referat nsaid edit done

Upload: stanislaus-stanley-suherman

Post on 11-Oct-2015

167 views

Category:

Documents


31 download

DESCRIPTION

nsaid

TRANSCRIPT

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan YME karena berkat rahmat dan petunjuk-Nya penulis dapat menyelesaikan referat berjudul Obat Anti Inflamasi Non Steroid ini tepat pada waktunya.

Referat ini dibuat dalam rangka memenuhi tugas kepaniteraan klinik di bagian Anestesi RSUD Cilegon. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Dublianus Sp.An, Dr. Evita Sp.An dan Dr. Tati Sp.An selaku dokter pembimbing dalam kepaniteraan klinik Anestesi ini dan rekan-rekan koas yang ikut membantu memberikan semangat dan dukungan moril.

Penulis menyadari bahwa referat ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak. Semoga referat ini dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan dalam bidang Anestesi khususnya dan bidang kedokteran yang lain pada umumnya.

Cilegon, 7 Agustus 2013

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

1

DAFTAR ISI

2

BAB I

Pendahuluan

3

BAB II

Tinjauan Pustaka

4BAB IIIPenutup

35DAFTAR PUSTAKA

36BAB I

PENDAHULUAN

Pasien datang ke berbagai pusat pelayanan kesehatan sebagian besar dengan keluhan nyeri. Penatalaksanaan kasus nyeri membutuhkan pemahaman akan proses patofisiologi nyeri terutama nyeri yang mengikuti suatu proses inflamasi. Berbagai modalitas tersedia dalam penanganan kasus nyeri namun pada nyeri modalitas pertama yang biasanya digunakan dalam penanganan nyeri adalah obat golongan nonopiat yaitu OAINS.

Sebagai analgetika, OAINS tidak selalu menimbulkan efek menguntungkan bagi penderita namun juga memiliki efek samping yang perlu diperhatikan yang kadangkala dapat berakibat fatal. Efek terapi dan efek samping OAINS berhubungan dengan mekanisme kerja sediaan ini pada enzim COX-1 dan COX-2 yang dibutuhkan dalam biosintesis prostaglandin. Prostaglandin sendiri merupakan sediaan pro-inflamasi, tetapi juga merupakan sediaan gastroprotektor. Seperti pisau bermata dua, maka penggunaan OAINS dengan cara kerja penghambat COX-1 maupun COX-2 perlu diketahui. Apabila kita bisa mengerti bagaimana farmakologi, farmakokinetik, dan interaksi obat obatan ini dalam hubungannya sebagai obat analgetik, maka akan sangat berguna dalam aplikasi penanganan nyeri baik sentral maupun perifer.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Mekanisme Nyeri sebagai Respon Peradangan

Nyeri timbul oleh karena aktivitas dan sensitivitas sistem nosiseptif (1). Dalam kondisi normal, reseptor tersebut tidak aktif namun dalam kondisi patologis misalnya inflamasi, nosiseptor menjadi sensitif bahkan hipersensitif. Bila terjadi kerusakan jaringan/ancaman kerusakan jaringan tubuh, akan menghasilkan sel-sel rusak dengan konsekuensi akan mengeluarkan berbagai jenis mediator inflamasi (zat-zat kimia bersifat algesik) yang berkumpul sekitarnya dan dapat menimbulkan nyeri seperti ion K, Ion H, asam laktat, serotonin, bradikinin, histamine dan prostaglandin.(2)Membran sel yang rusak akan mengeluarkan substansi khusus yang disebut eicosanoid (yang terdiri dari AA) dibentuk melalui kerja phospholipases (phospholipase A2 dan C serta dyglyceride lipase) pada membran phospholipid. Produk dari eicosanoid melalui tiga jalur utama dengan menggunakan oksigen sebagai kosubstrat mayor. Jalur tersebut antara lain jalur lipoksigenase, jalur epoksigenase, serta siklooksigenase. Lipoksigenase adalah dimana AA mengalami oksigenasi oleh mikrosomal sitokrom P450 monooksigenase dari hati dan ginjal.(2)

Gambar 2.1 Jalur pembentukan prostaglandinSumber: FitzGerald GA, Patrono CP. 2001

AA, asam lemak 20-karbon mengandung empat ikatan ganda, dibebaskan dari sn2 position dalam membran fosfolipid oleh fosfolipase A2, yang diaktifkan oleh beragam rangsangan. AA diubah oleh sintase prostaglandin G/H sitosol, yang memiliki aktivitas siklooksigenase (COX) dan hydroperoxidase (HOX). Sistem COX mengubah AA membentuk endoperoksida prostaglandin G2 (PGG2) yang nantinya akan bereaksi dengan hidroperoksidase untuk menjadi Prostaglandin H2 intermediet yang tidak stabil. Prostaglandin H2 diubah oleh isomerase spesifik jaringan untuk menjadi beberapa prostanoids sesuai dengan tipe sel tersebut Sebagian dari sel yang menggunakan prostanoids secara individual memberikan efek menonjol. IP merupakan reseptor prostasiklin, tromboksan dengan reseptor TP, DP sebagai reseptor prostaglandin D2, EP sebagai reseptor prostaglandin E2, dan FP sebagai reseptor prostaglandin F2a yang bekerja dengan target organ yang berbeda.(3)Mediator inflamasi utama adalah Prostaglandin (PG) E2 dan Prostasiklin (PGI2) yang merupakan produk dari aktivasi enzim COX-2. Misalnya, platelet akan mengubah endoperoksidase menjadi tromboksan A2 (TXA2) dimana endotelium vaskuler akan mengubah endoperoksida menjadi PGI2.

Prostaglandin mempunyai efek yang bermacam-macam terhadap pembuluh darah, terhadap saraf (nerve ending), terhadap sel yang terlibat dalam peradangan. Penelitian menyebutkan bahwa PG menyebabkan sensitisasi reseptor nyeri terhadap stimulasi mekanik dan kimiawi. Pada inflamasi akut dan kronis, prostaglandin E2 merupakan prostaglandin utama yang dihasilkan di perifer dan sentral. Pembentukan prostaglandin ini, baik di perifer dan sentral, dihambat oleh penghambat COX-2.(3)

Gambar 2.2 Mekanisme nyeri perifer

Sumber: Samad TA, et al. 2001.

Mekanisme modulasi nyeri di perifer adalah berawal dari adanya sensitisasi ujung syaraf oleh mediator prostaglandin E2 yang terbentuk akibat cedera jaringan dan oleh peningkatan jumlah enzim COX-2. Prostaglandin seperti PGE1 atau PGE2, melalui mekanismenya sendiri, bukan merupakan mediator penting dalam transmisi nyeri tapi mereka memberikan kontribusi dalam terjadinya hiperalgesia perifer dengan mensensitisasi sensori nosiseptif pada nerve ending untuk mediator lain (seperti misalnya histamin dan bradikinin) dan dengan mensensitisasi nosiseptor untuk berrespon terhadap stimulus yang tidak nosiseptif (misalnya sentuhan). Prostaglandin E2 berikatan dengan reseptor EP (Prostaglandin E) pada nosiseptif nerve ending, meningkatkan aksi dari fosfokinase intraseluler untuk meningkatkan permeabilitas sodium channel. Hasilnya adalah peningkatan potensial membran istirahat dan penurunan nilai ambang batas rangsangan. Sehingga dengan stimulus berintensitas rendah akan dapat merangsang nosiseptor (misalnya sentuhan dan pergerakan dapat mengakibatkan nyeri) yang disebut sebagai hiperalgesia.(4)Inflamasi perifer menyebabkan peningkatan produksi prostaglandin di sumsum tulang belakang. Prostaglandin dikenal memiliki aksi langsung pada tingkat korda spinalis untuk meningkatkan proses nosisepsi, terutama pada sensori neuron terminal dalam kornu dorsalis medula spinalis. Selain itu di cairan serebrospinal prostaglandin tidak terdeteksi pada keadaan normal, namun beberapa jam setelah inflamasi perifer kadar prostaglandin meningkat secara bermakna. Adanya tampilan COX-1 dan COX-2 di sumsum tulang belakang dan syaraf afferent primer mengisyaratkan bahwa sumsum tulang belakang adalah salah satu tempat kerja OAINS sebagai analgetik. Pemberian prostaglandin langsung ke sumsum tulang belakang dapat menimbulkan modulasi nyeri berupa hiperalgesia dan alodinia. Hal ini jelas memiliki aksi sentral.

Efek dari nyeri akut berhubungan dengan ekspresi COX-2 dan produksi PG pada medula spinalis dan otak. Peningkatan regulasi COX-2 secara sentral terutama diinduksi oleh interleukin-1. Penelitian menemukan bahwa interleukin 6 (IL-6) meningkatkan pembentukan IL-1 pada CNS yang dapat mengakibatkan peningkatan produksi COX-2 dan PGE2 sehingga menghasilkan hiperalgesia.(4)

2.2 Isoform COX

Pada awal tahun 1990-an ditemukan 2 jenis enzim siklooksigenase, yaitu siklooksigenase-1 (COX-1) dan siklooksigenase-2 (COX-2). Bentuk isoform COX memiliki 60% persamaan dalam stuktur molekuler namun memiliki perbedaan signifikan dalam ekspresi dan fungsinya.

2.2.1 Ekspresi COX-1 dan COX-2

Tipe COX-1 (COX-1) bersifat konstitusif yang dikeluarkan oleh sebagian besar sel dalam tubuh meliputi endotel vaskular, platelat dan tubulus renalis. Level COX-1 cukup stabil walaupun terdapat stimulus hormon dapat mempengaruhi peningkatannya. COX-1 merupakan house keeping enzyme yang mempunyai fungsi fisiologik atau homeostasis. (5) Aktivasi COX-1 akan menghasilkan prostaglandin yang mengatur fungsi fisiologis penting seperti sitoprotektif pada mukosa lambung, memelihara fungsi tubular ginjal dan platelet. Penghambatan terhadap aktivitas COX-1 akan menimbulkan efek samping seperti mudahnya terjadi perdarahan, gastrotoksisitas dan nefrotoksisitas.

Gambar 2.4 Hipotesis COX-1 dan COX-2

Sumber : Vane. 1971

Tipe COX-2 (COX-2) kebanyakan tidak dapat dideteksi pada sebagian besar jaringan dalam kondisi fisiologis normal namun selama inflamasi akut, ekspresi COX-2 meningkat signifikan 10 sampai 80 kali sebagai respon terhadap rangsangan sitokin dan mitogenik. Enzim COX-2 terdapat dalam jumlah sangat terbatas dalam keadaan basal pada otak dan koreks renalis, tetapi penelitian akhir-akhir ini menunjukkan bahwa COX-2 juga merupakan enzim konstitusif pada otak, ginjal, ovarium, uterus dan endotel. Peningkatan regulasi COX-2 sebagai respon sistemik tidak hanya pada segmen dari korda spinalis yang berrespon terhadap daerah trauma tapi juga melalui CNS yang melibatkan talamus, dan korteks serebral baik ipsi maupun kontralateral. (6)Tabel 2.1 Perbedaan Ekspresi COX-1 dan COX-2

COX-1COX-2

Terus distimulasi oleh tubuh

Konstitutif (konsentrasinya dalam tubuh tetap stabil)

Membuat prostaglandin digunakan sebagai dasar house keeping seluruhtubuh

Prostaglandin menstimulasi fungsi tubuh normal seperti produksi mukus lambung, peraturan asam lambung dan ekskresi air oleh ginjal Terinduksi (biasanya tidak dibentuk dalam sel normal)

Dibentuk hanya dalam sel khusus (EX a549 sel paru-paru)

Digunakan untuk sinyal rasa sakit dan peradangan

Menghasilkan prostaglandin untuk respon inflamasi

Dirangsang hanya sebagai bagian darirespons imun

Produksinya dirangsang oleh sitokin inflamasi dan faktor pertumbuhan

COX-1COX-2

Terus distimulasi oleh tubuh

Konstitutif (konsentrasinya dalam tubuh tetap stabil)

Membuat prostaglandin digunakan sebagai dasar house keeping seluruh tubuh

Prostaglandin menstimulasi fungsi tubuh normal seperti produksi mukus lambung, peraturan asam lambung dan ekskresi air oleh ginjal

Terinduksi (biasanya tidak dibentuk dalam sel normal)

Dibentuk hanya dalam sel khusus (EX a549 sel paru-paru)

Digunakan untuk sinyal rasa sakit dan peradangan

Menghasilkan prostaglandin untuk respon inflamasi

Dirangsang hanya sebagai bagian dari

respons imun

Produksinya dirangsang oleh sitokin inflamasi dan faktor pertumbuhan

2.2.1 COX-1 dan COX-2 dari Gen ke Protein

COX-1 dan COX-2 adalah isoenzymes. Isoenzyme secara genetis tergantung pada protein, gen-gen pada manusia untuk dua enzim ini terletak pada kromosom yang berbeda dan menunjukkan sifat yang berbeda. Gen COX-1 terletak pada kromosom 9, sedangkan COX-2 dikode oleh gen pada kromosom-1. Kedua gen juga berbeda dalam ukuran; gen COX-1 manusia dengan ukuran 22 Kb berisi 11 ekson, sedangkan gen COX-2 manusia mengandung hanya 10 ekson memiliki ukuran genom relatif kecil sebesar 8,3 Kb. Ukuran yang lebih kecil ini adalah karakteristiknya sehingga disebut earlyimmediate gen.(4)Tabel 2.2 Karakteristik Genetik COX-1 dan COX-2

Isoenzymes COX adalah enzim-enzim yang terikat membran di retikulum endoplasma (ER). Post modifikasi translasi, pemecahan sinyal peptida dan penyisipan ke membran ER menghasilkan glikosilasi protein matur COX-1 dan COX-2 dengan berat molekul 67000 dan 72 000 000 Da. Sebuah kekhususan COX-2 adalah struktur primernya yang terdiri dari peptida sinyal yang terpotong, dan pemasangan dari 18 tambahan asam amino yang bertindak sebagai epitop spesifik antibodi untuk COX-2. (3)2.2.2 Tempat Pengikatan COX-1 dan COX-2

Perbedaan yang signifikan antara dua enzim tampaknya situs pengikatan yang lebih besar pada COX-2 untuk OAINS. Perbedaan antara COX-1 dan COX-2 secara genetik ditentukan dan akibat dari pertukaran asam amino dalam protein enzim. Ternyata pertukaran valin di posisi 523 dalam COX-2 yang merupakan residu isoleusin relative besar untuk COX-1 di posisi yang sama sebagai situs aktif dari enzim menyebabkan modifikasi struktural. Modifikasi ini pada enzim COX-2 memungkinkan akses berupa tambahan hydrophilic side pocket, yang merupakan prasyarat untuk obat selektif terhadap COX-2. Akses ke side pocket ini dibatasi dalam kasus COX-1.

COX-1 dan COX-2 sedikit berbeda dalam struktur sehingga menemukan obat selektif untuk COX-2 memerlukan pemanfaatan hydrophilic side pocket. Karena aspirin nonselektif baik untuk COX-1 dan COX-2 maka obat ini menunjukkan duel efek Sebuah obat baru saat ini celecoxib disebut menunjukkan selektivitas untuk COX-2 sehingga hanya menghambat prostaglandin inflamasi dan tidak house keeping prostaglandin COX-1. Celecoxib berefek hanya pada COX-2.

Gambar 2.5 Struktur COX-1 dan COX-2

Sumber: Kurumbail RG, et al. 1996.

Studi-studi dari struktur 3D enzim statis telah sangat membantu dalam proses pemahaman mekanisme inhibisi enzim dan dalam mendesain komponen selektif. Namun, mereka lalai untuk mempertimbangkan bahwa enzim tersebut tidak statis dinamis. Oleh karena itu, faktor dinamis seperti fleksibilitas enzim dan pengaturan ulang rangkaian ikatan hydrogen pada jalan masuk tempat aktifasi harus dipertimbangkan juga dengan baik.

2.2.3 Metode Evaluasi Inhibitor COX(4)OAINS telah menunjukkan pengaruhnya melalui penghambatan sintesis PG oleh interaksi dengan siklooksigenase, sebagian besar uji model secara in vitro dan in vivo telah dikembangkan untuk mempelajari interaksi obat dengan metabolisme AA dan skrining komponen anti-inflamasi. Dengan mendeteksi dua isoenzyme, aspek selektivitas enzim harus dipertimbangkan juga. Inilah yang merupakan alasan adanya perlakuan yang berbeda dari agen anti-inflamasi terhadap COX-1 dan COX-2. Hal tersebut dinilai dengan IC50 pada COX-1 dan COX-2 manusia yang menghasilkan rasio COX-2 : COX-1 untuk flurbiprofen, indometasin dan derivate pyrazole yang mencerminkan perbedaan dalam potensi dan selektivitas obat terhadap COX.

Sementara itu, estimasi nilai-nilai IC50 dalam penghambatan COX-2:COX-1 telah diakui dan dipergunakan secara luas sebagai parameter untuk menentukan selektivitas enzim.

Tabel 2.3 Perbedaan Selektivias Jenis OAINS terhadap COX-1 dan COX-21

ObatRasio dari IC50 untuk COX-2/COX-1

Aspirin166

Indometasin60

Ibuprofen15

Diclofenac0,7

Naproksen0,6

Nebumetone0,2

Etodolak0,1

Rasio IC50 adalah konsentrasi penghambatan rata-rata dari obat yang digunakan untuk menghambat COX-2 maupun COX-1 dengan 50% dari obat tersebut. Nilai yang lebih besar menyatakan kemampuan obat untuk menghambat COX-2 lebih tinggi. Tempat pengikatan yang berbeda dari dua isoenzymes, dan interaksi obat dengan struktur protein COX-1 dan COX-2 berkontribusi dalam mengklarifikasi dan memahami farmakologis aksi dan spesifisitas obat. Penghambatan COX dapat bervariasi tergantung spesies dan model eksperimen, misalnya apabila model tidak mengandung protein akan menggagalkan ikatan kuat OAINS dengan model secara in vivo. Catatan bahwa nilai yang tertera merupakan hasil studi in vitro dan mungkin tidak dapat merefleksikan situasi secara klinis. Nilai hasil bagi tersebut, bagaimanapun, adalah sangat dibatasi karena tergantung pada sistem pengujian, jenis sel, stimulasi agen dan kondisi kultur yang digunakan.

Adapun jenis inhibitor COX adalah sebagai berikut: Inhibitor COX-1 atau COX-2 yang ireversibel.

Aspirin atau o-(acetoxyphenyl) hept-2-inyl-sulfida (APHS) acetylates yang merupakan asam amino serin sehingga AA endogen dicegah mencapai pusat katalitik

Kompetitif inhibitor COX-1 dan COX-2 yang reversibel.

Inhibitor seperti ibuprofen, piroksikam atau asam mefenaminik bersaing untuk berikatan dengan AA di pusat katalitik.

Slow time-dependent, inhibitor COX-1 dan COX-2 yang reversibel.

Indometasin dan flurbiprofen tampaknya berinteraksi secara ionik antara fungsi karboksilatnya dan residu arginin dari enzim ini. Efek ini tampaknya mempengaruhi helix D dari protein diikuti dengan hilangnya fleksibilitas protein enzim.

Slow, time-dependent, inhibitor dari COX-2 yang ireversibel.

Wakil dari kelompok ini adalah selektif COX-2 inhibitor seperti seperti celecoxib, rofecoxib dan lain-lain. Obat ini adalah inhibitor kompetitif yang lemah untuk COX-1, tapi menghambat COX-2 dalam proses yang slow time-dependent.

2.2.4 Inhibitor Isoform Siklooksigenase Selektif dan Nonselektif (6)Tiga kelas inhibitor siklooksigenase yang dikenal: aspirin disintesis dari asam salisilat; indometasin dan OAINS lain, dan modifikasi kimia yang sebagian besar didasarkan pada temuan dari model inflamasi dan mukosa lambung, dan selektif COX-2 inhibitor pertama, yaitu coxib (misalnya, celecoxib dan rofecoxib). Selektif siklooksigenase-2 inhibitor lain, seperti valdecoxib dan etoricoxib sedang dikembangkan.

Selektivitas untuk COX-2 dapat dinyatakan pada beberapa tingkat obat tersebut memiliki komponen yang mungkin selektif untuk COX-2. Perusahaan obat menggunakan selektivitas oleh tes in vitro selama skrining, karena tes ini relatif cepat dan sederhana. Namun, mereka tidak dapat mencerminkan kompleksitas interaksi obat-enzim in vivo. Untuk mengatasi masalah ini, tes-whole-blood assay dari aktivitas isoform siklooksigenase telah dikembangkan. Selama pembekuan darah (indeks aktivitas siklooksigenase-1 platelet) dan produksi prostaglandin E2 oleh lipopolisakarida bakteri dalam whole blood (indeks dari aktivitas siklooksigenase-2 monosit). Selektivitasnya secara klinis didasarkan pada toksisitas klinis (misalnya, visualisasi ulkus gastroduodenal secara endoskopik) atau akibat efek samping klinis dosis anti-inflamasi dari suatu obat inhibitor.

Ada dua persyaratan dasar untuk menguji hipotesis bahwa siklooksigenase-2 inhibitor yang ditoleransi lebih baik daripada OAINS nonselektif .

Pertama, obat itu tidak harus menghambat aktivitas siklooksigenase-1 sebagai target klinis yang relevan (mukosa gastrointestinal dan platelet) pada konsentrasi plasma terapeutik.

Kedua, titik akhir klinis yang dinilai harus mencerminkan toksisitas gastrointestinal akibat penghambatan siklooksigenase-1. Ketika timbul gejala ada pada masa akhir pengobatan, tidak pasti dipengaruhi oleh siklooksigenase-1, dan gejala mungkin tidak berhubungan dengan lesi. Ketika diendoskopi dan lesi tervisualisasikan pada masa akhir pengobatan, situasinya menjadi berbeda. Pembentukan lesi dipengaruhi oleh COX-1 namun juga belum dapat dipastikan. Menemukan lesi pada endoskopi sebenarnya prediksi dari kemungkinan komplikasi gastrointestinal yang serius, seperti perforasi, obstruksi, dan perdarahan. Memang pada masa akhir setelah pengobatan, perdarahan gastrointestinal merupakan yang paling serius dan mencerminkan kemungkinan bahwa hal ini terutama disebabkan penghambatan siklooksigenase-1 terhadap aktivitas platelet, bukan di mukosa lambung.

Gambar 2.6Faktor yang mempengaruhi selektifitas dan keamanan dalam penggunanan inhibitor COX-2

Sumber: Fitzgerald GA and Patrono C, 2001.

Seberapa baiknya hasil tes in vitro ini dalam memprediksi selektivitas saat pengukuran adalah memang banyak faktor menentukan respons klinis terhadap inhibitor siklooksigenase-2. Dengan demikian variabilitas genetik dalam protein target atau metabolisme enzim, interaksi antara obat-obatan, dan karakteristik pasien, seperti riwayat ulkus peptikum, dapat mempengaruhi baik efektivitas dan efek samping dari inhibitor siklooksigenase-2 dalam uji klinis.2.3 Terapi OAINS

OAINS pertama kali diperkenalkan pada tahun 1899. OAINS yang pertama adalah asam asetil salisilat yang diproduksi oleh Felix Hoffman dari Bayer Industries. Berdasarkan saran dari Hermann Dreser, senyawa tersebut diberi nama aspirin yang berasal dari gabungan kata bahasa Jerman untuk senyawa, acetylspirsure (spirea = nama genus tanaman asal obat tersebut, dan Sure = asam). (1)Hingga saat ini, OAINS banyak digunakan sebagai peresepan yang utama. Di banyak negara, OAINS terutama digunakan untuk gejala yang berhubungan dengan osteoarthritis. Indikasi lain meliputi sindroma nyeri miofasial, gout, demam, dismenore, migrain, nyeri perioperatif, dan profilaksis stroke dan infark miokard. OAINS memiliki spektrum luas dalam klinis, sehingga banyak digunakan sebagai peresepan. OAINS biasanya digunakan pada stadium nyeri yang lebih lanjut dari nyeri akut dan untuk pengobatan pada sindrom nyeri kronis.10 Aktivitas antiinflamasi OAINS mempunyai mekanisme kerja melalui penghambatan biosintesis prostaglandin. Aspirin dan OAINS yang lain, menghambat seluruh aktivitas jalur siklooksigenase dan seluruh sintesis prostaglandin.

Obat ini tersedia dalam kemasan yang dapat diberikan secara oral (tablet, kapsul, sirup), dalam kemasan suntik. Kemasan suntik dapat diberikan secara intra muskuler, dan intravena. Pemberian intravena dapat secara bolus atau infus. Obat ini juga tersedia dalam kemasan yang dapat diberikan secara supositoria.

2.3.1 Terapi OAINS Klasik (5)Penggunaan OAINS memegang peranan penting dalam penanganan inflamasi. Selama bertahun-tahun, penggunaan substansi terapi ini berkembang dengan cepat. Peranan penting inhibitor COX adalah dalam terapi antirematik. Substansi ini dibagi menjadi subdivisi antara lain, fenac, profen, dan derifat enol mengacu pada struktur kimianya. Substansi seperti indometacin, diclofenac, ibuprofen atau piroksikam hingga kini masih dipilih untuk digunakan sebagai agen terapeutik. Sejak dahulu diketahui adanya sifat asam dibutuhkan untuk kerja OAINS klasik. Sifat keasaman suatu OAINS mutlak menjadi pertimbangan dalam pemilihannya sebagai analgetik anti-inflamasi pada penderita kanker. Capone dkk (2003) menyatakan bahwa sediaan OAINS yang lebih bersifat asam akan memiliki nilai tambah dalam hal penetrasinya ke jaringan yang mengalami inflamasi dengan sendirinya akan memperbaiki manfaat klinis OAINS bersangkutan. Sekarang telah diketahui bahwa struktur ini menggambarkan jumlah formasi salt bridge antara grup carboxylic dari obat antiinflamasi dan ARG 120 pada dasar enzim siklooksigenasi yang menghambat aktivitas COX-1.

2.3.2 Inhibitor COX-2 dan selektif COX-2 (2)Sebelum identifikasi enzim COX-2, peneliti mengidentifikasi senyawa anti-inflamasi kuat, GKG-697, yang adalah inhibitor yang relatif lemah menghambat sintesis PG dari vesikula seminalis sapi, tetapi kuat dalam berbagai uji antiinflamasi assay. Sejumlah besar inhibitor COX-2 yang baru dikembangkan menunjukkan bagaimana menjanjikannya komponen ini sebagai agen antiinflamasi yang diharapkan. Lebih dari 500 inhibitor COX-2 telah diuraikan beberapa tahun terakhir

Mekanisme sentral nampaknya berperan utama pada aktivitas analgetik.12,13 COX-2 meningkat secara signifikan mengikuti trauma dengan proses inflamasi dan ketika input neural meningkatkan produksinya, faktor humoral juga memiliki peranan utama. Terapi yang bertujuan untuk mengurangi input sensorik ke susunan saraf sentral seperti blok anestesi regional atau epidural tidak dapat mencegah sensitisasi sentral COX-2 selama masih dipengaruhi aktivitas hormonal sehingga diperlukan tambahan terapi dengan inhibitor COX-2. Pengobatan dengan inhibitor COX-2 akan bermanfaat bila penyebab nyerinya adalah diinduksi COX-2 seperti pada sebagian besar kasus nyeri inflamasi, sebaliknya inhibitor COX-2 kurang bermanfaat pada nyeri neuropatik yang disebabkan oleh adanya aktivitas ektopik seperti misalnya pada : nyeri neuropati diabetik.

Komponen spesifik untuk memblok COX-1 sering kali gagal untuk menurunkan hiperalgesia, sehingga COX-2 dan campuran inhibitor COX-1/COX-2 adalah sebagai antihiperalgesia. Sehingga inhibitor COX-2 yang selektif mengalami perkembangan pesat sebagai goal untuk mencegah pembentukan prostaglandin yang dihubungkan dengan nyeri dan hiperalgesia dimana ketika mencegah pembentukan prostaglandin dibutuhkan kondisi normal fungsi gastrointestinal (GI), mukosa, ginjal dan pembuluh darah.Inhibitor COX-2 selektif, atau coxib, dikembangkan dalam upaya menghambat sintesis prostaglandin oleh isoenzim COX-2 diinduksi pada tempat peradangan tanpa mempengaruhi kerja konstitutif dari isoenzim COX-1 sebagai " house keeping" yang pada saluran pencernaan, ginjal, dan platelet. Coxib selektif mengikat dan memblokir tempat kerja dari enzim COX 2 jauh lebih efektif daripada COX-1. Inhibitor COX-2 mempunyai efek analgesik, antipiretik, dan anti-inflamasi serupa dengan OAINS nonselektif tapi dengan perkiraan mengurangi separuh efek samping gastrointestinal. Demikian juga, COX-2 inhibitor pada dosis biasa telah terbukti tidak memiliki pengaruh pada agregasi platelet, yang dimediasi oleh isoenzime COX-1. Akibatnya, COX-2 inhibitor tidak memberikan efek kardioprotektif seperti OAINS klasik yang nonselektif, yang mengakibatkan beberapa pasien memakai dosis rendah aspirin selain rejimen coxib untuk mempertahankan efek ini. Sayangnya, karena COX-2 adalah konstitutif aktif dalam ginjal, dianjurkan dosis inhibitor COX-2 yang menyebabkan toksisitas ginjal sama dengan OAINS klasik. Data klinis menyatakan tingginya kejadian trombotik kardiovaskular terkait dengan COX-2 inhibitor seperti rofecoxib dan valdecoxib, sehingga mereka ditarik dari pasaran. Sampai sekarang celecoxib telah diluncurkan untuk pengobatan proses inflamasi yang merupakan inhibitor COX-2 yang selektif.

2.3.3 Inhibitor COX-3 (2)Baru-baru ini ditemukan COX-3 pada tahun 2002 dan dianalisis relasi isozim ini baru untuk asetaminofen (Parasetamol), yang paling banyak digunakan dalam obat analgesik dunia. Berbagai penulis menyatakan bahwa penghambatan COX-3 dapat merupakan mekanisme primer sentral dimana obat ini dapat mengurangi rasa sakit dan mungkin demam. Walaupun beberapa pendapat menyatakan bahwa COX-3 memiliki peran dalam proses nyeri pada CNS, terdapat hanya sedikit bukti yang mendukung konsep tersebut. Konsekuensinya adalah klinis dan pengetahuan tentang isoenzim COX yang berkembang pesat dan mungkin dapat menawarkan harapan pengobatan masa depan untuk rasa sakit, inflamasi dan demam.

OAINS yang menghambat siklooksigenase, acetaminophen (parasetamol) merupakan inhibitor COX-3 . Asetaminofen atau parasetamol adalah turunan para-aminofenol. Saat ini yang paling sering digunakan obat analgesik dan antipiretik. Asetaminofen tidak memiliki sifat anti-inflamasi dan tidak menyebabkan lesi lambung. Karakteristik ini dijelaskan oleh fakta bahwa asetaminofen lebih bekerja dalam menghambat COX-3 di sistem saraf pusat, di mana obat ini dapat berpenetrasi secara mudah.

Pada dewasa, dosis biasa adalah 0,5 hingga 1 gram perasupan, diulang jika diperlukan tiga kali per hari. Bioavailabilitas obat ini melalui rute oral hampir sempurna; waktu paruh plasmanya sekitar dua jam. Biasanya konsentrasi asetaminofen pada plasma selama pengobatan berkisar 10-20 mg/L, ketika sampel darah diambil satu jam setelah administrasi obat. Obat ini dimetabolisme terutama menjadi glukuronat dan konjugat sulfat. Tapi pada saat keracunan, dalam ketiadaan simpanan glutathione endogen yang cukup untuk menetralisirnya, asetaminofen sebagian dapat berubah menjadi metabolit yang sangat beracun, N-asetil-p-benzoquinoneimine. Banyak preparat mengandung parasetamol sebagai bahan tunggal atau campuran kombinasi, misalnya dengan kodein

Dampak merugikan asetaminofen jarang terjadi dan biasanya ringan, yang sangat parah adalah keracunan, kadang-kadang fatal dalam ketiadaan pengobatan. Setelah periode asimtomatik, nekrosis hati yang ireversibel muncul sekitar hari ketiga atau keempat setelah awal keracunan tanpa didahului oleh tanda-tanda perubahan klinis. Kemudian, bertambah berat dan menyebabkan kegagalan hati akut pada hari kelima atau keenam. Nekrosis ini dapat dijelaskan melalui pembentukan metabolit beracun oleh mikrosom hati yang pada saat tertentu dapat dilemahkan oleh glutathione endogen dan sistein. Ketika glutathione endogen dan sistein kelelahan maka, keracunan muncul.

Obat Nacetylcysteine dan metionin dengan tingkat lebih rendah, diberikan asalkan dalam waktu delapan jam pertama setelah menelan parasetamol, adalah antidot yang efektif. Dalam hal dugaan keracunan asetaminofen, langkah-langkah berikut harus diambil: terkecuali pada overdosis yang volunter atau tidak disengaja,

1.Jika penentuan acetaminophen tidak sesegera mungkin, N-asetilsistein harus diberikan;

2.Jika penentuan acetaminophen adalah mungkin, perlu mengetahui jumlah konsentrasi obat dalam plasma menurut waktu keracunan. Konsentrasi plasma berikut ini dianggap sebagai overdosis:

200 mg / L, 4 jam setelah asupan asetaminofen

100 mg / L, 8 jam kemudian

50 mg / L, 12 jam kemudian.

Sebagian dari waktu keracunan umumnya tidak diketahui, adalah lebih baik untuk memulai pengobatan bila konsentrasi asetaminofen dapat dipastikan lebih tinggi daripada pada pengobatan biasa. N-asetilsistein dikelola sebagai antidot baik dengan rute oral atau perfusi intravena dalam dosis besar, 150 mg/kg pada awalnya, dan kemudian 75 mg/kg setiap empat jam selama dua sampai tiga hari. Selain N-asetilsistein, senyawa lain dapat mengurangi toksisitas acetaminophen; metionin yang dalam formulasi tertentu dikombinasikan sebagai pencegahan dasar keracunan asetaminofen. Asupan acetaminophen selama kehamilan, menurut data, saat ini belum dipastikan dapat meningkatkan risiko kelainan pada anak.

2.4 Farmakologi OAINS dalam Modulasi Nyeri (5)Pada umumnya, efek dari semua jenis obat yang tergolong OAINS dihubungkan dengan aksi primernya dalam menghambat arachidonate cyclooxygenase dan nantinya menghambat produksi prostaglandins. Golongan obat ini menghambat enzim siklooksigenase sehingga konversi AA menjadi PGG2 terganggu. Setiap obat menghambat siklooksigenase dengan cara yang berbeda. Khususnya Paracetamol, hambatan biosintesis PG hanya terjadi bila lingkungannya rendah kadar peroksid seperti di hipotalamus. Lokasi inflamasi biasanya banyak mengandung peroksid yang dihasilkan oleh leukosit. Ini dapat menjelaskan mengapa efek inflamasi dari paracetamol praktis tidak ada.

Aspirin sendiri menghambat dengan mengasetilasi gugus aktif serin dari enzim ini, trombosit sangat rentan terhadap penghambatan ini karena mengakibatkan sel ini tidak mampu mengadakan regenerasi enzimnya sehingga dosis tunggal aspirin 40 mg sehari telah cukup untuk menghambat siklooksigenase trombosit manusia selama masa hidup trombosit. Indometacin dan piroksikam memiliki efek antiinflamasi yang kuat daripada yang lain namun berbeda dalam toksisitas dan tingkat toleransi pasien terhadap masing-masing obat tersebut.

Efek antiinflamasi dari OAINS terutama dihubungkan dengan penghambatan COX-2, apabila obat ini digunakan sebagai agen anti inflamasi akan terjadi efek yang tidak diinginkan khususnya mempengaruhi traktus gastrointestinal yang sebagian besar diakibatkan dari penghambatan COX-1. Apabila diberikan penghambat selective COX-2 inhibitor maka tidak akan menekan produksi PGE2 di lambung dan juga tidak mempengaruhi fungsi trombosit (yang spesifik untuk COX-1) sehingga tidak terjadi efek samping pada saluran makan maupun perdarahan.

2.4.1 Farmakodinamik (7)Aktifitas antiinflamasi dari OAINS dimediasi melalui penghambatan biosintesis dari prostaglandin. Beberapa OAINS memiliki mekanisme tambahan meliputi penghambatan kemotaksis, penurunkan regulasi dan produksi interleukin 1, menurunkan produksi radikal bebas dan superoksida serta ikut serta dalam mekanisme intraseluler yang dimediasi kalsium.

Selektivitas terhadap COX-1 dan COX-2 bervariasi dan tidak komplit untuk semua jenis obat tapi yang memiliki selektivitas kuat dalam menghambat COX-2, celecoxib, sudah tersedia dan merupakan penghambat COX-2 yang sangat selektif yang pernah ada. Inhibitor COX-2 yang sangat selektif tidak mempengaruhi fungsi platelet pada dosis biasa. Suatu anggapan yang tak benar adalah bahwa semua OAINS memiliki efek terapi yang sama, sehingga suatu OAINS tertentu dapat digunakan sebagai pengganti OAINS lain terhadap indikasi tertentu. Pada tes yang menggunakan whole blood, aspirin, indometasin, piroksikam dan sundilak lebih efektif dalam menghambat COX-1; ibuprofen dan meklofenamat sama-sama menghambat kedua isoenzim tersebut, dan metabolit aktif nabumeton sedikit selektif terhadap COX-2. Dari semua obat OAINS yang tersedia, indometasin dan diklofenak telah dilaporkan mengurangi sintesis baik prostaglandin maupun leukotrin. Disisi lain, inhibitor yang sangat selektif COX-2 dapat meningkatkan insiden edema dan hipertensi.

Aktivitas antiinflamasi OAINS dicapai terutama melalui inhibisi sintesis prostaglandin. Berbagai OAINS memiliki beberapa kemungkinan mekanisme aksi tambahan meliputi: inhibisi kemotaksis, penurunan produksi interleukin-1, penurunan produksi radikal bebas dan superoksida serta mengganggu proses-proses intrasel yang dimediasi oleh kalsium. Aspirin menimbulkan asetilasi dan inhbisi siklooksigenase dari platelet secara ireversibel sedangkan sebagian besar nonselektif COX inhibitor merupakan inhibitor reversibel. Selektivitas untuk COX-1 versus COX-2 bervariasi dan inkomplit bagi beberapa jenis OAINS lama, namun saat ini telah tersedia inhibitor COX-2 yang sangat selektif (celecoxib, rofecoxib, dan valecoxib). Obat-obatan tersebut tidak mempengaruhi fungsi platelet bila diberikan sesuai dosis.

Saat ini diketahui bahwa hambatan isoform COX-1 berakibat timbulnya efek samping OAINS dan hambatan isoform COX-2 berkaitan dengan efek terapi yang diinginkan (yaitu analgetik dan antiinflamasi). Meskipun OAINS klasik dan OAINS dengan inhibitor COX-2 spesifik (COX-2 inhibitor; coxib) memberikan khasiat yang hampir sama, inhibitor COX-2 memiliki tampilan keamanan yang lebih baik.

Semua OAINS mampu mengiritasi gaster walaupun kelompok obat terbaru dapat menurunkan iritasi gaster dibandingkan dengan aspirin. Nefrotoksik juga dilaporkan sebagai efek samping OAINS, hepatotoksik juga dapat diakibatkan oleh beberapa OAINS. Nefrotoksik sebagian terjadi akibat pengaruh obat terhadap autiregulasi aliran darah ginjal yang dimodulasi prostaglandin.

Beberapa OAINS (aspirin) dapat menurunkan insiden kanker kolon jika dikonsumsi dalam jangka waktu lama. Beberapa penelitian epidemiologi menyatakan bahwa terdapat penurunan 50% resiko relatif ketika obat ini dikonsumsi selama 5 tahun atau lebih. Mekanisme ini belum jelas.

OAINS menurunkan sensitivitas pembuluh darah terhadap histamin dan bradikinin, mempengaruhi produksi limfokin dari limfosit T, dan membalikkan vasodilatasi. OAINS terbaru memiliki efek analgetik, antiinflamasi, dan antipiretik dalam tingkat yang bervariasi. Selain agen COX-2 selektif dan nonacetylated salicylates, semua OAINS terbaru juga memiliki efek inhibisi agregasi platelet. Semua.

2.4.2 Farmakokinetik (7)OAINS adalah kelompok obat yang memiliki kelas kimia yang berbeda-beda. Perbedaan kimiawi tersebut menimbulkan karakteristik farmakokinetik obat yang berbeda pula. Walaupun terdapat berbagai perbedaan dalam kinetik OAINS, namun secara umum memiliki komponen utama yang sama.

Sebagian besar obat diabsobsi baik dan tidak dipengaruhi oleh makanan. Obat-obat OAINS diabsorpsi secara cepat jika diberikan peroral, distribusi ke jaringan sangat terbatas (oleh karena berikatan kuat dengan protein), Sebagian besar obat OAINS juga dimetabolisme cepat, beberapa melalui fase I diikuti fase II dan yang lainnya melalui glukoronidase direk (fase II) saja. Proses metabolisme OAINS, pada sebagian besar obat, melalui jalur CYP3A atau CYP2C dari enzim P450 di hati. Ekskresi melalui ginjal merupakan rute paling penting dalam eliminasi obat (sirkulasi enterohepatik) dan memiliki kliren yang lambat. Pada kenyataannya, derajat iritasi traktus gastrointestinal berhubungan dengan kuantitas sirkulasi enterohepatik obat. Sebagian besar OAINS berikatan kuat dengan protein (~ 98%), khususnya albumin.

Walaupun diantara sebagian besar obat OAINS memiliki farmakokinetik yang sama, terdapat satu subklas obat yang unik yaitu salisilat yang lebih dikenal sebagai asetosal atau aspirin yang memiliki waktu paruh lama dengan meningkatkan dosis obat. Salisilat membutuhkan waktu 2 hari untuk mencapai steady state konsentrasinya dalam darah ketika 1,5 g/hari aspirin diberikan pada orang dewasa. Apabila menginginkan konsentrasi steady state dalam darah lebih dari 1 minggu maka dosis yang diperlukan adalah 3 g/hari. Salisilat juga dapat digeser oleh OAINS lain seperti naproksen dan phenylbutazone dari tempat ikatannya dengan plasma, meningkatkan konsentrasi bebasnya sehingga meningkatkan toksisitas obat ini.

Observasi terhadap efek toksik dari OAINS dihubungkan dengan waktu paruh obat pada plasma-semakin panjang waktu paruh yang digunakan dalam eliminasi obat maka resiko toksisitas terhadap obat ini juga semakin besar. Informasi tentang hubungan antara waktu paruh obat dan toksisitas OAINS didasari atas data epidemiologi retrospektif sehingga meningkatkan pemakaian OAINS sebagai obat dengan dosis satu kali sehari daripada penggunaan secara kontinyu yang dapat meningkatkan efek toksik terhadap tubuh.

Ikatan kuat OAINS dengan protein relevan khususnya jika dihubungkan dengan populasi lansia dimana pada lansia konsentrasi albumin serumnya sudah menurun sehingga mengakibatkan tingginya fraksi bebas OAINS dalam darah. Ketika fraksi bebas OAINS meningkat dalam darah maka efikasi obat tersebut akan meningkat yang juga meningkatkan toksisitas. Perlu diperhatikan pula dalam pemberian OAINS adalah interaksi obat tersebut dengan warfarin dimana ketika dikombinasi dengan nonselektif OAINS yang menghambat platelet, mengakibatkan peningkatan terhadap resiko perdarahan.

Farmakokinetik OAINS di cairan serebrospinal memberikan arti klinik tersendiri dalam hal efek terapi dan efek sampingnya. Untuk OAINS yang larut dalam lemak (oxyphenbutazone, indometasin, ketoprofen), pada kadar bentuk bebas OAINS berhubungan dengan kadarnya di cairan serebrospinal, tidak demikian halnya dengan yang larut dalam air (acetosal) (Bannwarth dkk, 1989). Selain itu OAINS yang telah terbukti mampu melewati sawar darah otak adalah diklofenak (Zecca dkk, 1991) dan nimesulide (Ferrario & Bianchi, 2003) Dari hasil penelitian Sanchez dkk (2002) diketahui bahwa kebanyakan OAINS bekerja multifaktorial dan tidak terbatas pada penghambatan aktivitas siklooksigenase. Modulasi nyeri inflamasi dapat juga berawal dari bebasnya berbagai mediator (multifaktor origin), seperti histamin, bradikinin dan sebagainya, bukan hanya diakibatkan oleh produk siklooksigenase prostaglandin. Oleh karena itu OAINS yang ideal hendaklah mampu menghambat aktivitas siklooksigenase dalam pembentukan prostaglandin dan menghambat efek mediator-mediator inflamasi lainnya.

Perbedaan efikasi obat antara OAINS dihubungkan dengan dosis relatif yang diberikan sebagai contohnya, diklofenak, indometasin, dan piroksikam memiliki perbedaan dalam bioavailability dan eliminasi antara satu pasien dengan pasien lain sehingga dipercayai bahwa perbedaan respon pasien terhadap obat mempengaruhi perbedaan farmakokinetik obat. Dengan demikian, perbedaan individu memberikan efek farmakodinamik obat yang berbeda pula terhadap OAINS.

2. 5 Klasifikasi OAINS (8)Proses sintesis COX sangat penting karena pada tahap ini obat-obatan OAINS menunjukkan efek terapeutiknya. Adapun jenis OAINS adalah sebagai berikut :

1) Aspirin

Farmakokinetik

Sodium salicylate dan aspirin (acetylated salicylate) merupakan anti inflamatorik dengan efektifitas yang sama, meskipun aspirin memiliki afek analgetik yang lebih kuat. Salicylates diabsorpsi dengan cepat di lambung dan bagian proksimal usus halus dan mencapai konsentrasi puncak dalam 1-2 jam. Aspirin pun demikian, dan dapat dihidrolisa dengan cepat (waktu paruh serum 15 menit) menjadi acetic acid dan salicylate oleh esterase di jaringan dan darah.

Salicylate berikatan dengan albumin, namun ikatan tersebut tersaturasi sehingga konsentrasi fraksi bebasnya meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi totalnya. Salicylate di dalam tubuh akan diekskresi tanpa melalui proses metabolism, namun jalur disposisi salicylate akan tersaturasi bila konsentrasinya dalam tubuh melampaui 600 mg. Selanjutnya, peningkatan dosis salicylate (aspirin) akan meningkatkan waktu paruh eliminasi salicylate menjadi 3-5 jam (untuk dosis 600 mg/hari), hingga 12-16 jam (untuk dosis > 3,6 gram/ hari). Alkalinisasi urine meningkatkan kecepatan ekskresi salicylate bebas dan konjugatnya yang larut dalam air (water soluble conjugate).

Mekanisme Aksi

Aksi analgetik, antipiretik dan antiinflamatorik barangkali disebabkan oleh inhibisi prostaglandin. Efek analgesik mungkin pula disebabkan oelh efek inhibitorik pada aksi produksi nyeri oleh bradikinin dan efek antipiretik kemungkinan disebabkan oleh vasodilatasi perifer. Salicylate adalah iritan gaster dan mempunyai implikasi dalam ulserasi lambung. Sebagai tambahan, aspirin menghambat aksi dari siklus endoperoksidase yang penting dalam sintesis tromboksan. Efek minor dalam respirasi dan metabolism intermedier muncul pada dosis tinggi.

Sodium salicylate dan aspirin diabsorpsi cepat di lambung dan usus dengan konsentrasi puncak dalam 1 jam setelah administrasi oral. Perubahan aspirin menjadi salicylate secara cepat terjadi setelah absopsi karena first pass effect yang muncul pada dinding usus kecil dan liver. Asam salicylate banyak diekskresikan tampa perubahan atau sebagai glysin conjugate.

Efek Anti Inflamasi

Aspirin adalah inhibitor non selektif bagi COX-1 dan COX-2, namun salicylate kurang efektif sebagai inhibitor kedua isoenzim tersebut. Aspirin dosis rendah (