laporan tht3
TRANSCRIPT
-
7/22/2019 Laporan THT3
1/34
LAPORAN DISKUSI TUTORIAL
BLOK XVIITELINGA HIDUNG TENGGOROK (THT)
SKENARIO III :
ANAKKU MENGELUH TENGGOROKNYA SERING SAKIT
Nama Tutor :
Novi Primadewi, dr, Sp.THT,M.Kes.
Oleh:
Kelompok B-9
1. Ahadina Rahma Z. G0011008
2. Aulia Nadhiasari G0011046
3. Deyona Annisa Putri G0011072
4.Firdausul Marifah G0011094
5. Lauraine W. Sinuraya G0011126
6. Safitri Dwi Martanti G0011188
7.Wuryan Dewi M. A. G0011212
8. Ardian Pratiaksa G0011034
9. I Kadek Rusjaya G0011110
10. Ristyadita Y. G0011178
11. Pratita Komalasari G0009168
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2013
-
7/22/2019 Laporan THT3
2/34
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Odinofagi atau nyeri tenggorok merupakan gejala yang sering
dikeluhkan akibat adanya kelainan atau peradangan di daerah nasofaring,
orofaring, dan hipofaring. Peradangan di daerah tersebut memiliki gejala
yang hampir mirip sehingga seorang dokter umum harus jeli agar bisa
menetapkan diagnosis dan terapi yang tepat. Untuk itu, dalam skenario
ketiga blok THT ini, mahasiswa diberi permasalahan sebagai berikut:
Seorang anak laki-laki usia 5 tahun bersama ibunya datang ke
poliklinik THT, dengan keluhan sudah 2 hari tidak mau makan, karena
sakit untuk menelan. Badan demam, benjolan pada leher dan nyeri saat
ditekan, disertai suara serak. Keluhan yang sama sering dirasakan sejak
usia 3 tahun, dan pasien kalau tidur mengorok, tetapi riwayat sesak nafas
disangkal. Pasien juga mempunyai riwayat sering batuk pilek.
Pada pemeriksaan pharing didapatkan : Mukosa pharing terdapat
granuloma dan hiperemi, tonsil fibrosis dan terdapat detritus, plika
vokalis oedema dan hiperemis. Pemeriksaan Laboratorium didapatkan
ASTO : (+).
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana anatomi dan fisiologi menelan?
2. Bagaimana anatomi dan fisiologi berbicara?
3. Bagaimana epidemiologi kasus?
4. Bagaimana patofisiologi gejala pada skenario?
5. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan fisik dan laboratorium?
6. Apa saja pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan?
7. Apa saja diagnosis banding dan komplikasi kasus pada skenario?
8. Bagaimana penatalaksanaan yang perlu dilakukan?
-
7/22/2019 Laporan THT3
3/34
C. TUJUAN
1. Mengetahui anatomi dan fisiologi menelan.
2. Mengetahui anatomi dan fisiologi berbicara.
3. Mengetahui epidemiologi kasus
4. Mengetahui patofisiologi gejala yang pada skenario
5. Mengetahui interpretasi pemeriksaan fisik dan laboratorium
6. Mengetahui pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan.
7. Mengetahui diagnosis banding dan komplikasi kasus pada skenario
8. Mengetahui penatalaksanaan yang perlu dilakukan.
D. MANFAAT
1. Mahasiswa mampu mengetahui anatomi dan fisiologi menelan.
2. Mahasiswa mampu mengetahui anatomi dan fisiologi berbicara.
3. Mahasiswa mampu mengetahui epidemiologi kasus
4. Mahasiswa mampu mengetahui patofisiologi gejala yang pada
skenario
5. Mahasiswa mampu mengetahui interpretasi pemeriksaan fisik dan
laboratorium
6. Mahasiswa mampu mengetahui pemeriksaan penunjang yang perlu
dilakukan.
7. Mahasiswa mampu mengetahui diagnosis banding dan komplikasi
kasus pada skenario
8. Mahasiswa mampu mengetahui penatalaksanaan yang perlu
dilakukan.
-
7/22/2019 Laporan THT3
4/34
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi
1. Anatomi Pharynx
Pharynx membentang dari tuberculum pharyngeum sampai
setinggi tepi bawah cartilage cricoidea atau skletopis setinggi Vc6. Ke
arah caudal, pharynx berperan ganda baik untuk proses deglutisi
maupun untuk respirasi (Richard, 2007).
Berdasarkan letaknya, pharynx dapat dibagi menjadi tiga
bagian yaitu: nasopharynx, oropharynx, dan laryngopharynx:
a. Nasopharynx
Nasopharynx berhubungan dengan oropharynx melalui
isthmus pharyngeus atau hiatus nasopharyngeus, yang dibatasi oleh
palatum molle, arcus palatopharyngeus dan dinding dorsal
pharynx. Isthmus pharyngeus ini akan menutup pada saat menelan.
Choanae adalah lubang penghubung antara nasopharynx dengan
cavum nasi (Richard, 2007).
i. Atap dan dinding posterior nasopharynx
Atap dari nasopharynx disebut pula sebagai fomix
pharyngis, dan dinding posterior nasopharynx akan melekat
pada facies inferior corpus ossis sphenoidalis dan pars basilaris
ossis occipitalis. Suatu massa jaringan lymphoid yang terdapat
di membrana mucosa dinding posterior nasopharynx disebut
sebagai tonsilla pharyngealis (adenoidea). Pembesaran dari
tonsilla pharyngea ini dikenal sebagai hipertrofi adenoid yang
dapat membuat buntu tractus respiratorius sehingga
-
7/22/2019 Laporan THT3
5/34
menyebabkan bernafas melalui mulut dan mempengaruhi
pertumbuhan wajah.Tonsilla pharyngealis ini banyak terlihat
pada anak-anak dan akan mengecil saat pubertas (Richard,
2007).
ii . Dinding lateral nasopharynx
Di setiap dinding lateral nasopharynx dijumpai adanya
ostium pharyngeum tubae auditivae.Ostium phryngeum tubae
auditivae ini dibatasi di sebelah atas dan belakangnya oleh
suatu peninggian yang disebut torus tubarius. Torus tubarius
dibentuk oleh pars cartilaginea tubae. Plica dari membrana
mucosa yang berjalan descendens dari torus tubarius ini
menuju ke palatum, disebut sebagai plica salpingopalatina
(Richard, 2007).
Sedangkan plica torus levatorius adalah plica yang
disebabkan oleh adanya m.levator veli palatini, yang berjalan
dari osteum pharyngeum tubae auditivae menuju ke palatum
molle. Bagian dari cavum pharyngis yang terletak di sebelah
dorsal dari torus tubarius disebut sebagai recessus
pharyngeus. Recessus pharyngeus ini membentang ke arah
dorsal dan lateral, terletak antara m. longus capitis disebelah
medial dan m. levator veli palatini di sebelah lateral.Jaringan
limphoid yang kadang-kadang terdapat di membrana mucosa
di recessus pharyngeus ini disebut sebagai tonsilla tubaria
(Richard, 2007).
b. Oropharynx
Oropharynx membentang dari setinggi palatum molle di
sebelah cranial sampai ke tepi atas dari epiglottis di sebelah caudal.
Oropharynx ini ke ventral akan berhubungan dengan cavum oris
melalui isthmus faucium, yang dibatasi oleh :
-
7/22/2019 Laporan THT3
6/34
Cranial : palatum molle
Lateral : arcus palatoglossus dan
Cauda: radix linguae (Richard, 2007).
Di daerah isthmus faucium, terlihat adanya suatu lingkaran
jaringan lymphoid yang tersusun atas rangkaian dari:
Cranial : tonsjlla pharyngealis (adenoidea)
Lateral : tonsilla palatina
Caudal : tonsilla lingualis (Richard, 2007).
Membrana mucosa yang menutupi epiglottis akan
melanjutkan diri untuk melapisi radix linguae. Membrana ini
kemudian disebut sebagai membrana glossoepiglottica. Penebalan
dari membrana glossoepiglottica di linea mediana membentuk
plica glossoepiglottica mediana, sedangkan penebalan di sebelah
lateral kanan dan kiri disebut sebagai plica glossoepiglottica
laterale. Plica yang terakhir ini sering disebut sebagai plica
pharyngoepiglottica oleh karena membrana dari epiglottis ini
menuju ke dinding lateral pharynx.Suatu cekungan yang dibatasi
antara plica glosso-epiglottica mediana dan plica glossoepiglottica
laterale kanan dan kiri disebut vallecula epiglottica. Ke arah
posterior, oropharynx berbatasan dengan corpus vertebrata
cervicalis ke - 2 dan ke -3 (Byron, 2001)
Tonsilla palatina adalah sekelompok jaringan lymphoid
yang terdapat di fossa tonsillaris yang ditutupi oleh membrana
mucosa yang berhubungan dengan membrana mucosa di pharynx.
Facies medialis tonsilla palatina adalah bebas, yang di sebelah
atasnya dijumpai fossa supratonsillaris. Pada permukaan ini
dijumpai juga lubang-lubang buntu yang disebut cryptae
tonsillares.Cryptae ini membentuk celah-celah lurus dengan epithel
squamous, yang di sebelah dalamnya dijumpai folikel
-
7/22/2019 Laporan THT3
7/34
lymphaticus.Cel-cel lymphocyt dapat dijumpai di epithel dan
dilepaskan bersama-sama dengan saliva, disebut corpusculum
salivarius. Pada umur pubertas, secara fisiologis, tonsilla palatina
mengalami kemunduran.Tonsilla menjadi lebih kecil bila
dibandingkan dengan saat anak-anak (Byron, 2001)
c. Laryngopharynx
Laryngopharynx membentang dari setinggi tepi atas
cartilago epiglottica sampai ke tepi bawah dari cartilago cricoidea,
kemudian akan melanjutkan diri ke dalam oesophagus.
Laryngopharynx disebut juga sebagai hypopharynx.Di sebelah
anterior dari laryngopharynx dijumpai aditus laryngis, bagian
dorsal dari cartilago arytaenoidea dan cartilago cricoidea.Sedang di
sebelah posterior laryngopharynx berbatasan dengan corpus
vertebrae cervicalis ke - 4 sampai ke 6 (Richard, 2007).
2. Anatomi Tonsil
Cincin Waldeyer merupakan jaringan limfoid yang membentuk
lingkaran di faring yang terdiri dari tonsil palatina, tonsil faringeal
(adenoid), tonsil lingual, dan tonsil tubal (Ruiz JW, 2009).
a. Tonsil Palatina. Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan
limfoid yang terletak di dalam fosa tonsil pada kedua sudut
orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot palatoglosus) dan
pilar posterior (otot palatofaringeus). Tonsil berbentuk oval dengan
panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus
yang meluas ke dalam jaringan tonsil(Wanri A, 2007).
Permukaan tonsil palatina ditutupi epitel berlapis gepeng
yang juga melapisi invaginasi atau kripti tonsila. Banyak
limfanodulus terletak di bawah jaringan ikat dan tersebar sepanjang
kriptus. Limfonoduli terbenam di dalam stroma jaringan ikat
retikular dan jaringan limfatik difus. Limfonoduli merupakan
bagian penting mekanisme pertahanan tubuh yang tersebar di
-
7/22/2019 Laporan THT3
8/34
seluruh tubuh sepanjang jalur pembuluh limfatik. Noduli sering
saling menyatu dan umumnya memperlihatkan pusat germinal
(Anggraini D, 2001).
Fosa Tonsil Fosa tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring,
yaitu batas anterior adalah otot palatoglosus, batas posterior adalah
otot palatofaringeus dan batas lateral atau dinding luarnya adalah
otot konstriktor faring superior (Shnayder, Y, 2008).
Berlawanan dengan dinding otot yang tipis ini, pada bagian
luar dinding faring terdapat nervus ke IX yaitu nervus
glosofaringeal (Wiatrak BJ, 2005).
Pendarahan Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-
cabang arteri karotis eksterna, yaitu 1) arteri maksilaris eksterna
(arteri fasialis) dengan cabangnya arteri tonsilaris dan arteri
palatina asenden; 2) arteri maksilaris interna dengan cabangnya
arteri palatina desenden; 3) arteri lingualis dengan cabangnya arteri
lingualis dorsal; 4) arteri faringeal asenden. Kutub bawah tonsil
bagian anterior diperdarahi oleh arteri lingualis dorsal dan bagian
posterior oleh arteri palatina asenden, diantara kedua daerah
tersebut diperdarahi oleh arteri tonsilaris. Kutub atas tonsil
diperdarahi oleh arteri faringeal asenden dan arteri palatina
desenden. Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang
bergabung dengan pleksus dari faring. Aliran balik melalui pleksus
vena di sekitar kapsul tonsil, vena lidah dan pleksus faringeal
(Wiatrak BJ, 2005).
Aliran getah bening Aliran getah bening dari daerah tonsil
akan menuju rangkaian getah bening servikal profunda (deep
jugular node) bagian superior di bawah muskulus
sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar toraks dan
akhirnya menuju duktus torasikus. Tonsil hanya mempunyai
pembuluh getah bening eferan sedangkan pembuluh getah bening
aferen tidak ada (Wanri A, 2007).
-
7/22/2019 Laporan THT3
9/34
Persarafan Tonsil bagian bawah mendapat sensasi dari
cabang serabut saraf ke IX (nervus glosofaringeal) dan juga dari
cabang desenden lesser palatine nerves.
b. Tonsil Faringeal (Adenoid) Adenoid merupakan masa limfoid yang
berlobus dan terdiri dari jaringan limfoid yang sama dengan yang
terdapat pada tonsil. Lobus atau segmen tersebut tersusun teratur
seperti suatu segmen terpisah dari sebuah ceruk dengan celah atau
kantong diantaranya. Lobus ini tersusun mengelilingi daerah yang
lebih rendah di bagian tengah, dikenal sebagai bursa faringeus.
Adenoid tidak mempunyai kriptus. Adenoid terletak di dinding
belakang nasofaring. Jaringan adenoid di nasofaring terutama
ditemukan pada dinding atas dan posterior, walaupun dapat meluas
ke fosa Rosenmuller dan orifisium tuba eustachius. Ukuran
adenoid bervariasi pada masing-masing anak. Pada umumnya
adenoid akan mencapai ukuran maksimal antara usia 3-7 tahun
kemudian akan mengalami regresi (Hermani B, 2004).
c. Tonsil Lingual Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi
menjadi dua oleh ligamentum glosoepiglotika. Di garis tengah, di
sebelah anterior massa ini terdapat foramen sekum pada apeks,
yaitu sudut yang terbentuk oleh papilla sirkumvalata (Kartosoediro
S, 2007).
B. Histologi
Bentuk mukosa faring bervariasi, tergantung pada letaknya. Pada
nasofaring karena fungsinya untuk saluran respirasi, maka mukosanya
bersilia, sedang epitelnya torak berlapis yang mengandung sel goblet. Di
bagian bawahnya, yaitu orofaring dan laringofaring, karena fungsinya
untuk saluran cerna, epitelnya gepeng berlapis dan tidak bersilia
(Rusmarjono, 2007).
-
7/22/2019 Laporan THT3
10/34
Disepanjang faring dapat ditemukan banyak sel jaringan limfoid
yang terletak dalam rangkaian jaringan ikat yang termasuk dalam sistem
retikuloendotelial. Oleh karena itu faring dapat disebut sebagai daerah
pertahanan tubuh terdepan (Rusmarjono, 2007).
Daerah nasofaring dilalui oleh udara pernapasan yang diisap
melalui hidung. Di bagian atas, nasofaring ditutupi oleh palut lendir yang
terletak di atas silia dan bergerak sesuai dengan arah gerak silia ke
belakang. Palut lender ini berfungsi untuk menangkap partikel kotoran
yang terbawa oleh udara yang diisap. Palut lendir ini mengandung enzim
lyzozyme yang penting untuk proteksi (Rusmarjono, 2007).
C. Fisiologi Menelan
Proses menelan dapat dibagi menjadi tiga fase, fase oral, fase
faringal, dan fase esofageal (Soepardi,2007).
1. Fase oral
Fase oral terjadi secara sadar. Makanan yang telah dikunyah
dan bercampur dengan liur akan membentuk bolus makanan. Bolus ini
bergerak dari rongga mulut melalui dorsum lidah, terletak di tengah
lidah akibat kontraksi dorsum lidah.
Kontraksi m. levator veli palatini mengakibatkan rongga pada
lekukan dorsum lidah diperluas, palatum mole terangkat dan bagian
atas dinding posterior faring (passavants ridge) akan terangkat pula.
Bolus terdorong ke posterior karena lidah terangkat ke atas. Bersamaan
dengan ini terjadi penutupan nasofaring akibat kontraksi m. levator
veli palatini. Selanjutnya terjadi kontraksi m. palatoglossus yang
menyebabkan isthmus faucium tertutup, diikuti kontraksi m.
palatofaring, sehingga bolus makanan tidak akan berbalik ke rongga
mulut (Soepardi,2007).
2. Fase faringal
-
7/22/2019 Laporan THT3
11/34
Fase faringeal terjadi secara refleks pada akhir fase oral, yaitu
perpindahan bolus makanan dari faring ke esofagus. Faring dan laring
bergerak ke atas oleh kontraksi m. stilofaring, m. salfingofaring, m.
tirohioid, dan m. palatofaring.
Aditus laring tertutup oleh epiglotis sedangkan sfingter laring,
yaitu plika ariepiglotika, plika ventrikularis, dan plika vocalis tertutup
karena kontraksi m. ariepiglotika dan m. aritenoid obligus. Bersamaan
dengan ini terjadi penghentian aliran udara ke laring karena refleks
yang menghambat pernapasan, sehinggan bolus makanan tidak masuk
ke dalam saluran napas. Selanjutnya, bolus akan meluncur ke arah
esofagus, karena valekula dan sinus piriformis sudah dalam keadaan
lurus (Soepardi,2007).
3. Fase esofagal
Fase esofagal ialah fase perpidahan bolus makanan dari
esofagus ke lambung. Dalam keadaan tertutup, introitus esofagusselalu tertutup. Dengan adanya rangsangan bolus makanan pada akhir
fase faringeal, maka terjadi relaksasi m. krikofaring, sehingga introitus
esofagus terbuka dan bolus makanan masuk ke dalam esofagus .
Setelah bolus makanan lewat, maka sfingter akan berkontraksi
lebih kuat, melebihi tonus pada waktu istirahat. Sehingga makanan
tidak akan mengalir kembali ke faring. Dengan demikian, refluks dapat
dihindari. Gerak bolus makanan di esofagus bagian atas masih
dipengaruhi oleh kontraksi m. konstriktor faring inferior pada dase
akhir fase faringeal. Selanjutnya bolus makanan akan didorong ke
distal oleh gerakan peristaltik esophagus.
Dalam keadaan instirahat, sfingter esofagus bagian bawah
selalu tertutup dengan tekanan rata-rata 8 mmHg lebih tinggi dari
tekanan dalam labung sehingga tidak akan terjadi regurgitasi isi
lambung. Pada fase esofageal sfingter ini akan terbuka secara refleks
-
7/22/2019 Laporan THT3
12/34
ketika dimulainya peristaltik esofagus servikal untuk mendorong bolus
makanan ke distal. Selanjutnya setelah bolus ini lewat, maka sfingter
akan menutup kembali (Soepardi,2007).
D. Patofisiologi Gejala
1. Mengorok
Faring adalah struktur yang sangat lentur. Pada saat inspirasi,
otot-ototdilator faring berkontraksi 50 mili-detik sebelum kontraksi
otot pernafasansehingga lumen faring tidak kolaps akibat tekanan
intrafaring yang negatif oleh karena kontraksi otot dinding dada dan
diafragma. Pada waktu tidura aktivitas otot dilator faring relatif
tertekan (relaksasi) sehingga ada kecenderungan lumen faring
menyempit pada saat inspirasi. Mengapa halini terjadi hanya pada
sebagian orang, terutama berhubungan dengan ukuran faring dan
faktor-faktor yang mengurangi dimensi statik lumen sehingga menjadi
lebih sempit atau menutup pada waktu tidur. Faktor yangpalingberperan adalah:
a. Obesitas
b. Pembesaran tonsil
c. Posisi relatif rahang atas dan bawah (Rachman.Abdul,2007).
Suara mendengkur timbul akibat turbulensi aliran udara pada
saluran nafas atas akibat sumbatan. Tempat terjadinya sumbatan
biasanya di basis lidah atau palatum. Sumbatan terjadi akibat
kegagalan otot-otot dilator saluran nafas atas menstabilkan jalan nafas
pada waktu tidur di mana otot-ototfaring berelaksasi, lidah dan
palatum jatuh ke belakang sehingga terjadi obstruksi
(Rachman.Abdul,2007).
Trauma pada jaringan di saluran nafas atas pada waktu
mendengkur mengakibatkan kerusakan pada serat-serat otot dan
serabut-serabut sarafperifer. Akibatnya kemampuan otot untuk
-
7/22/2019 Laporan THT3
13/34
menstabilkan saluran nafas terganggu dan meningkatkan
kecenderungan saluran nafas untuk mengalami obstruksi. Obstruksi
yang diperberat oleh edema karena vibrasi yang terjadi pada waktu
mendengkur dapat berperan pada progresivitas mendengkur menjadi
sleep apneapada individu tertentu (Rachman.Abdul,2007).
Obstructive Sleep Apnea (OSA) ditandai dengan kolaps
berulang dari saluran nafas atas baik komplet atau parsial selama tidur.
Akibatnya aliran udara pernafasan berkurang (hipopnea) atau terhenti
(apnea) sehingga terjadi desaturasi oksigen (hipoksemia) dan penderita
berkali-kali terjaga(arousal). Kadang-kadang penderita benar-benar
terbangun pada saat apnea di mana mereka merasa tercekik. Lebih
sering penderita tidak sampai terbangun tetapi terjadi partial arousal
yang berulang, berakibat pada berkurangnya tidur dalam atau tidur
gelombang lambat. Keadaan ini menyebabkan penderita mengantuk
pada siang hari, kurang perhatian, konsentrasi dan ingatan terganggu.
Kombinasi hipoksemia dan partialarousal yang disertai dengan
peningkatan aktivitas adrenergik menyebab kan takikardi dan
hipertensi sistemik. Banyak penderita OSA tidak merasa mempunyai
masalah dengan tidurnya dan datang ke dokter hanya Karen ateman
tidur mengeluhkan suara mendengkur yang keras (fase preobstruktif)
diselingi oleh keadaan senyap yang lamanya bervariasi (fase apnea
obstruktif) (Rachman.Abdul,2007) .
2. Demam
Demam terjadi karena adanya suatu zat yang dikenal dengan
nama pirogen. Pirogen adalah zat yang dapat menyebabkan demam.
Pirogen terbagi dua yaitu pirogen eksogen adalah pirogen yang berasal
dari luar tubuh pasien. Contoh dari pirogen eksogen adalah produk
mikroorganisme seperti toksin atau mikroorganisme seutuhnya. Salah
satu pirogen eksogen klasik adalah endotoksin lipopolisakarida yang
dihasilkan oleh bakteri gram negatif. Jenis lain dari pirogen adalah
pirogen endogen yang merupakan pirogen yang berasal dari dalam
-
7/22/2019 Laporan THT3
14/34
tubuh pasien. Contoh dari pirogen endogen antara lain IL-1, IL-6,
TNF-, dan IFN. Sumber dari pirogen endogen ini pada umumnya
adalah monosit, neutrofil, dan limfosit walaupun sel lain juga dapat
mengeluarkan pirogen endogen jika terstimulasi (Dinarello & Gelfand,
2005).
Proses terjadinya demam dimulai dari stimulasi sel-sel darah
put ih (monosit, limfosit, dan neutrofil) oleh pirogen eksogen baik
berupa toksin, mediator inflamasi, atau reaksi imun. Sel-sel darah putih
tersebut akan mengeluarkan zat kimia yang dikenal dengan pirogen
endogen (IL-1, IL-6, TNF-, dan IFN). Pirogen eksogen dan pirogen
endogen akan merangsang endotelium hipotalamus untuk membentuk
prostaglandin (Dinarello & Gelfand, 2005).
Prostaglandin yang terbentuk kemudian akan meningkatkan
patokan termostat di pusat termoregulasi hipotalamus. Hipotalamus
akan menganggap suhu sekarang lebih rendah dari suhu patokan yang
baru sehingga ini memicu mekanisme-mekanisme untuk meningkatkan
panas antara lain menggigil, vasokonstriksi kulit dan mekanisme
volunter seperti memakai selimut. Sehingga akan terjadi peningkatan
produksi panas dan penurunan pengurangan panas yang pada akhirnya
akan menyebabkan suhu tubuh naik ke patokan yang baru tersebut
(Sherwood, 2001). Demam memiliki tiga fase yaitu: fase kedinginan,
fase demam, dan fase kemerahan. Fase pertama yaitu fase kedinginan
merupakan fase peningkatan suhu tubuh yang ditandai dengan
vasokonstriksi pembuluh darah dan peningkatan aktivitas otot yang
berusaha untuk memproduksi panas sehingga tubuh akan merasa
kedinginan dan menggigil. Fase kedua yaitu fase demam merupakan
fase keseimbangan antara produksi panas dan kehilangan panas di titik
patokan suhu yang sudah meningkat. Fase ketiga yaitu fase kemerahan
merupakan fase penurunan suhu yang ditandai dengan vasodilatasi
pembuluh darah dan berkeringat yang berusaha untuk menghilangkan
-
7/22/2019 Laporan THT3
15/34
panas sehingga tubuh akan berwarna kemerahan (Dalal & Zhukovsky,
2006).
3. Sakit menelan (Odonofagia)
Odinofagia adalah nyeri tekan yang dapat terjadi bersama
disfagia. Odinofagia dapat dirasakan sebagai sensasi ketat atau nyeri
membakar. Dapat disebabkan oleh spasme esophagus akibat
peradangan akut atau dapat terjadi sekunder akibat peradangan
mukosa. Untuk mengenali penyebab odinofagia dapat dilakukan
endoskopi esophagus. (Price, 2006)
Odinofagia adalah gejala yang sering dikeluhkan akibat adanya
kelainan atau peradangan di daerah nasofaring, orofaring, hipofaring.
(Rusmarjono, 2007)
E. Pemeriksaan
1. Pemeriksaan Fisik
Mukosa faring yang hiperemis menunjukkan adanya
peradangan, dimungkinkan karena infeksi sudah menjalar ke faring.
Sedangkan plica vocalis yang oedem dan hiperemi juga
mengindikasikan kalo infeksi sudah menjalar ke laryng. Adanya tonsil
fibrosis disebabkan oleh infeksi berulang sehingga akan terjadi
fibrolisasi tonsil yaitu sebagian jaringan tonsil akan rusak dan
digantikan oleh jaringan ikat. Karena adanya fibrosis, kripta akan
melebar dan permukaan tonsil menjadi tidak rata dan berbenjol-benjol.
Detritus adalah kumpulan dari leukosit, bakteri yang mati, dan epitel
yang lepas. Secara klinis, detritus akan mengisi kripta tonsil dan
membentuk bercak kekuningan. Detritus dapat dilihat ketika tonsil
ditekan dengan spatula. (Farokah et al, 2007)
2. Pemeriksaan penunjang
a. ASTO
-
7/22/2019 Laporan THT3
16/34
(Anti Inflamasi Stertolisin O) merupakan pemeriksaan lab
untuk menentukan kadar Streptolisin O secara kualitatif dan semi
kuantitatif. ASTO positif menunjukkan adanya infeksi dari
Steptococcus. Pada tonsilitis bakteria sering disebabkan oleh
Streptococcus Hemoliticus, Streptococcus pyogenes,
Streptococcus viridian. Lebih kurang 80 % penderita demam
reumatik / penyakit jantung reumatik akut menunjukkan kenaikkan
titer ASTO ini; bila dilakukan pemeriksaan atas 3 antibodi
terhadap streptococcus, maka pada 95 % kasus demam reumatik /
penyakit jantung reumatik didapatkan peninggian atau lebih
antibodi terhadap streptococcus.
Streptococcus adalah salah satu bakteri gram positif bentuk
bundar yang tumbuh dalam rantai panjang. Streptococcus adalah
penyebab banyak penyakit penting pada manusiayang berkisar
pada infeksi kulit permukaan. Infeksi akibat streptococcus bias
dikaitkan dengan pelepasan toksin bakteri yang dapatmengakibatkan jejas pada pada jaringan. Adapun beberapa toksin
dari streptococcus asam lipoteikoat yang akan menyebabakan
pengikisan pada epitel, protein F akan menyebabkan adhesi
jaringan dan protein M dengan bentuk fibril dan berkapsul. Protein
M ini memiliki sifat mencegah fagositosis yang akan berakibat
penumpukan makrofag pada jaringan tersebut yang memberikan
gambaran adanya granuloma (Farokah et al, 2007).
b. Kultur dan Tes Sensitivitas
Penatalaksanaan dengan antimikroba sering gagal untuk
mengeradikasi kuman patogen dan mencegah kekambuhan infeksi
pada tonsil. Kegagalan mengeradikasi organisme patogen
disebabkan ketidaksesuaian pemberian antibiotika atau penetrasi
antibiotika yang inadekuat (Hammouda et al, 2009). Gold
-
7/22/2019 Laporan THT3
17/34
standard pemeriksaan tonsil adalah kultur dari dalam tonsil.
Berdasarkan penelitian Kurien di India terhadap 40 penderita
Tonsilitis Kronis yang dilakukan tonsilektomi, didapatkan
kesimpulan bahwa kultur yang dilakukan dengan swab permukaan
tonsil untuk menentukan diagnosis yang akurat terhadap flora
bakteri Tonsilitis Kronis tidak dapat dipercaya dan juga valid.
Kuman terbayak yang ditemukan yaitu Streptokokus beta
hemolitikus diukuti Staflokokus aureus ( Kurien, 2000).
c. Histopatologi
Penelitian yang dilakukan Ugras dan Kutluhan tahun 2008
di Turkey terhadap 480 spesimen tonsil, menunjukkan bahwa
diagnosa Tonsilitis Kronis dapat ditegakkan berdasarkan
pemeriksaan histopatologi dengan tiga kriteria histopatologi yaitu
ditemukan ringan- sedang infiltrasi limfosit, adanya Ugras abses
dan infitrasi limfosit yang difus. Kombinasi ketiga hal tersebut
ditambah temuan histopatologi lainnya dapat dengan jelas
menegakkan diagnosa Tonsilitis Kronis (Ugras, 2008).
Streptococcus
1. Morfologi: kokus berantai, tidak berflagel, tidak berspora, aerob,
fakultatif anaerob, gram positif
2. Kultur: suhu optimum 37oC (35-43oC), pH optimum 7,4 (7,2-7,6)
3. Koloni: bulat kecil, opalescenc3, cembung tepi rata, mukoid
4. Berdasarkan sifat hemolitiknya pada lempeng agar darah, kuman ini
dibagi dalam
a. Hemolisa tipe (Streptococcus viridians)
-
7/22/2019 Laporan THT3
18/34
Hemolisis tak sempurna atau sebagiandari kuman sehingga
diantara koloni tampak warna campuran antara jernih dan darah
b. Hemolisa tipe (Streptococcus hemolyticus)
Bila koloni kuman mampu menghemolisa total semua agar darah
di sekitarnya sehingga akan nampak jernih diantara koloni yang
satu dengan yang lain.
c. Hemolisa tipe (Streptococcus anhemolitycus)
Tidak terjadi hemolisis diantara kuman
5. Resistensi: mati pada suhu 600oC selama 30-60 menit, pada sputum
dan pus dapat hidup beberapa minggu (Asisten mikrobiologi, 2008)
F. Differential Diagnosis
1. Laringitis
Laringitis merupakan peradangan pada laring. Laringitis ini
dapat berupa laringitis akut atau laringitis kronis.
a. Laringitis akut
Laringitis akut merupakan peradangan yang umumnya
merupakan kelanjutan dari rinofaringitis (common cold). Laringitis
akut dapat menyebabkan timbulnya sumbatan jalan napas, terutama
pada anak sedangkan pada dewasa tidak secepat pada anak.
Laringitis akut disebabkan oleh peradangan lokal akibat bakteri
atau karna peradangan sistemik akibat infeksi virus.
Pada laringitis akut terdapat gejala radang umum seperti ;
demam, malaise, serta gejala lokal seperti ; suara parau sampai
tidak dapat bersuara, nyeri menelan atau berbicara. Selain itu juga
terdapat gejala lain seperti adanya sumbatan laring, batuk kering
-
7/22/2019 Laporan THT3
19/34
yang lama-kelamaan disertai dengan dahak kental. Pada
pemeriksaan tampak mukosa laring hiperemis, bengkak, terutama
di atas dan bawah pita suara, terdapat pula tanda radang akut di
hidung atau sinus paranasal atau paru.
Penatalaksanaan yang bisa dilakukan pada penderita
laringitis akut ini adalah dengan istirahat berbicara dan bersuara
selama 2-3 hari. Menghirup udara lembab, menghindari iritasi pada
faring dan laring. Sedangkan pemberian antibiotik dilaukan apabila
peradangan berasal dari paru. Bila terdapat sumbatan laring,dilakukan pemasangan pipa endotrakea aau trakeostomi.
b. Laringitis Kronis
Laringitis kronis merupakan radang kronis yang sering
disebabkan oleh sinusitis kronis, deviasi septum yang berat, polip
hidung atau bronkitis kronis. Mungkin juga disebabkan oleh
penyalahgunaan suara (vocale abuse) seperti berteriak-teriak atau
biasa berbicara keras. Pada peradangan seperti ini seluruh mukosa
laring iperemis dan menebal, dan terkadang pada pemeriksaan
patologik terdapat metaplasia skuamosa.
Gejala-gejala yang terdapat pada peradangan kronis ini
antara lain yaitu suara parau yang menetap, rasa tersangkut di
tenggorok, sehingga pasien sering mendehem tanpa mngeluarkan
sekret, karena mukosa yang menebal.
Pada pemeriksaan akan tampak mukosa menebal,
permukaannya tidak rata dan hiperemis. Bila terdapat daerah yang
dicurigai menyerupai tumor, maka perlu dibiopsi.
Penatalaksanaan yang terpenting untuk laringitis kronis
adalah mengobato peradangan di hidung, faring serta bronkus yang
mungkin menjadi penyebab laringitis kronis itu. Pasien diminta
untuk tidak banyak berbicara (vocal rest) (Rusmarjono et al, 2007).
-
7/22/2019 Laporan THT3
20/34
2. Faringitis
Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang dapat
disebabkan oleh virus(40-60%), bakteri (5-40%), alergi, trauma, toksin
dan lain-lain. Virus dan bakteri melakukan invasi ke faring dan
menimbulkan reaksi inflamasi local. Infeksi bakteri grup A
streptokokus hemolitikus dapat menyebabkan kerusakan jaringan
yang hebat dengan mengeluarkan toksin ekstraseluler yang dapat
menimbulkan demam reumatik, kerusakan katub jantung,
glomerulonefritis akut dengan terbentuknya kompleks antige-antibody.Bakteri ini sering menyerang anak usia sekolah, dengan penularan
infeksi melalui secret hidung dan ludah (droplet infection)
a. Faringitis akut
i. Faringitis viral
Rinovirus menimbulkan gejala rhinitis dan beberapa
hari kemudian akan menimbulkan faringitis. Gejala berupa
demam rinorea, mual, nyeri tenggorok, sulit menelan. Tampak
faring dan tonsil hiperemis. Terapi berupa istirahat dan minum
yang cukup. Kumur dengan air hangat, analgetik bila perlu dan
tablet isap.
ii. Faringitis bacterial
Infeksi bakteri grup A streptokokus hemolitikus
merupakan penyebab faringitis akut pada orang dewasa (15%)dan pada anak (30%). Gejala berupa nyeri kepala hebat,
muntah, kadang disertai demam dengan suhu tinggi, jarang
disertai batuk. Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar,
faring dan tonsil hiperemis dan terdapat eksudat di
permukaannya. Dapat timbul petechiae pada palattum dan
faring. Kelenjar limfa leher anterior membesar, kenyal dan
nyeri tekan. Terapi dengan antibiotic (peniscilin, amoksisilin,
-
7/22/2019 Laporan THT3
21/34
eritromisin), kortikosteroid(deksametason), analgetik, kumur
dengan air hangat atau antiseptik.
iii. Faringitis fungal
Candida dapat tumbuh di mukosa rongga mulut dan
faring. Gejala berupa keluhan nyeri tenggorok dan nyeri
menelan. Pada pemeriksaan tampak plak putih di orofaring dan
mukosa faring lainnya hiperemis. Terapi dengan menggunakan
Nystasin dan analgetika.
iv. Faringitis gonore
Hanya teerdapat pada pasien yang melakukan kontak
orogenital, terapi sefalosporin generasi 3, cetriakson.
b. Faringitis Kronik
Faktor predisposisi proses radang kronik pada faring ini
ialah rhinitis kronik, sinusitis, iritasi kronik oleh rokok, minuman
alcohol, inhalasi uap yang merangsang mukosa faring dan debu.
Bisa juga karena pasien yang biasa bernafas melalui mulut karena
hidungnya tersumbat.
i. Faringitis kronis hiperplastik
Terjadi perubahan mukosa dinding posterior faring.
Tampak kelenjar limfa di bawah mukosa faring dan lateralband hiperplasi. Pada pemeriksaan tampak mukosa dinding
posterior tidak rata dan bergranul. Pasien mengeluh mual-mual,
tenggorok kering, gatal dan akhirnya batuk yang bereak. Terapi
local dengan melakukan kaustik faring dengan memakai zat
kimia larutan nitras argenti atau dengan listrik (electrocouter).
Pengobaatan symptom dengan obat kumur atau tablet isap.
ii. Faringitis kronik atrofi
-
7/22/2019 Laporan THT3
22/34
Sering timbul bersamaan dengan rhinitis atrofi. Pada
rhinitis atrofi, udara pernafasan tidak diatur suhu dan
kelembapannya, sehingga menimbulkan rangsangan serta
infeksi pada faring. Gejala yang timbul, kerongkongan yang
kering dan tebal serta mulut berbau. Tampak mukosa faring
ditutupi lender kental dan bila diangkat mukosa tampak kering.
Terapi ditujukan pada rhinitis atrofinya ditambah obat kumur.
c. Faringitis spesifik
i. Faringitis leutika
Treponema paliidum dapat menimbulkan infeksi di
daerah faring dengan gambaran klinis tergantung stadium
penyakit primer, sekunder dan tersier. Diagnosis ditegakkan
dengan pemeriksaan serologic, terapi dengan penisilin dosis
tinggi.
Stadium primer: kelainan terdapat pada lidah, palatum
mole, tonsil dan dinding posterior faring berbentuk bercak
keputihan. Bila terus berlangsung dapat menimbulkan ulkus
tidak nyeri pada faring. Juga dapat terjadi pembesaran kelenjar
mandibula yang tidak nyeri tekan. Pada stadium sekunder
ditemukan eritema pada dinding faring yang menjalar kea rah
laring. Sementara pada stadium tertier terdapat guma,
predileksinya pada tonsil dan palatum
ii. Faringitis tuberculosis
Proses sekunder dari TB paru, pada infeksi kuman
tahan asam jenis bovanum dapat timbul TB faring primer.
Gejala anoreksia dan odinofagia, nyeri hebat pada tenggorok,
nyeri id telinga/otalgia serta pembesaran kelenjar limfa
cervical. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan sputum
-
7/22/2019 Laporan THT3
23/34
basil tahan asam. Terapi sesuai dengan terapi TB paru
(Rusmarjono et al, 2007).
3. Tonsilitis Akut
a. Tonsilitis viral
Gejalanya lebih menyerupai common cold yang disertai
rasa nyeri tenggorokan. Penyebab paling sering adalah virus
epstein barr. Hemofilus influenza merupakan penyebab tonsilitis
akut supuratif. Jika terjadi infeksi virus coxscahkie, maka pada
pemeriksaan rongga mulut akan tampak luka-luka kecil pada
palatum dan tonsil sangat nyeri di rasakan oleh pasien. Terapinya
dengan istirahat, minum cukup, analgetika dan antivirus bila
gejalanya berat.
b. Tonsilitis bakterial
Disebabkan kuman grup A streptokokus hemolitikus,
yang dikenal sebagai strep throat, pneumokokus, streptokokusviridian, dan streptokokus piogenes. Infiltrasi bakteri pada lapisan
epitel tonsil akan menimbulkan reaksi radang berupa keluarnya
leukosit PMN sehingga terbentuk detritus. Detritus merupakan
kumpulan leukosit, bakteri yang mati dan epitel yang lepas. Secara
klinis, detritus ini mengisi kriptus tonsil dan tampak sebagai bercak
kuning.
Bentuk tonsilitis akut dengan detritus yang jelas disebuttonsilitis folikularis. Jika bercak bercak detritus menjadi satu
membentuk alur-alur maka terjadi tonsilitis lakunaris. Bercak
detritus ini juga dapat melebar sehingga terbentuk membran semu
(pseudomembrane) yang menutupi tonsil.
Penyakit ini memiliki masa inkubasi 2-4 hari. Gejala dan
tanda yang sering ditemukan adalah nyeri tenggorok dan nyeri
waktu menelan, demam dengan suhu tubuh yang tinggi, rasa lesu,
-
7/22/2019 Laporan THT3
24/34
rasa nyeri disendi-sendi, tidak nafsu makan, dan otalgia. Rasa nyeri
ditelinga ini karena nyeri alih (referred pain) melalui saraf
glosofaringeus (N IX).
Pada pemeriksaan tampak tonsil membengkak, hiperemis,
dan terdapat detritus berbentuk folikel, lakuna atau tertutup
membran semu. Kelenjar submandibula membengkak dan nyeri
tekan. Terapinya dengan antibiotika spektrum lebar penisilin,
eritomisin. Antipiretik dan obat kumur yang mengandung
desinfektan. Komplikasi yang ditimbulkqn antara lain pada anakmenimbulkan otitis media akut, sinusitis, abses peritonsil (quinsy
throat), abses parafaring, bronkitis, glomerulonefritis akut,
miokarditis, artritis, dan septikemia akibat infeksi v.jugularis
interna (sindrom Lemierre).
Akibat hipertrofi tonsil menyebabkan pasien bernapas
melalui mulut, tidur mendengkur (ngorok), gangguan tidur akibat
terjadinya sleep apnea yang dikenal sebagai OSAS (Obstructive
Sleep Apnea Syndrome)
4. Tonsilitis Membranosa
a. Tonsilitis difteri
Penyebabnya adalah kuman Coryne bacterium diphteriae.
Tidak semua orang terinfeksi oleh kuman ini akan menjadi sakit.
Keadaan ini tergantung titer antitoksin dalam darah seseorang.
Titer antitoksin sebesar 0,03 satuan per cc darah dapat dianggap
cukup memberikan dasar imunitas.
Tonsilitis difteri sering ditemukan pada anak berusia kurang
dari 10 tahun dan frekuensi tertinggi pada usia 2-5 tahun walaupun
pada dewasa masih mungkin dapat menderita penyakit ini
Gejala dan tanda :
Gejala umum
-
7/22/2019 Laporan THT3
25/34
Kenaikan suhu tubuh biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu
makan, badan lemah, nadi lambat, dan keluhan nyeri menelan.
Gejala lokal
Tampak tonsil membengkak ditutupi bercak putih kotor yang
makin lama makin meluas membentuk membran semu. Membran
semu ini dapat meluas ke palatum mole, uvula, nasofaring, laring,
trakea, dan bronkus dan dapat menyumbat saluran napas. Bila
penyakit ini terus berlangsung, kelenjar limfe leher akan membesar
sehingga leher menyerupai leher sapi (bull neck)
Gejala akibat eksotoksin
Terjadi kerusakan jaringan tubuh, yaitu pada jantung dapat terjadi
miokarditis sampai decompensatio cordis, mengenai saraf kranial
menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot-otot pernapasan
dan pada ginjal menyebabkan albuminuria.
Penegakan diagnosis dilakukan berdasarkan gambaran
klinik dan pemeriksaan preparat langsung kuman yang diambil dari
pemukaan bawah membran semu dan didapatkan kuman
Corynebacterium diphteriae. Terapi yang diberikan yaitu anti
difteri serum (ADS) diberikan segera tanpa menunggu hasil kultur,
antibiotik penisilin atau eritomisin, kortikosteroid, dan antipiretik.
Karena penyakit ini menular, pasien harus diisolasi. Perawatan
harus tidur ditempat tidur selama 2-3 minggu.
Laringitis difteri dapat berlangsung cepat, membran semu
menjalar ke laring dan menyebabkan gejala sumbatan. Makin
muda usia pasien, makin cepat timbul komplikasi ini. Miokarditis
dapat menyebabkan payah jantung atau decompensatio cordis.
Kelumpuhan otot palatum mole, otot mata untuk akomodasi, otot
faring serta laring sehingga menimbulkan kesulitan menelan, suara
-
7/22/2019 Laporan THT3
26/34
parau dan kelumpuhan otot-otot pernapasan. Albuminuria sebagai
akibat komplikasi ke ginjal.
b. Tonsilitis septik
Penyebabnya adalah streptokokus hemolitikus yang terdapat
dalam susu sapi sehingga dapat timbul epidemi. Oleh karena di
Indonesia susu sapi dimasak terlebih dahulu dengan cara
pasteurisasi sebelum diminum, maka penyakit ini jarang ditemukan
(Rusmarjono et al, 2007).
5. Abses Retrofaring
Biasanya abses retrofaring ditemukan pada anak berusia di
bawah 5 tahun karena terisinya kelenjar limfemasing-masing 2-5 buah
di kanan dan kiri. kelenjar limfa ini menampung limfa dari hidung,
sinus paranasal, telinga tengah, nasofaring, dan tuba Eustachii.
Penyebab penakit ini biasanya karena infeksi saluran nafas atas yang
menyebabkan limfadenitis, trauma, maupun tuberkulosis.
Gejala utamanya adalah rasa nyeri dan sukar menelan. Dapat
timbul pula demam, leher kakudan nyeri, serta sesak nafas karena
adanya sumbatan pada jalan nafas. Bila proses berlanjut dapat
menyebabkan stridor. Stridor muncul karena adanya sumbatan laring
sehingga sewaktu inspirasi sewaktu tidur menimbulkan suara
mengorok. Sumbatan oleh abses juga dapat mengganggu resonansi
suara sehingga terjadi perubahan suara. Benjolan unikateral, mukosa
hiperemis dan bengkak.
Penegakkan diagnosis terutama melihat dari anamnesis apakah
ada riwayat trauma atau infeksi saluran nafas atas. Pada foto rontgen
akan terlihat adanya pelebaran ruang retrofaring lebih dari 7 mm pada
anak dan dewasa serta pelebaran retrotrakeal sebesar 14 mm pada anak
dan lebih dari 22 mm pada dewasa.
-
7/22/2019 Laporan THT3
27/34
Terapi yang diberikan dibagi menjadi terapi medikamentosa
dan operatif. Terapi medikamentosa meliputi pemberian antibiotika
dosis tinggi untuk kuman aerob dan anaerob secara parenteral. Selain
itu dilakukan pungsi dan insisi abses melalui laringoskop langsung
dalam posisi pasien baring Trendelnburg. Pus yang keluar akan dihisap
sehingga tidak terjadi aspirasi. Tindakan ini dilakukan dengan
anesthesia local ataupun umum (Rusmarjono et al, 2007).
G. Penatalaksanaan
1. Medikametosa
Terapi faringitis terutama disebabkan oleh streptokokus
hemolitikus meliputi pemberian Penicillin G Banzatin 50.000 U/kgBB,
pemberian secara IM dosis tunggal atau amoksisilin 50 mg/kgBB dosis
dibagi 3 kali/hari selama 10 hari dan pada dewasa 3x500 mg selama 6-
10 hari atau eritromisin 4x500 mg/hari. Kortikosteroid Deksametason
8-16 minggu, pemberian secara IM 1x. Pada anak 0,08-0,3 mg/kgBB,
pemberian secara IM 1x. Analgetika Kumur dengan air hangat atau
antiseptik (Price&Wilson,2006).
2. Bedah
a. Indikasi Adenoidektomi
i. Sumbatan
Sumbatan hidung yang menyebabkan bernapas lewat mulut
Sleep apnea
Gangguan menelan
Gangguan berbicara
Kelainan bentuk wajah muka dan gigi (adenoid face)
-
7/22/2019 Laporan THT3
28/34
ii. Infeksi
Adenoiditis berulang/kronik
Otitis media efusi berulang/krronik
Otitits media akut berulang
iii. Kecurigaan neoplasma jinak atau ganas (Rusmarjono et al,
2007)
b. Indikasi Tonsilektomi
i. Sumbatan
Hiperplasia tonsil dengan sumbatan jalan napas
Sleep apnea
Gangguan menelan
Gangguan berbicara
Cor pulmonale
ii. Infeksi
Infeksi telinga tengah berulang
Rinitis dan sinusitis yang kronis
Peritonsiler abses
Abses kelenjar limfa leher berulang
Tonsilitis kronik dengan gejala nyeri tenggorok yang
menetap
-
7/22/2019 Laporan THT3
29/34
Tonsilitis kronik dengan napas bau
Tonsil sebagai fokal infeksi dari organ tubuh lainnya
iii. Kecurigaan adanya tumor jinak atau ganas (Rusmarjono
etal, 2007).
-
7/22/2019 Laporan THT3
30/34
BAB III
PEMBAHASAN
Dalam skenario kali ini pasien dengan usia 5 tahun merupakan faktor resiko
terjadinya infeksi karena pada usia ini anak-anak sangat senang memasukkan
benda-benda yang tidak bersih dan steril ke dalam mulut mereka yang
mengakibatkan mudahnya terjadi infeksi. Sedangkan penyebab pasien merasa
sakit saat menelan adalah telah terjadinya reaksi inflamasi atau peradangan pada
jalan yang akan dilewati oleh bolus makanan seperti pada pharing ataupun telah
terjadi peradangan pada tonsila palatine pasien. Mukosa faring yang hiperemis
menunjukkan adanya peradangan, dimungkinkan karena infeksi sudah menjalar ke
faring. Plica vocalis yang oedem dan hiperemi juga mengindikasikan kalo infeksi
sudah menjalar ke laryng. Adanya tonsil fibrosis disebabkan oleh infeksi berulang
sehingga akan terjadi fibrolisasi tonsil yaitu sebagian jaringan tonsil akan rusak
dan digantikan oleh jaringan ikat. Karena adanya fibrosis, kripta akan melebar danpermukaan tonsil menjadi tidak rata dan berbenjol-benjol. Detritus adalah
kumpulan dari leukosit, bakteri yang mati, dan epitel yang lepas. Secara klinis,
detritus akan mengisi kripta tonsil dan membentuk bercak putih kekuningan.
Detritus dapat dilihat ketika tonsil ditekan dengan spatula. Tonsila palatine
merukan salah satu annulus waldeyer atau cincin pertahanan yang ada pada
tubuh manusia. Kemungkinan peradangan ini telah terjadi lama atau kronis,
karena pada pemeriksaan pharing didapatkan gambaran tonsil mengalami fibrosis
yang merupakan akibat dari penumpukan sel-sel makrofag yang telah lama pada
epitel tonsil. Peradangan pada tonsil ini akan menyebabkan pembesaran pada
tonsil itu sendiri. Pembesaran tonsil ini juga dicurigai penyebab pasien sering
tidur mengorok.
Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang disebabkan oleh virus,
bakteri, alergi, trauma, toksin dan lain-lain. Bakteri yang biasanya menginfeksi
adalah bakteri grup A Streptokokus hemolitikus. Bakteri ini banyak menyerang
-
7/22/2019 Laporan THT3
31/34
anak usia sekolah, orang dewasa dan jarang pada anak umur kurang dari 3 tahun.
Penularan infeksi melalui sekret hidung dan ludah (droplet infection). Pada
pemeriksaan laboratorium didapatkan pemeriksaan ASTO (+) yang
mengindikasikan telah terjadinya infeksi bakteri streptococcus hemolitikus.
Penatalaksanaan pada kasus ini adalah jika memang telah terbukti terjadi
infeksi streptococcus hemolitikus maka sebaiknya diberikan antibiotic seperti
penicillin ataupun amoksisilin dengan tetap memperhatikan kaidah penggunaan
antibiotic yang tepat. Selain itu berkumur dengan air hangat dan istirahat yang
cukup akan menjadikan kondisi lebih baik. Penyakit ini kemungkinan besar dapat
diobati jika mendapat penanganan dini dan adekuat.
-
7/22/2019 Laporan THT3
32/34
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan gejala klinis dan hasil pemeriksaan yang ada pada skenario,
dapat ditarik beberapa diagnosis banding, yaitu faringitis, laringitis, tonsilitis
akut, tonsilitis membranosa, dan abses retrofaring. Sehingga untuk
penegakan diagnosis dan pemberian terapi yang tepat, diperlukan
pemeriksaan penunjang yang lain.
B. Saran
Untuk mengetahui diagnosis pasien yang lebih spesifik dan tepat, perlu
dilakukan pemeriksaan penunjang.Pemilihan pemeriksaan penunjang yang
benar dan penegakan diagnosa yang tepat akan sangat berpengaruh terhadap
penatalaksanaan pada pasien.
-
7/22/2019 Laporan THT3
33/34
DAFTAR PUSTAKA
Asisten Mikrobiologi. 2008. Teks & Atlas Mikrobiologi. Surakarta: Kesuma.
Byron J. Head and Neck. 2001. Surgery Otolaryngology 3rd edition. USA:
Lippincot William & Willkins Publisher.
Farokah, Suprihati, Suyitno S., 2007. Hubungan Tonsilitis Kronis dengan Prestasi
Belajar pada Siswa Kelas II Sekolah Dasar di Kota Semarang. Dalam:
Riyanto W.B., 2007. Cermin Dunia Kedokteran No. 155 (THT), Jakarta.
34 (2).
Hammouda, Mostafa, 2009, Chronic Tonsillitis Bacteriology in Egyptian
Children Including Antimicrobial Susceptibility, Department of ENT,
Department of Medical Microbiology and Immunology,Faculty of
Medicine, Cairo University and Department of Pediatrics, Research
Institute of Ophthalmology, Giza, Egypt, Australian Journal of Basic and
Applied Sciences , 3(3): 1948-1953.
Kartosoediro, Soerjadi. Rusmarjono. 2007. Odinofagia dalam Soepardi, Efiaty A.
Iskandar, Nurbaity.Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala & Leher Edisi Keenam. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Kurien,M, 2000, Throat Swab in the Chronic Tonsillitis: How Reliable and Valid
is it?, Department of ENT Speech & Hearing, Microbiology, Medicine
and Clinical Epidemiology Christian Medical College & Hospital
Vellore, Tamilnadu 632004 India, Singapore Med J 2000 Vol 41(7):324-
326.
Price. A. Sylvia, Wilson. M. Lorraine. 2006. Patofisiologi volume 1 Edisi 6.
Jakarta: EGC.
repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31365/4/Chapter%20II.pdf diakses
tanggal 11 September 2013
repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31365/5/Chapter%20II.pdf diakses
tanggal 11 September 2013
-
7/22/2019 Laporan THT3
34/34
Richard L. Drake, Adam W.M. Mitchell, Wayne Vogl. 2007. Grays Anatomy
For Students 2nd edition. London: Churchill Livingstone.
Rusmarjono. Soepardi, Elfiaty Arsyad. 2007. Faringitis, Tonsilitis, dan Hipertrofi
Adenoid dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung, Tenggorok,
Kepala dan Leher edisi keenam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
Soepardi, Elfiaty Arsyad. 2007. Kesulitan Menelan dalam Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher edisi keenam.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI
www.usu.ac.id/id/files/pidato/ppgb/2007/ppgb_2007_abdul_rac
hman.pdf diakses tanggal 11 September 2013
http://www.abebooks.com/author/Richard+L.+Drake/11568956/http://www.abebooks.com/author/Adam+W.M.+Mitchell/10108350/http://www.abebooks.com/author/Wayne+Vogl/11568957/http://www.usu.ac.id/id/files/pidato/ppgb/2007/ppgb_2007_abdul_rachman.pdfhttp://www.usu.ac.id/id/files/pidato/ppgb/2007/ppgb_2007_abdul_rachman.pdfhttp://www.usu.ac.id/id/files/pidato/ppgb/2007/ppgb_2007_abdul_rachman.pdfhttp://www.usu.ac.id/id/files/pidato/ppgb/2007/ppgb_2007_abdul_rachman.pdfhttp://www.usu.ac.id/id/files/pidato/ppgb/2007/ppgb_2007_abdul_rachman.pdfhttp://www.usu.ac.id/id/files/pidato/ppgb/2007/ppgb_2007_abdul_rachman.pdfhttp://www.usu.ac.id/id/files/pidato/ppgb/2007/ppgb_2007_abdul_rachman.pdfhttp://www.usu.ac.id/id/files/pidato/ppgb/2007/ppgb_2007_abdul_rachman.pdfhttp://www.usu.ac.id/id/files/pidato/ppgb/2007/ppgb_2007_abdul_rachman.pdfhttp://www.usu.ac.id/id/files/pidato/ppgb/2007/ppgb_2007_abdul_rachman.pdfhttp://www.usu.ac.id/id/files/pidato/ppgb/2007/ppgb_2007_abdul_rachman.pdfhttp://www.abebooks.com/author/Adam+W.M.+Mitchell/10108350/http://www.abebooks.com/author/Wayne+Vogl/11568957/http://www.usu.ac.id/id/files/pidato/ppgb/2007/ppgb_2007_abdul_rachman.pdfhttp://www.usu.ac.id/id/files/pidato/ppgb/2007/ppgb_2007_abdul_rachman.pdfhttp://www.abebooks.com/author/Richard+L.+Drake/11568956/