skripsi rif'at _106033201192

Upload: hariry-anwar

Post on 19-Feb-2018

229 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 7/23/2019 Skripsi Rif'at _106033201192

    1/80

    PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FACHRY ALI

    SKRIPSI

    Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S. Sos)

    Diajukan Oleh:

    Rifat

    NIM: 106033201192

    PROGRAM STUDI ILMU POLITIK

    FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

    UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

    JAKARTA

    2011

  • 7/23/2019 Skripsi Rif'at _106033201192

    2/80

  • 7/23/2019 Skripsi Rif'at _106033201192

    3/80

  • 7/23/2019 Skripsi Rif'at _106033201192

    4/80

  • 7/23/2019 Skripsi Rif'at _106033201192

    5/80

    vii

    vii

    DAFTAR ISI

    HALAMAN PENGESAHAN .i

    HALAMAN PERNYATAAN .ii

    KATA PENGANTAR .iii

    ABSTRAKSI vi

    DAFTAR ISI vii

    BAB I PENDAHULUAN .1

    A. Latar Belakang Masalah ..1

    B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ..3

    C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 3

    D. Metode Penelitian 4

    E. Sistematika Penulisan ..5

    BAB II KAJIAN TEORI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM .7

    A. Definisi Politik Islam ..8

    B. Tipologi Pemikiran Politik Islam ...10

    C.

    Beberapa Konsep dalam Pemikiran Politik Islam: 19

    1. Islam dan Demokrasi ..19

    2. Islam dan Politik .........21

    BAB III BIOGRAFI POLITIK FACHRY ALI ...26

    A. Riwayat Hidup dan Latar Belakang Pendidikan .27

    B. Karya Tulis Ilmiah ..........31

  • 7/23/2019 Skripsi Rif'at _106033201192

    6/80

    viii

    vii

    BAB IV TEMA-TEMA PENTING DALAM PEMIKIRAN POLITIK

    ISLAM FACHRY ALI .37

    A.

    Islam dan Transformasi Masyarakat ...37

    B. Islam dan Masyarakat Madani 42

    C. Islam dan Ideologi Negara ..45

    D. Islam dan Budaya Lokal .50

    E. Islam dan Aktualisasi Politik .....53

    F. Analisis Pemikiran Politik Islam Fachry Ali .55

    BAB V PENUTUP 57

    A. Kesimpulan .58

    B. Saran-Saran .59

    DAFTAR PUSTAKA .....60

    LAMPIRAN-LAMPIRAN

  • 7/23/2019 Skripsi Rif'at _106033201192

    7/80

    1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Kajian politik Islam yang diterapkan di Indonesia telah banyak

    mengadopsi berbagai pemikir politik di dunia, khususnya Islam sendiri dan telah

    banyak melahirkan tokoh politik dalam berbagai bidang. Di antara tokoh politik

    itu adalah Fachry Ali, dia dikenal sebagai tokoh pemikir pembaruan Islam,

    pengamat politik, penulis buku, peneliti serta menjabat staf ahli dalam

    pemerintahan di Indonesia, dia yang memulai kuliah pembaruan pada 1974-1977

    di Fakultas Tarbiyah IAIN Jakarta dengan gelar sarjana muda. Lalu, kemudian

    melanjutkan kembali studinya pada 1982 dalam bidang Sejarah dan Kebudayaan

    Islam di Fakultas Adab, dan melanjutkan studi S2 untuk memperdalam ilmu

    pengetahuannya dalam bidang Sejarah di Monash University, Melbourne,

    Australia pada 1994.

    Tanpa menafikan peran para pemikir muslim lainnya, Fachry Ali telah

    meletakkan dengan kokoh dasar-dasar pemikiran pembaruan Islam dan Politik

    Islam di Indonesia dengan bingkai teori ilmu-ilmu sosial. Dia telah membentuk

    dan mempengaruhi proses integrasi keislaman dengan kemodernan (kekinian).1

    Banyak karya dan buku telah diterbitkannya sebagai bagian kepedulian

    dan kontribusinya dalam mencari jalan keluar dari kebuntuan perdebatan

    mengenai politik Islam. Seperti yang dijelaskan Fachry Ali dan Bahtiar Effendy

    dalam bukunya Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam

    1Bahtiar Effendy, Integrasi Studi Keagamaan dan Teori Ilmu Sosial,KompasRabu, 16

    Desember 2009.

  • 7/23/2019 Skripsi Rif'at _106033201192

    8/80

    2

    Indonesia Masa Orde Baru, dia memetakan empat gerbong yang tengah

    berkembang kala itu, yakni neo-modernisme Islam, sosialisme demokrasi Islam,

    universalisme Islam, dan modernisme Islam2. Dari keempat gerbong tersebut

    pembaruan dimulai dengan dua tindakan yang saling erat kaitannya, yakni

    melepaskan diri dari nilai-nilai tradisional, dan mencari nilai-nilai yang

    berorientasi ke masa depan.3 Dan masih banyak lagi karya-karya dia dari awal

    terbit sampai saat ini masih dipergunakan dan masih sangat relevan untuk

    mengkomparasikan perpolitikan nasional.

    Ini menunjukkan, pentingnya ilmu sosial dalam memahami soal sosial

    keagamaan dan politik Islam di Indonesia. Jadi bagi penulis tokoh Fachry Ali ini

    penting untuk dikaji sebab dari karya-karya dia mempunyai pengaruh besar

    terhadap pemikiran Islam dan politik di Indonesia dalam melihat berbagai

    fenomena keagamaan Islam dan dia juga mengkritik dan meneliti sejumlah

    persoalan sosial-politik yang berkembang di Tanah Air. Selain itu, dia juga

    mengajak dan mempengaruhi mahasiswa dan koleganya seperti, Komaruddin

    Hidayat dan Bahtiar Effendy untuk terlibat dalam penelitian empiris dan

    mendiskusikan banyak hal: riset perdamaian, filsafat, sosial-politik, tafsir, dan

    pesantren. Karena, Fachry mampu membicarakan persoalan Islam, baik dalam

    dimensi normatif maupun historis, yang melibatkan isu-isu sosial-budaya,

    ekonomi, dan politik yang lebih bersifat praktis.

    Dari pandangan kritis inilah yang menarik perhatian penulis untuk

    memahami lebih tajam mengenai Islam, ideologi negara dan masyarakat serta

    2 Hanifudin Mahfuds, Mengharap Demokrasi di Indonesia Ditata Ulang, Majalah

    Dinamika, Edisi 05/tahun II, (Mei 2009), h. 9.3Fachry Ali, Golongan Agama dan Etika Kekuasaan: Keharusan Demokratisasi Dalam

    Islam Indonesia, (Jakarta: Risalah Gusti, 1996), h. 339.

  • 7/23/2019 Skripsi Rif'at _106033201192

    9/80

    3

    aktualisasi politik Islam menurut Fachry Ali. Di samping itu, penulis juga akan

    mencoba mencari letak berdirinya Fachry Ali dalam pemikiran politik Islam.

    Untuk itu, penulis tertarik mengkajinya melalui skripsi yang berjudul: Pemikiran

    Politik Islam Fachry Ali.

    B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

    Agar pembahasan mengenai tema pemikiran politik Islam tidak terlalu

    melebar, penulis akan membatasi pembahasan ini pada konsep pemikiran politik

    Islam yang ditawarkan Fachry Ali dengan mengurai beberapa teori dan perspektif

    yang diajukannya yang mempunyai pengaruh besar terhadap pemikiran Islam dan

    politik di Indonesia dalam melihat berbagai fenomena terkait keagamaan Islam

    dan sejumlah persoalan sosial-politik yang berkembang di Tanah Air.

    Dengan pembatasan masalah seperti itu, maka permasalahan yang akan

    menjadi rumusan penulisan ini adalah bagaimana pola pikiran politik mengenai

    Islam khususnya dan bagaimana cara melepaskan diri dari nilai-nilai tradisional

    dan mencari nilai-nilai kemodernan (kekinian) yang berorientasi ke masa depan?.

    C.

    Tujuan dan Manfaat penelitian

    Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui dan memahami secara jelas

    rumusan ideal yang ditawarkan Fachry Ali soal politik Islam. Serta melakukan

    analisis kritis terhadapnya. Sementara itu, manfaat penelitian ini adalah untuk

    mengetahui hal-hal sebagai berikut :

    1.Mengetahui latar belakang Fachry Ali dalam merumuskan pemikiran

    politik Islam.

  • 7/23/2019 Skripsi Rif'at _106033201192

    10/80

    4

    2.Mengetahui pemikiran Fachry Ali mengenai politik Islam dan

    pengaruhnya dalam hal melepaskan diri dari nilai-nilai tradisional, dan

    mencari nilai-nilai kemodernan (kekinian) yang berorientasi ke masa

    depan.

    Selain itu, tujuan penulisan skripsi Pemikiran Politik Islam Fachry Ali ini

    juga sebagai upaya menghargai karya tokoh intelektual yang lahir dari kalangan

    internal Fakultas Adab dan Humaniora dan Fakultas Tarbiyah UIN Syarif

    Hidayatullah Jakarta. Fachry Ali merupakan salah satu sosok yang layak

    dikategorikan sebagai tokoh intelektual yang konsen terhadap pembahasan teori

    sosial dan politik.

    D. Metode Penelitian

    Dalam menyusun skripsi ini, penulis menggunakan suatu metodologi

    penelitian, yaitu:

    1. Studi Kepustakaan

    Studi kepustakaan bertujuan untuk memperoleh data melalui sumber

    bacaan meliputi buku-buku dan artikel yang ditulis Fachry Ali. Selain itu,

    studi kepustakaan ini akan diperkaya dengan sejumlah data yang ada di

    media massa seperti koran, majalah, dan jurnal yang berkaitan dengan

    pemikiran Fachry Ali soal politik Islam.

    2.

    Wawancara Tokoh

    Sebagai data pendukung dan pelengkap skripsi, penulis juga akan

    melakukan wawancara langsung dengan Fachry Ali selaku tokoh yang

    diangkat dalam skripsi ini. Dari wawancara ini diharapkan mampu

  • 7/23/2019 Skripsi Rif'at _106033201192

    11/80

    5

    menemukan pemikiran orisinil Fachry Ali terkait dengan pemikiran politik

    Islam.

    Sementara teknik penulisan dalam penelitian ini, analisis data yang

    digunakan bersifat kualitatif dengan teknik pembahasan deskriptif analisis yang

    bertujuan menggambarkan konsep ideal pemikiran politik Islam menurut Fachry

    Ali. Pengumpulan data, pembahasan masalah, dan penulisan dalam skripsi ini

    disesuaikan dengan standar penulisan karya ilmiah (skripsi, tesis, dan disertasi)

    yang diterbitkan Center For Quality Development and Assurance(CeQDA) UIN

    Syarif Hidayatullah Jakarta.

    E. Sistematika Penulisan

    Penelitian ini berjudul: Pemikiran Politik Islam Fachry Ali, pada bab I

    dipaparkan latar belakang masalah, pokok-pokok masalah, tujuan, metode, serta

    sistematika penulisan. Uraian pada bab II, disajikan pemaparan dengan jelas

    tentang perspektif hingga tipologi pemikiran politik Islam, selanjutnya beberapa

    konsep dalam pemikiran politik Islam seperti, Islam dan negara, Islam dan politik.

    Pada bab III, disajikan dengan jelas tentang riwayat hidup, latar belakang

    pendidikan serta karya tulis ilmiah Fachry Ali. Di bab IV, penulis mengawali

    dengan mendeskripsikan dan menganalisis tema penting pemikiran Fachry Ali

    Seperti: Islam dan Transformasi Masyarakat, Islam dan Masyarakat Madani,

    Islam dan Ideologi Negara, Islam dan Aktualisasi Politik.

    Selain itu, pada bab IV ini penulis akan mengakhiri dengan analisis

    terhadap pemikiran politik Islam Fachry Ali. Terutama dalam kehidupan

    bernegara saat ini di Indonesia, khususnya pandangan Fachry Ali mengenai

  • 7/23/2019 Skripsi Rif'at _106033201192

    12/80

    6

    melepaskan diri dari nilai-nilai tradisional dan mencari nilai-nilai kemodernan

    (kekinian) yang berorientasi ke masa depan.

    Pada bab V, penulis menyimpulkan dari seluruh bahasan dan tema-tema

    yang menjadi fokus kajian serta merekomendasikan sejumlah saran terkait dengan

    pemikiran politik Islam khususnya mengenai bagaimana melepaskan diri dari

    nilai-nilai tradisional dan mencari nilai-nilai kemodernan (kekinian) yang

    berorientasi ke masa depan.

  • 7/23/2019 Skripsi Rif'at _106033201192

    13/80

    7

    BAB II

    KAJIAN TEORI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM

    Di antara fenomena yang disadari oleh sebagian pengkaji teori-teori politik

    secara umum adalah adanya hubungan yang erat antara timbulnya pemikiran-

    pemikiran politik dengan perkembangan kejadian-kejadian historis. Jika fenomena

    itu benar bagi suatu jenis atau madzhab pemikiran tertentu, dalam bidang

    pemikiran apapun, hal itu bagi pertumbuhan dan perkembangan teori-teori politik

    Islam amatlah jelas benarnya. Teori-teori ini, terutama pada fase-fase

    pertumbuhan pertamanya berkaitan amat erat dengan kejadian-kejadian sejarah

    Islam. Hingga hal itu harus di lihat seakan-akan keduanya adalah seperti dua sisi

    dari satu mata uang atau dua bagian yang saling melengkapi satu sama lain.1

    Karena adanya hubungan antara dua segi, yaitu segi teoretis dan realistis,

    maka jelaslah masing-masing dari kedua hal itu tidak dapat dipahami tanpa

    keberadaan yang lain. Metode terbaik untuk mempelajari teori-teori ini adalah

    dengan mengkajinya sambil diiringi dengan realitas-realitas sejarah yang

    berkaitan dengannya. Secara berurutan sesuai dengan fase-fase perkembangan

    historisnya yang sekaligus merupakan runtutan alami dan secara logis. Sehingga

    dapat dipahami hakikat hubungan yang mengkaitkan antara dua segi tersebut,

    maka dapat memperjelas pendapat-pendapat dan dapat menunjukkan bumi yang

    menjadi tempat tumbuhnya masing-masing pemikiran hingga berbuah dan

    mencapai kematangannya.

    2

    Fachry Ali, merupakan salah satu tokoh yang turut meramaikan dunia

    perpolitikan di Indonesia. Walaupun dia terlahir dari latar belakang pendidikan

    1Muhammad Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2002), h. 1.

    2Ibid., h. 2.

  • 7/23/2019 Skripsi Rif'at _106033201192

    14/80

    8

    yang terkonsentrasi pada bidang sejarah, tetapi dia berjasa besar dalam

    mengaitkan Islam dan politik dengan menggunakan sudut pandang pemikiran

    ilmu sosial. Oleh karena itu, melalui pemikiran politiknya penulis akan mencoba

    menguraikan satu persatu arah pikiran Fachry, yang tidak hanya memusatkan

    perhatiannya pada masalah-masalah keagamaan, tetapi juga membicarakan

    kehidupan sosial politik masyarakat Muslim di Indonesia.

    A.

    Definisi Politik Islam

    Politik berkaitan dengan segala sesuatu yang berkenaan dengan

    pengelolaan negara beserta ruang lingkupnya. Pengaitan pengelolaan negara

    bertujuan agar fungsi-fungsi kenegaraan berjalan dengan baik. Pengelolaan

    tersebut pada akhirnya tidak hanya berkaitan dengan sistem negara, tetapi juga

    berkaitan pada prilaku politik dan institusi politik dalam negara. Jadi hakekat

    politik adalah prilaku manusia, baik berupa aktifitas ataupun sikap, yang bertujuan

    mempengaruhi dan mempertahankan tatanan sebuah masyarakat dengan

    menggunakan kekuasaan.3

    Seringkali kita tidak peduli dengan apa yang dimaksud dengan politik

    Islam dan Islam politik. Kedua istilah tersebut seringkali diidentifikasikan sama

    padahal ketika orang berbicara tentang istilah politik Islam, kalau menurut Ahmad

    Syafii Maarif mengatakan bahwa politik Islam adalah upaya untuk menjadikan

    prinsip-prinsip dasar (doktrin) Islam sebagai acuan dalam membuat kebijakan

    politik, yaitu untuk kepentingan seluruh bangsa tanpa melihat perbedaan agama

    3 Abdul Muin Salim, Fiqih Siyasah: Konsep Kekuasaan Politik dalam Al-Quran

    (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), h. 37.

  • 7/23/2019 Skripsi Rif'at _106033201192

    15/80

    9

    dan keyakinan hidup.4 Sedangkan islam politik tidak lain sebagai bagian dari

    fragmen (peristiwa) politik yang dilakukan oleh orang atau suatu komunitas

    Muslim dengan segenap perilaku dan capaian-capaian politik yang dihasilkannya.5

    Oleh karenanya, sintesa di antara keduanya tidak lain berkaitan dengan

    rangkaian upaya epistimologis dengan mencari titik pertemuan. Politik Islam

    berkaitan dengan sebuah rangkaian doktrin Islam yang bersifat universal dan

    Islam politik yang lebih bersifat profan karena dapat berubah sesuai dengan

    konteks ruang dan waktu. Dalam kasus Indonesia sebagaimana upaya

    mempertemukan antara keislaman dan keindonesiaan, yaitu keislaman yang

    bersifat universal dan keindonesiaan yang bersifat lokal, sintesa di antara

    keduanya kemudian menghasilkan format Islam yang khas Indonesia tanpa

    kemudian menghilangkan ciri keuniversalitasan Islam.

    Melihat kondisi politik dan kultur masyarakat Indonesia yang mayoritas

    Islam, maka menurut Fachry Ali, definisi politik Islam dalam arti keIndonesian

    adalah adanya nilai-nilai Islam yang direfleksikan di dalam demokrasi pancasila,

    agar tercipta kolaborasi antara nilai-nilai Islam yang dapat mengokohkan

    demokrasi pancasila sehingga terciptalah masyarakat yang adil dan makmur.6

    Melalui paradigma politik Islam tersebut, Fachry Ali telah meletakkan

    dengan kokoh dasar-dasar pemikiran pembaruan Islam dan politik Islam di

    4 Ahmad Syafii Maarif, Islam& Politik: Upaya Membingkai Peradaban (Cirebon:

    Pustaka Dinamika, 1999), h. 70.5 M. Alfan Alfian, Islam Politik PPP,Republika, 17 Desember 1998.

    6 Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam: Perkembangan

    Pemikiran Islam Masa Orde Baru(Bandung: Mizan, 1986), h. 167.

  • 7/23/2019 Skripsi Rif'at _106033201192

    16/80

    10

    Indonesia dengan bingkai teori ilmu-ilmu sosial. Ia telah membentuk dan

    mempengaruhi proses integrasi keislaman dengan kemodernan (kekinian).7

    Istilah politik Islam berarti siyasah shariyyah yang diartikan sebagai

    ketentuan kebijaksanaan pengurusan masalah kenegaraan yang berdasarkan

    syariat Islam. siyasah shariyyahdiartikan sebagai pengelolaan masalah-masalah

    umum bagi pemerintah Islam yang menjamin terciptanya kemaslahatan dan

    terhindarnya kemudaratan dari masyarakat Islam, dan tidak bertentangan dengan

    ketentuan syariat Islam dan prinsip-prinsip umumnya, meskipun tidak sejalan

    dengan pendapat para ulama mujtahid.8 Definisi ini dipertegas lagi oleh

    Abdurrahman Taj yang merumuskan siyasah shariyyah sebagai hukum-hukum

    yang mengatur kepentingan negara, mengorganisasi permasalahan umat sesuai

    dengan jiwa (semangat) syariat dan dasar-dasarnya yang universal demi

    terciptanya tujuan-tujuan kemasyarakatan, walaupun pengaturan tersebut tidak

    ditegaskan oleh al-Quran dan al-Sunnah.

    Dari beberapa definisi di atas, maka menurut Munawir Sjadzali definisi

    politik Islam yang dikemukakan oleh para tokoh Islam terbagi menjadi beberapa

    bagian yaitu Islam substantif dan Islam fundamental. Di mana aliran substantif

    mendefinisikan bahwa perlunya nilai-nilai politik Islam diterapkan dalam sebuah

    negara, meskipun negara itu berasaskan selain Islam. Sedangkan, aliran

    7Bahtiar Effendy, Integrasi Studi Keagamaan dan Teori Ilmu Sosial, KompasRabu, 16

    Desember 2009.8Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam (Jakarta: Gaya

    Media Pratama, 2001), h. 5.

  • 7/23/2019 Skripsi Rif'at _106033201192

    17/80

    11

    fundamental mendefinisikan politik Islam dalam arti penerapan asas dan nilai-

    nilai Islam secara keseluruhan dalam sebuah negara.9

    Dengan demikian, di dalam praktik politik Islam tidak lain adalah

    mengimplementasikan prinsip-prinsip universalitas Islam ke dalam bingkai

    praksis politik terkait dengan kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara.

    B. Tipologi Pemikiran Politik Islam

    Banyak konstruk pemikiran yang melahirkan berbagai pandangan tentang

    bagaimana kita, sebagai kaum muslimin menyikapi politik. Tentang bentuk

    kenegaraan yang seperti apa yang harus dipakai oleh suatu negara. Dari beberapa

    pemikiran para tokoh itu semua yang akhirnya mengarah pada karakter dan

    tipologi politik Islam itu sendiri. Namun secara umum para pemikir membaginya

    dalam tripologi. Dalam pandangan A. Djazuli, beliau membagi kerangka berpikir

    dunia Islam dewasa ini menjadi tiga tipe pertama, liberal (sekuler) yaitu negara

    menolak hukum Islam secara penuh, kedua, fundamental (integralistik) yaitu

    negara melaksanakan hukum Islam secara penuh, ketiga, moderat (simbiotik)

    yaitu negara yang tidak menjadikan sebagai suatu kekuatan struktural (dalam

    sektor politik), tetapi menempatkannya sebagai kekuatan kultural, atau mencari

    kompromi.10

    Sedangkan menurut Din. Syamsuddin, paradigma pemikiran politik

    Islam modern dibagi atas tradisionalis, modernis, fundamentalis.11

    9Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran (Jakarta:

    UI-Press, 1990), h. 1-2.10

    A. Djazuli, Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-rambuSyariah (Bogor: Prenada Media, 2003), h. 39.

    11M. Din Syamsuddin,Islam dan Politik: Era Orde Baru (Jakarta: PT. Logos Wacana

    Ilmu, 2001), h. 116.

  • 7/23/2019 Skripsi Rif'at _106033201192

    18/80

    12

    1. Tipologi Liberal

    Secara harfiah istilah liberal berarti bebas, yang menghendaki adanya

    kebebasan individu. Masyarakat liberal adalah representasi (perwakilan) dari

    sebuah komunitas yang didalamnya setiap individu mempunyai kebebasan untuk

    bertindak, dalam kebebasan untuk berbeda pendapat, kebebasan untuk memeluk

    agama, dan berbagai bentuk kebebasan yang berkaitan dengan terpenuhinya

    tuntutan Hak Asasi Manusia (HAM) dan demokratisasi.

    Paradigma liberal, sesuai dengan maknanya yang sederhana, adalah bebas,

    merdeka dan tidak terikat. Apabila diletakkan dalam konteks pemikiran, maka

    seorang yang memiliki tipikal berfikir liberal adalah mereka yang bebas untuk

    berfikir dan mengeluarkan pendapat serta merdeka tanpa harus terikat pada segala

    bentuk pengetahuan dan otoritas manapun. Model demikian biasanya menjunjung

    tinggi martabat pribadi manusia dan kemerdekaannya. Manusia sebagaimana yang

    pernah menjadi diktum (keputusan) awal renaissance (lahir kembali) adalah

    subyek otonom. Subyek yang memiliki kesadaran berfikir, berbuat dan

    bertindak.12

    Pola liberal ini menekankan pemisahan antara agama dan negara, yang

    menyatakan bahwa Islam tidak ditemukan aturan-aturan yang berkaitan dengan

    masalah politik atau kenegaraan. Islam hanyalah mengatur hubungan antara

    manusia dan Tuhan. Para penganut tokoh ini beranggapan bahwa agama itu

    bersifat universal sedangkan politik itu portikular(individu), maka dari itu antara

    agama dan politik tidak bisa bersatu. Kelompok yang memisahkan agama dan

    negara ini menekankan agrumentasi bahwa tidak ada ayat yang secara tegas

    12Listiono Santoso, Teologi Politik Gus Dur (Jogjakarta: Ar-Ruzz Jogjakarta, 2004), h.

    89.

  • 7/23/2019 Skripsi Rif'at _106033201192

    19/80

    13

    mewajibkan pembentukan pemerintahan dan negara, sekaligus menekankan

    bahwa pembentukan pemerintahan tidaklah masuk dalam tugas yang di wahyukan

    Tuhan kepada Nabi Muhammad SAW. Beliau hanya rasul yang membawa risalah

    agama saja, tidak termasuk printah membentuk negara.

    Tipologi seperti ini, tidak sejalan dengan apa yang dikonsepkan oleh

    Fachry Ali, karena dalam salah satu karyanya yaitu Islam Pancasila dan

    Pergulatan Politik, dia menulis bahwa paham liberal tidak sesuai dengan kondisi

    sosial kultural masyarakat Indonesia yang bersifat ketimur-timuran, sehingga

    paham liberal dalam arti kebebasan, yang dijadikan oleh orang-orang barat

    sebagai pola kehidupan mereka dalam berbagai bidang termasuk didalamnya

    politik, tidak sejalan dengan pola pikir masyarakat Indonesia.

    Oleh karena itu, Islam di Indonesia menurut Fachry lebih baik sesuai

    dengan cita-cita kemerdekaan bahwa pancasila sebagai asas negara bisa

    mengkordinir masyarakat Indonesia yang bersifat plural yang memiliki

    kepercayaan terhadap agamanya masing-masing, di mana paham liberal yang

    diajarkan oleh orang-orang barat tidak sesuai dengan agama-agama atau

    kepercayaan masyarakat Indonesia. Dia memiliki asumsi bahwa kehadiran agama

    di Indonesia dengan masyarakat yang majemuk tidak bisa dielakkan dan tidak bisa

    lepas dari kepercayaan masyarakat yang menimbulkan fanatisme bagi

    pengikutnya. Dan inilah yang memperjelas bahwa tipologi liberal tidak sesuai

    dengan keyakinan serta asas pancasila.

    13

    13 Fachry Ali,Islam, Pancasila, dan Pergulatan Politik(Jakarta: Pustaka Antara, 1984),

    h. 189-191.

  • 7/23/2019 Skripsi Rif'at _106033201192

    20/80

    14

    2. Tipologi Fundamental

    Secara harfiah istilah fundamental berarti mendasar, yang digunakan untuk

    menunjuk sikap politik suatu kelompok yang ekstrim, fanatik dan keras kepala.

    Golongan mengungkapkan bahwa Islam mencakup semua aturan kehidupan,

    termasuk urusan politik atau kenegaraan. Argumen yang diberikan oleh kelompok

    ini, bahwa nabi telah selesai dan telah memberikan garis panduan yang jelas

    seperti ketika nabi berada di Madinah.

    Fundamentalisme dalam Islam mempunyai akar sejarah yang panjang. Ia

    muncul secara tiba-tiba seperti disinyalir oleh para penulis di barat, yaitu sejak

    Revolusi Iran, Afghanistan dan Lebanon. Berangkat dari sudut pandang diatas,

    melihat akar-akar historis dan perkembangan gerakan fundamentalisme Islam

    kontemporer dimulai pada fase awal sejarah perkembangan Islam klasik.14

    Mula-mula gerakan ini muncul dipelopori oleh seorang fuqoha Imam

    Ahmad Ibn Hanbal atau yang dikenal dengan pendiri madzhab Hanbali (780-855

    M). Kemunculannya sebagai reaksi atas kecendrungan menguatnya aliran

    rasionalis yang dipelopori oleh Mutazilah dan didukung oleh pemerintahan Bani

    Abbas. Pemikiran rasionalis dinilai tidak Islami, karena terpengaruh oleh filsafat

    Yunani, yang bertentangan dengan al-Quran dan as-Sunnah. Untuk itu, Imam

    Ahmad berusaha membangun dasar-dasar teologis, dan berhasil meletakkan

    pondasi gerakan salafi.15

    Sekitar tahun 1970-an, ada dua arus besar fundamentalisme Islam. Salah

    satunya adalah nada dan organisasinya bercorak tradisional, yang merupakan

    14 Mohammad Nurkhaim, Islam Responsif: Agama di Tengah Pergulatan Idiologi

    Politik dan Budaya Global, (Skripsi S1Universitas Muhammadiyah Malang, 2005), h. 102.15Ibid., h. 103.

  • 7/23/2019 Skripsi Rif'at _106033201192

    21/80

    15

    kelangsungan dari garis yang terdahulu, yaitu berupa gerakan-gerakan

    fundamentalis militan. Bentuk fundamentalisme ini sangat jelas dalam monarki

    Saudi, tetapi sejumlah asosiasi fundamentalis juga terus berlanjut dalam format-

    format yang terlembaga dan mempertahankan pandangan-pandangan ideologis

    yang sejak lama didefinisikan dan ditegaskan. Pergeseran penekanan kembali

    pada tema-tema Islam yang murni selama dekade tersebut memberikan

    kemungkinan pada kelompok-kelompok ini untuk mendapatkan visibilitas

    (keadaan) dan prestise (masalah) yang lebih besar, dan dibeberapa wilayah,

    kelompok-kelompok fundamentalis tradisional menjadi kekuatan-kekuatan sosio-

    politik yang penting.16

    Di samping garis perkembangan fundamentalisme tersebut, tahun 1970-an

    merupakan suatu periode dimana bentuk fundamentalis juga memiliki bentuk

    radikal. Fundementalisme radikal terikat dalam suatu reorientasi tentang tradisi

    Islam. Radikalisme ini merupakan sintesis dari radikalisme yang telah

    ditransformasikan pada tahun 1960-an dan semangat fundementalisme Islam.

    Fundamentalis radikal menekankan partisipasi masa, kontrol partisipatori,

    identitas unit yang kecil dan menghilangkan perbedaan-perbedaan sosio-politik

    lama.17

    Pada perkembangan berikutnya, di India muncul seorang pemikir yang

    cukup radikal, yakni Abul Ala al-Maududi. Ia tidak hanya seorang pemikir, tetapi

    sekaligus aktifis partai politik yang mencita-citakan berlakunya negara berdasar

    Islam. Partai yang didirikannya adalah Jemaat Islami. Oleh para pengamat barat

    16 John Obert Voll, Politik Islam: Kelangsungan dan Perubahan di Dunia Modern

    (Jogjakarta: Titian Ilahi Press, 1997), h. 90.17Ibid., h. 356.

  • 7/23/2019 Skripsi Rif'at _106033201192

    22/80

    16

    ia digolongkan sebagai pemikir fundamentalis. Pemikir di Mesir yang juga radikal

    adalah Hasan al-Bana dan Sayyid Qutb. Dua tokoh ini adalah pemimpin tertinggi

    Ikhwanul Muslimin, sebuah gerakan Islam yang mencita-citakan berlakunya

    syariat Islam di Mesir yang memiliki jaringan luas di berbagai dunia Islam.18

    Menurut Fachry Ali tipologi fundamental yang memiliki akar sejarah

    bahwa dalam sebuah negara itu harus sesuai dengan syariat Islam baik dalam segi

    politik, ekonomi, hukum, kultur, hubungan sosial, dan sampai kepada ranah

    birokrasi kenegaraan pun harus sesuai dengan nash(ayat) yang dituliskan dalam

    al-Quran dan al-Sunnah.19

    Hal ini senada dengan pemahaman para cendikiawan

    muslim Indonesia bahwa Islam fundamental ini bersifat tekstual sehingga dalam

    mempraktekan Islam yang sesuai dengan kitab sucinya tidak dipahami secara

    kontekstual atau diselaraskan dengan kondisi politik saat ini yang sudah

    berkembang pesat.20

    Pancasila yang memiliki tujuan bersama dan menyatukan berbagai ras,

    suku bangsa, dan adat istiadat, dan kepercayaan yang beragam, akan hancur bila

    tipologi fundamentalisme ini diterapkan di Indonesia. Hal ini sesuai dengan

    realitas saat ini yang disebutkan oleh Fachry bahwa isu terorisme, dan kekerasan-

    kekerasan yang terjadi dan menimpa Indonesia saat ini justru menjadikan kondisi

    politik di Indonesia menjadi kurang stabil, bahkan masyarakat Indonesia dihantui

    oleh rasa takut dan ancaman (teror).21

    18Didin Saefuddin, Pemikiran Modern dan Postmodern Islam (Jakarta: PT. Grasindo,

    2003), h. 6.19

    Fachry Ali,Islam, Pancasila, dan Pergulatan Politik(Jakarta: Pustaka Antara, 1984),

    h. 5-7.20

    Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran (Jakarta:

    UI-Press, 1990), h. 1.21Wawancara pribadi dengan Fachry Ali, Jakarta, 10 Mei 2011.

  • 7/23/2019 Skripsi Rif'at _106033201192

    23/80

    17

    3. Tipologi Moderat (Reformis dan Sintesis)

    Pemikiran ini mengutarakan bahwa dalam Islam tidak ada aturan yang

    pasti tentang masalah politik atau tata negara, namun ada prinsip atau asas yang

    harus ditegakkan. Memang Rasulullah SAW bukan diutus sebagai pemimpin

    politik, tetapi sebagai rasul. Perlu diketahui, konsep kerasulan beliau tidak sebatas

    menyampaikan pesan Allah (dakwah). Yang paling berat adalah menjadi contoh

    dari suri-tauladan dalam melaksanakan Islam sebagai cara hidup (way of life).

    Dalam masa yang singkat, beliau telah berhasil membuat perubahan dan reformasi

    kesesuaian dimana budaya, pemikiran dan sosio-politik bangsa Arab maju dan

    gemilang. Semua perubahan ini berlaku karena beliau telah membuat perancangan

    dan program yang jitu dan bijaksana. Ini dapat dilihat bagaimana beliau berhijrah,

    membina persaudaraan, membentuk tatanan sosial, membangun ekonomi, politik,

    dan sosial umat Islam Madinah. Pengkaji-pengkaji politik Islam setuju dengan

    pendapat Muhammad Hamidullah yang mengatakan piagam Madinah yang

    dirumuskan oleh Rasulullah adalah satu perlembagaan pertama di dunia karena

    dicipta di masa dunia diperintah dengan sistem monarki tidak berperlembagaan

    dan tidak mengenal kedaulatan undang-undang (supremacy of law). Ini tentunya

    bukan suatu kebetulan.22

    Dari ketiga tipologi pemikiran politik Islam itu, Fachry Ali sebagai tokoh

    intelektual Islam dia lebih condong kepada tipologi moderat reformis, karena hal

    itu menurutnya lebih cocok untuk kondisi politik keIndonesiaan. Seperti apa yang

    diungkapkan dalam salah satu karyanya Merambah Jalan Baru Islam, dia

    mengatakan bahwa penganut sistem ini memandang bahwa sistem politik Islam

    22 Abdul Sani, Lintasan Sejarah Perkembangan Modern dalam Islam (Jakarta: PT.

    Grafindo Persada, 2003), h. 257.

  • 7/23/2019 Skripsi Rif'at _106033201192

    24/80

    18

    sebagian besarnya merupakan ijtihad, al-Quran tidak menjabarkan secara detail

    tentang bentuk pemerintahan, mekanisme, dan pelaksanaan lapangan. Tetapi

    cukup banyak prinsip-prinsip pemerintahan perlu dijadikan pedoman dalam

    berpolitik. Dan ini sudah cukup untuk mewarnai sistem politik Islam untuk

    membedakannya dengan sistem politik sekular atau sistem pemerintahan yang

    despotik dan teokratik.23

    Fachry Ali, menyatakan tentang tipologi gerakan intelektualisme Islam

    dalam neo-modernisme. Gerakan pemikiran neo-modernisme merupakan gerakan

    pemikiran Islam yang muncul di Indonesia sekitar tahun 1970-an.24

    Gerakan ini

    lahir dari tradisi modernisme Islam yang terdahulu dan telah cukup mapan di

    Indonesia. Akan tetapi dia memakai pendekatan yang lebih khas dari sisi konsepsi

    maupun aplikasi ide-ide. Begitu juga dalam pemikiran modernisme, lebih banyak

    mengadopsi gagasan barat dalam perspektif pemikiran barat. Sehingga ada kesan

    orisinalitas pemikiran Islam telah terbaratkan dalam wacana modernisme. Jadi

    pemikiran neo-modernisme mengambil bentuk paling mutakhir baik dalam terma-

    terma keIslaman maupun metodologisnya.25

    Modernisasi dengan developmentalisme seperti yang dikutip Fachry Ali

    dan Bahtiar Effendy mengatakan telah melahirkan persoalan-persoalan baru

    seperti sentralisasi kekuasaan ditangan pemerintah, lemahnya posisi rakyat dalam

    tawar menawar dengan pemerintah, semakin tingginya tingkat kesenjangan sosial

    dan ekonomi antara pusat dan daerah, kota dan desa, kaya dan miskin, kaum

    23Despotik adalah pemerintahan yang hanya berdasarkan kekuasaan saja dan teokratik

    adalah negara merupakan kepanjangan tangan dari otoritas Tuhan dalam mewujudkan kehendak-Nya di muka Bumi ini.

    24Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam, h. 17.

    25Sani,Lintasan Sejarah, h. 258.

  • 7/23/2019 Skripsi Rif'at _106033201192

    25/80

    19

    terdidik dan tak terdidik, sektor modern dan tradisional dan lain-lain. Tesis

    Nurcholish Madjid dianggap oleh sekelompok generasi muda belum mampu

    berfungsi sebagai ideologi yang berdasar nilai-nilai Islam yang dapat digunakan

    dalam memberikan solusi alternatif terhadap persoalan-persoalan tersebut,26

    karena masih berupa kemewahan (luxury) intelektual belum menyentuh konteks

    riil kemasyarakatan yang sedang mengalami perubahan akibat proses-proses

    ekonomi-politik yang sedang berlangsung selama ini (Orde Baru-sekarang).27

    Kondisi inilah yang mendorong untuk mengkonstruksi pemikiran-

    pemikiran ideologi yang lebih jelas keberpihakannya, seperti Adi Sasono dan

    Dawam Rahardjo yang lebih menekankan pada upaya merefleksikan perubahan

    sosial ekonomi dan politik menuju terciptaya masyarakat yang adil dan

    demokratis dengan memadukan nilai-nilai Islam dan teori-teori pembangunan.28

    C.

    Beberapa Konsep dalam Pemikiran Politik Islam

    Dalam perkembangan politik Islam, banyak pemikir Islam, yang

    membahas tentang relevansi antara Islam dan politik, Islam dan demokrasi. Begitu

    pula Fachry Ali, dia memetakan antara kaitan Islam dengan demokrasi, dan Islam

    dengan politik.

    1. Islam dan Demokrasi

    Hubungan islam dengan demokrasi yang menjadi tema kajian cendikiawan

    muslim, dibahas dalam dua pendekatan: normatif dan empiris. Pada dataran

    normatif mereka mempersoalkan nilai-nilai demokrasi dari sudut pandangan

    26Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam, h. 160-161.

    27Ibid., h. 167.

    28Ibid., h. 161-162.

  • 7/23/2019 Skripsi Rif'at _106033201192

    26/80

    20

    islam. Sementara dari dataran empiris, mereka menganalisis implementasi

    demokrasi dalam praktek poliltik dan ketatanegaraan.

    Memperbincangkan hubungan Islam dan demokrasi pada dasarnya sangat

    aksiomatis(yang sudah jelas kebenarannya). Karena Islam merupakan agama dan

    risalah yang mengandung asas-asas yang mengatur ibadah, akhlak dan muamalat

    manusia. Sedangkan demokrasi hanya sebuah sistem pemerintahan dan

    mekanisme kerja antar anggota masyarakat serta simbol yang membawa banyak

    nilai-nilai positif.29

    Samuel P. Huntington dan Francis Fukuyama, memberikan penjelasan lain

    tentang sikap banyak pihak untuk tidak memasukkan sebagian negara-negara

    islam dalam analisis mereka tentang demokratisasi. Penekanan analisis atas

    kehidupan politik islam terutama yang berkembang di sebagian besar dunia Arab

    di atas persyaratan-persyaratan sosial sebuah sistem demokrasi bagi masyarakat

    manapun, telah mendorong mereka untuk berpendapat bahwa islam secara inheren

    tidaklah sesuai dengan demokrasi. Bahkan, oleh sementara pihak, islam telah

    dipandang sebagai ancaman besar terhadap kegiatan-kegiatan liberal.30

    Dikatakan seperti itu karena kebanyakan pandangan pengamat Barat

    tentang islam yang monolitis itu berasal dari pemahaman mereka yang terbatas

    tentang sifat dan esensi islam, baik dalam tataran ide (sebagaimana terdapat dalam

    Quran dan Sunnah) ataupun historis (sebagaimana tercermin dalam pengalaman

    kesejarahan umat islam).

    29Eko Taranggono, IslamDemokrasi artikel di akses pada 6 Juli 2011 dari

    http://jurnalushuluddin.files.wordpress.com/2008/03/islamdemokrasi.pdf30

    Bahtiar Effendy, dkk, Agama Dan Dialog Antar Peradaban ( Jakarta: Paramadina.

    1996), H. 87-91.

  • 7/23/2019 Skripsi Rif'at _106033201192

    27/80

    21

    Islam sebagaimana dilihat, dapat dipandang sebagai instrumen ilahiah

    untuk memahami dunia. Jika pendapat ini bisa dibenarkan, maka islam

    dibandingkan dengan agama lain sebenarnya merupakan agama yang paling

    mudah untuk menerima premis ini. Dasar utamanya terletak pada ciri islam yang

    paling menonjol, yaitu sifatnya yang hadir di mana-mana kehadiran islam

    memberikanpanduan moral yang benar bagi manusia.

    Berdasarkan penjelasan tentang unsur-unsur dasar sebuah sistem

    demokrasi, dapat dikatakan bahwa pada tataran normatif, prinsip-prinsip islam

    sesuai dengan nilai-nilai demokrasi. Huntington sendiri (terlepas dari

    pandangannya yang negatif tentang hubungan islam demokrasi) sebenarnya

    percaya bahwa nilai-nilai islam pada umumnya sesuai dengan persyaratan-

    persyaratan demokrasi.31

    Sebagaimana dikatakan Masykuri Abdilah,32

    sesungguhnya tidak ada

    aturan yang jelas dalam al-quran maupun hadis yang menyebutkan bantuk dan

    sistem negara yang harus dijalankan masyarakat muslim. Begitu pula, tidak ada

    aturan bagaimana mekanisme kekuasaan yang ada, apakah mesti ada pemisahan

    kekuasaan (separation of power), pembagian kekuasaan (distribution of power)

    atau penyatuan kekuasaan (integration of power) antara kekuasaan legislatif,

    eksekutif dan yudikatif. Pada masa Rasul semua kekuasaan, baik eksekutif,

    legislatif maupun yudikatif berada ditangan Rasul. Sebab, semua yang dilakukan

    rasul lebih untuk melaksanakan dan melindungi eksistensi risalah dan agama yang

    dibawanya dari pada untuk mempertahankan kekuasaannya.

    31Ibid., h. 91-98.

    32Masykuri Abdilah, Gagasan dan Tradisi Bernegara dalam Islam: Sebuah Perspektif

    Sejarah dan Demokrasi Modern, dalam jurnal Taswirul Afkar, no. 7 (Jakarta, 2000), h. 98.

  • 7/23/2019 Skripsi Rif'at _106033201192

    28/80

    22

    Dengan demikian, menurut Fachry Ali menghadapkan atau

    membandingkan Islam dengan demokrasi dalam arti sebagai sistem dan bentuk

    pemerintahan adalah sesuatu yang tidak tepat. Sebab, Islam sendiri tidak pernah

    berbicara tentang negara tertentu sebagaimana isi dan makna demokrasi.33

    2. Islam dan Politik

    Dalam kondisi kultur umat Islam sangatlah mempengaruhi kekuatan

    Politik. Di mana antara Islam dan politik sulit untuk dipisahkan kalaupun

    dipisahkan, justru hal ini akan mematikan kedua variabel itu, meskipun anggapan

    ini hanya terbatas pada negara-negara berkembang saja, namun kenyataannya

    adalah negara-negara berkembang itu selalu mengaitkan antara variabel agama

    dan politik. Sehingga pantas bila perkembangan politik di Indonesia selalu

    dikaitkan dengan Islam. Hal ini, dikarenakan negara-negara berkembang sulit

    untuk menerima suatu tatanan politik dengan pendekatan rasional.34

    Relevansi

    antara Islam dan politik ini, tidak hanya terjadi di Indonesia saja, tetapi juga

    negara-negara lain.

    Perkembangan Islam muncul sebagai kekuatan global yang kuat dalam

    politik muslim pada tahun 1970-an dan 1980-an. Ruang lingkup kebangkitan

    politik Islam mencakup seluruh dunia, dari Sudan sampai Indonesia. Kini, para

    pemimpin pemerintahan Islam dan oposisi lebih suka menggunakan agama untuk

    melegitimasi dan menggerakkan dukungan rakyat. Bahkan, para aktifis Islam kini

    banyak pula yang menduduki posisi-posisi ditingkat kabinet. Organisasi-

    organisasi banyak pula yang merupakan partai-partai oposisi dan ada yang

    33Wawancara pribadi dengan Fachry Ali, Jakarta, 10 Mei 2011.

    34Fachry Ali,Islam, Pancasila, dan Pergulatan Politik (Jakarta: Pustaka Antara, 1984),

    h. 2.

  • 7/23/2019 Skripsi Rif'at _106033201192

    29/80

    23

    menjadi organisasi terkemuka di Mesir, Tunisia, Maroko serta Indonesia. Mereka

    umumnya sedapat mungkin berpartisipasi dalam pemilihan umum untuk lebih

    meningkatkan peranan mereka dalam parlemen.

    Maraknya politik Islam ini banyak disoroti oleh Barat sebagai tumbuhnya

    fundamentalisme Islam. Istilah ini kurang pas bila diterapkan pada fenomena

    kebangkitan politik Islam. Istilah fundamentalisme terlalu dibebani oleh praduga

    Kristen dan Stereotip barat dan juga menyiratkan ancaman monolitik yang tidak

    pernah ada.35

    Muncul dan maraknya politik Islam ini tidak luput dari usaha

    kalangan Islamis yang ingin menyelamatkan dunia dari kemerosotan martabat

    manusia dengan cara kembali kepada nilai-nilai luhur Islam.

    Berkembangnya sekularisme dan sejenisnya yang juga telah melanda

    dunia Islam memang telah mencemaskan kalangan Islamis tentang kemungkinan

    kian kuatnya semangat pemisahan antara praktek keberagamaan dan praktek

    keduniaan. Mereka menganggap pemisahan tersebut tidak sesuai dengan ajaran al-

    Quran yang mngajarkan pengikut Islam untuk berislam secara kaffah, yakni tidak

    memisahkan antara kehidupan beragama dan kehidupan berpolitik. Ketika

    masyarakat telah dikotak-kotak ke dalam agama, politik, sosial dan seterusnya,

    mereka tidak lagi melihat keterkaitan bahwa manusia adalah multi dimensional.

    Pemisahan telah menyebabkan manusia dalam satu dimensi dan dapat diartikan

    telah merendahkan martabatnya sebagai manusia. Atas dasar pemahaman itu,

    maka kaum Islamis berusaha mengembalikan martabat manusia yang tidak

    terpisah-pisah dalam memandang hidup. Kaffah (totalitas) dalam ajaran Islam

    itulah yang dijadikan acuan mereka.

    35Jhon. L. Esposito, Ancaman Islam: Mitos atau Realitas(Bandung: Mizan, 1984), h.

    18.

  • 7/23/2019 Skripsi Rif'at _106033201192

    30/80

    24

    Indonesia sebagai satu negara yang berpenduduk muslim terbesar di dunia

    tampaknya tidak luput dari fenomena serupa. Fenomena itu telah mempengaruhi

    pola pembangunan, termasuk khususnya dalam konstelasi pembangunan politik

    dan ekonomi. Fenomena tersebut tentunya menarik untuk dikaji lebih mendalam.

    Keberhasilan pembangunan sering kali di nilai berdasarkan tolok ukur modernitas

    yang berasal dari barat.36

    Ajaran seperti ini juga diberlakukan di dunia yang

    mayoritas penduduknya menganut ajaran Islam. Akibatnya, dalam teori

    modernisasi, seringkali pembangunan disamakan dengan westernisasi dan

    sekularisasi masyarakat. Bahkan, sekularisasi dianggap sebagi syarat penting

    sebagai syarat modernisasi. Smith misalnya, secara jelas mengatakan sebagai

    salah satu proses dasarnya, pembangunan politik mencakup: sekularisasi politik,

    pemisahan agama dari sistem politik secara progresif.37

    Di Indonesia, istilah Islam politik seringkali dilawankan dengan Islam

    kultural. Islam politik secara umum dapat dipahami sebagai Islam yang

    ditampilkan sebagai basis ideologi yang kemudian dalam bentuk partai politik,

    atau Islam berusaha diwujudkan dalam kelembagaan politik resmi (eksekutif dan

    legislatif). Sedangkan Islam kultural merujuk pada Islam yang hanya bergerak di

    bidang dakwah, pendidikan, seni dan sebagainya tanpa sama sekali terlibat dalam

    politik.

    Mempersoalkan Islam dan politik tidak lepas dari wacana pemikiran

    tentang hubungan agama dan negara. Dalam Islam sudah ada kesepakatan bahwa

    sumber ajarannya adalah al-Quran, yang intinya memuat dua intisari ajaran yaitu

    36Ibid., h. 19.

    37Donald Eguene Smith,Agama dan Modernisasi(New Heaven: Yale University Press,

    1974), h. 4.

  • 7/23/2019 Skripsi Rif'at _106033201192

    31/80

    25

    aqidah dan syariah. Keduanya mempunyai hubungan yang erat. Tidak ada aqidah

    tanpa syariah, begitu juga sebaliknya. Aqidah yang menghubungkan manusia

    dengan Allah, yang disebut ibadah. Sedangkan syariah juga menghubungkan

    manusia dengan manusia, yang disebut muamalah. Sedangkan hubungan antara

    yang memerintah dengan yang diperintah disebut siyasah. Disinilah Islam dan

    politik berada.

    Maka Islam dan politik itu, pada dasarnya tidak terpisahkan. Islam tidak

    pernah memisahkan antara kegiatan profan dan sakral. Seperti halnya al-Ghazali

    yang telah menghubungkan ilmu politik secara erat dengan agama. Karena

    pegangan dari Nabi dan ucapan-ucapan yang ditingalkan oleh orang-orang yang

    suci.38

    38Zainal Abidin Ahmad, Konsepsi Negara Bermoral Menurut Imam al-Ghazali( Jakarta:

    Bulan-Bintang, 1975 ), h. 120.

  • 7/23/2019 Skripsi Rif'at _106033201192

    32/80

    26

    BAB III

    BIOGRAFI POLITIK FACHRY ALI

    Fachry Ali adalah termasuk salah satu tokoh nasional Indonesia paling

    berpengaruh di panggung politik nasional saat ini dan diprediksi akan mempunyai

    peran yang cukup signifikan dalam menentukan konfigurasi politik bangsa di masa-

    masa yang akan datang.

    Pemaparan di atas menunjukkan bahwa Fachry Ali diakui kapasitas,

    kapabilitas dan ketokohannya oleh publik baik di bidang pemikiran ataupun sepak

    terjang politiknya. Sehingga Fachry Ali yang lebih akrab dengan panggilan abang

    Fachry ini menjadi tokoh yang diperhitungkan dalam kancah politik Indonesia saat

    ini. Tentunya hal itu tidak semata-mata karena ia pernah menjadi mahasiswa IAIN

    (Institut Agama Islam Negeri) kini UIN (Universitas Islam Negeri) Syarif

    Hidayatullah Jakarta, akan tetapi karena ia berjasa dalam komitmen dan kontribusi

    ide-ide kebangsaan dan pergulatan panjangnya dalam sejarah perpolitikan yang

    diawali sejak masih muda.

    Untuk mengurai dan membaca karakter pemikirannya secara detail diperlukan

    penelusuran yang mendalam atas latar teoritis dan latar belakang sosio-kultural,

    pendidikan dan pengalaman dibidang organisasi, serta tokoh-tokoh yang berpengaruh

    dalam membentuk gugusan pengetahuan personalnya yang nantinya banyak

    menyumbangkan dan mengilhami pandangan-pandangannya dalam bidang politik.

  • 7/23/2019 Skripsi Rif'at _106033201192

    33/80

    27

    A. Riwayat Hidup dan Latar Belakang Pendidikan

    Fachry Ali adalah seorang tokoh pemikiran pembaruan Islam di Indonesia, ia

    yang meletakkan dan memanfaatkan pondasi pendekatan ilmu-ilmu sosial ketika

    mengkaji masalah-masalah keagamaan. Dalam hal ini, ia menjelaskan pentingnya

    pembaharuan Islam dengan kerangka dasar teori-teori ilmu sosial, seperti

    rasionalisasi, modernisasi, sekularisasi, teori perubahan sosial, dan teori

    ketergantungan.1

    Semenjak duduk dibangku kuliah, ia mulai mengenal berbagai tokoh politik

    mulai dari tokoh-tokoh politik dunia hingga tokoh politik nasional, dari yang klasik

    sampai kontemporer. Pada fase ini, Fachry berkenalan dengan beragam pemikiran

    politik mulai dari yang paling kiri hingga yang paling kanan.

    Keterlibatan Fachry dalam medan politik dimulai sejak ia menginjakkan kaki

    di bangku kuliah di UIN Ciputat, kemudian ia aktif di Himpunan Mahasiswa Islam

    (HMI) Komisariat Ciputat. HMI2 adalah Organisasi mahasiswa yang mempunyai

    kemampuan untuk mengikuti alam pikiran mahasiswa yang selalu menginginkan

    inovasi atau pembaharuan dalam segala bidang, termasuk pemahaman dan

    penghayatan ajaran agamanya, yaitu agama Islam. Tujuan tersebut tidak akan

    1 Bahtiar Effendy, Integrasi Studi Keagamaan dan Teori Ilmu Sosial,Kompas Rabu, 16

    Desember 2009.2

    HMI lahir ditengah-tengah suasana revolusi untuk mempertahankan kemerdekaan, yaitupada 5 Februari 1947 di kota Yogyakarta. Lafran Pane dan kawan-kawan merasa prihatin dengankondisi umat Islam saat itu yang terpecah-pecah dalam berbagai aliran keagamaan dan politik serta

    jurang kemiskinan dan kebodohan. Oleh karena itu dibutuhkan langkah-langkah strategis untukmengambil peranan dalam berbagai aspek kehidupan. Kemudian didirikanlah wadah perkumpulan

    mahasiswa Islam yang memiliki potensi besar bagi terbinanya insan akademik, pencipta, pengabdiyang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang

    diridhoi Allah.

  • 7/23/2019 Skripsi Rif'at _106033201192

    34/80

    28

    terlaksana kalau NKRI tidak merdeka, rakyatnya melarat. Maka organisasi ini harus

    turut mempertahankan negara Republik Indonesia kedalam dan keluar, serta ikut

    memperhatikan dan mengusahakan kemakmuran rakyat. Di organisasi inilah Fachry

    mulai bergelut dengan berbagai persoalan kebangsaan dan terlibat langsung dalam

    konfrontasi gerakan mahasiswa dengan Orde Lama yang sedang harmonis dengan

    kelompok komunis.

    Gerakan intelektual yang dilakukan HMI berfungsi merumuskan strategi-

    strategi yang diperlukan dalam berbagai aspek kehidupan. Bahkan melancarkan

    gerakannya lewat demontrasi-demontrasi di jalan. Sehingga HMI melahirkan gerakan

    pembaharuan pemikiran Islam kontemporer di Indonesia, telah menunjukkan

    karakternya sebagai the agent of control.3

    Fachry Ali dilahirkan di Susoh, Blang Pidie, Aceh Selatan pada 23 November

    1954. Fachry memulai pendidikan pada 1960-1965, ia belajar di Sekolah Rakyat

    Islam (SRI) Banda Aceh sampai dengan kelas IV, kemudian dia hijrah ke kota Jakarta

    kemudian melanjutkan kembali di Madrasah Ibtidaiyah Nurul Huda, Ragunan, Pasar

    Minggu, Jakarta Selatan pada 1966-1968.

    Tahun-tahun berikutnya, setelah tamat dari Madrasah Ibtidaiyah, ia

    bersekolah di Madrasah Tsanawiyah, Rawa Bambu, Pasar Minggu (tamat 1971) dan

    melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi ke Sekolah Persiapan IAIN (SPIAIN) yang

    ditamatkan pada 1973. Kemudian pada 1974-1977, ia melanjutkan studi ke Fakultas

    Tarbiyah, Jurusan Bahasa Inggris, IAIN Jakarta, kini UIN Jakarta dengan

    3Mahasiswa sebagai agent of control, yaitu mahasiswa berfungsi sebagai kapten dari kapal

    pemerintahan yang mengawasi penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh nahkoda

    pemerintahan.

  • 7/23/2019 Skripsi Rif'at _106033201192

    35/80

    29

    memperoleh gelar sarjana muda pada 1977. setelah itu, ia tidak melanjutkan

    pendidikan lebih dan memilih berkerja di LP3ES sebagai Tenaga Pembina Lapangan

    (TPL) di Jepara, Jawa Tengah tahun 1977-1978.

    4

    Sekembalinya dari Jepara, Jawa Tengah, pada 1981-1985 ia melanjutkan

    studinya di universitas yang sama, namun ia mengambil jurusan yang berbeda yaitu

    Sejarah dan Kebudayaan Islam di Fakultas Adab dengan memperoleh gelar

    doktoralnya pada 1985. Setelah memperoleh gelar doktoralnya dalam bidang Sejarah

    dan Kebudayaan Islam, ia mulai meniti karirnya dengan berkerja menjadi Staf

    Peneliti Program Penelitian LP3ES pada 1983-1987, berkat semangat dan usaha ia

    dalam berkerja di LP3ES memberikan hasil yang memuaskan, sehingga pada 1987-

    1989, ia dipercaya kembali oleh LP3ES kemudian menjabat sebagai Kepala Program

    Penelitian LP3ES.

    Di 1991, dengan dibantu oleh Prof. M. C. Ricklefs, ketua jurusan sejarah di

    Universitas Monash, Australia, ia kembali melanjutkan studi S2 untuk memperdalam

    ilmu pengetahuannya dalam bidang Sejarah di Monash University, Melbourne,

    Australia. Dari universitas inilah, pada tahun 1994, ia meraih gelar Master of Arts

    (MA) dalam bidang Sejarah dengan menulis tesis yang berjudul "The Revolts of the

    Nations-State Builders : A Comparative Study on the Acehnese Darul Islam and the

    West Sumatran PRRI Rebellions, 1953-1964".

    Selain itu, tahun 1994-1995 Fachry memulai kembali karirnya kali ini, ia

    mencoba menjadi penulis pemula bersama Prof. Fuad Hasan dan Prof. Nurcholish

    Madjid tentang kebudayaan, di tahun 1996, Fachry menjabat Direktur Lembaga Studi

    4Biografi Fachry Ali yang ditulis dalam bukunyaIslam, Pancasila, dan Pergulatan Politik.

  • 7/23/2019 Skripsi Rif'at _106033201192

    36/80

    30

    dan Pengembangan Etika Usaha (LSPEU Indonesia) hingga sekarang, dan anggota

    Penasehat Ahli Kapolri dalam bidang Politik tahun 1998 hingga sekarang. Ia juga

    menjabat anggota Komite Nasional Corporate Governance tahun 1998-2004, dalam

    bidang sejarah, ia juga menjabat anggota Perhimpunan Sejarawan Indonesia tahun

    2003 hingga sekarang, di tahun 2005, ia juga menjadi anggota dan pengurus

    perhimpunan Lembaga Penelitian Pendidikan, Penerangan Ekonomi dan Sosial

    (LP3ES) hingga sekarang. Tidak hanya itu, ia juga menjabat ketua Komite Kebijakan

    Publik (KKP) kementrian BUMN, tahun 2006 hingga sekarang.

    Selain aktif menjadi narasumber talkshow dibeberapa stasiun televisi, ia juga

    aktif menulis berbagai makalah yang disajikan didalam maupun luar negeri serta

    berbagai artikel dan kolom dibeberapa media massa Indonesia, ia juga telah

    mempublikasikan sejumlah buku yang dikarangnya, dari buku yang ia karang, hanya

    beberapa buku yang berbicara mengenai politik, di antaranya yaitu : (1) Islam

    Pancasila Dan Pergulatan Politik (Jakarta: Pustaka Antara, 1984); (2) Islam,

    Ideologi Dunia dan Dominasi Struktural (Bandung: Mizan, 1985); (3) Mahasiswa,

    Negara dan Sistem Politik Indonesia (Jakarta: Inti Sarana Aksara, 1985); (4)

    Merambah Jalan Baru Islam : Rekonstruksi Pemikiran Islam Masa Orde Baru

    (Bandung: Mizan, 1986), bersama Bahtiar Effendy; (5) Refleksi Paham Kekuasaan

    Jawa dalam Indonesia Modern(Jakarta: Gramedia, 1987); (6) Golongan Agama dan

    Etika Kekuasaan: Keharusan Demokratisasi dalam Islam Indonesia (Surabaya:

  • 7/23/2019 Skripsi Rif'at _106033201192

    37/80

    31

    Risalah Gusti, 1996), kemudian buku lainnya lebih membicarakan soal sejarah,

    ekonomi, dan budaya, namun kajian tersebut selalu terkait dengan politik.5

    Hampir semua buku mengenai politik yang ditulis Fachry Ali cakupan

    bahasannya tidak jauh dari isu seputar sosial politik Islam di Indonesia. Dalam buku-

    bukunya itu, dengan gamblang Fachry menjelaskan fluktuasi (perubahan) antara

    politik Islam dengan masalah-masalah keagamaan maupun masalah sosial dalam

    negara Indonesia sepanjang sejarah perjuangan kemerdekaan hingga munculnya

    kekuasaan rezim orde baru di pentas politik nasional. Ini menunjukkan, pentingnya

    ilmu sosial dalam memahami soal sosial keagamaan dan politik Islam. Hingga sampai

    saat ini, Fachry mempunyai pengaruh besar dalam pemikiran Islam dan politik di

    Indonesia. Maka dari itu, ia selalu mengamati dan mengkritisi kinerja pemerintahan

    di Indonesia.

    B. KARYA TULIS ILMIAH

    Sebagai seorang intelektual, Fachry tergolong sebagai tokoh yang produktif

    menulis karya tulis ilmiah, baik yang berbentuk buku maupun yang berbentuk artikel

    yang disajikan dalam sejumlah seminar nasional maupun internasional. Karya-karya

    tulis ilmiah Fachry pada umumnya ditulis dalam bahasa Indonesia dan sedikit saja

    yang menggunakan bahasa asing, khususnya bahasa inggris. Sampai saat ini, Fachry

    5(1) Essai Politik Tentang Habibie (Jakarta: Balai Pustaka, 1998); (2) Gobel, Budaya danEkonomi(Jakarta: LP3ES, 2001), bersama dengan Imam Ahmad dan kawan-kawan; (3) The Politics of

    Central Bank(Jakarta: Lspeu Indonesia, 2003); (3)Defying the Cultural Logic: A Long Story aboutIndonesian Democracy (Jakarta: Manuskrip tidak diterbitkan, 2006); (4) Membalik Logika Publik:

    Sejarah Sosial CMNP (Jakarta: Lspeu Indonesia, 2007), bersama dengan Kholid Novianto, BudiSantosa, dan Tawaf T. Irawan; (5) Kalla dan Perdamaian Aceh (Jakarta: Lspeu Indonesia, 2008),

    bersama Suharso Monoarfa dan Bahtiar Effendy.

  • 7/23/2019 Skripsi Rif'at _106033201192

    38/80

    32

    sedikitnya telah mempublikasikan sembilan buku karya ilmiahnya dalam bahasa

    Indonesia dan dua buku berbahasa inggris dan hanya bebarapa buku saja yang

    membicarakan soal politik.

    Semua buku tersebut hampir bisa dipastikan sebagian besarnya merupakan

    kumpulan tulisan-tulisan Fachry yang dimuat di sejumlah media massa nasional

    maupun internasional. Dan hanya beberapa buku saja yang bukan merupakan

    kumpulan tulisan. Berikut ini ada beberapa buku yang penulis miliki terkait dengan

    politik.

    Pada 1984 Fachry Ali menulis buku berjudul Islam, Pancasila dan

    Pergulatan Politik. Buku ini merupakan kumpulan tulisan yang pernah ditulisnya

    sejak 1970-an sampai dengan 1980-an. Karena merupakan kumpulan tulisan, tidak

    mengherankan bila pembaca akan menemukan pikiran dan analisa yang tidak terlalu

    konsisten satu sama lain. Meskipun demikian, secara umum terdapat garis konsistensi

    tema-tema dari berbagai tulisan ini.

    Dalam buku ini semua tulisan berusaha memaparkan masalah-masalah politik

    yang dihubungkan dengan agama (Islam) dan Pancasila di Indonesia. Maka dari itu,

    kumpulan tulisan ini punya sedikit alasan diterbitkan dalam bentuk buku. Terutama

    bila buku ini dikaitkan dengan masalah-masalah politik Indonesia dalam dekade

    1980-an, karena pada waktu itu, Pancasila, dasar dan ideologi negara, dijadikan satu-

    satunya asas bagi seluruh organisasi sosial dan politik.

    Tentu saja kemudian, kadar kualitas dari tulisan yang dibuat pada waktu itu

    relatif sukar untuk dipertanggungjawabkan, itu semua dikarenakan hasil refleksi dari

    lingkungan kemahasiswaan melalui sebuah forum diskusi. Lagi pula informasi

  • 7/23/2019 Skripsi Rif'at _106033201192

    39/80

    33

    ataupun teori politik yang di peroleh pada waktu itu lebih bersifat sekunder. Dengan

    dasar lingkungan yang semacam itu, serta tanpa latar belakang teoritikal sama sekali

    penulis mencoba menelaah masalah-masalah politik.

    Yang menarik dari buku ini adalah penjelasan di bab ketiga yaitu Pancasila

    dan Politik dalam bab ini Fachry menjelaskan masalah yang terkait dengan interaksi

    antara Pancasila, agama dan politik di negara Indonesia. Menurutnya, pancasila

    sebagai sebuah sistem pemikiran bahkan juga sistem kepercayaan politis, namun di

    Indonesia pada kenyataannya saling berhadapan dengan realitas kelompok ataupun

    instistusi lain yang mempunyai latar belakang sistem pemikiran yang secara formal

    relatif berbeda.

    Dalam hal ini, kemudian timbulah masalah-masalah politik ketika pihak

    pemerintah yang memiliki kekuasaan dominan berusaha menjadikan satu-satunya

    dasar kenegaraan dan asas bagi setiap kelompok masyarakat ataupun organisasi sosial

    politik lainnya. Pada bab ini, Fachry berusaha memberikan penjelasan menganai

    betapa amat ruginya dunia politik Indonesia, jika peran agama didalamnya menjadi

    hilang sama sekali akibat program Pancasilaisasi dunia politik secara menyeluruh.

    Padahal nilai tersebut bisa di manfaatkan bagi program pembangunan politik yang

    lebih akrab dengan niali-nilai dasar umum yang dikenal masyarakat Indonesia.

    Pada 1985, Fachry Ali menulis buku berjudul Mahasiswa, Sistem Politik Di

    Indonesia Dan Negara. Buku ini berusaha mendiskusikan beberapa masalah yang

    selama ini dianggap krusial: gerakan-gerakan politik mahasiswa, dunia pendidikan,

    sistem politik dan negara serta proses pembentukan sosialnya. Pembahasan-

    pembahasan di sini berasal dari berbagai makalah-makalah yang disampaikan dalam

  • 7/23/2019 Skripsi Rif'at _106033201192

    40/80

    34

    beberapa kesempatan diskusi dan belum pernah dipublikasikan secara meluas, kecuali

    dibeberapa kalangan terbatas.

    Meskipun demikian, walau makalah-makalah ini dibuat secara terpisah,

    namun, karena masalah yang dibahas secara terpisah dilihat dari perspektif kesadaran

    yang realitf sama, maka sedikitnya, konsistensi keseluruhan pembahasan bisa

    dipertahankan. Buku ini disajikan dalam tiga bagian utama. Bagian pertama adalah

    Gerakan Mahasiswa, Politik dan Pendidikan. Dan bagian kedua adalah

    Pembangunan dan sistem Politik. Sedangkan bagian ketiga adalah Posisi Negara dan

    Pembentukan Sosial. Ketiga bagian ini saling berinteraksi satu sama lain. Gerakan-

    gerakan mahasiswa dipengaruhi oleh sistem politik, selanjutnya sistem politik

    dipengaruhi oleh corak negara. Dan perkembangan negara yang "khas"

    mempengaruhi semua proses sosial-kemasyarakatan, yang pada ujungnya dalam

    konteks dunia mahasiswa, mempengaruhi gerakan-gerakan mahasiswa. Dengan

    demikian, ketiga bagian yang disajikan dalam buku ini merupakan suatu penjelasan

    deskriptif: sekedar sebuah refleksi untuk mengugah atau menyentak kesadaran

    proporsional kita bersama dalam gerak perkembangan tak terhentikan ini.

    Selanjutnya pada 1986, Fachry Ali bersama Bahtiar Effendy menulis buku

    berjudulMerambah Jalan Baru Islam: Rekonstrusi Pemikiran Islam Indonesia Masa

    Orde Baru. Buku ini merupaka analisis sosial-historis mengenai kondisi masyarakat

    Indonesia sebelum masuk dan berkembangnya Islam hingga munculnya dinamika

    pemikiran Islam Indonesia. Penyelidikan dilakukan secara hait-hati mulai dari awal

    pertautan antara Islam dengan kultur dan kepercayaan masyarakat pribumi sampai

    perkembangan selanjutnya di mana muncul pemikiran keagamaan yang menempati

  • 7/23/2019 Skripsi Rif'at _106033201192

    41/80

    35

    mainstream modernis-tradisionalis. Kedua mainstream gerakan pemikiran ini cukup

    lama mewarnai perjalanan Indonesia- disertai konflik dan pertentangannya di bidang

    sosial, budaya, dan politik baik sebelum maupun sesudah berlangsungnya

    kemerdekaan.

    Baru pada masa Orde Baru diketengahkan arah pemikiran Islam Indonesia

    dengan melihat para tokoh seperti Nurcholish Madjid, M. Dawam Raharjo,

    Abdurrahman Wahid, M. Amien Rais, dan sejumlah tokoh lainnya yang dinilai telah

    memudarkan dikotomi kaku antara modernis-tradisionalis. Hal ini disebabkan

    kesamaan subtabsial di mana keduanya tidak lagi terjebak pada aspek kecabangan

    (furu'iyyah) ajaran Islam tetapi masalah universal kemanusiaan.6

    Walaupun pengelompokan pemikiran konvesional seperti di atas masih cukup

    terasa, paling tidak, perhatian sejumlah pemikir muda masa Orde Baru menunjukan

    kecendrungan yang sama terhadap pertautan pemikiran kemanusiaan universal yang

    sangat berpengaruh pada masyarakat Indonesia. Sebagai negara berkembang,

    Indonesia dihadapkan pada arus modernisasi, industrialisasi, dan demokratisasi yang

    menuntut agar melihat kembali nilai-nilai lama untuk dinyatakan urgensi dan

    relavansinya.

    Arah pemikiran mereka diikhtiarkan untuk menjawab pertanyaan apakah

    pemahaman tentang Islam selama ini telah mampu menjawab berbagai persoalan

    kemanusiaan universal, antara dunia yang terus berubah dengan hukumnya yang

    profan dengan agama yang suci dan sakral? Bagaimana dampak positif jawaban

    6 Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran

    Islam Indonesia Masa Orde Baru (Bandung: Mizan, 1986), h. 297.

  • 7/23/2019 Skripsi Rif'at _106033201192

    42/80

    36

    mereka terhadap bangsa Indonesia yang ikut merasakan persoalan tersebut? Melalui

    pertanyaan ini, para pemikir muda masa Orde Baru mencari fomulasi pemikiran yang

    tepat untuk memproyeksikan masa depan umat Islam Indonesia.

    7

    Kemudian pada 1987, Fachry Ali menulis buku berjudul Refleksi Paham

    Kekuasaan Jawa dalam Indonesia Modern. Sebuah buku yang menjadi obsesi

    penulis, yang dipersiapkan dalam waktu yang lama secara perlahan-lahan, yang

    diinspirasikan oleh penulis dalam tulisannya Sistem Kekuasaan Jawa dan Stabilitas

    Politik yang dimuat dalam harian Kompas tanggal 2 dan 3 Maret 1984. Buku ini

    menjelaskan tentang proses-proses kultural-politik yang bersumber pada sebuah

    sistem politik dan kekuasaan tradisional.

    Penulis menjelaskan sebuah sistem politik dan kekuasaan yang dominan

    adalah sistem kekuasaan Jawa. Setidak-tidaknya dalam konteks pelaksanaan

    pembangunan mengandung integrasi dan disintegrasi nilai, sistem politik dan

    kekuasaan Jawa. Dalam hal ini, penulis menjelaskan bahwa sistem kekuasaan Jawa

    berfungsi sebagai alat untuk mereintegrasikan sistem sosial dan nilai-nilai yang

    mengalami disintegrasi, malah menjadi penting di mata elite penguasa. Dalam

    konteks pandangan penguasa inilah, kajian yang dibahas dalam buku ini. Suatu usaha

    untuk memahami pandangan para elite dan pemegang kontrol politik Orde Baru

    terhadap relitas politik di Indonesia.

    7Adi Prayitno, Islam dan Negara: Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy (skripsi S1 Fakultas

    Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2008), h. 15.

  • 7/23/2019 Skripsi Rif'at _106033201192

    43/80

    37

    BAB IV

    TEMA-TEMA PENTING DALAM PEMIKIRAN POLITIK ISLAM

    FACHRY ALI

    Indonesia sebagai negara maritim memiliki penduduk yang hampir

    80%nya adalah umat Islam, akan tetapi hal ini bukan berarti mengindikasikan

    Indonesia sebagai negara Islam. Fachry Ali justru melihat kondisi Islam di

    Indonesia sebagai agama yang mudah di terima oleh rakyat Indonesia, karena

    melihat sejarah rakyat Indonesia, dimana rakyatnya yang lemah lembut, ramah

    tamah, dan cinta akan perdamaian sehingga Islam sebagai agama rahmatan lil

    alamin(rahmat bagi seluruh alam) yang memiliki prinsip-prinsip perdamaian bagi

    segenap rakyat Indonesia.1

    Sikap inilah yang menjadi salah satu tolak ukur Fachry Ali dalam

    memandang umat Islam Indonesia, Indonesia sebagai negara dengan azas

    pancasila dengan sikap yang plularisme. Maka dia, memberikan asumsi bahwa

    dengan banyaknya umat Islam di Indonesia tidak perlu menjadikan Indonesia

    sebagai negara Islam, akan tetapi yang diperlukan adalah menerapkan nilai-nilai

    Islam dalam negara Republik Indonesia.

    Kontribusi pemikiran politik Islam Fachry Ali ini telah dipaparkan secara

    gamblang dalam karya-karyanya sehingga pemikirannya dapat dibagi menjadi

    tema-tema penting terhadap Islam dan kaitanya dengan sosial-politik, diantaranya:

    A.

    Islam dan Transformasi Masyarakat

    Transformasi dalam masyarakat terjadi melalui pengenalan unsur baru.

    Unsur-unsur baru ini diperkenalkan kepada masyarakat dalam dua cara, yaitu

    1Wawancara pribadi dengan Fachry Ali, Jakarta, 10 Mei 2011.

  • 7/23/2019 Skripsi Rif'at _106033201192

    44/80

    38

    dengan penemuan baru (invensi) yang terjadi dalam masyarakat itu dan masuknya

    pengaruh dari masyarakat lain.2 Transformasi masyarakat dapat terjadi dengan

    sengaja dan memang dikehendaki oleh masyarakat. Sebagai contoh,

    diprogramkannya untuk pembangunan supaya yang tidak menyenangkan menjadi

    keadaan yang disenangi; kemiskinan diubah menjadi kesejahteraan; budaya

    pertanian diubah menjadi budaya industri. Dengan direncanakannya bentuk

    transformasi yang disengaja ini manajemennya lebih jelas, karena dapat

    diprogramkan dengan melihat perubahan-perubahan yang terjadi.

    Sementara itu, transformasi msyarakat yang tidak disengaja dapat terjadi

    karena pengaruh dari dalam masyarakat itu sendiri ,maupun pengaruh dari luar

    masyarakat. Misalnya dengan masuknya teknologi baru selalu mempunyai

    pengaruh tidak disengaja terhadap masyarakat. Untuk transformasi yang tidak

    disengaja maka sulit ditentukan manajemennya, karena jalannya proses tidak bisa

    diantisipasi, juga tidak jelas proses transformasi itu akan berakhir dan berapa

    cepat atau lama. Perubahan-perubahan akibat dari transformasi tidak disengaja

    menimbulkan kegoncangan sosial dalam masyarakat. Namun pada akhirnya

    masyarakat akan sampai pada suatu stabilitas sosial baru, karena masyarakat tidak

    bisa dalam keadaan ragu terus menerus.

    Kata transformasi berasal dari bahasa latin transformare, yang artinya

    mengubah bentuk. Transformasi adalah perubahan bentuk atau struktur,

    (konversi dari suatu bentuk kebentuk yang lain).

    3

    Terjadinya transformasi itu

    timbul dari kajian historis, yang menyimpulkan bahwa selama kurang lebih dua

    2Adham Nasution, Sosiologi(Bandung: Pustaka Alumni, 1983), h. 155.

    3 Kamus besar bahasa Indonesia

  • 7/23/2019 Skripsi Rif'at _106033201192

    45/80

    39

    atau tiga abad terakhir telah terjadi perubahan fundamental dari masyarakat

    agraris-tradisional ke masyarakat industrial modern.

    Perkembangan yang menarik buat masyarakat Nusantara adalah bahwa

    lambat laun ciri agrarisnya menjadi jauh lebih menonjol dibandingkan dengan ciri

    baharinya. Menonjol atau dominanya ciri agraris ini besar sekali pengaruhnya

    terhadap bentuk kerajaan, sistem kekuasaan, dan corak keagamaan

    masyarakatnya. Dan dengan sendirinya pula mempengaruhi struktur sosial yang

    berkembang di masa itu.4 Proses transformasi ini menjadikan situasi politik

    Indonesia berpengaruh juga terhadap Islam karena masyarakat Indonesia yang

    mayoritas Islam.

    Bahkan Menurut Fachry Ali, pengaruh agama Hindu-Budha di masa itu

    terhadap pengorganisasian politik, ekonomi, sosial dan keagamaan ini merupakan

    aspek terpenting proses internasionalisasi.5 Karena dari sinilah kita melihat

    munculnya berbagai bentuk organisasi kekuasaan politik, sosial, ekonomi yang

    diwujudkan dengan lahirnya kerajaan-kerajaan. Mulai dari kerajaan Kutai di

    Kalimantan, Tarumanegara, kerajaan-kerajaan Melayu dan Sriwijaya, Mataram

    lama dan bergabagai kerajaan di Bali, sampai lahirnya kerajaan Majapahit. Atau

    bisa dikatakan bahwa, pada dasarnya, agama-agama itulah yang memberi dasar

    bagi pembentukan sistem sosial politik dan ekonomi di Nusantara.6 Sehingga

    keadaan geografis dan wilayah yang dimiliki oleh bangsa ini, telah membentuk

    keragaman dan perbedaan struktur masyarakatnya.

    4Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran

    Islam Masa Orde Baru,(Bandung: Mizan, 1990), h. 17.5 Masuknya agama-agama itu memang telah mentransformasikan aspek keagamaan

    masyarakat Nusantara. Dari ajaran-ajaran animisme dan dinamisme yang tidak berbentuk atauberstruktur ke arah ajaran-ajaran agama yang lebih berbentuk dan berstruktur.

    6 Fachry Ali dan Bahtiar Effendy,Merambah Jalan Baru Islam, h. 19.

  • 7/23/2019 Skripsi Rif'at _106033201192

    46/80

    40

    Namun dalam hal lain antara Islam dan transformasi masyarakat tidak

    terlepas dari hukum Islam di Indonesia misalnya, diundangkannya UU No.1/1974

    tentang Perkawinan, peranan elite Islam cukup dominan dalam melakukan

    pendekatan dengan kalangan elite di tingkat legislatif, sehingga RUU Perkawinan

    No.1/1974 dapat dikodifikasikan,7 yang telah mengalami pasang surut seiring

    dengan politik hukum yang diterapkan oleh kekuasaan negara. Bahkan di balik

    semua itu, berakar pada kekuatan sosial budaya yang berinteraksi dalam proses

    pengambilan keputusan politik. Namun demikian, hukum Islam telah menga1ami

    perkembangan secara berkesinambungan. baik melalui jalur infrastruktur politik

    maupun suprastruktur politik dengan dukungan kekuatan sosial budaya itu.

    Cara pandang dan interpretasi yang berbeda dalam keanekaragaman

    pemahaman orang Islam terhadap hakikat hukum Islam telah berimplikasi dalam

    sudut aplikasinya. M. Atho Mudzhar misalnya menjelaskan cara pandang yang

    berbeda dalam bidang pemikiran hukum Islam menurutnya dibagi menjadi empat

    jenis, yakni kitab-kitab fiqh, keputusan-keputusan Pengadilan agama, peraturan

    Perundang-undangan di negeri-negeri muslim dan fatwa-fatwa ulama.8

    Keempat faktor tersebut diyakini memberi pengaruh cukup besar dalam

    proses transformasi hukum Islam di Indonesia. Terlebih lagi hukum Islam

    sesungguhnya telah berlaku sejak kedatangan pertama Islam di Indonesia, di mana

    stigma hukum yang beriaku dikategorikan menjadi hukum adat, hukum Islam dan

    hukum Barat. Sedangkan hukum Islam dilihat dari dua segi. Pertama, hukum

    Islam yang berlaku secara yuridis formal, artinya telah dikodifikasikan dalam

    7Amak F.Z, Proses Undang-undang Perkawinan, (Bandung: Al-Maarif. 1976), h. 35-

    48.8M. Atho Muzhar. Pengaruh Faktor Sosial Budaya terhadap Produk Pemikiran Hukum

    Islam, dalam Jurnal Mimbar HukumNo. 4 tahun II (Jakarta: A1-Hikmah dan Ditbinbapera Islam,

    1991), h. 21-30.

  • 7/23/2019 Skripsi Rif'at _106033201192

    47/80

    41

    struktur hukuin nasional. Kedua, hukum Islam yang berlaku secara normatif yakni

    hukum Islam yang diyakini memiliki sanksi

    Untuk mengembangkan proses transformasi hukum Islam ke dalam

    supremasi hukum nasional, diperlukan partisipasi semua pihak dan lembaga

    terkait, seperti halnya hubungan hukum Islam dengan badan kekuasaan negara

    yang mengacu kepada kebijakan politik hukum yang ditetapkan (adat rechts

    politiek).9 Politik hukum tersebut merupakan produk interaksi kalangan elite

    politik yang berbasis kepada berbagai kelompok sosial budaya. Ketika elite politik

    Islam memiliki daya tawar yang kuat dalam interaksi politik itu, maka peluang

    bagi pengembangan hukum Islam untuk ditransformasikan semakin besar.

    Transformasi hukum Islam dalam bentuk perundang-undangan (Takhrij

    al-Ahkm f al-Nash al-Qnun) merupakan produk interaksi antar elit politik

    Islam (para ulama, tokoh ormas, pejabat agama dan cendekiawan muslim) dengan

    elite kekuasaan (the rulling elite) yakni kalangan politisi dan pejabat negara.

    Keberhasilan Islam menembus dan mempengaruhi masyarakat Indonesia,

    serta menjadikannya agama utama bangsa ini, merupakan suatu prestasi yang luar

    biasa. Hal itu, terutama, jika dilihat dari segi geografis, di mana jarak Indonesia

    dengan negara asal Islam, jazirah Arab, cukup jauh. Kini Islam relatif telah

    berkembang di seluruh kepulauan Indonesia. Tetapi hal ini tidak berarti bahwa

    masyarakat Indonesia sepenuhnya menerima Islam.10

    Sebagaimana di dunia Islam

    9 Istilah Hukum Adat atau adatrecht pertama kali digunakan pada tahun 1906, ketika

    Snouck Hurgronye menggunakan istilah ini untuk menunjukkan bentuk-bentuk adat yang

    mempunyai konsekwensi hukum, lihat Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam Dan AdatDi Indonesia, (Jakarta: INIS, 1998), h. 38.

    10Fachry Ali dan Bahtiar Effendy,Merambah Jalan Baru Islam, h. 28.

  • 7/23/2019 Skripsi Rif'at _106033201192

    48/80

    42

    pada umumnya, proses Islamisasi tetap berlanjut dan pada kenyataannya hal itu

    merupakan suatu proses yang tidak pernah selesai.

    Sehingga Fachry Ali pun mengatakan adanya transformasi ini

    mempengaruhi pola sosial-politik bahkan hukum di Indonesia, sehingga banyak

    perundang-undangan yang didalamnya berupa aturan untuk umat Islam Indonesia.

    Adanya transformasi ini menjadikan kaum intelektual Islam di Indonesia mencita-

    citakan sebuah tatanan mayarakat Islam Indonesia, menjadi masyarakat madani.

    Maka Fachry Ali sebagai salah satu intelektual Islam sering menulis kaitan antara

    Islam dan masyarakat madani.

    B. Islam dan Masyarakat Madani

    Masyarakat madani merupakan bentuk Indonesia dari istilah bahasa

    Inggris civil societyyang memiliki kandungan makna bagaimana sebuah negara

    itu harus berlaku kepada masyarakat yang dinaunginya. Secara umum cita-cita

    ideal dari masyarakat madani adalah memberikan sesuatu yang terbaik kepada

    warga masyarakat yang berada di dalamnya.

    Namun istilah madani sendiri diterjemahkan dari bahasa Arab yaitu, al-

    mujtama al-madani, yang diperkenalkan oleh Prof. Naquib al-Attas, seorang ahli

    sejarah dan peradaban Islam dari Malaysia, pendiri ISTAC (Institute of Islamic

    Thought and Civilization). Kata madani berarti civil atau civilized(beradab).

    Madani berarti juga peradaban, sebagaimana kata Arab lainnya seperti hadlari,

    tsaqafi atau tamaddun. Konsep madani bagi orang Arab memang mengacu pada

    hal-hal yang ideal dalam kehidupan.11

    11 Ismail SM, Signifikansi Peran Pesantren dalam Pengembangan Masyarakat madani,

    dalam Ismail SM dan Abdullah Mukti, Pendidikan Islam, Demokratisasi dan Masyarakat Madani

    (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000),h. 180-181.

  • 7/23/2019 Skripsi Rif'at _106033201192

    49/80

    43

    Sebelumnya, pada zaman Yunani kuno sudah dikenal dengan societies

    civilis, namun dengan pengertian yang identik dengan negara. Civil society

    dimaksudkan mencegah lahirnya pemerintahan otoriter melalui kontrol dari

    masyarakat.12

    Sementara itu, umat Islam menerjemahkan kata civil societydengan

    masyarakat madani, yaitu suatu masyarakat yang diciptakan Nabi Muhammad

    SAW di Madinah. Karena ciri-ciri kehidupan yang ideal pada masa Nabi

    Muhammad SAW dianggap sebagai proto-masyarakat modern.13

    Hal tersebut

    merupakan bentuk dialog Islam dengan modernitas sesuai dengan hukum

    dialektika. Dialog tersebut bersifat aktif karena Barat mengembangkan konsep

    civil societytersebut berdasarkan sejarah awal Islam.

    Fachry Ali juga menambahkan, bahwa konsep masyarakat madani ini telah

    dikenalkan oleh Nabi Muhammad SAW sendiri dimana beliau menampilkan

    peradaban Islam yang kosmopolitan dengan konsep umat yang menghilangkan

    batas etnis, pluralitas budaya, dan heteroginitas politik.14

    Menarik diperhatikan keterlibatan para tokoh15

    dalam diskursus tentang

    civil society yang berkembang di tanah air belakangan ini. Seperti kita ketahui,

    wacana civil society berkembang di Indonesia sepanjang tahun 90-an. Hal ini

    12 Tim ICCE UIN Jakarta, Pendidikan Kewargaan(Civic Education): Demokrasi, Hak

    Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, (Jakarta: Prenada Media, 2005), h. 243.13

    Hamim Thoha, Islam dan Civil society (Masyarakat Madani): Tinjauan tentang Prinsip

    Human Rights, Pluralism dan Religious Tolerance, dalam Ismail SM dan Abdullah Mukti,Pendidikan Islam, Demokratisasi dan Masyarakat Madani(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h.

    115-127.14

    . Wawancara pribadi dengan Fachry Ali, Jakarta, 10 Mei 201115 Fachry Ali dan Bahtiar Effendy bersama M. Dawam Rahardjo, M. Amin Rais,

    Kuntowijoyo, Jalaluddin Rakhmat, Ahmad Syafii Maarif, Adi Sasono, AM. Saefuddin, Endang

    Saifuddin Anshari dan Imaduddin Abdurrahim. Termasuk Nurcholis Madjid dan AbdurrahmanWahid mereka masing-masing intelektual muslim tersebut oleh Fachry Ali dan Bahtiar Effendy

    dikelompokkan ke dalam empat tipologi pemikiran, yaitu: neo-modernisme, sosialisme-demokrasi,

    internasionalisme-universalisme, dan modernisme Islam yang mana dari keempat tipologipemikiran itu membicarakan diskursus tentang civil society, lihat Fachry Ali dan Bahtiar Effendy,

    Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru

    (Bandung: Mizan, 1986), h. 297.

  • 7/23/2019 Skripsi Rif'at _106033201192

    50/80

    44

    dibuktikan dengan maraknya forum-forum ilmiah seperti seminar, diskusi, dan

    lokakarya yang memperbincangkan konsep civil society.Menariknya lagi, konsep

    ini tidak hanya dibicarakan oleh masyarakat, melainkan juga oleh kalangan

    birokrat. Padahal, munculnya konsep ini justru dimaksudkan sebagai kritik

    terhadap otoritas realisme kekuasaan birokrasi seperti terjadi pada zaman Orde

    Baru.

    Munculnya konsep masyarakat madani menunjukkan intelektual muslim

    mampu menginterpretasikan ajaran Islam dalam kehidupan modern, persisnya

    mengawinkan ajaran Islam dengan konsep civil societyyang lahir di Barat pada

    abad ke-18 dengan pelopornya Jhon Locke atau Thomas Hobbes. Konsep

    masyarakat madani digunakan sebagai alternatif untuk mewujudkan good

    government, menggantikan bangunan Orde Baru yang menyebabkan bangsa

    Indonesia terpuruk dalam krisis multidimensional yang tak berkesudahan.

    Salah satu buktinya adalah saat reformasi. Menurut Fachry Ali, runtuhnya

    negara Orde Baru lebih disebabkan kekuatan civil society, dalam hal ini NU dan

    Muhammadiyah. Rontoknya Orde Baru karena peran besar NU dan

    Muhammadiyah. Saat itu, kata Fachry, dua kekuatan tersebut menyatu melawan

    kekuatan negara. NU yang merupakan kelompok santri dan masyarakat pedesaan,

    memunculkan tokoh KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Kemudian

    Muhammadiyah yang merupakan kalangan kelas menengah ke bawah perkotaan

    memunculkan Amien Rais. Mereka bersatu sebagai kekuatan extra state melawan

    kekuasaan negara, terangnya.16

    16Fachry Ali, Pendidikan Kunci Utama Kebangkitan Bangsa Indonesia, artikel diakses

    pada 6 Juli 2011 dari

    http://nu.or.id/page/id/dinamic_detil/1/4484/Warta/Pendidikan_Kunci_Utama_Kebangkitan_Bang

    sa_indonesia.html

  • 7/23/2019 Skripsi Rif'at _106033201192

    51/80

    45

    Terlepas adanya kelemahan sebagai suatu kewajaran dari proses transisi

    menuju real democracy, perlu ditegaskan sekaranglah momen yang tepat bagi

    bangsa Indonesia untuk mengkonstruksi kembali dasar-dasar atau paradigma

    dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam konteks ini, gagasan

    civil society patut mendapatkan apresiasi dan elaborasi secara memadai, karena

    dilihat dari kandungan maknanya yang dapat dijadikan sebagai dasar dalam

    merekonstruksi relasi antara masyarakat (society) dengan negara (state).

    Hampir semua kalangan yang terlibat dalam diskursus intelektual

    mengenai civil society sepakat terhadap adanya potensi tersebut. Tidak

    mengherankan bila belakangan terjadi perkembangan yang cukup menarik, yakni

    civil society tidak lagi sekedar dijadikan sebagai bahan perbincangan yang bersifat

    teoritik, tetapi juga ditindaklanjuti melalui pembentukan institusi-institusi sosial

    yang berbasis Lembaga sosial Masyarakat (LSM).

    C. Islam dan Ideologi Negara

    Pada prinsipnya terdapat tiga arti utama dari kata ideologi, yaitu (1)

    ideologi sebagai kesadaran palsu; (2) ideologi dalam arti netral; dan (3) ideologi

    dalam arti keyakinan yang tidak ilmiah.17

    Ideologi dalam arti yang pertama, yaitu

    sebagai kesadaran palsu biasanya dipergunakan oleh kalangan filosof dan

    ilmuwan sosial. Ideologi adalah teori-teori yang tidak berorientasi pada

    kebenaran, melainkan pada kepentingan pihak yang mempropagandakannya.

    Ideologi juga dilihat sebagai sarana kelas atau kelompok sosial tertentu yang

    berkuasa untuk melegitimasikan kekuasaannya.

    17Franz Magnis Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, (Jakarta: Kanisius, 1992), h. 230.

  • 7/23/2019 Skripsi Rif'at _106033201192

    52/80

    46

    Arti kedua adalah ideologi dalam arti netral. Dalam hal ini ideologi adalah

    keseluruhan sistem berpikir, nilai-nilai, dan sikap dasar suatu kelompok sosial

    atau kebudayaan tertentu. Arti kedua ini terutama ditemukan dalam negara-negara

    yang menganggap penting adanya suatu ideologi negara. Disebut dalam arti

    netral karena baik buruknya tergantung kepada isi ideologi tersebut.

    Arti ketiga, ideologi sebagai keyakinan yang tidak ilmiah, biasanya

    digunakan dalam filsafat dan ilmu-ilmu sosial yang positivistik. Segala pemikiran

    yang tidak dapat dibuktikan secara logis-matematis atau empiris adalah suatu

    ideologi. Segala masalah etis dan moral, asumsi-asumsi normatif, dan pemikiran-

    pemikiran metafisis termasuk dalam wilayah ideologi.

    Dari tiga arti kata ideologi tersebut, yang dimaksudkan dalam pembahasan

    ini adalah ideologi dalam arti netral, yaitu sebagai sistem berpikir dan tata nilai

    dari suatu kelompok. Ideologi dalam arti netral tersebut ditemukan wujudnya

    dalam ideologi negara atau ideologi bangsa. Hal ini sesuai dengan pembahasan

    Pancasila sebagai ideologi negara Republik Indonesia.

    Perjalanan sejarah pembentukan ideologi dan wawasan kebangsaan

    Indonesia (Keindonesiaan) yang mengalami dinamika cukup pelik dan rumit,

    betapa ramainya arus lalu lintas di dalam masyarakat Indonesia. Oleh karena itu,

    pancasila sebagai nilai tunggal yang universal serta mewakili setiap nilai-nilai

    yang ada pada setiap suku bangsa Indonesia harus mendapat prioritas utama untuk

    dikembangkan. Akan tetapi agama dan nilai-nilai masyrakat harus juga

    diperkembangkan, bersamaan dengan memperkembangkan nilai-nilai pancasila

    itu sendiri.18

    18Fachry Ali,Islam, Pancasila dan Pergulatan Politik (Jakarta: Pustaka Antara, 1984), h.

    191.

  • 7/23/2019 Skripsi Rif'at _106033201192

    53/80

    47

    Menurut hemat penulis, telah berhasil melahirkan suatu sintesis ideologi

    negara yang khas Indonesia, yaitu nasionalisme yang berketuhanan. Maksudnya,

    nasionalisme yang dapat hidup dalam taman sari internasionalisme, yang

    mengakui adanya kedaulatan rakyat dan mencita-citakan terwujudnya sebuah

    keadilan sosial. Itulah, wujud dari relevansi Pancasila sebagai dasar wawasan

    kebangsaan dan identitas nasional Indonesia di tengah berbagai tantangan yang

    dihadapi negara-bangsa Indonesia.19

    Ada beberapa asumsi dasar yang melandasai pemikiran ini. Pertama,

    filsafat pancasila dan ideologi pancasila pada dasarnya mengandung hal-hal

    mendasar dan principal tentang peri kehidupan bangsa. Oleh karena itu sifat

    pemikirannya bersifat abstrak. Kedua, karena pancasila harus direalisasikan dalam

    kehidupan yang sebenarnya, maka dengan sendirinya ia harus terbuka dengan

    kenyataan-kenyataan kehidupan. Ketiga, oleh karena itulah, filsafat dan ideologi

    pancasila harus di fahami dan dihayati dalam dua dimensi dasar. Yaitu, disamping

    bersifat abstraktif ia juga bersifat reflektif dan pragmatis. Dalam konteks ini titik

    tekan pembahasan pada asumsi kedua.20

    Menurut Fachry Ali, refleksi merupakan suatu metode yang tepat, untuk

    merealisasikan pancasila dalam kehidupan yang sebenarnya dan dapat dipakai

    sebagai cara dan sarana meninjau kenyataan-kenyataan budaya dalam usaha

    menjabarkan norma-norma yang mampu melandasi serta mengarahkan kehidupan

    bernegara, dengan menyajikan nilai-nilai fundamental yang tepat dan relevan

    untuk diintergrasikan ke dalam kesatuan ideologis pancasila, terutama dalam

    mengadapi tantangan zaman sekarang. Dengan refleksi semacam itu diharapkan

    19 J. Kartini Soedjendro, "Kebangsaan dalam Arus Liberalisme,"Suara Merdeka, 18 Juli

    2006.20Fachry Ali,Islam, Pancasila, h. 192.

  • 7/23/2019 Skripsi Rif'at _106033201192

    54/80

    48

    pancasila benar-benar dapat menjalankan fungsinya sebagai dasar ideologi

    negara.21

    Karena Fachry Ali telah mengamati, mengkritik dan mencoba memberikan

    solusi terhadap perjalanan ideologi negara ini sejak zaman Orde Lama, Orde Baru

    hingga era Reformasi sampai saat ini, menurutnya masalah yang dihadapi bangsa

    Indonesia adalah sesuatu yang dinamis. Dinamika ini ditandai oleh terdapatnya

    hubungan erat antara agama dan pancasila yang selalu berbenturan dewasa ini

    dengan permasalahan yang terjadi di masa lalu.

    Secara historis ketegangan Pancasila dan Agama terjadi sejak negara ini

    berdiri. Distorsi (penyimpangan) Pancasila pada waktu i