farfor sumber

Upload: tika-mahatriny

Post on 10-Feb-2018

225 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 7/22/2019 FARFOR SUMBER

    1/32

    SATU

    2.1. Industri Obat TradisionalIndustri Obat Tradisional menurut Permenkes No.246 tahun 1990adalah adalah industri

    yang memproduksi obat traditional dengan total asset diatas Rp 600.000.000,- (enam ratus juta

    rupiah), tidak termasuk harga tanah dan bangunan. Sedangkan yang dimaksud dengan Industri

    Kecil Obat Tradisional menurut peraturan ini adalah industri obat tradisional dengan total asset

    tidak lebih dari Rp. 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah), tidak termasuk harga tanah dan

    bangunan.

    Obat tradisional yang diproduksi untuk tujuan diedarkan baik di wilayah Indonesia maupun

    di luar negeri terlebih dahulu harus didaftarkan sebagai persetujuan menteri kecuali untuk obat

    tradisional hasil produksi:

    Industri Kecil Obat Tradisional dalam bentuk rajangan, pilis, tapel, dan parem Usaha jamu racikan Usaha jamu gendongYang dimaksud dengan Usaha Jamu Racikan adalah usaha peracikan, pencampuran, dan

    atau pengolahan obat tradisional dalam bentuk rajangan, serbuk, cairan, pilis, tapel atau parem

    dengan skala kecil, dijual di satu tempat tanpa penandaan dan atau merk dagang. Sedangkan

    Usaha Jamu Gendong adalah usaha peracikan, pencampuran, pengolahan dan pengedaran obat

    tradisional dalam bentuk cairan, pitis, tapel atau parem, tanpa penandaan dan atau merk dagangserta dijajakan untuk langsung digunakan (Menkes, 1990)

    Dalam mendirikan suatu industri obat tradisional memerlukan izin Menteri Kesehatan,

    sedangkan untuk usaha jamu racikan dan jamu gendon, tidak diperlukan izin Menteri Kesehatan

    dalam pendiriannya. Usaha lndustri Obat Tradisional/Industri Kecil Obat Tradisional wajib

    memenuhi persyaratan sebagai berikut:

    1) Dilakukan oleh Badan Hukum berbentuk Perseroan Terbatas atau Koperasi; Dilakukanoleh Perorangan warganegara Indonesia atau Badan Hukum berbentuk Perseroan

    Terbatas atau Koperasi

    2) Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak3) Harus didirikan di tempat yang bebas pencemaran dan tidak mencemari lingkungan.4) Usaha lndustri Obat Tradisional harus mempekerjakan secara tetap sekurang-kurangnya

    seorang Apoteker warga negara Indonesia sebagai penanggung jawab teknis

  • 7/22/2019 FARFOR SUMBER

    2/32

    5) Wajib mengikuti Pedoman Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB)(Menkes, 1990)

    Pengadaan obat tradisonal oleh industri obat tradisional kepada masyarakat haruslah

    memenuhi persyaratan yang diwajibkan oleh pemerintah serta telah memiliki izin edar

    sebagaimana diharuskan dalam Pasal 2 Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan

    Makanan Republik Indonesia Nomor: HK.00.05.41.1384yang berbunyi sebagai berikut:

    1) Obat tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka yang dibuat dan atau diedarkan diwilayah Indonesia wajib memiliki izin edar dari Kepala Badan.

    2) Untuk memperoleh izin edar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukanpendaftaran

    Untuk dapat memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal diatas maka obat

    tradisional, harus memenuhi kriteria sebagai berikut:

    a) menggunakan bahan berkhasiat dan bahan tambahan yang memenuhi persyaratan mutu,keamanan dan kemanfaatan / khasiat;

    b) dibuat sesuai dengan ketentuan tentang Pedoman Cara Pembuatan Obat Tradisional yangBaik atau Cara Pembuatan Obat yang Baik yang berlaku;

    c) penandaan berisi informasi yang lengkap dan obyektif yang dapat menjamin penggunaanobat tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka secara tepat, rasional dan aman

    sesuai dengan hasil evaluasi dalam rangka pendaftaran.

    2.2. Tugas Pokok dan Fungsi (Tupoksi) Apoteker dalam Industri Obat TradisionalMenurut Cara Pembuatan Obat Tradisional Yang Baik (CPOTB)

    Industri obat tradisional harus membuat obat tradisional sedemikian rupa agar sesuai

    dengan tujuan penggunaannya, memenuhi persyaratan yang tercantum dalam dokumen izin edar

    (registrasi) dan tidak menimbulkan risiko yang membahayakan penggunanya karena tidak aman,

    mutu rendah atau tidak efektif. CPOTB adalah suatu pedoman yang menjelaskan cara

    memproduksi obat tradisional agar didapat produk yang aman dengan sifat dan mutu yang

    dihasilkan sesuai dengan yang dikehendaki. Produk bermutu adalah produk yg memenuhi

    spesifikasi, identitas dan karakteristik yg telah ditetapkan. Produk yang aman adalah produk

    yang tidak mengandung bahan-bahan yg dapat membahayakan kesehatan /keselamatan manusia

    seperti menimbulkan penyakit atau keracunan. Ruang lingkup: personalia, bangunan, peralatan,

  • 7/22/2019 FARFOR SUMBER

    3/32

    sanitasi dan hygiene, pengolahan dan pengemasan, pengawasan mutu, inspeksi diri, dokumentasi

    dan penanganan terhadap hasil pengamatan produk di peredaran (BPOM RI, 2011).

    Dalam CPOTB dipersyaratkan untuk personalia yaitu Kepala bagian Produksi adalah

    seorang yang terkualifikasi dan lebih diutamakan seorang apoteker . Kepala bagian Produksi

    ini diberi kewenangan dan tanggung jawab penuh dalam produksi obat tradisional, termasuk:

    a. memastikan bahwa obat tradisional diproduksi dan disimpan sesuai prosedur agar memenuhipersyaratan mutu yang ditetapkan;

    b. memberikan persetujuan petunjuk kerja yang terkait dengan produksi dan memastikan bahwapetunjuk kerja diterapkan secara tepat;

    c. memastikan bahwa catatan produksi telah dievaluasi dan ditandatangani oleh kepala bagianProduksi sebelum diserahkan kepada kepala bagian Manajemen Mutu (pemastian mutu);

    d. memeriksa pemeliharaan bangunan dan fasilitas serta peralatan di bagian Produksi;e. memastikan bahwa validasi yang sesuai telah dilaksanakan; danf. memastikan bahwa pelatihan awal dan berkesinambungan bagi personil di departemennya

    dilaksanakan dan diterapkan sesuai kebutuhan.

    Selain sebagai Kepala bagian Produksi, dalam industri obat tradisional seoarang apoteker

    juga diutamakan sebagai Kepala bagian Pengawasan Mutudan Kepala bagian Manajemen

    Mutu. Kepala bagian Pengawasan Mutu hendaklah diberi kewenangan dan tanggung jawab

    penuh dalam Pengawasan Mutu, termasuk:

    a. menyetujui atau menolak bahan awal, bahan pengemas, produk antara, produk ruahan danproduk jadi;

    b. memastikan bahwa seluruh pengujian yang diperlukan telah dilaksanakan;c. memberi persetujuan terhadap spesifikasi, petunjuk kerja pengambilan contoh, metode

    pengujian dan prosedur pengawasan mutu lain;

    d. memberi persetujuan dan memantau semua kontrak analisis;e. memeriksa pemeliharaan bangunan dan fasilitas serta peralatan di bagian Pengawasan Mutu;f. memastikan bahwa validasi yang sesuai telah dilaksanakan; dang. memastikan bahwa pelatihan awal dan berkesinambungan bagi personil di departemennya

    dilaksanakan dan diterapkan sesuai kebutuhan.

  • 7/22/2019 FARFOR SUMBER

    4/32

    Sedangkan sebagai Kepala bagian Manajemen Mutu memiliki kewenangan dan tanggung

    jawab penuh untuk melaksanakan tugas yang berhubungan dengan Sistem Mutu/ Pemastian

    Mutu, termasuk:

    a. memastikan penerapan (dan, bila diperlukan, membentuk) Sistem Mutu;b. ikut serta dalam atau memprakarsai pembentukan manual mutu perusahaan;c. memprakarsai dan mengawasi audit internal atau inspeksi diri berkala;d. melakukan pengawasan terhadap fungsi bagian Pengawasan Mutu;e. memprakarsai dan berpartisipasi dalam pelaksanaan audit eksternal (audit terhadap pemasok);f. memprakarsai dan berpartisipasi dalam program validasi;g. memastikan pemenuhan persyaratan teknik atau peraturan otoritas pengawasan obat

    tradisional yang berkaitan dengan mutu produk jadi;

    h. mengevaluasi/mengkaji catatan bets; dani. meluluskan atau menolak produk jadi untuk penjualan dengan mempertimbangkan semua

    faktor terkait.

    (BPOM RI, 2011)

    Seluruh Apoteker dalam industri obat tradisional baik sebagai Kepala Bagian Produksi,

    Kepala Bagian Pengawasan Mutu maupun Kepala Bagian Manajemen Mutu memiliki Tupoksi

    utama yakni mengawal proses produksi obat tradisional pada industri obat tradisional agar

    produk obat tradisional yang dihasilkan efektif, aman, dan berkhasiat bagi masyarakat. Adapun

    alur produksi obat tradisional dapat digambarkam sebagai berikut:

  • 7/22/2019 FARFOR SUMBER

    5/32

    Gambar 2.4 Skema Produksi Obat Tradisional (BPOM RI, 2011)

    3.2 Penyimpangan Oleh Apoteker di Industri Obat Tradisional

    Dalam industri obat tradisional, penyimpangan-penyimpangan hukum pekerjaan

    kefarmasian tidak dapat dihindari.

    A.Kasus Pelanggaran oleh Apoteker di Industri Obat Tradisional Sebuah pabrik obat tradisional Kec. Bumiayu Kab. Brebes Jawa Tengah memproduksi

    OT mengandung BKO secara tanpa hak dan kewenangan. Ruang produksi OT TIE dan

    mengandung BKO tersebut didesain seperti Bunker yang terletak dibawah tanah dan bertingkat 2

    (dua). Hasil pengujian PPOMN terhadap barang bukti yang ditemukan menunjukkan bahwa

    adanya BKO dalam produk IOT yang diedarkan oleh pabrik tersebut (Arianto, 2012).

    B.Permasalahan

  • 7/22/2019 FARFOR SUMBER

    6/32

    Pemberkasan kasus tersebut dilakukan oleh Penyidik POLDA Semarang dengan

    menggunakan Saksi Ahli dari Badan POM RI Dari hasil pemeriksaan terhadap Tersangka

    mendapatkan bukti bahwa (Arianto, 2012):

    1. Tersangka mencampur BKO ke dalam produk OT agar lebih manjur.

    2. Tersangka mencampur sendiri BKO tersebut ke dalam produk OT yang sedang dibuat

    3. Tersangka mengetahui bahwa perbuatannya mencampur BKO ke dalam produk OT

    adalah melanggar Undang-Undang

    4. Sumber BKO adalah Sunarko rekan kerjasama usaha produk OT, yang juga merupakan

    pemodal perusahaan tersebut dengan modal 50%:50%

    5. Perusahaan yang dimiliki oleh Tersangka dan SUNARKO tidak memiliki nama dan izin

    karena berada di bawah Koperasi Aneka Sari.

    C.Kajian Pelanggaran Etika Oleh ApotekerBerdasarkan bukti yang diperoleh tersebut, Pelanggaran-pelanggaran yang terkait

    mengenai proses produksi sediaan farmasi khususnya untuk IOT pada kasus diatas jika dikaitkan

    dengan undang-undang yang berhubungan pekerjaan kefarmasiaan maka analisis hukun

    pelanggaran yang terjadi sebagai berikut:

    1)Persyaratan usaha industri obat tradisional dan usaha industri kecil obat tradisional (SKMENKES NO. 246/MENKES/SK/ V/1990 tentang izin usaha industri obat tradisional dan

    pendaftaran obat tradisional tercantum, pada kasus tersebut yang dilanggar adalah :

    Pasal 31. Obat tradisional yang diproduksi, diedarkan diwilayah Indonesia maupun

    dieksport terlebih dahulu harus didaftarkan sebagai persetujuan menteri

    2. Dikecualikan dari ketentuan ayat 1 adalah obat tradisional hasil poduksi:

    a. Industri kecil obat tradisional dalam bentuk rajangan, pilis, tapel, dan parem.

    b. Usaha jamu racikan

    c. Usaha jamu gendong

    Analisis hukum :

  • 7/22/2019 FARFOR SUMBER

    7/32

    Melihat dari pasal diatas, kasus ini jelas melanggar pasal 3 ayat 1 dan ayat 2 dimana

    pabrik tersebut tidak mempunyai izin dan mendaftarkan produk IOT hasil olahannya pada

    menteri kesehatan sedangkan pabrik tersebut memproduksi jamu yang tidak seperti

    dicantumkan pada ayat 2, dalam artian perusahan tersebut memproduksi OT dalam skala

    besar untuk diperdagangkan

    Pasal 61. Usaha industri obat tradisional wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:

    a. Dilakukan oleh badan hukum berbentuk perseroan terbatas atau koperasi.

    b. Memiliki nomor pokok wajib pajak.

    Analisis hukum :

    Analisis pada pasal 6 menurut SK MENKES NO. 246/MENKES/SK/ V/1990 maka

    dapat disimpulkan bahwa pabrik obat tersebut tidak mendaftarkan usaha miliknya ke

    negara sehingga tidak memiliki NPWP dan merupakan suatu pabrik yang tidak memiliki

    badan hukum.

    Pasal 7Industri obat tradisional harus didirikan di tempat yang bebas pencemaran dan

    tidak mencemari lingkungan

    Analisis hukum:

    Melihat dari kasus diatas, sangat jelas melanggar pasal 7 karena industri obat tradisionalini ruang produksinya berada di bawah tanah dan sangat jauh dari standar ruang produksi

    yang seharusnya (menurut SOP).

    Pasal 8Usaha industri obat tradisional harus mempekerjakan secara tetap sekurang-

    kurangnya seorang apoteker warga negara indonesia sebagai penanggung jawab

    teknis

    Analisis hukum :

    Suatu industri obat tradisional wajib memiliki minimal seorang apoteker dalam

    mengelola suatu produksi yang berhubungan dengan obat tradisional. Ditinjau dari kasus

    di atas, kasus tersebut sangat jelas melangga pasal 8 dikarenakan tidak adanya apoteker

    sebagai penanggung jawab teknis.

    Pasal 9

  • 7/22/2019 FARFOR SUMBER

    8/32

    1. Industri obat tradisional dan industri kecil obat tradisional wajib mengikuti

    pedoman cara pembuatan obat tradisioanl yang baik (CPOTB).

    2. Pemenuhan persyaratan dimaksud ayat 1 dinyatakan oleh petugas yang

    berwenang melalui pemeriksaan setempat.

    Analisis hukum:

    Pabrik X di atas melakukan produksi di dalam bunker (ruang bawah tanah) dengan

    pencahayaan yang kurang; sanitasi yang kurang bagus; peralatan yang tidak di

    standarisasi dan divalidasi (standar SOP); hasil produksi yang tidak sesuai dengan

    pedoman CPOTB.

    Pasal 23Untuk pendaftaran obat tradisional dimaksud dalam pasal 3 obat tradisional harus

    memenuhi persyaratan:

    a) Secara empirik terbukti aman dan bermanfaat untuk digunakan manusiab) Bahan obat tradisional dan proses produksi yang digunakan memenuhi

    persyaratan yang ditetapkan

    c) Tidak mengandung bahan kimia sintetik atau hasil isolasi yang berkhasiatsebagai obat

    d) Tidak mengandung bahan yang tergolong obat keras atau narkotik.Analisis kasus :Dalam kasus di atas, pabrik X memproduksi obat tradisional dengan campuran BKO

    yang menyebabkan OT tersebut menjadi lebih manjur namun tidak diketahui efek

    sampingnya yang akan membahayakan konsumen. Namun jika melihat kasus di atas,

    maka obat tradisional hasil produksi pabrik X yang mengandung bahan kimia obat

    melanggar pasal tersbut di atas.

    2) UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, maka hukum yang dilanggar olehpabrik X tersebut antara lain:

    Pasal 4aHak konsumen adalah : Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan

    dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa.

    Analisis hukum :

  • 7/22/2019 FARFOR SUMBER

    9/32

    Pabrik X dengan jelas melanggar hak konsumen sebagaimana yang tercantum pada Pasal

    4a di mana pabrik ini memproduksi obat tradisional bercampur bahan kimia obat yang

    dapat membahayakan keselamatan konsumen.

    3)Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian Bagian Ketigamengenai pekerjaan kefarmasian dalam produksi sediaan farmasi (Anonim, 2009)

    Pasal 7 (1)Pekerjaan kefarmasian dalam produksi sediaan farmasi harus memiliki apoteker

    penanggungjawab.

    Pasal 9 (2)Industri obat tradisional dan pabrik kosmetika harus memiliki sekurang-

    kurangnya 1 (satu) orang apoteker sebagai penanggung jawab

    Analisis hukum:

    Dalam kasus tersebut di atas, pabrik obat tradisional tersebut tidak mempekerjakan

    sekurang-kurangnya 1 apoteker sebagai penanggung jawab produksi. Hal ini

    menyebabkan produksi tersebut tidak memenuhi persyaratan CPOB (Cara Pembuatan

    Obat yang Baik). Sehingga pabrik tersebut melanggar PP 51/2009 Pasal 7 (1) dan Pasal 9

    (2).

    4)Persyaratan usaha industri obat tradisional dan usaha industri kecil obattradisional (PERMENKES NO. 006 tahun 2012) tentang izin usaha industri obat tradisional

    dan pendaftaran obat tradisional tercantum, pada kasus tersebut yang dilanggar adalah :

    Pasal 3 ayat 2IOT yang melakukan kegiatan proses pembuatan obat tradisional untuk sebagian

    tahapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus mendapat persetujuan

    dari Kepala Badan.

    Pasal 4(1) IOT dan IEBA hanya dapat diselenggarakan oleh badan hukum berbentuk

    perseroan terbatas atau koperasi.

    Pasal 6

  • 7/22/2019 FARFOR SUMBER

    10/32

    1) Setiap industri dan usaha di bidang obat tradisional wajib memiliki izin dariMenteri.

    2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk usahajamu gendong dan usaha jamu racikan.

    3) Selain wajib memiliki izin, industri dan usaha obat tradisional wajib memenuhiketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal.

    Analisi hukum

    Telah dijelaskan bahwa pabrik X tersebut telah melanggar perizinan IOT yang

    melingkupi izin usaha, dan pekerjaan kefarmasian. Dimana pada kasus tersebut pemilik

    pabrik X tidak memperkerjakan sekurang-kurangnya 1 apoteker sebagai penanggung

    jawab dalam industri IOT sehingga dapat membahayakan konsumen.

    D.Kesimpulan Kasus Pada Penyimpangan oleh Apoteker di Industri Obat TradisionalDari contoh kasus dan analisis hukum kasus diatas ,dapat ditarik kesimpulan bahwa

    penyimpangan-penyimpangan di industri IOT akan tetap terus berlanjut jika pemerintah tidak

    tegas dalam mengambil tindakan terhadap oknum-oknum nakal yang melakukan pelanggaran

    tersebut. Penyimpangan ini juga dapat terjadi karena dipengaruhi oleh faktor individu yang

    kurang berdedikasi, tidak jujur dan tidak bertanggung jawab dalam memproduksi OT. Jika

    seorang pemilik IOT memperkerjakan farmasis dan apoteker yang bekerja dan bertanggung

    jawab atas IOT tersebut serta melakukan pekerjaan dengan dilandasi hukum yang berlaku maka

    tidak akan ada pihak yang dirugikan baik dari segi produsen maupun konsumen.

  • 7/22/2019 FARFOR SUMBER

    11/32

    DUA

    2.1KASUS PENYIMPANGAN DALAM BIDANG PRODUKSI SEDIAN FARMASI(OBAT TRADISIONAL)

    A. Peran Apoteker Dalam Pengadaan Obat TradisionalApoteker sebagai tenaga kefarmasian berperan penting dalam upaya penyelenggaraan

    kesehatan dimana salah satunya adalah untuk menjamin pengadaan obat tradisional yang aman,

    bermutu, dan berkhasiat bagi masyarakat. Berdasarkan Pasal 6 Ayat 2 PP No 51 Tahun 2009

    disebutkan bahwa pengadaan sediaan farmasi dengan obat tradisional termasuk didalamnya

    adalah kewajiban dari apoteker. Peran apoteker dalam industri obat tradisional diperjelas dalam

    34 Ayat 1 PerMenKes No 006 Tahun 2012 yakni sebagai penanggung jawab termasuk

    didalamnya bertanggung jawab terhadap pengadaan obat tradisional dan bahan bakunya baik

    impor maupun lokal. Apoteker yang bekerja dalam industri obat tradisional harus memenuhi

    persyaratan diantaranya:

    1) Memiliki Surat Izin Kerja (SIK)2) Memperoleh pelatihan yang sesuai3) Memiliki pengalaman praktis yang memadai dalam bidang obat tradisional dan

    keterampilan manajerial sehingga memungkinkan untuk melaksanakan tugas secara

    profesional.

    (BPOM RI, 2011; Presiden RI b, 2009)

    Apoteker yang bekerja di industri obat tradisional dituntut memiliki kompetensi sebagai

    berikut:

    1) Mampu melaksanakan fungsi pengajuan permohonan impor bahan obat tradisional, obattradisional impor serta pendaftaran obat tradisional,.

    2) Mampu melaksanakan Good Inventory Practices3) Mampu mengembangkan formula obat tradisional,pilot plant dan up scaling.4) Mampu mengembangkan spesifikasi, metode analisis dan prosedur pengujian untuk

    bahan awal, produk jadi dan kemasan.

    5) Mampu melaksanakan Good Manufacturing Practices.6) Mampu mengendalikan teknis operasi dan proses manufaktur obat tradisional.7) Mampu melaksanakan Good Laboratory Practices / analisis kontrol untuk pengawasan

    mutu obat tradisional.

  • 7/22/2019 FARFOR SUMBER

    12/32

    8) Mampu melaksanakan pengemasan produk.9) Mampu merancang dan melakukan uji stabilitas / kadaluwarsa.10)Mampu untuk melaksanakan pengujian yang sesuai untuk perbaikan mutu produk.11)Mampu berpartisipasi dalam pelaksanaan validasi proses.12)Mampu menjamin keselamatan kerja.13)Mampu melaksanakan promosi dan penyampaian informasi obat kepada tenaga

    profesional kesehatan lainnya.

    Dalam kaitannya dengan tahap pengadaan, maka apoteker dalam industri obat tradisional

    berperan sebagai Kepala bagian Pengawasan Mutu dan Kepala bagian Manajemen Mutu.

    Kepala bagian Pengawasan Mutu memiliki kewenangan penuh dalam Pengawasan Mutu,

    termasuk:

    h. menyetujui atau menolak bahan awal, bahan pengemas, produk antara, produk ruahandan produk jadi;

    i. memastikan bahwa seluruh pengujian yang diperlukan telah dilaksanakan;j. memberi persetujuan terhadap spesifikasi, petunjuk kerja pengambilan contoh, metode

    pengujian dan prosedur pengawasan mutu lain;

    k. memberi persetujuan dan memantau semua kontrak analisis;l. memeriksa pemeliharaan bangunan dan fasilitas serta peralatan di bagian Pengawasan

    Mutu;

    m. memastikan bahwa validasi yang sesuai telah dilaksanakan; dann. memastikan bahwa pelatihan awal dan berkesinambungan bagi personil di

    departemennya dilaksanakan dan diterapkan sesuai kebutuhan.

    Sedangkan sebagai Kepala bagian Manajemen Mutu memiliki kewenangan untuk melaksanakan

    tugas yang berhubungan dengan Sistem Mutu/ Pemastian Mutu, termasuk:

    j. memastikan penerapan (dan, bila diperlukan, membentuk) Sistem Mutu;k. ikut serta dalam atau memprakarsai pembentukan manual mutu perusahaan;l. memprakarsai dan mengawasi audit internal atau inspeksi diri berkala;m. melakukan pengawasan terhadap fungsi bagian Pengawasan Mutu;n. memprakarsai dan berpartisipasi dalam pelaksanaan audit eksternal (audit terhadap

    pemasok);

  • 7/22/2019 FARFOR SUMBER

    13/32

    o. memprakarsai dan berpartisipasi dalam program validasi;(BPOM, 2011)

    Apoteker dalam industri obat tradisional memiliki tugas spesifik yang berkaitan dengan

    pengadaan obat tradisional diantaranya:

    1) Melakukan seleksi obat tradisional yang akan diadakan2) Mendata jumlah bahan baku maupun obat tradisional yang akan diadakan3) Memilih supplier yang akan digunakan4) Melakukan pemesanan bahan baku obat tradisional baik lokal maupun impor5) Membuat aturan kontrak dengan supplier6) Melakukan monitoring terhadap status order bahan baku atau obat tradisional impor7) Melakukan pengambilan sampel sesuai dengan prosedur yang telah disetujui.8) Melakukan penempelan label status bahan awal.9) Menetapkan kualitas bahan mentah tanaman obat tradisional, bahan mentah obat

    tradisional dan obat tradisional dengan metode yang telah divalidasi

    10) Melakukan pencatatan hasil pengujian dan mencakup sekurang-kurangnya data berikut:a. nama bahan atau produk, dan bentuk sediaan jika ada;b. nomor bets, produsen dan/atau pemasok jika ada;c. referensi ke spesifikasi yang relevan dan prosedur pengujian;d. hasil uji, termasuk observasi dan kalkulasi dan referensi ke sertifikat analisis;e. tanggal pengujian;f. paraf analis yang melakukan pengujian;g. paraf orang yang melakukan verifikasi pengujian dan kalkulasi, jika ada;h. pernyataan yang jelas tentang pelulusan atau penolakan atau status lain, tanggal

    dan tanda tangan dari personil penanggung jawab.

    (BPOM, 2011)

    B. Peran Ilmu Farmasi Dalam Pengadaan Obat TradisionalIlmu farmasi sangat berperan dalam pengadaan obat tradisional untuk menjamin bahwa obat

    tradisional aman, bermutu, dan berkhasiat bagi masyarakat. Penerapan ilmu farmasi terkait

  • 7/22/2019 FARFOR SUMBER

    14/32

    pengadaan obat tradisional dapat dilakukan pada proses pengawasan mutu di laboratorium

    Quality Contol serta bagian pembelian (purchasing).

    Laboratorium Quality Control (QC)Pada laboratorium QC dilakukan pengujian-pengujian terhadap bahan baku simplisia dengan

    tujuan standarisasi bahan baku untuk pembuatan obat tradisional. Dalam proses standarisasi

    bahan baku, diperlukan ekstrak dari simplisia. Dalam memperoleh ekstraksi yang baik harus

    diperhatikan parameter-parameter sebagai berikut:

    1. Parameter Nonspesifika. Parameter susut pengeringanb. Parameter bobot jenisc. Kadar aird. Kadar abue. Sisa pelarutf. Residu pestisidag. Cemaran logam berath. Cemaran mikroba

    2. Parameter Spesifika.

    Identitas

    b. Organoleptisc. Senyawa terlarut dalam pelarut tertentu

    3. Kandungan Kimia Ekstraka. Pola kromatogramb. Kadar total golongan kandungan kimia

    (Depkes RI, 1980)

    Adapun ilmu-ilmu farmasi yang dapat diterapkan dalam penilaian dan pengujian parameter-

    parameter tersebut adalah sebagai berikut:

    1) Farmakognosi dan Fitokimiaa. Parameter susut pengeringan

  • 7/22/2019 FARFOR SUMBER

    15/32

    Adalah pengukuran sisa zat setelah pengeringan pada temperatur 105oC selama 30 menit

    atau sampai berat konstan, yang dinyatakan sebagai nilai prosen. Dalam hal khusus (jika bahan

    tidak mengandung minyak menguap/atsiri dan sisa pelarut organik menguap) identik dengan

    kadar air, yaitu kandungan air karena berada di atmosfer/lingkungan udara terbuka. Tujuannya

    adalah untuk memberikan batasan maksimal (rentang) tentang besarnya senyawa yang hilang

    pada proses pengeringan. Nilai atau rentang yang diperbolehkan terkait dengan kemurnian dan

    kontaminasi (DepKes RI, 1995).

    b. Parameter bobot jenisAdalah masa per satuan volume pada suhu kamar tertentu (25

    oC) yang ditentukan dengan

    alat khusus piknometer atau alat lainnya. Tujuannya untuk memberikan batasan tentang besarnya

    masa per satuan volume yang merupakan parameter khusus ekstrak cair sampai ekstrak pekat

    (kental) yang masih dapat dituang. Nilai atau rentang yang diperbolehkan terkait dengan

    kemurnian dan kontaminasi (DepKes RI, 1995).

    c. Kadar abuBahan dipanaskan pada temperatur dimana senyawa organik dan turunannya terdestruksi

    dan menguap, sehingga menyisakan unsur mineral dan anorganik. Tujuannya adalah untuk

    memberikan gambaran kandungan mineral internal dan eksternal yang berasal dari proses awal

    sampai terbantuk ekstrak. Nilai atau rentang yang diperbolehkan terkait dengan kemurnian dan

    kontaminasi. Perhitungan penetapan Kadar abu, Kadar abu yang tidak larut dalam asam, Kadar

    abu yang larut dalam air, Kadar sari yang larut dalam etanol, Kadar sari yang larut dalam air

    didasarkan pada simplisia yang belum dikeringkan secara khusus (Depkes RI, 1980).

    Prosedur:

    Kadar abuDitimbang 2 g ekstrak dengan seksama ke dalam krus yang telah ditara, dipijarkan

    perlahan lahan. Kemudian suhu di naikkan secara bertahap hingga 600 + 25C sampai

    bebas karbon, selanjutnya didinginkan dalam desikator, serta timbang berat abu. Kadar

    abu dihitung dalam persen terhadap berat sampel awal (Depkes RI, 1980).

    Kadar abu yang tidak larut dalam asamAbu yang diperoleh dari penetapan kadar abu, didihkan dengan 25 ml asam klorida encer

    P selama 5 menit, bagian yang tidak larut asam dikumpulkan, disaring melalui kertas

  • 7/22/2019 FARFOR SUMBER

    16/32

    saring bebas abu, dicuci dengan air panas, disaring dan ditimbang, ditentukan kadar abu

    yang tidak larut asam dalam persen terhadap berat sampel awal (Depkes RI, 1980).

    Untuk masing-masing simplisia memiliki persyaratan nilai yang berbeda-beda. Contohnya

    persyaratan pada Agerati Radix dimana kadar abu tidak lebih dari 6%, kadar abu yang tidak larut

    dalam asam tidak lebih dari 1,5%, kadar sari yang larut dalam air tidak kurang dari 10%, kadar

    sari yang larut dalam etanol tidak kurang dari 1%.

    d. OrganoleptisPemeriksaan organoleptis dilakukan dengan menggunakan indera manusia yang mencakup

    warna, rasa, dan bau dari simplisia.

    Contoh:

    Pemeriksaan organoleptis untuk Agerati radix yang merupakan akarAgeratum conyzoidesadalah

    bau agak langu; rasa agak kelat (Depkes RI, 1980).

    e. Identitas (Makroskopik, Mikroskopik, dan Reaksi Warna)Peneriksaan makroskopik dilakukan dengan memeriksa bentuk serta ciri-ciri luar dari

    simplisia.

    Contoh:

    Pemeriksaan makroskopik untuk Agerati radix adalah akar sebagian besar terdiri dari cabang

    akar, dan serabut akar, permukaan luar berwarna coklat kelabu sampai coklat kehijauan; akar

    tunggal berbentuk silindrik, lurus atau agak terpilin; serabut akar berbentuk benang halus, agak

    berkelok-kelok; panjang sampai lebih kurang 8 cm, garis tengah 3 mm sampai 5 mm. Bekas

    pahatan tidak rata, warna keputih-putihan (Depkes RI, 1980).

    Pemeriksaan mikroskopik dilakukan untuk melihat ciri-ciri anatomi histologi dengan

    pengamatan melintang simplisia atau bagian simplisia dan terhadap fragmen pengenal serbuk

    simplisia.

    Contoh:

    Pemeriksaan mikroskopik untuk Agerati radix adalah pada sayatan akar, tampak jaringangabus terdiri dari beberapa lapis sel berbentuk poligonal, dinding tebal berlapis-lapis. Parenkim

    korteks terdiri dari beberapa lapis sel, besar, dinding tipis, berisi butir pati, diantaranya terdapat

    sel sekresi besar dan sel batu kecil dinding tebal bernoktah. Parenkim floem terdiri dari beberapa

    lapis sel, bentuk bundar, dinding tipis. Di bawah parenkim terdapat floem. Xilem terdiri dari

    trakea dan parenkim xilem, dinding tebal berlignin; diantaranya terdapat serabut xilem. Jari-jari

  • 7/22/2019 FARFOR SUMBER

    17/32

    teras terdiri dari beberapa lapis sel. Serbuk berwarna coklat kelabu sampai coklat kehijauan.

    Fragmen pengenal adalah fragmen jaringan gabus, fragmen parenkim floem, bentuk memanjang,

    dinding tipis, berisi butir pati, fragmen jari-jari empulur dengan sel sklerenkim, panjang, dinding

    tebal, lumen besar, fragmen trakea dengan penebalan noktah seperti jala (Depkes RI, 1980).

    Reaksi warna dilakukan terhadap hasil penyarian zat berkhasiat, terhadap hasil

    mikrosublimasi atau langsung terhadap irisan atau serbuk simplisia.

    Contoh:

    Reaksi warna pada Agerati Radix salah satunya adalah dengan meneteskan 5 tetes asam

    sulfat P pada 2 mg serbuk akar. Hasil positif ditandai dengan adanya warna coklat ungu (Depkes

    RI, 1980).

    2) Kimia Analisisa. Kadar air

    Pengukuran kandungan air yang berada didalam bahan, dilakukan dengan cara yang tepat

    diantara cara titrasi, destilasi atau gravimetrik. Tujuannya untuk memberikan batasan minimal

    atau rentang tentang besarnya kandungan air didalam bahan. Nilai atau rentang yang

    diperbolehkan terkait dengan kemurnian dan kontaminasi (DepKes RI, 1995).

    b. Sisa pelarutMenentukan kandungan sisa pelarut tertentu (yang memang ditambahkan) yang secara

    umum dengan kromatografi gas. Untuk ekstrak cair berarti kandungan pelarutnya, misalnya

    kadar alkohol. Tujuannya adalah memberikan jaminan bahwa selama proses tidak meninggalkan

    sisa pelarut yang memang seharusnya tidak boleh ada. Sedangkan untuk ekstrak cair

    menunjukkan jumlah pelarut (alkohol) sesuai dengan yang ditetapkan. Nilai atau rentang yang

    diperbolehkan terkait dengan kemurnian dan kontaminasi (Depkes RI, 1980).

    c. Cemaran logam beratMenentukan kandungan logam berat secara spektroskopi serapan atom atau lainnya yang

    lebih valid. Tujuannya untuk memberikan jaminan bahwa ekstrak tidak mengandung logam berat

    tertentu (Hg, Pb, Cd, dll) melebihi nilai yang ditetapkan karena berbahaya bagi kesehatan. Nilai

    atau rentang yang diperbolehkan terkait dengan kemurnian dan kontaminasi (DepKes RI, 1995).

    f. Residu pestisidaMenentukan kandungan sisa pestisida yang mungkin saja pernah ditambahkan atau

    mengkontaminasi pada bahan simplisia pembuat ekstrak. Tujuannya untuk memberikan jaminan

  • 7/22/2019 FARFOR SUMBER

    18/32

    bahwa ekstrak tidak mengandung pestisida melebihi nilai yang ditetapkan karena berbahaya bagi

    kesehatan. Nilai atau rentang yang diperbolehkan terkait dengan kemurnian dan kontaminasi

    (DepKes RI, 1995).

    g. Identitas (Identifikasi dengan KLT)Identifikasi dengan menggunakan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dilakukan dengan

    melihat nilai hRf/Rfsampel beserta larutan pembandingnya serta warna bercak pada sinar biasa

    (dengan atau tanpa pereaksi) dan sinar UV (dengan atau tanpa pereaksi) (DepKes RI, 1980;

    DepKes RI, 2008).

    h. Senyawa terlarut dalam pelarut tertentu Kadar senyawa yang larut dalam air.

    Sejumlah 5 g ekstrak disari selama 24 jam dengan 100 ml air-kloroform LP,

    menggunakan labu bersumbat sambil berkali-kali dikocok selama 6 jam pertama dan

    kemudian dibiarkan selama 18 jam, saring. Diuapkan 20 ml filtrat hingga kering dalam

    cawan penguap, residu dipanaskan pada suhu 105C hingga bobot tetap. Dihitung

    kadar dalam persen senyawa yang larut dalam air terhadap berat ekstrak awal (Depkes RI,

    1980).

    Kadar senyawa yang larut dalam etanol.Sejumlah 5 g ekstrak dimaserasi selama 24 jam dengan 100 ml etanol 95% menggunakan

    labu bersumbat sambil berkali kali dikocok selama 6 jam pertama dan kemudian

    dibiarkan selama 18 jam. Disaring cepat dengan menghindari penguapan etanol,

    kemudian diuapkan 20 ml filtrat hingga kering dalam cawan penguap yang telah ditara,

    residu dipanaskan pada suhu 1050C hingga bobot tetap. Dihitung kadar dalam persen

    senyawa yang larut dalam etanol terhadap berat ekstrak awal (Depkes RI, 1980).

    i. Pola kromatogramEkstrak ditimbang, diektraksi dengan pelarut dan cara tertentu, kemudian dilakukan analisis

    kromatografi sehingga memberikan pola kromatogram yang khas. Tujuannya adalahmemberikan gambaran awal komposisi kandungan kimia berdasarkan pola kromatografi (KLT,

    KCKT, KG) (Stahl, 1969; Hendrajaya dan Kesuma, 2003).

    j. Kadar total golongan kandungan kimiaDengan penerapan metode spektrofotometri, titrimetri, volumetrik, gravimetrik atau lainnya.

    Dapat ditetapkan kadar golongan kandungan kimia. Metode harus sudah teruji validitasnya,

  • 7/22/2019 FARFOR SUMBER

    19/32

    terutama selektivitas dan batas linieritas. Ada beberapa golongan kandungan kimia yang dapat

    dikembangkan dan ditetapkan metodenya, yaitu golongan: minyak atsiri, steroid, tannin,

    flavonoid, triterpenoid (saponin), alkaloid, antrakinon (Soetarno dan Soediro, 1997; Depkes RI,

    2000). Tujuannya adalah untuk memberikan informasi kadar golongan kandungan kimia sebagai

    parameter mutu ekstrak dalam kaitannya dengan efek farmakologis.

    k. Kadar kandungan kimia tertentuDengan tersedianya suatu kandungan kimia yang berupa senyawa identis atau senyawa

    kimia utama ataupun kandungan kimia lainnya, maka secara kromatografi instrumental dapat

    dilakukan penetapan kadar kandungan kimia tertentu. Instrument yang dapat digunakan adalah

    Densitometer, Kromatografi Gas, Kromatografi Cair Kinerja Tinggi atau instrument lain yang

    sesuai. Metode penetapan kadar harus diuji dahulu validitasnya, yaitu batas deteksi, selektivitas,

    linieritas, ketelitian, ketepatan dan lain-lain. Tujuannya adalah untuk memberikan data kadar

    kandungan kimia tertentu sebagai senyawa identitas atau senyawa yang diduga

    bertanggungjawab pada efek farmakologi. Contohnya adalah penetapan kadar andrografolid

    dalam ekstrak sambiloto secara HPLC atau penetapan kadar pinostorbin dalam ekstrak temu

    kunci secara densitometri.

    3) MikrobiologiCemaran mikroba

    Menentukan adanya mikroba yang patogen secara analisis mikrobiologis. Tujuannya untuk

    memberikan jaminan bahwa ekstrak tidak boleh mengandung mikroba patogen dan tidak

    mengandung mikroba non patogen melabihi batas yang ditetapkan karena berpengaruh pada

    stabilitas ekstrak dan berbahaya bagi kesehatan. Nilai atau rentang yang diperbolehkan terkait

    dengan kemurnian dan kontaminasi (DepKes RI, 1995).

    Pembelian (Purchasing)Bagian pembelian melayani pembelian bahan baku dan bahan kemas yang dibutuhkan baik

    untuk proses produksi, proses penelitian dan pengembangan produk, maupun untuk pengujian-

    pengujian yang dilakukan QC. Adapun ilmu farmasi yang diperlukan adalah:

    Manajemen Farmasi

  • 7/22/2019 FARFOR SUMBER

    20/32

    Manajemen adalah suatu proses kegiatan yang terdiri dari perencanaan, pengorganisasian,

    pelaksanaan dan pengawasan dengan menggunakan ilmu dan seni demi tujuan organisasi (Seto

    dkk, 2008). Peran manajamen farmasi dalam pengadaan di industri obat tradisional antara lain:

    1. Pencatatan jumlah penerimaan, pengeluaran, dan jumlah bahan yang tersisa sebagaipedoman untuk pengadaan dan pembelian selanjutnya.

    2. Perencanaan waktu tunggu bahan baku maupun obat tradisional impor sehingga kelancaranaktifitas industri obat tradisional tetap terjaga

    3. Pembuatan kartu stok produk4. Perencanaan desain dan tata ruang gudang penyimpanan bahan baku maupun obat

    tradisional

    5. Pengelolaan Kas: sumber dan penggunaan kas6. Analisa biaya dan kesempatan (peluang) pada pasar obat tradisional

    (Seto dkk, 2008)

    C. Beberapa Dasar Hukum Dan Aspek Legal Pengadaan Obat Tradisional

    1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

    Undang-Undang Dasar Negara Indonesia disusun untuk menciptakan suatu Pemerintahan

    Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah

    Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut

    melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan

    sosial. Salah satu upaya pemerintah dalam memajukan kesejahteraan umum adalah dengan

    menjamin hak asasi termasuk kesehatan penduduknya.

    Kesehatan penduduk Indonesia dijamin oleh Negara seperti yang tercantum dalam pasal

    28H Ayat 1 yaitu Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan

    mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan

    kesehatan. Dalam rangka memberikan pelayanan kesehatan tersebut, Negara bertanggung

    jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak

    (Pasal 34 Ayat 3 UUD 1945).

  • 7/22/2019 FARFOR SUMBER

    21/32

    2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

    Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus

    diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila

    dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Perwujudan pembangunan

    kesehatan tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang

    Kesehatan yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup

    sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya,

    sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan

    ekonomis (Presiden RI a, 2009).

    Pembangunan kesehatan dapat diwujudkan dengan upaya-upaya penyelenggaraan kesehatan

    sebagaimana tertuang dalam Pasal 48 Ayat 1 UU No 36 Tahun 2009 dimana salah satu upayanya

    adalah pengamanan dan penggunaan sediaan farmasi. Sediaan farmasi yang dimaksudkan adalah

    mencakup obat, bahan obat, obat tradisional, dan kosmetika (Presiden RI a, 2009).

    Obat tradisional merupakan salah satu sediaan farmasi yang penggunaannya di masyarakat

    cenderung mengalami peningkatan (MenKes, 2007). Obat tradisional sebagaimana dimaksud

    dalam Pasal 1 UU No 39 Tahun 2009 adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan

    tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran dari bahan

    tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan

    sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat(Presiden RI a, 2009).

    Obat tradisional (sediaan farmasi) yang beredar harus aman, berkhasiat/ bermanfaat,

    bermutu, dan terjangkau (Pasal 98 Ayat 1 UU No 36 Tahun 2009). Untuk menjamin keamanan,

    khasiat, dan mutunya maka dalam Pasal 98 Ayat 2 UU No 36 Tahun 2009 disebutkan bahwa

    setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan dilarang mengadakan, menyimpan,

    mengolah, mempromosikan, dan mengedarkan obat dan bahan yang berkhasiat obat.

    Ketentuan mengenai pengadaan, penyimpanan, pengolahan, promosi, pengedaran sediaan

    farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi standar mutu pelayanan farmasi yang ditetapkan

    dengan Peraturan Pemerintah dan Pemerintah berkewajiban untuk membina, mengatur,

    mengendalikan, dan mengawasi pengadaan, penyimpanan, promosi, dan pengedarannnya (Pasal

    98 Ayat 3 dan 4 UU No 36 Tahun 2009) (Presiden RI a, 2009).

    Pengadaan obat tradisional yang aman, berkhasiat, dan bermutu tidak bisa dilepaskan dari

    bahan baku yang digunakan. Ketersediaan bahan baku yang memadai sebagai sumber obat

  • 7/22/2019 FARFOR SUMBER

    22/32

    tradisional diperlukan untuk mencukupi kebutuhan konsumsi obat tradisional di masyarakat.

    Maka untuk menjamin ketersediaan bahan baku obat tradisional, dalam Pasal 100 Ayat 1 UU No

    36 Tahun 2009 disebutkan bahwa sumber obat tradisional yang sudah terbukti berkhasiat dan

    aman digunakan dalam pencegahan, pengobatan, perawatan, dan/atau pemeliharaan kesehatan

    tetap dijaga kelestariannya. Selain ketersediaan sumber, sediaan farmasi yang berupa obat

    tradisional harus memenuhi standar dan/atau persyaratan yang ditentukan (Pasal 105 Ayat 2 UU

    No 36 Tahun 2009) (Presiden RI a, 2009).

    UU No 36 Tahun 2009 juga mengatur tentang praktek kefarmasian dalam Pasal 108 Ayat 1

    dimana praktik kefarmasiaan yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan

    farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas

    resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat

    tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan

    sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan(Presiden RI a, 2009).

    3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan

    Kefarmasian

    PP No 51 Tahun 2009 memuat tentang ketentuan-ketentuan terkait dengan pekerjaan

    kefarmasian. Salah satu tujuan pengaturan pekerjaan kefarmasian yang disebutkan pada Pasal 4

    (a) adalah memberikan perlindungan kepada pasien dan masyarakat dalam memperoleh dan/atau

    menetapkan sediaan farmasi (Presiden RI b, 2009).

    Pengadaan Sediaan Farmasi, termasuk obat tradisional di dalamnya, merupakan salah satu

    bidang dari pekerjaan kefarmasian (Pasal 5 (a) PP No 51 Tahun 2009). Pekerjaan kefarmasian

    dalam pengadaan sediaan farmasi lebih lanjut dijelaskan pada Pasal 6 Ayat 1 PP No 51 Tahun

    2009 dimana pengadaan Sediaan Farmasi dilakukan pada fasilitas produksi, fasilitas distribusi

    atau penyaluran dan fasilitas pelayanan sediaan farmasi. Pengadaan Sediaan Farmasi

    sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 Ayat 1 PP No 51 Tahun 2009 harus dilakukan oleh Tenaga

    kefarmasian (Pasal 6 Ayat 2 PP No 51 Tahun 2009). Tenaga Kefarmasian yang dimaksud

    adalah tenaga yang melakukan Pekerjaan Kefarmasian, yang terdiri atas Apoteker dan Tenaga

    Teknis Kefarmasian (Presiden RI b, 2009).

  • 7/22/2019 FARFOR SUMBER

    23/32

    4. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 006 Tahun 2012 Tentang

    Industri dan Usaha Obat Tradisional

    Pengadaan sediaan farmasi termasuk obat tradisonal salah satunya dilakukan pada fasilitas

    produksi. Fasilitas produksi obat tradisional diatur dalam PerMenKes No 006 Tahun 2012

    tentang Industri dan Usaha Obat Tradisional. Menurut Pasal 2 PerMenKes No 006 Tahun 2012

    disebutkan bahwa fasilitas produksi obat tradisional mencakup industri maupun usaha obat

    tradisional dimana industri terdiri dari Industri Obat Tradisional (IOT) dan Industri Ekstrak

    Bahan Alam (IEBA) sedangkan usaha obat tradisional terdiri dari Usaha Kecil Obat Tradisional

    (UKOT), Usaha Mikro Obat Tradisional (UMOT), Usaha Jamu Racikan, dan Usaha Jamu

    Gendong (MenKes RI, 2012).

    Dalam persyaratan perizinan maupun penyelenggaraannya, setiap IOT dan IEBA wajib

    memil ik i sekur ang-kurangnya 1 (satu) orang Apoteker Warga Negara I ndonesia sebagai

    Penanggung Jawab(Pasal 12 dan Pasal 34 Ayat 1 PerMenKes No 006 Tahun 2012). Sedangkan

    untuk setiap UKOT wajib memiliki sekurang-kurangnya 1 (satu) orang Tenaga Teknis

    Kefarmasian Warga Negara Indonesia sebagai Penanggung Jawab yang memiliki sertifikat

    pelatihan CPOTB (Pasal 22 dan Pasal 34 Ayat 2 PerMenKes No 006 Tahun 2012) (MenKes RI,

    2012).

    Dengan adanya persyaratan bahwa apoteker sebagai penanggung jawab pada IOT dan IEBA

    maka apoeteker pulalah yang bertanggung jawab terhadap pengadaan obat tradisional termasuk

    bahan baku baik lokal maupun impor. Pengadaan bahan baku yang bermutu menentukan kualitas

    obat tradisional yang dihasilkan. Untuk memperoleh suatu bahan baku yang bermutu dalam

    produksi obat tradisional diperlukan tenaga kefarmasian yang memiliki keahlian dan

    kewenangan. Dalam hal ini yang berkompeten dalam menentukan spesifikasi bahan baku yang

    baik adalah apoteker.

    5. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 104/MenKes/SK/IV/79;

    Nomor 86/MenKes/SK/III/79; Nomor 11/MenKes/SK/I/81; Nomor

  • 7/22/2019 FARFOR SUMBER

    24/32

    213/MenKes/SK/III/1989; Nomor 719/MenKes/SK/VII/1995 Tentang Pengesahan Buku

    Materia Medika Indonesia Jilid I VI

    Pengadaan obat tradisional tidak lepas dari ketersediaan bahan baku yang memenuhi

    persyaratan. Persyaratan simplisia yang digunakan untuk bahan baku obat tradisional harus

    memenuhi persyaratan yang ditetapkan pada Materia Medika Indonesia. Simplisia ialah bahan

    alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga

    kecuali dinyatakan lain, berupa bahan yang dikeringkan (Depkes RI, 1980).

    Suatu simplisia tidak dapat dinyatakan bermutu Materia Medika Indonesia (MMI) jika

    tidakmemenuhi syarat baku bagi simplisia yang bersangkutan. Syarat baku yang tertera dalam

    MMI berlaku untuk simplisia yang akan dipergunakan untuk keperluan pengobatan, tetapi tidak

    berlaku bagi bahan yang dipergunakan lain yang dijual dengan nama yang sama. Adapun

    persyaratan simplisia yang dipersyaratkan antara lain:

    1. Bebas dari serangga, fragmen hewan atau kotoran hewan2. Tidak boleh menyimpang bau dan warnanya3. Tidak boleh mengandung lendir dan cendawan atau menunjukkan tanda-tanda pengotor

    lain

    4. Tidak boleh mengandung bahan lain yang beracun atau berbahaya5. Wadah dan bungkus

    Wadah atau bungkus tidak boleh mempengaruhi bahan yang disimpan di dalamnya baik

    secara kimia maupun secara fisika yang dapat mengakibatkan perubahan potensi, mutu,

    dan kemurnian. Jika pengaruh itu tidak dapat dihindarkan, maka perubahan yang terjadi

    tidak boleh sedemikian besar sehingga menyebabkan bahan yang disimpan tidak

    memenuhi syarat baku.

    6. Pengemasan7. Penyimpanan

    Simplisia disimpan di tempat terlindung dari sinar matahari dan pada suhu kamar.

    8. Kadar abu9. Kadar abu yang tidak larut dalam asam10.Kadar abu yang larut dalam air11.Kadar sari yang larut dalam etanol12.Kadar sari yang larut dalam air

  • 7/22/2019 FARFOR SUMBER

    25/32

    13.PengawetanSimplisia nabati boleh diawetkan dengan penambahan kloroform, karbon tetraklorida,

    etilenoksida atau bahan pengawet lain yang cocok, yang mudah menguap dan tidak

    meninggalkan sisa.

    14.Mikroskopik15.Reaksi identifikasi

    (DepKes RI, 1980).

    Untuk persyaratan Kadar abu, Kadar abu yang tidak larut dalam asam, Kadar abu yang larut

    dalam air, Kadar sari yang larut dalam etanol, Kadar sari yang larut dalam air, mikroskopik, dan

    reaksi identifikasi disesuaikan dengan monografi masing-masing simplisia (Depkes RI, 1980).

    6. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 261/MenKes/SK/IV/2009

    Tentang Farmakope Herbal Indonesia Edisi Pertama

    Persyaratan simplisia yang digunakan untuk bahan baku obat tradisional selain diatur dalam

    Materia Medika Indonesia juga dicantumkan dalam Farmakope Herbal Indonesia Edisi I tahun

    2008 yang meliputi:

    1. Pemerian2. Mikroskopis3. Pola kromatografi4. Susut pengeringan5. Abu total6. Abu tidak larut asam7. Sari larut air8. Sari larut etanol9. Kandungan kimia simplisia

    (DepKes RI, 2008)

    7. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor

    HK.00.05.42.2996 Tentang Pengawasan Pemasukan Obat Tradisional

  • 7/22/2019 FARFOR SUMBER

    26/32

    Banyaknya permintaan obat tradisional dewasa ini membuat pemerintah mengatur kebijakan

    dengan mengizinkan impor obat tradisional. Untuk mencegah peredaran obat tradisional impor

    yang tidak memiliki izin edar maka BPOM RI mengeluarkan Peraturan Kepala Badan Pengawas

    Obat dan Makanan Republik Indonesia No HK.00.05.42.2996 tentang Pengawasan Pemasukan

    Obat Tradisional. Obat tradisional impor yang dimaksudkan adalah obat tradisional yang dibuat

    oleh industri di luar negeri yang dimasukkan dan diedarkan di wilayah Indonesia (Pasal 1

    Peraturan Kepala BPOM RI No HK.00.05.42.2996) (BPOM RI, 2008).

    Dalam Pasal 2 Ayat 1 Peraturan Kepala BPOM RI No HK.00.05.42.2996 disebutkan bahwa

    yang berhak memasukkan obat tradisional impor ke dalam wilayah Indonesia adalah importir,

    distributor, industri obat tradisional dan atau industri farmasi yang memiliki izin impor sesuai

    peraturan perundang-undangan, yang diberi kuasa oleh produsen di negara asal. Mengingat

    apoteker sebagai penanggung jawab pada industri obat tradisional maka pengadaan obat

    tradisional impor merupakan salah satu tanggung jawab pekerjaannya. Obat tradisional yang

    dapat dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia untuk diedarkan adalah obat tradisional yang

    telah memiliki izin edar (Pasal 2 Ayat 2 Peraturan Kepala BPOM RI No HK.00.05.42.2996)

    (BPOM RI, 2008).

    8. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia Nomor

    HK.00.05.1.42.0115 Tentang Pengawasan Pemasukan Bahan Baku Obat TradisionalSelain obat-obat tradisional impor, Indonesia juga mengimpor bahan baku obat tradisional

    dari luar negeri. Hal ini disebabkan karena permintaan obat tradisional lokal yang semakin

    meningkat sehingga produksi bahan baku lokal tidak mencukupi peningkatan permintaan

    tersebut. Untuk melindungi masyarakat dari penggunaan obat tradisional yang mengandung

    bahan baku yang tidak memenuhi persyaratan keamanan, mutu dan khasiat yang dapat

    merugikan dan atau membahayakan kesehatan serta mencegah penyalahgunaan distribusi bahan

    baku obat tradisional maka BPOM RI mengeluarkan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat

    dan Makanan Republik Indonesia No HK.00.05.1.42.0115 Tentang Pengawasan Pemasukan

    Bahan Baku Obat Tradisional (BPOM, 2009).

    Industri obat tradisional yang telah memiliki izin untuk mengimpor dapat melaksanakan

    pemasukan bahan baku obat tradisional (Pasal 3 Peraturan Kepala BPOM RI No

    HK.00.05.1.42.0115). Apoteker penanggung jawab industri obat tradisional yang akan

  • 7/22/2019 FARFOR SUMBER

    27/32

    melakukan impor bahan baku obat tradisional mengajukan surat permohonan tertulis kepada

    Kepala BPOM untuk mendapatkan persetujuan pemasukan (Pasal 2 Ayat 1 Peraturan Kepala

    BPOM RI No HK.00.05.1.42.0115). Jenis bahan baku obat tradisional yang wajib mendapat

    persetujuan pemasukan tercantum pada Lampiran Peraturan Peraturan Kepala BPOM RI No

    HK.00.05.1.42.0115 (BPOM, 2009).

    D. Uraian Kasus

    Kasus 1Sebuah pabrik obat tradisional Kec. Bumiayu Kab. Brebes Jawa Tengah memproduksi OT

    mengandung BKO secara tanpa hak dan kewenangan. Ruang produksi OT dan mengandung

    BKO tersebut didesain seperti Bunker yang terletak dibawah tanah dan bertingkat 2 (dua).

    Pengujian dilakukan oleh PPOMN (Pusat Pengkajian Obat dan Makanan Nasional) terhadap

    barang bukti yang ditemukan.

    Pemberkasan kasus tersebut dilakukan oleh Penyidik POLDA Semarang dengan

    menggunakan Saksi Ahli dari Badan POM RI Dari hasil pemeriksaan terhadap Tersangka :

    1. Tersangka mencampur BKO ke dalam produk OT agar lebih manjur.2. Tersangka mencampur sendiri BKO tersebut ke dalam produk OT yang sedang dibuat.3. Tersangka mengetahui bahwa perbuatannya mencampur BKO ke dalam produk OT adalah

    melanggar Undang Undang.4. Sumber BKO adalah SUNARKO Rekan kerjasama usaha produk OT, yang juga merupakan

    pemodal perusahaan tersebut dengan modal 50%:50%.

    5. Perusahaan yang dimiliki oleh Tersangka dan SUNARKO tidak memiliki nama dan izinkarena berada di bawah Koperasi Aneka Sari.

    (Kurniawan, 2012)

    Pembahasan KasusKajian Pelanggaran Etika Dan Undang-Undang

    Pelanggaran-pelanggaran yang terkait mengenai proses produksi sediaan farmasi adalah:

    1. Persyaratan usaha industri obat tradisional dan usaha industri kecil obat tradisional (SKNOMOR 007 TAHUN 2012 TENTANG REGISTRASI OBAT TRADISIONAL.

    Pasal 2

  • 7/22/2019 FARFOR SUMBER

    28/32

    1. Obat tradisional yang diedarkan di wilayah Indonesia wajib memiliki izin edar.2. Izin edar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Kepala Badan.3. Pemberian izin edar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan melalui

    mekanisme registrasi sesuai dengan tatalaksana yang ditetapkan.

    Pasal 4Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) terhadap:

    a. Obat tradisional yang dibuat oleh usaha jamu racikan dan usaha jamu gendong;b. simplisia dan sediaan galenik untuk keperluan industri dan keperluan layanan

    pengobatan tradisional;

    c. obat tradisional yang digunakan untuk penelitian, sampel untuk registrasi danpameran dalam jumlah terbatas dan tidak diperjualbelikan.

    Melihat dari pasal diatas, kasus ini jelas melanggar pasal 3 ayat 1, 2 dan ayat 3

    dimana pabrik tersebut tidak mempunyai izin dan mendaftarkan pada menteri kesehatan

    sedangkan pabrik tersebut memproduksi jamu yang tidak seperti dicantumkan pada pasal

    4.

    Pasal 71. Obat tradisional dilarang mengandung:

    a.

    Etil alkohol lebih dari 1%, kecuali dalam bentuk sediaan tingtur yangpemakaiannya dengan pengenceran;

    b. bahan kimia obat yang merupakan hasil isolasi atau sintetik berkhasiat obat;c. narkotika atau psikotropika; dan/ataud. bahan lain yang berdasarkan pertimbangan kesehatan dan/atau berdasarkan

    penelitian membahayakan kesehatan.

    2. Bahan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d ditetapkan dengan PeraturanKepala Badan.

    Dalam kasus di atas, pabrik X memproduksi obat tradisional dengan campuran bahan

    kimia obat yang memiliki khasiat obat, dimana obat tradisional yang seharusnya memiliki

    efek samping yang lebih ringan dibandingkan obat sintetik. Namun jika melihat kasus di

    atas, maka obat tradisional hasil produksi pabrik X yang mengandung bahan kimia obat

    melanggar pasal 7 ayat 1 sesuai peraturan diatas.

  • 7/22/2019 FARFOR SUMBER

    29/32

    2. UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 4a

    Hak konsumen adalah :

    Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang

    dan/atau jasa.

    Pabrik X dengan jelas melanggar hak konsumen sebagaimana yang tercantum pada Pasal

    4a di mana pabrik ini memproduksi obat tradisional bercampur bahan kimia obat yang dapat

    membahayakan keselamatan konsumen.

    3. Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian Bagian Ketigamengenai pekerjaan kefarmasian dalam produksi sediaan farmasi

    Pasal 7 (1)Pekerjaan kefarmasian dalam produksi sediaan farmasi harus memiliki apoteker

    penanggung jawab

    Pasal 9 (2)Industri obat tradisional dan pabrik kosmetika harus memiliki sekurang-kurangnya 1

    (satu) orang apoteker sebagai penanggung jawab

    Dalam kasus tersebut di atas, pabrik obat tradisional tersebut tidak mempekerjakansekurang-kurangnya 1 apoteker sebagai penanggung jawab produksi. Hal ini menyebabkan

    produksi tersebut tidak memenuhi persyaratan CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik).

    Sehingga pabrik tersebut melanggar PP 51/2009 Pasal 7 (1) dan Pasal 9 (2).

    4. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 006 Tahun 2012 Tentang IndustriDan Usaha Obat Tradisional

    Pasal 351. Pembuatan obat tradisional wajib memenuhi pedoman CPOTB yang ditetapkan oleh

    Menteri.

    2. Ketentuan mengenai penerapan CPOTB dalam pembuatan obat tradisional ditetapkandengan Peraturan Kepala Badan.

  • 7/22/2019 FARFOR SUMBER

    30/32

    Pabrik X di atas melakukan produksi di dalam bunker (ruang bawah tanah) dengan

    pencahayaan yang kurang; sanitasi yang kurang bagus; peralatan yang tidak di standarisasi

    dan divalidasi (standar SOP); hasil produksi yang tidak sesuai dengan pedoman CPOTB,

    sehingga pabrik tersebut melanggar pasal diatas.

    Kasus 2Badan POM mengumumkan 5 merek obat tradisional impor, 14 obat tradisional lokal, 2

    suplemen makanan lokal dan 1 suplemen makanan impor ditarik dari peredaran karena

    mengandung bahan kimia obatSildenafil Sitrat atau Tadalafil. Yang cukup mengejutkan,

    diantara ke 21merek tersebut ada obat yang diproduksi oleh perusahaan farmasi papan atas.

    Daftar 21 item produk yang ditarik :

    1. Blue Moon2. Caligula kapsul3. Cobra -X kapsul4. Hwang Di Shen5. Lak Gao 696. Lavaria7. Maca Gold8.

    Manovel

    9. Okura10.Otot Madu11.Rama Stamin12.Sanomale13.Sari madu kapsul14.Stanson15.Sunny Zang Wang Xiong Ying Dan Pil16.Sunny Zang Wang Xiong Ying kapsul17.Teraza18.Top one kapsul19.Tripoten20.Urat perkasa kapsul

    http://www.detiknews.com/read/2008/11/14/172240/1037146/10/ini-dia-obat-kuat-yang-ditarik-bpomhttp://www.detiknews.com/read/2008/11/14/172240/1037146/10/ini-dia-obat-kuat-yang-ditarik-bpom
  • 7/22/2019 FARFOR SUMBER

    31/32

    21.Zu-Mex

    Pembahasan KasusProses produksi dan pengendalian mutu obat di industri farmasi adalah tanggungjawab

    apoteker. Apoteker bertanggungjawab penuh terhadap kualitas obat yang dihasilkan oleh sebuah

    industri. Pencampuran bahan kimia berkhasiat obat diluar komponen yang disetujui Badan POM

    dalam proses registrasi adalah pelanggaran berat.

    Sesuai aturan dalam CPOB setiap proses produksi obat harus disertai batch record (catatan

    pengolahan batch). Catatan ini memuat semua bahan baku, bahan pembantu dan bahan pengemas

    beserta jumlahnya, jalannya proses produksi, dan hal-hal lain yang terkait dengan proses

    produksi. Bila di kemudian hari ditemukan masalah maka dengan batch recordpenyebab

    masalah akan mudah ditelusuri.

    Dalam kasus tersebut apoteker yang bertanggung jawab terhadap proses produksi

    dan pengendalian mutu telah melanggar beberapa ketentuan yaitu :

    1. Sumpah Apoteker2. Kode Etik Apoteker :

    a. Bab I kewajiban umum pasal 3 yaitu Seorang Apoteker harus senantiasa

    menjalankan profesi sesuai kompetensi Apoteker Indonesia serta selalu

    mengutamakan dan berpegang teguh pada prinsip kemanusiaan dan melaksanakankewajibannya.

    b. Bab I kewajiban umum pasal 5 yaitu Di dalam menjalankan tugasnya seorang

    Apoteker harus menjauhkan diri dari usaha mencari keuntungan diri semata yang

    bertentangan dengan martabat dan tradisi luhur jabatan kefarmasian.

    c. Bab II kewajiban apoteker terhadap pasien pasal 9 yaitu Seorang Apoteker dalam

    melakukan praktik kefarmasian harus mengutamakan kepentingan

    masyarakat.menghormati hak azasi pasien dan melindungi mahluk hidup insani.

    3. PP No 72 Tahun 1998 (72/1998) Bab II pasal 2 Tentang Pengamanan Sediaan Farmasi &Alat Kesehatan : Sediaan farmasi yang berupa bahan obat dan obat sesuai dengan

    persyaratan dalam buku Farmakope atau buku standar lainnya yang ditetapkan oleh

    Menteri.

  • 7/22/2019 FARFOR SUMBER

    32/32

    Dalam kasus tersebut ada 3 kemungkinan penyebabnya. Pertama apoteker penanggungjawab

    tahu dan menyetujui tindakan tidak bertanggungjawab tersebut. Kedua apoteker tahu tetapi tidak

    kuasa menolak karena mendapat tekanan dari atasan. Ketiga apoteker sama sekali tidak tahu,

    meskipun berdasarkan CPOB telah ditetapkan bahwa dalam setiap kegiatan harus ada protap

    tetapi dalam pelaksanaannya terjadi manipulasi oleh pihak lain. Tapi apapun alasannya, apoteker

    tetap harus bertanggungjawab karena penambahan bahan kimia lain menyebabkan spesifikasi

    produk yang dihasilkan tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan.

    Tetapi dalam kasus tersebut perlu dilakukan investigasi untuk mengetahui apoteker dipaksa

    terlibat atau apoteker dibuat tidak tahu. Apabila apoteker terlibat maka jelas ini adalah sebuah

    konspirasi. Kalau apoteker dipaksa terlibat maka ini adalah ketidakmampuan yang bersangkutan

    untuk menjunjung tinggi otonomi profesionalnya. Jika apoteker dibuat tidak tahu maka yang

    bersangkutan teledor dan patut dipertanyakan kompetensinya.