laporan penyakit jantung bawaan yuniar valentine p

Upload: yuniar-valentine-putri-pratiwi

Post on 14-Oct-2015

78 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

PENYAKIT JANTUNG BAWAAN (PJB)

LAPORAN PROFESI NERS

Oleh :

Yuniar Valentine Pratiwi

NIM. 105070207111011

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2014PENYAKIT JANTUNG BAWAAN

DEFINISIPenyakit jantung bawaan (PJB) merupakan kelainan jantung yang didapat sejak lahir dan sudah terjadi ketika bayi masih dalam kandungan. Pada akhir kehamilan 7 minggu, pembentukan jantung janin sudah lengkap, sehingga kelainan pembentukan jantung terjadi pada trimester awal kehamilan (Djer M.Mulyadi, Dkk. 2007. Penatalaksanaaan Jantung Bawaan Tanpa Bedah. Departemen Kesehatan Republik Indonesia).Penyakit jantung bawaan (PJB) adalah permasalahan pada struktur jantung yang tampak setelah kelahiran. Kelainan ini dapat melibatkan bagian dalam dinding jantung, klep di dalam jantung, atau arteri dan vena yang membawa darah ke jantung atau ke seluruh tubuh (Primasari, dyah. 2012. Perbedaan Perkembangan Pada Anak Dengan Penyakit Jantung Bawaan Sianotik Dan Non-Sianotik. Fakulyas Kedokteran Universitas Diponegoro).

EPIDEMIOLOGI

Penyakit jantung bawaan (PJB) merupakan kelainan jantung yang paling sering ditemukan pada bayi dan anak. Kelainan ini ditemukan sekitar 8 dari tiap 1000 kelahiran hidup, dengan sepertiga diantaranya bermanifestasi sebagai kondisi kritis pada tahun pertama kehidupan dan 50% dari kegawatan pada bulan pertama kehidupan berakhir dengan kematian. Di Indonesia, dengan populasi 220 juta penduduk dan angka kelahiran hidup 2,27%, diperkirakan terdapat sekitar 40.000 penderita PJB baru tiap tahun (Djer M.Mulyadi, Dkk. 2007. Penatalaksanaaan Jantung Bawaan Tanpa Bedah. Departemen Kesehatan Republik Indonesia).

Insidens PJB di dunia memiliki angka yang konstan, sekitar 8-10 dari 1000 kelahiran hidup. Malformasi dapat tidak terdeteksi dengan mudah pada periode neonatal, beberapa di antaranya terjadi modifikasi dan menghilang selama masa bayi dan anak base memperkirakan insiden PJB di UK sebesar 6,9/1000 kelahiran, atau 1 di antara 145 kelahiran bayi. Penelitian di Beijing, Cina mendapatkan insiden PJB 8,2/1000 dari total kelahiran, dimana 168,9/1000 lahir mati dan 6,7/1000 lahir hidup. Ras Asia memiliki angka yang lebih besar dibandingkan non Asia karena pengaruh perkawinan konsanguinus yang tinggi. World health organization (WHO) berturut-turut melaporkan di antara penyakit kardiovaskular, insidens PJB di Bangladesh (6%), India (15%), Burma (6%), dan Srilangka (10%).6 Di Indonesia belum terdapat angka yang pasti, namun penelitian di RS. Dr.Sutomo pada tahun 2004-2006 sudah mendapatkan angka kematian yang tinggi dari pasien PJB setiap tahunnya, berturut-turut 11,64%, 11,35%, dan 13,44% (Hariyanto, Didik. 2012. Profil Penyakit Jantung Bawaan Di Instalasi Rawat Inap Anak RSUP Dr. M. Djamil Padang Januari 2008- Februari 2011. Sari Pediatri : Padang).Dan Hingga 1,3 juta orang Amerika yang masih hidup sampai saat ini memiliki beberapa bentuk cacat jantung bawaan . Di Amerika Serikat, sekitar 36.000 anak yang lahir dengan cacat jantung bawaan setiap tahun . Setidaknya sembilan dari setiap 1.000 bayi yang lahir setiap tahun memiliki cacat jantung(AHA, 2009).ETIOLOGI

Faktor-faktor penyebab PJB yang dianggap berpotensi di antaranya adalah infeksi virus pada ibu hamil (misalnya : campak Jerman atau rubella), obat-obatan atau jamu-jamuan, dan alkohol. Faktor keturunan atau kelainan genetik dapat juga menjadi penyebab meskipun jarang, dan belum banyak diketahui. Misalnya, sindroma Down (Mongolism) yang acapkali disertai dengan berbagai macam kelainan bawaan termasuk PJB. Ibu yang merokok juga dilaporkan berbahaya bagi kehamilannya, karena berpengaruh terhadap pertumbuhan janin dalam kandungan sehingga berakibat bayi lahir prematur, cacat bawaan atau meninggal dalam kandungan ((Djer M.Mulyadi, Dkk. 2007. Penatalaksanaaan Jantung Bawaan Tanpa Bedah. Departemen Kesehatan Republik Indonesia).

KLASIFIKASI PJBMenurut Djer M.Mulyadi, Dkk. 2007 Secara Garis Besar PJB diklasifikasikan menjadi 3 yaitu :1. Adanya penyempitan (stenosis) atau bahkan pembuntuan (obstruksi) pada bagian tertentu jantung, yakni: katup atau salah satu bagian pembuluh darah di luar jantung. Pada PJB kompleks dengan penyempitan yang berat, aliran darah ke bagian tubuh setelah area penyempitan akan sangat menurun, bahkan terhenti sama sekali pada pembuntuan total (atresia).

a. Stenosis (Penyempitan) Katup Pulmonal. Terjadi kelebihan beban tekanan (pressure overload) pada jantung kanan, yang pada akhirnya mengakibatkan gagal jantung kanan. Pada kondisi ini, jantung tak mampu memompakan darah sesuai kebutuhan tubuh dan sesuai jumlah darah yang kembali ke jantung, sehingga terjadilah bendungan sistemik. Gejala klinisnya adalah: pembengkakan kelopak mata, tungkai, pembesaran hati dan penimbunan cairan di rongga perut. Tindakan yang dapat dilakukan antara lain adalah pelebaran katup pulmonalis dengan kateter balon (balloon pulmonary valvuloplasty = BPV) melalui kateterisasi.

b. Stenosis (Penyempitan) Katup Aorta. Terjadi kelebihan beban tekanan pada ventrikel kiri, yang pada akhirnya mengakibatkan gagal jantung kiri. Kondisi ini ditandai oleh: sesak, batuk, kadang-kadang dahak berdarah (akibat pecahnya pembuluh darah halus yang bertekanan tinggi di paru). Penanganan yang dapat dilakukan antara lain pelebaran katup dengan kateter balon (balloon aortic valvuloplasty = BAV) melalui kateterisasi.c. Atresia Katup Pulmonal. Pada kasus ini katup pulmonal sama sekali buntu, sehingga tak ada aliran darah dari jantung ke paru. Pasien hanya dapat bertahan hidup bila duktus arteriosus tetap terbuka (yang mengalirkan darah dari aorta ke pembuluh darah paru). Biasanya pembuluh ini akan menutup pada minggu pertama kehidupan bayi, dan bila penutupan terjadi akan berakibat fatal. Untuk mempertahankan duktus arteriosus tetap terbuka, diperlukan obat prostaglandin E-1. Namun obat ini sifatnya hanya sementara, dan harus segera diikuti dengan tindakan selanjutnya membuka katup pulmonal baik secara bedah maupun non-bedah dengan membuat lubang (perforasi) pada katup yang buntu tersebut yang dilanjutkan melebarkan lubang yang terbentuk dengan kateter balon. Sedangkan atresia katup pulmonal dengan DSV harus dilanjutkan dengan tindakan bedah memasang saluran antara arteri subklavia dan arteri pulmonalis kanan atau kiri (prosedur Ballock-Taussig shunt) atau mempertahankan agar DAP tetap terbuka dengan memasang stent di DAP. d. Koarktasio Aorta.

Pada kasus ini pembuluh darah aorta mengalami penyempitan. Bila penyempitannya berat, maka sirkulasi darah ke organ tubuh di rongga perut (ginjal, usus dll), serta tungkai bawah sangat berkurang, dan kondisi pasien memburuk. Seperti halnya pada atresia katup pulmonal, pada koartasio aorta yang berat, prostaglandin E-1 perlu diberikan untuk mempertahankan pembukaan duktus arteriosus. Untuk selanjutnya, tindakan pelebaran dapat dilakukan secara bedah atau non bedah dengan kateter balon.

2. Adanya lubang pada sekat pembatas antara kedua serambi atau bilik jantung (septum), sehingga terjadi pirau (shunt) dari satu sisi ruang jantung ke ruang sisi lainnya. Karena tekanan darah di ruang jantung sisi kiri lebih tinggi dibanding sisi kanan, maka aliran pirau yang terjadi adalah dari kiri ke kanan. Akibatnya, aliran darah ke paru berlebihan/banjir (contoh: DSA = defek septum atrium/lubang di sekat serambi , DSV = defek septum ventrikel/lubang di sekat bilik). Pirau ini juga bisa terjadi bila pembuluh darah yang menghubungkan aorta dan pembuluh pulmonal tetap terbuka (DAP= duktus arteriosus persisten). Karena darah mengalir dari sirkulasi darah bersih ke sirkulasi darah kotor, maka penampilan pasien tidak biru (asianosis). Namun beban volume yang berlebihan pada jantung kiri atau kanan akibat pirau yang besar dapat menimbulkan gagal jantung kiri maupun kanan. Tanda-tanda gagal jantung kiri adalah: debaran jantung kencang, cepat lelah, sesak napas, pada bayi sulit menyusu, pertumbuhan terganggu, sering menderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Dalam kondisi seperti tersebut di atas, perlu diberikan obat-obatan untuk mengurangi beban volume pada jantung, yakni obat diuretik (memperlancar kencing) dan obat vasodilator (pelebar pembuluh darah).

a. Defek septum atrium (DSA)

Lubang DSA kini dapat ditutup dengan tindakan non bedah , yakni memasang alat penyumbat yang dimasukkan melalui kateter dari pembuluh darah vena di lipat paha. Alat penyumbat tersebut antara lain adalah Amplatzer Septal Occluder (ASO). Namun pada sebagian kasus, DSA sekundum, DSA tipe sinus venosus atau DSA primum, tak dapat ditangani dengan metode ini, dan memerlukan pembedahan.

b. Defek Septum Ventrikel (DSV) Pada DSV tertentu seperti DSV perimembran dan muskular, defek dapat ditutup dengan tindakan non-bedah dengan memasang alat penyumbat antara lain Amplatzer Membranous/Muscular VSD Occluder (AVO) yang dimasukkan melalui kateter dari pembuluh darah vena di lipat paha. Namun pada jenis Sub-Arterial Doubly Commited (SADC) tetap diperlukan pembedahan.

c. Duktus arteriosus persisten (DAP) DAP juga dapat ditutup dengan tindakan non bedah menggunakan penyumbat Amplatzer duct occluder (ADO) atau okluder janin lain. Bila DAP sangat besar atau DAP pada neonatus atau bayi kecil dibawah 6 kg, tindakan bedah masih merupakan pilihan utama. DAP pada bayi prematur dapat dirangsang penutupannya dengan menggunakan obat anti-postaglandin seperti indometasin atau ibuprofen.

3. Pembuluh darah utama jantung keluar dari ruang jantung dalam posisi tertukar (pembuluh darah aorta keluar dari bilik kanan sedangkan pembuluh darah pulmonal/paru keluar dari bilik kiri). Kelainan ini disebut transposisi arteri besar (TGA = transposition of the great arteries) dan ditemukan dua sirkulasi darah yang paralel. Untuk kelangsungan hidup bayi dengan PJB jenis ini diperlukan percampuran darah antara jantung kiri dan kanan, yang mana akan diperoleh melalui DAP, DSA atau DSV. Pada jenis yang tidak disertai DSV saat usia neonatus perlu diberikan obat prostaglandin E-1 untuk mempertahankan duktus arteriosus tetap terbuka. Namun obat ini sifatnya hanya sementara, dan harus segera diikuti dengan tindakan pembuatan lubang di sekat serambi secara non bedah dengan balon. Tindakan ini disebut balloon atrial septostomy (BAS). Di samping kelainan anatomi jantung, PJB juga dapat menyangkut kelainan pada sistem konduksi jantung. Pacu jantung yang lemah atau adanya blok pada sistem konduksi jantung, berakibat denyut jantung/nadi yang pelan, sehingga tak mencukupi kebutuhan sirkulasi tubuh. Untuk itu perlu pemasangan alat pacu jantung (pacemaker) permanen. Pada anak yang sudah cukup besar pemasangan pacu jantung permanen ini dapat dilakukan tanpa bedah dengan menanam batere di bawah kulit di bahu kiri atau kanan dan memasukkan elektroda ke dalam serambi atau bilik jantung kanan melalui vena subklavia kiri atau kanan. Tetapi pada bayi masih diperlukan pembedahan dengan menempelkan elektroda epikardial di permukaan jantung dan menanam baterenya di bawah kulit di daerah subsifoid.TANDA DAN GEJALA PJB

Manifestasi klinis kelainan jantung kongenital sangat bervariasi, tergantung macam kelainannya. Kelainan yang menyebabkan penurunan aliran darah ke paru atau percampuran darah berkadar tinggi zat asam dengan darah kotor dapat menimbulkan sianosis, ditandai oleh kebiruan di kulit, kuku jari, bibir, dan lidah. Ini karena tubuh tidak mendapatkan zat asam memadai akibat pengaliran darah kotor ke tubuh. Pernapasan si anak akan lebih cepat dan nafsu makan berkurang.

Beberapa jenis kelainan jantung kongenital juga dapat menyebabkan gagal jantung. Kelainan ini menyebabkan terjadinya aliran darah dari sisi jantung kiri ke sisi jantung kanan yang secara progresif meningkatkan beban jantung. Gejala dari gagal jantung berupa napas

cepat, sulit makan dan menyusu, berat badan rendah, infeksi pernapasan berulang, dan toleransi gerak badan yang rendah. Termasuk dalam kelainan ini adalah: bocornya sekat serambi atau bilik jantung, menetapnya saluran penghubung antara aorta dan pembuluh darah paru yang seharusnya tertutup setelah lahir, gangguan pertumbuhan ruangan, katup dan pembuluh darah yang berhubungan dengan sisi jantung kiri, bocornya sekat antara serambi dan bilik jantung serta kelainan katup jantung, gagalnya pemisahan pembuluh darah besar jantung, serta terputusnya segmen aorta.

PEMERIKSAAN

1. Anamnesia

Anamnesis atau pertanyaan mengenai riwayat penyakit yang diajukan kepada orang tua pasien harus dilakukan secara sistematis dan terarah untuk mendapatkan informasi selengkap mungkin. Dimulai dari riwayat keluarga dan riwayat selama masa kehamilan yang berkaitan dengan kejadian yang diduga sebagai faktor penyebab, riwayat kelahiran, masa bayi dan usia anak yang mungkin dapat memberikan informasi tentang macam dan derajat gejala dini yang timbul sampai kepada riwayat tumbuh kembang dan toleransinya terhadap aktivitas. Toleransi terhadap aktivitas akan memberikan informasi penting tentang derajat PJB dan mengenai kemampuan jantung. Minum dan menangis merupakan aktivitas yang paling dini yang dilakukan oleh bayi dan akan terganggu bila ada penurunan toleransi akibat kelainan jantung. Gejalanya antara lain cepat lelah saat mengisap susu sehingga sering berhenti mengisap untuk istirahat beberapa saat, nafas memburu dan berkeringat banyak. Akibat adanya gangguan asupan makanan dan gisi maka akan terjadi gangguan pertumbuhan dan perkembangan. Pada anak yang lebih besar gejala penurunan toleransi terhadap aktivitas ini akan lebih jelas, yaitu cepat capai atau sesak nafas bila bermain, berlari atau berjalan agak jauh. Semua gangguan ini akan timbul makin dini dan nyata pada PJB yang berat.

Pada PJB biru akan terlihat anak biru (sianosis) pada bibir dan kuku jari tangan/kaki yang menetap sejak lahir atau sejak usia bayi dan mungkin akan bertambah berat secara progresif dengan bertambahnya umur. Pada yang berat dapat disertai serangan spel hipoksia dengan gejala sebagai berikut; anak tiba-tiba terlihat bertambah biru, gelisah, pernafasan cepat dan selanjutnya menjadi lemas, kesadaran menurun dan kadang disertai kejang. Beberapa faktor yang dapat menjadi pencetus terjadinya serangan tersebut, antara lain menangis kuat dan lama, demam, diare-dehidrasi, kelelahan ataupun kepanasan. Serangan ini terjadi akibat aliran darah yang ke paru makin menurun secara tiba-tiba disertai aliran darah yang kurang mengandung oksigen ke sirkulasi tubuh meningkat, sehingga organ-organ vital antara lain otak dan ginjal kekurangan oksigen dan tidak dapat berfungsi dengan baik (Roebiomo S, Poppy. 2007). 2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik yang sistimatis dan lengkap mulai dari kepala sampai kaki sangat diperlukan untuk deteksi dini adanya PJB. Walaupun demikian seringkali diagnosis anatomik belum dapat ditegakkan hanya dengan pemeriksaan fisik saja terutama pada PJB yang kompleks. Pemeriksaan fisik ini merupakan penyaring dan penentu diperlukannya pemeriksaan lanjutan yang lebih canggih.

Pemeriksaan fisik kardiovaskular yang paling penting adalah (1) pemeriksaan nadi dan tekanan darah yang pada beberapa penyakit tertentu harus dilakukan pada ke empat anggota gerak, (2) pemeriksaan jantung yang dilakukan dengan cara melihat bentuk serta pergerakan dada, meraba dinding dada, bila perlu mengetok dinding dada dan yang paling penting adalah mendengarkan suara jantung (auskultasi) dengan alat stetoskop, dan (3) pemeriksaan organ tubuh lainnya, seperti paru-paru, hati, limpa dan ginjal. Bukan hanya keras dan lemahnya denyut jantung, tetapi juga perubahan iramanya, terutama saat terjadi kontraksi rahim. Ketika janin stres denyut jantung yang tadinya berirama dan kuat, bisa saja jadi tidak berirama dan melemah. Denyut jantung janin normal 120-160 per menit, dengan variabilitas sekitar 5-25 denyut per menit (Roebiomo S, Poppy. 2007).

Hampir 50% dari anak-anak dengan PJB tidak memberikan gejala, sehingga PJB baru diketahui ketika dokter mendengar bising jantung saat pemeriksaan rutin atau pemeriksaan auskultasi jantung karena sakit yang lain (Roebiomo S, Poppy. 2007).

3. Pemeriksaan Elektrokardiografi

Elektrokardiogram (EKG) adalah rekaman aktivitas listrik jantung yang diperoleh dengan melekatkan elektroda pada permukaan tubuh. Pemeriksaan ini merupakan salah satu pemeriksaan penunjang rutin yang penting dalam bidang kardiologi yang aman dan tidak menimbulkan rasa sakit. Alat ini akan menangkap impuls listrik yang dikeluarkan jantung

dan kemudian merekamnya diatas kertas yang berjalan. Dari rekaman listrik jantung ini dapat diketahui irama jantung yang normal, irama yang teratur atau tidak teratur (aritmia),

frekwensi denyut, adanya fokus listrik ekstra, gangguan atau hambatan hantaran listrik, pembesaran atau penebalan otot rambi atau bilik jantung dan tanda-tanda kekurangan oksigen serta kerusakan atau kematian otot dinding bilik jantung. Kelainan anatomi atau adanya beban tekanan atau volume yang berlebihan di dalam ruang jantung akan menyebabkan kelainan aktivitas listrik, sehingga beberapa jenis PJB mempunyai gambaran EKG yang spesifik (Roebiomo S, Poppy. 2007). 4. Pemeriksaan Foto Rontgen Dada

Pemeriksaan foto Rontgen (Ro) dada dilakukan dengan menggunakan sinar X yang mempunyai daya tembus yang besar. Jaringan tubuh manusia mempunyai daya serap yang berbeda-beda terhadap sinar X ini sehingga terlihat pencitraan bagian-bagian atau organ-organ tubuh dengan baik, misalnya jantung, paru-paru dan tulang dada. Pemeriksaan ini tidak dapat memperlihatkan isi struktur dari jantung. Tidak berbahaya karena jumlah radiasi yang dikeluarkan oleh sinar X sangat kecil. Seperti pemeriksaan EKG, foto Ro dada juga merupakan pemeriksaan penunjang yang penting dan masih merupakan prosedur rutin dalam menegakkan diagnosis PJB. Dari pemeriksaan dapat diketahui kondisi paru-paru, ukuran dan bentuk jantung. Adanya pembesaran atau pembengkakan serambi dan bilik jantung, pembuluh darah utama yang keluar dari jantung ataupun pembuluh darah di paru-paru akibat PJB dapat terdeteksi. Pada pemeriksaan foto thorax didapatkan kardiomegali dengan pembesaran ventrikel kiri., vaskularisasi paru meningkat (plethora) dan bila terjadi penyakit vaskuler paru tampak pruned tree (seperti pohon tanpa ada cabang-cabangnya), disertai penonjolan a. pulmonal Pada elektrokardiogram dapat ditemukan hipertrofi ventrikel kiri dan mungkin hipertrofi atrium kiri. bila terdapat hipertrofi kedua ventrikel dan deviasi sumbu QRS ke kanan maka perlu dipikirkan adanya hipertensi pulmonal atau hipertrofi infundibulum ventrikel kanan (Roebiomo S, Poppy. 2007). 5. Pemeriksaan Laboratorium Darah Pada beberapa PJB tertentu kadang-kadang diperlukan pemeriksaan laboratorium darah seperti hemoglobin (Hb), hematokrit (Ht), analisa gas darah dan sebagainya untuk menilai berat ringannya penyakit (Roebiomo S, Poppy. 2007). 6. Pemeriksaan Ekokardiografi dan Doppler Pemeriksaan ekokardiografi dan Doppler adalah pemeriksaan non-invasif yang dapat memberikan informasi tentang anatomi dan morfologi jantung serta fungsi bilik jantung. Dalam bidang kardiologi pediatrik, sampai saat ini pemeriksaan ekokardiografi tetap merupakan pemeriksaan yang paling penting untuk menegakkan diagnosa. Dengan pemeriksaan yang baik dan teliti, diagnosis dapat ditegakkan secara akurat pada 95% kasus PJB. Pemeriksaan ini tidak sakit, tidak berbahaya dan cukup aman dilakukan terutama pada neonatus dan bayi dengan keadaan umum yang buruk. Pada bayi atau anak yang tidak dapat diam, takut atau tidak kooperatif, mungkin perlu diberikan obat penenang agar pemeriksaan dapat dilakukan dengan baik (Roebiomo S, Poppy. 2007). Pemeriksaan dilakukan dengan meletakkan alat transduser di dinding dada yang akan mengirimkan gelombang suara frekwensi tinggi (ultra sound) dan menerima kembali suara tersebut yang dipantulkan oleh segmen-segmen jantung dengan kepadatan yang berbeda. Dengan mengubah posisi dan arah transduser sesuai dengan lokasi segmen potongan jantung akan tampak spektrum eko dari objek yang diamati seperti ruang-ruang, katup, sekat dan dinding jantung serta pembuluh darah utama secara lebih jelas dan spesifik. Dengan alat Doppler dapat diukur aliran darah didalam jantung dan pembuluh darah. Perubahan arah, kecepatan dan turbulensi aliran darah akibat beratnya kelainan anatomi jantung akan terdeteksi. Kombinasi pemeriksaan ekokardiografi 2-dimensi dengan Doppler berwarna akan memperlihatkan anatomi dan profil aliran didalam jantung yang akan meningkatkan akurasi diagnosis (Roebiomo S, Poppy. 2007). Diagnosis PJB dapat ditegakkan secara lengkap dengan melakukan pemeriksaan ekokardiografi secara sistimatis analisis segmental anatomi jantung mulai dari penentuan letak (situs), pembuluh darah balik yang masuk ke jantung, hubungan antara serambi dan bilik jantung, hubungan antara bilik jantung dengan pembuluh darah utama yang keluar dari jantung, dan struktur anatomi setiap ruang-ruang, dinding, sekat serta katup-katup jantung. Dengan pemeriksaan Doppler dapat diketahui ada tidaknya dan arah aliran pirau melalui lubang sekat, menilai beratnya penyempitan katup jantung atau alur keluar bilik jantung atau pembuluh darah, kebocoran katup serta menukur tekanan dalam ruang-ruang jantung dan curah jantung (Roebiomo S, Poppy. 2007). 7. Pemeriksaan Kateterisasi Jantung Dan Angiografi Pemeriksaan kateterisasi jantung dan angiografi adalah pemeriksaan invasif yang dilakukan untuk melengkapi data yang tidak dapat diperoleh dari pemeriksaan non-invasif sebelumnya. Dengan berkembangnya teknologi, dalam banyak hal peran pemeriksaan invasif yang mengandung risiko tidak kecil ini ternyata telah tergeser oleh pemeriksaan ekokardiografi. Pemeriksaan invasif ini dilakukan dengan memasukkan kateter kedalam ruang-ruang jantung dan pembuluh darah utama melalui pembuluh nadi dan pembuluh balik besar di lipat paha. Dengan bantuan fluoroskopi Rontgen, kateter tersebut akan dimanipulasi kedalam setiap ruang-ruang jantung dan pembuluh darah. Selanjutnya dilakukan pencatatan tekanan dan pengambilan contoh darah dari setiap ruang dan pembuluh darah utama untuk menilai efek dari kelainan yang ada terhadap fungsi jantung dan sirkulasi paru (Roebiomo S, Poppy. 2007). Pemeriksaan angiografi kemudian dilakukan dengan menyuntikkan bahan kontras radio-opak kedalam ruang jantung atau pembuluh darah sehingga pada fluoroskopi Rontgen akan terlihat jelas ruang-ruang dan pembuluh darah tersebut berikut kelainan yang ada. Ini akan direkam dalam film atau video agar kemudian dapat dilihat ulang untuk dipelajari dengan teliti.

Umumnya penderita dirawat di rumah sakit sehari sebelum pemeriksaan kateterisasi jantung dan harus puasa sekitar 6 jam sebelum pemeriksaan dilakukan. Selama pemeriksaan penderita diberi obat penenang dan penghilang nyeri atau dalam anestesi umum sehingga penderita relax dan tidur selama pemeriksaan berlangsung (Roebiomo S, Poppy. 2007). Mengingat risikonya yang tidak sedikit, pemeriksaan ini harus direncanakan dengan baik dan dilakukan sangat selektif, terutama pada neonatus dan bayi atau anak dengan kondisi yang buruk. Kadang-kadang pemeriksaan ini mutlak harus dilakukan pada beberapa jenis PJB tertentu untuk menentukan indikasi dan kontra indikasi tindakan bedah (Roebiomo S, Poppy. 2007).

PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan neonatus dengan dugaan PJB kritis tidak jauh berbeda dengan kondisi kritis pada neonatus akibat penyakit diluar jantung. Faktanya, ada kecenderungan para dokter untuk melepaskan tanggung jawab dan menyerahkan ke dokter konsultan jantung. Hal ini tidak boleh terjadi dan alur penatalaksanaannya menjadi tidak efektif sehingga akhirnya merugikan pasien.

Penatalaksanaan awal pada setiap neonatus dengan PJB kritis sangat berperan dalam mencegah memburuknya kondisi klinis bahkan kematian dini. Diawali dengan penatalaksanaan kegawatan secara umum kemudian dilanjutkan penatalaksanaan kegawatan jantung secara khusus sesuai dengan masalah kritis yang sedang dihadapi (sianosis sentral, peningkatan aliran darah ke paru atau penurunan aliran darah ke sistemik) sebagai berikut :

1. Penempatan pada lingkungan yang nyaman dan fisiologis (suhu 36,5-37oC dan kelembaban sekitar 50%).

2. Pemberian oksigen.

Oksigen sering diberikan pada neonatus yang dicurigai menderita PJB tanpa mempertimbangkan tujuan dan dampak negatifnya. Pemberian oksigen pada neonates mengakibatkan vasokonstriksi arteria sistemik dan vasodilatasi arteria pulmonalis, hal ini memperburuk PJB dengan pirau kiri ke kanan. Pemberian oksigen pada neonatus ductus dependent sistemic circulation atau ductus dependent pulmonary circulation malah mempercepat penutupan duktus dan memperburuk keadaan. Pada kedua kondisi tersebut lebih baik mempertahankan saturasi oksigen tidal lebih dari 85% dengan udara kamar (0,21% O2).

Saturasi oksigen neonatus dengan PJB sianotik selalu rendah dan tidak akan meningkat secara nyata dengan pemberian oksigen. Namun demikian, pada neonatus yang mengalami distres, akan mengganggu ventilasinya dan gangguan ini dapat akan berkurang dengan pemberian oksigen yang dilembabkan dengan kecepatan 2-4 liter per menit dengan masker atau kateter nasofaringeal. Pada neonatus dengan distres nafas yang berat maka bantuan ventilasi mekanik sangat diperlukan.

3. Pemberian cairan dan nutrisi

Harus dipertahankan dalam status normovolemik sesuai umur dan berat badan. Pada neonatus yang dengan distres ringan dengan pertimbangan masih dapat diberikan masukan oral susu formula dengan porsi kecil tapi sering. Perlu perhatian khusus pada PJB kritis terhadap gangguan reflex menghisap dan pengosongan lambung serta risiko aspirasi. Pemberian melalui sonde akan menambah distres nafas dan merangsang reflex vagal. Pada kondisi shock, pemberian cairan 10 15 ml/kgBB dalam 1-2 jam, kemudian dilihat respons terhadap peningkatan tekanan darah, peingkatan produksi urine dan tanda vital yang lain. Disfungsi miokard akibat asfiksia berat memerlukan pemberian dopamin dan dobutamin.

Pemberian diet pada penderita penyakit jantung bawaan untuk mengatasi gangguan pertumbuhan seharusnya dengan pemberian komponen diet yang lebih tinggi dibanding anak normal agar dapat mencapai pertumbuhan optimal. Recommended Dietary Allowances (RDA) yang dibutuhkan oleh anak umur kurang dari 6 bulan dengan PJB berat adalah 40 % lebih besar dari kebutuhannya.

Namun penelitian ini tidak membedakan tipe dari PJB dan beratnya gangguan hemodinamiknya. Pada anak dengan PJB asianotik membutuhkan nutrien lebih tinggi daripada anak normal. Energi yang dibutuhkan 20-30 % di atas RDA agar dapat mencapai tumbuh kejar.

Penelitian dilakukan oleh Bougle dkk pada bayi berumur 2-14 minggu dengan PJB asianotik yang mengalami gagal jantung dan gagal tumbuh serta memperoleh digitalis dan diuretik. Mereka diberi minum melalui sonde lambung secara kontinyu selama 40 hari. Cairan susu formula bayi yang diperkaya energi dalam bentuk MCT dan karbohidrat, diberikan mulai 40 ml/kgBB/hari ditingkatkan secara progresif sampai terjadi kenaikan berat badan. Jumlah kalori yang diberikan rata-rata 137 kkal/kgBB/hari. Terjadi peningkatan berat badan yang bermakna.

4. Pemberian prostaglandin E1

Merupakan tindakan awal yang harus diberikan, sebagai life-saving dan sementara menunggu kepastian diagnosis, evaluasi dan menyusun terapi rasional selanjutnya, prostaglandin E1 diberikan pada :

Setiap bayi umur kurang dari 2 minggu yang dicurigai dengan PJB sianosis (ductus dependent pulmonary circulation). Tujuan : meningkatkan aliran darah ke paru (Atresia pulmonal, pulmonal stenosis yang berat, atresia trikuspid) atau meningkatkan tekanan atrium kiri agar terjadi pirau kiri ke kanan sehingga oksigenasi sistemik menjadi lebih baik (transposisi pembuluh darah besar). Setiap bayi umur kurang dari 2 minggu yang disertai syok, pulsasi perifer lemah atau tak teraba, kardiomegli dan hepatomegali (ductus dependent systemic circulation). Tujuan : meningkatkan aliran darah ke arteri sistemik (aorta stenosis yang kritis, koartasio aorta, transposisi pembuluh darah besar, interrupted arkus aorta atau hipoplastik jantung kiri).

Dosis awal 0,05 mikrogram/kgBB/menit secara intravena atau melalui kateter umbilikalis, dosis bisa dinaikkan sampai 0,1 sampai 0,15 mikrogram/kgBB/menit selama belum timbul efek samping dan sampai tercapai efek yang optimal. Bila terjadi efek samping berupa hipotensi atau apnea maka pemberian prostaglandin segera diturunkan dosisnya dan diberikan bolus cairan 5-10 ml/kgBB intravena. Bila terjadi apnea maka selain menurunkan dosis prostaglandin E1, segera dipasang intubasi dan ventilasi mekanik dengan O2 rendah, dipertahankan minimal saturasi oksigen mencapai 65 %.

Bila keadaan sudah stabil kembali maka dapat dimulai lagi dosis awal, bila tidak terjadi efek samping pada pemberian dosis 0,05 mikrogram/kgBB/menit tersebut, maka dosis dapat diturunkan sampai 0,01 mikrogram/kgBB/menit atau lebih rendah sehingga tercapai dosis minimal yang efektif dan aman. Selama pemberian prostaglandin E1 perlu disiapkan ventilator dan pada sistem infusion pump tidak boleh dilakukan flushed. Harus dipantau ketat terhadap efek samping lainnya yaitu : disritmia, diare, apnea, hipoglikemia, NEC, hiperbilirubinemia, trombositopenia dan koagulasi intravaskular diseminata, perlu juga diingat kontraindikasi bila ada sindroma distres nafas dan sirkulasi fetal yang persisten. Bila ternyata hasil konfirmasi diagnosis tidak menunjukkan PJB maka pemberian prostaglandin E1 segera dihentikan.

Telah dicoba pemakaian prostaglandin E2 per oral, mempunyai efek yang hampir sama dengan prostaglandin E1, lebih praktis dan harganya lebih murah. Pada awalnya diberikan setiap jam, namun bila efek terapinya sudah tercapai, maka obat ini dapat diberikan tiap 3-4 jam sampai 6 jam. Dapat mempertahankan terbukanya duktus dalam beberapa bulan, namun duktus akan menutup bila pemberiannya dihentikan.

Untuk neonatus usia 2-4 minggu, walaupun angka kesuksesan rendah , masih dianjurkan pemberian prostaglandin E1 . Bila dalam 1-2 jam setelah pemberian dosis maksimum (0,10 mikrogram/kgBB/menit) ternyata tidak terjadi reopen duktus, maka pemberiannya harus segera distop dan direncanakan untuk urgent surrgical intervention. 5. Koreksi terhadap gagal jantung dan disritmia

Bila gagal jantung telah dapat ditegakkan, maka obat pertama yang harus diberikan adalah diuretik dan pembatasan cairan, biasanya furosemid dengan dosis awal 1 mg/kgBB yang dapat diberikan intravena atau per oral, 1 sampai 3 kali sehari.

Cedilanid dapat ditambahkan untuk memperkuat kontraksi jantung (inotropik dan vasopresor) dengan dosis digitalisasi total untuk neonatus preterm 10 mikrogram/kgBB per oral, untuk neonatus aterm 10 20 mikrogramkgBB per oral. Diberikan loading dose sebesar 1/2 dari dosis digitalisasi total, disusul 1/4 dosis digitalisasi total 6 -12 jam kemudian dan 1/4 dosis sisanya diberikan 12-24 jam kemudian. Disusul dosis rumatan 5-10 mikrogram/kgBB per oral. Pemberian intravena dilakukan bila per oral tidak memungkinkan, dosis 80% dari dosis per oral. Dosis per oral maupun intravena diturunkan sampai 60% nya bila ada penurunan funsi ginjal.

Dopamin dosis 2-20 mikrogram/kgBB/menit per drip (dilatasi renal vascular bed)dikombinasi dengan Dobutamin dosis 2-20 mikrogram/kgBB/menit per drip (meningkatkan kontraktilitas miokard) merupakan kombinasi yang sangat baik untuk meningkatkan penampilan jantung dengan dosis yang minimal.

Captopril sebagai vasodilator (menurunkan tahanan vaskuler sistemik dan meningkatkan kapasitas sistem vena) ) sangat berperan pada neonatus dengan gagal jantung kongestif. Dosis 1 mg/kgBB per oral dosis tunggal disusul dosis yang sama untuk rumatan. Sangat efektif pada kondisi neonatus dengan:

penurunan fungsi ventrikel pirau kiri ke kanan yang masif regurgitasi katup hipertensi sistemik hipertensi pulmonal.

Dengan meningkatkan kontraktilitas miokard, menurunkan sinoatrial node rate, dilatasi renal vascular bed, dan menurunkan tahanan sistemik, maka penampilan jantung dapat ditingkatkan sehingga dapat meningkatkan sirkulasi perifer dan mengurangi hipoksia jaringan.

Disritmia jantung sering menyertai hipoksemia berat, bila hipoksemia berat telah dikurangi dan kelainan metabolik lainnya dikoreksi, maka disritmianya biasanya akan menghilang dengan sendirinya. Tidak dianjurkan memberikan obat anti disritmia tanpa memperbaiki hipoksemia dan kelainan metabolik lainnya yang menyertai, selain tidak bermanfaat juga malah menimbulkan disritmia jenis lain yang lebih membahayakan.

6. Koreksi terhadap kelainan metabolik

Hipoksia jaringan akan menyebabkan asidosis metabolik yang seringkali sukar dikoreksi. Untuk kondisi ini harus diberikan Na-bikarbonat, dosis 1-2 ml/kgBB intravena perlahan-lahan atau disesuaikan dengan hasil analisis gas darah.

Hipoglokemia dan gangguan keseimbangan elektrolit yaitu kalium, natrium, magnesium dan kalsium sering menyertaikondisi hipoksemia, koreksi secepatnya bila pada pemantauan klinis ditemukan hal-hal tersebut.

7. Terapi Genetik

Sebuah penelitian baru membuktikan bahwa KCNQ1 adalah gen utama yang menyandi fungsi jantung. Mutasi yang terjadi pada gen tersebut akan menyebabkan penyakit jantung bawaan pada ratusan ribu anak dan akan menimbulkan gangguan rhytm atau irama jantung dengan penderitaan seumur hidup. Kondisi ini pada akhirnya bisa menyebabkan gagal jantung atau Cardiac suddent dan kematian. Penelitian di Cardiac Research Center, Niigata University Hospital, Jepang telah melakukan uji gene screening pada lebih dari seratus keluarga dengan penderita penyakit jantung bawaan.

Dari hasil penelitian ini menggambarkan sesuatu yang sangat baru dalam ilmu genetika kedokteran, bahwa mutasi gen KCNQ1 menjadi dasar timbulnya kelainan jantung bawaan LQTS, dan diturunkan secara dominan autosomal. Keparahan penyakit tersebut ditentukan bukan hanya oleh lokasi terjadinya mutasi, namun yang lebih penting lagi adalah jenis asam amino pembentuk mutan tersebut. Sehingga tentunya, hasil ini dimasa depan dapat digunakan sebagai dasar ilmiah teknik pengobatan genetik (gene therapy) bagi penderita penyakit jantung bawaan, yaitu dengan cara mentransgenikkan asam amino mutant pada pasien kearah asam amino normal.ASUHAN KEPERAWATAN1. Pengkajian

a. Anamnesa

a). Identitas

(1). Usia

Perlu dikaji pada usia berapa gejala mulai muncul.

(2). Jenis kelamin

Laki laki dan perempuan mempunyai peluang yang sama dalam hal terjadinya penyakit jantung bawaan.

(3). Pekerjaan

Pada umumnya anak akan merasa sesak pada saat beraktivitas.

b). Keluhan Utama

Keluhan orang tua pada waktu membawa anaknya ke dokter tergantung dari jenis dan derajat defek yang terjadi baik pada ventrikel maupun atrium, tapi biasanya terjadi sesak, pembengkakan pada tungkai dan berkeringat banyak.Menanyakan adanya keluhan-keluhan utama yang dirasakan : nadi kecil dan tidak teratur , berdebar-debar, sesak nafas, nyeri dada, kelelahan, kejang-kejang, keringat berlebihan.c). Riwayat kesehatan masa lalu

Menanyakan tentang penyakit-penyakit yang berhubungan lansung dengan system kardio vascular. Tanyakan kepada pasien adanya riwayat nyeri dada , nafas pendek, alkoholik, anemia, demam rematik, sakit tenggorokan yang di sebabkan streptococcus, penyakit jantung bawaan, stroke, pingsan hipertensi, thromboplebitis, nyeri yang hilang timbul, varises dan oedema.

d). Riwayat kehamilan

Menanyakan tentang penyakit yang pernah diderita selama periode antenatal. Infeksi rubella dapat menyebabkan cacat pada jantung bayi, terkenal sebagai sindrom rubella yaitu PDA, tuli dan katarak. SLE (Sistemic Lupus Eritematosus) dapat menimbulkan blokade jantung total pada bayi. Diabetes Mellitus juga dapat menyebabkan terjadinya kardiomiopati pada bayi yang dikandung.

e). Riwayat Kesehatan Keluarga

Menanyakan adanya PJB pada keluarga, baik dengan abnormalitas kromosom, misalnya Down Syndrom.

f). Riwayat Pengobatan

Tanyakan kepada pasien tentang pengobatan yang pernah pasien jalani seperti pemakaian aspirin. Pengkajian pengobatan harus di tuliskan nama dari obatnya dan pasien mengerti tentang kegunaan dan efek sampingnya. Adapun obat-obat yang dapat mempengaruhi system kardiovaskuler seperti : anticonvulsants, antidepressant, antipsychotics, cerebral stimulants, cholinergics, estrogens, nonnarcotic analgesics dan antipyretics, oral contraceptives, sedatives and hypnotics, spasmolytics. Kebiasaan mengkonsumsi jamu tradisional, merokok dan alkohol juga perlu dikaji.

g). Riwayat pembedahan

Pasien juga harus ditanyakan secara spesifik tentang pembedahan yang pernah di jalani, perawatan rumah sakit yang berhubungan dengan kardiovaskuler. Hasil-hasil data diagnostic yang pernah di lakukan selama perwatan harus lebih di kaji. Harus di catat dimana ECG dan foto rontgen dapat dijadikan data dasar.b. Pemeriksaan Fisik

1). Keadaan umum. Pasien tampak lemah / cukup baik / tampak sakit berat / tampak sesak. Kesadaran penderita komposmentis, apatis, somnalens, sopor,soporokoma atau koma.

2). Tanda-tanda vital, meliputi:

a) Tekanan darah :

b) Denyut nadi : takikardia

c) Suhu tubuh : normal, apabila tidak ada infeksi

d) Respirasi rate : takipneu, dispneu3). Pemeriksaan head to toe

a) KepalaTidak ada penambahan lingkar kepala (LILA) karena gangguan tumbuh kembang. Oedem wajah, anemis, mukosa bibir kering

b) Leher

Terdapat pembesaran vena jugularis

c) Dada / thorax

Inspeksi:

Terdapat otot bantu nafas retraksi interkostae, deformitas dada, ekskursi pernapasan (takipnea, dispnea, adanya dengkur ekspirasi).

Palpasi:

Septal Defect/Defek Septum Atrium (ASD) aktivitas ventrikel kanan jelas teraba di parasternal kanan dan thrill di sela iga II atau III kiri

Auskultasi:

Septal Defect/Defek Septum Atrium (ASD). Pada tipe ostium sekundum dan sinus venosus terdengar bising ejeksi sistolik di daerah sela iga 2 atau 3 pinggir sternum kiri disertai fixed splitting bunyi jantung II. Hal ini menggambarkan penambahan aliran darah melalui katup pulmonal. Kadang kadang terdapat juga bising awal diastolik pada garis sterna bagian bawah yang menggambarkan penambahan aliran di katup trikuspid.

Pada auskultasi jantung terdeteksi adanya murmur jantung. Frekwensi dan irama jantung menunjukkan deviasi bunyi dan intensitas jantung yang membantu melokalisasi defek jantung. auskultasi pada paru-paru menunjukkan ronki kering kasar.pada auskultasi tekanan darah terjadi penyimpangan dibeberapa kondisi jantung (mis; ketidaksesuaian antara ekstremitas atas dan bawah)

d) Abdomen

Teraba adanya pembesaran hepar (hepatomegali) / splenomegali

e) Genetalia

Terjadi oliguri

f) Anus

g) Ekstremitas dan kulit

Terjadi sianosis perifer hingga sianosis central, diaphoresis, oedem tungkai, kelemahan, ujung ujung jari hiperemik. Pada pasien tertentu seperti pada Tetralogi Fallot anak sering jongkok setelah lelah berjalan.

c. Pemeriksaan Diagnostik

1). Pemeriksaan laboratorium

Ditemukan adanya peningkatan hemoglobin dan hematokrit (Ht) akibat saturasi oksigen yang rendah. Pada umumnya hemoglobin dipertahankan 16-18 gr/dl dan hematokrit antara 50-65 %. Nilai BGA menunjukkan peningkatan tekanan partial karbondioksida (PCO2), penurunan tekanan parsial oksigen (PO2) dan penurunan PH.pasien dengan Hn dan Ht normal atau rendah mungkin menderita defisiensi besi.

2). Radiologis

Sinar X pada thoraks menunjukkan penurunan aliran darah pulmonal, tidak ada pembesaran jantung . gambaran khas jantung tampak apeks jantung terangkat sehingga seperti sepatu.

3). Elektrokardiogram

Pada EKG sumbu QRS hampir selalu berdeviasi ke kanan. Tampak pula hipertrofi ventrikel kanan. Pada anak besar dijumpai P pulmonal.

4). Ekokardiografi

Memperlihatkan dilatasi aorta, overriding aorta dengan dilatasi ventrikel kanan,penurunan ukuran arteri pulmonalis & penurunan aliran darah ke paru-paru

5). Kateterisasi

Diperlukan sebelum tindakan pembedahan untuk mengetahui defek septum ventrikel multiple, mendeteksi kelainan arteri koronari dan mendeteksi stenosis pulmonal perifer. Mendeteksi adanya penurunan saturasi oksigen, peningkatan tekanan ventrikel kanan, dengan tekanan pulmonalis normal atau rendah.

ANALISA DATA

INTERVENSI a). Penurunan kardiac output b.d sirkulasi yang tidak efektif sekunder dengan adanya malformasi jantung

Tujuan : Anak dapat mempertahankan kardiak output yang adekuat.

Kriteria hasil

Tanda-tanda vital normal sesuai umur

Tidak ada : dyspnea, napas cepat dan dalam, sianosis, gelisah/letargi, takikardi, mur-mur.

Pasien komposmentis

Akral hangat

Pulsasi perifer kuat dan sama pada kedua ekstremitas

Capilary refill time < 3 detik

Urin output 1-2 ml/kgBB/jam

Intervensi :

1) Monitor tanda vital,pulsasi perifer,kapilari refill dengan membandingkan pengukuran pada kedua ekstremitas dengan posisi berdiri, duduk dan tiduran jika memungkinkan

2) Kaji dan catat denyut apikal selama 1 menit penuh

3) Observasi adanya serangan sianotik

4) Berikan posisi knee-chest pada anak

5) Observasi adanya tanda-tanda penurunan sensori : letargi,bingung dan disorientasi

6) Monitor intake dan output secara adekuat

7) Sediakan waktu istirahat yang cukup bagi anak dan dampingi anak pada saat melakukan aktivitas8) Sajikan makanan yang mudah di cerna dan kurangi konsumsi kafeine.9) Kolaborasi dalam: pemeriksaan serial ECG, foto thorax, pemberian obat-obatan anti disritmia10) Kolaborasi pemberian oksigen11) Kolaborasi pemberian cairan tubuh melalui infuse

b). Intoleransi aktivitas b.d ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen

Tujuan : Anak menunjukan peningkatan kemampuan dalam melakukan aktivitas (tekanan darah, nadi, irama dalam batas normal) tidak adanya angina.

Kriteria hasil :

Tanda vital normal sesuai umur

Anak mau berpartisipasi dalam setiap kegiatan yang dijadwalkan

Anak mencapai peningkatan toleransi aktivitas sesuai umur

Fatiq dan kelemahan berkurang

Anak dapat tidur dengan lelap

Intervensi :

1) Catat irama jantung, tekanan darah dan nadi sebelum, selama dan sesudah melakukan aktivitas.2) Anjurkan pada pasien agar lebih banyak beristirahat terlebih dahulu.3) Anjurkan pada pasien agar tidak ngeden pada saat buang air besar.4) Jelaskan pada pasien tentang tahap- tahap aktivitas yang boleh dilakukan oleh pasien.5) Tunjukan pada pasien tentang tanda-tanda fisik bahwa aktivitas melebihi batas6) Bantu anak dalam memenuhi kebutuhan ADL dan dukung kearah kemandirian anak sesui dengan indikasi7) Jadwalkan aktivitas sesuai dengan usia, kondisi dan kemampuan anak.

c). Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d fatiq selama makan dan peningkatan kebutuhan kalori,penurunan nafsu makan.

Tujuan : anak dapat makan secara adekuat dan cairan dapat dipertahankan sesuai dengan berat badan normal dan pertumbuhan normal.

Kriteria hasil :

Anak menunjukkan penambahan BB sesuai dengan umur

Peningkatan toleransi makan.

Anak dapat menghabiskan porsi makan yang disediakan

Hasil lab tidak menunjukkan tanda malnutrisi. Albumin,Hb

Mual muntah tidak ada

Anemia tidak ada.

Intervensi :

1) Timbang berat badan anak setiap pagi tanpa diaper pada alat ukur yang sama, pada waktu yang sama dan dokumentasikan.2) Catat intake dan output secara akurat3) Berikan makan sedikit tapi sering untuk mengurangi kelemahan disesuaikan dengan aktivitas selama makan (menggunakan terapi bermain)4) Berikan perawatan mulut untuk meningktakan nafsu makan anak5) Gunakan dot yang lembut bagi bayi dan berikan waktu istirahat di sela makan dan sendawakan6) Gunakan aliran oksigen untuk menurunkan distress pernafasan yang dapat disebabkan karena tersedak7) Berikan formula yang mangandung kalori tinggi yang sesuaikan dengan kebutuhan8) Batasi pemberian sodium jika memungkinkan9) Bila ditemukan tanda anemia kolaborasi pemeriksaan laboratorium

DAFTRA PUSTAKA

Erawan, Krisna. 2009. Penyakit Jantung Kongenital.

Djer M.Mulyadi, Dkk. 2007. Penatalaksanaaan Jantung Bawaan Tanpa Bedah. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Primasari, dyah. 2012. Perbedaan Perkembangan Pada Anak Dengan Penyakit Jantung Bawaan Sianotik Dan Non-Sianotik. Fakulyas Kedokteran Universitas Diponegoro

Hariyanto, Didik. 2012. Profil Penyakit Jantung Bawaan Di Instalasi Rawat Inap Anak RSUP Dr. M. Djamil Padang Januari 2008- Februari 2011. Sari Pediatri : Padang

Roebiomo S, Poppy. 2007. Bagaimana Dokter Spesialis Jantung Melakukan Pemeriksaan Pada Anak Dengan Pneyakit Jntung. National Cardiovascular Center Harpan Kita.

Prihatini, Yenni Rika. 2013. Penyakit ajntung Bawaan. Surabaya Universitas Airlangga

.America Heart Assosiation.2009. Understand Your Risk for Congenital Heart Defects.

Doengoes, Marlyn E et al. 2010. Nursing Diagnosis Manual: Planning, Individualizing,and Documenting Client Care. F. A. Davis Company, Philadelphia.Herdman, T. Heather. 2007.NANDA International Nursing Diagnoses: Definitions andClassification 2009-2011. Wiley-Blackwell, UnitedKingdo