laporan praktikum limbah a5_teknologi pangan_unika soegijapranata

Upload: praktikumlimbah2014

Post on 10-Oct-2015

135 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

limbah yang digunakan adalah limbah cair hasil pencucian buah-buahan. dilakukan pada tahun 2014

TRANSCRIPT

1. DESKRIPSI LIMBAH1.1. Data Sampel Limbah1.1.1. Jenis LimbahJenis limbah yang digunakan dalam praktikum kelompok A5 ini adalah limbah cair dari penjual jus buah. Limbah ini dihasilkan dari air bekas cucian buah-buahan, yaitu apel, strawberry, melon, belimbing, tomat, jeruk, mangga, dan jambu. Proses pencucian buah yang dilakukan tidak menggunakan sabun untuk mencuci buah, hanya menggunakan air saja. Dalam praktikum limbah cair pencucian buah dilakukan penyaringan terlebih dahulu supaya didapatkan cairan murni saja.1.1.2. Waktu Pengambilan LimbahPengambilan limbah ini dilakukan pada hari Rabu, 27 Agustus 2014 sekitar pukul 12.10 WIB dengan memasukkannya ke dalam aqua botol dengan kapasitas 4,5 Liter dan langsungdigunakan untuk dilakukan pengujian pada limbah cair pukul 15.00 WIB. Jumlah limbah yang diambil adalah sebanyak 4,5 liter untuk kelompok A4 dan A5 yang sama-sama menggunakan limbah pencucian buah.1.1.3. Tempat Pengambilan LimbahLimbah cair ini diambil dari Penjual jus buah Mbak Kartika, yang terletak di depan Super Indo Candi, Semarang.1.1.4. Debit Limbah per hariDalam sehari penjual jus buah ini menghasilkan limbah sebanyak kurang lebih 8 Liter. Dari limbah cair yang dihasilkan sebelum dibuang belum ada prosedur penanganan limbah cair yang diterapkan oleh penjual jus buah ini. Limbah ini langsung dibuang ke selokan disekitarnya.1.2. Karakterisitik Limbah1.2.1. Karakteristik UmumDalam uji pendahuluan praktikum pengolahan limbah dilakukan berbagai analisa yang berhubungan dengan karakteristik limbah yang digunakan. Limbah yang digunakan adalah limbah cair pencucian buah. Sugiharto (1987) mendefinisikan jika limbah merupakan buangan/bekas yang berbentuk cair, gas, juga padat. Air limbah mengandung bahan kimia yang sulit untuk dihilangkan dan juga berbahaya dimanabahan kimia tersebut dapat memberi kehidupan bagi kuman-kuman penyebab penyakit, seperti penyakit tipus, disentri, dan kolera. Maka dari itu, sebelum air limbah dibuang ke lingkungan air limbah tersebut harus diolah supaya mengurangi pencemaran, tidak mencemari, dan juga tidak membahayakan kesehatan lingkungan sekitar.Definisi lain dari Mahida(1992) mengatakan bila limbah merupakan sampah cair dari suatu lingkungan masyarakat, terutama terdiri dari air yang telah terdiri darisekitar 0,1% berupa benda-benda padat yang terdiri dari zat organik maupun zat anorganik. Zat organik dalam sampah mengandung karbohidrat, lemak, nitrogen, juga sabun. Zat zat organik tersebut memiliki sifat yang tidak tetap dan dapat menjadi busuk sehingga akan mengeluarkan bau yang tidak sedap. Sedangkan untuk benda-benda anorganik pada umumnya tidak merugikan. Keberadaan kandungan bahan organik yang tinggi pada limbah dapat dijadikan sebagai sumber makanan yang baik untuk perkembangbiakan mikroba. Beliau juga turut mengatakan jika air limbah harus diberi penanganan terlebih dahulu sebelum dilepaskan ke alam, sebab air limbah yang masih banyak terdapat senyawa senyawa beracun juga dapat mengandung senyawa senyawa yang dibutuhkan untuk pertumbuhan bakteri, virus, dan protozoa sehingga dapat menjadi media yang baik untuk pembiakan jasad jasad renik.Dalam uji pendahuluan ini, limbah air pencucian buah diperoleh dari penjual jus buah. Air limbah dapat berasal dari dua jenis sumber yaitu air limbah rumah tangga dan air limbah industri.Umumnya, limbah air rumah tangga tidak mengandung zat-zat berbahaya, sedangkan pada limbah industri, dapat mengandung zat-zat yang berbahaya, sehingga harus dibedakan antara limbah yang mengandung zat-zat yang berbahaya dan yang tidak(Otto, 1986). Jenie & Rahayu (1993) juga turut menambahkan jika secara umum limbah industri pangan tidak membahayakan kesehatan masyarakat karena tidak terlibat langsung dalam perpindahan penyakit.Akan tetapi,kandungan bahan organiknya yang tinggi dapat berperan sebagai sumber makanan untuk pertumbuhan mikroba. Kondisi yang menguntungkan akan membuat mikroorganisme berkembang biak dengan cepat dan mereduksi oksigen terlarut yang terdapat dalam air. Secara normal, air mengandung kira-kira 8 ppm oksigen terlarut. Standar minimum oksigen untuk kehidupan ikan adalah 5 ppm.Apabila bawah standar, akan menyebabkan kematian ikan dan biota perairan lainnya.Sifat fisik air limbah :Sifat-sifatPenyebabPengaruhCara mengukur

WarnaBenda terlarut, yaitu sisa organik dari daun dan tanaman ( kulit, gula, besi), buangan industriUmumnya tidak merugikan dan tidak berbahaya terhadap kualitas keindahan airPenyerapan pada perubahan skala standar

BauBahan volatile, hasil pembusukan,gas larut, bahan organikMerusak keindahan juga menganggu makhluk hidup di lingkunganh sekitarMenggunakan panca indera, yaitu hidung dengan kepekaan manusia terhadap tingkatan dari bau

SuhuKondisi udara sekitarnya, air panas bekas buangan rumah / industriMempengaruhi kerapatan air, kehidupan biologis, tekanan permukaan, kelarutan oksigen / gas lain, dan daya viskositas Menggunakan termometer (skala Celcius atau fahrenheit)

RasaBahan-bahan penghasil bau, benda terlarut dari beberapa ionMempengaruhi kualitas keindahan airTidak diukur pada air limbah

KekeruhanBenda-benda tercampur seperti garam, limbah padat, tanah liat, dan bahan organik halus dari buah-Memantulkan sinar cahaya matahari sehingga mengurangi produksi oksigen yang dihasilkan tanaman, mengotori pemandangan, dan mengganggu kehidupan.Pembiasan cahaya dan perubahan skala standar

( Sugiharto, 1987 )Gintings (1992) mengatakan jika ada beberapa tingkatan dalam proses pengolahan air limbah yaitu:

1. Pre-treatmentDalam air limbah banyak padatan yang terapung ataupun melayang yang ikut bersama dengan air, seperti lapisan minyak dan lemak, pasir,lumpur, potongan kayu, sisa kain, sisa pembersihan daging, dan lain - lain. Pada pengolahan pretreatment umunya digunakan saringan agak kasar tapi dipilih yang tidak mudah berkarat untuk menyaring kotoran yang masih terdapat di air limbah. Saringan harus diperiksa secara rutin untuk mengambil bahan yang terjaring sehingga tidak sampai membuat kemacetan aliran air. Pengolahan tingkat pretreatment akan berpengaruh pada hasil pengolahan tingkat primer.Kusnaedi(1998) mengatakan jika proses penyaringan bisa merupakan proses awal (primary treatment) maupunproses penyaringan yang dilakukan dari proses sebelumnya, misalnya penyaringan dari hasil koagulasi. Proses penyaringan ini bertujuan untuk menghilangkan padatan-padatan yang berukuran besar, yang berukuran 0,7 mm atau lebih besar. Penyaringan dapat dilakukan dengan lebih mudah juga baik jika dilakukan tahapan koagulasi terlebih dahulu, karena untuk padatan terlarut akan sulit dipisahkan dari bagian cair. Mahida (1992) menambahkan jika cara yang paling sederhana dari pembuangan benda padat yang kasar dan besar adalah dengan cara mengalirkan limbah melalui penyaring. Selanjutnya benda benda padat yang dapat melalui saringan ini kemudian diendapkan dalam tangki tangki sedimentasi.2. Primary TreatmentZat-zat yang tidak tersaring pada tahap pre-treatment, seperti padatan halus, zat warna yang larut, maupun tersuspensi perlu dihilangkan untuk memudahkan pengolahan selanjutnya.Tahapan primary treatment ini dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu pengolahan secara kimia dan pengolahan secara fisik.Pengolahan secara kimia dengan cara mengendapkan padatan dengan penambahan bahan kimia yang akan menyebabkan reaksi antara senyawa kimia dengan bahan pengendap dan mengakibatkan bahan butiran tambah besar sehingga berat jenisnya lebih besar daripada air. Sedangkan untuk pengolahan secara fisik dapat dilakukan dengan pengendapan yang terjadi secara gravitasi dimana pengendapan akan terjadi bila senyawa pencemar limbah terdiri dari bahan-bahan organik seperti besi,aluminium, plumbum, nikel, dan lain sebagainya.Koagulasi merupakan suatu proses penggumpalan yang terjadi melalui reaksi kimia. Reaksi koagulasi dapat berjalan dengan menambahkan zat pereaksi (koagulan) sesuai dengan zat yang terlarut. Koagulan yang dapat digunakan sepertikaporit, tawas, dan kapur. Hal tersebutdikarenakan garam-garam Ca,Al, Fe, yang memiliki sifat tidak larut dalam air sehingga akan mengendap bila bertemu dengan sisa-sisa basa. Proses koagulasi mempunyai tujuan untuk mengikat partikel partikel limbah cair dengan bahan yang disebut koagulan, sehingga didapatkan flok flok yang berukuran besar dan dapat disaring atau diendapkan dengan lebih mudah (Suhardi, 1991). Banyaknya koagulan yang digunakan tergantung pada jenis dan konsentrasi ion-ion yang larut dalam air olahan, serta konsentrasi yang diharapkan sesuai dengan standar baku (Kusnaedi, 1998). Proses koagulasi dapat mengakibatkan ketidakstabilan partikel, karena adanya gaya yang cenderung membuat partikel terpisah akan berkurang. Setelah koagulasi dan pengadukan, larutan disaring sehingga diperoleh endapan dan filtrat. Kemudian dilakukan penyaringan lagi, lalu sesudah itu hasil penyaringan tersebut dimasukkan dalam oven 105 oC selama 1 jam, lalu dimasukkan dalam desikator selama 10 menit (Jenie & Rahayu, 1993). Koagulan merupakan zat-zat yang digunakan untuk menggumpalkan dan bahan koagulan utama yang digunakan dalam proses pemurnian air adalah aluminium sulfat copperas (FeSO4.7H2O), (Al2(SO4)3.14H2O), feri klorida (FeCl3), feri sulfat (Fe2(SO4)3), chlorinated copperas (campuran feri sulfit dan feri klorida), serta silikat aktif (Winarno, 1986). Ada beberapa faktor juga yang mempengaruhi pengadukan, yaitu efek pH, efek garam, dan efek pengadukan (Kusnaedi, 1998).Keberhasilan pengendapan tergantung selama operasi antara lain : Konsentrasi padatan. Ukuran partikel, makin besar ukurannya makin cepat pengendapan. Berat jenis partikel. Retention time, waktu tinggal limbah dalam bak pengendap. Banyaknya udara yang kontak dengan air limbah. Temperatur air limbah, semakin tinggi temperatur, viskositas cairan lebih kecil. Pilihan koagulan yang dipergunakan, pilihan koagulan dipengaruhi oleh tingkat keasaman air limbah.(Sugiharto, 1987) 3. Secondary TreatmentPada tahapan secondary treatment, pada umumnya melibatkan proses biologis yang bertujuan untuk menghilangkan bahan organik melalui biokimia oksidasi. Untuk proses biologis ini sering kali menggunakan reaktor lumpur aktif dan trickling filter. Dalam proses lumpur aktif, air buangan masuk ke dalam tangki aerasi tempat mikroorgansime mengkonsumsi buangan organis untuk membentuk sel-sel baru, sehingga didapatkan hasil endapan pada dasar bak. Bagian yang tebal pada dasar kemudian diambil kembali. Kusnaedi(1998) menuturkan jika pada tahapan secondary treatment ini biasanya dilakukan dengan aerasi dimana aerasi merupakan suatu sistem oksigenasi melalui penangkapan O2 dari udara pada air olahan yang akan diproses. Pemasukan oksigen ini bertujuan supaya O2 di udara dapat bereaksi dengan kation yang ada di dalam air olahan. Reaksi kation dan O2 akan menghasilkan okasidasi logam yang sukar larut dalam air sehingga dapat mengendap. Tujuan utama dari proses aerasi itu sendiri adalah untuk menurunkan kadar besi (Fe) dan magnesium (Mg). Proses aerasi juga harus diikuti proses filtrasi atau pengendapan.

4. Tertiary TreatmentPada tahapan selanjutnya, yaitu pada tahapan tertiary treatment, tujuan utamanya adalah untuk menghilangkan senyawa kimia organik dan anorganik seperti kalium, kalsium, sulfat nitrat, dan phospor. Pada tahapan ini, terdapat beberapa jenis pengolahan yang pada umunyadigunakan, yaitu vacuum filter, saringan pasir, saringan multi media, precoal filter, juga microstaining, penyerapan.Pada tahapan ini juga terjadi proses fisika, kimia dan biologis. Proses fisikamerupakan proses pengolahan secara mekanis dengan atau tanpa penambahan bahan kimia meliputi prosespembekuan,pengapungan, filtrasi, destilasi, striping, dll. Pada proses kimia meliputi pertukaran ion, pengendapan kimia, oksidasi dan reduksi, adsorbsi karbon aktif, elektro kimia. Sedangkan pada proses biologis meliputi proses penelitian bakteri dan alga nitrifikasi. Penyerapan merupakan suatu proses mengumpulkan benda-benda terlarut yang terdapat dalam larutan antara dua permukaan. Proses penyerapan akanterjadi pada seluruh permukaan benda, maka yang terjadi adalah bahan padat yang menyerap partikel yang berada di dalam air limbah. Bahan yang diserap disebut adsorbate atau solute, sedangkan bahan penyerapannya disebut adsorbent. Bahan adsorbent yang sering kali digunakan adalahkarbon aktif, alumunium aktif,dan molekuler sieves. Namun karbon aktif / arang batok kelapa-lah yang paling sering digunakan. Karbon berfungsi untuk mengurangi kadar dari benda-benda organik terlarut yang ada.Proses penyerapan (adsorbsi) mempunyai tujuan untuk proses penjernihan limbah cair. Penjernihan air limbah digunakan untuk mengurangi pengotoran bahan organik, partikel termasuk benda yang tidak dapat diuraikan (nonbiodegradable) ataupun gabungan antara bau, warna dan rasa (Sugiharto, 1987).5. DesinfeksiTahap kelima ini merupakan tahap desinfeksi, tahap ini bertujuan untuk menurunkan atau menghilangkan mikrobia yang bersifat patogen pada limbah pangan.Faktor yang sangat berpengaruh terhadap pembunuhan mikrobia adalah oleh kondisi dari zat pembunuhnya dan mikroorganisme itu sendiri.Pada umunya, zat pembunuh kimia termasuk klorin dan komponennya membunuh dan mematikanmikroba dengan cara merusak atau menginaktifkan enzim utama, sehingga terjadi kerusakan dinding sel seperti yang dilakukan apabila menggunakan bahan radiasi atau panas. Maka dalam pemilihan bahan kimia yang akan digunakan sebagai bahan desinfeksi, perlu memperhatikanfaktor-faktor sepertidosis,efektivitasnya, waktu kontak yang diperlukan,tidak toksik terhadap manusia dan hewan, daya racun zat kimia, biaya murah untuk pemakaian yang bersifat masal, tetap tahan terhadap air (Sugiharto, 1987).Dalam mengatasi limbah cair, klorinasi merupakan salah satu proses yang cukup efektif. Klorin merupakan oksidator dan akan bereaksi dengan beberapa komponen organik pada limbah cair. Kebutuhan klorin untuk air limbah yang relatif jernih (tidak terlalu keruh) dan pada air yang mengandung suspensi padatan sedikit atau tidak terlalu tinggi, biasanya relatif rendah. Klorin mempunyai fungsi untuk mengatasi bau yang timbul dari limbah dan juga menurunkan komponen- komponen yang tereduksi dalam air. Jenie & Rahayu (1993) mengutarakan jika efisiensi pemakaian klorin dipengaruhi oleh jumlah dan jenis atau bentuk klorin yang digunakan,suhu, waktu kontak, dan jenis konsentrasi mikrobia.Peranan klorin dalam mengatasi limbah pertanian adalah untuk mereduksi konsentrasi bakteri, dimana klorinasi dapat membuat kadar BOD (Biochemical Oxygen Demand) menurun.6. Pengolahan Lanjutan (Ultimate disposal)Tahapan yang ke-enam ini merupakan tahapan pengolahan lumpur, karena pada umunya hasil pengolahan air limbah adalah lumpur.Lumpur perlu diolah lagi secara khusus agar dapat dimafaatkan kembali untuk keperluan yang bermanfaat, sepertiuntuk pupuk, membuat kolam, penimbunan, dan pengisian tanah yang cekung (land filling).Untuk itu diperlukan beberapa tahap pengolahan lumpur antara lain : proses pemekatan, penstabilan, pengaturan, pengurangan air, pengeringan, pembuangan. 1.2.2. Karakteristik FisikawiPengidentifikasian secara visual terhadap ciri-ciri dari limbah adalah dengan dilihat dari air, kekeruhan, rasa, warna, bau yang ditimbulkan serta indikasi lainnya.Kegiatan mikroorganik yang menguraikan zat organik dengan reaksi kimia sehingga menghasilkan gas tertentu pada limbah yang menimbulkan bau tertentu.Kuat tidaknya bau yang dihasilkan oleh limbah dipengaruhi dari jenis dan jumlah gas yang ditimbulkan (Gintings, 1992).Karakteristik dari limbah cairdilihat secara fisik yaitu meliputi :1. BauHampir sebagian besar limbah industri pangan menghasilkan limbah yang berupa limbah organik.Limbah organik ini bersifat biodegradable (mengandung karbohidrat dan protein yang tinggi), sehinggadengan bantuan mikroorganisme, limbah dapat diuraikan oleh alam yang dalam prosesnya menimbulkan bau yang kurang sedap saat proses pembusukan atau degradasi bahan organik. (Sugiharto, 1987).Menurut Suhardi (1991) Pengukuran bau dapat dilakukan dengan 2 metode yaitu: evaluasi sensori (indera pembau) dan GC (Gas Chromatography), yang keduanya berfungsi menganalisa senyawa-senyawa penyebab bau pada limbah.Limbah masih baru atau limbah yang sudah busuk dapat diketahui dengan parameter yaitu bau.Adanya campuran dari nitrogen, sulfur, dan fosfor dan juga berasal dari pembusukan protein dan lain-lain bahan organik yang terdapat dalam air limbah adalah penyebab dari bau yang tidak sedap.Pada konsentrasi 0,0011 mg/l hidrogen sulfida menyebabkan bau khas telur busuk, sedangkankonsentrasi kira-kira 0,037 mg/l amoniak dapat menimbulkan bau amoniak yang sedikit menyengat, dan pada konsentrasi sekitar 0,0026 mg/l karbon disulfida menimbulkan bau yang tidak enak dan memuakkan. Jika bau tersebut keluar dari gas-gas dan uap yang beracun dapat menyebabkan gangguan kesehatan pada masyarakat yang dapat menimbulkan kerugian(Mahida, 1992).Limbah cairyang digunakan sebagai sampel dalam praktikum ini memiliki bau yang agak bau.Bau yang ditimbulkan ini dikarenakan limbah yang diambil berasal dari air pencucian buah.Hal ini sesuai dengan pernyataan Anonim (2007), yang mengatakan bahwa limbah cair pengolahan buah memiliki bau yang tidak enak akibat kandungan pH yang tinggi pada saat pengolahan buah tersebut karena kaustik dan kandungan bahan organik yang tinggi.2. Warna dan KekeruhanWarna pada limbah cair memiliki makna yang berbeda yang menunjukkan tentang kekuatannya, dimana limbah cair yang masih baru memiliki warna abu-abu dan limbah cair yang sudah busuk memiliki warna gelap (Mahida, 1992). Gintings (1992) mengungkapkan, warna dapat timbul akibat dari suatu bahan yang terlarut atau tersuspensi dalam air, selain karena adanya bahan pewarna tertentu yang kemungkinan mengandung logam berat. Limbah cair berupa air cucian buah memiliki warna bening.Terlarutnya tanah, pestisida dan kotoran dari bagian-bagian buah pada saat pencucian menjadi penyebab warna pada limbah tersebut. Warna air limbah dapat memberi petunjuk terhadap jumlah benda yang tersuspensi dan terlarut (Sastrawijaya, 1991).Komparator warna dan skala standar dapat digunakan untukpenentuan warna limbah cair. Jika tidak ada komparator warna Penentuan warna dapat dilakukan dengan memegang tabung reaksi yang penuh dengan limbah cair yang digunakan (sampel dalam praktikum ini berwarnabening), jika komparator warna (Secchi) tidak tersedia maka dapat dilkukan dengan skala standar seperti penjelasan sebelumnya. Hasil dari analisa visual, limbah buahagak keruh.Hal tersebut menunjukkan bahwa limbah buah dari kios tersebut tidak banyak mengandung endapan hasil pencucian buah tersebut.Kekeruhan adalah salah satu parameter fisik yang mengukur keadaan air dengan menggunakan efek cahaya sebagai dasarnya.Penyebab dari kekeruhan karena adanya benda tercampur atau benda koloid di dalam air (Sugiharto, 1987). Kekeruhan merupakan standar warna dari karakteristik fisik limbah.Untuk mengukur tingkat kekeruhan dapat digunakanalatturbidimeter.Turbidimeter adalah suatu alat yang digunakan untuk menguji kekeruhan.Sedangkan sampel yang digunakan adalah zat cair.Prinsip kerja turbidimeter yaitu memancarkan cahaya pada media atau sampel, dimana cahayadiserap dan diteruskan lalu dipantulkan, ataumenembus media tersebut.Cahaya yang diserapatau menembusmedia akan diukur dan ditransfer menjadibentuk angka yangmenjadi tingkat kekeruhan,diasumsikan jika semakin banyak cahaya yangdiserapmaka semakin keruh (Frisca, 2011).Larutan diberi perlakuan jar test sebelum diukur menggunakan turbidimetri. Tujuan dari perlakuan jar test adalah untuk menentukan dosis yang paling optimal dari koagulan yang dapat digunakan pada proses pengolahan limbah (Farida, 2002). Prinsip kerja dari jar test ini adalah zat terlarut di dalam air akan menempel di permukaan koloid dan mengubah muatan elektrisnya, sedangkan zat yang tidak terlarut akan mengendap yang disebut flok yang dapat menangkap koloid dan membawanya ke dasar wadah (Beny, 2009). Warna limbah juga menentukan bahaya atau tidak dalam hal suhu limbah, apabila warna dari limbah hitam maka kandungan Pb-nya tinggi, warna limbah biru maka kandungan Cu tinggi, dan apabila warna limbah adalah kuning maka kandungan Fe tinggi (Suhardi, 1991).3. SuhuUntuk melihat kecenderungan aktivitas-aktivitas kimiawi dan biologis, tegangan permukaan,tekanan uap, pengentalan, serta nilai-nilai penjenuhan dari benda padat, dan juga gasdapat digunakan suhu sebagai parameternya. Pengentalan digunakan untuk mengatur sedimentasi, dimana pengentalan akanberkurang pada suhu tinggi dan menghasilkan peningkatan sedimentasi. Tingkat oksidasi pada zat organik dengan suhu tinggi akanlebih besar dibandingkan dengan suhu rendah. membunuh mikroorganisme pengurai mengakibatkan aktivitas biologis akan menurun yang dilakukan dengan suhu tinggi (Mahida, 1992).Kecepatan reaksi kimia serta tata kehidupan dalam air dipengaruhi oleh temperatur limbah cair. Meningkatknya oksidasi zat organik pada suhu yang tinggi jauh lebih besar daripada pada suhu rendah sehingga terjadipembusukan (Gintings, 1992). Sampel yang diperoleh memiliki temperatur awal dan akhir tetap 28oC. Hal ini sesuai dengan teori yang mengatakan, bahwa limbah pengolahan buah memiliki suhu yang tidak jauh berbeda dengan suhu ruang, dengan rentang sekitar 2-3oC. Pada pengukuran suhu limbah cair dilakukan dengan menggunakan alat thermometer (Anonim, 2007). Suhu yang terukur tersebut termasuk rendah, karena suhu yang tinggi adalah 60oC, dimana akan menunjukkan adanya aktivitas biologis yang semakin meningkat, sedangkansuhu ruang ( 27oC) menunjukkan adanya proses pembusukan limbah tersebut (Mahida, 1992).4. Kandungan Bahan Padatan (total padatan, padatan tersuspensi, dan padatan terlarut)Padatan yang berupa lumpur, pasir, sisa kain, potongan kayu, dan lainnya akan terapung atau melayang dan ikut bersama air pada air limbah. Pada umumnya bahan-bahan tersebut mudah untuk diidentifikasikan dengan menggunakan penglihatan mata. Agar proses pengolahan limbah selanjutnya tidak terganggu maka penghilangan padatan terapung atau melayang ini penting. Oleh karena itu, padatan tersebut perlu dihilangkan untuk mempermudah dalam proses pengolahan limbah berikutnya (Gintings, 1992). Menurut Anonim (2007), padatan yang terkandung dalam limbah bisa berupa bentuk terlarut maupun bentuk tersuspensi. Salah satu metode yang dapat diterapkan untuk menghilangkan padatan terapung atau melayang ini adalah dengan cara kimia, yaitu koagulasi yangmenggunakan bahan kimia tertentu atau koagulan(Gintings, 1992).Untuk mengurangi konsentrasi zat pencemar dalam limbah dalam proses pengolahan cara kimia adalah digunakan bahan kimia. Digunakannya bahan kimia berarti akan terjadi suatu unsur baru dalam air buangan yang mungkin sebagai katalisator (Sugiharto, 1987). Penyaringan digunakan untuk memisahkan larutan dan juga padatan yang terdapat didalam limbah.Didalam prosesnya digunakan kain saring. Penyaringan yang lebih baik dapat dilakukan dengan satu tahap pendahuluan yaitu koagulasi, dikarenakan untuk padatan terlarut akan sulit dipisahkan dari bagian yang cair. Selanjutnya dalam tangki tangki sedimentasi, benda benda padat yang dapat melalui saringan ini diendapkan (Mahida, 1992).Padatan terlarut digunakan untuk menentukan jumlah kepekatan dalam air, juga dinyatakan dalam mg per liter atau dalam ppm (part per million). Menentukan kualitas air limbah digunakan penentuan padatan terlarut total. Padatan terlarut dan tersuspensi mempengaruhi pada tingkat kejernihan dan warna air.Sifat kejernihan air limbah memiliki hubungan dengan produktivitas.Jika konsentrasi bahan tersuspensi tinggi cahaya tidak dapat tembus banyak.Kualitas air berhubungan dengan warna air (Sastrawijaya, 1991).

Total Solid (TS)Di dalam limbah cair, pengukuran jumlah padatan biasanya menggunakan analisa total padatan, total padatan tersuspensi, dan total padatan terlarut (Hammer & Hammer, 1996). Total padatan (Total Solid/ TS) adalah bahan yang tertinggal setelah proses evaporasi dari air limbah dan pengeringan dalam oven. Pengukuran total padatan dilakukan dengan cara sejumlah volume tertentu diletakkan dalam cawan porselen.Dengan suhu 103-105C selama 24 jam, air diuapkan dari cawan dengan pengeringan dalam oven, kemudian didinginkan di dalam desikator dalam berat yang konstan. Miligram total residu sama dengan perbedaan antara berat cawan setelah didinginkan dengan berat cawan kosong. Total Suspended Solid (TSS)Bahan yang tertahan pada filter standar adalah pengertian dari total padatan tersuspensi (Total Suspended Solid / TSS). Kertas saring digunakan sebagai filter standar dalam praktikum. Pengukuran total padatan tersuspensi dilakukan dengan metode filtrasi, dimana filter dikeringkan dan ditimbang untuk menentukan peningkatan berat sebagai hasil dari residu yang tertahan. Perhitungan total padatan tersuspensi sama dengan perhitungan total padatan. Bahan terlarut (residu yang tidak tersaring) dihitung dengan mengurangi konsentrasi padatan total dengan konsentrasi padatan tersuspensi (Hammer & Hammer, 1996). Total Dissolved Solid (TDS)Total padatan terlarut (Total Dissolved Solid / TDS) merupakan bahan yang dapat melewati filter standar. Padatan terlarut total mengartikan jumlah kepekatan dalam suatu limbah, yang juga dinyatakan dalam mg per liter atau dalam ppm (part per million). Kualitas dari air limbah dapat ditentukan cepat dengan penentuan padatan terlarut total. Konsentrasi bahan tersuspensi yang tinggi dapat membuat cahaya tidak dapat tembus banyak (Sastrawijaya, 1991). Jumlah total padatan terlarut dapat dihitung sebagai selisih total padatan dengan total padatan tersuspensi. 1.2.3. Karakteristik KimiawiUtomo (1998) mengatakan bahwa salah satu analisa limbah adalah dengan penentuan secara kimiawi. Penentuan limbah cair secara kimiawi memiliki prinsipanalisayang melihatunsur-unsur kimia yang ada dalam limbah dan menganalisanya apakah memiliki dampak terhadap kesehatan, seperti bahaya yang dapat ditimbulkan dari zat beracun yang mungkin ada di dalam limbah sebelum dan setelah pembenahan (treatment). Sehingga analisa kimiawi limbah cair sangatlah penting. Hal ini karena analisa kimia bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya bahan-bahan beracun di dalam limbah, sehingga dapat dipastikan bahwa limbah yang dibuang tidak berbahaya bagi lingkungan. Pada analisa kimiawi limbah cair, biasanya dilakukan analisa nitrogen, klorida, sulfat, sulfida, kebutuhan oksigen biokimiawi, stabilitas methyleneblue atau stabilitas relatif, COD, BOD dan pH atau konsentrasi ion hidrogen, dimana semua uji analisanya dilakukan untuk mengetahui kandungan kimia yang ada dalam limbah. Ryadi(1984) mengatakan bahwa sifat kimia limbah cair meliputi yang paling sering diuji adalahuji pH atau keasaman, COD, dan BOD. Hal ini karenalimbah industri pangan identik dengan kandungan organik yang cukup besar. Sehingga pengukuran kadar organik dari limbah, sangatlah penting dilakukan. Limbah cair memiliki COD tinggi dan BOD rendah,dikarenakan adanya bahan organik yang tidak dapat dipecah secara biologis atau karenatermasuk dalam bahan beracun. Menurut Jenie & Rahayu(1993), analisis BOD dalam penanganan air limbah akan memberikan indikasi awal adanya bahan toksik. Limbah cair yang memiliki COD tinggi, dan BOD rendah, maka studi toksisitas sangat diperlukan untuk uji lebih lanjut.Beberapa pengujian analisa kimia yang dilakukan, antara lain:A. Pengujian pH (derajat keasaman)pH atau derajat keasaman menurut Mahida (1992) merupakan intensitas keasaman atau alkalinitas dari suatu cairan encer, dan mewakili konsentrasi hidrogen ionnya. Keasaman mempunyai nilai antara 1-14.Pada limbah cair yang normal, tingkat keasamannya berkisar antara 6,5-8,5. Air yang mempunyai tingkat keasaman yang tinggi mengakibatkan kehidupan makhluk dalam air menjadi terancam mati. Hal ini karena jika pH mendekati 5 tingkat keasaman pencernaan jadi tidak normal. Akan tetapi jika pH lebih dari 10, juga menyebabkan proses aerobik biologis menjadi kacau. Air menjadi asam karena adanya buangan yang mengandung asam seperti asam sulfat dan asam klorida.Sedangkan buangan yang bersifat basa (alkalis) bersumber dari buangan yang mengandung bahan organik seperti senyawa bikarbonat, karbonat, dan hidroksida (Hammer & Hammer, 1996). Sehingga sangatlah penting melakukanpengawasan pH, untuk melindungi lingkungan tempat limbah akan dibuang. 2. Biochemical Oxygen Demand (BOD)BOD adalah jumlah oksigen yang digunakan oleh mikroorganisme dalam oksidasi aerob bahan bahan organik dalam sampel air limbah pada temperatur 19-21oC dalam inkubator atau waterbath(Hammer & Hammer, 1996).Penguji BOD merupakan metode analisa yang paling banyak digunakan dalam penanganan limbah dan pengendalian polusi, hal ini karena uji BOD pada umumnya digunakan untuk menentukan kebutuhan oksigen relatif dari effluent yang telah mengalami proses pengolahan.Pada pengujian BOD (Biochemical Oxygen Demand), pengukuran jumlah oksigen dilakukan dalam waktu 5 hari oleh mikroorganisme pengurai aerobik dalam suatu volume limbah pada suhu 20oC diamana hasilnya dinyatakan dalam satuanpart per million(ppm) (Sastrawijaya, 1991). Menurut Tchobanoglous (1981) parameter yang sering digunakan untuk mengukur polusi baik pada air limbah maupun air tanah adalah denganperhitungan nilai BOD 5 hari (BOD5).Nilai tersebut menunjukan hasil dari pengukuran oksigen terlarut yang digunakan oleh mikroorganisme dalam oksidasi biokimia materi-materi organik.Secara Umumnya inkubasi berlangsung selama 5 hari pada suhu 20C, dengan oksidasiyang akan berlangsung secara sempurna sebesar 60-70%, sedangkan dengan waktu 20 hari, oksidasi berlangsung sempurna sebesar 95-99%. Pada penggunaan temperatur yang berbeda juga dapat memberikan hasil yang berbeda pula karena reaksi biokimia sangat tergantung pada temperatur.Akan pengujian yang sering dilakukan adalah pengujian selama 5 hari. Akan tetapi pengujian BOD ini juga memiliki kelemahan yaitu fase lag yang tidak dapat diprediksi lamanya terjadi sebelum pertumbuhan aktif dimulai. Sehingga panjang lag akan mempengaruhi nilai BOD 5 hari dengan menggeser kurva sepanjang sumbu waktu (Jenie & Rahayu, 1993). Pada umumnya nilai BOD5 adalah sekitar 400-1000 mg/l pada inlet dan dibawah 50 mg/l pada oulet tangki aerasi (Tchobanoglous, 1981). Gintings (1992) mengatakan bahwa nilai BOD selalu lebih kecil daripada nilai COD yang diukur pada senyawa organik yang dapat diuraikan maupun senyawa organik yang tidak dapat terurai.Pada analisa BOD dapat dilakukan melalui 2 cara, yakni: Analisa dengan titrasi WinklerPrinsip analisa ini adalah oksigen yang mengoksidasi MnSO4 yang ditambahkan ke dalam larutan pada keadaan alkalis, sehingga terjadi endapan MnO2.Dengan adanya penambahan asam sulfat dan kalium iodida, maka iodin yang ekuivalen dengan oksigen terlarutakan dibebaskan. Iodin yang bebaskemudian dianalisa dengan metode titrasi iodimetris Analisa dengan DO-meterPrinsip analisa ini adalah menggunakan elektroda yang terdiri atas katoda dan anoda yang terendam dalam alrutan ektrolit (larutan garam) (Alaerts & Santika, 1984).Akan tetap ada beberapa jenis gangguan yang umumnya akan terjadi dalam analisa BOD seperti, nitrifikasi, yang dapat terjadi pad hari ke-2sampai ke-10, dimana proses ini akan membutuhkan oksigen (O2). Sehingga pertumbuhan bakteri penyebab nitrifikasi harus dihalangi dengan inhibitor(Alaerts & Santika, 1984).3. Chemical Oxygen Demand (COD)COD atau ChemicalOxygenDemandmenurut Sugiharto (1987)adalah banyaknya oksigen dalam ppm yang diperlukan pada kondisi khusus untuk menguraikan bahan organik secara kimiawi.Pengukuran COD (Chemical Oxygen Demand) bertujuan untuk mengukur kebutuhan oksigen terhadap zat organik yang sukar dihancurkan secara oksidasi. Pada COD penentuan total zat organik merupakan penentuan secara tidak langsung karena yang ditentukan adalah kebutuhan O2 untuk menambah zat organik secara kimiawi. Sehingga banyaknya oksidator yang digunakan untuk oksidasi ekuivalen dengan banyak total zat organik, dimana zat pengoksidasi yang digunakan adalah K2Cr2O7. Pada pengujiannya juga dilakukan pengujian blanko dimana sampel yang digunakan berupa air destilasi. Tujuan pengujian dengan menggunakan blanko adalah mengurangi resiko kesalahan yang timbul karena adanya bahan-bahan organik dalam reagen. COD dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

(Hammer & Hammer, 1996)Perbedaan utama antara nilai COD dengan nilai BODdikarenakan beberapa faktor seperti: Adanya bahan toksik dalam limbah yang akan mengganggu uji BOD tetapi tidak uji COD Bahan kimia yang tahan terhadap oksidasi biokimia tetapi tidak terhadap oksidasi kimia seperti lignin. Bahan kimia yang dapat dioksidasi secara kimia dan peka terhadap oksidasi biokimia tetapi tidak dalam uji BOD 5 hari seperti selulosa, lemak berantai panjang atau sel-sel mikroba.(Jenie & Rahayu, 1993)Secara umum COD lebih jarang digunakan dibandingkan dengan BOD. Selain itu pada pengujian COD jugadigunakan untuk mengukur kebutuhan oksigen terhadap zat organik yang sukar dihancurkan secara oksidasi. Sehingga dibutuhkan bantuan pereaksi oksidator yang kuat dalam suasana asam seperti KMnO4 atau K2Cr2O7 sebagai oksidator/zat pengoksidasi (Gintings, 1992). Selain itu dilakukan penambahan larutan kalium bikromat dan merkuri sulfat yang bertujuan untukmemacu terjadi reaksi reduksi-oksidasi menghasilkan On yang merupakan oksigen bebas yang nantinya diukur dengan titrasi iod. Reaksi oksidasi-reduksi ini dapat terjadi karena kalium bikromat merupakan senyawa yang bersifat oksidator kuat.Reaksi oksidasi-reduksi tersebut dapat berlangsung optimal dalam kondisi asam.Sehingga jumlah volume KMnO4 atau K2Cr2O7 yang digunakan untuk oksidasi ekuivalen dengan banyaknya total zat organik yang dapat dioksidasi secara kimiawi (Suhardi, 1991). Selain itu dalam percobaan juga dilakukan proses pemanasan untuk meningkatkan kecepatan suatu reaksi kimia. Hal ini dikarenakan suhu yang tinggi akan menyebabkan meningkatnya energi kinetik masing-masingmolekul dari kedua senyawa yang bereaksi. 1.2.4. Karakteristik BiologisPengamatan biologis pada limbah cair diperlukan dengan tujuan untuk mengetahui apakah ada mikroorganisme patogen dalam limbah cair tersebut juga untuk mengurangi jumlah mikroorganisme yang ada dalam limbah cair.Sugiharto (1987) mengatakan jika hal ini diperlukan untuk memperkirakan tingkat kekotoran limbah cair sebelum dibuang ke lingkungan..Pengamatan biologis ini meliputi pemeriksaan bakteri, jamur, ganggang, rotifera, protozoa, crustaceae, serta virus(Utomo, 1998).Limbah merupakan suatu media yang baik bagi pertumbuhan organisme, seperti tumbuhan, hewan, khususnya jamur dan bakteri.Keberadaan kelompok bakteri patogen dalam suatu limbah air menandakan jika limbah tersebut telah tercemar.Bakteri merupakan kelompok mikroorganisme yang paling penting dalam sistem penanganan air limbah. Keberadaan bakteri dalam air limbah perlu ditangani lebih lanjut karena beberapa bakteri memiliki sifat patogenik, dan karena kultur bakteri dapat digunakan untuk menghilangkan bahan organik dan mineral-mineral yang tidak diinginkan di dalam air limbah. Kapang merupakan mikroorganisme bersel jamak, aerobik, non-fotosintetis, bercabang, berfilamen yang melakukan metabolisme pada makanan terlarut. Bakteri juga kapang dapat melakukan metabolisme pada bahan organik dari bahan yang sama. Kapang mempunyai sifat yang sulit mengendap sehingga sulit ditangani. Kapang banyak terdapat pada limbah denganpH 4- 5,kadar air rendah, nitrogen rendah, dan bila nutrien tertentu tidak ada (Jenie & Rahayu, 1993). Desinfeksi merupakan suatu proses membunuh dan mematikanmikroorganisme / jasad renik yang bersifat patogenik dengan cara kimia atau fisik. Semua desinfektan bersifat efektif terhadap sel vegetatif tetapi tidak selalu efektif terhadap sporanya.Penggunaan bahan kimia menimbulkan pengaruh yang lebih selektif terhadap jasad renik dibandingkan dengan perlakuan fisik seperti padas dan radiasi (Sugiharto, 1987).Zat kimia yang digunakan berfungsi untukmematikan bakteri dengan cara menginaktivasi enzim utama sehingga terjadi kerusakan utama dinding sel. Cara lain dari desinfeksi untuk membunuh bakteri adalah merusak langsung dinding sel seperti yang dilakukan bila menggunakan panas. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk memilih bahan kimia sebagai desinfeksi dosis, antara lain tidak toksik terhadap manusia dan hewan,efektif, tahan terhadap air, biaya murah untuk pemakaian yang bersifat massal (Sugiharto, 1987).Penggunaan desinfeksi pada limbah cair bertujuan untuk mereduksi konsentrasi bakteri secara umum dan menghilangkan bakteri patogen.Penggunaan desinfeksi dapat mengatasi mikroba patogen secara spesifik.Jenie & Rahayu(1993) mengatakan jika bakteri kolifom merupakan indikator spesifikasi mikroba yang dapat digunakan untuk mengukur efisiensi desinfeksi. Metode desinfeksi lain dengan berbagai bahan kimia seperti iodium ozon, klorin, lampu ultra violet , juga senyawa amonium kwatener.Klorinasi akan membuat kadar BOD (Biochemical Oxygen Demand) menurun dan juga akan membuat penurunan komponen-komponen yang tereduksi dalam air. Efisiensi pemakaian klorin dipengaruhi oleh beberapa factor, sepertiwaktu kontak, jenis,jumlah,suhu,bentuk klorin yang digunakan, serta jenis serta konsentrasi mikroba (Jenie & Rahayu, 1993). Pada umunya, sebagian besar bakteri memiliki sifat kemoheterotrofik, yaitu menggunakan bahan organik sebagai sumber energi dan karbon.Sedangkan bakteri kemoautotrof merupakan beberapa spesies yang akanmengoksidasi senyawa-senyawa anorganik tereduksi seperti NH3 untuk energi dan menggunakan CO2 sebagai sumber karbon. Ada pula bakteri yang bersifat fotosintetik, yaitu menggunakan sinar matahari sebagai sumber energi dan sumber karbon CO2. Bakteri kemoheterotrof mempunyai peranan yang cukup penting dalam penanganan limbah karena bakteri tersebut dapat memecah bahan organik dan bakteri nitrifikasi yang dapat mengoksidasi amonia nitrogen menjadi amonia nitrat (Jenie & Rahayu, 1993).Cara membunuh aatau mematikan mikroorganismetersebut sangat dipengaruhi oleh kondisi zat pembunuhnya dan mikroorganisme itu sendiri (Sugiharto, 1987).

2. PEMBAHASAN

Menurut Mahida (1992), limbah merupakan zat buangan berupa cair, gas, maupun padat. Limbah berasal dari rumah tangga, industri, air tanah, air permukaan, serta buangan lainnya yang sebagian besar terdiri dari air (99%) dan 0,1 % kandungan lain berupa benda padat (zat organik dan anorganik). Pada praktikum teknologi pengolahan limbah kali ini, dilakukan percobaan pengolahan limbah dengan berbagai macam perlakuan. Pada praktikum limbah ini digunakan dua jenis bahan limbah cair yang berbeda. Untuk kelompok A1-A3 menggunakan limbah cucian sayur, sedangkan kelompok A4-A5 menggunakan limbah cucian. Akan tetapi yang akan dibahas pada laporan ini hanya hasil pengamatan kelompok A4 dan A5. Limbah air cucian buah ini diperoleh dari Limbah cair ini diambil dari Penjual jus buah Mbak Kartika, yang terletak di depan Super Indo Candi, Semarang. Limbah yang diproduksi dari tempat ini kurang lebih 8 liter tiap hari.Pengolahaan limbah sangat penting dilakukan sebelum limbah dibuang agar tidak mencemari dan membahayakan lingkungan. Hal ini karena ada kemungkinan didalam limbah yang dibuang masih mengandung senyawa beracun ataupun mikroba berbahaya lainnya Sugiharto (2007). Oleh karena itu penanganan limbah yang sesuai dengan sifatnya perlu diterapkan, seperti yang bersifat fisikawi, kimiawi serta biologis perlu diterapkan agar limbah yang dibuang dipastikan tidak berbahaya lagi (Jenie & Rahayu, 1993). Sifat setiap limbah berbeda-beda. Pada limbah industri pangan memiliki beban yang rendah dengan volume cairan yang tinggi. Bereda dengan limbah perternakan yang memiliki beban yang tinggi dengan volume yang sedikit. Sedangkan pada Limbah cair segar umumnya bersifat memiliki kandungan nitrogen rendah, BOD dan padatan tersuspensi tinggi, proses dekomposisi yang cepat, dan pH mendekati netral yang dapat mengalami penurunan selama penyimpanan (Jenie & Rahayu, 1993). Selain itu menurut Sugiharto (1987) limbah memiliki kadar oksigen terlarut yang sedikit yang disebabkan karena tingginya bahan organik sehingga timbul bau busuk dan warna yang gelap. Kandungan protein terdapat dalam air limbah yang mengandung sulfur/sulfat, maka akan dihasilkan hidrogen sulfida yang menimbulkan bau yang tidak diinginkan dan menghitamkan bangunan yang di cat disekitarnya.

Pada praktikum ini menggunakan limbah cair hasil pencucian sayur dan buah. Hal ini sudah sesuai karena menurut Jenie & Rahayu (1993) bahwa limbah cair dapat berasal dari proses pencucian, pemotongan, blanching, pasteurisasi, pembersihan peralatan pengolahan, dan pendinginan produk akhir. Jenis limbah yang digunakan dalam praktikum kelompok A4 dan A5 ini adalah limbah cair dari penjual jus buah. Limbah ini dihasilkan dariair bekas cucian buah-buahan, yaitu apel, strawberry, melon, belimbing, tomat, jeruk, mangga, dan jambu. Proses pencucian buah yang dilakukan tidak menggunakan sabun untuk mencuci buah, hanya menggunakan air saja. Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan tersebut, diketahui bahwa limbah dari pencucian ikan memiliki penampakan fisik yang berwarna bening, sagak keruh, agak berbau dan bersuhu 28oC. Aroma yang agak bau ini sudah sesuai dengan teori menurut Sugiharto (1987), bahwa limbah cair maupun limbah padat mengandung protein (65%), karbohidrat (25%), lemak (10%) dan bahan anorganik, yaitu butiran garam dan metal. Senyawa-senyawa tersebut bersifat tidak tetap dan dapat membusuk sehingga muncul bau yang tidak sedap. Kandungan protein dalam air limbah yang mengandung sulfur atau kandungan sulfat alamiah akan bereaksi menghasilkan hidrogen sulfida yang menimbulkan bau yang tidak diinginkan bahkan dapat menghitamkan bangunan yang di cat disekitarnya. Kuat tidaknya bau yang dihasilkan limbah tergantung pada jenis dan banyaknya gas yang ditimbulkan. Sedangkan hasil pengamatan agak kekeruhan terjadi karena setiap limbah biasanya memiliki bagian pengotor seperti dari partikel debu sehingga menyebabkan kekeruhan. Menurut Mahida (1992), suhu berperan sebagai indikator untuk melihat kecenderungan aktivitas-aktivitas kimiawi dan biologis makhluk hidup yang ada didalamnya. Hasil pengamatan limbah pencucian buah tersebut memiliki suhu normal karena tidak kontak dengan senyawa seperti deterjen saat dicuci. Hal ini karena deterjen atau sabun akan menyebabkan peningkatan suhu pada limbah Sastrawijaya (1991). Akan tetapi menurut Jenie & Rahayu (1993), metode pengukuran suhu akan lebih baik jika menggunakan permistor yang skala sudutnya dinyatakan dalam derajat Fahrenhait dan Celcius karena akan lebih akurat.

Pada praktikum ini juga dilakukan pengolahan limbah dengan menggunakan berbagai treatment dengan tujuan untuk mengetahui apakah limbah yang akan dibuang kelingkungan nantinya tidak akan mencemari. Ada beberapa syarat limbah yang harus dipenuhi seperti berikut ini:Temperatur tidak boleh terlalu tinggi biasanya sekitar 100-110F, karena limbah yang panas cepat merusak beton dan logam di dalam saluran kotoran.Limbah tidak boleh bersifat asam atau basa keras, dimana pH sebaiknya antara 6,5-8,5.Konsentrasi zat yang berlemak tidak boleh melebihi 100 mg/LTidak boleh mengandung gas-gas yang beracun, berbau tengik, menghasilkan bau yang keras, dan/atau mengandung gas yang dapat terbakar atau meledakTidak mengandung zat-zat padat yang dapat mengendap yang berdaya berat spesifik tinggi seperti pasir, silikon, wol, rambut, kain, dan bahan-bahan kasar lainnya.(Mahida, 1992).

Secara visual adanya kekeruhan, warna, rasa, dan bau merupakan ciri-ciri yang menunjukkan bahwa air limbah tersebut telah tercemar (Gintings,1992). Kandungan bahan organik pada air limbah yang cukup tinggi dapat dimanfaatkan sebagai sumber nutrisi bagi mikroorganisme. Gintings (1992) mengatakan bahwa unsur nitrogen (N) yang berupa nitrat dapat digunakan oleh mikroorganisme pada badan air maupun badan tanah untuk tumbuh berkembang, sehingga bila unsur N yang terdapat di dalam limbah banyak dibuang ke badan air ataupun badan tanah akan memberikan sumber makanan dan energi yang besar bagi mikroorganisme yang terdapat di dalamnya. Oleh karena itu pertumbuhan mikroorganisme yang ada di badan air maupun badan tanah akan mengalami pertumbuhan yang sangat cepat yang pada akhirnya dapat mengganggu keseimbangan ekosistem karena dapat mereduksi oksigen terlarut yang terdapat dalam air. Akibat lainnya adalah dapat terjadinya eutrofikasi yang disebabkan karena dalam limbah cair terdapat nutrien yang diperlukan untuk pertumbuhan ganggang, maka akan terjadi ledakan populasi ganggang yang berakibat kadar oksigen dalam air mengalami perbedaan yang sangat besar. Pertumbuhan dari mikroba atau ganggang tentunya akan mengganggu lingkungan sekitarnya apabila limbah cair tersebut dibuang begitu saja, terlebih jika dikaitkan dengna keberadaan oksigen. Menurut Jenie & Rahayu (1993) air pada umumnya mengandung kira-kira 8 ppm oksigen terlarut. Sedangkan standart minimum oksigen untuk kehidupan ikan adalah 5 ppm dan di bawah standar ini akan menyebabkan kematian ikan dan biota perairan lainnya. Oleh karenanya, proses pengolahan limbah menjadi penting sekali untuk menjaga kelangsungan hidup dari makhluk hidup, baik yang berada di perairan, maupun yang berada di darat. Pada prinsipnya proses, pengolahan limbah terdiri atas beberapa tahapan, yaitu tahap pretreatment primary treatment, secondary treatment, tertiary treatment, desinfeksi, serta perlakuan lanjutan. Pada praktikum ini, dilakukan semua tahap pengolahan limbah tersebut. Selanjutnya dilakukan pengujian secara fisik yang meliputi pengujian suhu, pH, TSS (Total Suspended Solid), TS (Total Solid), TDS (Total Dissolved Solid), bau, warna dan kekeruhan. Dilanjutkan dengan pengujian kimia yang meliputi pengukuran COD dan BOD5. Hasil dari perlakuan pengolahan limbah sebelum dan sesudah treatment kemudian dibandingkan dan dibahas sesuai dengan teori yang seharusnya. Pemberian beberapa treatment tersebut bertujuan untuk memperbaiki kualitas limbah dan memastikan bahwa limbah yang nantinya dibuang tersebut sudah memenuhi standard baku mutu limbah sehingga aman untuk dibuang dan tidak merusak serta mencemari lingkungan (Sugiharto, 1987).

4.1. Hasil pengamatan Perlakuan Pengolahan LimbahManurut Jenie & Rahayu (1993), untuk dapat melakukan pengelolaan yang tepat terhadap limbah cair suatu industri pangan, harus dilakukan uji pendahuluan terlebih dahulu untuk mengetahui kondisi awal limbah. Dari hasil uji pendahuluan, maka proses pengolahan limbah yang sesuai dapat digunakan untuk treatment. Treatment yang dilakukan akan dibahas sebagai berikut : 4.1.1. Pre-treatmentPretreatment yang dilakukan pada praktikum ini adalah penyaringan, dimana proses ini bertujuan untuk memisahkan padatan yang tidak larut. Pada limbah cucian buah, terdapat padatan, seperti partikel debu yang berasal dari kulit buah yang dicuci dan padatan pengotor lain. Selain itu, penyaringan juga bertujuan untuk mengurangi kekeruhan pada air limbah cucian buah. Limbah ini berwarna bening, akan tetapi terdapat kekeruhan yang menunjukkan bahwa terdapat kotoran-kotoran dalam limbah yang dapat dilihat secara kasat mata. Perlakuan pendahuluan ini penting untuk mengurangi pengotor tersebut.Media untuk filtrasi ini adalah kain saring. Kain saring digunakan terlebih dahulu karena memiliki pori-pori yang lebih kasar. Bila kain saring cenderung memisahkan padatan / bahan bahan yang berukuran besar jika dibanding kertas saring yang dapat menahan padatan padatan berukuran sangat kecil. Menurut Mahida (1992), kertas saring yang biasa dipakai dalam proses penyaringan berukuran 0,7 m. Akan tetapi kain saring memiliki kemampuan penahan lebih kuat dibanding kertas saring. Kemudian filtrat yang dihasilkan dari proses pretreatment selanjutnya diolah kembali pada tahap primary treatment.4.1.2. Primary TreatmentTahap ini merupakan tahap kelanjutan dari pretreatmeny. Pada limbah cucian buah memiliki padatan tersuspensi. Padatan yang tersuspensi tersebut yang menyebabkan warna limbah menjadi agak keruh. Akan tetapi padatan ini tidak dapat hilang hanya dengan proses penyaringan yang telah dilakukan pada perlakuan pendahuluan. Oleh karena itu diperlukan proses primary treatment. Primary treatment ini berujuan untuk menghilangkan zat-zat organik dan suspended solid yang ada di dalam limbah dan juga untuk menetralkan pH limbah. Tahapan tersebut penting dilakukan supaya limbah yang dibuang sesuai dengan baku mutu lingkungan yang ada. Persyaratan tersebut seperti, pH limbah sebelum dibuang harus berkisar pada pH netral, sehingga peran koagulan menjadi penting.

Pada prinsipnya primary treatment dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu dengan pengolahan secara fisik dan pengolahan secara kimia. Perbedaanya pada pengolahan secara fisik menggunakan prinsip gravitasi sehingga partikel padatan yang ada akan tersedimentasi (Gintings, 1992). Sedangkan, pengolahan secara kimia prinsipnya menggunakan penambahan bahan kimia (coagulation system) koagulan yang banyak digunakan adalah kapur, tawas dan kaporit dikarenakan garam-garam Ca, Fe dan Al bersifat tidak larut dalam air sehingga mampu mengendap bila bertemu dengan sisa-sisa basa. Pada praktikum ini digunakan pengolahan secara kimia dengan menggunakan koagulan Ca(OH)2 dan FeCl3. Penggunaannya bergantung pada tingkat keasaman air limbah. Limbah dengan pH asam menggunakan koagulan Ca(OH)2 sedangkan limbah dengan pH basa menggunakan FeCl3 (Gintings, 1992 & Sugiharto, 1987). Pada uji pendahuluan telah diukur bahwa pH limbah buah adalah asam maka digunakanlah koagulan yang bersifat basa yaitu Ca(OH)2. Menurut Buckle et al., (1987) koagulan adalah garam logam yang bereaksi dengan basa di dalam air untuk menghasilkan kumpulan hidrooksida logam yang tidak dapat larut. Prinsip pemakaian koagulan ini, untuk mempercepat pengendapan dengan memperbesar ukuran partikel. Semakin besar ukuran partikelnya, semakin cepat pengendapannya. Hal ini karena dengan penambahan Ca(OH)2 dan FeCl3 sebagai koagulan akan mengakibatkan bahan butiran tambah besar sehingga berat jenisnya lebih besar daripada air. Menurut Buckle et al., (1987) proses koagulasi terjadi karena partikel atau koloid mempunyai muatan listrik. Muatan ini menyebabkan koloid saling tolak-menolak, sehingga benda tersebut tidak menyatu dan kemudian menjadi partikel yang lebih besar yang dapat mengendap tetapi tetap dalam bentuk suspensi. Akan tetapi dengan penambahan koagulan, muatan listrik akan berubah sehingga koloid menyatu dan terendapkan.

Pada praktikum ini dilakukan pengadukan dengan menggunakan jar tester pada kecepatan 100 rpm selama 1 menit kemudian dilanjutkan dengan kecepatan rendah yaitu 25 rpm selama 15 menit yang disebut tahap flokulasi. Pengadukan ini berfungsi untuk mempercepat terjadinya reaksi antara koagulan dan partikel padatan sehingga proses koagulasi dapat berjalan lebih efektif. Pengadukan pertama kecepatannya lebih tinggi daripada tahap kedua agar koagulan lebih homogen sehingga dapat terdistribusi merata dalam limbah. Sedangkan kecepatan yang lebih rendah pada tahap kedua bertujuan untuk menjaga kestabilan antar partikel padatan yang telah bergabung. Bila pengadukan cepat saja yang dilakukan, koloid-koloid dalam air limbah tidak akan terbentuk secara optimal (Kusnaedi, 1998). Setelah itu dilakukan sedimentasi dengan mendiamkan limbah pada tempatnya selama kurang lebih 30 menit. Setelah sedimentasi, maka akan diperoleh endapan yang cukup tebal di bagian bawah yang merupakan padatan tersuspensi. Kemudian filtrasi dilakukan untuk memisahkan gumpalan-gumpalan yang terbentuk dari proses koagulasi dan partikel padatan kapur itu sendiri (Suhardi, 1991). Sehingga akan dihasilkan limbah yang bebas partikel sisa dari proses koagulasi. Proses primary treatment yang dilakukan pada praktikum ini kemudian dilanjutkan dengan proses secondary treatment. Secondary treatment menurut Sugiharto (1987) merupakan proses pengolahan limbah yang melibatkan proses biologis dengan tujuan untuk menghilangkan bahan organik melalui biokimia oksidasi.

4.1.3. Secondary TreatmentSecondary treatment yang dilakukan pada praktikum ini adalah dengan aerasi yang merupakan pengolahan secara biologis. Menurut Kusnaedi (1998) aerasi merupakan suatu sistem oksigenasi melalui penangkapan O2 dari udara pada air olahan yang akan diproses. Tujuan dari pemberian oksigen pada proses aerasi ini agar O2 di udara dapat bereaksi dengan kation yang ada di dalam air olahan. Reaksi kation dan oksigen menghasilkan oksidasi logam yang sukar larut dalam air sehingga dapat mengendap. Proses aerasi terutama untuk menurunkan kadar besi (Fe) dan magnesium (Mg). Kation Fe2+ tau Mg2+ bila disemburkan ke udara akan membentuk oksida Fe2O3 dan MgO. Proses aerasi harus diikuti proses filtrasi atau pengendapan. Menurut Sastrawijaya (1991) dengan adanya proses aerasi maka akan dapat menurunkan nilai COD dan BOD. Selain itu dengan adanya proses aerasi maka kandungan oksigen terlarut akan meningkat karena proses aerasi dapat memerangkap oksigen. Pada pengolahan sekunder proses aerasi menjadi penting karena proses ini melakukan usaha pengambilan zat pencemar seperti gas, ion, dan koloid sehingga konsentrasi zat pencemar dapat berkurang.Menurut Sugiharto (1987), ada dua metode yang sering dipergunakan untuk aerasi ke dalam air limbah, yaitu dengan memasukkan udara ke dalam air limbah dan memaksa air ke atas untuk berkontak dengan permukaan air limbah. Sedangkan pada praktikum ini, metode aerasi yang digunakan adalah metode memasukkan udara dalam air limbah. Pada praktikum ini, air limbah diareasi selama 30 menit menggunakan aerator. Hal ini sesuai dengan teori menurut Sugiharto (1987) bahwa udara atau oksigen murni dapat dimasukkan ke dalam air limbah berupa benda porous atau nozzle dimana nozzle diletakkan di tengah-tengah, dengan cara ini akan meningkatkan kecepatan berkontaknya gelembung udara tersebut dengan air limbah, sehingga proses pemberian oksigen akan berjalan dengan cepat. Oleh karena itu biasanya nozzle aerator diletakkan pada dasar bak aerasi. Sehingga udara yang berasal dari udara luar yang dipompakan ke dalam air limbah oleh pompa tekan. Sugiharto (1987), menambahkan bahwa proses penanganan menggunakan proses biologis ini memiliki dua proses yang penting, yaitu proses penambahan oksigen dan proses pembunuhan bakteri yang ada. Faktor yang mempengaruhi proses pengolahan biologis ini, antara lain jumlah air limbah, tingkat kekotoran, dan jenis kotoran yang ada. Pada prinsipnya proses aerasi diharapkan dapat memperbanyak mikroorganisme yang bersifat aerobik yang akan digunakan untuk mencerna limbah yang ada. Kemudian dengan penambahan mikroba akan mengurangi kandungan bahan organik dan mengambil senyawa pencemar limbah cair tersebut untuk diuraikan oleh mikroba itu sendiri. Hal ini karena bahan organik akan berkurang karena dengan adanya oksidasi dimana terjadi perombakan bahan organik ke dalam bentuk yang lebih sederhana (Jenie & Rahayu ,1993). Semakin banyak mikroba aerobik yang terdapat pada air limbah, maka semakin efektif pula proses penguraiannya, sehingga jumlah bahan organik yang terurai juga semakin banyak (Sugiharto, 1987).Reaksi penguraiannya adalah sebagai berikut:Bahan organik + O2 bakteri CO2 + NH3 + energi + bahan buangan dan bakteri baru (Sugiharto, 1987). Kusnaedi (1998) menambahkan bahwa proses aerasi ini harus diikuti dengan proses filtrasi untuk hasil yang lebih maksimal dalam pengolahaannya.4.1.4. Tertiery TreatmentTertiary treatment adalah proses kelanjutan dari tahap sebelumnya yang bertujuan untuk menjernihkan air limbah, mengurangi pengotoran bahan organik, partikel termasuk benda yang tidak dapat diuraikan (nonbiodegradable), ataupun gabungan antara bau, warna dan rasa. Mahida (1992) menambahkan bahwa Tertiary treatment bertujuan mengurangi kekeruhan dan bau dari limbah itu, dilakukan penambahan adsorbent yang berguna untuk menjernihkan air limbah dengan cara mengurangi pengotoran bahan organik, partikel termasuk benda yang tidak dapat diuraikan, ataupun gabungan antara bau, warna dan rasa. Proses penambahan karbon aktif ini biasanya untuk melengkapi proses pengolahan limbah secara biologi. Gintings (1992), juga menambahkan bahwa tujuan dari adsorpsi oleh karbon aktif adalah untuk menurunkan kadar BOD, menghilangkan warna, rasa, dan bau. Limbah yang telah melalui secondary treatment kemudian diambil 200 ml dan dicampur dengan dan kertas saring yang diatasnya diletakkan 3 gram karbon aktif. Penyerapan oleh adsorbent juga diharapkan mampu untuk mengurangi bau menyengat serta warna yang keruh pada limbah sayur asin. Setelah proses adsorbsi, limbah hasil pengolahan A4 dan A5 disaring kembali menggunakan kain saring kemudian kertas saring. Adsorbent umumnya berupa zat padat, terdiri dari atom-atom atau molekul-molekul yang saling tarik-menarik. Karena pada suatu arah di sekeliling molekul tersebut tidak ada molekul yang menariknya, gaya tarik-menarik itu menjadi tidak seimbang sehingga zat tersebut akan menarik molekul-molekul solute yang ada di sekitarnya. Proses inilah yang disebut adsorbsi. Karbon aktif yang digunakan berbentuk serbuk pada kelompok A5 dan Granul pada kelompok A4. Perbedaanya jika karbon aktif berbentuk serbuk ini memiliki luas permukaan yang besar sehingga daya serapnya dan dapat mengikat benda-benda organik dan partikel-partikel lain dengan baik, jika dibanding dengan granul (Sugiharto, 1987). Penggunaan karbon aktif ini bertujuan agar komponen anorganik seperti kalsium, kalium, sulfat nitrat, phospor dan lainnya serta senyawa organik dapat terserap dan kemudian dapat lebih mudah dihilangkan. (Jenie & Rahayu, 1993). Perlakuan pengadukan ini bertujuan agar efektifitas dari karbon aktif dalam melakukan adsorbsi bisa lebih merata, sehingga hasil treatment akan semakin jernih dari sebelumnya yang menandakan proses adsorbsi berjalan dengan sempurna. Pada akhir proses adsobsi dilakukan penyaringan / filtrasi yang lagi bertujuan agar karbon aktif dan semua adsorbate dapat dipisahkan dari limbah sehingga benar-benar didapati limbah akhir yang jernih.

4.1.5. Desinfeksi dan NetralisasiProses selanjutnya yaitu desinfeksi dan netralisasi. Pada tahap desinfeksi, air limbah yang sudah melalui tertiary treatment ditambah dengan klorin sebanyak 10% dari volume limbah kemudian dilakukan pengadukan supaya homogen. Setelah itu, klorin akan mengendap di dasar limbah sehingga perlu dilakukan pemisahan dengan penyaringan supaya limbah yang dihasilkan lebih jernih. Penyaringan yang pertama dilakukan menggunakan kain saring sebanyak 2 kali, kemudian dilakukan penyaringan lagi menggunakan kertas saring sebanyak 1 kali. Tujuan penambahan larutan klorin menurut Volk & Wheeler (1993), proses desinfeksi ini akan merusak membran sel atau protein sel atau pada gen yang khas sehingga dapat menyebabkan kematian atau mutasi sel mikroba. Sedangkan menurut Sugiharto (1987), klorin dan komponennya mematikan bakteri dengan cara menginaktivasi enzim utama sehingga terjadi kerusakan dinding sel. Selain berfungsi untuk membunuh mikroba, klorin menurut Jenie & Rahayu (1993) juga memiliki fungsi untuk mengatasi bau yang ada pada limbah. Sehingga proses desinfeksi ini sangat berpengaruh terhadap karakteristik fisikawi limbah cair terutama bau. Hal ini karena proses desinfeksi membunuh mikroorganisme patogen yang dapat menimbulkan bau busuk yang kemudian mati akibat larutan klorin. Akan tetapi ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk memilih bahan kimia sebagai desinfeksi seperti daya racun zat kimia tersebut, waktu kontak yang diperlukan, efektifitas, rendahnya dosis, tidak toksik terhadap manusia dan hewan, tahan terhadap air, biaya murah untuk pemakaian yang bersifat massal (Sugiharto, 1987). Pada praktikum ini menggunakan klorin, dimana klorin merupakan oksidator yang akan bereaksi dengan beberapa komponen organik pada limbah cair yang banyak digunakan untuk mengatasi bau yang timbul dari limbah. Penggunaan klorin dalam proses desinfeksi sering disebut sebagai proses klorinasi, dimana dikatakan bahwa proses ini merupakan salah satu proses yang cukup efektif dan relatif murah bila digunakan dalam mengatasi limbah cair (Jenie & Rahayu, 1993). Sedangkan dilakukan pengadukan yang berfungsi agar efektifitas klorin sebagai desinfektan dapat dirasakan merata dalam semua bagian limbah tersebut.

Pada praktikum ini, klorin hanya ditambahkan dalam jumlah yang relatif sedikit, yaitu sebanyak 10% dari keseluruhan volume limbah yang didesinfeksi. Hal ini sudah sesuai karena banyaknya penambahan ini bergantung pada tingkat kekeruhan dari limbah. Limbah cair buah cenderung tidak banyak pencemar dan sebelumnya telah mengalami beberapa treatment yang menyebabkan tingkat kekeruhannya sudah agak berkurang. Proses lain yang tidak kalah pentingnya adalah proses netralisasi limbah sebelum dibuang ke selokan / lingkungan. Proses netralisasi sangat diperlukan, karena ketika limbah dilepas ke badan air, limbah ini harus memenuhi Baku Mutu Limbah (BML). Konsentrasi air limbah normal tingkat keasamannya berkisar antara 6,5 8,5 (Volk & Wheeler, 1993). Menurut Suhardi (1991), dengan adanya penambahan bahan pengendap akan mengakibatkan perubahan alkalinitas air. Sehingga proses netralisasi perlu dilakukan untuk menetralkannya. Cara netralisasi dilakukan dengan menambahkan NaOH untuk limbah yang bersifat asam dan HCl untuk limbah yang bersifat basa. Karena limbah yang diperoleh memiliki pH basa, maka untuk perlakuan ini digunakan HCl. Menurut Sugiharto (1987) selain untuk menetralkan pH, proses netralisasi penting dilakukan karena limbah cair dengan konsentrasi air limbah yang tidak netral akan menyulitkan proses biologis sehingga makhluk hidup yang ada dilingkungan akan terganggu keberadaanya. Berdasarkan penjelasan dari berbagai tahapan treatment di atas, telah diperoleh limbah dengan karakteristik yang berbeda antara keadaan awal dan akhir. Kemudian di bawah ini akan dibahas lebih lanjut mengenai perbandingan karakteristik fisik dan kimia, dari keadaan awal dan akhir dari limbah tersebut.Berdasarkan tinjauan pustaka yang diperoleh, biasanya setelah proses desinfeksi dilanjutkan dengan proses lanjutan yang meliputi pengolahan lumpur sehingga dapat dimanfaatkan kembali untuk keperluan yang bermanfaat yaitu untuk pupuk, membuat kolam, penimbunan dan pengisian tanah yang cekung (land filling). Akan tetapi tahapan ini tidak dilakukan karenakan tidak terbentuk lumpur hasil pengolahan pada limbah. Selain itu tahapan ini cenderung membutuhkan peralatan dan biaya yang mahal. Praktikum ini hanya dibandingkan hasilnya antara air limbah yang belum diolah dan yang sudah diolah.

4.1. Karakteristik Fisik Air Limbah4.1.1. Warna, Bau, Kekeruhan, dan Suhu Air LimbahCairan limbah dari pencucian buah memiliki penampakan fisik awal yang berwarna bening, agak keruh, agak berbau dan suhu 28oC. Limbah ini yang dihasilkan berupa cairan yang mengandung partikel seperti debu dan pengotor lainnya yang ada pada buah. Proses pencucian buah ini tidak menggunakan deterjen sehingga limbahnya tidak mengandung deterjen. Dalam praktikum limbah cair pencucian buah petama-tama disaring terlebih dahulu supaya didapatkan cairan murni saja. Kemudian barulah dilakukan pengolahan sesuai dengan treatment. Hasil pengamatan setelah mengalami semua tahapan pengolahan, limbah cair pencucian buah pada kelompok A4 dan A5 tersebut memiliki warna kuning, berbau netral, agak keruh dan suhu 29oC. Menurut Suhardi (1991), secara umum karakteristik fisik limbah pada warna yaitu kekeruhan. Tingkat kekeruhan ini dapat diukur dengan menggunakan turbidimeter.

Proses pengolahan dapat mengurangi tingkat kekeruhan dari cairan limbah yang dihasilkan dari pencucian buah tersebut. Hal ini dikarenakan pada proses pengolahan air limbah, pada proses penyaringan (pretreatment) senyawa yang tidak larut dalam air limbah dapat dihilangkan sehingga penampakan dari air limbah tersebut menjadi lebih jernih. Begitu pula yang terjadi pada proses koagulasi. Pada proses koagulasi ini, senyawa organik yang terlarut dalam air limbah, akan berikatan dengan koagulan sehingga akan membentuk flok-flok yang dapat dipisahkan dengan penyaringan karena membentuk endapan dibagian bawah. Proses ini, tentunya juga akan mengurangi kekeruhan dan bau dari air limbah, dimana telah disebutkan di atas bahwa bau dari air limbah disebabkan oleh keberadaan senyawa organik dalam air limbah (Gintings, 1992).Proses pengolahan yang lain adalah absorbsi yang bertujuan untuk menyerap partikel-partikel berupa warna dan bau pada air limbah sehingga air limbah memiliki penampakan yang lebih jernih. Hal ini sudah sesuai dengan hasil karena didapatkan hasil yang jauh lebih jernih dibandingkan sebelum pengolahan. Pada proses absorbsi ini terjadi proses penguraian pengotoran bahan organik, partikel termasuk benda yang tidak dapat diuraikan (nonbiodegradable) ataupun gabungan antara bau, warna dan rasa. Kemampuan menyerab bau, warna, dan rasa pada bahan ini disebut dengan adsorbate atau solute sedangkan bahan penyerapannya dikenal sebagai adsorbent (Edahwati; et all, 2009). Proses penyerapan ini terjadi karena adanya atom-atom atau molekul-molekul yang saling tarik menarik. Gaya tarik menarik di permukaan adsorbent tidak seimbang sehingga pada suatu arah disekeliling molekul tersebut tidak ada molekul yang menariknya, dengan begitu zat tersebut mempunyai sifat menarik molekul gas atau solute ke permukaannya (Gintings, 1992).

Selain mengamati perubahan tingkat kekeruhan dan warna, limbah pada praktikum ini juga mengalami perubahan bau. Mahida (1992) bau akan menunjukkan apakah suatu limbah masih baru atau sudah busuk. Hasil pengamatan pada kelompok A4 dan A5 untuk parameter bau, warna, dan kekeruhan setelah treatment memiliki hasil yang sama yaitu,berbau netral, berwarna kuning, dan tidak keruh. Pada limbah awal sebelum pengolahan adalah agak berbau, berwarna bening, dan agak keruh. Bau tersebut muncul karena adanya hidrogen sulfida, yang merupakan campuran dari nitrogen, sulfur dan fosfor dan juga berasal dari pembusukan protein dan bahan organik lainya yang terdapat dalam air limbah. Hal ini didukung oleh teori menurut Sugiharto (1987), bahwa limbah industri pangan biasanya bersifat biodegradable (mengandung karbohidrat dan protein yang tinggi), yaitu dapat diuraikan oleh alam dengan bantuan mikroorganisme. Pada proses penguraian inilah yang melibatkan proses pembusukan yang menimbulkan bau yang kurang enak. Akan tetapi dengan pengolahan limbah seperti yang telah dilakukan akan membuat bau pada limbah menjadi tidak berbau busuk lagi. Hal ini karena pada proses pengolahan ditambahkan klorin sebagai desinfektan pada tahap akhir proses. Dimana menurut Jenie & Rahayu (1993), klorin merupakan zat yang mampu membunuh mikroba dan juga dapat mereduksi senyawa-senyawa yang terdapat dalam air limbah sehingga bau yang ada pada air limbah akan berkurang atau bahkan hilang. Pada praktikum ini proses pengukuran bau dilakukan dengan menggunakan indra pembau (hidung) oleh praktikan. Menurut Suhardi (1991) proses pengukuran bau akan lebih akurat jika dilakukan dengan evaluasi sensori dan menggunakan gas chromatography. Selain itu karakteristik fisik lain dari air limbah yang dapat kita lihat adalah suhu. Suhu berperan penting untuk melihat kecenderungan aktivitas-aktivitas kimiawi dan biolifis yang ada pada limbah (Mahida, 1992). Pada suhu yang lebih tinggi tingkat oksidasi zat organik lebih banyak terjadi. Selain itu pada suhu yang tinggi juga dapat membunuh mikroorganisme pengurai sehingga aktivitas biologis menurun. Pada praktikum ini, pengukuran suhu dilakukan dengan menggunakan thermometer. Jenie & Rahayu (1993) berpendapat, metode pengukuran suhu akan lebih baik jika menggunakan dengan permistor yang skala sudutnya dinyatakan dalam derajat Fahrenhait dan Celcius. Pada hasil pengamatan di kelompok A4 dan A5 didapatkan bahwa limbah tersebut suhu normal yaitu pada limbah segar 280C dan suhu setelah treatment adalah 290C. Hal ini karena limbah cair buah tersebut tidak mengalami kontak dengan senyawa seperti deterjen. Menurut Sastrawijaya (1991), deterjen dapat meningkatkan suhu limbah cair. Dalam praktikum ini, selain melakukan analisa secara fisik, dilakukan juga analisa padatan serta kimiawinya akan dibahas berikut ini.

4.1.2. Analisa Padatan4.1.2.1. Total Solid (TS)Pada praktikum ini untuk mengukur jumlah padatan yang ada dalam limbah cair dilakukan dengan cara analisa total padatan, total padatan tersuspensi, dan total padatan terlarut. Menurut Hammer & Hammer (1996), total padatan (Total Solid / TS) adalah bahan yang tertinggal setelah evaporasi sampel air atau air limbah dan pengeringan dalam oven. Secara prinsip, analisa padatan ini menggunakan pengeringan dengan oven pada suhu tertentu sehingga didapatkan berat akhir dari hasil filtrasi air limbah pada kertas saring. Analisa ini dilakukan dengan mengambil sampel air limbah sebelum dan yang telah mengalami treatment masing-masingsebanyak 2 ml. dengan sebelumnya disiapkan pula cawan porselen yang telah dikeringkan pada suhu 1050C selama 1 hari dan didesikasi selama 15 menit. Cawan porselen yang telah dikeringkan, dihitung terlebih dahulu berat awalnya atau berat kosongnya. Penimbangan pertama ini disebut sebagai berat awal. Lalu, sampel limbah sebanyak 2 ml tadi dipindah ke dalam cawan porselen dan dioven pada suhu yang sama selama 1 hari. Menurut Sudarmadji et al. (1989), bahan yang telah mengalami pengeringan akan bersifat higroskopis daripada sebelumnya. Sehingga selama pendinginan dan sebelum penimbangan, bahan ditempatkan dalam ruang tertutup yang kering (desikator) yang telah diberi zat penyerap air. Lalu, cawan tersebut ditimbang berat akhirnya hingga konstan. Hasil penimbangan kedua ini merupakan berat padatan dalam sampel air limbah.Hasil total padatan didapatkan dari rumus berikut ini:

TS = A = Berat cawan setelah pengeringan sampel air limbah (mg)B = Berat cawan tanpa air limbah (mg)

Dari hasil penimbangan, total solid (TS) setelah treatment yang telah dirata-rata pada kelompok C4 adalah sebesar 65000 mg/L. Sedangkan pada kelompok C5 yang telah dirata-rata 65000 mg/L. Bila dibandingkan dengan perlakuan sebelum treatment, pada kelompok C4 1200 mg/l dan C5 155.500 ml/L. Dari hasil didapatkan bahwa nilai total solid (TS) setelah treatment lebih besar. Hal ini dikarenakan adanya treatment dengan penambahan koagulan yaitu berupa FeCl3. Penambahan bahan-bahan koagulan yaitu FeCl3 dan akan menambah besar total padatan yang diperoleh pada cawan.

4.1.2.2. Total Suspended Solid (TSS)Padatan total meliputi padatan tersuspensi total (TSS), yaitu yang tertahan filter, dan padatan terlarut total (TDS), yaitu dapat melewati filter 2,0 m atau lebih kecil dari ukuran pori-pori filter. Nilai TS sangat dipengaruhi oleh banyaknya partikel yang terkandung dalam sampel, baik dalam bentuk tersuspensi (TSS) maupun terlarut (TDS) (Sugiarto, 1987). Pada pengukuran total padatan tersuspensi atau Total Suspended Solid didapatkan dari jumlah berat dalam mg/L padatan setelah mengalami penyaringan dengan membran berukuran 0,45 mikron (Sugiharto, 1987). Prinsip hampir sama dengan analisa total padatan, namun, sampel perlu dilakukan filtrasi. Analisa ini diawali dengan mengambil sampel air limbah sebelum dan yang telah mengalami pretreatment dan treatment sebanyak 50 ml. Sebelumnya, disiapkan pula kertas saring yang telah dikeringkan pada suhu 1050C selama 1 jam dan didesikasi selama 15 menit. Kemudian kertas saring yang telah dikeringkan, dihitung terlebih dahulu berat awalnya atau berat kosongnya. Nilai penimbangan pertama ini disebut sebagai berat awal kerats saring. Lalu, sampel air limbah 50 ml disaring dengan menggunakan kertas saring. Penyaringan ini bertujuan untuk memisahkan padatan dengan ukuran besar dimana kertas saring dengan pori-pori yang sangat kecil akan membuat sampel tidak mudah lolos. Kemudian barulah padatan limbah yang tidak lolos kertas saring dikeringkan dalam oven bersuhu 1050C selama 24 jam. Tujuan dari pengeringan oven ini adalah untuk mengurangi jumlah kadar air dalam air limbah, sehingga nantinya didapatkan padatan yang diinginkan. Setelah 24 jam, cawan berisi sampel limbah kering tersebut dimasukkan dalam desikator selama 15 menit dan ditimbang beratnya hingga konstan. Hasil penimbangan kedua ini merupakan berat padatan tersuspensi dalam sampel air limbah.Nilai TSS didapatkan dari perhitungan dengan menggunakan rumus:

TSS = A = Berat kertas saring kosongB = Berat kertas saring kosong beserta padatan

Berdasarkan hasil analisa C4 dengan menggunakan limbah cucian buah didapatkan nilai TSS sebelum rata-rata sebesar 4000 mg/L dan C5 sebesar 500 mg/L. Sedangkan TSS setelah rata-rata C4 sebesar 2000 dan C5 2000. Jika dibandingkan dengan baku mutu limbah maka nilai tersebut belum mencapai yang seharusnya yakni 100 mg/L. Menurut (Jenie & Rahayu, 1993) terjadinya peningkatan jumlah TSS disebabkan karena pada sampel limbah awal, residu yang tertinggal setelah evaporasi hanya berasal dari partikel-partikel yang tersuspensi maupun terlarut dalam sampel awal. Sedangkan pada setelah proses koagulasi, nilai TSS yang terukur dapat berasal partikel-partikel yang tersuspensi dan terlarut dalam sampel awal, melainkan juga partikel-partikel yang berasal dari zat-zat yang ditambahkan dalam proses dalam proses koagulasi dan netralisasi. Penambahan Ca(OH)2 yang proses koagulasi ini juga bertujuan untuk menetralkan pH. Pada praktikum ini penambahan Ca(OH)2 untuk menjadikan sampel pH netral dibutuhkan dalam jumlah yang relatif banyak karena pH sampel bersifat asam. Hal ini menyebabkan nilai TS maupun TSS sampel setelah treatment lebih besar daripada sebelum treatment karena banyaknya partikel partikel yang berasal dari penambahan Ca(OH)2. Penurunan nilai TS dan TSS yang terukur agar lebih akurat dapat dilakukan dengan cara filtrasi pada saat sebelum dan sesudah koagulasi dan setelah netralisasi dengan menggunakan kertas saring ataupun kain saring. Hal ini karena untuk memisahkan atau mengurangi padatan tersuspensi dari air limbah. Sesudah proses koagulasi dan netralisasi, sampel disaring menggunakan kertas saring dengan ukuran pori pori yang lebih kecil. Menurut Tchobanoglous (1981) penyaringan dengan kertas saring berpori pori lebih kecil ini bertujuan untuk mencegah lolosnya padatan yang berdiameter kurang dari 1 mikron yang dapat turun bersama bersama filtrat sebagai padatan terlarut.

4.1.2.3. Total Dissolved Solid (TDS)TDS (Total Dissolved Solid) atau padatan terlarut total didapatkan perhitungan dari nilai-nilai TS dan TSS (Hammer & Hammer, 1996). Pengukuran secara fisik yang terakhir pada air limbah adalah dengan pengukuran total padatan terlarutnya. Padatan terlarut total (Total Dissolved Solid / TDS) adalah bahan yang dapat melewati filter standar. Padatan terlarut total atau residu yang dapat disaring, ditetapkan dengan berat contoh yang telah disaring dan dievaporasi atau sebagai perbedaan antara berat residu setelah evaporasi dan berat padatan tersuspensi total (Jenie & Rahayu, 1993). TDS atau total dissolved solid ini mengindikasikan jumlah total padatan dikurangi dengan total padatan tersuspensi. Berdasarkan hasil analisa A4 didapatkan nilai rata-rata TDS sebelum sebesar 1000 mg/L dan A5 154.500 mg/L. Sedangkan yang sudah ditreatment dilakukan A4 38000 mg/L dan A5 63000. Nilai TDS ini tidak dapat dibandingkan dengan baku mutu limbah karena TDS tidak dicantumkan dalam standar baku mutu limbah untuk limbah cucian buah.

Berdasarkan hasil pengamatan didapatkan hasil pengukuran TS, TSS, dan TDS yang diperoleh setelah dilakukan treatment pada air limbah dengan sebelum dilakukan treatment mempunyai nilai yang lebih rendah daripada setelah dilakukan treatment terhadap air limbah tersebut. Hal ini dapat terjadi karena kurang sempurnanya dala pengkuran nilai yang menghitung jumlah partikel sedangkat partikel yang terukur dapat berasal dari bahan tambahan dalam pengolahaan seperti yang berasal dari adsorbent dan koagulan.4.2. Karakteristik Kimiawi Air LimbahPenentuan analisa kimiawi limbah cair didasarkan pada unsur-unsur yang memiliki nilai yang berpengaruh terhadap kesehatan, seperti bahaya yang ditimbulkan oleh zat beracun yang mungkin ada di dalam limbah, serta upaya pembenahan limbah. Menurut Utomo (1998) tujuan analisa kimiawi limbah cair menjadi penting karena untuk mengetahui ada atau tidaknya bahan-bahan beracun di dalam limbah, menentukan konsentrasi zat-zat kimia, serta untuk menentukan tingkat kebusukan yang telah dicapai limbah sehingga nantinya dapat diketahui apakah limbah tersebut layak untuk dibuang kelingkungan tanpa mencemarinya.

Menurut Ryadi (1984) sifat kimia limbah cair yang dianalisa seperti pH, COD, dan BOD. Pada limbah industri pangan identik dengan kandungan organik yang cukup besar. Sehingga penting untuk mengukur kadar organik dari limbah. Analisa yang paling penting dan paling sering dilakukan adalah pengukuran COD dan BOD. Banyak air limbah yang memiliki COD tinggi dan BOD rendah. Hal ini penting karena adanya bahan organik yang tidak dapat dipecah secara biologis atau merupakan bahan beracun. Sehingga kandungannya perlu untuk dianalisis. Analisis BOD pada air limbah akan memberikan indikasi awal adanya bahan toksik. Limbah yang memiliki COD yang tinggi, dan BOD yang rendah, maka studi toksisitas sangat diperlukan untuk mengetahui (Jenie & Rahayu, 1993).

4.2.1. pHIntensitas keasaman atau alkalinitas dari suatu cairan sering disebut sebagai pH atau derajat keasaman. Larutan yang netral memiliki nilai pH 7, sedangkan konsentrasi air limbah yang layak untuk dibuang tingkat keasamannya berkisar antara 6,58,5. Pada pH kurang dari 5 atau lebih dari 10, maka proses aerobik biologis menjadi kacau (Mahida, 1992). Sehingga pengawasan pH sangat berguna untuk melindungi sistem saluran kotoran serta bangunan-bangunan lainnya disamping juga untuk mencegah terganggunya proses-proses penanganan (Sugiharto, 1987). Pengukuran pH sebelum pengolahan penting karena berkaitan dengan bahan-bahan kimia yang sesuai dengan karakteristik keasaman limbah sehingga treatment yang diberikan dapat efektif dan efisien. Pengukuran pH dilakukan pada tahap sebelum penambahan bahan koagulasi. Sedangkan pada akhir pengolahan, pengukuran pH dilakukan untuk memastikan apakah limbah telah layak dibuang ke lingkungan. Walaupun pH bukan kontaminan, namun merupakan salah satu karakteristik penting untuk menentukan pengolahan limbah (Anonim, 2007). Selain itu pengawasan pH mejadi penting untuk melindungi sistem saluran kotoran serta bangunan-bangunan lainnya disamping juga untuk mencegah terganggunya proses penanganan Sugiharto (1987).Pada percobaan ini, pH air limbah diukur dengan menggunakan alat pH meter. Pada pengukuran pH awal terhadap air limbah yaitu pada A4 adalah 6,23 dan A5 adalah 6,24. Sedangkan pada pH setelah didapatkan pada A4 dan A5 adalah 7. Nilai pH ini sudah sesuai dengan Baku Mutu Limbah (BML) karena menurut BML , air buangan yang bisa dibuang ke perairan harus mempunyai kisaran pH antara 6 hingga 9. Hal ini karena menurut Hammer & Hammer (1996) air limbah yang mempunyai tingkat keasaman yang tinggi mengakibatkan kehidupan makhluk dalam air menjadi terancam. Air menjadi asam karena adanya buangan yang mengandung asam seperti asam sulfat dan asam klorida. Buangan yang bersifat basa (alkalis) bersumber dari buangan yang mengandung bahan organik seperti senyawa karbonat, bikarbonat dan hidroksida. Perubahan nilai pH limbah ini disebabkan karena proses netralisasi setelah proses desinfeksi menggunakan klorin. Klorin dapat menyebabkan pH limbah menjadi terlalu asam, sehingga diakhir perlakuan diperlukan adanya proses netralisasi ini. Pada praktikum ini, penetralan limbah dilakukan dengan penambahan NaOH sedikit demi sedikit, hingga pH menunjukkan angka netral atau mendekati netral yaitu 7 pada pH meter (Mahida, 1992).

4.3.1. BOD (Biochemical Oxygen Demand)Menurut Jenie & Rahayu (1993) BOD ini dapat ditentukan sebagai jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh bakteri dalam menyeimbangkan zatzat organik yang dapat dibusukkan di bawah keadaankeadaan aerobik. Nilai BOD ini juga indikasi kasar terhadap banyaknya kandungan bahan organik untuk oksidasi. Menurut Suhardi (1991), pengujian ini perlu dilakukan untuk menentukan beban pencemaran sistem- sistem pengolahan air secara biologi. Analisa BOD didefinisikan berbeda dengan COD, dimana permintaan oksigen dalam BOD berasal dari mikroorganisme. Analisa BOD ini bertujuan untuk menentukan kebutuhan oksigen relatif dari effluent yang telah diolah dan air yang terpolusi. (Hammer & Hammer, 1996)Dalam pengukuran BOD, langkah pertama yang dilakukan adalah mengencerkan terlebih dahulu dengan air aerasi dengan tujuan untuk mengantisipasi limbah yang berkekuatan tinggi, seperti pada limbah pengolahan pangan dan limbah hewan (Jenie & Rahayu, 1993). Walaupun limbah cair yang digunakan pada praktikum ini adalah limbah cucian buah, akan tetapi tetap menggunakan air aerasi. Penggunaan air aerasi bertujuan untuk menjamin kelancaran penyediaan udara sehingga dapat mencegah terbentuknya endapan di bagian bawah. Air aerasi yang digunakan dibuat dengan cara mencampurkan 1000 mL aquades dengan 1 mL buffer phosphate, 1 mL MgSO4, 1 mL CaCl2, dan 1 mL FeCl3. Penambahan bahan-bahan kimia ini sesuai dengan teori, dimana dalam proses penyempurnaan aerasi, perlu ditambahkan larutan buffer phosphat pH 7,2 dan 1 ml larutan MgSO4 2,25% untuk setiap 1 liter air suling ke dalam air suling untuk aerasi. Selain itu menurut Suhardi (1991) selama proses aerasi, kita perlu memperhatikan suhu aquades yang digunakan, dimana suhu yang paling sesuai adalah 20 1 C. Setelah diencerkan, limbah langsung diukur nilai BOD nya, sedangkan untuk pengukuran BOD5 harus dilakukan dengan penyimpanan dalam botol gelap selama 5 hari. Tchobanoglous (1981) dalam teorinya mengatakan bahwa selama lima hari tersebut akan terjadi oksidasi secara sempurna sebesar 60-70%. Sedangkan Mahida (1992) mengatakan, dibutuhkan suatu jangka waktu yang cukup lama untuk oksidasi biologis yang sempurna. Namun untuk tujuan-tujuan praktis, reaksi itu dianggap telah mencukupi dalam 5 hari. Selain itu sebenarnya, nilai BOD selama 5 hari hanya mewakili sebagian kecil dari seluruh BOD secara lengkap, oleh karena itu BOD5 bukan merupakan suatu ukuran yang lengkap dari kekuatan air limbah, mutu air limbah atau tingkat pencemarannya. Hasil pengujian ini dinyatakan dalam ppm (Sastrawijaya, 1991).

Pengenceran yang dilakukan dalam percobaan ini adalah sebanyak 10 ml dari volume sampel air limbah sampai 1000 ml dengan menggunakan air aerasi. Tahapan ini sudah sesuai menurut teori teori Jenie & Rahayu (1993). Sampel kemudian dibagi menjadi sampel yang diuji langsung (BOD0) dan sampel yang didiamkan dahulu selama 5 hari sebelum dianalisa (sebagai sampel BOD5). Segera setelah dilakukannya proses pengenceran, campuran dapat langsung dimasukkan ke dalam botol gelap (tidak tembus cahaya). Tujuan dari penyimpanan sampel dalam wadah yang rapat dan gelap adalah agar kondisi temperatur sampel limbah dapat dijaga dalam nilai yang konstan. Menurut Alaerts & Santika (1984), penyimpanan sampel limbah harus diperhatikan, seperti saat menutup botol, tidak boleh ada gelembung udara di dalamnya agar tidak mengganggu proses pengukuran BOD. Hal ini karena gangguan dapat muncul karena ada proses nitrifikasi dan keluarnya oksigen dari dalam botol. Proses nitrifikasi biasanya terjadi di dalam botol pada hari ke-2 hingga ke-10, bergantung pada oksigen. Semakin banyak reaksi nitrifikasi terjadi, maka oksigen yang akan dianalisa dalam tes BOD akan semakin tidak teliti. Proses nitrifikasi juga berkaitan dengan suhu. Pada suhu yang tinggi akan meningkatkan proses nitrifikasi. Selain itu penyimpanan botol harus diperhatikan karena jika terkena sinar matahari menyababkan peningkatan suhu dalam botol serta menimbulkan gelembung udara. Alaerts & Santika (1984) juga mengatakan bahwa gelembung udara dalam botol ini tidak diharapkan karena gelembung udara akan menyebabkan penggunaan oksigen oleh kontaminan seperti ganggang dan lumut. Kondisi suhu yang biasa disarankan ialah pada kisaran suhu 20 0C (Tchobanoglous, 1981).

Pada praktikum ini dilakukan analisa BOD pada sampel segar dan sampel yang telah mengalami penyimpanan selama 5 hari. Pertama sebanyak 400 ml larutan limbah dicampurkan dengan 3 ml larutan KI dan 3 ml larutan MnSO4, dikocok, kemudian didiamkan selama 15 menit. Larutan KI ini memacu terjadinya reaksi antara ion K dengan oksigen bebas. semakin banyak ion K yang bereaksi dengan oksigen bebas menyebabkan iodin yang dibebaskan makin banyak. Iodin bebas mengindikasikan keberadaan oksigen bebas di dalam limbah. Sedangkan larutan MnSO4 yang ditambahkan berfungsi agar oksigen dapat mengoksidasi MnSO4 sehingga terjadi endapan MnO2. Setelah itu larutan ditambahkan dengan 3 ml larutan asam sulfat pekat, tujuannya supaya terbentuk suasana asam pada larutan sehingga proses oksidasi MnSO4 berjalan lebih baik (Alaerts & Santika, 1984).

Larutan yang ada kemudian dibagi menjadi dua karena akan dilakukan untuk dua kali ulangan. Masing-masing larutan diberi dengan 2 ml amilum kemudian dititrasi dengan Na2S2O3 0,01 N. Fungsi Na-tiosulfat ini untuk menangkap iodin yang dibebaskan. Sedangkan amilum digunakan sebagai indikator yang akan membantu menentukan titik akhir titrasi. Alaerts & Santika (1984) mengatakan bahwa amilum akan memberikan warna biru apabila bereaksi dengan iodin bebas. Saat seluruh iodin telah ditangkap oleh Na-tiosulfat, warna biru pada larutan akan hilang. Reaksi dari titrasi ini adalah sebagai berikut:MnSO4 + 2 KOH Mn(OH)2 + K2SO4Mn(OH)2 + O2 MnO2 + H2OMnO2 + KI + 2 H2O Mn(OH)2 + I2 + 2 KOHI2 + 2 S2O3 2 S4O6- + 2 I -Hasil titrasi yang diperoleh kemudian dimasukkan ke dalam perhitungan BOD0. Sedangkan setelah lima hari penyimpanan dilakukan pengukuran BOD5 yang caranya sama dengan penentuan BOD0. Akan tetapi perhitungan BOD sebelum treatment tidak ditentukan. Nilai setelah treatment didapatkan nilai BOD rata kelompok A4 dan A5 sebesar 60,5 mg/ L dan 45 mg/L. Nilai tersebut sudah sesuai dengan baku mutu limbah cucian buah yaitu 75 mg/L. Nilai BOD yang kecil ini disebabkan karena mikroorganisme sudah mati dengan adanya proses treatment seperti desinfeksi. Sedangkan nilai BOD5 pada kelompok A4 dan A5 adalah 60,5 dan 8,85 mg/L. Nilai BOD5 hanya merupakan indeks jumlah bahan organik. Sehingga dapat dikatakan nilai BOD selama 5 hari itu hanya dapat mewakili sebagian kecil dari seluruh BOD secara lengkap, oleh karena itu BOD5 bukan merupakan suatu ukuran yang lengkap dari kekuatan air limbah, mutu air limbah atau tingkat pencemarannya. Oleh karena itu masih dibutuhkan parameter-parameter lainnya (Mahida, 1992). Nilai BOD dapat dianggap sebagai kebutuhan oksigen yang diperlukan oleh mikroorganisme di dalam limbah untuk melakukan proses oksidasi, akan tetapi nilai analisa ini terbatas dalam mengukur kebutuhan oksigen sesungguhnya pada permukaan air, sedangkan perhitungan tes yang menunjukkan aliran kebutuhan oksigen yang sesungguhnya kurang akurat karena lingkungan laboratorium tidak dapat menciptakan kondisi fisika, kimia dan biologis yang sama seperti di alam (Hammer & Hammer, 1996). Kekurangan inilah yang mengakibatkan perlunya dilakukan analisa COD. Faktor yang menyebabkan nilai BOD tidak akurat adalah proses nitrifikasi. Proses nitrifikasi ini dapat terjadi di dalam botol dari hari ke 2 bahkan sampai dengan hari ke 10. Terjadinya proses ini sangat berhubungan karena masuknya oksigen (udara) akibat botol yang digunakan tidak sempurna dalam penympanan dan penutupan yang kurang rapat. Banyak reaksi nitrifikasi terjadi akan menyebabkan kesalahan analisa dalam tes BOD karena semakin tidak teliti. Oleh karena itu dalam analisa BOD, pertumbuhan bakteri penyebab nitrifikasi harus cegah dengan inhibitor. Walaupun suhu yang tinggi seperti di daerah tropis juga akan meningkatkan proses nitrifikasi ini (Alaerts & Santika, 1984).

4.2.3. Chemical Oxygen Demand (COD)4.3.2. Analisa kandungan Chemical Oxygen Demand (COD)Chemical oxygen demand (COD) merupakan banyaknya oksigen dalam ppm atau mg/ liter yang dibutuhkan dalam kondisi khusus untuk menguraikan bahan-bahan organik secara kimiawi (Suhardi, 1991). Uji ini memiliki beberapa keunggulan dibanding uji BOD, yaitu bahan kimia yang tahan terhadap oksidasi biokimia tetapi tidak terhadap oksidasi kimia, seperti lignin; bahan kimia yang dapat dioksidasi secara kimia dan peka terhadap oksidasi biokimia tetapi tidak dalam uji BOD 5 hari, seperti selulosa, lemak berantai panjang atau sel sel mikroba; dan adanya bahan toksik dalam limbah yang akan mengganggu uji BOD tetapi tidak uji COD (Jenie & Rahayu, 1993). Benda organik yang diuraikan harus dalam suasana asam. Penentuan total zat organik menggunakan COD mengukur kebutuhan O2 untuk menambah zat organik secara kimiawi sehingga dapat dikatakan bahwa pengukuran dilakukan secara tidak langsung. Pengukuran dilihat dari banyaknya oksidator yang digunakan untuk oksidasi ekuivalen dengan banyak total zat organik. Zat pengoksidasi yang digunakan adalah K2Cr2O7. Analisa COD juga digunakan secara luas sebagai ukuran kekuatan pencemaran air limbah domestik maupun air limbah industri (Hammer & Hammer, 1996). Nilai COD yang tinggi menjadi indikator adanya perncemaran air oleh zat-zat organik yang dapat berasal dari berbagai sumber seperti limbah pabrik, limbah rumah tangga dan sebagainya (Suhardi, 1991)Prosedur analisa COD dilakukan dengan cara mengambil 10 ml sampel