yusril ihza mahendra » mengenang seratus tahun mohammad natsir » print

Upload: guntar-ramadhan

Post on 23-Feb-2018

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 7/24/2019 Yusril Ihza Mahendra Mengenang Seratus Tahun Mohammad Natsir Print

    1/6

    - Yusril Ihza Mahendra - http://yusril.ihzamahendra.com -

    MENGENANG SERATUS TAHUN MOHAMMAD NATSIR

    Posted By Yusril Ihza Mahendra On July 3, 2008 @ 6:35 pm In Politik | 102 Comments

    Bismillah ar-Rahman ar-Rahim

    Tanggal 17 Juli 2008 nanti akan ada Peringatan Seratus Tahun Mohammad Natsir di Jakarta.

    Berbagai acara telah dan akan diselenggarakan dalam peringatan ini, mulai dari diskusi,

    seminar, penulisan buku dan penerbitan kembali buku-buku karya Almarhum Mohammad

    Natsir. Keluarga Pak Natsir meminta saya untuk menulis kata pengantar atas diterbitkannya

    kembali Capita Selecta Jilid I karya almarhum yang pernah diterbitkan tahun 1954. Oleh

    karena buku itu dicetak terbatas, maka kata pengantar yang saya tulis itu saya hidangkan di

    blog ini, agar dapat dibaca oleh kalangan yang tidak sempat memiliki buku karya Mohammad

    Natsir yang diterbitkan kembali itu. Apa yang saya tulis dalam kata pengantar itu,

    sesungguhnya lebih dari sekedar mengantarkan pembaca untuk memahami buku yang

    diterbitkan, namun memberikan gambaran umum tentang sosok Mohammad Natsir, agar

    kehidupan dan sumbangannya bagi bangsa, negara dan agama dapat diingat kembali dan

    dikenang oleh generasi yang hidup di masa sekarang.

    Pak Natsir (1908-1993) adalah tokoh intelektual, pejuang, politikus, ulama dan sekaligus salah

    seorang negarawan yang dimiliki bangsa kita. Sejak usia muda, beliau menaruh minat yang

    sangat besar terhadap ilmu pengetahuan, falsafah dan kajian keislaman. Di zaman ketika

    beliau masih muda, untuk mendapatkan informasi dan bahan-bahan untuk mendalami bidang-

    bidang itu tidaklah mudah. Perpustakaan tidaklah sebanyak zaman sekarang. Mesin fotocopy

    belum ada. Internet yang dapat membantu seseorang menelusuri berbagai bahan yang

    diperlukan, juga belum ada. Namun Pak Natsir bagai orang yang tak pernah putus asa untuk

    mencari. Meskipun beliau sepenuhnya menempuh pendidikan Barat di sekolah-sekolah

    Belanda, namun minatnya untuk menelaah khazanah ilmu pengetahuan keislaman bagai tak

    pernah padam. Beliau pergi ke sana ke mari untuk mencari buku, meminjam dengan orang-

    orang, atau meminjam buku di berbagai perpustakaan. Beruntung beliau, karena memahami

    bahasa Belanda, Arab, Inggris dan Perancis, sehingga berbagai buku yang diperlukan, yang

    ditulis dalam bahasa-bahasa itu dapat beliau baca. Bahkan, beliau tidak saja menulis dalam

    Bahasa Indonesia, namun juga menulis dalam Bahasa Belanda, Perancis dan Bahasa Inggris.

    Kebiasaan Pak Natsir memburu buku itu, bukan hanya terjadi ketika beliau masih muda. Ketika

    usia beliau makin senja, saya adalah salah seorang yang selalu beliau suruh untuk mencari

    berbagai buku yang ingin beliau baca. Saya bukan saja harus mencari buku-buku itu di

    berbagai toko buku atau di perpustakaan, tetapi bukan sekali dua harus datang ke rumah

    beberapa tokoh untuk mendapatkan buku itu. Pernah beliau menyuruh saya datang ke rumah

    Prof. Osman Raliby, ke rumah Prof. Zakiah Darajat, Prof. Deliar Noer, M.Yunan Nasution, Zainal

    Abidin Ahmad, dan bahkan saya di suruh pergi ke Bandung, karena buku yang beliau cari ada di

    rumah Endang Saifuddin Anshary. Pak Natsir membaca buku-buku itu dengan penuh minat.

    Saya menyadari bahwa Pak Natsir tidak ingin sembarangan bicara atau sembarangan menulis.Beliau ingin mendalami segala sesuatu sebelum menyampaikan pendapat atau menentukan

    sikap terhadap sesuatu masalah.

    Sikap yang ditunjukkan Pak Natsir seperti saya gambarkan di atas sangatlah baik untuk

    diteladani. Seorang cendekiawan dan seorang pemimpin, sebaiknyalah mendalami segala

    sesuatu sebelum menyampaikan pendapat dan menentukan sikap. Karena itulah, kalau kita

    menelaah tulisan-tulisan Pak Natsir, baik tulisan lepas maupun sebuah polemik, beliau

    mengemukakan pandangan berdasarkan data, analisa dan argumentasi yang kokoh. Karena itu

    pula pandangan-pandangan beliau mempunyai bobot yang tinggi dan juga mempunyai

    pengaruh yang luas kepada publik. Tulisan-tulisan itu, bahkan melampaui zaman. Apa yang

    beliau kemukakan ketika beliau masih muda di zaman kita masih dijajah maupun setelah

    kita merdeka, tetap mempunyai nuansa yang relevan dengan zaman ketika kita hidup di masa

    sekarang. Masalah-masalah memang datang silih berganti sesuai tantangan zaman. Namun

    esensi persoalannya tidaklah bergeser terlalu jauh. Karena itu, dalam membaca tulisan-tulisan

    beliau yang dihimpun dalam buku ini, kita harus mampu menangkap esensinya, bukan

    menangkap peristiwa-peristiwanya saja, yang kini telah menjadi bagian dari sejarah bangsa

    kita.

  • 7/24/2019 Yusril Ihza Mahendra Mengenang Seratus Tahun Mohammad Natsir Print

    2/6

    Membaca tulisan-tulisan Pak Natsir yang dihimpun dalam buku ini, saya berani mengatakan

    bahwa Pak Natsir bukanlah seorang yang murni intelektual, kalau kita menggunakan ukuran-

    ukuran sebagaimana dikemukakan Julien Benda. Bagi Benda, intelektual adalah manusia yang

    menghabiskan waktu sepanjang hidupnya untuk bergelut dengan dunia pemikiran. Mereka

    menjauhi dunia praktis dan tidak menaruh minat kepada dunia politik. Bagi Benda, intelektual

    nampaknya seperti seorang yang berdiri di menara gading. Kepalanya tidak menyentuh langit

    dan kakinya tidak menginjak bumi. Mereka berumah di atas angin, berada di awang-awang

    nun jauh di sana di atas tanah tempat kita berpijak. Pak Natsir pada dasarnya adalah seorang

    aktivis. Beliau terlibat dalam berbagai pergerakan, baik kepemudaan, keagamaan, sosial dan

    politik. Beliau menulis dalam rangka pergerakan itu dengan bertitik tolak pada kenyataan-

    kenyataan sosial yang dihadapinya. Beliau tidak menulis untuk melontarkan gagasan di ruang

    hampa. Sebab itulah, kita jarang menemukan sebuah buku yang benar-benar buku yang

    pernah beliau tulis untuk membahas sesuatu masalah. Beliau lebih banyak menulis essay, atau

    risalah pendek, yang kemudian dihimpun dan dibukukan.

    Menghadapi kenyataan di atas, suatu ketika saya pernah berbicara berdua dengan Pak Natsir

    mengenai kontribusi beliau dalam dunia intelektual. Saya katakan kepada beliau, andaikata Pak

    Natsir mencurahkan sepenuh waktu dalam hidup beliau untuk melakukan studi dan menulis,

    mungkin beliau akan melampaui karya-karya Allama Mohammad Iqbal atau Fazlur Rahman,

    dua filsuf dan intelektual dari Pakistan. Mendengar komentar saya itu, Pak Natsir hanya

    tertawa. Beliau mengatakan bahwa jalan hidup seseorang tidaklah ditentukan oleh

    kemauannya sendiri, karena segala sesuatu berjalan seakan terjadi begitu saja. Saya mengerti

    bahwa Pak Natsir lebih tertarik untuk menjadi aktivis daripada menjadi intelektual murni. Kalaubeliau memang menginginkan menjadi intelektual murni, saya yakin beliau takkan menolak

    tawaran beasiswa untuk melanjutkan studi ke Rechts Hoogeschool di Batavia atau sekalian

    saja meneruskan pendidikan ke Universitas Leiden di Negeri Belanda. Saya yakin, dengan bakat

    intelektual yang beliau miliki, dengan mudah beliau mendapatkan gelar PhD di bidang filsafat,

    hukum atau kajian keislaman dari universitas tersebut. Namun sejarah telah menunjukkan,

    Pak Natsir lebih senang bekerja secara independen setelah menamatkan AMS di Bandung.

    Beliau memilih menjadi guru dan mendirikan sekolah sendiri, sambil terus aktif di dalam

    pergerakan.

    Prestasi Pak Natsir di bidang politik, nampaknya telah melampaui apa yang dicapai oleh guru-

    guru beliau. Salah seorang guru Pak Natsir yang hidup sampai ke zaman kita merdeka, ialah

    Haji Agus Salim. HOS Tjokroaminoto yang juga memberikan banyak ilham kepada Pak Natsir,

    telah wafat sebelum kita merdeka. Haji Agus Salim sama-sama aktif dalam Masyumi setelah

    partai itu terbentuk di awal kemerdekaan. Haji Agus Salim dan Pak Natsir sama-sama menjadi

    menteri di awal kemerdekaan. Agus Salim menjadi Menteri Luar Negeri dan Pak Natsir menjadi

    Menteri Penerangan. Faktor usia jugalah yang mendorong Haji Agus Salim untuk memberikan

    kesempatan kepada tokoh-tokoh yang berusia muda, antara lain kepada Pak Natsir, Pak

    Mohamad Roem, Pak Kasman Singodimedjo dan Pak Jusuf Wibisono yang kesemuanya adalah

    murid-murid Haji Agus Salim ketika mereka aktif di dalam Jong Islamieten Bond. Pak Natsir

    pernah menjadi Perdana Menteri Republik Indonesia, sebuah jabatan yang merupakan karier

    puncak seorang politikus dalam sistem pemerintahan parlementer. Nama beliau bukan saja

    dikenal di di tanah air, tetapi juga di seluruh pelosok dunia Islam, jauh melampaui guru-

    gurunya dan tokoh-tokoh lain seangkatannya.

    Dengan uraian di atas, kita akan dapat memahami tulisan-tulisan Pak Natsir, yang seluruhnyaditulis sebagai respons intelektual terhadap perkembangan zaman, yang menjadi keprihatinan

    beliau. Tulisan-tulisan itu dibuat untuk memberikan percerahan dalam rangka membangun

    kesadaran baru terhadap dua hal pokok, pertama keprihatinan terhadap Islam dan umatnya,

    dan kedua keprihatinan terhadap situasi yang dihadapi bangsa kita, baik di masa penjajahan

    maupun setelah kemerdekaan. Keprihatinan terhadap Islam dan umatnya memang telah

    menjadi fokus perhatian Pak Natsir sejak awal. Beliau lahir dan dibesarkan dalam lingkungan

    masyarakat Minangkabau, ketika Adat dan Islam menjadi bahan polemik berkepanjangan

    dalam masyaratnya. Memasuki awal abad ke dua puluh, gerakan pembaharuan Islam semakin

    menguat di Minangkabau, dan hal ini menjadi sumber polemik pula. Pak Natsir karena latar

    belakang keluarganya memilih Islam sebagai jalan hidup. Pengaruh Adat Minangkabau dalam

    kehidupan pribadi Pak Natsir hampir tidak terasa, walau secara formal beliau diangkat menjadi

    Datuk oleh kaum kerabatnya dan bergelar Datuk Sinaro Panjang. Keterlibatan beliau dalam

    mengurusi adat, sepanjang pengamatan saya, tidak begitu nampak. Bahkan dalam

    keseluruhan tulisan-tulisan beliau ini agak beda dengan Buya Hamka dan Agus Salim

    hampir tak pernah Pak Natsir membicarakan masalah adat.

    Dengan memilih Islam, Pak Natsir ingin memberikan kerangka pemahaman baru terhadap

    Islam, sehingga Islam benar-benar menjadi pedoman hidup dan jalan hidup yang bersifat abadi

  • 7/24/2019 Yusril Ihza Mahendra Mengenang Seratus Tahun Mohammad Natsir Print

    3/6

    dan universal. Dalam konteks ini Pak Natsir memberikan kontribusi yang signifikan, yang

    menempatkan diri beliau sebagai seorang pembaharu, bukan saja di bidang pemikiran, tetapi

    juga di dalam gerakan Islam. Dalam konteks pembaharuan ini, para akademisi umumnya

    menyimpulkan bahwa gerakan pembaharuan Islam di Indonesia karena pengaruh dari berbagai

    gerakan pembaharu di Timur Tengah atau Asia Selatan. Buya Hamka dalam orasi penerimaan

    gelar doktor kehormatan dari Universitas Al-Azhar di tahun 1962, menyebutkan pengaruh

    yang sangat besar dari Syekh Muhammad Abduh kepada gerakan pembaharuan di tanah air.

    Buya Hamka menyebutkan hampir semua tokoh-tokoh pembaharu itu mendapat pengaruh

    dari Mohammad Abduh. Dari berbagai dialog saya dengan Pak Natsir, saya berkesimpulan

    bahwa Pak Natsir sampai kepada cita pembaharuan Islam itu, bukanlah karena pengaruh

    pemikiran dari Timur Tengah, melainkan berngkat dari keprihatiannya sendiri. Beliau kemudian

    menggunakan metode berpikir yang didapatnya di pendidikan Barat yang ditempuhnya untuk

    menelaah berbagai literatur dengan kritis. Pak Natsir mengatakan kepada saya, baru di masa

    belakangan beliau membaca Tafsir Al-Manar dan karya-karya Mohammad Abduh dan

    Muhammad Rasyid Ridla, serta pembaharu lainnya dari Timur Tengah. Namun beliau mengakui

    telah membaca berulangkali karya Ali Abdurraziq yang kontroversial,Al-Islam wa Uhu lul Hukm,

    ketika berpolemik dengan Sukarno. Sebelumnya seperti telah saya katakan beliau banyak

    berdiskusi dengan A Hassan (gurunya di Persatuan Islam Bandung dan Pak Natsir sendiri

    kemudian pernah menjadi ketua organisasi ini), Agus Salim dan Tjokroaminoto. Pak Natsir,

    pada dasarnya adalah seorang otodidak dalam mengembangkan pemikiran tentang Islam.

    Pak Natsir berkeyakinan bahwa ajaran Islam adalah adalah abadi dan bersifat universal. Islam

    menekankan tauhid dan menentang kemusyrikan, agar manusia mempunyai orientasi yangbenar dalam hidupnya. Etika pribadi dan sosial ditegakkan atas dasar iman kepada Allah Yang

    Maha Melihat lagi Mengetahui. Iman kepada hari akhir akan mendorong ketaatan setiap insan

    kepada kaidah-kaidah etika, karena Allah akan mengadili setiap perbuatan manusia dengan

    seadil-adilnya. Ibadat harus dilaksanakan dengan konsisten. Itulah sebabnya Pak Natsir

    menulis buku tentang pelajaran shalat yang sengaja ditulisnya di dalam Bahasa Belanda, yang

    ditujukan kepada orang-orang berpendidikan Barat agar memahami dan melaksanakannya.

    Mengenai soal hukum, Pak Natsir berpendapat syariat Islam sangatlah luas dan mempunyai

    fleksibelitas untuk ditafsirkan ulang guna memenuhi kebutuhan zaman. Namun manusia,

    katanya, tidak dapat melampaui batas-batas atau hudud yang telah ditetapkan Allah dan

    Rasulnya. Untuk itulah diperlukan iman, mengingat keterbatasan pengetahuan manusia dan

    relativitas temuan ilmu-pengetahuan. Nuansa pemikiran seperti ini terlihat dalam jawaban Pak

    Natsir atas tulisan-tulisan Ir. Soekarno menjelang tahun 1940.

    Tentu sumbangan besar Pak Natsir dalam pemikiran Islam ialah gagasannya tentang Islam

    sebagai Ideologi. Apa yang dimaksud Pak Natsir tentulah bukan wahyu Allah di dalam al-Quran

    dan hadits-hadits Rasulullah adalah sebuah ideologi. Namun ajaran-ajaran Islam yang

    terkandung di dalam kedua sumber ajaran itu dapat ditransformasikan dan diformulasikan ke

    dalam sebuah rumusan untuk dijadikan sebagai landasan bagi sebuah gerakan politik.

    Rumusan itu bersifat eksplisit, tegas dan sekaligus menyebutkan cara-cara untuk

    mencapainya. Rumusan seperti itulah yang disebut sebagai ideologi. Pak Natsir sendiri adalah

    konseptor Tafsir Asas Masyumi, yang setelah disempurnakan oleh muktamar partai itu,

    disahkan sebagai ideologi Masyumi. Islam adalah asas Masyumi. Tafsir Asas memberikan

    tafsiran terhadap Islam yang dijadikan sebagai asas partai itu, untuk dijadikan sebagai

    pedoman berpikir, bertindak dan sekaligus landasan Masyumi dalam derap langkah dan

    perjuangannya. Tulisan Pak Natsir tentang Islam sebagai ideologi yang paling berkesan ialahpidato beliau di Majelis Konstituante, ketika Masyumi membela Islam untuk dijadikan sebagai

    dasar negara berhadapan dengan dasar Pancasila dan Sosial Ekonomi. Pak Natsir menegaskan

    bahwa menghadapi dasar negara itu, pilihan kita hanya dua: agama atau sekularisme. Sayang,

    tulisan tentang dasar negara itu belum dimuat di dalam Capita Selecta Jilid I ini.

    Dalam pidato tentang dasar negara di Konstituante itu, Pak Natsir menggolongkan Pancasila

    sebagai sekularisme. Penggolongan itu didasarkan beliau atas uraian-uraian dari para

    pendukung dasar negara Pancasila itu sendiri. Kalau tafsiran terhadap Pancasila itu memang

    bercorak sekuler seperti dikemukakan oleh para pendukungnya dan tidak berhubungan

    dengan ajaran agama, maka Pak Natsir menolak Pancasila sebagai dasar negara. Namun sikap

    Pak Natsir mengenai Pancasila itu sendiri, tidaklah demikian. Beliau dapat menerima Pancasila

    sebagai dasar dan falsafah negara, sepanjang Pancasila itu ditafsirkan dalam premis-premis

    Islam. Hal itu ditegaskan Pak Natsir dalam pidatonya di hadapan Pakistans Institute of World

    Affairs tahun 1952. Jadi, soal Pancasila adalah soal tafsir belaka. Indonesia, kata Pak Natsir,

    dapat disebut sebagai Negara Islam karena kenyataan bahwa bagian terbesar penduduknya

    beragama Islam. Meskipun Islam tidak dinyatakan secara tegas sebagai dasar negara

    sebagaimana halnya Pakistan, namun Pancasila, yakni lima asas yang dijadikan sebagai dasar

  • 7/24/2019 Yusril Ihza Mahendra Mengenang Seratus Tahun Mohammad Natsir Print

    4/6

    negara Republik Indonesia adalah sesuatu yang sejalan dengan ajaran-ajaran Islam.

    Tentang konsep sebuah negara, Pak Natsir menganut pandangan bahwa ajaran-ajaran Islam

    mengenai negara, hanyalah terbatas kepada asas-asasnya saja. Asas-asas itu dapat

    ditransformasikan ke dalam sebuah rumusan yang bersifat konsepsional tentang negara,

    sesuai dengan keadaan ruang dan waktu. Umat Islam yang hidup pada suatu tempat dan

    zaman tertentu dapat memikirkan rumusan sebuah negara yang paling sesuai dengan keadaan

    dan kebutuhan mereka. Untuk itu, menurut Pak Natsir, Islam memberikan kesempatan

    kepada umatnya untuk mengadopsi berbagai sistem yang berkembang di berbagai negara,

    untuk diintegrasikan ke dalam sistem yang mereka bangun dengan mengaju kepada asas-asas

    yang diajarkan Islam. Islam tidaklah seratus persen demokrasi, dan tidak pula seratus persen

    autokrasi. Islam adalah Islam, demikian kata Pak Natsir sebelum kita merdeka. Namun setelah

    kita merdeka, dan telah beberapa tahun berpengalaman memiliki negara, Pak Natsir sampai

    pada kesimpulan bahwa meskipun demokrasi itu mempunyai banyak kekurangan dan kesulitan

    dalam melaksanakannya, namun sampai dewasa ini umat manusia belum menemukan sistem

    lain yang lebih baik dari demokrasi. Namun Pak Natsir kembali menegaskan bahwa demokrasi

    yang harus dilaksanakan ialah theistic democracy, yakni demokrasi yang didasarkan kepada

    nilai-nilai ketuhanan.

    Selain di bidang pemikiran politik Islam, Pak Natsir memberikan sumbangan pemikiran yang

    sangat penting untuk membangun kesadaran umat Islam dalam melaksanakan ajaran agama

    dan mempertahankan eksistensi dirinya. Di zaman Belanda, beliau sangat prihatin dengan

    ketimpangan kebijakan Pemerintah kolonial Belanda dalam mendukung kegiatan-kegiatandakwah dan pendidikan Islam, dibandingkan dengan dukungannya kepada missi dan

    penyelenggaraan pendidikan Kristen di tanah air. Keprihatinan Pak Natsir terhadap kegiatan

    missi Kristen terus berlanjut sampai usia beliau menjelang senja. Perhatian beliau kepada soal

    dakwah di daerah-daerah terpencil dan daerah transmigrasi tak pernah padam. Namun beliau

    mempunyai perhatian yang besar pula dalam mendukung kegiatan-kegiatan dakwah di

    berbagai kampus di seluruh tanah air. Perhatian beliau kepada pendidikan, telah muncul sejak

    usia muda. Pak Natsir terlibat dalam mendirikan berbagai perguruan tinggi Islam di tanah air.

    Beliau melihat jauh ke depan. Nasib umat Islam akan menjadi lebih baik, jika pendidikan

    dibenahi. Pak Natsir juga mengirim banyak generasi muda untuk menuntut ilmu ke berbagai

    negara.

    Bagi Pak Natsir hidup adalah perjuangan dan pengabdian tanpa akhir. Beliau berbuat sesuatu

    untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan negara, baik berada di luar panggung kekuasaanmaupun berada di luarnya. Karier Pak Natsir di panggung kekuasaan tidak berlangsung lama.

    Menjadi Menteri Penerangan di dalam Kabinet Sjahrir hanya beberapa bulan saja. Menjadi

    Perdana Menteri hanya sekitar enam bulan saja. Selebihnya menjadi anggota parlemen dan

    konstituante. Namun pengabdian beliau tak pernah padam, walau terkadang terlihat

    kontroversial seperti ketika beliau melibatkan diri ke dalam Pemerintah Revolusioner Republik

    Indonesia. Pak Natsir sangat prihatian melihat negara yang semakin bergerak ke arah kiri dan

    prihatin pula akan munculnya kediktatoran di bawah Presiden Soekarno. Keprihatinan itu

    makin bertambah ketika Presiden Soekarno membentuk Kabinet Darurat Ekstra Parlementer di

    bawah pimpinan Ir. Djuanda. Beliau melihat semua ini sebagai pelanggaran terang-terangan

    terhadap konstitusi dan demokrasi. Sementara di daerah-daerah terus-menerus terjadi

    berbagai pergolakan yang berpotensi pecahnya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

    Pada awal Pebruari 1958, Pak Natsir memutuskan untuk bergabung dengan tokoh-tokoh di

    daerah yang menentang pemerintah pusat yang mereka yakini bersifat inkonstitusional itu.

    Dari pertemuan Sungai Dareh lahirlah ultimatum untuk membubarkan pemerintah Djuanda

    dan membentuk pemerintahan baru yang dipimpin Mohammad Hatta. Kalau lima kali dua

    puluh empat jam ultimatum tidak dipenuhi, maka mereka akan menempuh jalan sendiri dan

    tidak mengakui keberadaan dan keabsahan pemerintah pusat. Inilah awal lahirnya Pemerintah

    Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera Tengah, sebagai pemerintahan tandingan.

    Pak Natsir ingin agar persoalan ketidaksahan pemerintah pusat itu segera diakhiri, dan dengan

    begitu setiap saat mereka dengan sukarela akan mengakhiri keberadaan PRRI.

    Namun konflik politik terus berlanjut dan konflik bersenjata tidak dapat dihindari lagi. TNI

    membom Lapangan Terbang Tabing di Padang dan mendaratkan pasukan di sana. Perang

    saudara tak terhindarkan lagi. Tetapi suatu hal yang harus dicatat dari peristiwa ini, Pak Natsirtetap menginginkan konflik ini adalah konflik internal bangsa kita sendiri. PRRI tidak boleh

    mengarah kepada separatisme. Sebagai penggagas mosi integral yang melebur negara-

    negara bagian Republik Indonesia Serikat (RIS) ke dalam Republik Indonesia, Pak Natsir tetap

    menginginkan bangsa dan negara kita bersatu. Ibarat rumah tangga, periuk belanga boleh

    beterbangan kata Pak Natsir kepada saya. Tetapi rumah kita jangan kita rubuhkan.Jadi,

  • 7/24/2019 Yusril Ihza Mahendra Mengenang Seratus Tahun Mohammad Natsir Print

    5/6

    PRRI haruslah dilihat sebagai konflik internal antar sesama bangsa kita sendiri, antara mereka

    yang menganggap pemerintah pusat sah dan tidak sah, dan konflik antara daerah dengan

    pusat yang memerlukan penyelesaian yang bijaksana. Karena itu, sungguh keliru menganggap

    PRRI sebagai gerakan separatis.

    Meskipun Pak Natsir dan seluruh mereka yang terlibat dalam PRRI memenuhi panggilan

    amnesti umum yang disampaikan Presiden Soekarno, namun beliau tetap saja ditahan oleh

    Pemerintah Soekarno tanpa tuduhan yang jelas. Penahanan terhadap Pak Natsir itu tidak

    pernah dilanjutkan dengan proses hukum, Ini terang-terangan merupakan suatu bentuk

    pelanggaran hukum dan hak asasi manusia yang dilakukan Pemerintah Presiden Soekarno. Pak

    Natsir baru dibebaskan setelah Presiden Soekarno jatuh dari panggung kekuasaan. Ketika

    memasuki alam bebas, Pak Natsir terus melanjutkan pengabdiannya kepada bangsa dan

    negara. Masyumi telah dipaksa membubarkan diri oleh Presiden Ketika pada akhir tahun 1960,

    ketika Pak Natsir masih berada di hutan-hutan. Usaha merehabilitasi Masyumi mengalami

    kegagalan karena sikap keras pemerintahan militer di bawah Jenderal Soeharto. Ketika pintu

    untuk kembali terlibat dalam pergerakan politik menjadi tertutup bagi beliau, Pak Natsir

    mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia dan mulai aktif dalam Muktamar al-Alam al-

    Islami dan Rabithah al-Alam al-Islami. Dengan begitu, beliau diakui bukan saja tokoh Islam di

    tanah air, tetapi juga tokoh dunia Islam.

    Selama pemerintahan Orde Baru, Pak Natsir tetap dianggap sebagai pemimpin yang disegani

    dan sekaligus juga dikhawatirkan pengaruhnya oleh Pemerintah Orde Baru. Namun berbagai

    keterbatasan yang beliau hadapi apalagi setelah beliau ikut menandatangani Petisi 50 beliaudilarang ke luar negeri kegiatan dakwah Pak Natsir tak pernah berhenti. Beliau juga menulis

    dan memberikan masukan sekaligus kritik terhadap berbagai kebijakan Pemerintah. Namun,

    gaya Pak Natsir menulis dan berpidato tetaplah halus, tenang dan tidak berapi-api sebagaimana

    kebanyakan pemimpin yang menghadapi banyak tekanan dan hambatan. Namun dibalik

    ketenangan dan kehalusaannya itu, terdapat kekuatan semangat dan keteguhan pendirian.

    Mengenai hal ini, saya sungguh banyak belajar dari Pak Natsir. Keteguhan hati seorang

    pemimpin bukanlah tercermin dari kerasnya kata-kata yang dia ucapkan, melainkan dari sikap

    dan prilakunya yang tidak berubah ketika dia menghadapi tekanan dan tantangan, bahkan

    bujukan dan rayuan.

    Sepanjang saya mengenal Pak Natsir dan bergaul erat dengan beliau, kesan saya, Pak Natsir

    adalah pribadi yang amat jujur dan bersahaja. Beliau sering mengenakan baju putih yang ada

    bekas tinta di kantongnya, atau mengenakan baju batik berwarna biru tua. Peci dan sehelaisyal selalu dipakainya ke mana saja beliau pergi. Kalau di rumah beliau memakai kain sarung

    dan baju potong Cina, sejenis baju khas orang Melayu. Dengan saya, Pak Natsir seringkali

    bersenda gurau dan berbicara hal yang lucu-lucu, yang mungkin jarang diucapkannya kepada

    orang lain. Pribadi beliau sangat menarik dan nampak mudah sekali merasa kasihan dengan

    orang lain. Ketika saya mula-mula bergaul dengan Pak Natsir, saya masih mahasiswa dan

    tinggal di Asrama UI di Rawamangun. Setiap Pak Natsir menyuruh saya mengerjakan sesuatu,

    saya kerjakan dengan sungguh-sungguh. Kalau apa yang dikerjakan sudah selesai saya

    mengantarkannya ke rumah beliau di Jalan Cokroaminoto No 46 Menteng. Saya ngobrol-

    ngobrol ke sana ke mari sebentar dengan beliau, dan setelah itu mohon pamit.

    Ketika saya sudah di pintu pagar rumah beliau, tiba-tiba Pak Natsir memanggil saya dan

    mengatakan Saudara Yusril. Tunggu sebentar. Entah mengapa beliau selalu memanggil sayadengan sebutan saudara itu. Saya tunggu sebentar dan Pak Natsir keluar dari dalam rumah

    lalu memasukkan tangannya ke kantong baju saya. Sambil tertawa beliau mengatakan Ini

    ongkos becaknya. Sayapun tertawa, saya katakan Pak, sekarang tidak ada becak lagi di

    Jakarta. Pak Natsirpun tertawa dan mengatakan Saudara kan mahasiswa dan tinggal di

    asrama. Ini untuk naik bis dan untuk ongkos makan.Saya sungguh terharu dengan sikap Pak

    Natsir itu. Kalau saya teringat dengan beliau, hati saya merasa sedih. Saya merasa seperti

    kehilangan orang tua saya sendiri.

    Pak Natsir pernah pula mencari saya ke Asrama UI Daksinapati Rawamangun, Jakarta. Saya

    terkejut bukan kepalang karena teman-teman seasrama memberitahu saya ada Pak Natsir

    datang ke asrama mencari anda, demikian kata mereka. Saya setengah berlari menghampiri

    Pak Natsir yang menunggu saya di lobby arsama itu. Dengan perasaan malu, saya katakan

    kepada beliau, biarlah saya yang datang ke rumah Pak Natsir, kalau ada tugas-tugas yangbeliau berikan. Kalau beliau datang ke asrama mencari saya, saya merasa saya seperti orang

    penting, padahal saya hanya mahasiswa yang tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan

    kebesaran beliau. Mendengar apa yang saya katakan itu, sambil tertawa Pak Natsir berkata

    Ya, kalau Saudara yang perlu dengan saya, Saudara yang datang ke rumah saya. Tapi kalau

    saya yang perlu dengan Saudara, saya yang datang ke tempat Saudara. Beliau mengucapkan

  • 7/24/2019 Yusril Ihza Mahendra Mengenang Seratus Tahun Mohammad Natsir Print

    6/6

    kata-kata itu tanpa beban. Saya sungguh tertegun dengan ucapan beliau itu. Saya pikir ketika

    itu, alangkah demokratis dan rendah hati beliau yang bernama Mohammad Natsir ini, sampai

    saya sendiri tak dapat menutupi rasa malu kepada diri sendiri di hati saya.

    Demikianlah sekelumit kata pengantar saya atas diterbitkannya kembali Capita Selecta Jilid I

    buah tangan Pak Natsir ini. Saya sungguh merasa mendapat kehormatan yang amat besar,

    dimintakan untuk menulis kata pengantar ini. Semoga kata pengantar saya ini berguna bagi

    siapa saja yang membaca buku Capita Selecta Jilid I ini. Akhirnya, kepada Allah SWT jua saya

    mengambalikan segala persoalan.

    Wallahu alam bissawwab

    Article printed from Yusril Ihza Mahendra: http://yusril.ihzamahendra.com

    URL to article: http://yusril.ihzamahendra.com/2008/07/03/mengenang-seratus-

    tahun-mohammad-natsir/

    Copyright 2007 Yusril Ihza Mahendra. All rights reserved.