resume b sken 2

Upload: riswan-febrianto

Post on 11-Feb-2018

313 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 7/23/2019 Resume B Sken 2

    1/95

    RESUME SKENARIO 2

    Oleh:

    KELOMPOK B

    1. Aries Rahman H. 082010101017

    2. Dian Ayu I. 082010101024

    3. Yonatha Novara P. 082010101025

    4. Pristhania Rizka 082010101027

    5. Cita Budiarti 082010101031

    6. Freicillya R. C. 082010101039

    7. M. Rudy Febriansyah 082010101042

    8. Fina Aprilisa 082010101044

    9. Ayunita Tri W. 082010101045

    10. Nindhita Retno P. 082010101049

    11. Bagus Lukman H. 082010101050

    12. Amin Kamaril W. 082010101051

    13. Rina Mulya Sari 082010101070

    14. Made Ngurah Arya P. 082010101079

    15.

    2008

    [FAKULTAS KEDOKTERAN]Universitas Jember

  • 7/23/2019 Resume B Sken 2

    2/95

    [KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

    16.

    SKENARIO

    Suasana IGD RS Kepolisian Pusat berubah ramai setelah mendapat kiriman

    korban penggerebekan di sebuah sarang teroris. Tampak dua orang polisi tergolek

    lemah, seorah dengan avulsi pada regio frontoparietal dextra dengan kesadaran

    menurun akibat bacokan senjata tajam teroris, sedang seorang anggota lain

    bernafas tersengal-sengal akibat dadanya tertembus peluru setinggi ICS V.

    Sedangkan korban dari pihak teroris sebanyak 3 orang, dengan satu orang tewas

    akibat tertembus peluru petugas di mata sebelah kanan menembus telinga

    kanannya. Sementara satu orang teroris terkapar dengan luka tembak di dada

    kanan serta darah yang keluar dari telinga kanan. Di sudut lain ruangan tampak

    seorang teroris dengan kedua mata berdarah akibat ledakan bom polisi, dibebat

    seadanya.

    2

  • 7/23/2019 Resume B Sken 2

    3/95

    [KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

    PERMASALAHAN

    A. Trauma Kapitis

    1. Trauma Difus

    2. Terlokalisir

    a. Perdarahan epidural

    b. Perdarahan subdural

    c. Kontusio/ perdarahan intraserebral

    3. Cedera otak

    a. Ringan

    b. Sedang

    c. Berat

    B. Trauma Thoraks

    1. Pneumothoraks

    a. Simple

    b. Tension

    2. Kontusio paru

    3. Hemothoraks

    4. Tamponade Jantung

    5. Flail chest

    6. Ruptur aorta

    C. Trauma Mata

    1. Mekanik

    a. Tumpul

    b. Tajam

    2. Kimia

    3. Fisik / Radiasi

    D. Trauma THT

    1. Tuli Mendadak

    2. Epistaksis

    3. Barotrauma Ear

    2

  • 7/23/2019 Resume B Sken 2

    4/95

    [KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

    4. Sindroma Post Concution

    E. Multiple trauma

    F. Traumatologi forensik Jenis trauma

    1. Trauma Tajam

    2. Trauma Tumpul

    3. Trauma Tembak

    2

  • 7/23/2019 Resume B Sken 2

    5/95

    [KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

    PEMBAHASANA. TRAUMA KAPITIS

    1. Trauma Difus

    Mulai dari konkusi ringan dimana gambaran CT scan normal sampai

    kondisi yang sangat buruk. Pada konkusi, penderita biasanya kehilangan

    kesadaran dan mungkin mengalami retro atau anterograd.

    Cedera otak difus yang berat biasanya diakibatkan hipoksia, iskemi dari

    otak karena syok yang berkepanjangan atau periode apneu yang terjadi segera

    setelah trauma. Pada beberapa kasus, CT scan sering menunjukkan gambaran

    normal, atau gambaran edema dengan batas area putih dan abu-abu yang kabur.

    Pada kasus kecelakaan motor dengan kecepatan tinggi, pada CT scan

    menunjukkan gambaran titik-titik perdarahan multiple diseluruh hemisfer otak

    yang terkonsentrasi di batas area putih dengan abu-abu.

    Selama ini dikenal istilah Cedera Aksonal Difus untuk mendefinisikan trauma

    otak berat dengan prognosis yang buruk.

    2. Terlokalisir

    a. Perdarahan Epidural

    Definisi

    Merupakan akumulasi traumatik antara lapisan dalam tengkorak dan

    lapisan duramater yang terlepas. Disebabkan biasanya oleh trauma tumpul. Pada

    85-95% pasien merupakan akibat dari fraktur pada tulang tengkorak.

    2

  • 7/23/2019 Resume B Sken 2

    6/95

    [KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

    Patifisiologi

    Sekitar 70-80% EDH berada pada regio temporoparietal dimana fraktur

    tengkorak melewati jalur arteri meningeal media atau cabang arteri ke dura.

    Frontal dan oksipital hematoma terjadi pada 10% kejadian, yang dapat berlanjut

    ke atas atau ke bawah tentorium. Hematoma dan fraktur tengkorak jarang terjadi

    pada anak karena elastisitas kalvaria.

    Epidural hematoma biasanya berasal dari arteri namun 1 dari 3 pasien

    berasal perdarahan vena. Terkadang, robeknya sinus venosus menyebabkan

    epidural hematoma, khususnya pada regio parietal-oksipital atau fosa posterior.

    Cedera ini cenderung mengecil dan ringan. Biasanya, epidural hematoma vena

    hanya disertai depresi fraktur tengkorak, yang melepas dura dari tulang dan, oleh

    karena itu, menciptakan ruang untuk akumulasi darah. Pada pasien tertentu,

    epidural hematoma dapat diterapi non-bedah.

    Perdarahan yang meluas dan banyak dapat mengakibatkan midline shift

    dan herniasi uncus. Penekanan jaringan otak dapat mengenai saraf kranial III,

    mengakibatkan dilatasi pupil ipsilateral dan hemiparesis kontralateral atau

    respons motorik ekstensor.

    Epidural hematoma pada umumnya stabil, mencapai ukuran maksimum

    dalam beberapa menit namun dapat kronis dan dapat terdeteksi hanya beberapa

    hari setela cedera.

    Gejala

    Kurang dari 20% pasien menunjukkan gambaran klasik dari lucid interval antar

    trauma awal dan gangguan neurologis berikutnya.

    Berdasarkan cederanya, pasien dapat sadar atau tidak

    Sakit kepala berat

    Muntah

    Kejang

    Pasien EDH pada fosa posterior dapat mengalami kerusakan neurolis yang

    terlambat, pasien dapt sadar dan berbicara dan beberapa menit kemudian apneu,

    koma dan beberapa menit lagi meninggal.

    2

  • 7/23/2019 Resume B Sken 2

    7/95

    [KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

    Pemeriksaan fisik

    Respons Cushingdapat mengidikasi peningkatan TIK:o Hipertensi

    o Bradikardi

    o Bradipnea

    Tingkat kesadaran dapat berkurang, dengan penurunan atau fluktuasi GCS.

    Kontusio, laserasi, atau depresi tulang dapat di observasi pada area cedera.

    Pupil dilatasi, lamabt atau tidak reaktif, cedera ipsilateral atau bilateral,

    kemungkinan peningkatan TIK atau herniasi.

    Trias Klasikindikasi herniasi transtentorial terdiri dari :

    o Koma

    o Pupil dilatasi dan tidak respons

    o Sikap deserebrasi

    Hemiplegia kontra lateral

    Pemeriksaan Lab.

    Abnormalitas koagulasi merupakan tanda cedera kepala berat. Kerusakkan

    BBB dengan jaringan otak yang terpapar merupakan penyebab potesial untuk

    DIC.

    Pemeriksaan Radiologi

    CT scan pada kepala

    2

  • 7/23/2019 Resume B Sken 2

    8/95

    [KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

    Terapi

    Pra-RS

    o Stabilkan kondisi mengancam jiwa akut dan memulai terapi pendukung. Kontrol

    airway dan tekanan darah yang masalah paling penting.

    o Akses IV, kelola oksigen, dan monitor.

    o Mengadministrasikan IV kristaloid untuk menjaga tekanan darah yang memadai.

    o Intubasi, sedasi, dan blokade neuromuskular per protokol.

    o Ada beberapa saran dari mortalitas yang meningkat dengan intubasi prehospital

    pada tinjauan retrospektif trauma pasien dengan cedera kepala sedang-ke-berat

    dibandingkan dengan pasien intubasi di UGD.

    o Bag-valve-mask ventilasi dengan teknik yang baik mungkin lebih menguntungkan

    untuk pasien cedera otak dari prehospital intubasi.

    DI UGD

    o Membuat akses IV, kelola oksigen, dipantau, dan kelola kristaloid IV yang

    diperlukan untuk mempertahankan tekanan darah yang memadai.

    o Intubasi menggunakan induksi urutan cepat (RSI), yang umumnya termasuk

    premedikasi dengan lidokain, suatu agen sedasi cerebroprotectif (misalnya,

    etomidate), dan agen memblokir neuromuskular. Lidokain mungkin terbatas

    efeknya dalam situasi ini, namun hampir tidak ada resiko. Premedikasi dengan

    fentanil juga dapat sedikit mengatasi kenaikan TIK. Intubasi setelah pemeriksaan

    2

  • 7/23/2019 Resume B Sken 2

    9/95

    [KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

    neurologis dasar untuk memfasilitasi oksigenasi, melindungi jalan napas, dan

    hiperventilasi yang diperlukan.

    o Tinggikan kepala tempat tidur 30 setelah tulang belakang dibersihkan, atau

    menggunakan posisi terbalik Trendelenburg untuk mengurangi TIK dan

    meningkatkan drainase vena.

    o Mengadministrasikan manitol 0,25-1 g / kg IV setelah berkonsultasi seorang ahli

    bedah saraf jika MAP adalah lebih besar dari 90 mm Hg dengan lanjutan

    tanda-tanda klinis TIK meningkat. Hal ini akan mengurangi baik TIK

    (mengurangi edema otak secara osmotik) dan viskositas darah, yang

    meningkatkan aliran darah otak dan pengiriman oksigen. Cairan harus diganti dan

    hipovolemia dihindari.

    o Hiperventilasi untuk tekanan parsial karbon dioksida (PCO2) dari 30-35 mm Hg

    mengatasi herniasi atau tanda-tanda baru jadi meningkatkan TIK, namun, ini

    kontroversial. Berhati-hatilah untuk tidak menurunkan PCO2 terlalu jauh (

  • 7/23/2019 Resume B Sken 2

    10/95

    [KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

    sakit kepala dan tanda-tanda fokal progresif yang menunjukkan lokasi gumpalan

    darah.

    Gb. Hematoma Subdural

    Etiologi

    Keadaan ini timbul setelah cedera/ trauma kepala hebat, seperti perdarahan

    kontusional yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam ruangan

    subdural. Perdarahan sub dural dapat terjadi pada:

    Trauma kapitis

    Trauma di tempat lain pada badan yang berakibat terjadinya geseran atau

    putaran otak terhadap duramater, misalnya pada orang yang jatuh

    terduduk.

    Trauma pada leher karena guncangan pada badan. Hal ini lebih mudah

    terjadi bila ruangan subdura lebar akibat dari atrofi otak, misalnya pada

    orangtua dan juga pada anak - anak.

    Pecahnya aneurysma atau malformasi pembuluh darah di dalam ruangan

    subdura.

    Gangguan pembekuan darah biasanya berhubungan dengan perdarahan

    subdural yang spontan, dan keganasan ataupun perdarahan dari tumor

    intrakranial.

    Pada orang tua, alkoholik, gangguan hati.

    Patofisiologi

    2

    http://1.bp.blogspot.com/_G1-BOsWzmUQ/SeYJWykl21I/AAAAAAAAABY/4CkQu_p8Ml8/s1600-h/untitled.bmp
  • 7/23/2019 Resume B Sken 2

    11/95

    [KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

    Perdarahan terjadi antara duramater dan arakhnoidea. Perdarahan dapat

    terjadi akibat robeknya vena jembatan (bridging veins) yang menghubungkan

    vena di permukaan otak dan sinus venosus di dalam duramater atau karena

    robeknya araknoidea. Karena otak yang bermandikan cairan cerebrospinal dapat

    bergerak, sedangkan sinus venosus dalam keadaan terfiksir, berpindahnya posisi

    otak yang terjadi pada trauma, dapat merobek beberapa vena halus pada tempat di

    mana mereka menembus duramater Perdarahan yang besar akan menimbulkan

    gejala-gejala akut menyerupai hematoma epidural.

    Perdarahan yang tidak terlalu besar akan membeku dan di sekitarnya akan

    tumbuh jaringan ikat yang membentuk kapsula. Gumpalan darah lambat laun

    mencair dan menarik cairan dari sekitarnya dan mengembung memberikan gejala

    seperti tumor serebri karena tekanan intracranial yang berangsur meningkat

    Perdarahan sub dural kronik umumnya berasosiasi dengan atrofi cerebral.

    Vena jembatan dianggap dalam tekanan yang lebih besar, bila volume otak

    mengecil sehingga walaupun hanya trauma yang kecil saja dapat menyebabkan

    robekan pada vena tersebut. Perdarahan terjadi secara perlahan karena tekanan

    sistem vena yang rendah, sering menyebabkan terbentuknya hematoma yang besar

    sebelum gejala klinis muncul. Pada perdarahan subdural yang kecil sering terjadi

    perdarahan yang spontan. Pada hematoma yang besar biasanya menyebabkan

    terjadinya membran vaskular yang membungkus hematoma subdural tersebut.

    Perdarahan berulang dari pembuluh darah di dalam membran ini memegang

    peranan penting, karena pembuluh darah pada membran ini jauh lebih rapuh

    sehingga dapat berperan dalam penambahan volume dari perdarahan subdural

    kronik.

    Akibat dari perdarahan subdural, dapat meningkatkan tekanan intrakranial

    dan perubahan dari bentuk otak. Naiknya tekanan intra kranial dikompensasi oleh

    efluks dari cairan likuor ke axis spinal dan dikompresi oleh sistem vena. Pada fase

    ini peningkatan tekanan intra kranial terjadi relatif perlahan karena komplains

    tekanan intra kranial yang cukup tinggi. Meskipun demikian pembesaran

    hematoma sampai pada suatu titik tertentu akan melampaui mekanisme

    kompensasi tersebut.

    2

  • 7/23/2019 Resume B Sken 2

    12/95

    [KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

    Komplains intrakranial mulai berkurang yang menyebabkan terjadinya

    peningkatan tekanan intra kranial yang cukup besar. Akibatnya perfusi serebral

    berkurang dan terjadi iskemi serebral. Lebih lanjut dapat terjadi herniasi

    transtentorial atau subfalksin. Herniasi tonsilar melalui foramen magnum dapat

    terjadi jika seluruh batang otak terdorong ke bawah melalui incisura tentorial oleh

    meningkatnya tekanan supra tentorial. Juga pada hematoma subdural kronik,

    didapatkan bahwa aliran darah ke thalamus dan ganglia basaalis lebih terganggu

    dibandingkan dengan daerah otak yang lainnya.

    Perdarahan Subdural dapat dibagi menjadi 3 bagian, berdasarkan saat

    timbulnya gejala- gejala klinis yaitu:

    1. Perdarahan akut

    Gejala yang timbul segera hingga berjam - jam setelah trauma. Biasanya

    terjadi pada cedera kepala yang cukup berat yang dapat mengakibatkan

    perburukan lebih lanjut pada pasien yang biasanya sudah terganggu kesadaran dan

    tanda vitalnya. Perdarahan dapat kurang dari 5 mm tebalnya tetapi melebar luas.

    Pada gambaran skening tomografinya, didapatkan lesi hiperdens.

    2. Perdarahan sub akut

    Berkembang dalam beberapa hari biasanya sekitar 2 - 14 hari sesudah

    trauma. Pada subdural sub akut ini didapati campuran dari bekuan darah dan

    cairan darah . Perdarahan dapat lebih tebal tetapi belum ada pembentukan kapsula

    di sekitarnya. Pada gambaran skening tomografinya didapatkan lesi isodens atau

    hipodens.Lesi isodens didapatkan karena terjadinya lisis dari sel darah merah dan

    resorbsi dari hemoglobin.

    3. Perdarahan kronik

    Biasanya terjadi setelah 14 hari setelah trauma bahkan bisa lebih.

    Perdarahan kronik subdural, gejalanya bisa muncul dalam waktu berminggu-

    minggu ataupun bulan setelah trauma yang ringan atau trauma yang tidak jelas,

    bahkan hanya terbentur ringan saja bisa mengakibatkan perdarahan subdural

    apabila pasien juga mengalami gangguan vaskular atau gangguan pembekuan

    darah. Pada perdarahan subdural kronik , kita harus berhati hati karena hematoma

    ini lama kelamaan bisa menjadi membesar secara perlahan- lahan sehingga

    2

  • 7/23/2019 Resume B Sken 2

    13/95

    [KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

    mengakibatkan penekanan dan herniasi. Pada subdural kronik, didapati kapsula

    jaringan ikat terbentuk mengelilingi hematoma , pada yang lebih baru, kapsula

    masih belum terbentuk atau tipis di daerah permukaan arachnoidea. Kapsula

    melekat pada araknoidea bila terjadi robekan pada selaput otak ini. Kapsula ini

    mengandung pembuluh darah yang tipis dindingnya terutama pada sisi duramater.

    Karena dinding yang tipis ini protein dari plasma darah dapat menembusnya dan

    meningkatkan volume dari hematoma. Pembuluh darah ini dapat pecah dan

    menimbulkan perdarahan baru yang menyebabkan menggembungnya hematoma.

    Darah di dalam kapsula akan membentuk cairan kental yang dapat menghisap

    cairan dari ruangan subaraknoidea. Hematoma akan membesar dan menimbulkan

    gejala seprti pada tumor serebri. Sebagaian besar hematoma subdural kronik

    dijumpai pada pasien yang berusia di atas 50 tahun. Pada gambaran skening

    tomografinya didapatkan lesi hipodens.

    Pembagian Subdural kronik:

    Berdasarkan pada arsitektur internal dan densitas tiap hematom,

    perdarahan subdural kronik dibagi menjadi 4 kelompok tipe, yaitu :

    1. Tipe homogen ( homogenous)

    2. Tipe laminar

    3. Tipe terpisah ( seperated)

    4. Tipe trabekular (trabecular)

    Tingkat kekambuhan pada tipe terpisah adalah tinggi sedangkan pada tipe

    yang trabekular adalah rendah. Pada perdarahan subdural kronik diyakini bahwa

    pada awalnya dalam bentuk homogen, kemusian seringkali berlanjut menjadi

    bentuk laminar. Sedangkan pada subdural kronik yang matang, diwakili oleh

    stadium terpisah dan hematomnya terkadang melalui stadium trabekular selama

    penyerapan.

    Sedangkan berdasarkan perluasan iutrakranial dari tiap hematom, perdarahan

    subdural kronik dikelompokkan menjadi 3 tipe yaitu:

    1. Tipe konveksiti ( convexity).

    2. Tipe basis cranial ( cranial base ).

    3. Tipe interhemisferik

    2

  • 7/23/2019 Resume B Sken 2

    14/95

    [KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

    Tingkat kekambuhan perdarahan subdural Kronik tipe cranial base adalah

    tinggi, sedangkan kekambuhan tipe convexity adalah rendah. Pengelompokan

    perdarahan subdural kronik berdasarkan arsitektur internal dan perluasan intra

    kranial ini berguna untuk memperkirakan resiko terjadinya kekambuhan pasca

    operatif.

    Gejala Klinis

    1.Hematoma Subdural Akut

    Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik dalam 24 sampai

    48 jam setelah cedera. Dan berkaitan erat dengan trauma otak berat. Gangguan

    neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi

    batang otak dalam foramen magnum, yang selanjutnya menimbulkan tekanan

    pada batang otak. Keadan ini dengan cepat menimbulkan berhentinya pernapasan

    dan hilangnya kontrol atas denyut nadi dan tekanan darah.

    2. Hematoma Subdural Subakut

    Hematoma ini menyebabkan defisit neurologik dalam waktu lebih dari 48

    jam tetapi kurang dari 2 minggu setelah cedera. Seperti pada hematoma subdural

    akut, hematoma ini juga disebabkan oleh perdarahan vena dalam ruangan

    subdural.

    Anamnesis klinis dari penmderita hematoma ini adalah adanya trauma

    kepala yang menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status

    neurologik yang perlahan-lahan. Namun jangka waktu tertentu penderita

    memperlihatkan tanda-tanda status neurologik yang memburuk. Tingkat

    kesadaran mulai menurun perlahan-lahan dalam beberapa jam.Dengan

    meningkatnya tekanan intrakranial seiring pembesaran hematoma, penderita

    mengalami kesulitan untuk tetap sadar dan tidak memberikan respon terhadap

    rangsangan bicara maupun nyeri. Pergeseran isi intracranial dan peningkatan

    intracranial yang disebabkan oleh akumulasi darah akan menimbulkan herniasi

    unkus atau sentral dan melengkapi tanda-tanda neurologik dari kompresi batang

    otak.

    3.Hematoma Subdural Kronik

    2

  • 7/23/2019 Resume B Sken 2

    15/95

    [KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

    Timbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan dan

    bahkan beberapa tahun setelah cedera pertama.Trauma pertama merobek salah

    satu vena yang melewati ruangan subdural. Terjadi perdarahan secara lambat

    dalam ruangan subdural. Dalam 7 sampai 10 hari setelah perdarahan terjdi, darah

    dikelilingi oleh membrane fibrosa.Dengan adanya selisih tekanan osmotic yang

    mampu menarik cairan ke dalam hematoma, terjadi kerusakan sel-sel darah dalam

    hematoma. Penambahan ukuran hematoma ini yang menyebabkan perdarahan

    lebih lanjut dengan merobek membran atau pembuluh darah di sekelilingnya,

    menambah ukuran dan tekanan hematoma.

    Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering

    terjadi pada usia lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua

    keadaan ini, cedera tampaknya ringan; selama beberapa minggu gejalanya tidak

    dihiraukan. Hasil pemeriksaan CT scan dan MRI bisa menunjukkan adanya

    genangan darah. Hematoma subdural pada bayi bisa menyebabkan kepala

    bertambah besar karena tulang tengkoraknya masih lembut dan lunak.

    Hematoma subdural yang kecil pada dewasa seringkali diserap secara spontan.

    Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis

    biasanya dikeluarkan melalui pembedahan. Petunjuk dilakukannya pengaliran

    perdarahan ini adalah:

    sakit kepala yang menetap

    rasa mengantuk yang hilang-timbul

    linglung

    perubahan ingatan

    kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan.

    Penatalaksanaan

    Pada kasus perdarahan yang kecil ( volume 30 cc ataupun kurang )

    dilakukan tindakan konservatif. Tetapi pada keadaan ini masih ada kemungkinan

    terjadi penyerapan darah yang rusak diikuti oleh terjadinya fibrosis yang

    kemudian dapat mengalami pengapuran.

    Baik pada kasus akut maupun kronik, apabila diketemukan adanya gejala-

    gejala yang progresif, maka jelas diperlukan tindakan operasi untuk melakukan

    2

  • 7/23/2019 Resume B Sken 2

    16/95

    [KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

    pengeluaran hematoma. Tetapi sebelum diambil keputusan untuk dilakukan

    tindakan operasi, yang tetap harus kita perhatikan adalah airway, breathing dan

    circulation (ABCs). Tindakan operatif yang dapat dilakukan adalah burr hole

    craniotomy, twist drill craniotomy, subdural drain. Dan yang paling banyak

    diterima untuk perdarahan sub dural kronik adalah burr hole craniotomy. Karena

    dengan tehnik ini menunjukan komplikasi yang minimal. Reakumulasi dari

    perdarahan subdural kronik pasca kraniotomi dianggap sebagai komplikasi yang

    sudah diketahui. Jika pada pasien yang sudah berusia lanjut dan sudah

    menunjukkan perbaikan klinis, reakumulasi yang terjadi kembali, tidaklah perlu

    untuk dilakukan operasi ulang kembali .Kraniotomi dan membranektomi

    merupakan tindakan prosedur bedah yang invasif dengan tingkat komplikasi yang

    lebih tinggi. Penggunaan teknik ini sebagai penatalaksanaan awal dari perdarahan

    subdural kronik sudah mulai berkurang.

    Trepanasi/ kraniotomi adalah suatu tindakan membuka tulang kepala yang

    bertujuan mencapai otak untuk tindakan pembedahan definitif. Pada pasien

    trauma, adanya trias klinis yaitu penurunan kesadaran, pupil anisokor dengan

    refleks cahaya menurun dan kontralateral hemiparesis merupakan tanda adanya

    penekanan brainstem oleh herniasi uncal dimana sebagian besar disebabkan oleh

    adanya massa extra aksial.

    Indikasi Operasi

    Penurunan kesadaran tiba-tiba di depan mata

    Adanya tanda herniasi/ lateralisasi

    Adanya cedera sistemik yang memerlukan operasi emergensi, dimana CT

    Scan Kepala tidak bisa dilakukan.

    Perawatan Pascabedah

    Monitor kondisi umum dan neurologis pasien dilakukan seperti biasanya. Jahitan

    dibuka pada hari ke 5-7. Tindakan pemasangan fragmen tulang atau kranioplasti

    dianjurkan dilakukan setelah 6-8 minggu kemudian.

    Setelah operasipun kita harus tetap berhati hati, karena pada sebagian

    pasien dapat terjadi perdarahan lagi yang berasal dari pembuluh - pembuluh darah

    yang baru terbentuk, subdural empiema, irigasi yang kurang baik, pergeseran otak

    2

  • 7/23/2019 Resume B Sken 2

    17/95

    [KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

    yang tiba-tiba, kejang, tension pneumoencephalus, kegagalan dari otak untuk

    mengembang kembali dan terjadinya reakumulasi dari cairan subdural.. Maka

    dalam hal ini hematoma harus dikeluarkan lagi dan sumber perdarahan harus

    ditiadakan.

    Serial skening tomografi pasca kraniotomi sebaiknya juga dilakukan

    Markam. Follow-up CT scan kontrol diperlukan apabila post operasi kesadaran

    tidak membaik dan untuk menilai apakah masih terjadi hematom lainnya yang

    timbul kemudian.

    Rehabilitasi

    Berbaring lama dan inaktiviti bisa menimbulkan komplikasi gerakan seperti

    kontraktur, osteoporosis, dekubitus, edema, infeksi, trombophlebitis, infeksi

    saluran kencing.

    Goal jangka pendek

    1) Meningkatkan spesifik area seperti kekuatan, koordinasi, ROM, balans, dan

    posture untuk mobilitas dan keamanan.

    2) Pengobatan tergantung kondisi pasien kestabilan kardiopulmoner, fungsi

    musculoskletal, defisit neurologi

    a) Rehabilitasi dini pada fase akut terutama untuk menghindari komplikasi

    seperti kontraktur dengan terapi fisik pengaturan posis, melakukan

    gerakan ROM (pergerakan sendi) dan mobilisasi dini

    b) Terapi ini kemudian dilanjutkan dengan home program terapi yang

    melibatkan lingkungan dirumah

    c) Pada pasien tidak sadar dilakukan dengan strategi terapi coma

    management dan program sensory stimulation

    d) Penanganan dilakukan oleh tim secara terpadu dan terorganisis : dokter

    ,terapis, ahli gizi, perawat, pasien dan keluarga.

    e) Melakukan mobilisasi dini, rehabilitasi termasuk stimulasi, suport nutrisi

    yang adekuat, edukasi keluarga.

    Prognosis

    Tindakan operasi pada hematoma subdural kronik memberikan prognosis

    yang baik, karena sekitar 90 % kasus pada umumnya akan sembuh total.

    2

  • 7/23/2019 Resume B Sken 2

    18/95

    [KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

    Hematoma subdural yang disertai lesi parenkim otak menunjukkan angka

    mortalitas menjadi lebih tinggi dan berat dapat mencapai sekitar 50 %.

    C. Kontusio / P erdarahan I ntraserebral

    Definisi

    Lesi kontusio adalah suatu lesi yang bisa berupa perdarahan pada

    permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil, tanpa adanya kerusakan

    duramater.

    Patofisiologi

    Kontusio dapat terjadi akibat adanya gaya yang dikembangkan oleh

    mekanisme-mekanisme yang beroperasi pada trauma kapitis, sehingga terdapat

    vasoparalisis. Tekanan darah menjadi rendah dan nadi menjadi lambat, atau

    menjadi cepat dan lemah. Juga karena pusat vegetatif ikut terlibat, maka rasa

    mual, muntah dan gangguan pernapasan bisa terjadi.

    Kontusio serebri yang tidak terlampau berat dapat terjadi dengan adanya

    gangguan-gangguan di susunan kardiopulmonal pada trauma kapitis, dengan

    mekanisme melalui sistem vaskular yang ikut terkena secara langsung karena

    perdarahan ataupun trauma langsung pada jantung. Sebagai reaksi tubuh, volume

    sirkulasi ditambah dengan cairan yang berasal dari lingkungan ekstraselular.

    Keadaan ini bisa ke hemodilusi jika penderita diberi cairan melalui infus tanpa

    plasma atau darah. Gangguan yang akan menyusulnya adalah tekanan osmotik

    dan O2 (PO2) menurun.

    Gejala Klinik

    Timbulnya lesi kontusio di daerah-daerah dampak (coup) countrecoup

    dan intermediated, menimbulkan gejala defisit neurologik, yang bisa berupa

    refleks Babinski yang positif dan kelumpuhan U.M.N. Setelah penderita pulih

    kembali, si penderita biasanya menunjukkan gambaran organic brain syndrom.

    Pada pemeriksaan neurologik pada kontusio ringan mungkin tidak dijumpai

    kelainan neurologik yang jelas kecuali kesadaran yang menurun. Pada kontusio

    serebri dengan penurunan kesadaran berlangsung berjam-jam pada pemeriksaan

    dapat atau tidak dijumpai defisit neurologik. Pada kontusio serebri yang

    2

  • 7/23/2019 Resume B Sken 2

    19/95

    [KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

    berlangsung lebih dari enam jam penurunan kesadarannya biasanya selalu

    dijumpai defisit neurologis yang jelas. Gejala-gejalanya bergantung pada lokasi

    dan luasnya daerah lesi. Keadaan klinis yang berat terjadi pada perdarahan besar

    atau tersebar di dalam jaringan otak, sering pula disertai perdarahan subaraknoid

    atau kontusio pada batang otak. Edema otak yang menyertainya tidak jarang berat

    dan dapat menyebabkan meningkatnya tekanan intrakranial.

    Tekanan intrakranial yang meninggi menimbulkan gangguan

    mikrosirkulasi otak dengan akibat menghebatnya edema. Dengan demikian

    timbullah lingkaran setan yang akan berakhir dengan kematian bila tidak dapat

    diputus.

    Pada perdarahan dan edema di daerah diensefalon pernapasan biasa atau

    bersifat Cheyne Stokes, pupil mengecil, reaksi cahaya baik. Mungkin terjadi

    rigiditas dekortikasi yaitu kedua tungkai kaku dalam sikap ekstensi dan kedua

    lengan kaku dalam sikap fleksi pada sendi siku.

    Pada gangguan di daerah mesensefalon dan pons bagian atas, kesadaran

    menurun hingga koma, pupil melebar, refleks cahaya tidak ada, gerakan mata

    diskonjugat, tidak teratur, pernapasan hiperventilasi, motorik menunjukkan

    rigiditas deserebrasi dengan keempat ekstremitas kaku dalam sikap ekstensi.

    Pada lesi pons bagian bawah bila nuklei vestibularis terganggu bilateral,

    gerakan kompensasi bola mata pada gerakan kepala menghilang. Pernapasan

    tidak teratur. Bila oblongata terganggu, pernapasan melambat tak teratur,

    tersengal-sengal menjelang kematian.

    Pemeriksaan Penunjang

    Pemeriksaan tambahan yang perlu dilakukan ialah foto rontgen polos, bila

    perlu scan tomografik,EEG, pungsi lumbal.

    Penatalaksanaan

    Tindakan yang diambil pada kontusio berat ditujukan untuk mencegah

    meningginya tekanan intrakranial.

    1. Usahakan jalan napas yang lapang dengan :

    Membersihkan hidung dan mulut dari darah dan muntahan

    Melonggarkan pakaian yang ketat

    2

  • 7/23/2019 Resume B Sken 2

    20/95

    [KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

    Menghisap lendir dari mulut, tenggorok dan hidung

    Untuk amannya gigi palsu perlu dikeluarkan

    Bila perlu pasang pipa endotrakea atau lakukan trakeotomi

    O2 diberikan bila tidak ada hiperventilasi

    2. Hentikan perdarahan

    3. Bila ada fraktur pasang bidai untuk fiksasi

    4. Letakkan pasien dalam posisi miring hingga bila muntah dapat bebas

    keluar dan tidak mengganggu jalan napas.

    5. Berikan profilaksis antibiotika bila ada luka-luka yang berat.

    6. Bila ada syok, infus dipasang untuk memberikan cairan yang sesuai. Bila

    tidak ada syok, pemasangan infus tidak perlu dilakukan dengan segera dan

    dapat menunggu hingga keesokan harinya. Pada hari pertama pemberian infus

    berikan 1,5 liter cairan perhari, dimana 0,5 liternya adalah NaCl 0,9%. Bila

    digunakan glukosa pakailah yang 10% untuk mencegah edema otak dan

    kemungkinan timbulnya edema pulmonum. Setelah hari keempat jumlah

    cairan perlu ditambah hingga 2,5 liter per 24 jam. Bila bising usus sudah

    terdengar, baik diberi makanan cair per sonde. Mula-mula dimasukkan

    glukosa 10% 100 cm3 tiap 2 jam untuk menambah kekurangan cairan yang

    telah masuk dengan infus. Pada hari berikutnya diberi susu dan pada hari

    berikutnya lagi, makanan cair lengkap 2-3 kali perhari, 2000 kalori, kemudian

    infus dicabut.

    7. Pada keadaan edema otak yang hebat diberikan manitol 20% dalam infus

    sebanyak 250 cm3 dalam waktu 30 menit yang dapat diulang tiap 12-24 jam.

    8. Furosemid intramuskuler 20 mg/24 jam, selain meningkatkan diuresis

    berkhasiat mengurangi pembentukan cairan otak.

    9. Untuk menghambat pembentukan edema serebri diberikan deksametason

    dalam rangkaian pengobatan sebagai berikut :

    Hari I : 10 mg intravena diikuti 5 mg tiap 4 jam

    Hari II : 5 mg intravena tiap 6 jam

    Hari III : 5 mg intravena tiap 8 jam

    Hari IV-V : 5 mg intramuskular tiap 12 jam

    2

  • 7/23/2019 Resume B Sken 2

    21/95

    [KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

    Hari IV : 5 mg intramuskular

    Pemantauan keadaan penderita selain keadaan umumnya perlu diperiksa

    secara teratur P CO2 dan P O2 darah. Keadaan yang normal adalah P CO2

    sekitar 42 mmHg dan P O2 di atas 70 mmHg. Selanjutnya ialah perawatan

    dalam keadaan koma

    3. Cedera Otak

    a. Ringan

    Definisi :Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan

    utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan

    lalu lintas (Mansjoer, 2007: 3).

    Epidiemologi :

    Di dunia diperkirakan sebanyak 1,2 juta jiwa nyawa melayang setiap

    tahunnya sebagai akibat kecelakaan bermotor, diperkirakan sekitar 0,3-0,5%

    mengalami cedera kepala. Di Indonesia diperkirakan lebih dari 80% pengendara

    kendaraan mengalami resiko kecelakaan. 18% diantaranya mengalami cedera

    kepala dan kecederaan permanen, tingginya angka kecelakaan lalu lintas tidak

    terlepas dari makin mudahnya orang untuk memiliki kendaraan bermotor dan

    kecelakaan manusia. (Shell, 2008)

    Pengertian :

    Cedera kepala ringan adalah hilangnya fungsi neurology atau menurunnya

    kesadaran tanpa menyebabkan kerusakan lainnya (Smeltzer, 2001:2211).

    Cedera kepala ringan adalah trauma kepala dengan GCS: 15 (sadar penuh)

    tidak ada kehilangan kesadaran, mengeluh pusing dan nyeri kepala,

    hematoma, laserasi dan abrasi (Mansjoer, 2000:4).

    Cidera kepala ringan adalah cedara otak karena tekanan atau kejatuhan

    benda tumpul. (Bedong, M.A, 2001)

    Cedera kepala ringan adalah cedera kepala tertutup yang ditandai dengan

    hilangnya kesadaran sementara (Corwin, 2000: 176)

    2

  • 7/23/2019 Resume B Sken 2

    22/95

  • 7/23/2019 Resume B Sken 2

    23/95

    [KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

    laku aneh, pupil anisokor, penglihatan dobel/gangguan visus, nadi yang terlalu

    cepat/terlalu pelan, pola nafas yang abnormal

    b. Sedang

    10% dari penderita cedera kepala di UGD menderita cedera otak sedang.

    Mereka umumnya masih mampu menuruti perintah sederhana namun biasanya

    tampak bingung atau mengantuk dan dapat disertai deficit neurologis fokal seperti

    hemiparesis. Sebanyak 10-20% dari penderita cedera otak sedang mengalami

    perburukan dan jatuh dalam koma. Saat diterima di UGD dilakukan anamnesis

    singkat dan segera dilakukan stabilisasi kardiopulmoner sebelum pemeriksaan

    neurologis dilakukan. CT Scan kepala harus selalu dilakukan dan harus segera

    menghubungi ahli bedah saraf. Penderita harus dirawat di ruang perawatan

    intensif atau yang setara, dimana observasi ketat dan pemeriksaan neurologis

    serial dilakukan selama 12-24 jam pertama. Pemeriksaan CT Scan lanjutan dalam

    12-24 jam direkomendasikan bila hasilnya abnormal atau terdapat penurunan

    status neurologis penderita.

    c. Berat

    Penderita dengan cedera otak berat tidak mampu melakukan perintah

    sederhana walaupun status kardiopulmonernya telah stabil. Walaupun definisi ini

    mencakup berbagai cedera otak, tetapi dapat mengidentifikasi penderita yang

    memiliki risiko morbiditas dan mortalitas yang paling besar.

    - Primary survey dan resusitasi

    Cedera otak sering diperburuk akibat cedera sekunder. Penderita cedera

    otak berat dengan hipotensi memiliki mortalitas 2 kali lebih banyak dibanding

    penderita tanpa hipotensi. Adanya hipoksia pada penderita yang disertai hipotensi

    akan menyebabkan mortalitas mencapai 75%. Oleh karena itu, tindakan stabilisasi

    kardiopulmoner pada penderita cedera otak berat harus dilaksanakan secepatnya.

    Terhentinya pernafasan sementara sering terjadi pada penderita cedera

    otak berat dn dapat mengakibatkan gangguan sekunder. Intubasi endotrakeal dini

    harus segera dilakukan pada penderita koma. Penderita diberi ventilasi dengan

    2

  • 7/23/2019 Resume B Sken 2

    24/95

    [KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

    oksigen 100% sampai diperoleh hasil pemeriksaan analisis gas darah dan dapat

    dilakukan penyesuaian yang tepat terhadap FiO2. Pemakaian pilse oksimeter

    sangat bermanfaat untuk memonitor saturasi O2. Tindakan hiperventilasi harus

    dilakukan secara hati-hati pada penderita cedera otak berat yang menunjukkan

    perburukan neurologis akut.

    - Pemeriksaan Neurologis

    Pemeriksaan neurologis langsung dilakukan segera setelah status

    kardiopulmoner penderita stabil. Pemeriksaan ini terdiri dari GCS dan refleks

    cahaya pupil. Pada penderita koma, respon motorik dapat dibangkitkan dengan

    merangsang/mencubit otot trapezius atau menekan dasar kuku penderita. Bila

    penderita menunjukkan reaksi yang bervariasi, yang digunakan adalah respon

    motorik terbaik karena merupakan indicator prognostik yang paling akurat

    dibandingkan respon yang paling buruk. Gerakan bola mata (dolls eye

    phenomena, refleks okulosefalik), test kalori dengan suhu dingin (refleks

    okulovestibuler), dan refleks kornea ditunda sampai kedatangan ahli bedah saraf.

    Pemeriksaan dolls eye, reflek oculovestibular, dan refleks kornea hanya boleh

    dilakukan bila sudah jelas tidak terdapat cedera servikal. Yang sangat penting

    adalah melakukan pemeriksaan GCS dan refleks pupil sebelum melakukan sedasi

    pada penderita.

    Terapi Medikamentosa Untuk Cedera Otak

    Prinsip dasarnya adalah bila sel saraf diberikan suasana yang optimal

    untuk pemulihan, maka diharapkan dapat berfungsi normal kembali. Namun bila

    sel saraf dibiarkan dalam keadaan tidak optimal maka sel dapat mengalami

    kematian.

    a. Cairan intravena

    Cairan intravena diberikan secukupnya untuk resusitasi agar penderita tetap dalam

    keadaan normovolemia. Keadaan hipovolemia pada pasien sangatlah berbahaya.

    Namun, perlu diperhatikan untuk tidak memberikan cairan berlebih. Jangan

    berikan cairan hipotonik. Penggunaan cairan yang menggunakan glukosa dapat

    mengakibatkan hiperglikemia yang berakibat buruk pada otak yang cedera.

    Karena itu cairan yang dianjurkan untuk resusitasi adalah larutan garam fisiologis

    2

  • 7/23/2019 Resume B Sken 2

    25/95

    [KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

    atau ringers laktat. Kadar natrium serum perlu diperhatikan pada pasien dengan

    cedera kepala. Keadaan hiponatremia sangat berkaitan dengan timbulnya cedera

    otak yang harus segera dicegah.

    b. Hiperventilasi

    Pada kebanyakan pasien, keadaan normokarbia lebih disukai. Hiperventilasi

    dilakukan dengan menurunkan PCO2 dan akan menyebabkan vasokonstriksi

    pembuluh darah otak. Hiperventilasi yang berlangsung terlalu lama dan agresif

    dapat menyebabkan iskemia otak akibat vasokonstriksi serebri berat sehingga

    menimbulkan gangguan perfusi otak. Hal ini terjadi terutama bila PCO2 dibiarkan

    turun sampai dibawah 30 mmHg. Hiperventilasi sebaiknya dilakukan secara

    selektif dan dalam waktu tertentu. Umumnya, PCO2 dipertahankan pada 35

    mmHg atau lebih.

    c. Manitol

    Manitol digunakan untuk menurunkan TIK yang meningkat. Sediaan yang

    tersedia biasanya cairan dengan konsentrasi 20%. Dosis yang biasa dipakai adalah

    1g/kgbb diberikan secara bolus intravena. Dosis tinggi manitol jangan diberikan

    pada pasien yang hipotensi karena manitol adalah diuretic osmotic yang poten.

    Indikasi penggunaan manitol adalah deteriorasi neurologis yang akut seperti

    terjadinya dilatasi pupil, hemiparesis atau kehilangan keasadaran saat pasien

    dalam observasi. Pada saat ini pemberian bolus manitol harus diberikan secara

    cepat (dalam waktu 5 menit) dan penderita segera dibawa ke CT Scan atau ke

    kamar operasi bila lesi penyebabnya sudah dketahui melalui CT Scan.

    d. Furosemid

    Obat ini diberikan bersama manitol untuk menurunkan TIK . dosis yang biasa

    diberikan adalah 0,3-0,5 mg/kgbb diberikan secara intravena. Seperti pada

    penggunaan manitol, furosemid sebaiknya jangan diberikan pada pasien

    hipovolemik.

    e. Steroid

    Berbagai penelitian tidak menunjukkan manfaat steroid untuk mengendalikan

    kenaikan TIK maupun memperbaiki hasil terapi penderita dengan cedera otak

    berat. Karenanya penggunaan steroid pada penderita cedera otak tidak dianjurkan.

    2

  • 7/23/2019 Resume B Sken 2

    26/95

    [KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

    f. Barbiturat

    Barbiturate bermanfaat untuk menurunkan TIK yang refrakter terhadap obat-

    obatan lain. Namun obat ini jangan diberikan dalam keadaan hipotensi atau

    hipovolemi. Nantinya hipotensi sering terjadi pada penggunaan barbiturat. Karena

    itu barbiturat tidak diindikasikan pada fase akut resusitasi.

    g. Antikonvulsan

    Epilepsy pascatrauma terjadi pada 5% penderita yang dirawat di RS dengan

    cedera kepala berat. Terdapat 3 faktor yang berkaitan dengan insidensi epilepsy ,

    (1) kejang awal yang terjadi dalam minggu pertama, (2) perdarahan intracranial,

    (3)fraktur depresi. Penelitian tersanar ganda menunjukkan bahwa fenitoin

    bermanfaat dalam mengurangi terjadinya kejang dalam minggu pertama cedera

    namun tidak setelah itu.

    B. TRAUMA THORAX

    1. Pneumothorax

    a. SimpleDefek atau bluka yang besar pada dinding dada akan menyebabkan

    pneumothorax terbuka. Tekanan udara di dalam rongga pleura akan sama dengan

    tekanan atmosfir. Jika defek yang terjadi lebih dari 2/3 diameter trakea maka

    udara akan mengalir melewati defek tersebut karena memiliki tahan yang lebih

    kecil dari trakea. Akibatnya ventilasi terganggu sehingga menyebabkan hipoksia

    dan hiperkapnia.

    Langkah utama adalah menutup luka dengan kasa oklusif steril yang

    diplester hanya pada 3 sisinya saja. Dengan penutupan seperti itu diharapkan

    adanya efek katup. Dimana saat inspirasi kasa akan menutup luka, mencegah

    kebocoran dari dalam. Saat ekspirasi kasa akan membuka untuk menyingkirkan

    udara keluar. Setelah itu dipasang selang dada yang letaknya berjauhan dengan

    luka primer dilanjutkan dengan penjahitan luka.

    b. Tension

    2

  • 7/23/2019 Resume B Sken 2

    27/95

  • 7/23/2019 Resume B Sken 2

    28/95

    [KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

    Keterangan

    1. Emfisema sub kutis tampak dari luar

    2. Rongga pleura membesar karena paru-paru kolaps

    3. Pengumpulan udara di lapisan sub kutis

    4. Defek dinding dada karena trauma

    5. Jantung dan aorta yang bergeser

    Gambaran Radiologis

    Bayangan udara dalam rongga pleura memberikan bayangan radiolusen

    yang tanpa struktur jaringan paru (avascular pattern) dengan batas paru berupa

    garis radioopak tipis yang berasal dari pleura visceral (gambar 1 dan 2).

    Gambar 1.

    2

  • 7/23/2019 Resume B Sken 2

    29/95

    [KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

    Gambar 2.

    Pada foto terlihat bayangan udara dari pneumotoraks yang berbentuk

    cembung, yang memisahkan pleura parietalis dengan pleura viseralis. Bila

    pneumotoraksnya tidak begitu besar, foto dengan pernafasan dalam (inspirasi

    penuh) pun tidak akan menunjukkan kelainan yang jelas. Dalam hal ini dianjurkan

    membuat foto dada dengan inspirasi dan ekspirasi penuh. Selama ekspirasi

    maksimal udara dalam rongga pleura lebih didorong ke apeks, sehingga rongga

    intrapleura di apeks jadi lebih besar. Selain itu terdapat perbedaan densitas antara

    jaringan paru dan udara intrapleura sehingga memudahkan dalam melihat

    2

    http://lh6.ggpht.com/_I0UHlGxoP6A/SaK6Gj9lM1I/AAAAAAAAAd8/ceKok8YLGi8/clip_image0034.gifhttp://lh6.ggpht.com/_I0UHlGxoP6A/SaK5_yOAD-I/AAAAAAAAAd0/gbTEQio3hAk/clip_image0014.gif
  • 7/23/2019 Resume B Sken 2

    30/95

    [KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

    pneumotoraks, yakni kenaikan densitas jaringan paru selama ekspirasi tapi tidak

    menaikkan densitas pneumotoraks.

    Terapi

    Bila disebabkan karena lubang di dinding dada (open pneumothorax), tutup

    lubang dengan kasa yang diplester di ketiga sisinya, sisi yang satu biarkan

    terbuka. Sehingga seperti katup dimana udara tidak bisa masuk ke rongga

    pleira saat inspirasi tapi bisa keluar saat ekspirasi

    Bila close pneumothorax, tusuk dengan jarum besar di SIC 2 untuk

    dekompresi

    WSD (Water Seal Drainage) untuk menghilangkan pneumothoraxnya

    Bila terdapat emfisema subkutis lakukan tusukan jarum multiple di tempat

    yang emfisema

    2. Kontusio Paru

    Definisi

    Kontusio paru adalah memar atau peradangan pada paru yang dapat terjadi padacedera tumpul dada akibat kecelakaan kendaraan atau tertimpa benda berat.

    Etiologi

    - Trauma toraks

    - Kecelakaan lalu lintas

    - Terjadi terutama setelah trauma tumpul toraks

    - Dapat pula terjadi pada trauma tajam dengan mekanisme perdarahan dan

    edema parenkimManifestasiKlinis

    Dapat timbul atau memburuk dalam 24-72 jam setelah trauma

    Dispnea

    PO arteri

    Ronki

    Infiltrat pada foto thoraks

    2

  • 7/23/2019 Resume B Sken 2

    31/95

    [KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

    Pada kondisi berat dapat disertai :sekret trakeobronkial yang banyak,

    hemoptisis, dan edema paruPrimary surveys

    Primary surveys di TKP (ABCDE)

    Yang dinilai :

    A :

    Kelancaran jalan napas

    Jika penderita dapat berbicara mengindikasikan A-nya baik

    Identifikasi kemungkinan-kenungkinan obstruksi A (eg: oleh karena benda

    asing, fraktur tulang wajah, fraktur mandibula atau maksila, fraktur laring

    atau trakea, fraktur servikal)

    B :

    Melibatkan paru, dinding dada, dan diafragmanya harus dievaluasi secara

    cepat

    Dada penderita harus dibuka untuk melihat ekspansi pernapasan

    Auskultasi untuk memastikan udara masuk ke paru-paru

    Perkusi untuk menilai adanya udara atau darah pada rongga pleura

    Inspeksi dan palpasi dapat menilai kelainan dinding dada

    C :

    Penilaian volume darah dan CO

    - Tingkat kesadaran :akibat suplai darah keotak, kesadaran

    - Warna kulit (dapat membantu diagnosis hipovolemik) :wajah yang pucat

    keabuan, kulit ekstrimitas yang pucat menandakan hipovolemik

    - Nadi, periksa pada nadi yang besar eg: Femoralis, karotis untuk

    kekuatan, kecepatan, dan irama :

    * tidak cepat, kuat, teratur = normovolemi

    * cepat, kecil = hipovolemi

    * tidak teratur = biasanya gangguan jantung

    * tidak ditemukan = perlu resusitasi segera

    Penilaian ada tidaknya perdarahan luar,perdarahan juga bisa terjadi di

    dalam /internal /tidak terlihat, eg. Perdarahan pada rongga thoraks,

    2

  • 7/23/2019 Resume B Sken 2

    32/95

    [KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

    abdomen, sekitar fraktur dari tulang panjang, retroperitoneal akibat

    fraktur pelvis, atau sebagai akibat luka tembus dada/perut

    Secondary surveys

    D : (sepintas bisa primary,,, tapi selengkapnya bisa secondary)

    Tingkat kesadaran, Ukuran dan reaksi pupil, Tanda tanda lateralisasi,

    Tingkat/level cidera spinal :

    Tingkat kesadaran dapat dinilai dengan GCS atau APVU.

    Penurunan kesadaran dapat disebabkan :

    - oksigenasi (hipoksia) atau hipoperfusi (hipovolemi) keotak

    - Trauma langsung pada otak / trauma kapitis

    - Obat-obatan, alkohol

    E : (secondary)

    Pemeriksan head to toe, periksa kemungkinan-kemungkinan trauma lain,,,

    jaga suhu tubuh pasien / cegah hipotermia (selimuti,dll)

    Faktor Resiko

    - Trauma toraks

    - Fraktur iga

    Tatalaksana

    Resusitasi Awal

    A :

    Usaha untuk membebaskan A harus melindungi vertebra servikal

    Dapat dengan chin lift atau jaw thrust

    Dapat pula dengan naso-pharyngeal airway atau oro-pharyngeal airway

    Selama memeriksa dan memperbaiki A tidak boleh dilakukan ekstensi,

    fleksi, atau rotasi leher

    Pertimbangkan bantuan A definitif (krikotirotomi, ETT,dll) kalau

    raguberhasil

    B :

    Kontrol A pada penderita yang A terganggu karena faktor mekanik,

    gangguan ventilasi, atau ada gangguan kesadaran bisa dengan intubasi ETT

    2

  • 7/23/2019 Resume B Sken 2

    33/95

    [KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

    (oral/nasal) jika ETT tidak bisa (karena KI atau masalah teknis),, bisa surgical

    A / krikotiroidotomy

    Setiap penderita trauma, beri O,, jika tidak intubasi, bisa pakai sungkup

    C :

    Jika ada perdarahan arteri luar, harus segera DIHENTIKAN, bisa dengan

    balut tekan atau dengan spalkudara. Jangan pakai Torniquet, karena dapat

    merusak jaringan dan menyebabkan iskemia distal, sehingga torniquet hanya

    dipakai jika ada amputasi traumatik

    Jika ada gangguan sirkulasi pasang iv line (sekalian ambil sampel darah u/

    diperiksa lab rutin dan tes kehamilan).

    Infus, RL / kristaloid lain 2-3 L ,,, jika tidak respon beri gol. Darah sesuai,

    kalau tidak ada bergol O Rh > gol O Rh + titer rendah hangatkan dulu u/

    mencegah hipotermia

    Jangan beri vasopresor, steroid, bicarbonat natricus

    Tambahan :

    - Monitor EKG

    - Pasang kateter urin dan lambung

    - Rontgen ,dll.

    Tujuan:

    Mempertahankan oksigenasi

    Mencegah/mengurangi edema

    Tindakan : bronchial toilet, batasi pemberian cairan (iso/hipotonik), O2, pain

    control, diuretika, bila perlu ventilator dengan tekanan positif (PEEP > 5)

    Intubasi ET untuk dapat melakukan penyedotan dan memasang ventilasi

    mekanik dengan continuous positive end-expiratory pressure (PEEP)

    Prognosis

    Dengan diagnosis yang cepat dan penanganan yang tepat prognosisnya baik

    Komplikasi

    Sindrom distress pernapasan pada dewasa

    2

  • 7/23/2019 Resume B Sken 2

    34/95

    [KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

    3. Hemothoraks

    Hemotoraks adalah akumulasi darah pada rongga intrapleura. Perdarahandapat berasal dari pembuluh darah sistematik maupun pembuluh darah paru, dan

    pada trauma yang tersering perdarahan berasal dari arteri interkostalis dan arteri

    mammaria interna. Akumulasi darah pada rongga intrapleura sering ditemukan

    pada penderita trauma toraks, baik oleh karena trauma tajam maupun pada trauma

    tumpul toraks.

    Perdarahan dari paru-paru jarang menyebabkan kematian dan umumnya

    dapat berhenti sendiri, hal ini disebabkan oleh:

    a. Efek tamponade oleh adanya bekuan

    b. Kadar tromboplastin yang tinggi dalam jaringan paru

    c. Tekanan pembuluh darah paru yang rendah (20 sampai 30 mmHg)

    d. Paru-paru yang kolaps

    Pada orang dewasa secara teoritis hemotoraks dibagi dalam 3 golongan, yaitu:

    1. Hemotoraks ringan : jumlah darah kurang dari 400 cc.

    2. Hemotoraks sedang : jumlah darah 500 sampai 2000 cc

    3. Hemotoraks berat : jumlah darah lebih dari 2000 cc

    Pemeriksaan radiologis dibutuhkan untuk menilai keadaan dari toraks serta

    evaluasi dari pengobatan, dan foto dibuat sebaiknya dalam posisi tegak.

    Tata Laksana

    Pada hemotoraks yang ringan hanya dilakukan tindakan yang non invasive

    dan darah yang tertumpuk tersebut diharapkan akan diabsorpsi secara perlahan

    dalam 10 sampai 14 hari(Borrie J.).

    Hemotoraks sedang/berat biasanya perdarahan telah mengisi lebih dari

    bagian hemitoraks yang bersangkutan atau 1000 cc biasanya sudah terlihat

    adanya gejala-gejala kekurangan darah dan gangguan pernafasan. Pada penderita

    ini sebaiknya segera dilakukan tindakan torakostomi tertutup untuk mengevakuasi

    darah dari rongga pleura sehingga paru-paru mengembang, dan tindakan

    torakostomi tertutup tersebut juga bermanfaat untuk mengevaluasi perdarahan dari

    rongga intrapleura.

    2

  • 7/23/2019 Resume B Sken 2

    35/95

  • 7/23/2019 Resume B Sken 2

    36/95

    [KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

    Terjadi akibat trauma tajam atau tumpul yang menimbulkan perikardium

    terisi darah. Perikard tersusun dari jaringan ikat yang kasar sehingga terisi darah

    sedikit saja dapat mengakibatkan gangguan aktivitas dan pengisian jantung.

    Diagnosis klasik tamponade jantung adalah adanya trias Beck yang terdiri

    dari peningkatan tekanan vena, penurunan tekanan arterial, dan suara jantung

    menjauh. Pulsus paradoksus adalah keadaan fisiologik dimana terjadi penurunan

    dari tekanan darah sistolik selama inspirasi spontan. Penurunan > 10 mmHg

    merupakan tanda dari tamponade jantung. Tanda kussmaul yaitu peningkatan

    tekanan vena sewaktu inspirasi biasa adalah kelainan paradoksal yang

    sesungguhnya menunjukkan tamponade jantung. Tanda lain adalah adanya PEA

    dimana tidak ditemukan hipovolemia dan tension pneumothorax.

    Pemasangan CVP dan echocardiografi dapat membantuk penegakan

    diagnosis. Pada trauma tumpul dengan kelainan hemodinamik dapat dilakukan

    pemasangan USG abdomen untuk mendeteksi cairan di rongga perikard selama

    tidak mengganggu resusitasi. Cara diagnosis yang cepat dan akurat adalah dengan

    USG (Forced assesmentsonogram in cedera-FAST). Jika melalui FAST

    didapatkan cairan intraperikardial, maka dapat dilakukan perikardiosintesis untuk

    menstabilkan hemodinamik selama menunggu oprasi.

    Perikardiosintesis dapat berfungsi sebagai dignostik dan terapi namun

    bukan sebagai terapi definitive untuk tamponade jantung. Evakuasi darah dengan

    cepat dari perikard diindikasikan bila penderita mengalami syok hemoragik yang

    tidak berespon terhadap resusitasi cairan dan dimungkinkan terjadi tamponade

    jantung. Perikardiosintesis dilakukan dengan metode subsifoid.

    Tindakan lain adalah dengan melakukan oprasi jendela perokard atau

    torakotomi dengan perikardiotomi oleh seorang ahli bedah. Walaupun kecurigaan

    besar terjadi tamponade jantung, tetap dilakukan pemberian cairan infuse awal

    karena dapat meningkatkan tekanan vena dan meningkatkan cardiac output untuk

    sementara sambil menunggu tindakan perikardiosintesis dengan cara subsifoid.

    Pada tindakan ini, penggunaan plastic-sheated needle atau insersi dengan teknik

    Seldinger merupakan cara yang paling baik. Tetapi dalam keadaan gawat prioritas

    adalah aspirasi darah dari kantung perikard. Minitoring EKG dapat menunjukkan

    2

  • 7/23/2019 Resume B Sken 2

    37/95

  • 7/23/2019 Resume B Sken 2

    38/95

    [KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

    abnormal dan krepitasi iga atau fraktur tulang rawan membantu diagnosisi.

    Dengan foto toraks akan lebih jelas karena akan terlihat fraktur iga yang multipel,

    akan tetapi terpisahnya sendi costochondral tidak akan terlihat. Pemeriksaan

    analisis gas darah yaitu adanya hipoksia akibat kegagalan pernafasan, juga

    membantu dalam diagnosis Flail Chest. Terapi awal yang diberikan termasuk

    pemberian ventilasi adekuat, oksigen yang dilembabkan dan resusitasi cairan. Bila

    tidak ditemukan syok maka pemberian cairan kristoloid intravena harus lebih

    berhati-hati untuk mencegah kelebihan pemberian cairan. Bila ada kerusakan

    parenkim paru pada Flail Chest, maka akan sangat sensitif terhadap kekurangan

    ataupun kelebihan resusitasi cairan. Pengukuran yang lebih spesifik harus

    dilakukan agar pemberian cairan benar-benar optimal. Terapi definitif ditujukan

    untuk mengembangkan paru-paru dan berupa oksigenasi yang cukup serta

    pemberian cairan dan analgesia untuk memperbaiki ventilasi. Tidak semua

    penderita membutuhkan penggunaan ventilator. Pencegahan hipoksia merupakan

    hal penting pada penderita trauma, dan intubasi serta ventilasi perlu diberikan

    untuk waktu singkat sampai diagnosis dan pola trauma yang terjadi pada penderita

    tersebut ditemukan secara lengkap. Penilaian hati-hati dari frekuensi pernafasan,

    tekanan oksigen arterial dan penilaian kinerja pernafasan akan memberikan suatu

    indikasi timing / waktu untuk melakukan intubasi dan ventilasi

    Karakteristik

    Gerakan "paradoksal" dari (segmen) dinding dada saat inspirasi/ekspirasi;

    tidak terlihat pada pasien dalam ventilator

    Menunjukkan trauma hebat

    Biasanya selalu disertai trauma pada organ lain (kepala, abdomen,

    ekstremitas)

    Komplikasi utama adalah gagal napas, sebagai akibat adanya ineffective

    air movement, yang seringkali diperberat oleh edema/kontusio paru, dan nyeri.

    Pada pasien dengan flail chest tidak dibenarkan melakukan tindakan fiksasi pada

    daerah flail secara eksterna, seperti melakukan splint/bandage yang melingkari

    dada, oleh karena akan mengurangi gerakan mekanik pernapasan secara

    keseluruhan.

    2

  • 7/23/2019 Resume B Sken 2

    39/95

    [KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

    Penatalaksanaan

    pain control

    stabilisasi area flail chest (memasukkan ke ventilator, fiksasi internal

    melalui operasi)

    bronchial toilet

    fisioterapi agresif

    tindakan bronkoskopi untukbronchial toilet

    Indikasi Operasi (stabilisasi) padaflail chest:

    1. Bersamaan dengan Torakotomi karena sebab lain (cth: hematotoraks

    masif, dsb)

    2. Gagal/sulit weaningventilator

    3. Menghindariprolong ICU stay (indikasi relatif)

    4. Menghindariprolong hospital stay (indikasi relatif)

    5. Menghindari cacat permanen

    6. Tindakan operasi adalah dengan fiksasi fraktur iga sehingga tidak

    didapatkan lagi area "flail"

    6. Ruptur Aorta

    Ruptur aorta traumatik biasanya menyebabkan kematian segera setelah

    kecelakaan mobil tabrakan frontal atau jatuh dari ketinggian. Sesampainya di

    rumah sakit, kemungkinan dapat selamat apabila ruptur aorta dapat diidentifikasi

    segera dan ditangani secepatnya.

    Penderita ruptur aorta yang masih bisa ditolong adalah bila laserasinya

    tidak total dan dekat dengan ligamentum arteriosum. Kontinuitas dari aorta

    dipertahankan oleh lappisan adventesia yang masih utuh atau aadanya hematom

    mediastinum yang mencegah terjadinya kematian segera.

    Hipotensi menetap atau berulang ditemukan sedangkan perdarahan

    ditempat lain tidak ada. bila rupturnya berupa transeksi aorta, maka darah akan

    masuk ke rongga pleura yang menyebabkan hipotensi, berakibat fatal dan harus

    dilakukan operasi dalam hitungan menit.

    Tanda

    2

  • 7/23/2019 Resume B Sken 2

    40/95

  • 7/23/2019 Resume B Sken 2

    41/95

    [KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

    C. TRAUMA MATA1. Mekanik

    Trauma mekanik pada mata sering menyebabkan kebutaan unilateral pada

    anak-anak dan orang dewasa muda. Pada kelompok inilah trauma pada mata

    sering terjadi (50%) yaitu umur kurang dari 18 tahun (di USA).

    Trauma mekanik pada mata dibedakan ada 2 macam yaitu :

    a. Trauma mekanik tumpulGelombang tekanan akibat trauma menyebabkann tekanan yang sangat

    tinggi dalam waktu singkat didalam bola mata. Tekanan dalan bola mata ini akan

    menyebar antara cairan vitreus dan sclera yang tidak elastis. Akibatnya terjadi

    peregangan dan robeknya jaringan pada tempat dimana ada perbedaan elastisitas,

    misal daerah limbus, sudut iridocorneal, ligamentum zinni dan corpus ciliaris.

    Respon jaringan akibat trauma menimbulkan : 1). Gangguan molekuler. Dengan

    adanya perubahan patologi akan menyebabkan kromatolisis sel. 2). ReaksiPembuluh darah. Reaksi pembuluh darah ini berupa vasoparalisa sehingga aliran

    darah menjadi lambat, sel endotel rusak, cairan keluar dari pembuluh darah maka

    terjadi edema. 3). Reaksi Jaringan. Reaksi Jaringan ini biasanya berupa robekan

    pada cornea, sclera dan sebagainya.

    A. Palpebra

    1. Perdarahan di palpebra = ecchymosis, black eye

    Pada perdarahan hebat, palpebra menjadi bengkak dan berwarna kebiru-

    biruan, karena jaringan ikat palpebra halus, perdarahan ini dapat menjalar ke

    jaringan lain di muka, juga dapat menyeberang melalui pangkal hidung ke mata

    yang lain menimbulkan hematom kacamata (bril hematom) atau menjalar ke

    belakang menyebabkan eksofthalmos. Bila ecchymosisi tampak segera sesudah

    trauma, menunjukkan bahwa traumanya hebat, oleh karenanya harus dilakukan

    pemeriksaan seksama dari bagian mata yang lainnya. Juga perlu pemeriksaan foto

    rontgen tengkorak.

    2

  • 7/23/2019 Resume B Sken 2

    42/95

  • 7/23/2019 Resume B Sken 2

    43/95

    [KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

    Tampak sebagai bercak merah muda atau tua, besar, kecil tanpa atau

    dsertai peradangan mata.

    Pengobatannya, simptomatis dengan Sulfazinci, antibiotika bila taku

    terkena infeksi. Perdarahannya sendiri dapat diabsorbsi dalam 1 2 minggu, yang

    dapat dipercepat dengan pemberian kompres hangat selam 10 menit setiap kali.

    Kompres hangat jangan diberikan pada hari pertama, karena dapat memperhebat

    perdarahannya, pada waktu ini sebaiknya diberikan kompres dingin.

    2. Edema

    Bila masif dan terletak sentral dapat mengganggu visus. Kondisi ini dapat

    diatasi dengan jalan reposisi konjungtiva atau menusuk konjungtiva sehingga

    terjadi jalan untuk mengurangi edema tersebut. Dapat juga dibantu dengan cairan

    saline yang hipertonik untuk mempercepat penyerapan.

    3. Laserasi

    Bila laserasi sedikit ( < 1 cm) dapat diberi antibiotika untuk membatasi

    kerusakan. Daya regenerasi epitel konjungtiva yang tinggi sehingga akan tumbuh

    dalam beberapa hari. Bila > 1 cm dijahit dan diberikan antibiotika.

    C. Kornea

    1. Erosi Kornea

    Bila pennderita mengeluh nyeri, photofobi, epifora, blefarospasme, perlu

    kita lakukan pemeriksaan pengecatan fluorescein. Bila (+) berarti sebagian kornea

    tampak hijau yang berarti ada suatu lesi atau erosi kornea. Pengobatan dengan

    bebat mata dan diharapkan 1 - 2 hari terjadi penyembuhan. Bila erosi luas maka

    perlu tambahan antibiotika.

    2. Edema Kornea

    Dapat berupa edema yang datar atau edema yang melipat dan menekuk ke

    dalam masuk ke membran bowman dan descemet. Pengobatan dengan bebat mata

    dan antibiotika, kadang-kadang diperlukan lensa kontak untuk melindungi kornea

    pada fase penyembuhan.

    D. Bilik Mata Depan

    1. Hifema

    2

  • 7/23/2019 Resume B Sken 2

    44/95

    [KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

    Perdarahan ini berasal dari iris atau badan siliar. Merupakan keadaan yang gawat.

    Sebainya dirawat, Karena takut timbul perdarahan sekunder yang lebih hebat

    daripada perdaran primer, yang biasanya timbul hari kelima setelah trauma.

    Perdarahan sekunder ini terjadi karena bekuan darah terlalu cepat diserap,

    sehingga pembuluh darah tak mendapat waktu cukup untuk regenerasi kembali,

    dan menimbulkan perdarahan lagi. Adanya darah di dalam bilik mata depan, dapat

    menghambat aliran aquos ke dalam trabekula, sehingga dapat menimnbulkan

    galukoma sekunder. Hifema dapat pula menyebabkan uveitis. Darah dapat terurai

    dalam bentuk hemosiderin, yang dapat meresap masuk ke dalam kornea,

    menyebabkan kornea berwarna kuning dan disebut hemosiderosis atau imbibisio

    kornea. Jadi penyulit yang harus diperhatikan pada hifema adalah : glaucoma

    sekunder, uveitis dan hemosiderosis atau imbibisio kornea. Hifema dapat sedikit

    dapat pula banyak. Bila sedikit ketajaman penglihatan mungkin masih baik dan

    tekanan intraokuler normal. Perdarahan yang mengisi setengah bilik mata depan,

    dapat menyebabkan gangguan visus dan kenaikan tekanan intraokuler, sehingga

    mata terasa sakit oleh glaukomanya. Jika hifemanya mengisi seluruh bilik mata

    depan rasa sakit bertambah dan visus lebih menurun lagi, karena tekanan

    intraokulernya bertambah pula.

    Pengobatan: Harus masuk rumah sakit. Istirahat ditempat tidur dengan

    elevasi kepala 30 45 derajat. Kepala difiksasi dengan bantal pasir dikedua sisi,

    supaya tak bergerak. Keadaan ini harus dipertahankan minimal 5 hari. Pada anak-

    anak mungkin harus diikat tangan dan kakinya ditempat tidur. Kedua mata

    ditutup, atau dapat pula mata yang sakit saja yang ditutup. Beri salep mata,

    koagulansia. Bila terisi darah segar, berikan antifibrinolitik, supaya bekuan darah

    tak terlalu cepat diserap, untuk memberi kesempatan pembuluh darah

    menyembuh, supaya tak terjadi perdarahan sekunder. Pemberiannya tak boleh

    melewati 1 minggu, karena dapat mengganggu aliran humor aquos, menimbulkan

    glaucoma dan imbibisio kornea. Dapat diberikan 4 kali 250 mg transamic acid.

    Selama dirawat yang perlu dipehatikan adlah hifema penuh atau tidak, tekanan

    intraokuler naik atau tidak, fundus terlihat atau tidak.Hifema yang penuh dengan

    kenaika intra okuler, perlu pemberian diamox, gliserin yang harus dinilai dalam

    2

  • 7/23/2019 Resume B Sken 2

    45/95

    [KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

    24 jam. Jika tekanan intraokuler tetap tinggi atau turun, tetapi tetap diatas normal,

    dilakukan parasentese. Jika tekanan menjadi normal, diamox tetap diberikan dan

    dinilai setiap hari. Bila tekanan ini tetap normal dan darah masih terdapat sampai

    hari ke 5 9,dilakukan parasentese. Bila terdapat glaukoma yang tak dapat

    dikontol dengan cara diatas, maka dilakukan iridenkleisis, dengan merobek iris,

    yang kemudian diselipkan diantara insisi korneo skleral, sehingga pupil tampak

    sebagai lubang kunci yang terbalik.

    E. Iris

    1. Iridoplegi

    Merupakan kelumpuhan otot sfinter pupil sehingga pupil menjadi

    midriasis. Iridoplegi ini dapat berlangsung beberapa hari sampai beberapa

    minggu. Pengobatan sebaiknya istirahat untuk mencegah terjadi kelelahan sfinter

    dan pemberian roboransia.

    2. Iridodialisis

    Merupakan robekan pada akar iris, sehingga pupil agak kepinggir

    letaknya, pada pemeriksaan biasa teerdapat warna gelap selain pada pupil, tetapi

    juga pada dasar iris tempat iridodialisa. Pada pemerisaan oftalmoskop terdapat

    warna merah pada pupil dan juga pada tempat iridodialisa, yang merupakan reflek

    fundus.Pengobatan dapat dicoba dengan midriatika, sehingga pupil menjadi lebar

    dan menekan pada akarnya. Istirahat ditempat tidur. Mata ditutup. Bila

    menimbulkan diplopia, dilakukan reposisi, dimana iris dikaitkan pada sclera.

    F. Pupil

    1. Midriasis

    Disebabkan iriodoplegi, akibat parese serabut saraf yang mengurus otot

    sfingter pupil. Iridoplegi ini dapat terjadi temporer 2 3 minggu, dapat juga

    permanen, tergantung adanya parese atau paralise dari otot tersebut. Dalam waktu

    ini mata terasa silau. Pengobatan sebaiknya istirahat untuk mencegah terjadi

    kelelahan sfingter dan pemberian roboransia.

    G. Lensa

    1. Dislokasi Lensa

    2

  • 7/23/2019 Resume B Sken 2

    46/95

  • 7/23/2019 Resume B Sken 2

    47/95

  • 7/23/2019 Resume B Sken 2

    48/95

    [KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

    Trauma tumpul dapat mengakibatkan kompresi pada saraf optik, demikian

    pula perdarahan dan edema sekitar saraf optik. Penglihatan akan berkurang setelah

    cedera mata. Terdapat reaksi defek aferen pupil tanpa adanya kelainan nyata pada

    retina. Tanda lain yang dapat ditemukan adalah gangguan penglihatan warna dan

    lapangan pandang. Papil saraf optik dapat normal dalam beberapa minggu

    sebelum menjadi pucat.

    Pengobatan adalah dengan merawat penderita pada waktu akut dengan

    memberi steroid. Bila penglihatan memburuk setelah steroid maka perlu

    dipertimbangkan untuk pembedahan.

    K. Enoftalmus

    Disebabkan robekan besar pada kapsula tenon yang menyelubungi bola

    mata di luar sclera atau disebabkan fraktura dasar orbita. Oleh karena itu harus

    dibuat foto rontgen dari tulang tengkorak. Seringkali enoftalmus tidak terlihat

    selama masih terdapat edema. Gejalanya : penderita merasa sakit, mual, terdapat

    diplopi pada pergerakan mata keatas dan ke bawah. Saraf infra orbita sering rusak

    dan penderita mengeluh anesthesia pada kelopak mata atas dan ginggiva.

    Pengobatan : operasi, dimana dasar orbita dijembatani dengan graft tulang

    kartilago atau badan aloplastik.

    L. Eksoftalmos

    Biasanya disebabkan perdarahan retrobulber berasal dari A. Oftalmika

    beserta cabang-cabangnya. Dengan istirahat di tempat tidur perdarahan diserap

    kembali, juga diber koagulansia. Bila eksoftalmus disertai pulsasi dan souffles,

    berarti ada aneurisma antara arteri karotis interna dan sinus kavernosus.

    Pengobatan : pengikatan pada a. karotis sisi yang sama.

    b. Trauma Mekanik Tajam

    Pada trauma mekanik tajam ada baiknya diberi anestesi lokal, supaya

    pemeriksaan dapat dilakukan dengan teliti dan pada luka-luka yang hebat, yang

    dapat menimbulkan prolaps dari isi bola mata. Serum antitetanus harus diberikan

    pada setiap luka akibat benda tajam.

    A. Palpebra

    2

  • 7/23/2019 Resume B Sken 2

    49/95

    [KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

    Kalau pinggiran palpebra luka dan tak diperbaiki, dapat menimbulkan

    koloboma palpebra akwisita. Bila besar dapat akibatkan kerusakan kornea oleh

    karena mata tak dapat menutup dengan sempurna. Oleh karena itu tindakan harus

    dilakukan secepatnya. Kalau tidak kotor dapat ditunggu sampai 24 jam. Pada

    tindakan tersebut harus diperbaiki kontinuitas margo palpebra dan kedudukan

    bulu mata. Jangan sampai menimbulkan trikiasis. Bila robekan mengenai margo

    inferior bagian nasal, dapat memotong kanalikuli lakrimal inferior, sehingga air

    mata tak dapat melalui jalan yang seharusnya dan mengakibatkan epifora.

    Rekanalisasi dapat dikerjakan secepatnya, bila ditunggu 1 2 hari sukar untuk

    mencari ujung-ujunng kanalikuli tersebut.

    B. Konjungtiva

    1. Perdarahan

    Penatalaksanaan sama dengan rudapaksa mata mekanis tumpul.

    2. Robekan

    Bila kurang dari 1 cm tidak dijahit, diberikan anestesi lokal. Bila lebih dari

    1 cm dijahit denga benang cut gut atau sutera berjarak 0,5 cm antara tiap-tiap

    jahitan. Diberikan antibiotika lokal selam 5 hari dan bebat mata untuk 1 - 2 hari.

    C. Kornea

    1. Erosi Kornea

    Penatalaksanaan seperti rudapaksa tumpul.

    2. Luka Tembus Kornea

    Dari anamnesa didapatkan teraba nyeri, epifora, photofobi dan

    blefarospasme. Pada pemeriksaan didapat tes fluorescein (+).

    Pengobatan: tanpa mengingat jarak waktu antara kecelakaan dan

    pemeriksaan, tiap luka terbuka kornea yang masih menunjukkan tanda-tanda

    adanya kebocoran harus diusahakan dijahit. Jaringa intraokuler yang keluar dari

    luka, missal: badan kaca, prolap iris sebaiknya dipotong sebelum luka dijahit.

    Janganlah sekali-kali dimasukkan dalam bolamata. Jahitan kornea dilakukan

    secara lamellar untuk menghindari terjadinya fistel melalui bekas jahitan. Luka

    sesudah dijahit dapat ditutup lembaran konjungtiva yang terdekat. Tindakan ini

    dapat dianggap dapat mempercepat epitelialisasi. Diberikan antibiotika lokal

    2

  • 7/23/2019 Resume B Sken 2

    50/95

  • 7/23/2019 Resume B Sken 2

    51/95

    [KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

    1. Iritis

    Sering akibat dari trauma. Dari anamnese didapatkan keluhan nyeri,

    epifora, photofobi, dan blefarospasme. Dari pemeriksaan didapatkan pupil miosis,

    reflek pupil menurun dan sinekia posterior.

    Pengobatan dapat diberikan Atropin tetes 0,5 1% 1 - 2 kali selama

    sinekia belum lepas dan antibiotika. Diberikan diamox bila ada komplikasi

    glaukoma.

    H. Lensa

    1. Dislokasi Lensa

    Penatalaksanaan sama dengan trauma mekanik tumpul.

    2. Katarak

    Penatalaksanaan sama denga trauma mekanik tumpul.

    I. Segmen Posterior

    Penatalaksanaan sama denga trauma mekanik tumpul.

    J. Luka dengan Benda Asing (Corpus Alienum)

    Pemeriksaan yang teliti secara sistimatis sangat diperlukan untuk dapat

    menentukan adanya, macamnya, lokalisasi dari benda tersebut.

    1. Anamnese :

    Terutama pada penderita yang bekerja di perusahaan, dimana benda logam

    memegang peranan. Harus ditanyakan apa pekerjaannya dan benda asing apakah

    kiranya yang masuk ke dalam mata.

    2. Pemeriksaan :

    Benda asing tersebut harus dicari secara teliti maemakai penerangan yang

    cukup mulai dari palpebra, konjungtiva, fornixis, kornea, bilik mata depan.Bila

    mungkin benda tersebut berada dalam lensa, badan kaca diman perlu pemeriksaan

    tambahan berupa funduskopi, foto rontgen, ultrasonografi, pemerisaan dengan

    magnet, dan coronal CT Scan. MRI merupakan kontra indikasi untuk benda

    logam yang mengandung magnet.

    Benda asing yang dapat masuk ke dalam mata dibagi dalam beberapa

    kelompok:

    2

  • 7/23/2019 Resume B Sken 2

    52/95

  • 7/23/2019 Resume B Sken 2

    53/95

    [KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

    b. Kimia

    Trauma bahan kimia dapat terjadi pada kecelakaan dalam laboratorium,industr, pekerjaan yang memakai bahan kimia, pekerjaan pertanian, dan

    peperangan yang memakai bahan kimia. Bahan kimia yang dapat mengakibatkan

    kelainan pada mata dapat dibedakan dalam bentuk:

    Trauma asam

    Trauma basa atau alkali

    Pengaruh bahan kimia sangat bergantung pada pH, kecepatan dan jumlah

    bahan kimia tersebut.

    Klasifikasi

    1. Trauma asam

    Contoh bahan kimia bersifat asam adalah asam sulfat, air accu, asam sulfit,

    asam klorida, zat pemutih, asam asetat. Bila bahan asam mengenai mata maka

    akan segera terjadi pengendapan atau penggumpalan protein permukaan sehingga

    bila konsentrasi tidak tinggi maka tidak akan bersifat destruktif. Kerusakan hanya

    pada bagian superficial saja. Bahan asam dengan konsentrasi tinggi dapat bereaksiseperti terhadap trauma basa sehingga kerusakan yang diakibatkan akan lebih

    dalam. Pengobatan dilakukan dengan irigasi jaringan yang terkena secepat-

    cepatnya dan selama mungkin untuk menghilangkan dan melarutkan bahan yang

    mengakibatkan trauma. Biasanya trauma akibat asam akan normal kembali

    sehingga tajam penglihatan tidak banyak terganggu.

    2. Trauma basa atau alkali

    Contoh bahan kimia bersifat basa adalah amoniak, freon, sabun, shampoo,

    kapur gamping, semen, tiner, lem, kaustik soda. Trauma akibat bahan kimia basa

    akan memberikan akibat yang sangat gawat pada mata. Alkali akan menembus

    dengan cepat kornea, bilik mata depan, dan sampai pada jaringan retina. Pada

    trauma basa akan terjadi penghancuran jaringan kolagen kornea. Bahan kimia

    basa bersifat koagulasi sel dan terjadi proses persabunan disertai dengan dehidrasi.

    Bahan akustik soda dapat menembus ke dalam bilik mata depan dalam waktu 7

    detik. Pada trauma alkali akan terbentuk kolagenase yang akan menambah

    2

  • 7/23/2019 Resume B Sken 2

    54/95

    [KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

    kerusakan kolagen kornea. Alkali yang menembus ke dalam bola mata akan

    merusak retina sehingga akan berakhir dengan kebutaan penderita.

    Menurut klasifikasi Thoft maka trauma basa dapat dibedakan dalam:

    Derajat 1: hiperemi konjungtiva disertai dengan keratitis pungtata

    Derajat 2: hiperemi konjungtiva disertai dengan hilang epitel kornea

    Derajat 3:hiperemi disertai dengan nekrosis konjungtiva dan lepasnya

    epitel kornea

    Derajat 4: konjungtiva perilimal nekrosis sebanyak 50%.

    Tindakan bila terjadi trauma basa adalah dengan secepatnya melakukan irigasi

    degan garam fisiologik dan dilakukan selama mungkin. Irigasi dilakukan paling

    sedikit 60 mneit segera setelah trauma. Penderita diberi sikloplegia, antibiotic,

    EDTA untuk mengikat basa. EDTA diberikan setelah 1 minggu trauma alkali,

    diperlukan untuk menetralisir kolagenase yang terbentuk pada hari ke-7. Penyulit

    yang dapat timbul adalah simblefaron, kekeruhan kornea, edema dan

    neovaskularisasi kornea, katarak, disertai dengan terjadi ptisis bola mata.

    Anamnesis dan gejala klinisSubyektif:

    Penderita mengeluh adanya bahan kimia asam atau basa yang mengenai

    mata disertai rasa nyeri sampai tidak bisa membuka mata, berair, kabur dan silau.

    Obyektif:

    Visus menurun

    Kelopak mata bengkak, kadang ada luka bakar

    Konjungtiva hiperemi, kemosis, karena bahan kimia basa bisa terjadiiskemi dan nekrosis konjungtiva dan sclera, tergantung berat ringannya keadaan

    Kornea edema, tes fluoresin +/erosi, sampai kekeruhan kornea yang hebat.

    Klasifikasi tingkat keparahan akibat rudapaksa kimia berdasarkan M.J

    Roper-Hall

    2

  • 7/23/2019 Resume B Sken 2

    55/95

    [KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

    Grade Kornea Konjungtiva Prognosis

    I

    II

    III

    IV

    Erosi kornea

    Keruh, detail iris jelas

    Kerusakan epitel total,

    stromal keruh, detail

    iris kabur

    Keruh/putih, detail iris

    tak tampak

    Iskemia (-)

    Iskemia < limbus

    Iskemia 1/3-1/2 limbus

    Iskemia > limbus

    Baik

    Baik

    Kurang baik

    Jelek

    Klasifikasi tingkat keparahan akibat rudapaksa kimia berdasarkan Hughes:

    1. Ringan: a. erosi kornea

    b. kornea agak keruh

    c. tidak ada iskemia, nekrosis konjungtiva dan sklera

    2. Sedang: a. kornea keruh, detail iris tak tampakb. iskemia, nekrosis konjungtiva dan sclera minimal

    3. Berat: a. pupil tak tampak

    b. konjungtiva dan sclera kemosis hbat, pucat (blanching)

    Diagnosis/cara pemeriksaan

    Anestesi local

    Tes fluoresin

    Pemeriksaan memakai lampu senter+loupe, slit lamp biomikroskop

    Kertas pH meter/lakmus untuk mengetahui jenis bahan kimia

    Lid retractor/desmares untuk membantu membuka kelopak mata.

    Hal yang berpengaruh terhadap prognosis kesembuahn akibat trauma kimia:

    Pertolongan pertama saat kejadian, semakin cepat, semakin baik

    prognosisnya

    Jumlah dan tingkat kepekatan konsentrasi bahan kimia, semakin banyak

    jumlah dan kepekatannya tinggi maka kerusakan semakin hebat.

    2

  • 7/23/2019 Resume B Sken 2

    56/95

    [KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

    Penatalaksanaan

    Semua rudapaksa/trauma kimia merupakan kasus darurat, sebaiknya

    pertolongan pertama mulai dilaukan pada tempat kejadian sesegera mungkin

    dengan mencuci dengan air bersih sesering mungkin sebelum dirujuk ke

    rumah sakit terdekat.

    Berikan anestesi lokal tetes mata

    Diikuti irigasi dengan aquades steril, cairan fisiologis secara manual

    memakai spuit 20 cc disposable atau secara drip dengan infuse set.

    Irigasi selain ditujukan pada kornea mata, juga untuk forniksuperior/inferior, bila ada sisa bahan kimia dapat dibersihkan dengan lidi

    kapas steril basah atau pinset.

    Irigasi minimal 1 liter untuk masing-masing mata, untuk bahan kimia asam

    irigasi dilakukan selama jam, untuk bahan kimia basa irigasi selama 1

    jam.

    Parasentese untuk menetralisir H di BMD dengan memakai BSS untuk

    mengganti aquos humor yang terkontaminasi bahan kimia.

    Obat-obatan:

    Sikloplegik jangka panjang (Atropin 2%) diberika 1 tetes untuk mengurangi

    spasme iris, mengurangi/mencegah perlekatan iris dengan lensa (sinekia

    anterior).

    Antibiotic tetes mata untuk mencegah infeksi sekunder

    Untuk kasus berat (grade 3 dan 4), dengan uveitis dapat diberikan

    kortikosteroid tetes mata pada 2 minggu pertama untuk mengurangi

    inflamasi dengan evaluasi ketat.hati-hati dalam mengguanakan steroid

    karena dapat menghambat reepitelisasi

    Vitamin C tetes mata, mengurangi perlunakan kornea

    c. Fisik / Radiasi

    Trauma radiasi yang sering ditemukan adalah:

    1. Trauma sinar infra merah

    2

  • 7/23/2019 Resume B Sken 2

    57/95

  • 7/23/2019 Resume B Sken 2

    58/95

  • 7/23/2019 Resume B Sken 2

    59/95

    [KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

    D. TRAUMA THT1. Tuli Mendadak

    Tuli mendadak (sudden deafness) ialah tuli yang terjadi secara tiba-tiba,

    bersifat sensorineural dan penyebabnya tidak dapat langsung diketahui.1 Beberapa

    ahli mendefinisikan tuli mendadak sebagai penurunan pendengaran sensorineural

    30 dB atau lebih paling sedikit pada tiga frekuensi berturut-turut yang

    berlangsung dalam waktu kurang dari 3 hari. Tuli mendadak bukanlah suatu

    penyakit tetapi merupakan gejala dari banyak penyakit.Suckfull dkk mendefinisikan tuli mendadak sebagai berikut: tuli

    sensorineural yang berlangsung mendadak lebih dari 15 dB pada tiga frekuensi

    atau lebih dibandingkan dengan telinga yang sehat atau pemeriksaan audiometri

    sebelumnya, disertai dengan atau tanpa gejala tinitus dan vertigo

    Etiologi Dan Patofisiologi Tuli Mendadak

    Etiologi tuli mendadak sampai sekarang belum diketahui secara pasti..

    Banyak ahli

    berpendapat bahwa tuli mendadak bukanlah suatu penyakit melainkan suatu gejala

    dengan

    banyak faktor penyebab

    Terdapat 4 teori utama penyebab tuli mendadak yang berkembang

    berdasarkan studi etiologi, yaitu: infeksi virus, autoimun, kerusakan membran

    telinga dalam dan gangguan vaskuler.

    Gejala Klinik

    Penderita mengeluh pendengarannya tiba-tiba berkurang pada satu atau

    kedua telinga yang sebelumnya dianggap normal. Biasanya keadaan ini disadari

    penderita ketika bangun tidur pagi hari ataupun setelah bekerja. Umumnya

    penderita dapat mengatakan dengan pasti saat mulai timbulnya ketulian. Ketulian

    dapat mengenai semua frekuensi pendengaran, tetapi yang sering pada frekuensi

    tinggi. Tuli mendadak biasanya disertai dengan tinitus (91,0%), vertigo (42,9 %),

    rasa penuh pada telinga yang sakit (40,7%), otalgia (6,3%), parestesia (3,5%), tuli

    2

  • 7/23/2019 Resume B Sken 2

    60/95

    [KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

    saraf sebelumnya(9,2%), tinitus sebelumnya (4,2% dan gangguan vestibuler

    sebelumnya(5,0%).

    Diagnosis

    Diagnosis tuli mendadak ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan

    fisik dan THT, audiologi, laboratorium serta pemeriksaan penunjang lain.

    Anamnesis yang teliti mengenai proses terjadinya ketulian, gejala yang menyertai

    serta faktor predisposisi penting untuk mengarahkan diagnosis. Pemeriksaan fisik

    termasuk tekanan darah sangat diperlukan. Pada pemeriksaan otoskopi tidak

    dijumpai kelainan pada telinga yang sakit.

    Pada pemeriksaan audiologi didapatkan:

    1. Tes penala : Rinne positif, Weber lateralisasi ke telinga yang sehat, Schwabach

    memendek. Kesan: tuli sensorineural.

    2. Audiometri nada murni: tuli sensorineural derajat ringan sampai sangat berat.

    3. BERA (pada anak-anak atau pada pasien yang tidak kooperatif) : tuli saraf

    ringan sampai

    berat.

    4. Tes SISI (short increment sensitivity index) skor 70-100%. Kesan : dapat

    ditemukan

    rekruitmen.

    5. Tes Tone Decay : tidak ada kelelahan. Kesan : bukan tuli retrokoklea.

    6. Audiometri tutur: speech discrimination score (SDS) kurang dari 100%.

    Kesan : tuli

    sensorineural

    7. Audiometri impedans: timpanogram tipe A (normal), refleks stapedius

    ipsilateral. negatif

    atau positif, sedangkan kontralateral positif. Kesan : tuli sensorineural koklea.

    Penatalaksanaan

    Tirah baring (total bed rest), istirahat fisik dan mental selama dua minggu

    untuk menghilangkan atau mengurangi stress yang besar pengaruhnya pada

    keadaan kegagalan neurovaskuler.

    2

  • 7/23/2019 Resume B Sken 2

    61/95

    [KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

    Pengobatan :

    Vasodilator

    Secara teoritis, vasodilator dapat memperbaiki suplai darah ke koklea,

    mencegah terjadinya hipoksia. Papaverin, histamin, asam nikotinik, , prokain,

    niasin, dan karbogen digunakan untuk memperbaiki aliran darah koklearis.

    Inhalasi karbogen (5% CO2) menunjukkan adanya peningkatan tekanan oksigen

    perilimfatis.

    Rheologik

    Reologik agen mengubah viskositas darah dengan menggunakan dekstran

    dengan berat molekul yang rendah, pentoksifilin, atau anti koagulan (heparin,

    warfarin) untuk memperbaiki aliran darah dan oksigenasi. Dekstran dapat

    menyebabkan terjadinya hemodilusi hipervolemik dan mempengaruhi faktor VII,

    yang keduanya dapat meningkatkan aliran darah. Pentoksifilin dapat

    menyebabkan terjadinya deformitas platelet sedangkan antikoagulan memberikan

    efek balik terhadap terjadinya koagulan untuk mencegah terjadinya emboli.

    Anti Inflamasi

    Kortikosteroid merupakan obat anti inflamasi yang digunakan untuk

    mengobati ketulian sensorineural mendadak idiopatik. Mekanisme kerjanya

    terhadap ketulian mendadak belum diketahi dengan pasti, meskipun terjadi

    reduksi inflamasi koklea dan saraf auditorius setelah pemberian.

    AntiVirus

    Asiklovir dan Amantadin dibatasi penggunaannya pada pengobatan

    ketulian sensorineural mendadak idiopatik, hanya pada etiologi virus. Famsiklovir

    dan valasiklovir merupakan obat terbaru, yang memiliki struktur dan cara kerja

    yang serupa dengan asiklovir dan belum dilaporkan penggunaannya pada ketulian

    yang mendadak.

    Diuretik

    Pada beberapa episode ketulian sensorineural idiopatik yang merupakan

    sekunder dari hydrops endolimfatik koklea, diuretic biasa digunakan sebagai

    pengobatan, seperti pada penyakit Meniere, mekanisme kerja diuretic pada

    ketulian mendadak belum dipahami dengan jelas.

    2

  • 7/23/2019 Resume B Sken 2

    62/95

    [KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

    Hyperbarik Oksigen

    Terapi hiperbarik oksigen menggunakan 100% oksigen dengan tekanan

    250 kPA selama 60 menit dalam ruangan tertutup. Hyperbarik dengan kombinasi

    glukokortikoid dosis tinggi dapat meningkatkan hasil terapi, dan hasil terbaik

    dicapai jika perawatan dimulai sedini mungkin.

    Bedah

    Memperbaiki celah fistula perilimfatis digunakan pada kasus ketulian

    sensorineural mendadak idiopatik yang berkaitan dengan tes fistula positif atau

    terdapat riwayat trauma atau barotrauma. Kekurangan perilimfatis dapat

    menyebabkan ketulian mendadak berkaitan dengan teori terjadinya ruptur

    membran intrakoklearis. Alternatif lain, tekanan perilimfatis yang rendah dapat

    menghasilkan hidrops endolimfatis koklear. Tindakan pembedahan dalam

    memperbaiki fistula perilimfatik ini menimbulkan kontroversi.

    2. Epistaksis

    Epistaksis atau sering disebut mimisan adalah perdarahan dari hidung

    yang dapat terjadi akibat sebab lokal atau sebab umum (kelainan sistemik).

    Epistaksis bukan suatu penyakit melainkan gejala suatu kelainan. Perdarahan yang

    terjadi di hidung adalah akibat kelainan setempat atau penyakit umum.

    Etiologi

    Penyebab lokal :

    1. Trauma, misalnya mengorek hidung, terjatuh, terpukul, benda asing di hidung,

    trauma

    pembedahan, atau iritasi gas yang merangsang.

    2. Infeksi hidung dan sinus paranasal, seperti rinitis, sinusitis; serta granuloma

    spesifik,

    seperti lepra dan sifilis.

    3. Tumor, baik jinak maupun ganas pada hidung, sinus paranasal dan nasofaring.

    4. Lingkungan, misalnya perubahan tekanan atmosfir mendadak seperti pada

    penerbang

    dan penyelam (penyakit Caisson) atau lingkungan yang udaranya sangat dingin.

    2

  • 7/23/2019 Resume B Sken 2

    63/95

    [KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

    5. Benda asing atau rinolit, dapat menyebabkan epistaksis ringan disertai ingus

    berbau

    busuk.

    6. Idiopatik, biasanya merupakan epistaksi yang ringan dan berulang pada anak

    dan

    remaja.

    Penyebab sistemik :

    1. Penyakit kardiovaskular, seperti hipertensi dan kelainan pembuluh darah.

    2. Kelainan darah, seperti trombositopenia, hemofilia, dan leukemia.

    3. Infeksi sistemik, seperti demam berdarah dengue, influenza, morbili, dan

    4. demam tifoid.

    5. Gangguan endokrin, seperti kehamilan