sunah sebagai sumber hukum kedua

21
1 SUNAH SEBAGAI SUMBER HUKUM KEDUA Makalah ini disusun guna memenuhi tugas kelompok pada semester kedua Dosen Pengampu : DR. Khalil Nafis Oleh Kelompok Kelima: Ali Fitriana Rahmat Muhammad Ulul Albab Fakultas Ushuludin Jurusan Tafsir  Sekolah Tinggi Kulliyatul Quran Al-Hikam Depok Jawa Barat 2013

Upload: ali-fitriana-rahmat

Post on 12-Oct-2015

41 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Sunnah atau biasah dikenal dengan hadis merupakah salah satu sumber penting dalam penetapan hukum syariat Islam.

TRANSCRIPT

  • 1

    SUNAH SEBAGAI SUMBER HUKUM KEDUA

    Makalah ini disusun guna memenuhi tugas kelompok pada semester kedua

    Dosen Pengampu : DR. Khalil Nafis

    Oleh Kelompok Kelima:

    Ali Fitriana Rahmat

    Muhammad Ulul Albab

    Fakultas Ushuludin

    Jurusan Tafsir

    Sekolah Tinggi Kulliyatul Quran Al-Hikam

    Depok Jawa Barat

    2013

  • 2

    BAB I

    PENDAHULUAN

    I.A. Latar Belakang

    Islam sebagai agama samawi memiliki syariat yang senyawa dengan

    agama-agama samawi terdahulu. Kitab suci menjadi undang-undang bagi syariat

    agama samawi. Memberi pedoman dan petunjuk merupakan tugas para rasul yang

    terhimpun dalam kitab suci yang telah diturunkan oleh Dzat yang Maha Kuasa.

    Al-Quran sebagai kitab suci terakhir yang diturunkan oleh Allah swt bagi

    rasul terakhir, telah mencakup semua syariat samawi terdahulu. Bahkan kitab suci

    ini menjadi pelengkap dari kitab-kitab suci sebelumnya. Kehadiran al-Quran ini

    menjadi petunjuk bagi seluruh makhluk di alam semesta sampai hari kiamat.

    Cakupannya yang luas menjadikannya sebagai rujukan dalam segala hal. Mulai

    menjadi pedoman, sumber hukum, undang-undang dan lain sebagainya.

    Tentunya al-Quran tidak menjadi sumber hukum tunggal bagi agama

    islam. Karena muatannya yang komprehensif dan global, al-Quran masih

    membutuhkan penjelas dan pemerinci dalam melaksanakan syariat. Maka dari itu,

    tampillah sunah sebagai sumber hukum kedua setelah al-Quran.

    Sunah rasul menterjemahkan kalam-kalam ilahi yang dianggap cukup

    rumit untuk dipahami. Rincian-rincian hukum yang dikandung oleh sumber

    pertama semua ada dalam sunah. Terkadang salah satu tugas sunah menjadi

    penegas hukum yang sudah ada.

    Nabi Muhammad saw mewarisi dua pusaka bagi umat islam, yaitu al-

    Quran dan sunah. Seorang muslim tidak akan sesat selagi ia masih berpegang

    teguh pada dua pusaka ini yang telah diwasiatkan Nabi saw. Sebagaimana

    tercantum dalam riwayat Malik bin Anas dalam kitabnya al-Muwatha' ;

  • 3

    ((

    : ))1

    Aku meninggalkan bagi kalian dua perkara, selagi kalian berpegang teguh pada

    keduanya kalian tidak akan sesat. Dua perkara itu adalah al-Quran dan sunah

    Nabi saw.

    Tulisan ini akan sedikit membahas tentang sumber hukum kedua, yakni

    as-sunnah. Penulis juga akan menyuguhkan beberapa alasan mengapa sunah bisa

    menjadi sumber hukum. Kurang afdal rasanya membahas tentang sunah jika tidak

    memaparkan pengertian, klasifikasi dan segala sesuatu yang ada kaitannya dengan

    tema pembahasan. Oleh karena itu, dengan segala kekurangan dan keterbatasan,

    penulis akan berusaha menyuguhkan tulisan ini sesuai dengan kemampuan dan

    pengetahuannya.

    I.B. Rumusan Masalah

    Apa itu sunah?

    Apa alasan sunah menjadi hujah?

    Ada berapa macam sunah itu dan apa saja pembagiannya?

    Apa kedudukan sunah bagi al-Quran?

    I.C. Tujuan

    Makalah ini diharapkan memberikan pengenalan dan pengetahuan tentang

    sunah sebagai salah satu sumber hukum islam. Yang dikemudian akan

    memudahkan bagi penggali hukum dalam usahanya untuk mencetak sebuah

    produk hukum. Semoga tulisan ini bermanfaat, khususnya bagi penulis dan

    umumnya bagi para pembaca.

    1 Malik bin Anas al-Ashbahi, Muwatha' al-Imam Malik (Mesir, Dar Ihya' at-Turats al-'Arabi ; tt)

  • 4

    BAB II

    PEMBAHASAN

    SUNAH SEBAGAI SUMBER HUKUM KEDUA

    Sunah tampil sebagai sumber hukum kedua setelah al-Quran untuk

    menterjemahkan kalam-kalam ilahi yang dianggap cukup rumit untuk dipahami.

    Rincian-rincian hukum yang dikandung oleh sumber pertama semua ada dalam

    sunah.

    Kata as-sunah lebih tepat untuk dipilih ketimbang kata al-Khabar dan al-

    atsar, dikarenakan al-khabar memiliki pengertian khusus pada 'ucapan, tindakan,

    ketetapan dan sifat yang dinisbahkan kepada baginda Nabi saw. Sedangkan al-

    atsar lebih khusus pada hadis marfu' ataupun mauquf.2

    II.A. Definisi As-Sunah

    Kata yang berakar dari huruf sin, nun dan nun memiliki arti asal

    'berjalannya sesuatu dengan mudah'. Dinamakan 'sunah' karena menjadi

    'perjalanan hidup seseorang'. Sunah Rasul adalah jalan hidup beliau saw.3

    Menurut etimologi sunah berarti perjalanan hidup atau jalan yang biasa

    atau cara yang baik ataupun buruk. Sebagaimana dalam hadis;

    ((

    ,

    ))4

    Orang yang membuat suatu cara yang baik, ia akan mendapatkan pahalanya serta

    pahala orang yang melakukan cara itu sampai hari kiamat. Orang yang membuat

    suatu cara buruk, ia akan mendapatkan dosanya dan dosa orang yang

    mengerjakannya sampai hari kiamat.

    2 Wahbah az-Zuhaili, Ushul Al-Fiqh Al-Islami (Damasykus, Dar al-Fikr ; 1986) Hal. 449 3 Ibnu faris, Maqayis al-Lughah (ttp, ittihad al-kitab al-arab:2002) hal.44 jld. 3 4 HR Muslim

  • 5

    ((

    ))5

    Kalian pasti akan mengikuti cara dan jalan hidup kaum sebelum kalian sedikit

    demi sedikit

    Sunah dalam istilah syarak berarti 'jalan biasa untuk beramal dalam agama'

    atau 'sesuatu yang secara khusus dinukil dari Nabi saw dan bukan termasuk al-

    Quran' atau 'gambaran amaliah Nabi saw dan para sahabatnya untuk

    mempraktekkan perintah-perintah al-Quran'. Jadi sunah adalah antonim dari

    bid'ah. Seseorang dikatakan ahlu sunah jika ia beramal sesuai tuntunan Nabi saw.

    Kata sunah juga digunakan untuk sesuatu yang dilakukan oleh sahabat.6

    Dalam istilah ahli hadis, sunah memiliki arti 'sesuatu yang dinukil dari

    Nabi saw berupa ucapan, perbuatan, ketetapan, sifat jasmani, akhlak, dan

    perjalanan hidup baik sebelum kenabian atau setelahnya'. Jadi dengan pengertian

    seperti ini sunah menjadi sinonim dari hadis menurut ahli hadis.7

    Istilah sunah bagi ahli fikih berarti 'sesuatu yang mana orang yang

    melakukannya akan dipuji dan yang meninggalkannya tidak dicela'. Atau juga

    bisa diartikan 'sesuatu yang jika dikerjakan akan mendapat pahala dan jika

    ditinggalkan tidak ditindak atau tidak berdosa'8.

    Menurut ulama ushul, sunah dalam arti istilah ialah 'sesuatu yang datang

    dari Rasulullah saw baik berupa perkataan, perbuatan, atau ketetapannya

    (taqrir)'.9

    5 HR Bukhari dan Muslim 6 Abu Ishaq Ibrahim bin Musa asy-Syathibi, al-Muwafaqat ( Saudi Arabia, Dar Ibn 'Affan ; 1997) hal. 289 7 Musthafa as-Siba'i, As-Sunnah wa Makanatuha fi at-Tasyri' al-Islami (ttp, Dar al-Warraq ; tt)

    Hal. 65 8 Syarafuddin Yahya al-Imrithi, Nadzhm al-Waraqat Fi al-Ushul al-Fiqhiyyat ( ttp : tp, tt ) bait. 16 9 Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqh (Kairo, Maktabah ad-Da'wah al-Islamiyah ;tt) Hal.36

  • 6

    Dalam tulisan ini akan lebih memfokuskan pada pengertian menurut

    ulama ushul. Karena pengertian mereka menjadi hulu pemicaraan tentang sunah

    sebagai hujah dan sumber kedua hukum islam. Dari segi isi dan muatannya, sunah

    dibagi menjadi tiga, yaitu:

    Sunah qauliyah, yaitu hadis-hadis yang diucapkan Nabi saw dalam

    berbagai kesempatan dan tujuan. Seperti sabda Nabi saw:

    (( ))

    Mulailah berpuasa (Ramadhan) karena melihat hilal. Dan berhentilah

    puasa (Ramadhan) karena melihat hilal.

    (( ))

    Binatang yang makan rumput di tempat penggembalaan itu (ada)

    zakatnya.

    (( ))

    Laut itu airnya suci dan bangkainya halal.

    Sunah filiyah, yaitu perbuatan-perbuatan Nabi saw. Seperti melaksanakan

    salat lima kali sehari semalam, dengan cara-cara dan rukun-rukunnya.

    Mengerjakan manasik haji. Mengadili perkara dengan seorang saksi dan

    sumpah orang yang mendakwa.

    Sunah taqririyah, apa yang ditetapkan oleh Rasul, dari perkataan atau

    perbuatan yang bersumber dari sebagian sahabat dengan cara diam, tidak

    mengingkarinya ataupun dengan menyetujuinya dan menyatakan

    kebaikan-kebaikannya. Maka ketetapan dan persetujuan ini semua

    bersumber dari Rasul saw. Seperti hadist yang menceritakan dua orang

    sahabat yang bepergian. Kemudian dalam perjalanan tibalah waktu salat.

    Dan mereka tidak menjumpai air. Lalu keduanya tayamum dan salat.

    Kemudian pada waktu mereka salat, ditemukan air. Salah seorang dari

    kedua orang itu mengulang salatnya. Tapi yang seorang lain tidak.10

    10 Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqh (Kairo, Maktabah ad-Da'wah al-Islamiyah ;tt) Hal.36

  • 7

    II.B. Kehujahan As-Sunah

    Ulama telah sepakat bahwa perkataan, perbuatan, atau ketetapan yang

    keluar dari Rasulullah saw dimaksudkan sebagai pembentukan hukum-hukum

    islam dan sebagai tuntunan, serta diriwayatkan kepada kita dengan sanad yang

    sahih yang menunjukkan kepastian atau dugaan kuat tentang kebenarannya, maka

    ia menjadi hujah bagi kaum muslimin, dan sebagai sumber hukum syarak yang

    mana para mujtahid menggali berbagai hukum syarak berkenaan dengan

    perbuatan orang-orang mukalaf.11 Banyak sekali dalil-dalil yang menunjukkan

    sunah sebagai hujah, diantaranya12;

    1) Nas al-Quran. Seringkali Allah swt dalam kitab suci memerintahkan taat

    kepada Rasul. Taat dan patuh kepada Rasul ini, bearati taat dan patuh

    kepada Allah swt. Allah juga memerintahkan orang muslimin jika mereka

    berselisih untuk mengembalikannya kepada Allah dan Rasul-Nya. Apabila

    Allah dan Rasul memutuskan suatu perkara, maka orang Islam itu tidak

    memilki pilihan lain. Semua bukti-bukti yang datangnya dari Allah itu

    menunjukkan bahwa tasyri Rasul itu adalah tasyri Ilahi yang wajib

    dijalankan. Allah berfirman dalam Al Quran.

    Katakanlah, ikutilah olehmu Allah dan Rasul.

    Barang siapa mengikuti Rasul, maka sesunnguhnya dia telah mengikut

    Allah.

    11 Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqh (Kairo, Maktabah ad-Da'wah al-Islamiyah ;tt) Hal.37 12 Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqh (Kairo, Maktabah ad-Da'wah al-Islamiyah ;tt) Hal.38

  • 8

    Hai orang-orang beriman, patuhlah kepada Allah dan patuhlah kepada

    Rasul dan Ulil Amri daripada kamu. Apabila terjadi pertengkaran dalam

    sesuatu (masalah) maka pulangkanlah kepada Allah dan Rasul (QS.4 :

    59).

    Dan kalau mereka menyerahkan kepada Rasul dan Ulil Amri diantara

    mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenaran akan

    dapat mengetahuinya (QS. 4 : 83)

    Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi

    perempuan yang mukmin, apakah Allah dan Rasulnya telah menetapkan

    sesuatu ketetapan, Akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang

    urusan mereka (QS 33 : 36)

  • 9

    Maka demi tuhanmu, maka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga

    mereka menjadikankamu hakim terhadap perkara yang mereka

    perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu

    keberatan terhadap keptusan yang kamu berikan kepada mereka, dan

    mereka menerima dengan sepenuhnya (QS : 4 65)

    Apa yang diberikan Rasul kepada-mu, maka terimalah dia. Dan apa yang

    dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah (QS 59 : 7)

    Ayat-ayat ini sudah cukup menjadi dalil-dalil qath'i yang

    menunjukkan bahwa Allah swt mewajibkan patuh kepada Rasul saw dari

    hal apa yang disyariatkannya.

    2) Ijma (konsesus) sahabat dalam kewajiban mengikuti sunahnya. Baik

    ketika Nabi saw masih hidup maupun setelah wafat. Diwaktu Nabi masih

    hidup, para sahabat menjalankan hukum-hukumnya dari apa-apa yang

    diperintahkan dan dilarangnya. Mereka tidak berselisih dalam menjalankan

    hukum-hukum yang bersumber dari Al Quran dan yang bersumber dari

    Nabi sendiri. Dalam hal ini kata Muadz bin Jabal. Jika hukum yang akan

    aku jalankan itu tidak terdapat dalam kitabullah, maka akan aku

  • 10

    mencarinya dalam sunah Rasulullah saw. Hal ini terus berlaku setelah

    Nabi saw wafat.

    3) Secara rasio dan logika, sunah sebagai penjelas al-Quran. Sebagaimana

    kita ketahui, di dalam al-Quran beberapa kewajiban yang al-Quran

    sendiri tidak menguraikannya secara terperinci tentang hukum-hukumnya

    dan bagaimana tata caranya. Didalam Al Quran disebutkan;

    - ((

    ))-

    Dirikanlah salat dan tunaikan zakat.

    - (( ))-

    Diwajibkan kepadamu untuk berpuasa.

    - (( ))-

    Diwajibkan bagi orang-orang untuk haji ke Baitullah karena Allah swt

    Sedangkan didalam Al Quran itu sendiri tidak dijelaskan

    bagaimana cara mendirikan salat itu. Bagaimana cara membayar zakat itu.

    Dan bagaimana caranya berpuasa dan haji itu. Maka dalam hal ini Rasul

    saw menjelaskan itu semua dengan sunah qauliyah dan sunah filiyah.

    Karena Allah telah memberikan kuasa kepada Rasul saw untuk

    menerangkan sejelas-jelasnya kepada kaum muslimin. Allah berfirman

    dalam Al Quran:

    Dan kami turunkan kepada-mu Al-Quran agar engkau menerangkannya

    kepada umat manusia apa-apa yang telah diturunkan kepada mereka (Qs

    16 : 44)

  • 11

    II.C. Pembagian Sunah dari Segi Sanad

    Para ahli hadis dahulu memiliki perhatian besar dalam periwayatan hadis

    Nabi saw secara qauli, fi'li dan taqriri. Mereka juga meneliti para periwayat hadits

    dimulai dari para sahabat, tabi'in, tabi' tabi'in hingga seterusnya.

    Hadis dari segi sanad pada mulanya dibagi menjadi dua; hadis yang

    sanadnya menyambung dan hadis yang sanadnya tidak menyambung. Ulama

    ushul telah banyak membicarakan kekuatan pengambilan hukum dari hadis yang

    tidak menyambung sanadnya13. Sedangkan pembagian hadis yang sanadnya

    bersambung dilihat dari kuantitas perawi menurut mayoritas ulama ada dua yaitu;

    mutawatir dan ahad. Sedangkan menurut Hanafiyah dibagi menjadi tiga;

    mutawatir, masyhur, dan ahad.

    a. Mutawatir

    Dalam kamus al-munawir mutawatir memilki arti 'sesuatu yang berturut-turut'.14

    Sebagaimana firman Allah swt : -(( 15

    ))- (Kemudian kami utus

    rasul-rasul kami secara berurutan). Kata ini berbentuk isim fa'il dari mashdar,

    yaitu tawatur. Ini juga bisa diketahui bahwa kata tatabu' merupakan sinonimnya.

    Secara istilah mutawatir berarti 'hadis yang diriwayatkan dari Rasul saw

    oleh sejumlah orang dari sejumlah perawi lain yang sekiranya mereka tidak

    mungkin bersekongkol untuk berbohong', dikarenakan mereka berjumlah banyak,

    dapat dipercaya, dan datang dari berbagai daerah dan suku. Setiap tingkatan

    jumlah mereka banyak, mulai dari tingkatan pertama sampai kepada kita.16 Akan

    tetapi menurut Wahbah az-Zuhaili, banyaknya jumlah perawi mutawatir hanya

    disyaratkan pada tiga tingkatan; sahabat, tabi'in, dan tabi' tabi'in. karena

    periwayatan setelah itu hanya melalui cara kodifikasi.17

    13Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh (ttp, Dar al-Fikr al-'Arabi ; tt) Hal. 107 14 Ahmad warson munawir, Kamus a-lmunawir (Surabaya : Pustaka Progresif, 2002) hal. 1534 15 Surah al-Mu'minun; 44 16 Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqh (Kairo, Maktabah ad-Da'wah al-Islamiyah ;tt) Hal. 41 17 Wahbah az-Zuhaili, Ushul Al-Fiqh Al-Islami (Damasykus, Dar al-Fikr ; 1986) Hal. 452

  • 12

    Syarat-syarat mutawatir

    Panca indera menjadi sandaran dan alat dalam periwayatan.

    Diriwayatkan oleh sejumlah perawi yang banyak. Tidak ada batas tertentu

    dalam jumlah banyaknya, yang terpenting bisa ifadatul ilmi. Demikian

    menurut pendapat sahih.

    Mustahil adanya persekongkolan diantara perawi untuk berbohong

    menurut akal dan secara normal.

    Para perawi meriwayatkannya dengan yakin dan berlandaskan ilmu.

    Semua syarat diatas harus terpenuhi dalam semua tingkatan.18

    Syarat-syarat diatas merupakan syarat bagi pembawa riwayat. Sedangkan

    bagi penerima riwayat memiliki syarat tersendiri, yaitu; berakal, mengerti esensi

    hadis, dan tidak memiliki kepercayaan yang berbeda dengan isi hadis.19

    Macam-macam mutawatir20

    a. Mutawatir Lafdzhi

    Mutawatir lafdzhi yaitu hadits yang mutawatir lafadz dan maknanya.

    Jumlah mutawatir lafdzhi sangat sedikit sekali, bahakan ada yang menganggap

    tidak ada. Contoh ;

    ((

    21 ))

    Siapa yang sengaja berdusta atas namaku, ia telah memesan tempat di

    dalam neraka

    18 Muhammad Husain al-Jaizani, Ma'alim Ushul al-Fiqh 'Inda Ahli as-Sunah wa al-Jama'ah (Jedah, Dar Ibn al-Jauzi ; 1996) Hal. 143

    # # #

    19 Muhammad bin Ali asy-Syaukani, Irsyad al-Fuhul ila tahqiq al-Haq min 'ilm al-Ushul (Kairo, Dar as-Salam ; 2006) Hal. 171 20 Muhammad Mushtafa Syibli, Ushul al-Fiqh al-Islami (Beirut, ad-Dar al-Jami'iyah ; tt) hal.141 21 Abu Abdillah Muhammad bin ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari (ttp: Dar Thauq al-Najah, 1422 H) hal. 111

  • 13

    b. Mutawatir Maknawi

    Mutawatir maknawi yaitu hadits yang mutawatir dalam maknanya saja.

    Setiap perawi meriwayatkan dengan redaksi yang berbeda dengan perawi yang

    lainnya.

    Kebanyakan contoh hadis mutawatir dari sunah fi'liyah, karena memang

    hadis mutawatir mayoritas termasuk mutawatir maknawi. Seperti riwayat yang

    menerangkan tentang tata cara wudlhu, salat, haji dan lain sebagainya. Dan tidak

    banyak contoh mutawatir dari sunah qauliyah sebagaimana contoh hadis

    mutawatir lafdzhi.

    Implikasi Hadis Mutawatir

    Pasti (qath'i) datang dan ketetapannya dari Nabi saw

    Menjadi ilmu yaqin secara mutlak.22

    Wajib menjadi bahan istinbath.

    Wajib diamalkan23

    Wajib dibenarkan, meskipun tidak ada dalil lain yang mendukungnya.24

    Menjadi ilmu pasti (dharuri) yaitu ilmu yang menuntut kita untuk

    membenarkannya, sekiranya tidak bisa ditolak. Atau ilmu yang bisa

    diketahui dengan panca indera.25

    Orang yang mengingkarinya termasuk kafir.

    22 # 23 Muhammad Mushtafa Syibli, Ushul al-Fiqh al-Islami (Beirut, ad-Dar al-Jami'iyah ; tt) hal.143 24 Sa'd Nasir asy-Syasyri, Syarh Qawa'id al-Ushul wa Ma'aqid al-Fushul (Riyadh, Dar Kunuz Isybiliya; 2006)Hal. 144 25 Muhammad bin Ahmad as-Sarkhasi, Ushul as-Sarkhasi ( Beirut, Dar al-Ma'rifah ; 1997 ) hal.302 jld.1

  • 14

    b. Masyhur

    Masyhur yaitu hadis yang diriwayatkan oleh satu atau dua orang sahabat ataupun

    sejumlah yang tidak mencapai batas mutawatir, kemudian diriwayatkan lagi oleh

    sejumlah tabi'in yang mencapai batas mutawatir, dan juga oleh tabi' tabi'in.26

    Contoh:

    ((

    ...))

    Sesungguhnya amal itu tergantung niat .

    (( )) ...

    Islam dibangun atas lima dasar .

    ((

    ))

    Tidak ada bahaya ataupun yang membahayakan

    Hadis masyhur bisa membatasi (qayyid) kemutlakan ayat dan

    mengkhususkan keumuman ayat27.

    Implikasi Hadis Masyhur

    Pasti (Qath'i) datangnya dari sahabat yang meriwayatkan.28

    Menjadi ilmu thuma'ninah, yakni mendekati ilmu yakin tetapi masih ada

    kemungkinan salah.29

    Orang yang mengingkarinya termasuk fasik tidak sampai kafir.

    26 Muhammad Mushtafa Syibli, Ushul al-Fiqh al-Islami (Beirut, ad-Dar al-Jami'iyah ; tt) hal.143 27 )) (( meng-qayyid -)) ((-

    (()) dan )) (( men-takhshish ayat waris

    28Wahbah az-Zuhaili, Ushul Al-Fiqh Al-Islami (Damasykus, Dar al-Fikr ; 1986) Hal. 454 29 Muhammad Mushtafa Syibli, Ushul al-Fiqh al-Islami (Beirut, ad-Dar al-Jami'iyah ; tt) hal.144

  • 15

    c. Ahad

    Hadis yang diriwayatkan oleh jumlah perawi yang tidak sampai derajat

    mutawatir ataupun masyhur dalam semua tingkatan terutama tingkatan sahabat

    dan tabi'in. Semua hadis kebanyakan masuk dalam kategori ini.

    Implikasi Hadis Ahad

    Datangnya hadis dari Nabi saw sampai ke kita masih dalam dugaan

    (dzhanniyah).

    Wajib diamalkan dalam hal hukum amaliah30.

    Tidak bisa diamalkan dalam hal akidah dan mewajibkan suatu perbuatan.31

    Semua tiga bagian sunah diatas dalam hal (dalalah) sebagian ada yang

    qath'i ad-dalalah, jika teks tidak bisa ditakwil. Dan dzhanni ad-dalalah, jika teks

    memungkinkan untuk ditakwil.

    Sunah Mutawatir, masyhur, dan ahad semuanya menjadi hujah yang wajib

    untuk diikuti dan diamalkan. Dikarenakan hadis mutawatir itu pasti (qath'i)

    datangnya dari Rasul saw. Meskipun hadis masyhur dan ahad datangnya itu dalam

    dugaan (dzhanni), dugaan itu menjadi mantab dengan adilnya periwayat dan

    hafalannya yang kuat (tamam adh-dhabth). Dugaan yang mantab sudah cukup

    untuk menjadikan sesuatu menjadi wajib untuk diamalkan. Seorang hakim

    memutuskan perkara dengan kesaksian seorang saksi pasti dilandasi dengan

    dugaan yang mantab. Banyak sekali hukum yang berlandaskan dengan dugaan

    yang mantab (dzhann).32 Jika saja setiap perkara amaliah ataupun hukum harus

    dilandasi dengan kepastian dan keyakinan, maka semua orang akan kesulitan

    untuk menjalankannya.33

    30 # 31 Muhammad Mushtafa Syibli, Ushul al-Fiqh al-Islami (Beirut, ad-Dar al-Jami'iyah ; tt) hal.144 Ali Hasballah, Ushul at-Tasyri' al-Islami (Kairo, Dar al-Fikr al-'Arabi ; 1997) Hal. 37 32 Yaitu memilih salah satu perkara yang memiliki kecenderungan lebih kebenarannya. Abdul Hamid Quds, Lathaif al-Isyarat ( Jakarta, Dar al-Kutub al-Islamiyah ; 2011) hal.34 33Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqh (Kairo, Maktabah ad-Da'wah al-Islamiyah ;tt) Hal. 43

  • 16

    Bisa disimpulkan bahwa suatu hadis menjadi wajib untuk diamalkan

    ketika memenuhi beberapa syarat. Perawi harus tamyiz dan dlhabth ketika

    menerima riwayat. Dalam meriwayatkan perawi harus baligh, islam, adil, tetap

    dlhabth mulai menerima hadis sampai menyampaikannya, dan harus bersambung

    sanadnya. Tidak boleh dihapus sebagian redaksinya yang dapat mengurangi

    kesempurnaan makna, dan makna hadis tidak bertentangan dengan dalil yang

    lebih kuat.34

    II.D. Kedudukan Sunah bagi Al-Quran

    Sunah menempati urutan kedua sebagai hujjah dan rujukan dalam

    penggalian hukum syari'at. Seorang mujtahid merujuk kepada sunah sebagai

    sumber hukum jika ia tidak menemukannya dalam al-Quran. Karena al-Quran

    menjadi sumber pertama dalam penggalian suatu hukum.35

    Sunah juga memiliki beberapa kedudukan bagi al-Quran dari sisi hukum

    yang terkandung di dalamnya sebagaimana telah dijelaskan oleh Imam as-Syafi'i,

    yaitu;

    a) Sunah sebagai penegas dan penguat hukum yang sudah ada dalam al-

    Quran. Seperti perintah menegakkan salat, menunaikan zakat, puasa

    Ramadhan, haji, serta semua perintah dan larangan yang ada dalam al-

    Quran dan dikuatkan oleh dalil-dalil as-sunah.

    ((

    ))36

    Menjadi penegas dari firman Allah swt

    34 Ali Hasballah, Ushul at-Tasyri' al-Islami (Kairo, Dar al-Fikr al-'Arabi ; 1997) Hal.42 35 Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqh (Kairo, Maktabah ad-Da'wah al-Islamiyah ;tt) Hal. 49 36 Ali bin Umar ad-Daruquthni, Sunan ad-Daruquthni ( ttp, tp ;tt ) hal.152

  • 17

    Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta

    sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang

    Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu

    membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang

    kepadamu.

    b) Sunah sebagai penjelas al-Quran37

    Tugas ini dibagi menjadi tiga, yaitu;

    1) Menjelaskan keglobalan al-Quran.38 Seperti hadis yang menerangkan

    tata cara salat, zakat, haji dll.

    ((

    ))

    Shalatlah kalian sebagai mana kalian melihat (bagaimana cara) aku shalat.

    (( ))

    Ambillah dariku manasik (cara haji) kalian (untuk kalian ikuti).

    2) Mengkhususkan keumuman al-Quran. 39 Seperti hadis;

    ((

    ))

    Orang yang membunuh tidak bisa mendapat warisan sedikitpun

    37 QS an-Nahl ;44 38 #

    # 39 Takhsish ialah mengeluarkan sebagian jumlah atau makna yang dikandung lafdz aam. 'Aam ialah lafadz yang mengandung dua makna atau lebih tanpa adanya pembatasan. Khaash

    merupakan kebalikan dari 'aam.

    Muhammad bin Muhammad al-Hathaab, Qurrat al-'Ain Fi Syarh Waraqat Imam al-Haramain

    (Jakarta, Dar al-Kutub al-Islamiyah ; 2011)

  • 18

    Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-

    anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian

    dua orang anak perempuan

    3) menerangkan kemutlakan al-Quran. 40 Seperti Nabi menerangkan

    tempat potong tangan bagi pencuri.

    ((

    ))

    Kemudian (Nabi saw) memerintahkan untuk memotong tangannya dari sendi

    laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan

    keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan

    sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

    c) Sunah sebagai informasi tentang adanya naskh antar ayat al-Quran.

    Seperti ayat;

    diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan

    (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat

    40 Muthlaq yaitu kata sifat atau jenis yang umum tanpa adanya embel-embel secara tertulis Muqayyad yaitu kata jenis yang menyangkup semua dengan adanya embel-embel berupa sifat

    Khalid Ramadhan, Mu'jam Ushul al-Fiqh (ttp, Ar-Raudhah ; 1998) Hal. 271 dan 298

  • 19

    untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah)

    kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.

    Dinasakh oleh ayat tentang waris (QS an-Nisa' ; 11).

    d) Sunah sebagai penetap hukum yang tidak tercantum dalam al-Quran.

    Seperti haramnya binatang buas yang bertaring, haramnya memakai kain

    sutra dan emas bagi laki-laki dan lain-lain.41

    Perlu diketahui bahwa Imam asy-Syafi'i telah mengutarakan sebuah

    pernyataan bahwa as-sunah sebagai pengikut dan pelengkap al-Quran, meskipun

    muatan sunah lebih banyak dari pada al-Quran. Karena muatan sunah masuk

    dalam landasan dan dasar-dasar hukum yang telah digariskan dalam al-Quran.

    Nabi saw pun berijtihad dengan landasan al-Quran. Jadi tidak ada pertentangan

    dan kontradiksi antara al-Quran dan sunah.42

    II.E. Tindakan dan Perbuatan Nabi saw

    Tindakan Nabi saw ada tiga macam;

    1. Perbuatan manusiawi yang dilakukan oleh Nabi saw. Seperti cara berdiri,

    duduk, makan, minum dll. Menurut mayoritas madzhab tidak wajib bagi

    kita untuk mengikuti perbuatan Nabi saw dalam macam ini. Tetapi ada

    yang berpendapat sunah. Sebagaimana sahabat Ibnu Umar yang dikenal

    mengikuti seluruh perbuatan dan tindak tanduk Nabi saw.

    2. Perbuatan khusus bagi Nabi saw. Seperti mubahnya puasa wishal,

    kewajiban salat dhuha, adlha, witir, dan tahajjud serta menikahi

    perempuan lebih dari empat dll. Ini merupakan kekhususan bagi Nabi saw

    dan tidak bisa diikuti.

    3. Tindakan dan perbuatan yang menjadi syari'at. Yaitu perbuatan selain

    macam yang telah disebutkan di atas. Kita semua dituntut untuk mengikuti

    perbuatan ini sesuai dengan ketentuan hukum, seperti wajib, sunah,

    mubah.

    41 Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqh (Kairo, Maktabah ad-Da'wah al-Islamiyah ;tt) Hal. 49 42 Wahbah az-Zuhaili, Ushul Al-Fiqh Al-Islami (Damasykus, Dar al-Fikr ; 1986) Hal. 464

  • 20

    BAB III

    PENUTUP

    Dari makalah ini yang berjudulkan 'sunah sebagai sumber hukum kedua'

    dapat disimpulkan sebagai berikut:

    Sunah ialah 'sesuatu yang datang dari Rasulullah saw baik berupa perkataan,

    perbuatan, atau ketetapannya (taqrir)'

    Bukti sunah sebagai hujah antara lain; nas al-Quran, konsesus sahabat, dan

    menurut rasional

    Sunah dari segi sanad dibagi menjadi tiga; mutawatir, masyhur, dan ahad.

    Kedudukan sunah bagi al-Quran dari sisi hukum ada tiga; penegas hukum,

    penjelas hukum, dan penetap hukum.

    Perbuatan Nabi dibagi tiga; perbuatan manusiawi, perbuatan khusus, dan

    perbuatan yang menjadi sumber hukum syariat.

    Dengan pertolongan dan rahmat Allah swt tulisan ini mampu diselesaikan.

    Meskipun semua ini jauh dari kesempurnaan dan tidak lepas dari kesalahan dan

    kekurangan yang murni datang dari penulis. Sangat diharap dan ditunggu setiap

    kritik dan saran yang membangun kesempurnaan tulisan ini.

    Semoga semua curahan tenaga dalam penulisan makalah ini dicatat

    sebagai amal ikhlas yang hanya mengharapkan rida Tuhan Yang Maha Esa. Dan

    tak lupa pula mudah-mudahan tulisan ini dapat bermanfaat bagi semua umat islam

    umumnya dan khusunya bagi penulis. Diharapkan pula tulisan ini menjadi salah

    satu sumbangan bagi agama Allah swt.

  • 21

    DAFTAR PUSTAKA

    Al-Quran al-Karim

    Abdul Hamid Quds, Lathaif al-Isyarat ( Jakarta, Dar al-Kutub al-Islamiyah ;

    2011)

    Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqh (Kairo, Maktabah ad-Da'wah al-

    Islamiyah ;tt)

    Abu Abdillah Muhammad bin ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari (ttp: Dar

    Thauq al-Najah, 1422 H)

    Abu Ishaq Ibrahim bin Musa asy-Syathibi, al-Muwafaqat ( Saudi Arabia, Dar Ibn

    'Affan ; 1997)

    Ahmad warson munawir, Kamus a-lmunawir (Surabaya : Pustaka Progresif, 2002)

    Ali bin Umar ad-Daruquthni, Sunan ad-Daruquthni ( ttp, tp ;tt )

    Ali Hasballah, Ushul at-Tasyri' al-Islami (Kairo, Dar al-Fikr al-'Arabi ; 1997)

    Ibnu faris, Maqayis al-Lughah (ttp, ittihad al-kitab al-arab:2002)

    Khalid Ramadhan, Mu'jam Ushul al-Fiqh (ttp, Ar-Raudhah ; 1998)

    Malik bin Anas al-Ashbahi, Muwatha' al-Imam Malik (Mesir, Dar Ihya' at-Turats

    al-'Arabi ; tt)

    Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh (ttp, Dar al-Fikr al-'Arabi ; tt) Muhammad bin Ahmad as-Sarkhasi, Ushul as-Sarkhasi ( Beirut, Dar al-Ma'rifah ;

    1997 )

    Muhammad bin Ali asy-Syaukani, Irsyad al-Fuhul ila tahqiq al-Haq min 'ilm al-

    Ushul (Kairo, Dar as-Salam ; 2006)

    Muhammad bin Muhammad al-Hathaab, Qurrat al-'Ain Fi Syarh Waraqat Imam

    al-Haramain (Jakarta, Dar al-Kutub al-Islamiyah ; 2011)

    Muhammad Husain al-Jaizani, Ma'alim Ushul al-Fiqh 'Inda Ahli as-Sunah wa al-

    Jama'ah (Jedah, Dar Ibn al-Jauzi ; 1996)

    Muhammad Mushtafa Syibli, Ushul al-Fiqh al-Islami (Beirut, ad-Dar al-Jami'iyah

    ; tt)

    Musthafa as-Siba'i, As-Sunnah wa Makanatuha fi at-Tasyri' al-Islami (ttp, Dar al-

    Warraq ; tt)

    Sa'd Nasir asy-Syasyri, Syarh Qawa'id al-Ushul wa Ma'aqid al-Fushul (Riyadh,

    Dar Kunuz Isybiliya; 2006)

    Syarafuddin Yahya al-Imrithi, Nadzhm al-Waraqat Fi al-Ushul al-Fiqhiyyat ( ttp :

    tp, tt ) Wahbah az-Zuhaili, Ushul Al-Fiqh Al-Islami (Damasykus, Dar al-Fikr ; 1986)

    Hal. 452