makalah kemitraan agribisnis

Upload: -

Post on 10-Oct-2015

2.046 views

Category:

Documents


30 download

DESCRIPTION

Kemitraan Sektor Agribisnis

TRANSCRIPT

  • i Kemitraan Sektor Agribisnis Hendra (G211 12 015)

    Kemitraan Sektor Agribisnis Hendra

    Hendra (G211 12 015) Program Studi Agibisnis Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin

    Kemitraan Sektor Agribisnis Hendra (G211 12 015)

    KEMITRAAN SEKTOR AGRIBISNIS

    2014

    Menjelaskan tentang kemitraan agribisnis dan kondisinya saat ini disertai dengan model kemitraan

    pada agribisnis komoditi tembakau

  • ii Kemitraan Sektor Agribisnis Hendra (G211 12 015)

    KATA PENGANTAR

    Penulis mengucapkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang

    selalu melimpahkan rahmat dan karunia-Nya. Atas izin-Nya jualah sehingga

    penulis mampu menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu.

    Penulisan makalah ini ditujukan untuk memenuhi salah satu tugas mata

    kuliah Manajemen Agribinis dengan judul Kemitraan Sektor Agribinis. Makalah

    ini menjelasakan tentang kemitraan dalam bidang secara umum, kondisi kemitraan

    dalam bidang pertanian saat ini, dan dilengkapi dengan contoh model kemitraan

    pada salah satu komoditi pertanian yaitu kemitraan pada komoditi tembakau .

    Penulis menyadari bahwa makalah ini tidak akan selesai tanpa bantuan

    dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan

    terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam merampungkan

    makalah ini.

    Penulis juga menyadari bahwa makalh ini tidak luput dari berbagai

    kekurangan, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik demi

    kesempurnaan dan perbaikan untuk masa mendatang.

    Makassar, Maret 2014

    Penulis

  • iii Kemitraan Sektor Agribisnis Hendra (G211 12 015)

    DAFTAR ISI

    SAMPUL DEPAN ........................................................................................ i

    KATA PENGANTAR .................................................................................. ii

    DAFTAR ISI ................................................................................................ iii

    I. PENDAHULUAN ................................................................................. 1

    1.1 Latar Belakang ................................................................................ 1

    1.2 Tujuan dan Kegunaan ...................................................................... 2

    II. DESKRIPSI KEMITRAAN ................................................................... 3

    2.1 Pengertian Kemitraan ...................................................................... 3

    2.2 Unsur-Unsur Kemitraan .................................................................. 4

    2.3 Tujuan Kemitraan............................................................................ 7

    2.4 Bentuk Kemitraan ........................................................................... 9

    2.5 Pola Kemitraan ................................................................................ 10

    III. KERAGAAN KEMITRAAN AGRIBISNIS .......................................... 14

    3.1 Peraturan Pemerintah ...................................................................... 14

    3.2 Kinerja Kelembagaan Kemitraan Usaha Pertanian ........................... 15

    IV. MODEL KEMITRAAN DALAM AGRIBISNIS TEMBAKAU ............ 19

    4.1 Kemitraan Sebagai Wahana Bersinergi ............................................ 19

    4.2 Keragaan Kemitraan Tembakau Saat Ini .......................................... 20

    4.3 Harapan Model Kemitraan Agribisnis Tembakau Yang Ideal .......... 24

    V. PENUTUP ............................................................................................. 27

    5.1 Kesimpulan ..................................................................................... 27

    5.2 Saran ............................................................................................... 27

    DAFTAR PUSTAKA

  • 1 Kemitraan Sektor Agribisnis Hendra (G211 12 015)

    I. PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    Pendekatan pembangunan pertanian telah mengalami perubahan yang

    mendasar yaitu dari pendekatan komoditi menjadi pendekatan agribisnis. Hal ini

    sejalan dengan penegasan paradigma baru pendekatan pembangunan pertanian

    yang bertujuan membangun sistem agribisnis yang kuat sekaligus pemerataan

    sehingga berkesinambungan antar sektor dan antar wilayah. Visi pembangunan

    pertanian berdasarkan landasan tersebut adalah terwujudnya kehidupan sejahtera

    khususnya petani, melalui pembangunan sistem agribisnis dan usaha-usaha

    agribisnis berdaya saing, berkelanjutan dan terdesentralisasi.

    Sejalan dengan visi pembangunan pertanian yang bertujuan membangun

    sistem agribisnis yang kuat berkesinambungan antar sektor dan antar wilayah

    diatas maka sangat diperlukan teknologi pertanian untuk pengembangan

    komoditas yang berorentasi pasar serta sistem pelayanan bagi petani baik dalam

    hal teknik budidaya serta penyediaan modal usaha (kredit) dan penyuluhan

    pertanian sehingga diharapkan dapat meningkatkan komoditas-komoditas

    pertanian di era pasar bebas.

    Mengingat usaha pertanian memerlukan permodalan yang besar serta

    kondisi petani Indonesia yang sangat lemah baik dalam hal manajemen dan

    profesionalisme serta terbatasnya akses terhadap permodalan, teknologi dan

    jaringan pemasaran maka diperlukan peran serta pengusaha besar (pemilik modal)

    untuk membantu mengembangkan usahatani petani kecil dalam bentuk

    kemitraan. Kemitraan usaha merupakan suatu bentuk kerjasama yang tepat

    untuk mengatasi permasalahan petani tersebut. Kemitraan dikembangkan atas

    dasar aspek ekonomis dan dengan pembinaan untuk menghasilkan manfaat

    jangka panjang. Dampak dari program kemitraan diharapkan tidak hanya

    menguntungkan para pelaku ekonomi atau perusahaan saja melainkan juga

    harus membawa dampak positif bagi seluruh kehidupan petani. Hubungan

    kemitraan diharapkan dapat menyelesaikan segala permasalahan seperti dalam

    hal permodalan, teknologi, saprodi, penetapan harga serta pemasaran hasil dengan

    mendapat bantuan dari pihak luar.

  • 2 Kemitraan Sektor Agribisnis Hendra (G211 12 015)

    Berdasarkan uraian tersebut, maka disusunlah maklah ini sebagi sebuah

    sumber informasi mengenai seluk beluk kemitraan agribisnis, sehingga pentinya

    kemitraan dalam agribisnis dapat dipahami dan implementasi penerapan kemitraan

    dapat berjalan dengan lancar yang mana saling menguntungkan diantara

    pihak-pihak yang bermitra.

    1.2 Tujuan dan Kegunaan

    Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut:

    1. Menjelaskan pengertian, unsur-unsur, tujuan, bentuk, dan pola kemitraan

    dalam agribisnis.

    2. Mendeskripsikan keragaan/kondisi kekinian kemitraan dalam bidang

    pertania/agribisnis.

    3. Menguraikan salah satu model kemitraan komoditi pertanian, dalam hal ini

    adalah tembakau

    Adapun kegunaan dari penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut:

    1. Menjadi acuan bagi dosen yang bersangkutan untuk memberikan nilai kepada

    penulis.

    2. Menciptakan bahan bacaan yang membahas tentang kemitraan pada sektor

    agribisnis.

    3. Menjadi sumber referensi bagi pihak lain untuk penulisan karya ilmiah

    lainnya.

  • 3 Kemitraan Sektor Agribisnis Hendra (G211 12 015)

    II. DESKRIPSI KEMITRAAN

    2.1 Pengertian Kemitraan

    Terdapat adanya perbedaan pendapat diantara para ahli mengenai

    pengertian kemitraan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia arti kata mitra

    adalah teman, kawan kerja, pasangan kerja, rekan. Kemitraan artinya perihal

    hubungan atau jalinan kerjasama sebagai mitra.

    Menurut Muhammad Jafar Hafsah (1999) kemitraan adalah suatu strategi

    bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu

    untuk meraih keuntungan bersama dengan prinsip saling membutuhkan dan

    saling membesarkan. Karena merupakan strategi bisnis maka keberhasilan

    kemitraan sangat ditentukan oleh adanya kepatuhan diantara yang bermitra

    dalam menjalankan etika bisnis. Sedangkan menurut Keint L. Fletcher (1987)

    Partnership is the relation which subsists between persons carrying on a

    business in common with a view of profit.

    Kesemua definisi tersebut di atas, ternyata belum ada satu definisi yang

    memberikan definisi secara lengkap tentang kemitraan. Hal tersebut disebabkan

    karena para sarjana mempunyai titik fokus yang berbeda dalam memberikan

    definisi tentang kemitraan. Menurut Keint L. Fletcher dan Kamus Besar Bahasa

    Indonesia memandang kemitraan sebagai suatu jalinan kerjasama usaha untuk

    tujuan memperoleh keuntungan. Berbeda dengan Muhammad Jafar Hafsah yang

    memandang kemitraan sebagai suatu strategi bisnis yang dilakukan oleh dua

    pihak atau lebih, dengan prinsip saling membutuhkan dan saling membesarkan.

    Tetapi dengan adanya perbedaan pendapat diantara para sarjana ini maka akan

    saling melengkapi diantara pendapat sarjana yang satu dengan yang lainnya, dan

    apabila dipadukan maka akan menghasilkan definisi yang lebih sempurna,

    bahwa kemitraan merupakan jalinan kerjasama usaha yang merupakan strategi

    bisnis yang dilakukan antara dua pihak atau lebih dengan prinsip saling

    membutuhkan, saling memperbesar dan saling menguntungkan.

    Adapun definisi kemitraan menurut peraturan perundang-undangan yang

    telah dibakukan adalah menurut Undang-Undang Nomor. 9 Tahun 1995 tentang

    Usaha Kecil, Pasal 1 angka 8 dan menurut Peraturan Pemerintah Nomor. 44

  • 4 Kemitraan Sektor Agribisnis Hendra (G211 12 015)

    Tahun 1997 tentang kemitraan, Pasal 1 angka 1. Menurut peraturan perundang-

    undangan yang telah dibakukan adalah menurut Undang-Undang Nomor. 9 Tahun

    1995 tentang Usaha Kecil, Pasal 1 Kemitraan adalah kerja sama usaha antara

    Usaha Kecil dengan Usaha Menengah atau dengan Usaha Besar disertai

    pembinaan dan Pengembangan oleh Usaha Menengah atau Usaha Besar dengan

    memperlihatkan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling

    menguntungkan. Sedangkan Menurut Peraturan Pemerintah Nomor. 44 Tahun

    1997 tentang kemitraan, Pasal 1 angka 1.Kemitraan adalah kerja sama usaha

    antar a Usaha Kecil dengan Usaha Menengah dan atau Usaha Besar dengan

    memperlihatkan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling

    menguntungkan.

    Pada dasarnya konsep kemitraan (partnership) adalah jenis entitas bisnis yang

    mana mitra (pemilik) saling berbagi keuntungan atau kerugian bisnis. Kemitraan

    sering digunakan diperusahaan untuk tujuan perpajakan, sebagai struktur kemitraan

    umumnya tidak dikenakan pajak atas laba sebelum didistribusikan kepada para

    mitra (yaitu tidak ada pajak dividen dikenakan). Namun, tergantung pada struktur

    kemitraan dan yurisdiksi yang mana ia beroperasi, pemilik kemitraan mungkin

    terkena kewajiban pribadi yang lebih besar daripada mereka yang akan memegang

    saham dari suatu perusahaan. Pada sistem hukum perdata, kemitraan biasa diikat

    dengan kontrak (perjanjian) antara individu-individu yang dengan semangat

    kerjasama setuju untuk melaksanakan suatu usaha, berkontribusi dalam

    menggabungkan modal, pengetahuan atau kegiatan dan berbagi keuntungan. Mitra

    mungkin memiliki perjanjian kemitraan, atau deklarasi kemitraan dan di beberapa

    wilayah hukum seperti perjanjian mungkin terdaftar dan tersedia untuk inspeksi

    publik. Di banyak negara, kemitraan juga dianggap sebagai hukum badan,

    meskipun sistem hukum yang berbeda membuat kesimpulan yang berbeda tentang

    hal ini.

    2.2 Unsur-Unsur Kemitraan

    Pada dasarnya kemitraan itu merupakan suatu kegiatan saling

    menguntungkan dengan pelbagai macam bentuk kerjasama dalam menghadapi

    dan memperkuat satu sama lainnya. Julius Bobo (2003) menyatakan, bahwa

  • 5 Kemitraan Sektor Agribisnis Hendra (G211 12 015)

    tujuan utama kemitraan adalah untuk mengembangkan pembangunan yang

    mandiri dan berkelanjutan (Self-Propelling Growth Scheme) dengan landasan

    dan struktur perekonomian yang kukuh dan berkeadilan dengan ekonomi rakyat

    sebagai tulang punggung utamanya.

    Berkaitan dengan kemitraan seperti yang telah disebut di atas, maka

    kemitraan itu mengandung beberapa unsur pokok yang merupakan kerjasama usaha

    dengan prinsip saling menguntungkan, saling memperkuat dan saling

    memerlukan yaitu :

    1. Kerjasama Usaha

    Dalam konsep kerjasama usaha melalui kemitraan ini, jalinan

    kerjasama yang dilakukan antara usaha besar atau menengah dengan

    usaha kecil didasarkan pada kesejajaran kedudukan atau mempunyai

    derajat yang sama terhadap kedua belah pihak yang bermitra. Ini berarti

    bahwa hubungan kerjasama yang dilakukan antara pengusaha besar atau

    menengah dengan pengusaha kecil mempunyai kedudukan yang setara

    dengan hak dan kewajiban timbal balik sehingga tidak ada pihak yang

    dirugikan, tidak ada yang saling mengekspoitasi satu sama lain dan

    tumbuh berkembangnya rasa saling percaya di antara para pihak dalam

    mengembangkan usahanya.

    2. Antara Pengusaha Besar atau Menengah Dengan Pengusaha Kecil

    Dengan hubungan kerjasama melalui kemitraan ini diharapkan

    pengusaha besar atau menengah dapat menjalin hubungan kerjasama yang

    saling menguntungkan dengan pengusaha kecil atau pelaku ekonomi

    lainnya, sehingga pengusaha kecil akan lebih berdaya dan tangguh

    didalam berusaha demi tercapainya kesejahteraan.

    3. Pembinaan dan Pengembangan

    Pada dasarnya yang membedakan hubungan kemitraan dengan

    hubungan dagang biasa oleh pengusaha kecil dengan pengusaha besar

    adalah adanya bentuk pembinaan dari pengusaha besar terhadap

    pengusaha kecil atau koperasi yang tidak ditemukan pada hubungan

    dagang biasa. Bentuk pembinaan dalam kemitraan antara lain pembinaan

    didalam mengakses modal yang lebih besar, pembinaan manajemen usaha,

  • 6 Kemitraan Sektor Agribisnis Hendra (G211 12 015)

    pembinaan peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM), pembinaan

    manajemen produksi, pembinaan mutu produksi serta menyangkut pula

    pembinaan didalam pengembangan aspek institusi kelembagaan, fasilitas

    alokasi serta investasi.

    4. Prinsip Saling Memerlukan, Saling Memperkuat dan Saling

    Menguntungkan

    Menurut John L. Mariotti dalam Muhammad Jafar Hafsah (1999)

    kemitraan merupakan suatu rangkaian proses yang dimulai dengan

    mengenal calon mitranya, mengetahui posisi keunggulan dan kelemahan

    usahanya. Pemahaman akan keunggulan yang ada akan menghasilkan

    sinergi yang bedampak pada efisiensi, turunnya biaya produksi dan

    sebagainya. Penerapannya dalam kemitraan, perusahaan besar dapat

    menghemat tenaga dalam mencapai target tertentu dengan menggunakan

    tenaga kerja yang dimiliki oleh perusahaan yang kecil. Sebaliknya

    perusahaan yang lebih kecil, yang umumnya relatif lemah dalam hal

    kemampuan teknologi, permodalan dan sarana produksi melalui teknologi

    dan sarana produksi yang dimiliki oleh perusahaan besar. Dengan

    demikian sebenarnya ada saling memerlukan atau ketergantungan diantara

    kedua belah pihak yang bermitra.

    Dalam kemitraan usaha, sebelum kedua belah pihak memulai untuk

    bekerjasama, maka pasti ada sesuatu nilai tambah yang ingin diraih oleh

    masing-masing pihak yang bermitra. Nilai tambah ini selain diwujudkan

    dalam bentuk nilai ekonomi seperti peningkatan modal dan keuntungan,

    perluasan pangsa pasar, tetapi juga ada nilai tambah yang non ekonomi

    seperti peningkatan kemapuan manajemen, penguasaan teknologi dan

    kepuasan tertentu. Keinginan ini merupakan konsekwensi logis dan

    alamiah dari adanya kemitraan. Keinginan tersebut harus didasari sampai

    sejauh mana kemampuan untuk memanfaatkan keinginan tersebut dan

    untuk memperkuat keunggulan-keunggulan yang dimilikinya, sehingga

    dengan bermitra terjadi suatu sinergi antara para pelaku yang bermitra

    sehingga nilai tambah yang diterima akan lebih besar.

  • 7 Kemitraan Sektor Agribisnis Hendra (G211 12 015)

    Dengan motivasi ekonomi tersebut maka prinsip kemitraan dapat

    didasarkan pada saling memperkuat. Kemitraan juga mengandung makna

    sebagai tanggung jawab moral, hal ini disebabkan karena bagaimana

    pengusaha besar atau menengah mampu untuk membimbing dan membina

    pengusaha kecil mitranya agar mampu (berdaya) mengembangkan usahanya

    sehingga menjadi mitra yang handal dan tangguh didalam meraih

    keuntungan untuk kesejahteraan bersama. Hal ini harus disadari juga oleh

    masingmasing pihak yang bermitra yaitu harus memahami bahwa mereka

    memiliki perbedaan, menyadari keterbatasan masing-masing, baik yang

    berkaitan dengan manajemen, penguasaan Ilmu Pengetahuan maupun

    penguasaan sumber daya, baik Sumber Daya Alam maupun Sumber Daya

    Manusia (SDM), dengan demikian mereka harus mampu untuk saling isi

    mengisi serta melengkapi kekurangankekurangan yang ada.

    Salah satu maksud dan tujuan dari kemitraan usaha adalah win-

    win solution partnership kesadaran dan saling menguntungkan. Pada

    kemitraan ini tidak berarti para partisipan harus memiliki kemampuan

    dan kekuatan yang sama, tetapi yang essensi dan lebih utama adalah

    adanya posisi tawar yang setara berdasarkan peran masing-masing. Pada

    kemitraan usaha terutama sekali tehadap hubungan timbal balik, bukan

    seperti kedudukan antara buruh dan majikan, atau terhadap atasan kepada

    bawahan sebagai adanya pembagian resiko dan keuntungan proporsional,

    disinilah letak kekhasan dan karakter dari kemitraan usaha tersebut.

    Berpedoman pada kesejajaran kedudukan atau memiliki derajat yang

    setara bagi masing-masing pihak yang bermitra, maka tidak ada pihak

    yang tereksploitasi dan dirugikan tetapi justru terciptanya rasa saling

    percaya diantara para pihak sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan

    keuntungan atau pendapatan melalui pengembangan usahanya

    2.3 Tujuan Kemitraan

    Untuk menghasilkan tingkat efisiensi dan produktivitas yang optimal

    diperlukan sinergi antara pihak yang memiliki modal kuat, teknologi maju,

    manajemen modern dengan pihak yang memiliki bahan baku, tenaga kerja dan

  • 8 Kemitraan Sektor Agribisnis Hendra (G211 12 015)

    lahan. Sinergi ini dikenal dengan kemitraan. Kemitraan yang dihasilkan

    merupakan suatu proses yang dibutuhkan bersama oleh pihak yang bermitra

    dengan tujuan memperoleh nilai tambah. Hanya dengan kemitraan yang saling

    menguntungkan, saling membutuhkan dan saling memperkuat, dunia usaha baik

    kecil maupun menengah akan mampu bersaing. Adapun secara lebih rinci

    tujuan kemitraan meliputi beberapa aspek, antara lain yaitu :

    1. Tujuan dari Aspek Ekonomi

    Dalam kondisi yang ideal, tujuan yang ingin dicapai dalam

    pelaksanaan kemitraan secara lebih kongkrit yaitu:

    a. Meningkatkan pendapataan usaha kecil dan masyarakat

    b. Meningkatkan perolehan nilai tambah bagi pelaku kemitraan

    c. Meningkatkan pemerataan dan pemberdayaan masyarakat dan usaha

    kecil

    d. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi pedesaan, wilayah dan

    nasional

    e. Memperluas kesempatan kerja

    f. Meningkatkan ketahanan ekonomi nasional.

    2. Tujuan dari Aspek Sosial dan Budaya

    Kemitraan usaha dirancang sebagai bagian dari upaya

    pemberdayaan usaha kecil. Pengusaha besar berperan sebagaai faktor

    percepatan pemberdayaan usaha kecil sesuai kemampuan dan kompetensinya

    dalam mendukung mitra usahanya menuju kemandirian usaha, atau dengan

    perkataan lain kemitraan usaha yang dilakukan oleh pengusaha besar

    yang telah mapan dengan pengusaha kecil sekaligus sebagai tanggung

    jawab sosial pengusaha besar untuk ikut memberdayakan usaha kecil

    agar tumbuh menjadi pengusaha yang tangguh dan mandiri.

    Adapun sebagai wujud tanggung jawab sosial itu dapat berupa

    pemberian pembinaan dan pembimbingan kepada pengusaha kecil, dengan

    pembinaan dan bimbingan yang terus menerus diharapkan pengusaha kecil

    dapt tumbuh dan berkembang sebagai komponen ekonomi yng tangguh

    dan mndiri. Dipihak lain dengan tumbuh berkembangnya kemitraan usaha

    ini diharapkan akan disertai dengan tumbuhnya pusat-pusat ekonomi baru

  • 9 Kemitraan Sektor Agribisnis Hendra (G211 12 015)

    yang semakin berkembang sehingga sekaligus dapat merupkan upaya

    pemerataan pendapatan sehingga dapat mencegah kesenjangan sosial..

    3. Tujuan dari Aspek Teknologi

    Secara faktual, usaha kecil biasanya mempunyai skala usaha yang

    kecil dari sisi modal, penggunaan tenaga kerja, maupun orientasi

    pasarnya. Demikian pula dengan status usahanya yang bersifat pribadi

    atau kekeluargaan; tenaga kerja berasal dari lingkungan setempat;

    kemampuan mengadopsi teknologi, manajemen, dan adiministratif sangat

    sederhana; dan struktur permodalannya sangat bergantung pada modal tetap.

    Sehubungan dengan keterbatasan khususnya teknologi pada usaha kecil,

    maka pengusaha besar dalam melaksanakan pembinaan dan pengembangan

    terhadap pengusaha kecil meliputi juga memberikan bimbingan teknologi.

    Teknologi dilihat dari arti kata bahasanya adalah ilmu yang berkenaan

    dengan teknik. Oleh karena itu bimbingan teknologi yang dimaksud

    adalah berkenaan dengan teknik berproduksi untuk meningkatkan

    produktivitas dan efisiensi.

    4. Tujuan dari Aspek Manajemen

    Manajemen merupakan proses yang dilakukan oleh satu atau lebih

    individu untuk mengkoordinasikan berbagai aktivitas lain untuk mencapai

    hasil-hasil yang tidak bisa dicapai apabila satu individu bertindak sendiri.

    Sehingga ada 2 (dua) hal yang menjadi pusat perhatian yaitu : Pertama,

    peningkatan produktivitas individu yang melaksnakan kerja, dan Kedua,

    peningkatan produktivitas organisasi di dalam kerja yang dilaksanakan.

    Pengusaha kecil yang umumnya tingkat manajemen usaha rendah, dengan

    kemitraan usaha diharapkan ada pembenahan manajemen, peningkatan

    kualitas sumber daya manusia serta pemantapan organisasi.

    2.4 Bentuk Kemitraan

    Bentuk dasar kemitraan adalah kemitraan umum, di mana semua mitra

    mengelola bisnis dan secara pribadi bertanggung jawab atas hutangnya. Bentuk lain

    yang telah dikembangkan di sebagian besar negara adalah kemitraan terbatas(LP),

    di mana mitra terbatas untuk mengelola bisnis dan dengan imbalan terbatas. Mitra

  • 10 Kemitraan Sektor Agribisnis Hendra (G211 12 015)

    Umum mungkin memiliki kewajiban bersamaatau beberapa kewajiban bersama dan

    tergantung pada keadaan, tanggung jawab mitra terbatas pada investasi mereka

    dalam kemitraan tersebut. Mitra diam (silent partner) adalah mitra yang tetap

    berbagi dalam keuntungan dan kerugian pada usaha, tetapi tidak terlibat dalam

    mengelola usaha atau keterlibatan mereka dalam usaha tidak diketahui umum.

    Mitra ini biasanya hanya menyediakan modal.

    2.5 Pola-Pola Kemitraan

    Dalam rangka merealisasikan kemitraan sebagai wujud dari keterkaitan

    usaha, maka diselenggarakan melalui pola-pola yang sesuai dengan sifat dan

    tujuan usaha yang dimitrakan adalah sebagai berikut :

    1. Pola Inti Plasma

    Dalam pola inti plasma, Usaha Besar dan Usaha Menengah

    bertindak sebagai inti membina dan mengembangkan Usaha Kecil sebagai

    plasma. Selanjutnya menurut penjelasan Pasal 27 huruf (a) Undang-

    Undang Nomor. 9 Tahun 1995, yang dimaksud dengan pola inti plasma

    adalah hubungan kemitraan antara usaha kecil dengan usaha menengah

    atau usaha besar sebagai inti membina dan mengembangkan usaha kecil

    yang menjadi plasmanya dalam menyediakan lahan, penyediaan sarana

    produksi, pemberian bimbingan teknis manajemen usaha dan produksi,

    perolehan, penguasaan dan peningktan teknologi yang diperlukan bagi

    peningkatan efisiensi dan produktivitas usaha. Kerjasma inti plasma akan

    diatur melalui suatu perjanjian kerjasama antara inti dan plasma. Dalam

    program inti plasma ini diperlukan keseriusan dan kesiapan, baik pada

    pihak usaha kecil selaku pihak plasma yang mendapat bantuan dalam

    upaya mengembangkan usahanya, maupun pada pihak usaha besar atau

    usaha menengah yang mempunyai tanggungjawab sosial untuk membina

    dan mengembangkan usaha kecil sebagai mitra usaha untuk jangka

    panjang.

    Selain itu juga sebagai suatu upaya untuk mewujudkan kemitraan

    usaha pola inti plasma yang mampu memberdayakan ekonomi rakyat

    sangat dibutuhkan adanya kejelasan peran masingmasing pihak yang

  • 11 Kemitraan Sektor Agribisnis Hendra (G211 12 015)

    terlibat. Adapun pihak-pihak terdebut antara lain : (1) Pengusaha Besar

    (Pemrakarsa), (2) Pengusaha Kecil (Mitra Usaha) dan (3) Pemerintah.

    Peran pengusaha besar selaku (inti) sebagaimana tersebut di atas tentunya

    juga harus diimbangi dengan peran usaha kecil (plasma) yaitu

    meningkatkan kemampuan manajemen dan kinerja usahanya yang

    berkelanjutan serta memanfaatkan dengan sebaik-baiknya berbagai bentuk

    pembinaan dan bantuan yang diberikan oleh usaha besar dan atau usaah

    menengah. Selanjutnya untuk peran pemerintah akan dibahas lebih lanjut

    pada sub bab yang tersendiri.

    2. Pola Subkontrak

    Menurut penjelasan Pasal 27 huruf (b) Undang-Undang Nomor. 9

    Tahun 1995 bahwa pola subkontr ak adalah hubungan kemitraan antara

    Usaha Kecil dengan Usaha Menengah atau Usaha Besar, yang di

    dalamnya Usaha Kecil memproduksi komponen yang diperlukan oleh

    Usaha Menengah atau Usaha Besar sebagai bagian dari produksinya.

    Selanjutnya menurut Soewito (1992), pola subkontraktor adalah suatu

    sistem yang menggambarkan hubungan antara usaha besar dengan usaha

    kecil atau menengah, dimana usaha besar sebagai perusahaan induk

    (parent firma) meminta kepada usaha kecil atau menengah selaku

    subkontraktor untuk mengerjakan seluruh atau sebagian pekerjaan

    (komponen) dengan tanggung penuh pada perusahaan induk.

    Dapat pula dikatakan bahwa dalam pola subkontrak, usaha kecil

    memproduksi barang dan atau jasa yang merupakan komponen atau bagian

    produksi usaha menengah atau usaha besar. Oleh karena itu, maka melalui

    kemitraan ini usaha menengah dan atau usaha besar memberikan

    kesempatan yang seluas-luasnya kepada usaha kecil untuk membeli bahan

    baku yang diperlukan secara berkesinambungan dengan harga yang wajar.

    Adapun manfaat yang dapat diperoleh dalam kemitraan dengan pola

    subkontrak, bagi perusahaan kecil antara lain adalah dapat menstabilkan

    dan menambah penjualan, kesempatan untuk mengerjakan sebagian

    produksi dan atau komponen, bimbingan dan kemampuan teknis produksi

    atau manajemen, perolehan, pengusaan dan peningkatan teknologi yang

  • 12 Kemitraan Sektor Agribisnis Hendra (G211 12 015)

    diperlukan. Sedangkan bagi perusahaan besar adalah dapat memfokuskan

    perhatian pada bagian lain, memenuhi kekurangan kapasitas, memperoleh

    sumber pasokan barang dengan harga yang lebih murah daripada impor,

    selain itu juga dapat meningkatkan produktivitas dan kesempatan kerja

    baik pada perusahaan kecil maupun perusahaan besar.

    3. Pola Dagang Umum

    Menurut penjelasan Pasal 27 huruf (c) Undang-Undang Nomor. 9

    Tahun 1995, Pola Dagang Umum adalah hubu ngan kemitraan antara

    Usaha Kecil dengan Usaha Menengah atau Usaha Besar, yang di

    dalamnya Usaha Menengah atau Usaha Besar memasarkan hasil produksi

    Usaha Kecil atau Usaha Kecil memasok kebutuhan yang diperlukan oleh

    Usaha Menengah atau Usaha Besar mitranya.Dengan demikian maka

    dalam pola dagang umum, usaha menengah atau usaha besar memasarkan

    produk atau menerima pasokan dari usaha kecil mitra usahanya untuk

    memenuhi kebutuhan yang diperlukan oleh usaha menengah atau usaha

    besar mitranya.

    4. Pola Keagenan

    Berdasarkan penjelasan Pasal 27 huruf (e) Undang-Undang Nomor

    9 Tahun 1995, pola keagenan adalah hubungan kemitraan, yang di

    dalamnya Usaha Kecil diberi hak khusus untuk memasarkan barang dan jasa

    Usaha Menengah atau Usaha Besar mitranya. Dalam pola keagenan,

    usaha menengah dan atau usaha besar dalam memasarkan barang dan jasa

    produknya memberi hak keagenan hanya kepada usaha kecil. Dalam hal ini

    usaha menengah atau usaha besar memberikan keagenan barang dan jasa

    lainnya kepada usaha kecil yang mampu melaksanakannya. Selanjutnya

    menurut Munir Fuady (1997), pola keagenan merupakan hubungan

    kemitraan, dimana pihak prinsipal memproduksi atau memiliki sesuatu,

    sedangkan pihak lain (agen) bertindak sebagai pihak yang menjalankan

    bisnis tersebut dan menghubungkan produk yang bersangkutan langsung

    dengan pihak ketiga. Seorang agen bertindak untuk dan atas nama

    prinsipal, sehingga pihak prinsipal bertanggungjawab atas tindakan yang

    dilakukan oleh seorang agen terhadap pihak ketiga.

  • 13 Kemitraan Sektor Agribisnis Hendra (G211 12 015)

    5. Pola Waralaba

    Menurut Penjelasan Pasal 27 Huruf (d) Undang-Undang Nomor. 9

    Tahun 1995, Pola Waralaba adalah hubungan kemitraan, yang di

    dalamnya pemberi waralaba memberikan hak penggunaan lisensi, merek

    dagang, dan saluran distribusi perusahaannya kepada penerima waralaba

    dengan disertai bantuan bimbingan manajemen.Berdasarkan pada

    ketentuan seperti tersebut di atas, dalam pola waralaba pemberi waralaba

    memberikan hak untuk menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau

    penemuan atau ciri usaha kepada penerima waralaba. Dengan demikian,

    maka dengan pola waralaba ini usaha menengah dan atau usaha besar

    yang bertindak sebagai pemberi waralaba menyediakan penjaminan dan

    atau menjadi penjamin kredit yang diajukan oleh usaha kecil sebagai

    penerima waralaba kepada pihak ketiga.

    6. Bentuk-Bentuk Lain

    Selain daripada pola-pola seperti yang telah disebutkan di atas,

    seiring dengan semakin berkembangnya lalu lintas usaha (bisnis)

    dimungkinkan pula dalam perjalanannya nanti adanya timbul bentuk

    pola-pola lain yang mungkin saat ini atau pada saat yang mendatang

    akan atau sudah berkembang tetapi belum dibakukan.

  • 14 Kemitraan Sektor Agribisnis Hendra (G211 12 015)

    III. KERAGAAN KEMITRAAN AGRIBISNIS

    Lahirnya konsep kerjasama atau usaha kemitraan usaha antara perusahaan

    pertanian (BUMN, swasta, koperasi) dengan pertanian rakyat (petani kecil)

    didasarkan atas dua argumen. Pertama, adanya perbedaan dalam penguasaan

    sumberdaya (lahan dan kapital) antara masyarakat industrial di perkotaan

    (pengusaha) dengan masyarakat pertanian di pedesaan (petani). Dimana orang kota

    dikategorikan mempunyai modal dan pengetahuan, namun kurang dalam

    sumberdaya lahan dan tenagakerja, sedangkan di sisi lain orang desa dikategorikan

    mempunyai lahan dan tenaga kerja, namun kurang modal dan kemampuan

    (ketrampilan). Kedua, adanya perbedaan sifat hubungan biaya per satuan output

    dengan skala usaha pada masing-masing subsistem dari sistem agribisnis. Di dalam

    subsistem usahatani, skala kecil lebih efisien atau sama efisiennya dengan skala

    usaha besar, karena sifat hubungan biaya per satuan output dengan skala usaha

    bersifat tetap (constant cost to scale).

    Dalam subsistem pemasaran, pengolahan dan pengadaan saprodi, skala

    usaha besar lebih efisien dari pada skala kecil, karena sifat hubungan biaya per

    satuan output dengan skala usaha bersifat menurun (decreasing cost to scale)

    (Sinaga,1987). Dari uraian tersebut memberikan gambaran pentingnya

    mewujudkan keunggulan komparatif menjadi keunggulan kompetitif melalui

    strategi kooperatif atau kemitraan usaha.

    3.1 Peraturan Pemerintah

    Pentingnya aspek kemitraan usaha ini sudah sejak lama disadari tidak hanya

    oleh para ahli ekonomi tetapi juga oleh pemerintah, hal antara lain dapat ditelusuri

    beberapa kebijakan atau peraturan pemerintah tentang kemitraan usaha. Sejak

    pertengahan 1970-an hingga awal 1980-an telah dikeluarkan peraturan-peraturan

    tentang kemitraan usaha melalui pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR), sehingga

    muncullah PIR-Perkebunan, PIR-Perunggasan, Tambak Inti Rakyat, Tebu Inti

    Rakyat, dan kemitraan usaha di bidang hortikultura. Peraturan Pemerintah Republik

    Indonesia No. 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan, secara prinsip kemitraan usaha

    tetap diarahkan dapat berlangsung atas dasar norma-norma ekonomi yang berlaku

  • 15 Kemitraan Sektor Agribisnis Hendra (G211 12 015)

    dalam keterkaitan usaha yang saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling

    menguntungkan. Kemudian di tindak lanjuti melaui SK Mentan No. 940/Kpts/OT.

    210/10/1997 tentang Pedoman Kemitraan Usaha Pertanian, dikatakan bahwa tujuan

    kemitraan usaha pertanian antara lain untuk meningkatkan pendapatan,

    kesinambungan usaha, meningkatkan kualitas sumberdaya mitra, peningkatan skala

    usaha, serta dalam rangka menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan usaha

    kelompok mitra yang mandiri.

    Dalam SK Mentan tersebut juga dikemukakan tentang pola-pola kemitraan

    usaha yang dapat dilaksanakan, antara lain pola : inti-plasma, sub-kontrak, dagang

    umum, keagenan, atau bentuk-bentuk lain, misalnya Kerjasama Operasional

    Agribisnis (KOA); dalam pengawasan dan pengendalian melibatkan Badan

    Agribisnis, Ditjen Lingkup Deptan, BIP, serta Dinas Teknis Lingkup Deptan. SK

    Mentan No. 944/Kpts/OT. 210/10/1997 tentang Pedoman Penetapan Tingkat

    Hubungan Kemitraan Usaha Pertanian, tingkat hubungan kemitraan usaha dibobot

    dan dinilai berdasarkan indikator manajemendan manfaat.

    3.2 Kinerja Kelembagaan Kemitraan Usaha Pertanian

    Untuk melihat bagaimana kinerja kelembagaan kemitraan usaha dalam

    bidang pertanian berikut ini adalah beberapa contoh kasus dari berbagai

    komoditas pertanian:

    1. Kasus Pada Komoditas Padi

    Implemtasi peraturan tersebut memunculkan berbagai kelembagaan

    kemitraan usaha. Pada komoditas padi terjadi hubungan kemitraanantara PT

    Pertani dengan kelompok tani padi dalam penyediaan bahan baku bibit padi

    bersertifikat, seperti yang dijumpai di daerahdaerah sentra produksi padi di

    Majalengka, JawaBarat; Klaten, Jawa Tengah; Kediri, Jawa Timur; Sidrap,

    Sulawesi Selatan, dan Agam,Sumatera Barat. Di samping itu PT Pertani juga

    bekerjasama dengan kelompok tani kasus di Sidrap, Enrekang dan Pinrang

    dalam penyediaan bahan baku gabah untuk menghasilkan beras berkualitas

    (branded rice).Selain itu, juga dijumpai kelembagaan kemitraan usaha antara

    petani dan kelompok kerja pemanen (pengusaha power thresher) yang

    dilengkapi power thresherdi pedesaan Sulawesi Selatan.

  • 16 Kemitraan Sektor Agribisnis Hendra (G211 12 015)

    2. Kasus Pada Komoditas Palawija

    Pada komoditas palawija dijumpai kelembagaan kemitraan usaha

    antara Perusahaan Pembibitan (breeding Farm) dari berbagai perusahaan

    seperti Arjuna BC, Charoen Phokpand, dengan petani baik secara individu

    maupun kelompok dalam menyediakan bahan baku bibit jagung hibrida dan

    jagung composit. Di samping itu juga dijumpai kemitraan usaha antara

    Perusahan Pakan Ternak dengan petani baik secara individu maupun

    kelompok tani melalui Pola PIR, seperti yang di jumpai di pedesaan Jawa

    Timur dan Lampung. Sementara itu, untuk komoditas kedelai pernah terjalin

    beberapa model kemitraan usaha namun tidak berkelanjutan.

    3. Kasus Pada Komoditas Hortikultura

    Pengembangan kelembagaan kemitraan usaha pada komoditas

    hortikultura (Ditjenhort, 2001) mengemukakan terdapat lima skenario

    pengembangan model usaha hortikultura yaitu : (1) usaha perorangan; (2)

    usaha patungan; (3) usaha koperasi, dan (4) kerjasama atau kemitraan; dan

    (5) model manajemen satu atap. Dalam Model Kemitraan PetaniPengusaha,

    pengushapengusaha besar, pengusaha pengolahan hasil, eksportir atau

    pedagang hasil hortikultura melakukan kemitraan dengan petani produsen,

    dengan membentuk kesepakatan harga dan kualitas pembelian produk.

    Kemitraan dilakukan dengan kelompok tani, sehingga kegiatan produksi

    dapat dilakukan secara lebih terkoordinir dalam satu kawasan atau hamparan

    dengan skala usaha tertentu. Namun dalam prakteknya dijumpai kontrak

    kerjasama baik secara individu maupun kelompok. Seperti yang dijumpai

    kerjasama usaha antara Perusahaan Daerah Provinsi Bali dengan petani

    penggarap, PT Bayu Jaya Kusuma dengan kelompok tani Strabery di

    Sukasada, Buleleng, PT Putra Agro Sejati dengan petani secara individu

    untuk komoditas lobak, pueleng, gobo, dan wortel, serta ubijalar dan PTSelect

    Tani dengan petani kentang, kubis, cabe merah dan tomat di Tanah Karo,

    Sumatera Utara. Di samping itu, juga terdapat kemitraan usaha dalam

    kerangka pengembangan Sub Terminal Agribisnis, seperti STA di Bali dan

    Jawa Barat baik untuk memasok pasal lokal, pasar induk, konsumen hotel dan

    restarant.

  • 17 Kemitraan Sektor Agribisnis Hendra (G211 12 015)

    4. Kasus Pada Komoditas Perkebunan

    Pola kemitraan usaha dalam bentuk Perusahaan Inti Rakyat (PIR)

    dikembangkan pada berbagai komoditas perkebunan Karet, Kopi, Kakao,

    Kelapa Sawit, dan Tebu. Salah satu Pola Kemitraan Usaha yang berhasi

    hingga kini adala pada PIR kelapa sawit. Beberapa faktor utama yang

    menyebabkan keberhasilan PIR Kelapa Sawit adalah (Erwidodo, dkk., 1995).

    Usaha komoditas perkebunan memiliki economic of scalesehingga

    pengembangan agribisnis dengan pola PIR yang mencakup areal relatif luas

    mampu menekan ongkos produksi, dengan kata lain meningkatkan

    keuntungan; (2) Pelaksanaan PIR perkebunan pada umumnya dilakukan pada

    lahan transmigrasi yang baru dibangun, sehingga dapat dirancang lebih

    mudah ukran usaha yang menguntungkan perusahaan inti yang menjadi mitra

    petani; dan (3) Perusahaan inti tertarik untuk melakukan kemitraan dengan

    petani karena pasar bahan baku bagi industri pengolahan yang dibangunnya

    dapat dikuasai, dan adanya pembagian resiko antara perusahaan inti, petani

    dan pemerintah. Sedang bagi petani, kemitraan tersebut menguntungkan

    karena komoditas perkebunan yang dikembangkan menjadi miliki jangkauan

    pasar lebih luas akibat dikembangkannya pabrik pengolahan dan pasar

    produk yang dihasilkan petani lebih terjamin.

    5. Kasus Pada Komoditas Peternakan

    Dalam operasionalnya pada komoditas peternakan dengan mengambil

    kasus-kasus kemitraan yang terjadi pada peternakan ayam ras petelur dan

    pedaging di Jawa Barat dijumpai adanya Pola Inti Rakyat Perunggasan (PIR-

    Perunggasan). Hasil kajian Saptana (1999) dikenal tiga bentuk PIR-

    Perunggasan, yaitu: (1) pola PIR dengan plasma kesepakatan, yaitu jaminan

    penyediaan sapronak dan pemasaran hasil; (2) pola PIR dengan plasma rasio,

    yaitu kerjasama inti plasma dengan sistem rasio harga, antaraa harga pakan,

    doc dan obat-obatan dengan harga jual hasil; dan (3) pola PIR dengan plasma

    mandiri (tanpa kesepakatan dan rasio harga). Dengan dikeluarkannya

    Keppres 22/1990 yang pada dasarnya berisi pembebasan skala usaha,

    membuka kesempatan bagi pemodal besar untuk bergerak dalam bidang

  • 18 Kemitraan Sektor Agribisnis Hendra (G211 12 015)

    budidaya dengan syarat 65% dari produksinya ditujukan ekspor (PMA) dan

    melakukan pembinaan terhadap peternakan rakyat melalui kemitraan usaha.

    Bersadarkan uraian diatas merefleksikan beberapa hal sebagai berikut:

    (1) pada periode sebelum terjadinyua krisis moneter di Jawa Barat terdapat

    kemitraan usaha ayam ras dalam bentuk KINAK PRA dan KINAK PIR baik

    untuk ayam ras petelur maupun pedaging; (2) setelah terjadinya krisis

    moneter hanya teedapat kemitraan usaha ayam ras dalam bentuk KINAK

    PRA untuk ayam ras pedaging saja; (3) terdapat penurunan secara tajam baik

    perusahaan peternakan sebagai inti yaitu turun 25 persen, jumlah peternak

    plasma yang terlibat turun sebesar 40 persen dan jumlah terrnak yang

    diusahakan turun seebesar 60 persen untuk KINAK PRA ayam ras pedaging.

    Hasil kajian Saptana (1999) diperoleh hasil bahwa kemitraan usaha

    setelah terjadinya krisis mengalami kemerosotan baik dari segi jumlah

    maupun kualitasnya. Pola kemitraan yang semula dalam bentuk KINAK PRA

    atau PIR kesepakatan mengalami pergeseran kearah pola kerjasama sewa

    kandang (contract farm) sekaligus jasa tenaga kerja. Artinya peternak hanya

    sebagai pengelola ayasm ras dengan memperoleh imbalan uang sewa

    kandang sebesar Rp. 50-75/ekor dan upah kerja Rp. 200-225/ekor, sehingga

    peternak memperoleh penghasilan sebesar Rp. 250-300/ekor per siklus.

    Sebagianhanya disewakan saja dimana perusahaan peternakan menaruh

    buruh dikandang yang disewanya. Sementara itu pola kemitraan usaha

    KINAK PIR pada kenyataannya hanya merupakan buruh ataau karyawan

    yang dibayar secara bulanan, meskipun dalam perjanjian ada hak atas

    pemilikan kandang setelah kredit dari Bank dimana perusahaan peternakan

    (inti) sebagai penjamin

  • 19 Kemitraan Sektor Agribisnis Hendra (G211 12 015)

    IV. MODEL KEMITRAAN DALAM AGRIBISNIS TEMBAKAU

    Bisnis tembakau sangat menguntungkan sehingga semakin banyak petani

    yang membudidayakan tembakau. Selain itu makin banyak juga yang tertarik

    menjadi pedagang tembakau, dari yang bermodal kecil sampai yang bermodal

    sangat besar. Pada saat itu petani merasa terbantu dalam memasarkan tembakau,

    sedangkan industri rokok juga merasa terbantu dalam memperoleh bahan baku

    yang dibutuhkan. Bahkan kemudian banyak pedagang yang menjadi kepercayaan

    industri rokok.

    Dari waktu ke waktu situasi berkembang ke arah yang kurang kondusif.

    Kepentingan lain para pelaku bisnis tembakau mulai masuk, terutama untuk

    memperoleh keuntungan sebesar-besarnya, tetapi mengabaikan kepentingan pihak

    lain. Berbagai cara ditempuh untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar,

    antara lain dengan menekan harga di tingkat petani dan mencampur atau

    memalsukan tembakau sehingga menurunkan mutunya.

    Situasi tersebut menimbulkan dampak negatif bagi petani maupun industri

    rokok. Petani merugi karena harga jual tembakaunya rendah, sedangkan industri

    merugi karena tembakau yang diperoleh tidak sesuai dengan kebutuhan. Untuk

    menjamin kecukupan dan stabilitas mutu tembakau yang dibutuhkan, beberapa

    industri rokok tergerak terjun langsung ke lapangan untuk melakukan

    pembenahan.

    4.1 Kemitraan Sebagai Wahana Bersinergi

    Untuk membenahi situasi yang tidak kondusif tersebut beberapa industri

    rokok menjalin kemitraan dengan petani. Industri rokok merupakan konsumen

    atau pengguna tembakau, sedangkan petani menjadi produsen tembakau. Model

    kemitraan diharapkan dapat menjadi jembatan kepentingan tim bal balik,

    hubungan antara keduanya bersifat mutualistik sehingga saling menguntungkan

    kedua belah pihak. Dalam kemitraan agribisnis tembakau, peran industri rokok

    sangat penting karena dapat menjadi dinamisator dan motivator. Kemitraan akan

    menjadi wahana dan pemandu bagi petani agar menghasilkan tembakau dalam

    jumlah dan mutu yang sesuai dengan kebutuhan industri yang bermitra. Kemitraan

  • 20 Kemitraan Sektor Agribisnis Hendra (G211 12 015)

    juga dapat menjadi wahana untuk mengintroduksi inovasi teknologi kepada petani.

    Dari pengamatan di lapangan dapat diketahui ketidakmampuan petani

    menerapkan inovasi teknologi dan menghasilkan produk yang baik seringkali

    terkait dengan keterbatasan modal untuk melakukan usaha tani secara baik.

    Sebagian besar petani sulit mengakses lembaga atau sumber pembiayaan yang

    ada, khususnya perbankan. Belum ada skim pembiayaan dengan bunga murah

    untuk tanaman perkebunan, khususnya tembakau. Melalui kemitraan, industri

    rokok dapat membantu menyediakan modal yang terjangkau bagi petani mitra.

    Pengembalian modal usaha dilakukan setelah atau bersamaan dengan penjualan

    hasil panennya.

    4.2 Keragaan Kemitraan Tembakau Saat Ini

    Sejak lama beberapa industri rokok telah melakukan kemitraan dengan

    petani. Realisasi di lapangan menunjukkan pola yang digunakan sangat

    beragam. Pada pertemuan di Bandungan, Jawa Tengah sekitar tahun 2004, salah

    satu industri rokok mempresentasikan tentang kemitraan yang telah dilakukan.

    Pada kesempatan tersebut juga dinyatakan bahwa pola kemitraan yang dilakukan

    oleh beberapa industri rokok tidak mungkin diseragamkan karena dipengaruhi

    juga oleh budaya setempat, tingkat pemahaman petani dan beberapa faktor

    lain. Industri rokok yang bermitra mengharapkan pemerintah berperan sebagai

    fasilitator, tetapi tidak menyeragamkan pola kemitraan yang telah ada.

    Rasanya keragaman pola kemitraan tersebut tidak menjadi masalah. Tetapi

    berdasarkan pengamatan selama ini, kemitraan dalam agribisnis tembakau yang

    dilakukan oleh satu-dua industri rokok masih memiliki kelemahan . Demikian

    juga di pihak petani, masih banyak hal yang melemahkan pencapaian sasaran

    kemitraan. Beberapa kelemahan sistem dalam kemitraan agribisnis tembakau

    akan dikemukakan sehingga dapat digunakan sebagai bahan perbandingan untuk

    melakukan perbaikan ke depan.

    1. Industri yang Bermitra

    Faktor penting yang perlu mendapat perhatian adalah kesiapan sumber

    daya manusia (SDM), inovasi teknologi, sarana produksi, sistem pembelian,

  • 21 Kemitraan Sektor Agribisnis Hendra (G211 12 015)

    dan sebagai pendukung adalah pembiayaan. Kesiapan beberapa industri

    rokok yang bermitra masih sangat bervariasi.

    a. Sumber Daya Manusia

    Sumber daya manusia yang dimaksud dalam pola kemitraan agribisnis

    tembakau adalah petugas lapangan. Kesiapan sumber daya manusia

    dari industri yang bermitra masih sangat bervariasi, ada yang tidak

    memiliki, ada yang memiliki tetapi jumlahnya belum cukup, tetapi

    ada juga yang telah mampu menyediakan dalam jumlah cukup.

    Selain jumlah SDM, hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah

    belum meratanya kapasitas atau kemampuan petugas lapangan yang

    dimiliki oleh industri.

    b. Inovasi Teknologi

    Sumber inovasi teknologi bermacam-macam, dapat berasal dari

    institusi penelitian pemerintah, swasta, luar negeri, atau yang

    dihasilkan oleh industri rokok sendiri. Beberapa industri yang bermitra

    sangat aktif mencari dan mengaplikasikan inovasi teknologi kepada

    petani mitranya. Beberapa industri lainnya tidak melakukan hal

    tersebut sehingga petani bebas melakukan pengelolaan tanamannya

    sesuai dengan kemampuan masing masing. Hal ini terjadi terutama

    pada industri yang melakukan kemitraan tetapi tidak menyediakan

    petugas lapangan. Akibatnya tembakau yang dihasilkan oleh petani

    mitranya sangat bervariasi.

    c. Sarana Produksi

    Heterogenitas tanaman dan tercampurnya varietas merupakan

    masalah yang krusial di beberapa daerah penghasil tembakau,

    terutama tembakau lokal. Hal tersebut dapat diatasi antara lain dengan

    menyediakan benih bermutu dan varietas yang sesuai dengan

    kebutuhan industri yang bermitra. Sayang hanya beberapa industri

    rokok yang peduli tentang masalah ini, sedangkan lainnya tidak

    berupaya untuk melakukan hal serupa. Sudah tentu produktivitas dan

    mutu tembakau yang dihasilkan oleh petani mitra juga sangat

    bervariasi. Sarana lain yang juga berpengaruh besar terhadap mutu

  • 22 Kemitraan Sektor Agribisnis Hendra (G211 12 015)

    tembakau adalah pupuk dan pestisida. Saat ini banyak produk pupuk

    dan pestisida yang beredar dan tidak teregistrasi. Organisasi dan

    manajemen kemitraan yang belum tertata dengan baik, menjad

    celah dan peluang pengedar produkproduk semacam itu memasukkan

    produknya sebagai paket bagi petani mitra. Beragamnya varietas

    dan sarana produksi yang digunakan akan memperbesar variasi produk

    yang diperoleh petani mitra.

    d. Sistem Pembelian Tembakau

    Sistem pembelian tembakau dalam kemitraan oleh beberapa industri

    rokok juga sangat bervariasi. Hampir semua industri rokok yang

    bermitra telah menyediakan tempat pembelian secara khusus,

    namun sistem yang diterapkan berbeda-beda. Penggunaan pedagang

    pengumpul (di Madura disebut bandol) memberikan peluang

    terjadinya kecurangan sehingga merugikan petani mitra. Dengan

    berbagai dalih seperti jumlah yang masuk ke gudang telah terpenuhi,

    mutu tidak sesuai, dan sebagainya, maka petani terpaksa menggunakan

    jasanya untuk memasukkan tembakau ke gudang mitranya. Dalam

    sistem kemitraan demikian, posisi petani tidak jelas dan lemah.

    Berbeda dengan sistem yang telah tertata dengan baik, petani dibina

    untuk menghasilkan mutu sesuai dengan kebutuhan industri. Dengan

    hasil yang dicapai tersebut petani mendapatkan penghargaan dan

    mempunyai posisi tawar yang baik sehingga tidak dirugikan. Dalam

    sistem kemitraan demikian, kedua belah pihak akan mendapat

    keuntungan.

    e. Pembiayaan

    Telah diungkap di atas bahwa banyak petani mitra yang membutuhkan

    modal usaha tani tembakau. Pinjaman modal usaha tani dari industri

    yang bermitra akan sangat membantu bagi petani. Jumlah dan sistem

    bantuan modal yang dilakukan sangat bervariasi. Beberapa

    perusahaan telah merancang agar modal pinjaman tersebut merupakan

    salah satu komponen yang tidak harus berlaku selamanya, tetapi

    bersifat sementara. Apabila petani menjadi lebih mampu maka

  • 23 Kemitraan Sektor Agribisnis Hendra (G211 12 015)

    bantuan tersebut harus dialihkan ke sumber pendanaan komersial agar

    petani tidak menjadi tergantung, tetapi berperilaku sebagai pelaku

    bisnis. Beberapa pengusaha lain belum mengarah ke sana sehingga

    tidak merangsang petani menjadi lebih profesional dan berperilaku

    bisnis serta mandiri.

    f. Petani yang Bermitra

    Secara umum petani juga mempunyai beberapa kelemahan sehingga

    menjadi kendala dalam mengelola usaha tani tembakaunya.

    Beberapa diantaranya adalah petani tidak mudah menerima inovasi

    teknologi, berpola konsumtif, tidak mempunyai informasi pasar yang

    memadai, dan modal usaha tani terbatas.

    g. Inovasi Teknologi

    Kebanyakan petani melakukan usaha tani tembakau secara

    tradisional, berdasarkan pengalaman turun-temurun. Akses terhadap

    inovasi teknologi sangat terbatas dan membutuhkan waktu lama

    untuk dapat menerima inovasi teknologi. Hal ini terjadi karena petani

    khawatir bila mengadopsiteknologi baru menyebabkan produknya

    berubah sehingga tidak dapat diterima oleh konsumen, yaitu industri

    rokok. Bagi petani yang bermitra akan lebih mudah menerima inovasi

    teknologi yang berasal dari industri mitranya karena yakin bahwa

    dengan penerapan teknologi tersebut maka tembakau yang dihasilkan

    tetap dibeli oleh industri yang mengintroduksi teknologi tersebut.

    h. Pola Konsumtif

    Hasil yang diperoleh dari usaha tani tembakau menjadi tumpuan bagi

    petani. Segala kebutuhan yang besar biasanya dibiayai dari hasil

    tembakau, misalnya hajatan, membangun rumah, membeli

    kendaraan, dan lain-lain. Dengan demikian maka hasil yang

    diperoleh dari tembakau habis untuk biaya tersebut tanpa berpikir

    menyisihkan nya untuk modal usaha tani berikutnya. Hal ini

    menyebabkan petani selalu kekurangan modal usahatani.

    i. Informasi Pasar

  • 24 Kemitraan Sektor Agribisnis Hendra (G211 12 015)

    Pada umumnya petani tidak mempunyai informasi pasar yang

    memadai. Informasi tersebut termasuk tentang mutu dan jumlah

    tembakau yang dibutuhkan. Dalam sistem kemitraan hal serupa dapat

    dialami oleh petani, terutama bila industri yang bermitra tidak memiliki

    petugas lapangan atau teknisi. Hal tersebut menjadi sasaran empuk bagi

    pelaku bisnis tembakau yang ingin mengambil keuntungan sebesar-

    besarnya. Petani tidak dapat membuat perencanaan secara baik

    sehingga posisi tawar petani selalu di pihak yang lemah. Kondisi

    demikian tidak terjadi bila industri rokok yang bermitra memiliki

    petugas lapangan. Para petugas sejak awal telah mengarahkan petani

    agar produk yang dihasilkan sesuai dengan kebutuhan industri,

    terutama mutunya. Dengan demikian maka petani tidak mengalami

    kesulitan dalam memasarkan hasil tembakaunya.

    4.3 Harapan Model Kemitraan Agribisnis Tembakau Yang Ideal

    Serad (2006) menyatakan bahwa kemitraan antara petani sebagai

    produsen dengan industri rokok atau industri hasil tembakau (IHT) sebagai

    konsumen adalah kelembagaan bisnis, bukan sosial. Kemitraan dibangun atas

    dasar prinsip saling membutuhkan, saling bergantung, dan saling

    menguntungkan. Kemitraan juga disertai dengan alih teknologi kepada petani

    agar dapat menghasilkan tembakau yang sesuai dengan kebutuhan industri

    rokok.Pengalaman menunjukkan bahwa alih teknologi bukan hal yang terlalu

    mudah, perlu waktu dan cara pendekatan yang sesuai. Melalui kemitraan, alih

    teknologi akan lebih mudah karena ada harapan tertentu dari petani. Dengan

    menerapkan teknologi dari industri yang bermitra atau dari sumber teknologi

    lainnya, maka produk tembakaunya lebih sesuai dengan yang diinginkan oleh

    industri mitra. Pola pikir demikian sebenarnya terlalu dangkal bila dikaitkan

    dengan konsep kemitraan sebagai bagian dari bisnis. Oleh karena itu alih teknologi

    kepada petani harus disertai juga dengan pendekatan untuk mengubah pola pikir

    dan perilaku petani sebagai interpreuneur sehingga mampu mengakses lembaga

    pendana komersial. Pada Gambar 1 diperlihatkan kelembagaan yang terlibat dalam

    kemitraan, termasuk instansi pemerintah yang berperan sebagai fasilitator.

  • 25 Kemitraan Sektor Agribisnis Hendra (G211 12 015)

    Gambar 1. Interaksi antarkelembagaan dalam kemitraan antara industri rokok dengan petani tembakau

    Dalam agribisnis tembakau perlu ada kemitraan antara pabrikan dengan

    petani yang difasilitasi oleh pemerintah (Rinto-Harno, 2006). Penerapan kemitraan

    di lapangan diserahkan kepada masingmasing industri rokok. Namun

    kenyataannya model kemitraan sangat beragam sehingga hasil yang dicapai juga

    sangat beragam. Salah satu faktor yang besar pengaruhnya adalah tidak semua

    industri menyiapkan SDM. Untuk mencapai hasil yang optimal Koeswanto

    (2003) menyatakan bahwa industri rokok yang bermitra wajib menyediakan

    petugas lapangan yang profesional dan wajib meningkatkan kemampuan petugas

    lapangan tersebut melalui pelatihan maupun uji coba dan demoplot yang

    dilakukan bersama dengan petani.

    Salah satu faktor penting dalam kemitraan sering terabaikan, yaitu

    penataan pemasaran tembakau hasil kemitraan. Dalam kemitraan, industri mitra

    perlu memberikan kriteria mutu yang jelas serta menyediakan tempat khusus

    untuk menampung tembakau petani secara reguler. Selanjutnya kedua belah

    pihak harus selalu memegang komitmen. Bila mutu yang dihasilkan tidak sesuai,

    Pemerintah Fasilitator

    Petani Mitra Industri Rokok

    Petugas Lapangan

    Lembaga Penelitian -Pemerintah

    -Swasta

    Lembaga Keuangan

  • 26 Kemitraan Sektor Agribisnis Hendra (G211 12 015)

    petani diberi alternatif untuk menjual tembakau hasil kemitraan kepada pihak

    lain, tetapi petani tetap harus memenuhi kewajiban lain yang terkait dengan

    kemitraan seperti pada Gambar 2. Sebaliknya dalam rangka kemitraan tersebut

    maka industri mitra tidak membeli tembakau dari petani bebas agar tidak

    mengurangi kesempatan bagi petani mitra.

    Pola Bebas Pola Kemitraan

    Gambar 2. Sistem dan jalur pemasaran tembakau dari petani kepada industri dalam pola kemitraan dan pola bebas

    Industri Rokok

    Pedagang Mitra Pedagang Bebas

    Gudang Pembelian Gudang Pembelian

  • 27 Kemitraan Sektor Agribisnis Hendra (G211 12 015)

    V. PENUTUP

    5.1 Kesimpulan

    Kemitraan merupakan hubungan kerjasama yang saling antara dua pihak

    yang didasari oleh rasa kepercayaan. Kemitraan dibidang pertanian dapat

    dibedakan menjadi kemitraan antar petani, kemitraan antara petani dengan

    perusahaa, kemitraan petani dengan pemerintah, dan kemitraan petani dengan

    pasar. Kemitraan tersebut terselenggara dengan menggunakan prisnsip saling

    mendukung dan saling mengembangkan. Pihak yang lain mendukung dan

    mengembangkan pihak lainnya dengan cara memenuhi atau menutupi kebutuhan

    atau kelemahan pihak lainnya, dan begitu pula sebaliknya. Sehingga dalam

    kemitraan terjadi terjadi hubungan timbal balik yang diharapkan saling

    menguntungkan.

    5.2 Saran

    Sampai saat ini sektor pertanian masih merupakan salah satu sektor yang

    dalam prakteknya masih banyak ditemukan permasalahan yang merugikan petani.

    Mulai dari kesulitan dalam akses permodalan, kesulitan dalam mendaptkan input,

    sampai pada harga jual yang diterima rendah. Untuk itu petani sebaiknya

    membentuk kemitraan dengan pihak-pihak tertentu untuk mengatasi permasalahan

    tersebut.

  • DAFTAR PUSTAKA

    Ditjenhort. 2001. Kebijakan Strategi dan Pengembangan Produksi Hortikultura:

    Rencana Strategis dan Program Kerja Tahun 2001-2004. Direktorat Jenderal

    Bina Produksi Hortikultura. Departemen Pertanian

    Erwidodo.1995. Transformasi Struktural dan Industrialisasi Pertanian

    dalamProsiding Agribisnis; Peluang dan Tantangan Agribisnis Perkebunan,

    Peternakan dan Perikanan. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian.

    Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.

    Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa

    Depdikbud, 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta.

    John L. Mariotti dalam Muhammad Jafar Hafsah, 1999. Kemitraan Usaha. Pustaka

    Sinar Harapan. Jakarta. hal. 51

    Julius Bobo, 2003. Transformasi Ekonomi Rakyat. PT. Pustaka Cidesindo, Jakarta.

    Keint L Fletcher, 1987. The Law of Partnership, The Law Book Company Limited.

    Syidney.

    Koeswanto, S. 2003. Pengalaman sebagai pengelola intensifikasi tembakau

    virginia. Prosiding Lokakarya Pengembangan Agribisnis Tembakau.

    Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Bogor. p. 3540.

    Lihat di dalam Munir Fuady, 1997. Pembiayaan Perusahaan Masa Kini (Tinjauan

    Hukum Bisnis). PT. Citra Aditya Bakti, hal. 165

    Lihat Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor. 9 tahun

    1995 tentang Usaha Kecil.

    Muhammad Jafar Hafsah, 1999. Kemitraan Usaha. Pustaka Sinar Harapan.

    Jakarta.

    Rinto-Harno. 2006. Tembakau dilihat dari sudut pandang pabrik rokok keretek.

    Prosiding Diskusi Panel Revitalisasi Sistem Agribisnis Tembakau Bahan

    Baku Rokok. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Bogor. p.

    912.

  • Saptana. 1999. Dampak Krisis Moneter dan Kebijaksanaan Pemerintah Terhadap

    Profitabilitas dan Dayasaing Sistem Komoditi Ayam Ras di Jawa Barat. Tesis

    S2. Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Program Pasca Sarjana, Institut

    Pertanian. Bogor.

    Serad, H.S.M. 2006. Usaha kemitraan dalam agribisnis tembakau. Prosiding

    Diskusi Panel Revitalisasi Sistem Agribisnis Tembakau Bahan Baku Rokok.

    Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Bogor. p. 1317.

    Sinaga, R.S. 1987. Pembangunan Pertanian Sistem Agribisnis dan Perusahaan Inti

    Rakyat. Ringkasan Kuliah. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian,

    Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.