalat yang berikutnya setelah melaksanakan suatu shalat; itulahAr Ribaath.” (HR. Malik, Muslim, Tirmidzi dan Nasa‟i) 

Ribaath artinya menjaga perbatasan dari serangan musuh dan berjihad fii sabiilillah, yakni bahwa

senantiasa menjaga kesucian dan menekuni ibadah seperti jihad fii sabiilillah.

Keutamaan lainnya adalah bahwa dengan berwudhu, muka, tangan dan kakinya akan bercahaya

 pada hari kiamat sehingga dapat diketahui bahwa mereka adalah umat Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam (sebagaimana dalam hadits riwayat Muslim).

3.  Rukun wudhu

Berikut fardhu wudhu:1.   Niat2.   Membasuh muka sekali, yakni mengalirkan air ke atasnya, karena arti membasuh

adalah mengalirkan air. Batas muka, panjangnya dari atas dahi hingga bawah janggut

dan lebarnya dari syahmah (lentik) telinga yang satu ke telinga yang satunya lagi.

3.   Membasuh kedua tangan sampai sikut , yakni sikut pun harus kena.4.   Mengusap kepala. Mengusap di sini artinya adalah membasahkan kepala.

5.   Membasuh kedua kaki sampai mata kaki, beserta kedua mata kakinya juga dibasuh.

Dalil no. 1 sampai 4 ada di surat Al Maa‟idah: 6. 

6.  Muwaalaah (tidak memutuskan dengan perbuatan lain). Oleh karena itu, jika ketika berwudhu, di sela-selahi dengan perbuatan yang lain. Misalnya makan, minum dsb,

maka wudhunya hendaknya diulangi. Kecuali jika perbuatan itu berkaitan denganwudhu/bersuci. Misalnya di tangan atau kakinya ada bekas lilin yang menempel, laluia kerik dan melanjutkan wudhunya, maka wudhunya sah. Demikian juga sah

Page 25: Kitab Thoharoh (1)

8/19/2019 Kitab Thoharoh (1)

http://slidepdf.com/reader/full/kitab-thoharoh-1 25/51

 

25

wudhunya jika pindah ke kran yang satunya lagi, jika kran pertama tidak keluar air

atau habis dsb.

7.  Tertib : berurutan dimulai dari membasuh muka , kedua tangan , mengusap kepaladan membasuh kaki

4. 

Sunnah-sunnah wudhu

1.  Membaca basmalah

2.  Bersiwak, berdasarkan hadits berikut:

ا اك ع 

ه

       ن   

“Jika sekiranya aku tidak memberatkan umatku, niscaya aku suruh mereka bersiwak setiap kali berwudhu.” (Shahih, HR. Ahmad) 

3. . Membasuh kedua telapak tangan tiga kali di awal wudhu, lih. hadits Humran di atas.

4. . Menggabung berkumur-kumur dan menghirup air ke hidung dalam sekali cidukan dengan satutelapak tangan sebanyak tiga kali, berdasarkan hadits Abdullah bin zaid radhiyallahu 'anhu.

5. Menghirup air ke hidung secara mendalam, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

ئص ن ن    شق  غ  اس و ع صا   ه

و

“Sela-selahilah jari-jari dan lebih dalamlah dalam menghirup air ke hidung, kecuali jika kamusedang berpuasa.” (Shahih, HR. Abu Dawud) 

6. . Menyela-nyela janggut, berdasarkan hadits Utsman radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi shallallahu'alaihi wa sallam menyela-nyela janggutnya. (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi, serta ia

menshahihkannya)Janggut ada yang tipis dan tebal. Jika tipis yang tidak menutupi kulit, maka wajib dibasuh

 beserta bagian bawahnya, karena bagian bawah jika nampak, masuk ke bagian wajah. Sedangkan

 janggut yang tebal, yakni yang menutupi kulit, maka dalam hal ini yang wajib adalah membasuh bagian luarnya. Dan dianjurkan menyela-nyela janggut, cara menyela-nyela janggut ada dua

cara:

- Diambil air setelapak tangan, lalu ditempatkan di bawah janggut, lalu disela-sela janggut

dengannya.

- Diambil air setelapak tangan, lalu di sela-sela janggutnya dengan jarinya seakan-akan jarinyaseperti sisir. (lih. Asy Syarhul Mumti‟ 1/140 karya Syaikh Ibnu „Utsaimin) 

Page 26: Kitab Thoharoh (1)

8/19/2019 Kitab Thoharoh (1)

http://slidepdf.com/reader/full/kitab-thoharoh-1 26/51

 

26

7. Menyela-nyela jari-jari tangan dan kaki, dalilnya sudah disebutkan pada no. 4. Dalam hadits

Mustawrid bin Syaddad dijelaskan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menyela-nyela

 jari kakinya dengan menggunakan jari kelingking (HR. Lima orang selain Ahmad).

Ada riwayat yang menerangkan anjuran menggeser cincin, termasuk juga gelang ketikamembasuh tangan, hanya riwayat tersebut tidak mencapai derajat shahih, namun dianjurkan

dilakukan, karena masuk ke dalam keumuman perintah menyempurnakan wudhu.

8. Membasuh anggota wudhu sebanyak tiga kali, karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah

membasuh dua kali-dua kali atau sekali-sekali.

9. Mendahulukan bagian kanan.

10. Menggosok-gosok, hal ini berdasarkan hadits Abdullah bin Zaid bahwa Nabi shallallahu'alaihi wa sallam berwudhu dengan air yang hanya 2/3 mud, lalu Beliau menggosok-gosok

tangannya (shahih, HR. Ibnu Khuzaimah).

11. Mengusap kedua telinga, namun di antara ulama ada yang memasukkan “mengusap dua

telinga” ke dalam fardhu wudhu dengan alasan, karena kedua telinga bagian dari kepala yang

wajib dibasuh.12. Hemat dalam menggunakan air, karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan

 bahwa akan ada pada ummatnya orang-orang yang berlebihan dalam bersuci dan berdo‟a (HR.

Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah).

13. Berdoa setelah wudhu, yaitu dengan doa berikut:

سرو د اد ن

 ود      دو ا      ن 

د 

 

ه

 ا     جاو   ا ا   جا ا

 

5.  Perkara yang Makruh dalam berwudhu

1.  Wudhu di tempat najis2.  Membasuh lebih dari tiga kali

3.  Berlebihan dalam menggunakan air

4.  Meninggalkan salah satu sunnah wudhu

5.  Menyentuh farji dengan telapak tangan bagian dalam atau jari - jari

6.  Perkara yang membatalkan wudhu

Page 27: Kitab Thoharoh (1)

8/19/2019 Kitab Thoharoh (1)

http://slidepdf.com/reader/full/kitab-thoharoh-1 27/51

 

27

1.  Keluarnya sesuatu dari dua jalan seperti : air kencing , wadi , wadzi , tinja , dan kentut .

2.  Tidur lelap dengan berbaring

3.  Hilang akal karena pingsan , gila , mabuk4.  Murtad

5. 

Menyentuh wanita dengan syahwat

7.  Orang –  orang yang disunnahkan berwudhu

1.  Orang yang beser2.  Orang yang istihadhah

3.  Orang yang memandikan mayit

8.  Tatacara wudhu

Dari Humran Maula (budak yang dimerdekakan) Utsman, bahwa Utsman bin Affan radhiyallahu

'anhu pernah meminta dibawakan air wudhu, ia pun berwudhu, membasuh kedua telapaktangannya tiga kali, lalu berkumur-kumur dan menghembuskan air dari hidung, dan membasuh

mukanya tiga kali, kemudian membasuh tangan kanan sampai siku tiga kali, yang kiri juga

seperti itu. Kemudian ia mengusap kepala dan telinganya, lalu membasuh kaki kanannya sampai

mata kaki tiga kali, kaki kiri pun sama seperti itu. Setelah itu, ia berkata, “Aku melihatRasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berwudhu seperti wudhuku ini, kemudian Rasulullah

shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang berwudhu seperti wudhuku ini, lalu

berdiri shalat dua rak‟at dengan khusyu‟, niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” 

Ibnu Syihab berkata, “Para ulama kami berkata, “Wudhu ini merupakan wudhu paling sempurnayang dilakukan seseorang ketika hendak shalat.” (HR. Bukhari, Muslim (ini adalah lafaznya),

Abu Dawud dan Nasa‟i) 

Segala puji bagi Allah Rabbul „aalamin, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, kepada keluarganya, sahabatnya dan orang-orang yangmengikutinya hingga hari kiamat, amma ba‟du: 

Mandi dalam bahasa Arab disebut Al Ghusl, yang artinya meratakan air ke seluruh badan.

Hukumnya masyru‟ (disyariatkan) sebagaimana firman Allah Ta‟ala: 

 وا  ج  ن و

“Dan jika kamu junub, maka mandilah,” (Al Maa‟idah: 6) 

Ada beberapa pembahasan seputar mandi, sebagaimana yang kami sebutkan di bawah ini:

Page 28: Kitab Thoharoh (1)

8/19/2019 Kitab Thoharoh (1)

http://slidepdf.com/reader/full/kitab-thoharoh-1 28/51

 

28

I.  Yang mengharuskan mandi 

Hal-hal yang mengharuskan mandi adalah:

a. Keluar mani ketika sadar atau ketika tidur. Namun ketika sadar, disyaratkan keluarnya dengan

syahwat. Hal ini berdasarkan hadits Ummu Salamah, bahwa Ummu Sulaim berkata:

ا

 ل

 

 ا

 ذا

 

 

 ة

ا

 

 

 

 ه

ا

 

 

 

 ا

 ن

 ا

 رسل

 

 سو  ا ص: 

ا ذا رت 

“Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak merasa malu menerangkan kebenaran, makaapakah wanita harus mandi ketika mimpi?” Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab,

“Apabila dia melihat air (mani).” (HR. Bukhari, Muslim dan Tirmidzi) 

Adapun dalil disyaratkan ketika sadar keluarnya dengan syahwat adalah sabda Rasulullah

shallallahu 'alaihi wa sallam:

   ذ    ذا   و  ا      اذ

“Apabila engkau keluarkan mani dengan tekanan, maka mandilah karena janabat. Namun jikatidak dengan tekanan, maka jangan mandi.” (Isnadnya hasan shahih, diriwayatkan oleh Ahmad,lihat Al Irwa‟ 1/162) 

Faedah: 

Barang siapa bermimpi, namun ia tidak menemukan basah pada kemaluannya, maka ia tidak

 perlu mandi, namun barang siapa yang menemukan basah pada kemaluannya, tetapi ia tidak

ingat bermimpi, maka ia harus mandi. Dalilnya adalah hadits Aisyah radhiyallahu 'anha ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah ditanya tentang seseorang yang

menemukan basah pada kemaluannya namun ia tidak ingat bermimpi, maka Beliau bersabda,

“(Hendaknya) ia mandi.” Demikian pula Beliau ditanya tentang seorang yang merasa dirinya bermimpi, tetapi tidak menemukan basah pada kemaluannya, Beliau bersabda, “Ia tidak perlu

mandi.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, Shahih Abu Dawud 216). 

 b. Berjima‟ meskipun tidak keluar mani. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: 

ا   جو د  ن  ا ن   ا   و عرا     ج اذ

“Apabila seseorang duduk di antara cabangnya yang empat (kedua tangan dan kedua kaki),

khitan pun bersentuhan dengan khitan, maka wajib mandi.” (HR. Muslim) 

c. Orang kafir masuk Islam. Dari Qais bin „Ashim, bahwa ia masuk Islam, lalu Nabi shallallahu

'alaihi wa sallam menyuruhnya mandi dengan air yang bercampur daun bidara. (Shahih, HR. Nasa‟i, Tirmidzi dan Abu Dawud, lihat Al Irwa‟ 128) 

d. Selesai haidh dan nifas. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam

kepada Fathimah binti Abi Hubaisy:

Page 29: Kitab Thoharoh (1)

8/19/2019 Kitab Thoharoh (1)

http://slidepdf.com/reader/full/kitab-thoharoh-1 29/51

 

29

ه

صو   ت  ذا    د اة و ا     ذا 

“Apabila datang haidh, maka tinggalkanlah shalat, dan apabila telah hilang haidh, maka mandi

dan shalatlah.” (HR. Bukhari dan Muslim) 

Adapun nifas, maka sama seperti haidh berdasarkan ijma‟. 

II.  Rukunnya 

Rukun mandi ada dua:

a.  Niat di hati (tanpa diucapkan), berdasarkan hadits, “ Innamal a‟maalu bin niyyaat.” (artinya:Amal itu tergantung niat).

 b. Meratakan air ke seluruh badan. Dengan demikian, seseorang telah dikatakan mandi ketika telah

 berniat untuk mandi junub dan meratakan air ke seluruh badan. Hal ini berdasarkan hadits

riwayat Bukhari di bab  Ash Sha‟iiduth Thayyib wadhuu‟ul muslim  yang menyebutkan bahwaketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat sedang bersafar dan mereka

kesiangan, akhirnya mereka shalat Subuh ketika matahari telah naik. Selesai shalat, ada seorangyang mengasingkan diri dan tidak ikut shalat bersama Beliau, lalu Beliau bertanya, “Apa yangmenghalangimu wahai fulan untuk shalat bersama orang-orang?” Ia menjawab, “Aku tertimpa

 janabat dan tidak ada air.” Maka Beliau menyuruhnya bertayammum. Setelah ada air, Beliau

memberikan air kepada orang yang junub tersebut dan bersabda:

    ذا

“Pergilah dan tuangkanlah air itu kepada dirimu.” 

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak menyuruhnya untuk melakukan ini dan itu ketika ia

mandi. Hal ini menunjukkan, bahwa dengan seseorang meratakan air ke seluruh badannya, maka

 berarti ia telah mandi. Namun demikian, disukai mandinya seperti yang diajarkan Rasulullahshallallahu 'alaihi wa sallam sebagaimana akan diterangkan setelah ini, insya Allah.

III.  Sifat (cara) yang dianjurkan 

     ر شئ :     دن رسل    د      ذا   ,

      ,ج    ,   , 

  ,لص    ص  د  

 ش,ت  ث س ض  سئ جد   ,ر  ,جر  

Dari Aisyah radhiyallahu „anha ia berkata: Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam apabila

mandi junub, Beliau memulai dengan mencuci kedua tangannya, lalu menuangkan air dengan

tangan kanannya ke atas tangan tangan kirinya, kemudian membasuh kemaluannya, lalu

Page 30: Kitab Thoharoh (1)

8/19/2019 Kitab Thoharoh (1)

http://slidepdf.com/reader/full/kitab-thoharoh-1 30/51

 

30

 berwudhu‟, kemudian mengambil air dan memasukkan jari-jarinya ke pangkal rambutnya

kemudian menuangkan air ke atas kepalanya tiga kali tuangan, lalu meratakan air ke seluruh

 badan kemudian membasuh kedua kakinya.” (Muttafaq „alaih, lafaz ini adalah lafaz Muslim)Dalam sebuah riwayat milik keduanya (Bukhari dan Muslim)

 

 ات

 ث

  

ا

 

 ض

  ش

 روى

 د

 ن

 ظ

 ذا

 

 

د

 ه

 

  دج ئس

“Kemudian Beliau menyela-nyela rambutnya dengan tangannya, sehingga ketika Beliau telah

merasa membasahi kulit(kepala)nya, maka Beliau menuangkan air ke atasnya tiga kali, lalu

Beliau membasuh ke seluruh badannya.”

Dalam riwayat milik keduanya pula dari hadits Aisyah radhiyallahu 'anha, ia berkata:

ه

  ب

ا    ش    ا    ا اذ  سو  ا ص ا لسر ن

 س   ر   ل      ا  ا س  ره

ش   . د

 Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ketika mandi karena janabat, meminta dibawakan

 sesuatu yang mirip bejana (berisi air), lalu memasukkan telapak tangannya dan memulai

(menyela-nyela) bagian kepala yang kanan, lalu yang kiri, kemudian mengambil air dengan

kedua telapak tangannya dan menuangkannya ke kepalanya.” 

Dari Maimunah radhiyallahu 'anha ia berkata, “Aku pernah menyiapkan air untuk mandiRasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu aku menuangkan ke kedua tangannya dan Beliau

mencuci keduanya dua kali-dua kali atau tiga kali. Selanjuntnya, Beliau menuangkan air ke

tangan kirinya dan membasuh kemaluannya, kemudian menggosok tangannya ke tanah, lalu berkumur-kumur dan menghirup air ke hidung, kemudian membasuh muka dan kedua

tangannya, lalu membasuh kepalanya tiga kali. Selanjutnya Beliau menuangkan air ke seluruh

 badannya, lalu bergeser dari tempatnya dan mencuci kedua kakinya.” Maimunah berkata, “Laluaku membawakan sebuah kain kepadanya, namun Beliau tidak menginginkannya, dan Beliaumengeringkan air dengan tangannya.” (HR. Jamaah) 

Kesimpulan cara mandi yang dianjurkan berdasarkan hadits di atas dan hadits-hadits lainnya

adalah sebagai berikut:

1. Berniat di hati.

2. Membaca Bismillah.

3. Mencuci kedua telapak tangannya tiga kali. Lihat hadits di atas.

4. Mencuci farji(kemaluan)nya dengan tangan kirinya dan menghilangkan kotoran yang

menempelnya. Hal ini berdasarkan hadits Aisyah dan Maimunah.

5. Membersihkan tangan kirinya ke lantai, menggosok-gosoknya dan mencucinya (HR. Bukharidan Muslim), atau menggosoknya ke dinding dan mencucinya (HR. Bukhari), atau mencucinya

dengan air dan sabun.

Page 31: Kitab Thoharoh (1)

8/19/2019 Kitab Thoharoh (1)

http://slidepdf.com/reader/full/kitab-thoharoh-1 31/51

 

31

6. Berwudhu‟ secara sempurna seperti wudhu‟ untuk shalat (berdasarkan hadits Aisyah), namun

ia boleh menunda membasuh kaki setelah mandi selesai (berdasarkan hadits Maimunah).

7. Memasukkan jari-jari ke dalam air, lalu menyela-nyela rambut agar air masuk ke pangkalnya,

kemudian menuangkan air ke kepalanya tiga kali (Berdasarkan hadits Maimunah dan Aisyahradhiyallahu 'anhuma, diriwayatkan oleh Bukhari di Al Fat-h 1/360 no. 248 dan 383, Muslim

1/253 no. 316 dan 317). Ia memulai dengan bagian kepala sebelah kanan, lalu sebelah kiri,kemudian pertengahan berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu 'anha (HR. Bukhari, Muslim ).

Catatan: 

- Bagi wanita tidak wajib membuka jalinan rambutnya karena mandi janabat. Hal ini

 berdasarkan hadits Ummu Salamah radhiyallahu 'anha, bahwa ada seorang wanita yang berkata,

“Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya adalah wanita yang mengikat jalinan rambutku, maka

apakah aku harus melepasnya karena janabat?” Beliau bersabda, “Sesungguhnya cukup bagimumenuangkan ke kepalamu tiga kali tuangan air, lalu kamu ratakan ke seluruh badanmu. Dengan

demikian, engkau telah suci.” (HR. Ahmad, Muslim, Tirmidzi dan ia berkata, “Hasan shahih.”)  

Tetapi wajib membukanya ketika mandi dari haidh berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu

'anha. Namun yang lain berpendapat hal itu sunat, seperti Syaikh Ibnu Baz dan muridnya Dr.Sa‟id Al Qahthaniy. 

- Dianjurkan bagi wanita apabila mandi karena selesai haidh atau nifas mengambi kapas dengan

membubuhi wewangian, lalu mengusap bagian yang terkena darah agar bagian tersebut tidak

 bau. Hal ini berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu 'anha, bahwa Asma‟ binti Yazid pernah bertanya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tentang mandi haidh, maka Beliau bersabda,

“Salah seorang di antara kamu mengambil air dan daun bidara, lalu berwudhu dan memperbagus

wudhu‟nya, kemudian menuangkan (air) ke atas kepalanya, lalu menggosoknya dengan keras

sampai masuk pangkal rambutnya, lalu menuang air ke atasnya, kemudian ia mengambil kapasyang diberi wewangian dan bersih- bersih dengannya.” (HR. Jamaah selain Tirmidzi) 

8. Menuangkan air ke seluruh badan dengan mendahulukan bagian yang kanan, lalu yang kiri,

dengan memperhatikan dua ketiak, lipatan anggota badan, pusar, pangkal paha, serta menggosok bagian badan yang mungkin digosok. Hal ini berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu 'anha, yangdi sana disebutkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam membasuh maraafi‟nya, yaitu

 pangkal-pangkal lipatan tubuh (HR. Abu Dawud no. 243, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani

dalam Shahih Abi Dawud 1/48).

9. Berpindah dari tempatnya, lalu membasuh kakinya (berdasarkan hadits Maimunah). Lebih

utama mengeringkan anggota badannya dengan tangan berdasarkan hadits Maimunah.

10. Sebaiknya irit ketika mandi. Anas radhiyallahu 'anhu berkata, “Mabi shallallahu 'alaihi wa

sallam berwudhu‟ dengan satu mud dan mandi dengan satu sha‟ (4 mud) sampai 5 mud.” (HR.

Bukhari dan Muslim). Aisyah radhiyallahu 'anha pernah menerangkan, bahwa ia pernah mandi bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam satu wadah yang cukup untuk tiga mud atau

mendekatinya. (HR. Muslim).

Page 32: Kitab Thoharoh (1)

8/19/2019 Kitab Thoharoh (1)

http://slidepdf.com/reader/full/kitab-thoharoh-1 32/51

 

32

IV.  Larangan bagi yang junub

Bagi yang junub dilarang melakukan hal-hal berikut:

a. Shalat (lihat surah An Nisaa‟: 43).

 b. Thawaf di Baitullah. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:

صة

 

 

 اف

 

..“Thawaf di Baitullah adalah shalat ….” 

(HR. Nasa‟i, Tirmidzi dan Ibnu Khuzaimah,). 

c. Menyentuh Mushaf. Hal ini berdasarkan hadits „Amr bin Hazm, Hakim bin Hizam dan Ibnu

Umar radhiyallahu 'anhum:

  آن 

ا  

  

“Tidak ada yang menyentuh Al Qur‟an kecuali yang suci.” (HR. Malik dalam Al Muwaththa‟) 

“Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam membacakan Al Qur‟an kepada kami dalam setiapkeadaan selama tidak dalam keadaan junub.” (HR. Tirmidzi , Abu Dawud, Ibnu Majah, Nasa‟i,

Ahmad dan lainnya.).

e. Berdiam di masjid, (lihat surah An Nisaa‟: 43). 

II.  Mandi yang sunat

1. Mandi ihram. Hal ini berdasarkan hadits Zaid bin Tsabit radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabishallallahu 'alaihi wa sallam melepaskan pakaiannya untuk bertahallul dan melakukan mandi.”

(HR. Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, Hakim,).

2. Mandi hari Jum‟at. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: 

 ه

 

  واج

 

 ا

 

 

 

“Mandi hari Jum‟at itu wajib bagi setiap yang baligh.” (HR. Bukhari dan Muslim) 

 و :سة ل         م  , ل رسل   

   و

 Dari Samurah radhiyallahu „anhu ia berkata: Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallambersabda, “Barangsiapa yang berwudhu‟ pada hari Jum‟at maka ia telah kerjakan yang

wajibnya dan hal itu baik, dan barangsiapa yang mandi maka mandi itu lebih utama.”  (

Diriwayatkan oleh Al Khamsah ). 

Para ulama berbeda pendapat tentang mandi Jum‟at, apakah wajib atau sunat? Ada yang berpendapat wajib, ada pula yang berpendapat sunat mu‟akkad (yang ditekankan), dan ada pula

Page 33: Kitab Thoharoh (1)

8/19/2019 Kitab Thoharoh (1)

http://slidepdf.com/reader/full/kitab-thoharoh-1 33/51

 

33

yang merincikan dengan mengatakan, bahwa mandi Jum‟at itu wajib bagi para pekerja berat

yang biasanya berkeringat, adapun selain mereka, maka hukumnya sunat. Namun pendapat ini

lemah, yang rajih  – insya Allah-  bahwa mandi Jum‟at hukumnya sunat mu‟akkad. Pendapat inidipegang oleh Syaikh Ibnu Baz. Adapun sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, “ Mandihari Jum‟at itu wajib bagi setiap yang baligh.”  Maka maksudnya menurut kebanyakan ahli ilmu

adalah sangat ditekankan. Makna ini diperkuat oleh cukupnya Beliau shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan berwudhu‟ dalam sebagian hadits. Demikian pula memakai wewangian, bersiwak, memakai pakaian yang indah adalah termasuk sunat yang dianjurkan dan tidak wajib.

3. Mandi ketika masuk ke Mekah. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Umar radhiyallahu 'anhu, bahwa

ia tidak tiba di Mekah, kecuali bermalam di Dzi Thuwa sampai pagi hari, lalu mandi, dan ia

menyebutkan bahwa hal itu berasal dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam (HR. Bukhari danMuslim).

4. Mandi untuk setiap kali jima‟. Hal ini berdasarkan hadits Abu Raafi‟, bahwa Nabi shallallahu

'alaihi wa sallam suatu hari pernah mengelilingi istri-istrinya, dimana Beliau mandi di istri yang

ini dan yang itu. Lalu aku berkata, “Wahai Rasulullah, apa engkau tidak jadikan sekali mandi?”Beliau menjawab, “Ini lebih suci dan lebih baik.” (HR. Abu Dawud, Nasa‟i, Thabrani, dan ).

5. Mandi sehabis memandikan mayit. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

ه

      “Barang siapa yang memandikan mayit, maka hendaknya ia mandi.” (HR. Ibnu Majah, ShahihIbnu Majah 1195). 

6. Mandi karena menguburkan orang musyrik. Hal ini berdasarkan hadits Ali bin Abi Thalib

radhiyallahu 'anhu, bahwa ketika Abu Thalib meninggal, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa

sallam menyruh Ali menguburkannya. Setelah ia menguburkannya, maka Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam memerintahkan kepadanya untuk mandi.” (Shahih isnadnya, HR. Nasa‟i dan

Abu Dawud, lihat Ahkaamul Janaa‟iz 134) 

7. Mandi untuk wanita yang istihadhah untuk setiap kali shalat. Hal ini berdasarkan hadits UmmuHabibah. Atau ketika menggabung antara dua shalat dengan jama‟ shuriy (dengan menta‟khirkanshalat yang satu dan mengedapankan shalat berikutnya). Hal ini berdasarkan hadits Hamnah binti

Jahsy radhiyallahu „anhuma, ia berkata: “Aku pernah terkena darah istihadhah yang banyak

sekali, lalu aku mendatangi Nabi shallallahu „alaihi wa sallam untuk meminta penjelasannya,maka Beliau menjawab, “Itu tidak lain gangguan dari setan, maka cukup kamu merasakan haid

selama 6 hari atau 7 hari, lalu mandilah, apabila telah bersih shalatlah selama 24 atau 23 hari,

 puasalah dan shalatlah karena hal itu cukup buatmu. Juga lakukanlah (perkirakan masa) haidmu

seperti haidnya wanita yang lain, apabila kamu sanggup menta‟khirkan shala t Zhuhur danmengedepankan shalat „Ashar lalu mandi ketika bersih kemudian kamu shalat Zhuhur dan

„Ashar dengan dijama‟ (maka lakukanlah), juga kamu sanggup menta‟khirkan shalat Maghrib

dan mengedepankan shalat Isya lalu mandi dan menggabungkan kedua shalat itu makalakukanlah. Dan ketika Subuh kamu mandi lalu shalat,” Beliau melanjutkan sabdanya, “Itulah

Page 34: Kitab Thoharoh (1)

8/19/2019 Kitab Thoharoh (1)

http://slidepdf.com/reader/full/kitab-thoharoh-1 34/51

 

34

hal yang paling aku sukai di antara dua cara.” (Diriwayatkan oleh lima orang selain Nasa‟i, dan

dishahihkan oleh Tirmidzi serta dihasankan oleh Bukhari).

Catatan: Yang wajib bagi wanita yang istihadhah setelah selesai dari kebiasaan haidhnya adalah

mandi, selanjutnya mandi menjadi sunat, yang wajib adalah berwudhu‟. 

8. Mandi setelah pingsan. Hal ini berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu 'anha yang menjelaskan

 bahwa ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sakit dan para sahabat menunggu Beliauuntuk mengimami, maka Beliau meminta disiapkan air untuk mandi, setelah mandi Beliau

 pingsan, ketika sadar, Beliau mandi lagi, dst. (Lihat di Bukhari dalam Al Fat-h no. 687 danMuslim no. 418)

9. Mandi pada hari raya. Baihaqi meriwayatkan dari jalan Syafi‟i dari Zaadzaan ia berkata: Ada

seorang yang bertanya kepada Ali tentang mandi?” Ia menjawab, “Mandilah setiap hari jika

kamu mau.” Ia berkata lagi, “Bukan itu, maksudnya adalah mandi (yang sesungguhnya)?” Iamenjawab, “Hari Jum‟at, hari „Arafah, hari Nahar dan hari Fitri.” (Syaikh Al Albani berkata

dalam Irwa‟ul Ghalil, “Dan sanadnya shahih,” yakni mauquf sampai kepada Ali radhiyallahu

'anhu) Sa‟id bin Musayyib berkata, “Sunnah Idul Fithri ada tiga; berjalan ke tanah lapang, makan

sebelum keluar dan mandi.” (Al Irwaa‟ 3/104). 

10. Mandi pada hari Arafah, yakni bagi jamaah haji.

BAB IV TAYAMUM

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, dan

 para sahabatnya semua. Amma ba‟du: 

Page 35: Kitab Thoharoh (1)

8/19/2019 Kitab Thoharoh (1)

http://slidepdf.com/reader/full/kitab-thoharoh-1 35/51

 

35

Agama Islam adalah agama yang mudah dan selalu cocok di setiap waktu, generasi dan di setiap

tempat, dan tidak ada alasan bagi seorang muslim untuk meninggalkan ajaran Islam. Salah satu

 buktinya adalah dengan adanya syariat tayammum bagi yang tidak mendapatkan air sehinggatidak ada alasan baginya untuk meninggalkan shalat. Berikut ini akan diterangkan sedikit

hukum-hukum seputar tayammum, semoga risalah ini bermanfaat, Allahumma aamiin.

I.  Ta’rif (definisi) Tayammum 

Tayammum secara bahasa artinya  Al Qashd (menyengaja). Sedangkan secara syara‟, artinya

mengusap muka dan kedua tangan menggunakan debu yang baik dengan cara tertentu sebagai

ibadah kepada Allah Subhaanahu wa Ta'aala.

II.  Hukum Tayammum 

Tayammum hukumnya masyru‟ (disyariatkan) berdasarkan Al Qur‟an, As Sunnah dan Ijma‟.

Dalam Al Qur‟an, Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:  

“Dan jika kamu sakit atau sedang dalam safar atau datang dari tempat buang air atau kamu

telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu

dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” (An Nisaa‟: 43) 

Sedangkan dalam As Sunnah, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

   و تمنوت   فا  ا م  ف     م ا        ت

 ا م يتت   ج

ن

 ا ع ا ن

“Debu yang bersih adalah alat bersuci seorang muslim meskipun ia tidak memperoleh air selama

sepuluh tahun. Tetapi, apabila ia mendapatkan air, maka sentuhkanlah ke kulitnya.” (HR.

Tirmidzi dan Abu Dawud, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Al Irwa‟ no. 153) 

Demikian pula berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, “ Dan dijadikan bumiitu bagiku sebagai ma sjid dan alat bersuci.” (HR. Bukhari)

Adapun dalam ijma‟, maka Ahli Ilmu sepakat tentang disyariatkan tayammum ketika telahterpenuhi syarat-syaratnya.

III.Syarat Tayammum dan sebab yang membolehkannya 

Syarat-syarat tayammum adalah:

1.  Niat di hati. 

2.  Muslim 

3.  Berakal  

4.  Mumayyiz (mampu membedakan), misalnya usianya tidak di bawah tujuh tahun.

5.  Kesulitan menggunakan air  Kesulitan menggunakan air di sini bisa karena:

Page 36: Kitab Thoharoh (1)

8/19/2019 Kitab Thoharoh (1)

http://slidepdf.com/reader/full/kitab-thoharoh-1 36/51

 

36

a. Tidak ada air (lihat surah An Nisa‟: 43), 

Akan tetapi, sebelum bertayammum hendaknya ia mencari air lebih dahulu. Jika telah diyakini

tidak ada air atau ada namun berada jauh sekali darinya, maka ia tidak perlu memaksakan diri

mencarinya.

 b. Karena berbahaya jika menggunakannya seperti akan bertambah sakitnya atau semakin lama

sembuhnya jika menggunakannya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta‟ala di surah An Nisaa‟:43 atau Al Maa‟idah: 6 yang bunyinya, “Wa in kuntum mardhaa” (artinya: Dan jika kamu

sakit…dst.) 

c. Karena sangat dingin yang dikhawatirkan berbahaya bagi dirinya jika menggunakannya. Hal ini

 berdasarkan hadits „Amr bin „Ash berikut: 

  ا ة  ء

 ةء

    ف    اح مت  

 

ن

 ا ا   ن  و ت

ن

 ن  ن

   تت  ع وت ن

 م    نوت   ا عص  م    ن  و 

ت

ن

 ن  ن

 ت       ن

م   ف    ة ا ذ       نتن

ت  متن

 ف م ى     ت  غا  ف   ت   ا ة  

ء

 ةء

    ف   ج اح مت  ت ن  ع  ت  ت   تر   ت       ن  تم    ف تو     ت   ن  ن ن

      ت ى     ت  غا  حم{ف   ت ت     ن

  ن ت ت   ا     تت }  ف   نتن

ت  متن

ف م   ت     ن  و 

ت

ن

 ن  ن

   تت

Dari „Amr bin „Aash, ia berkata: Ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengirimnya

 pada tahun (terjadi perang) Dzaatussalaasil ia berkata, “Pada suatu malam yang sangat dingin

aku bermimpi, aku khawatir jika aku mandi, maka aku akan binasa, maka aku bertayammum,

lalu shalat Subuh bersama kawan-kawanku. Ketika kami datang kepada Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam, maka aku sebutkan hal itu kepada Beliau, lalu Beliau bertanya, “Wahai Amr,

apakah engkau shalat dengan kawan-kawanmu dalam keadaan engkau junub?” Aku menjawab,

“Ya wahai Rasulullah. Sesungguhnya aku mimpi (basah) di malam yang sangat dingin, lalu akukhawatir jika aku mandi, maka aku akan binasa, dan aku ingat firman Allah „Az za wa Jalla,

“ Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu.”

(An Nisaa‟: 29) Lalu aku bertayammum dan shalat. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa

sallam tersenyum dan tidak berkata apa-apa.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Daruquthni,dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Al Irwa‟ no. 154) 

d. Bagi yang memiliki air sedikit, di mana jika ia pakai untuk berwudhu‟, ia akan kehausan. 

e. Bagi yang tidak mampu bergerak mengambil air, dan di sana tidak ada orang yang

membawakan air kepadanya.

f. Jika antara dia dengan air ada musuh, kebakaran, pencuri atau ia mengkhawatirkan keadaan

dirinya, hartanya dan kehormatannya, atau orang yang sakit yang tidak mampu bergerak dantidak ada yang mengambilkan air untuknya, maka ia seperti orang yang sedang tidak menemukan

air. (Lihat Al Mughni 1/315 dan 316, dan Syarhul „Umdah oleh Ibnu Taimiyah 1/430). 

6. Tayammum tersebut menggunakan tanah yang suci; tidak bernajis (seperti tanah yang terkena

kencing dan belum disucikan), yang memiliki debu yang bisa menempel di tangan jika dapat .Hal ini berdasarkan kata-kata sha‟id, yang menurut Ibnu Abbas artinya tanah tanaman. Tetapi

Page 37: Kitab Thoharoh (1)

8/19/2019 Kitab Thoharoh (1)

http://slidepdf.com/reader/full/kitab-thoharoh-1 37/51

 

37

 jika ia tidak mendapatkan tanah seperti itu, maka ia bisa bertayammum dengan yang bisa didapat

seperti tanah yang ada pepasir dan batu berdasarkan firman Allah Ta‟ala, “ Fattaqulla

mastatha‟tum” (artinya: Bertakwalah kepada Allah semampumu), Al Auza‟iy berkata, “ Pepasir

termasuk sha‟id.”

Disebutkan dalam Fiqhus Sunnah, bahwa para ahli bahasa sepakat bahwa sha‟id itu muka bumi,

 baik ada tanahnya maupun tidak.

Dalam Lisanul „Arab (3/254) disebutkan, “Sha‟id adalah bumi, ada yang mengatakan dengan

„bumi yang baik‟ dan ada pula yang mengatakan „semua tanah yang baik‟. Dalam Al Qur‟an

disebutkan, “Fatayammamuu sha‟iidan thayyiban.”  Abu Ishaq berkata, “Sha‟id adalah muka bumi, dan seorang boleh menepuk dengan kedua tangannya ke muka bumi tanpa perlu

mempedulikan tempat tersebut apakah ada tanahnya atau tidak, karena sha‟id bukanlah tanah,

tetapi muka bumi baik berupa tanah mau pun lainnya.” Ia juga berkata, “Kalau tanah itu

semuanya berbatu tanpa ada tanahnya, kemudian orang yang bertayammum menepuk tangannyake batu itu, maka hal itu sudah menjadi penyucinya jika ia mengusap ke mukanya.”

IV.Yang Membatalkan Tayammum 

Yang membatalkan tayammum adalah:

1. Semua yang membatalkan wudhu‟, karena tayammum itu pengganti wudhu, dan yang menjadi pengganti memiliki hukum yang digantikan.

2. Ada air, jika tayammum dilakukan karena tidak ada air.

3. Hilangnya uzur yang karenanya dilakukan tayammum seperti sakit, dsb.

V. Sifat atau Tatacara Tayammum 

Caranya adalah ia berniat di hati, membaca basmalah (Bismillah), lalu menepuk dengan kedua

telapak tangannya ke tanah sekali tepuk, kemudian ia tiup kedua tangannya atau

membersihkannya dengan ringan (agar mukanya tidak berlumuran debu), kemudian mengusapmuka dan kedua tangannya sampai pergelangan. Hal ini berdasarkan hadits „Ammar yang di sana

diterangkan, bahwa tayammum itu sekali tepuk untuk muka dan kedua telapak tangan (HR.

Ahmad, Abu Dawud, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Al Irwa‟ no. 161). Demikian pula berdasarkan hadits „Ammar, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadanya:  

 ى لا     ت        من "ةحا   ض  و    ض ن

ت,م     م

 ج   ن

ت,توي ون   ى  ج

 ت  ء

  ا ف:    نو  ض,ميف خ  ,

 يم يوت   ن  ن

ت

“Sebenarnya kamu cukup melakukan dengan kedua tanganmu begini,” Beliau pun menepukkan

kedua tangannya ke tanah sekali tepuk, lalu mengusapkan tangan kanannya dengan tangan

kirinya dan (mengusap) punggung telapak tangannya serta mukanya.” (Muttafaq „alaih, lafaz iniadalah lafaz Muslim. Dalam riwayat Bukhari disebutkan, “Beliau menepukkan tanah dengan

kedua telapak tangannya dan meniupnya, lalu mengusap dengan kedua telapak tangannya itu

muka dan (punggung) kedua telapak tangannya.”) 

Page 38: Kitab Thoharoh (1)

8/19/2019 Kitab Thoharoh (1)

http://slidepdf.com/reader/full/kitab-thoharoh-1 38/51

 

38

VI. Seputar masalah Tayammum 

1. Apabila seseorang sudah shalat dengan tayammum lalu ditemukan air maka shalatnya sah tidak

 perlu diulangi (meskipun masih ada waktu shalat). Hal ini berdasarkan hadits Abu Sa‟id Al

Khudri radhiyallahu 'anhu berikut, ia berkata:

م

ت

ى

حت   ف    ا ف  م ا ا ن

ت    ف نج

   عا م

ن

 ف مر

   متيع   ف   ا نةت  سء

   ف 

 

ت      ن    ا ذ  عت   ل

 ن  ف تو     و  ن فل ات

ن

 ن  ن

 ت     ن

ت  ت    تع ا   ضت

ت

 ا ةن ا    ن ت   ا     ضن   ل

 ن   ت    

“Ada dua orang laki-laki yang keluar untuk safar, lalu tiba waktu shalat namun mereka berdua

tidak membawa air, maka keduanya pun bertayammum dengan menggunakan debu yang suci,lalu keduanya shalat. Setelah shalat, mereka menemukan air ketika masih ada waktu (shalat),

maka salah satunya mengulangi shalat dan wudhu‟nya, sedangkan yang satu lagi tidak

mengulangi. Kemudian keduanya mendatangi Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan

menceritakan kejadian itu kepada Beliau, maka Beliau bersabda kepada orang yang tidakmengulangi shalatnya, “ Engkau telah sesuai Sunnah dan shalatmu telah sah.” Dan Beliau

 bersabda ke pada yang berwudhu‟ lagi dan mengulangi shalatnya, “Untukmu dua pahala.” (HR.Abu Dawud, Nasa‟i, lihat Shahih Abi Dawud (238)) 

Maksud “Untukmu dua pahala,” menurut penyusun „Aunul Ma‟bud   adalah bahwa untukmu

 pahala shalat dua kali, karena masing-masingnya sah dan menghasilkan pahala, dansesungguhnya Allah tidak akan menyia-nyiakan orang yang memperbagus amalnya. Sedangkan

menurut penyusun Subulus Salam, maksudnya adalah untukmu pahala shalat menggunakan debu

dan pahala shalat menggunakan air.

2. Syaikh As Sayyid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah  berkata, “Tayammum adalah pengganti wudhu‟dan mandi ketika tidak ada air, sehingga boleh melakukan perbuatan yang diperbolehkan dengan

wudhu‟ dan mandi seperti shalat, menyentuh mushaf, dan lainnya. Untuk sahnya tidak

disyaratkan harus masuk waktu shalat, dan bagi yang bertayammum boleh shalat fardhu maupunsunat sesukanya dengan sekali tayammum (selama belum batal).” 

3. Diperbolehkan bertayammum ke dinding. Hal ini berdasarkan hadits Abul Jahm bin Al Harits

 bin Ash Shimmah Al Anshariy ia berkata, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah

menghadap dari arah sumur Jamal, maka ada seseorang yang menjumpai Beliau dan

mengucapkan salam kepadanya, namun Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidakmenjawabnya, sampai Beliau menghadap ke dinding, lalu Beliau mengusap muka dan kedua

tangannya, kemudian menjawab salam.” (HR. Bukhari dan Muslim) Imam Nawawi berkata

dalam Syarhnya terhadap Shahih Muslim, “ Dalam hadits ini terdapat kebolehan bertayammum

ke dinding jika ada debunya.” 

4. Jika seorang muslim tidak menemukan air maupun tanah, dan ia tidak mampu memperolehnya,atau ia menemukannya, tetapi tidak mampu melakukan wudhu‟ maupun tayammum, maka ia

tetap melakukan shalat sesuai keadaannya seperti orang yang diikat yang tidak mampu

Page 39: Kitab Thoharoh (1)

8/19/2019 Kitab Thoharoh (1)

http://slidepdf.com/reader/full/kitab-thoharoh-1 39/51

 

39

 berwudhu‟ maupun bertayammum. Hal ini berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu 'anha bahwa

ia pernah meminjam kalung kepada Asma‟, lalu kalung itu hilang, maka Rasulullah shallallahu

'alaihi wa sallam mengirimkan beberapa orang dari sahabatnya untuk mencarinya, lalu tibawaktu shalat, maka mereka shalat tanpa berwudhu‟. Ketika mereka sampai kepada Rasulullah

shallallahu 'alaihi wa sallam, maka mereka mengadukan hal itu kepada Beliau, lalu turunlah ayat

tayammum. Usaid bin Khudhair berkata (kepada Aisyah), “Semoga Allah membalasmu dengankebaikan. Demi Allah, tidaklah suatu perkara menimpamu kecuali Allah mengadakan jalankeluar dan menjadikan keberkahan padanya untuk kaum muslimin.” (HR. Bukhari dan Muslim) 

BAB V KHUFF DAN JABIROH

Mengusap Khuff

I.  Pengertian Khuff dan disyari’atkannya mengusap khuf. 

Khuff artinya sesuatu yang dipakai di kaki yang terbuat dari kulit atau lainnya. Bentuk jama‟nya

adalah khifaf. Termasuk ke dalam khuf juga semua yang dipakaikan di kaki yang terbuat dariwool atau lainnya

Imam Nawawi rahimahullah dalam Syarh Muslim (3/164) berkata, “Telah sepakat para ulama

yang dipandang ijma‟nya tentang bolehnya mengusap khuffain (2 sepatu) baik ketika safar

maupun tidak, baik karena keperluan maupun selainnya, bahkan boleh bagi wanita yang

senantiasa di rumah dan orang yang sakit menahun yang tidak bisa berjalan. Yangmengingkarinya hanyalah orang-orang Syi‟ah dan Khawarij, dan penyelisihan mreka tidaklah

dipandang. Al Hasan Al Basri rahimahullah  berkata, “Telah menceritakan kepadaku tujuh puluh

orang sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengusap dua khuf.” 

Di antara dalil bolehnya mengusap khuf adalah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari AlA‟masy dari Ibrahim dari Hammam ia berkata:

 ا ص ا لسر ر   ل  ا       و    ج ل

  و    ل سو

 Jarir pernah buang air kecil, lalu berwudhu‟ dan mengusap kedua khufnya, lalu ada yang

berkata, “(Apakah) engkau melakukan hal ini?” Ia menjawab, “Ya, aku melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam buang air kecil, kemudian berwudhu dan mengusap dua khufnya.”

Al A‟masy berkata: Ibrahim  berkata, “Hadits ini membuat mereka aneh karena masuk Islamnya

Jarir setelah turun surah Al Maa‟idah.” Imam Nawawi berkata, “Maksudnya, Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman di surah Al

Maa‟idah, “ Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan usaplah kepalamu

Page 40: Kitab Thoharoh (1)

8/19/2019 Kitab Thoharoh (1)

http://slidepdf.com/reader/full/kitab-thoharoh-1 40/51

 

40

dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” Kalau sekiranya masuk Islamnya Jarir

lebih dulu daripada turunnya surah Al Ma‟idah, tentu mengandung kemungkinan bahwa

haditsnya tentang mengusap mengusap khuf adalah mansukh dengan ayat di surah Al Ma‟idah.Oleh karena masuk Islamnya terakhir, maka dapat kita ketahui bahwa haditsnya ini diamalkan, di

sana diterangkan bahwa maksud ayat tersebut tidaklah tertuju kepada pemakai khuf, sehingga As

Sunnah menjadi pentakhshis ayat, wallahu a‟lam.” Imam Ahmad berkata, “Tidak ada (keraguan) dalam hatiku terhadap (kebolehan) mengusap (dua

khuf), di sana terdapat empat puluh hadits dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.”  

Demikian pula diperbolehkan mengusap jaurab (kaus kaki) karena ia seperti khuf dalam hal butuhnya seseorang kepadanya, „illatnya sama, bahkan memakai kaus kaki lebih sering

dilakukan daripada khuf, sehingga boleh mengusapnya jika memang menutupi

II.  Syarat mengusap dua khuf dan semisalnya 

Syarat-syaratnya adalah:

1. Memakai khuf dalam keadaan suci dari hadats kecil dan hadats besar. Hal ini berdasarkan haditsMughirah ia berkata: Aku pernah bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam suatu safar,

lalu aku menunduk untuk melepas kedua khufnya, maka Beliau bersabda:

        ه

 

“Biarkanlah keduanya, karena aku memakainya dalam keadaan suci.” Maka Beliau mengusap ke

atasnya. (HR. Bukhari dan Muslim) 

2. Menutupi bagian yang wajib, yakni bagian kaki yang wajib dibasuh (dalam wudhu‟). Olehkarena itu, jika ada bagian kaki yang tidak tertutup, maka tidak sah mengusapnya. Seperti

sepatunya tidak menutupi kedua tumit, atau bolong yang lebar yang membuat kelihatan bagian

kaki yang wajib dibasuh.

3. Boleh dipakainya khuf tersebut. Oleh karena itu, tidak boleh mengusap khuf hasil darimerampas atau mencuri serta yang terbuat dari sutera, karena memakainya merupakan

kemaksiatan dan harus dilepas.

4. Sucinya kedua khuf itu.

5. Mengusap dilakukan pada waktu yang ditetapkan, yaitu bagi yang mukim sehari-semalam (24

 jam), sedangkan bagi musafir tiga hari tiga malam. Dimulainya dari sejak ia mengusap khuffnya

(berdasarkan zhahirnya hadits dan riwayat dari Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu).

Hal ini berdasarkan hadits Ali radhiyallahu 'anhu:

    و  و     و   سو  ا ص ا لسر ج

Page 41: Kitab Thoharoh (1)

8/19/2019 Kitab Thoharoh (1)

http://slidepdf.com/reader/full/kitab-thoharoh-1 41/51

 

41

“Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menetapkan tiga hari tiga malam untuk musafir, dan

sehari-semalam untuk yang mukim.” (HR. Muslim) 

III.  Cara Mengusap kedua khuf  

Mengusap kedua khuff dilakukan setelah kita membasuh anggota wudlu secara tertib, setelahsemuanya dibasuh selain bagian kaki, kemudian kita mengusap kedua khuff, caranya adalahdengan mengusap bagian atas khuf (cukup sekali mengusapnya), dimulai dari ujung kaki sampai

 bagian depan betisnya. Dan dalam mengusapnya bisa secara serentak, tanpa mendahulukan kaki

kanan.

Dalil caranya adalah hadits Mughirah bin Syu‟bah radhiyallahu 'anhu ia berkata: 

مىى    ن    ا  ت مت  ن  و ت

ن

 ن ن

 ن ا  ت

“Aku melihat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengusap dua khuf, yaitu bagian ataskeduanya.” (HR. Tirmidzi, ia berkata, “Hadits hasan.” Syaikh Al Albani juga mengatakan

demikian dalam Shahih At Tirmidzi no. 85). 

Juga berdasarkan kata-kata „Ali radhiyallahu 'anhu: 

 ه    م       ج   ت     ت     أ

 ن ت ج     ,ن  ت  ت

 و

 ن  ى ت   مت  

“Kalau seandainya agama itu berdasarkan pendapat, tentu bagian bawah sepatu lebih berhak

diusap daripada atasnya. Sungguh, aku melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallammengusap bagian atas khufnya.” (HR. Abu Dawud dan Baihaqi, dishahihkan oleh Al Haafizh

Ibnu Hajar dalam At Talkhish 1/160). 

IV.  Yang membatalkan Mengusap khuf  Yang membatalkan mengusap dua khuff adalah:

1. Habisnya batas waktu yang telah ditetapkan.

2. Ada sesuatu yang mengharuskan mandi, seperti janabat (baik karena mimpi ataupun hubungansuami-isteri). Hal ini berdasarkan hadits Shafwan bin ‟Assal: 

      ن    ينء

ن         ف   فت

    ا 

ن

 ت ا   تت

    

”Beliau memerintahkan kami ketika safar atau sebagai musafir agar tidak melepas khuf kami

selama tiga hari-tiga malam kecuali karena janabat.” (HR. Ahmad, Nasa‟i, Tirmidzi dan ia

menshahihkannya, dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Al Irwaa‟ (104)).  

Page 42: Kitab Thoharoh (1)

8/19/2019 Kitab Thoharoh (1)

http://slidepdf.com/reader/full/kitab-thoharoh-1 42/51

 

42

3.   Dilepasnya kedua khuff atau salah satunya dari kaki, karena dengan dia melepasnya lalu

memakainya lagi maka sama saja ia pakaikan khuf ke kedua kakinya tidak dalam keadaan suci

(berwudhu‟). 

V.  Beberapa masalah seputar mengusap khuf  

1. Habisnya batas waktu mengusap dan dilepasnya khuff hanyalah membatalkan mengusap saja,oleh karenanya tidak boleh mengusap lagi sampai ia berwudhu‟ dan mencuci kedua kakinya lalu

ia pakai khuffainnya. Tetapi, apabila ia dalam keadaan masih ada wudhu‟ ketika melepas khuff

atau habisnya waktu, maka ia tetap dalam keadaan wudhunya, dimana ia boleh shalat semaunyadengan wudhu‟ itu sampai ia berhadats (lihat Al Wajiiz hal. 43). Ini merupakan pendapat Ali bin

Abi Thalib radhiyallahu 'anhu dan tidak diketahui ada sahabat yang menyelisihinya. Imam

Baihaqi dan Ath Thahawiy dalam Syarh Ma‟anil Aatsar meriwayatkan dari Abu Zhabyan, bahwa

ia melihat Ali radhiyallahu 'anhu buang air kecil dalam keadaan berdiri, lalu meminta dibawakanair wudhu‟, maka ia berwudhu‟ dan mengusap kedua sandalnya, kemudian masuk masjid, lalu

melepas kedua sandalnya dan shalat.” 

2. Diperbolehkan mengusap khuff yang yang robek ringan atau yang ada tambalan. Hal ini

 berdasarkan perkataan Sufyan Ats Tsauriy rahimahullah:

 نع رتت

    ن  رت

    ر ن  خت ن      يت

 ا م     ت ى  ت  و  نع       

“Usaplah yang menempel pada kakimu. Bukankah khuf kaum muhajirin dan Anshar itu robek,terbelah dan ada tambalan.” (Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam Mushannafnya).  

VI.  Mengusap Jabiirah (kayu/bambu untuk meluruskan tulang yang patah), gip, lashuq(plester) dan balutan yang ditaruh di atas luka. 

Boleh mengusap jabirah dengan syarat jabirah itu tidak melebihi bagian yang diperlukan. Jika

menutupi bagian yang tidak diperlukan, maka harus dibuka. kecuali jika membukanyadikhawatirkan berbahaya atau membuat lepas, maka cukup mengusap di atasnya, yaitu dengan

membasahi tangannya kemudian mengusapnya sekali saja. Hal ini berlaku bagi yang bersuci dari

hadats kecil maupun besar.

Dalil terhadap masalah ini adalah karena mengusap jabirah adalah darurat (terpaksa), sedangkan

darurat disesuaikan dengan ukurannya.

VII.  Mengusap khimar (kerudung wanita) 

Page 43: Kitab Thoharoh (1)

8/19/2019 Kitab Thoharoh (1)

http://slidepdf.com/reader/full/kitab-thoharoh-1 43/51

 

43

Penyusun Al Fiqhul Muyassar (hal. 27) berpendapat, ”Sebaiknya ia (wanita) tidak mengusapkan

air ke atas(kerudung)nya, kecuali jika ada kesulitan melepasnya atau ada sakit di kepalanya dan

sebagainya. ” 

Kesimpulannya, dalam menyucikan kepala terdapat kemudahan bagi umat.

VIII.  Jika ada luka pada anggota badan 

Jika ada luka pada anggota badan, maka diperhatikan luka itu, selanjutnya ia melakukan sepertiini:

 Pertama, jika luka itu tidak ditutup dan tidak berbahaya terkena basuhan air, maka wajib

dibasuh.

 Kedua, jika luka itu tidak ditutup dan berbahaya jika terkena basuhan air, namun jika

mengusapnya tidak berbahaya, maka wajib diusap.

 Ketiga, jika luka itu terbuka dan berbahaya ika dibasuh dan diusap dengan air, maka hendaknyaia tutup balutan dan mengusap bagian atas balutan itu.

 Keempat , jika luka itu ditutup dengan gip, plester, bebatan dan semisalnya, maka ia usap penutuptesebut dan tidak perlu ia basuh. (lihat pula Thahurul Muslim karya Dr. Sa‟id Al Qahthaniy). 

Faidah :

Sepatu dan sorban boleh diusap ketika bersuci dari hadats kecil saja (yaitu dalam berwudhu‟).

Sedangkan balutan dan jabiirah (bebatan) boleh diusap ketika bersuci dari hadats kecil dan besar(dalam wudhu‟ dan mandi). Mengusap sepatu ada waktu habisnya sebagaimana akan dijelaskan,

sedangkan mengusap balutan batasnya adalah sampai ia lepas atau sampai sembuh sakitnya,

adapun sorban sampai ia lepas, jika dipakai lagi boleh ia usap kembali. Tentunya yang kita usapketika menyapu sorban dan balutan adalah bagian atasnya. Dan dalam mengusap balutan, sorban

dan kerudung tidak disyaratkan harus bersuci dahulu ketika memakainya.

Bersuci dan Shalatnya Orang Yang Sakit 

Di antara bukti tingginya kedudukan shalat dalam Islam dan pentingnya adalah diwajibkannyaibadah ini meskipun seseorang dalam keadaan sakit, betapa pun berat sakit, tentunya hal ini

disesuaikan dengan kemampuannya. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:

“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (QS. At Taghaabun: 16)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"ئ ه

ص,د  ع    ن  , ج   ع    ن  "

Page 44: Kitab Thoharoh (1)

8/19/2019 Kitab Thoharoh (1)

http://slidepdf.com/reader/full/kitab-thoharoh-1 44/51

 

44

“Shalatlah sambil berdiri, jika tidak mampu, maka sambil duduk dan jika tidak mampu, maka

 sambil berbaring.” (HR. Bukhari dari Imran bin Hushshain) 

Hadits di atas menunjukkan bahwa shalat fardhu tidak dilakukan sambil duduk kecuali ada uzur,

yaitu tidak mampu (berdiri), termasuk pula orang yang khawatir mendapatkan bahaya berdasarkan firman Allah Ta‟ala, “Wa maa ja‟ala „alaikum fid diini min haraj” (artinya: Allah

Subhaanahu wa Ta'aala tidak mengadakan kesempitan dalam agama ini (Al Hajj: 78)). (LihatSubulus Salam 2/204)

Dalam Subulus Salam juga diterangkan, bahwa hadits tersebut tidak menerangkan cara

duduknya, namun kemutlakannya menghendaki sahnya dengan cara bagaimana pun yangdikehendaki orang yang shalat, dan inilah yang dipegang oleh jamaah para ulama. Al Haadiy dan

lainnya berpendapat, bahwa sebaiknya ia duduk bersila dengan menaruh kedua tangannya di atas

kedua lututnya. Demikian pula seperti itu ulama madzhab Hanafi. Adapun Zaid bin „Ali dan

 jamaah para ulama berpendapat bahwa duduknya seperti duduk tasyahhud. Ada yang berpendapat, bahwa perselisihannya adalah tentang yang paling utama dalam hal cara duduknya.

Al Haafizh dalam Fathul Bari berkata, “Diperselisihkan tentang (duduk) yang paling afdhal,

menurut imam yang tiga adalah bersila[i]. Ada pula yang berpendapat duduk iftirasy, dan ada pula yang berpendapat duduk tawarruk (seperti pada tasyahhud akhir), dan pada masing-

masingnya ada haditsnya.” 

Sebelum membahas lebih lanjut cara shalat orang yang sakit, maka di sini akan kami terangkan

cara bersuci orang yang sakit.

Bersucinya orang yang sakit

1. Orang yang sakit wajib bersuci dengan air. Oleh karena itu, ia harus berwudhu‟ karena had ats

kecil dan mandi karena hadats besar.

2. Jika ia tidak sanggup bersuci dengan air karena ketidaksanggupannya, atau takut bertambah

sakitnya atau bertambah lama sembuhnya, maka ia bertayammum.3. Cara tayammum adalah ia tepuk bumi yang suci dengan kedua tangannya sekali tepuk, lalu ia

usap seluruh mukanya, kemudian ia usap kedua telapak tangannya yang satu dengan yang lain.

4. Jika ia tidak sanggup bersuci sendiri, maka orang lain yang mewudhukannya atau

mentayammumkannya.

5. Jika pada sebagian anggota badan yang harus dibasuh terdapat luka, maka ia basuh dengan air.

Tetapi jika membasuh dengan air membuatnya sakit, maka ia usap saja, yaitu ia basahkantangannya dengan air, lalu ia jalankan tangannya ke atasnya, tetapi jika mengusapnya malah

membuatnya sakit, maka ia mentayammumkannya.

6. Jika pada salah satu anggota badannya ada yang patah yang diikat dengan kain atau digip, maka

ia usap atasnya dengan air sebagai ganti dari membasuhnya, dan tidak perlu bertayammum,karena mengusap merupakan ganti dari membasuh.

Page 45: Kitab Thoharoh (1)

8/19/2019 Kitab Thoharoh (1)

http://slidepdf.com/reader/full/kitab-thoharoh-1 45/51

 

45

7. Boleh bertayammum ke dinding atau ke atas sesuatu yang suci yang memiliki debu. Tetapi jika

dindingnya dicat, maka ia tidak boleh bertayammum kepadanya kecuali jika ada debunya.

8. Jika tidak memungkinkan bertayammum ke bumi, dinding atau sesuatu yang lain yang memiliki

debu, maka tidak mengapa diletakkan tanah dalam sebuah wadah atau sapu tangan, dimana ia bertayammum darinya.

9. Satu tayamum untuk satu kali shalat fardhu tetapi boleh untuk beberapa shalat sunnah.

10.Orang yang sakit wajib membersihkan badannya dari najis. Jika tidak bisa, maka ia tetap shalat

di atas keadaannya itu dan shalatnya sah tidak perlu diulangi.

11.Orang yang sakit wajib shalat dengan pakaian yang suci. Jika pakaiannya bernajis, maka wajib

dicuci atau diganti dengan pakaian yang suci. Tetapi jika, tidak mungkin melakukannya, maka iatetap shalat dalam keadaannya, dan shalatnya sah tanpa perlu diulangi.

12.Orang yang sakit wajib shalat di atas sesuatu yang suci. Jika tempatnya bernajis, maka wajib ia

cuci atau ia ganti dengan sesuatu yang suci atau ia taruh di atasnya sesuatu yang suci. Tetapi, jika

tidak mungkin, maka ia tetap shalat dalam keadaannya dan shalatnya sah tanpa perlu diulangi.

13.Tidak boleh bagi orang yang sakit menunda shalat sampai habis waktunya karena tidak bisa bercuci, bahkan ia harus bersuci dengan yang bisa dilakukan, lalu shalat pada waktunya

meskipun badannya, pakaiannya atau tempat shalatnya masih ada najis yang ia tidak sanggup

membersihkannya .

Faedah: 

Orang yang tertimpa beser dan tidak sembuh setelah diobati, maka ia harus berwudhu‟ untuk

setiap shalat setelah masuk waktunya, dan ia basuh sesuatu yang menimpa badannya, dan ia pakai pakaian yang suci jika tidak menyulitkannya. Jika ternyata menyulitkan, maka dimaafkan.

Hal ini berdasarkan firman Allah Ta‟ala, “Wa maa ja‟ala „alaikum fid diini min haraj” (artinya:

Allah Subhaanahu wa Ta'aala tidak mengadakan kesempitan dalam agama ini (Al Hajj: 78)). Dan

hendaknya ia menjaga dirinya agar kencingnya tidak menyebar ke pakaiannya, badannya atautempat shalatnya

Bagaimanakah orang yang sakit melakukan shalat? 

1. Orang yang sakit wajib melaksanakan shalat fardhu dengan berdiri, meskipun bersandar ke

dinding atau ke tiang atau dengan tongkat.

2. Jika tidak sanggup shalat berdiri, hendaklah ia shalat sambil duduk. Pada waktu berdiri dan ruku'

sebaiknya duduk bersila, sedangkan pada waktu akan sujud, sebaiknya dia rubah duduknyamenjadi iftirasy (seperti duduk ketika tasyahhud awal) agar bisa melakukan sujud dengan

sempurna.

3. Jika tidak sanggup shalat sambil duduk, boleh shalat sambil berbaring, bertumpu pada sisi badankanan menghadap kiblat. Dan bertumpu pada sisi kanan lebih utama daripada sisi kiri. Jika tidak

Page 46: Kitab Thoharoh (1)

8/19/2019 Kitab Thoharoh (1)

http://slidepdf.com/reader/full/kitab-thoharoh-1 46/51

 

46

memungkinkan untuk menghadap ke kiblat, boleh menghadap ke mana saja dan tidak perlu

mengulangi shalatnya.

4. Jika tidak sanggup shalat sambil berbaring, ia boleh shalat sambil terlentang dengan

menghadapkan kedua kaki ke kiblat. Yang lebih utama yaitu dengan mengangkat kepala sedikituntuk menghadap kiblat. Jika tidak bisa menghadapkan kedua kakinya ke kiblat, dibolehkan

shalat menghadap ke mana saja.

5. Orang sakit wajib melaksanakan ruku' dan sujud. Jika tidak sanggup, cukup dengan

membungkukkan badan pada waktu ruku' dan sujud, dan ketika sujud hendaknya lebih rendah

dari ruku'. Jika sanggup ruku' saja dan tidak sanggup sujud, dia boleh ruku' saja danmenundukkan kepalanya saat sujud. Demikian juga sebaliknya, jika dia sanggup sujud saja dan

tidak sanggup ruku', dia boleh sujud saja dan ketika ruku' dia menundukkan kepala.

6. Jika tidak mampu berisyarat dengan kepala di waktu ruku‟ dan sujud maka boIeh berisyarat

dengan mata, yaitu dengan memejamkan mata sedikit ketika ruku' dan dengan memejamkanlebih kuat ketika sujud. Adapun isyarat dengan telunjuk, seperti yang dilakukan sebagian orang

yang sakit adalah keliru.

7. Jika tidak sanggup shalat berisyarat dengan kepala atau berisyarat dengan mata, hendaknya iashalat dengan hatinya, ia bertakbir, membaca Al Qur‟an dan berdzikr shalat lainnya, dia berniat

ruku' ketika ruku‟, berniat sujud dan sebagainya. Masing-masing orang akan diberi pahala sesuaidengan niatnya.

8. Orang yang sakit wajib melaksanakan shalat setiap shalat pada waktunya dan melakukan semua

yang bisa dia lakukan berupa perbuatan yang wajib di dalamnya. Jika ia kesulitan melakukan

setiap shalat pada waktunya, maka ia boleh menjama‟ (menggabung) antara shalat Zhuhurdengan Ashar, serta shalat Maghrib dengan Isya, baik dengan jamak taqdim (di waktu shalat

yang pertama) maupun dengan jamak ta‟khir (di waktu shalat yang kedua) sesuai yang mudah

 baginya. Adapun shalat Subuh, maka tidak bisa dijama‟ dengan shalat sebelumnya maupun

sesudahnya.9. Jika orang yang sakit sebagai musafir yang sedang berobat di negeri lain, maka ia mengqashar

shalat yang berjumlah empat rakaat menjadi dua rakaat sampai ia kembali ke negerinya, baik

safarnya lama atau sebentar.

Haidh Nifas dan Istihadhoh

A. Definisi Haidh dan Nifas 

Haidh secara bahasa artinya mengalir, sedangkan secara syara‟ artinya darah yang biasa (terjadi pada wanita) yang keluar dari bagian dalam rahim pada waktu-waktu tertentu ketika wanitadalam keadaan sehat bukan karena sebab melahirkan.

Page 47: Kitab Thoharoh (1)

8/19/2019 Kitab Thoharoh (1)

http://slidepdf.com/reader/full/kitab-thoharoh-1 47/51

 

47

 Nifas adalah darah yang keluar dari wanita ketika melahirkan.

B. Awal waktu haidh dan akhirnya 

Tidak ada haidh sebelum wanita sempurna berusia sembilan tahun, karena tidak ada wanita yang

haidh sebelum berusia sembilan tahun. Telah diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu 'anha,

 bahwa ia berkata, “Jika seorang anak gadis telah berusia sembilan tahun, maka dia adalah

wanita (dewasa).”(Dise butkan oleh Tirmidzi dan Baihaqi dengan tanpa isnad). Oleh karena itu,apabila seorang wanita melihat darah sebelum usia tersebut, maka berarti darah itu adalah darah

 penyakit.

Demikian pula tidak ada haidh setelah wanita berusia lima puluh tahun menurut pendapat yang

shahih. Telah diriwayatkan pula dari Aisyah radhiyallahu 'anha, ia berkata, “Jika seorang wanitatelah mencapai lima puluh tahun, maka ia telah keluar dari batasan haidh.” (Al Mughni 1/406) 

C. Batas minimal dan maksimal haidh 

Batas minimal wanita haidh adalah sehari semalam , umumnya antara 6 atau 7 hari , maksimal

15 hari

Lama haidh pada umumnya enam atau tujuh hari sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam kepada Hamnah binti Jahsy, “Maka jadikanlah yang menjadi ukuran haid lmu

selama enam atau tujuh hari berdasarkan ilmu Allah, kemudian mandilah. Sehingga apabila

kamu tahu bahwa kamu benar-benar telah suci dan telah bersuci, maka kerjakanlah shalat selama

dua puluh tiga atau dua puluh empat malam dan harinya, serta berpuasalah. Yang demikian itutelah mencukupkan bagimu. Dan demikian pula, kerjakanlah seperti itu setiap bulan,

sebagaimana wanita lain haidh dan suci pada waktunya.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi,) 

D. Larangan bagi wanita haidh dan nifas 

Ada beberapa hal yang dilarang bagi wanita haidh dan nifas, yaitu:

1.  Hubungan suami istri

إ    اآن

 2.  Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:

ح

ه

ا      ا صا

"Perbuatlah segala sesuatu selain nikah (jima‟).” (HR. Muslim) 

2. Mentalaknya, sampai ia suci dan sebelum digauli . Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda kepada Umar ketika anaknya yaitu Abdullah mentalak istrinya ketika haidh,

“ Perintahkanlah kepadanya untuk merujuk.” (HR. Bukhari dan Muslim) 

Page 48: Kitab Thoharoh (1)

8/19/2019 Kitab Thoharoh (1)

http://slidepdf.com/reader/full/kitab-thoharoh-1 48/51

 

48

3. Melakukan shalat. Hal ini beradasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kepada

Fathimah binti Abi Hubaisy, ia berkata:

ه

صو مدا    ت  ذا    د اة و ا     ذا 

“Apabila haid datang, hendaklah kamu meninggalkan shalat. Apabila darah haid berhenti,

hendaklah kamu mandi dan mendirikan shalat." (HR. Bukhari dan Muslim) 

4. Berpuasa. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Bukankah jika salah seorang di

antara kamu haidh tidak berpuasa dan tidak shalat?” Kami menjawab, “Ya.” (HR. Bukhari) 

5. Thawaf. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda kepada Aisyah ketika ia

haidh, “Lakukanlah apa yang dilakukan orang yang berhaji kecuali thawaf di Ka'bah sehinggakamu suci." (HR. Bukhari dan Muslim)

6. Membaca Al Qur‟an. Ini adalah pendapat kebanyakan ahli ilmu dari kalangan sahabat dan

tabi‟in serta para ulama setelah mereka. Akan tetapi, ketika butuh membaca, seperti butuh

muraja‟ah hapalan agar tidak dilupakan atau butuh mengajarkan kepada anak-anak putri di

sekolah, atau membaca wirid hariannya, maka tidak mengapa. Jika tidak dibutuhkan, makahendaknya ia tidak membaca sebagaimana difatwakan oleh sebagian Ahli ilmu.

7. Menyentuh mushaf

8. Masuk masjid dan menetap di dalamnya , kecuali untuk tujuan taklim dengan syarat tidak

mengotori masjid.

E. Konsekwensi dari haidh 

1. Mengharuskan mandi setelah selesai haidh. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, “Tingalkanlah shalat seukuran hari yang kamu biasa haidh, lalu mandi dan shalatlah.”

(HR. Bukhari dan Muslim)2. Menjadi baligh.

3. Menjalani „iddah dengan haidh sebanyak tiga kali. Wanita yang ditalak menjalani masa „iddah

dengan haidh jika ia wanita yang biasa haidh (lihat Al Baqarah: 228).

4. Dianggap telah kosong rahimnya ketika haidh.

Faedah: 

Apabila wanita haidh atau nifas telah suci sebelum tenggelam matahari, maka ia harus kerjakanshalat Zhuhur dan Ashar hari itu. Demikian pula apabila ia suci dari haidh atau nifas sebelum

terbit fajar, maka ia wajib mengerjakan shalat Maghrib dan Isya malam itu. Hal itu, karena waktu

Page 49: Kitab Thoharoh (1)

8/19/2019 Kitab Thoharoh (1)

http://slidepdf.com/reader/full/kitab-thoharoh-1 49/51

 

49

shalat kedua merupakan waktu shalat pertama di saat uzur, dan inilah yang dipegang uleh jumhur

ulama, yaitu Imam Malik, Imam Syafi‟i dan Imam Ahmad.

F. Batas minimal dan maksimal masa nifas

Tidak ada batas minimal masa nifas, sehingga kembali kepada ada dan tidaknya, dimanaterkadang lama dan terkadang sebentar. Maksimal masa nifas adalah 40 har i[2]. Imam Tirmidzi berkata, “Ahli Ilmu dari kalangan sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan setelah mereka

sepakat, bahwa wanita-wanita yang nifas meninggalkan shalat selama 40 hari, kecuali jika

mereka melihat suci sebelum itu, maka ia mandi dan shalat. Hal ini berdasarkan hadits Ummu

Salamah radhiiyallahu „anha ia berkata: Wanita yang nifas di zaman Nabi shallallahu „alaihi wasallam biasanya duduk (tidak shalat) sampai 40 hari.” (HR. Lima orang selain Nasa‟i). 

G. Darah Istihadhah 

Istihadhah maksudnya mengalirnya darah secara deras pada bukan waktunya dari urat yang

disebut „Adzil. 

Darah istihadhah berbeda dengan darah haidh dalam hukum dan sifatnya. Wanita yang terkenadarah istihadhah ini wajib shalat, puasa dan boleh dijima‟i,   karena ia tergolong wanita suci.

Dalilnya adalah hadits Fathimah binti Abi Hubaisy ia berkata, “ Wahai Rasulullah, sesungguhnya

 saya terkena darah istihadhah sehingga aku tidak suci, maka apakah aku boleh meninggalkan

 shalat? Beliau menjawab, “Tidak boleh,  itu adalah darah urat dan bukan haidh…dst.” (HR.Bukhari dan Muslim)

Oleh karena itu, bagi wanita hendaknya mandi ketika telah selesai haidh yang memang dianggap,

namun untuk istihadhah ia cukup mencuci farjinya dan menaruh kapas atau semisalnya (seperti

 pembalut) di farjinya agar darah tidak mengalir, lalu ia berwudhu‟ ketika masuk waktu shalat. 

Wanita istihadhah ada tiga keadaan:

1) Ia memiliki kebiasaan yang sudah maklum, yakni lamanya haidhnya sudah ia ketahui sebelumterkena istihadhah, maka untuk wanita ini hendaknya diam (tidak shalat dan tidak puasa) selama

waktu haidhnya dan ia dianggap wanita haidh. Ketika masa kebiasaan haidhnya telah selesai,

maka ia mandi, shalat dan menganggap darah yang masih keluar sebagai darah istihadhah. Halini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Ummu Habibah:

ه

صو  ا          رد  ا

  “Tetap tahanlah dirimu selama kadar haidmu menahanmu, kemudian mandilah dan shalatlah."  

(HR. Muslim) 

2) Ia tidak memiliki kebiasaan yang diketahuinya, tetapi darahnya berbeda dengan darah haidh.

Jika haidh biasanya darahnya hitam, tebal, atau berbau, sedangkan darah lainnya (istihadhah)

Page 50: Kitab Thoharoh (1)

8/19/2019 Kitab Thoharoh (1)

http://slidepdf.com/reader/full/kitab-thoharoh-1 50/51

 

50

hanya berwarna merah dan tidak bau, maka dalam hal ini ia memberlakukan tamyiz (perbedaan).

Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Fathimah binti Abi

Hubaisy, “Jika darah haidh, maka ia berwarna hitam yang sudah dikenal. Oleh karena itu, berhentilah dari shalat. Tetapi jika selain itu, maka wudhu‟ dan shalatlah, karena ia hanyalah

darah urat.” (HR. Abu Dawud dan Hakim )

3) Jika ia tidak mempunyai kebiasaan dan sifat yang membedakan dengan darah haidh, maka iaduduk (tidak shalat dan puasa) mengikuti umumnya masa haidh, yaitu enam atau tujuh hari,

karena masa tersebut adalah masa wanita haidh secara umum. Setelah hari-hari itu, maka darahtersebut berarti darah istihadhah, ia harus mandi sehabis haidh, lalu shalat dan puasa. Hal ini

 berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Hamnah binti Jahsy, "Darah

 penyakit itu hanyalah salah satu hentakan setan saja. Maka jadikanlah yang menjadi ukuran

haidhmu selama enam atau tujuh hari, kemudian mandilah. Sehingga apabila kamu tahu bahwakamu benar-benar telah suci, maka kerjakanlah shalat dan berpuasalah. Yang demikian itu telah

mencukupkan bagimu.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, ia berkata, “Hasan shahih.” Dan dihasankan

oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa‟ul Ghalil no. 205). 

Beberapa Faedah: 

1. Jika datang haidh ketika sudah masuk waktu shalat – minimal mendapatkan seukuran satu rak'at -sedangkan ia belum melakukan shalat maka ia mengqadha‟ shalat yang baru tiba waktunya itu

setelah haidhnya selesai

2. Mayoritas ulama berpendapat bahwa bila wanita telah berhenti haidh maka belum halal di jima‟i

sampai ia mandi atau tayammum jika memenuhi syarat tayammum.

3. Wanita yang melihat hari ini darah, besoknya bersih, jika di masa-masa haidh maka terhitungmasih haidh sampai 15 hari, selebihnya darah istihadhah.

4. Warna kuning atau keruh (coklat) jika keluarnya bergandengan dengan haid sebelum sucinya

maka dianggap haidh, namun jika keluar setelah suci maka bukan haidh, kecuali di akhir masa

suci dan sudah didahului oleh tanda-tanda haidh seperti rasa sakit dan sebagainya maka ituadalah haidh.

5. Wanita untuk mengetahui akhir masa haidh dengan dua cara:

a) Dengan keluarnya cairan lengket/lendir putih seperti benang.

 b) Dengan keringnya darah dan bersihnya farjinya dari darah haidh, misalnya dengan

memasukkan kapas ke dalam farji, lalu mengeluarkannya, jika ternyata kering dan bersih

maka berarti sudah selesai.

6. Jika wanita yang nifas itu telah berhenti darah nifasnya sebelum empat puluh hari dan ia mandi,shalat dan berpuasa, kemudian darah keluar lagi sebelum lewat empat puluh hari, maka darah ini

dianggap darah nifas. Oleh karena itu, ia harus berdiam; tidak shalat dan puasa. Dan puasa yangdilakukannya di masa berhenti darah itu maka sah.

Page 51: Kitab Thoharoh (1)

8/19/2019 Kitab Thoharoh (1)

http://slidepdf.com/reader/full/kitab-thoharoh-1 51/51

 

51

7. Apabila umur janin yang keguguran 80 hari atau kurang, maka darah yang keluar adalah darah

istihadhah, apabila setelah 90 hari, maka darah itu adalah darah nifas. Tetapi apabila masanya

antara 80 dan 90 hari, maka hukumnya tergantung kepada bentuk fisik janin, jika lebihmenyerupai bayi manusia, maka darah itu darah nifas, namun apabila belum berbentuk manusia,

maka darah itu istihadhah (Dari Tafsir Al ‟Usyril Akhir wa ahkaam tahumul muslim).

8. Yang wajib bagi wanita yang kena darah istihadhah adalah wudhu‟ untuk masing-masing shalatdan mandi itu lebih utama.

9. Cairan yang keluar dari farji wanita pada masa suci. Jika cairan itu bening atau putih berbentuk

lendir (keputihan), maka cairan itu suci, namun membatalkan wudhu'. Tetapi, jika terus meneruskeluar, maka tidak membatalkan wudhu'. Ia harus berwudhu' untuk setiap shalat setelah tiba

waktunya seperti halnya orang yang beser, ia kerjakan shalat fardhu itu dan shalat sunat dalam

waktunya itu.

III.  Beberapa masalah yang terkait dengan mandi (lihat Fiqhus sunnah)  

1. Cukup satu kali mandi untuk haidh dan janabat, atau untuk shalat „Ied dan shalat Jum‟at, atau

untuk janabat dan Jum‟at, dan ketika ia meniatkan semuanya. Hal ini berdasarkan sabdaRasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, “Wa innamaa likullim rim maa nawaa.” (artinya:

seorang hanya mendapatkan apa yang ia niatkan).

2. Apabila telah mandi janabat dan belum berwudhu‟, maka mandi dapat menduduki posisi

wudhu‟, karena Aisyah radhiyallahu 'anha berkata, “Bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam

tidak berwudhu‟ setelah mandi (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Syaikh Al

Albani dalam Shahih keduanya). Bahkan ketika ada seorang yang datang kepada Ibnu Umarmengatakan, bahwa dirinya berwudhu‟ setelah mandi, maka Ibnu Umar berkata kepadanya,

“Engkau telah berlebihan.” 

3. Boleh bagi orang yang junub dan haidh untuk memotong rambut, menggunting kukunya,

keluar ke pasar, dsb. „Athaa‟ berkata, “Orang junub (boleh) berbekam, menggunting kukunyadan mencukur rambutnya meskipun belum berwudhu.” (Diriwayatkan oleh Bukhari) 

4. Boleh bagi seorang laki-laki mandi bekas air yang dipakai istrinya. Demikian pula sebaliknya.

Ibnu Abbas berkata: Sebagian istri-istri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mandi dalam sebuahwadah besar, lalu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam datang untuk berwudhu‟ atau mandi darinya,

maka istrinya berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku junub.” Beliau bersabda,

“Sesungguhnya air itu tidak junub.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Nasa‟i, Tormidzi dan ia berkata,

“Hasan shahih.”) 

5. Tidak boleh mandi telanjang di tengah-tengah manusia, karena membuka aurat hukumnyaharam, kecuali jika jauh dari manusia, maka tidak mengapa. Demikian pula diperbolehkan mandi

meskipun di tengah-tengah manusia jika ia menutup dirinya dengan kain atau semisalnya. Hal ini

sebagaimana Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mandi, sedangkan Fathimahmenutupi Beliau dengan kain.