silikosis perusahaan

Upload: boy-harry

Post on 19-Feb-2018

230 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 7/23/2019 silikosis perusahaan

    1/20

    5

    Bab II Tinjauan Pustaka

    2.1 Debu

    Debu (partikel) dalam udara dapat bersumber peristiwa alamiah ataupun kegiatan

    manusia dalam mengembangkan teknologi, terutama di bidang industri. Partikel

    yang mencemari udara terdiri atas berbagai macam tergantung pada jenis dan

    kegiatan industri serta teknologi yang ada. Secara umum partikel yang mencemari

    udara dapat merusak lingkungan, tanaman, hewan dan manusia sehingga dapat

    sangat merugikan kesehatan manusia. Pada umumnya udara yang telah tercemar

    oleh partikel dapat menimbulkan berbagai macam penyakit saluran pernapasan

    ataupneumoconiosis(Olishifski dan McElroy, 1971).

    Menurut Yunus (1997), dalam dosis besar semua debu bersifat merangsang dan

    dapat menimbulkan reaksi tubuh walaupun ringan. Reaksi itu berupa produksi

    lendir secara berlebihan dan bila terus berlangsung dapat terjadi hiperplasi

    kelenjar mukus. Jaringan paru juga dapat berubah dengan terbentuknya jaringan

    ikat retikulin. Penyakit paru ini disebut pneumoconiosisnonkolagen. Sedangkan

    debu fibrogenik dapat menimbulkan reaksi jaringan paru sehingga terbentuk

    jaringan parut (fibrosis). Penyakit ini disebutpneumoconiosiskolagen. Termasuk

    jenis ini adalah debu silika bebas (SiO2), batubara, dan asbes.

    Debu yang masuk ke dalam saluran napas, menyebabkan timbulnya reaksi

    mekanisme pertahanan nonspesifik berupa batuk, bersin, gangguan transport

    mukosilier dan fagositosis oleh makrofag. Otot polos di sekitar jalan napas dapat

    terangsang sehingga menimbulkan penyempitan. Keadaan ini terjadi jika kadar

    debu melebihi nilai ambang batas (Pudjiastuti, 2002).

    2.1.1 Penyakit Akibat Debu

    Partikel debu yang masuk ke dalam alveoli akan berkumpul di bagian awal

    saluran limfe paru-paru. Debu ini akan difagositosis oleh makrofag. Debu yang

    bersifat toksik terhadap makrofag seperti silika bebas menyebabkan terjadinya

    autolisis. Makrofag yang lisis bersama silika bebas merangsang terbentuknya

  • 7/23/2019 silikosis perusahaan

    2/20

    6

    makrofag baru, sehingga makrofag tersebut memfagositosis silika bebas kemudian

    terjadi autolisis kembali. Pembentukan dan destruksi makrofag yang terus

    menerus berperan penting pada pembentukan jaringan ikat kolagen dan

    pengendapan hialin pada jaringan ikat tersebut. Fibrosis ini terjadi pada parenkim

    paru, yaitu pada dinding alveoli dan jaringan interstisial (Yunus, 1997).

    Pneumoconiosisadalah penyakit saluran pernapasan yang disebabkan oleh adanya

    partikel (debu) yang masuk atau mengendap di dalam paru-paru.Pneumoconiosis

    terdiri atas beberapa jenis, tergantung dari jenis partikel (debu) yang masuk atau

    terhisap ke dalam paru-paru. Beberapa contohpneumoconiosisantara lain:

    a. Silicosis

    Silicosisdisebabkan oleh debu silika bebas, berupa SiO2, yang terhisap masuk ke

    dalam paru-paru kemudian mengendap. Debu silika bebas ini banyak terdapat di

    pabrik besi dan baja, keramik, pengecoran beton, bengkel yang mengerjakan besi

    (mengikir, menggerinda, dll). Selain dari itu, debu silika juga banyak terdapat di

    tempat penampang bijih besi, timah putih dan tambang batubara. Pemakaian

    batubara sebagai bahan bakar juga banyak menghasilkan debu silika bebas SiO2.

    Pada saat dibakar, debu silika akan keluar dan terdispersi ke udara bersama-sama

    dengan partikel lainnya, seperti oksida besi dan karbon dalam bentuk abu.

    Debu silika yang masuk ke dalam paru-paru akan mengalami masa inkubasi

    sekitar 2 sampai 4 tahun. Masa inkubasi ini akan lebih pendek apabila konsentrasi

    silika di udara cukup tinggi dan terhisap ke paru-paru dalam jumlah banyak

    sehingga gejala penyakit silicosis akan segera tampak. Silicosisditandai dengansesak nafas yang disertai batuk tidak berdahak. Pada silicosis tingkat sedang,

    perubahan struktur paru-paru mudah sekali terlihat dengan pemeriksaan foto

    toraks. Silicosis tingkat berat ditandai dengan sesak nafas kemudian diikuti

    dengan hipertropi jantung sebelah kanan yang akan mengakibatkan kegagalan

    kerja jantung. Dari semua pneumoconiosis, silicosis merupakan penyakit yang

    terparah. Hal ini disebabkan silicosis bersifat progresif, artinya jika pajanan

    dihentikan makapneumoconiosistetap akan berlanjut (Yunus, 1997).

  • 7/23/2019 silikosis perusahaan

    3/20

    7

    b. Asbestosis

    Asbestosis adalah penyakit akibat kerja yang disebabkan oleh debu atau serat

    asbes yang mencemari udara. Asbes adalah campuran dari berbagai macam

    silikat, namun yang paling utama adalah Magnesium Silikat. Asbes dapat

    menyebabkan tumor pada pleura yang disebut mesotelioma. Mesoteliomabersifat

    ganas, tidak dapat disembuhkan dan biasanya terjadi setelah pemaparan selama

    30-40 tahun (Medicastore, 2004). Debu asbes banyak dijumpai pada pabrik dan

    industri yang menggunakan asbes, pabrik pemintalan serat asbes, pabrik beratap

    asbes dan lain sebagainya.

    c. Bissynosis

    Bissynosis adalah penyakit pneumoconiosis yang disebabkan oleh pencemaran

    debu kapas atau serat kapas di udara yang kemudian terhisap ke dalam paru-paru.

    Debu kapas atau serat kapas ini banyak dijumpai pada pabrik pemintalan kapas,

    pabrik tekstil, perusahaan dan pergudangan kapas. Dalam konsentrasi kecil

    bissynosisadalah reversibel.

    d. Anthracosis

    Anthracosis adalah penyakit saluran pernapasan yang disebabkan oleh debu

    karbon (anthracit).Anthracitbersifat inert dengan kata lain hampir tidak bereaksi

    dengan paru-paru (Antaruddin, 2003). Penyakit ini biasanya dijumpai pada

    pekerja-pekerja tambang batubara atau pada pekerja-pekerja yang banyak

    melibatkan penggunaan batubara, seperti pemasok batubara pada tanur besi,

    lokomotif (stoker) dan juga pada kapal laut bertenaga batubara, serta pekerja

    boilerpada pusat listrik tenaga uap berbahan bakar batubara.

    2.1.2 Silika

    Silika adalah salah satu komponen alamiah penyusun batuan di bumi serta

    merupakan komponen utama pasir dan granit. Silika merupakan senyawa kimia

    silikon dioksida (SiO2) yang dapat ditemukan dalam bentuk kristalin atau non-

    kristalin (amorph). Kristalin silika terdiri atas banyak bentuk, namun bentuk yang

    utama adalah quartz, cristobalite, dan tridymite sedangkan struktur amorph

  • 7/23/2019 silikosis perusahaan

    4/20

    8

    ditemukan dalam bentuk opal, flint,kaca silica, diatomaceous earthdan vitreous

    silica (NIOSH, 2002).

    Quartzdapat ditemukan dalam 2 sub-polymorphyaitu -quartzdan -quartzatau

    low quartz dan high quartz. Berdasarkan kedua bentuk tersebut -quartz yang

    paling sering ditemukan, sedangkan -quartz hanya ditemukan stabil pada

    temperatur 570o C. Jika terjadi pendinginan -quartz akan berubah menjadi -

    quartz. Pajanan quartz yang paling ekstrim dalam bentuk debu respirabel

    dihasilkan dari proses penghalusan, sandblasting, dan proses pencampuran.

    Aktivitas seperti penempaan, pemotongan, pencampuran, pengeboran logam dan

    batuan selalu dihubungkan dengan paparan terhadap debu silika. Kandungan

    quartzsangat bervariasi tergantung dari tipe batuan, sebagai contoh granite dapat

    mengandung 10-40% quartz dan sand stones dapat kurang lebih 70% quartz.

    Cristobalitedan tridymiteditemukan dalam batuan dan tanah yang dihasilkan dari

    proses alam dan industri yang melakukan pemanasan terhadap silika amorph

    dengan temperatur lebih dari 1000o C (NIOSH, 2002).

    Kristalin silika dapat masuk ke dalam tubuh melalui inhalasi dan dapat

    menyebabkan fibrosis paru-paru. Sampel udara dikumpulkan melalui alat yang

    disebut personal sampling pump yang dipasang di zona pernapasan untuk

    memastikan bahwa pajanan terhadap silika masih di bawah nilai ambang batas

    (NAB). NAB silika sangat tergantung dari jumlah persentase silika bebas di udara.

    NAB debu respirabel yang mengandung silika dinyatakan dalam millions of

    particles per cubic footof airatau dikenal dengan mppcf. Standar ini diterapkan

    dalam industri konstruksi dengan metode sampling impinger sebagai alatsampling. NAB dinyatakan dalam Persamaan 2.1 (Soemirat, 2006):

    (2.1)

    Bagaimanapun penerapan impinger sebagai alat sampling dengan cara

    menghitung partikel debu cukup rumit, sehingga pada umumnya berbagai industri

    C (mppcf) =250

    5 + % Silika bebas dalam debu

  • 7/23/2019 silikosis perusahaan

    5/20

    9

    lebih memilih metode sampling gravimetrik (Graham, 2007). Metode sampling

    secara gravimetrik dapat digunakan untuk berbagai industri termasuk industri

    konstruksi. Berbagai penelitian telah dilakukan dan hasilnya menyatakan bahwa

    rumus penghitungan NAB untuk kedua metode ini sebanding (Sheehy, 2006).

    NAB atau PEL (Permissible Exposure Limit) silika untuk berbagai industri diukur

    dalam satuan miligram per meter kubik (mg/m3) dinyatakan dengan Persamaan

    2.2 (NIOSH, 2002).

    (2.2)

    2.1.3 Analisis Debu Silika

    Terdapat beberapa metode yang dapat digunakan dalam menganalisis suatu

    sampel yang mengandung silika. Namun demikian, yang paling banyak digunakan

    adalah metode X-ray Diffraction Spectrometry (XRD), Infrared Spectrometry

    (IR), dan Colorimetric Spectrofotometry. XRD dan IR merupakan teknik yang

    paling sering digunakan mengalisis silika, namun akurasi teknik ini rendah,

    terutama jika jumlah sampel yang sedikit (NIOSH, 2002).

    2.1.3.1X-ray Diffraction Spectrometry(XRD)

    Sekitar 95% semua material padat didapatkan dalam struktur kristalin. Ketika X-

    ray mengenai substansi kristalin, maka setiap kristalin tersebut akan memiliki pola

    difraksi. Pada tahun 1919 A. W. Hull membuat paper berjudul " A New Method of

    Chemical Analysis". Pada makalah ini dia menuliskan bahwa ".....setiap substansi

    kristalin akan membentuk pola; substansi yang sama selalu memberikan pola

    difraksi yang sama; dan di dalam campuran dari banyak substansi, setiap substansi

    akan menghasilkan pola yang berbeda dengan substansi lainnya" (Scintag, 1999).

    Ketika X-ray mengenai sebuah atom, elektron yang ada di sekitar atom mulai

    bergetar sesuai dengan frekuensi sinar yang datang. Dalam hampir semua arah

    akan didapatkan pencampuran tidak teratur yang merupakan gelombang campuran

    keluar fase dan tidak ada energi resultan yang meninggalkan sampel padat. Atom

    Respirable PEL (mg/m3) =10

    2 + % SiO2

  • 7/23/2019 silikosis perusahaan

    6/20

    10

    yang ada di dalam kristal diubah menjadi pola yang teratur, dan dalam beberapa

    arah akan didapatkan pencampuran yang teratur. Gelombang tersebut akan berada

    dalam fasenya sehingga dapat diartikan X-ray akan meninggalkan sampel ke arah

    yang berbeda. Setelah itu sinar yang terdifraksi dapat dideskripsikan sebagai sinar

    yang merupakan campuran dari sejumlah besar sinar yang terpisah dan saling

    menguatkan satu sama lain (Scintag, 1999).

    Pola difraksi X-ray dari suatu substansi memiliki ciri-ciri khusus sehingga dapat

    diartikan sebagai "sidik jari" dari substansi tersebut. XRD biasa digunakan untuk

    memisahkan struktursingle crystaldanpolycrystallinedalam suatu sampel padat

    sehingga dapat digunakan untuk mengkarakterisasi campuran material padat,

    contohnya quartz(SiO2) dan asbes (Scintag, 1999).

    XRD adalah suatu metode untuk mengetahui kandungan kristalin silika. XRD

    mampu membedakan 3 bentuk utama senyawa kristalin silika (quartz,

    cristobalite, dan tridymite) dan secara simultan dapat menganalisis struktur

    polymorphdalam suatu sampel (NIOSH, 2002).

    2.1.3.2Infrared Spectrometry (IR)

    Teknik lain yang digunakan dalam menganalisis kristalin silika adalah IR-

    spectrometry (NIOSH, 2002). Walaupun metode ini tidak mampu untuk

    membedakan macam-macam bentuk dari kristalin silika (Sheehy, 2006). Teknik

    ini lebih murah dan cukup baik dalam mengukur kristalin silika. Teknik ini lebih

    murah dibandingkan XRD dan cukup baik dalam mengukur quartzdalam suatu

    sampel. Sampel yang mengandung silikat (seperti kaolinite) dan silika amorphdapat menyebabkan gangguan dalam analisis.

    2.1.3.3 Colorimetric Spectrofotometry

    Teknik ini digunakan sebagai alternatif untuk mengetahui kandungan silika dalam

    suatu sampel. Teknik ini merupakan teknik yang paling murah dibandingkan

    dengan XRD dan IR. Metode colorimetric spectrofotometry tidak dapat

  • 7/23/2019 silikosis perusahaan

    7/20

    11

    membedakan antara silika dan silikat, hal ini dikarenakan pengukuran hanya

    berdasarkan kandungan silikon (NIOSH, 2002).

    2.2 Sistem Pernapasan

    Pernapasan adalah peristiwa menghirup udara dari luar yang mengandung oksigen

    ke dalam tubuh serta mengh embuskan udara yang banyak mengandung CO2

    sebagai sisa oksidasi ke luar tubuh. Secara garis besar sistem pernapasan terdiri

    dari paru-paru dan susunan saluran yang menghubungkan paru-paru dengan yang

    lainnya, yaitu hidung, faring, laring, trakea dan bronkus (Gambar 2.1).

    Gambar 2.1 Sistem Pernapasan Manusia

    2.2.1 Alat Pernapasan

    Macam-macam alat pernapasan antara lain (BSW, 2000) :

    a. Hidung

    Hidung merupakan saluran udara yang pertama yang mempunyai dua lubang

    dipisahkan oleh septum nasal. Di dalamnya terdapat rambut-rambut untuk

    menyaring udara, debu dan kotoran. Selain itu terdapat juga konka nasalis

  • 7/23/2019 silikosis perusahaan

    8/20

    12

    inferior, konka nasalis posterior dan konka nasalis media yang berfungsi untuk

    menghangatkan udara.

    b. Faring

    Faring merupakan tempat persimpangan antara jalan pernapasan dan jalan

    makanan. Faring terletak di belakang rongga hidung, dan mulut sebelah depan

    ruas tulang leher. Di bawah selaput lendir terdapat jaringan ikat, juga di beberapa

    tempat terdapat folikel getah bening.

    c. Laring

    Laring merupakan saluran yang terletak di depan bagian faring sampai ketinggian

    vertebrae servikalisdan masuk ke dalam trakea di bawahnya. Laring dilapisi oleh

    selaput lendir, kecuali pita suara dan bagian epiglotis yang dilapisi oleh sel

    epitelium berlapis.

    d. Trakea

    Trakea merupakan saluran lanjutan dari laring yang dibentuk oleh 16 20 cincin

    yang terdiri dari tulang rawan yang berbentuk seperti tapal kuda yang berfungsi

    untuk mempertahankan jalan napas agar tetap terbuka. Sebelah dalam diliputi oleh

    selaput lendir yang berbulu getar yang disebut sel bersilia, yang berfungsi untuk

    mengeluarkan benda asing yang masuk bersama-sama dengan udara pernapasan.

    e. Bronkus

    Bronkus merupakan lanjutan dari trakea, ada 2 buah yang terdapat pada

    ketinggian vertebra torakalis IV dan V. Bronkus mempunyai struktur serupadengan trakea dan dilapisi oleh jenis sel yang sama. Bronkus kanan lebih besar

    dan lebih pendek daripada bronkus kiri, terdiri dari 6 8 cincin dan mempunyai 3

    cabang. Bronkus kiri terdiri dari 9 12 cincin dan mempunyai 2 cabang. Cabang

    bronkus yang lebih kecil dinamakan bronkiolus sedangkan pada ujung bronkus

    terdapat gelembung paru yang disebut alveoli.

  • 7/23/2019 silikosis perusahaan

    9/20

    13

    f. Paru-paru

    Paru-paru merupakan alat tubuh yang sebagian besar dari terdiri dari gelembung-

    gelembung alveoli. Pada tempat ini terjadi pertukaran gas antara O2dan CO2.

    2.2.2 Volume Paru-Paru

    Pertukaran gas akan berbeda pada keadaan atau kondisi kerja fisik yang berbeda,

    maka pengembangan volume alveoli berbeda dikenal berbagai volume paru-paru.

    Pengetahuan tentang berbagai volume paru-paru digunakan untuk evaluasi fungsi

    paru-paru pada berbagai kondisi kesehatan (Setiadji et al., 1981). Volume paru-

    paru dibagi menjadi beberapa macam antara lain (Gambar 2.2):

    Tidal Volume (TV) adalah volume udara yang masuk dan keluar selama

    pernapasan normal. Volume tidal volumekurang lebih 500 ml.

    Expiratory Reserve Volume (ERV) adalah volume cadangan udara yang

    dikeluarkan setelah tidal volume. Volume ERV kurang lebih 1000 ml.

    Inspiratory Reserve Volume (IRV) adalah volume udara yang dapat

    diinspirasi secara penuh setelah tidal volume. Volume IRV kurang lebih

    3000 ml.

    Residual Volume (RV) adalah volume udara yang tersisa di paru-paru

    setelah ekspirasi maksimal. Udara di dalam paru-paru jumlahnya tidak

    pernah kosong. Volume RV kurang lebih 1500 ml.

    Vital Capacity (VC) adalah volume udara yang dapat dikeluarkan oleh

    seseorang setelah menghirup udara secara maksimal. Volumenya sekitar

    4500 ml atau sama dengan penjumlahan antara ERV + TV + IRV.

    Total Lung Capacity(TLC) adalah volume total udara yang dapat tertahan

    di paru-paru. Nilainya kurang lebih 6000 ml atau setara dengan

    penjumlahan RV + VC.

  • 7/23/2019 silikosis perusahaan

    10/20

    14

    Gambar 2.2 Volume Udara Paru-paru (Ruppel, 2008)

    2.2.3 Uji Fungsi Paru-Paru

    Uji fungsi paru-paru atau dikenal sebagai pulmonary function tests (PFTs)

    digunakan untuk mengevaluasi kinerja paru-paru. Uji ini digunakan untuk

    mengetahui volume udara yang dapat tertahan di paru-paru, kecepatan udara pada

    saat respirasi, serta mengukur kinerja paru-paru dalam menyerap O2 dan

    mengeluarkan CO2 dalam darah. Uji ini dapat digunakan untuk mengetahuikelainan paru-paru, mengukur tingkat keparahan penyakit paru-paru serta

    mengukur efektifitas perawatan terhadap paru-paru yang rusak (Spirexpert, 2007).

    Spirometri adalah salah satu teknik uji paru-paru. Teknik ini dapat mengukur

    kecepatan dan volume udara pada saat respirasi dengan cara bernapas melalui

    corong (mouthpiece) yang dihubungkan dengan alat yang disebut spirometer.

    Spirometer adalah suatu alat untuk mengukur volume udara yang masuk dan

    keluar paru-paru sehingga dapat digunakan untuk menilai fungsi paru-paru.

    Informasi yang diperoleh dari spirometer dapat berupa grafik yang disebut

    spirogram. Beberapa nilai fungsi paru-paru yang dapat diukur dengan spirometer

    dapat dilihat pada Tabel 2.1.

  • 7/23/2019 silikosis perusahaan

    11/20

    15

    Tabel 2.1 Nilai Fungsi Paru-Paru yang dapat Diukur dengan

    Spirometer (Dirgawati, 2007)

    Singkatan Nama Deskripsi

    FVCForced Vital

    Capacity

    FVC adalah jumlah udara yang dapat

    dihembuskan setelah inspirasi penuh,

    dinyatakan dalam liter.

    FEV1.0

    Forced

    Expiratory

    Volume in 1

    Second

    FEV1.0 adalah jumlah udara yang

    dihembuskan selama 1 detik pertama,

    dinyatakan dalam liter. FEV1.0 merupakan

    salah satu indikator penting dalam

    menentukan fungsi paru-paru.

    FEV1.0/

    FVCFEV1%

    FEV1.0 / FVC merupakan perbandingan

    antara FEV1.0 dengan FVC. Pada orang

    dewasa sehat nilai ini berkisar antara 75-

    80%.

    PEFPeak Expiratory

    Flow

    PEF merupakan kecepatan aliran udara

    paru-paru pada saat mulai ekspirasi,

    dinyatakan dalam liter per detik.

    FEF 25-

    75% atau

    25-50%

    Forced

    Expiratory Flow

    25-75% atau25-

    50%

    FEF 25-75% atau 25-50% merupakan nilai

    rata-rata kecepatan aliran udara yang keluar

    dari paru-paru selama pertengahan ekspirasi

    (kadang-kadang disebut sebagai MMEF,

    atau maximal mid-expiratory flow).

    FIF 25-75%

    atau 25-

    50%

    Forced

    Inspiratory Flow

    25%-75% atau

    25%-50%

    FIF 25-75% atau 25-50% memiliki arti

    sama dengan FEF 25-75% atau 25-50%

    namun pengukuran dilakukan selama

    inspirasi.

    FETForced

    Expiratory Time

    FET mengukur lamanya ekspirasi dalam

    satuan detik.

    TV Tidal Volume

    TV menyatakan volume udara yang

    diinspirasi dan diekspirasikan pada saat

    respirasi secara normal.

  • 7/23/2019 silikosis perusahaan

    12/20

    16

    Singkatan Nama Deskripsi

    MVV

    Maximum

    Voluntary

    Ventilation

    MVV merupakan jumlah udara maksimal

    yang dapat diinspirasi dan di ekspirasi

    dalam 1 menit, dinyatakan dalam liter /

    menit.

    2.2.3.1 Metode Pemilihan Uji Fungsi Paru-Paru

    Terdapat kriteria untuk memilih jenis tes untuk uji faal paru-paru, yaitu sebagai

    berikut (Pringadi, 1992):

    a. Acceptability

    Jenis tes sebaiknya mudah diterima, aman, dan tidak memerlukan

    penjelasan yang rumit kepada subjek yang diteliti.

    b. Objectivity

    Sedapat mungkin jenis tes tidak dipengaruhi oleh usaha subjek.

    c. Discrimination

    Memiliki kepekaan yang tinggi serta mudah membedakan antara subjek

    normal dan bukan normal.

    d.

    Repeatability

    Hasil tes sebaiknya memperlihatkan variasi yang kecil antara beberapa kali

    pengukuran pada subjek yang sama.

    Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa FEV1.0 merupakan volume yang

    dihembuskan selama 1 detik pertama (Gambar 2.3).

    Gambar 2.3 Volume yang Dihembuskan Selama 1 Detik

    Pertama (Spirexpert, 2007)

    Tabel 2.1 (lanjutan)

  • 7/23/2019 silikosis perusahaan

    13/20

    17

    Dalam penelitian ini digunakan FEV1.0sebagai parameter fungsi paru-paru karena

    parameter ini tidak terpengaruh oleh usaha seseorang dan relatif tidak dipengaruhi

    oleh posisi tubuh pada saat pengukuran (Tabel 2.2). Selain itu FEV1.0 merupakan

    pemeriksaan yang sederhana, akurat, dan paling sering dilakukan (Yunus, 1993).

    Tabel 2.2. Uji Fungsi Paru-Paru dan Kriteria yang

    Dipenuhinya (Pringadi, 1992)

    KriteriaUJI FUNGSI

    PARU-PARU a b c dKomentar

    Maximum

    Voluntary

    Volume

    - - + ++

    Secara praktis diganti

    dengan FEV1.0

    ForcedExpiratory

    Volume One

    Second (FEV1.0)

    ++ ++ ++ ++Tidak tergantung usahaseseorang, sangat baik

    untuk pemeriksaan

    rutin.

    Forced Vital

    Capacity

    Pengukuran lebih

    mendekati atau sama

    dengan volume paru-

    paru vital daripada

    kapasitas ventilasi.

    FEV% atau

    (FEV1.0/FVC)

    x100%

    Digunakan untuk

    membedakan jenis

    penyakit paru-paru(restriktif atau

    obstruktif), daripada

    digunakan untuk

    mengukur kapasitas

    ventilasi.

    Forced

    Expiratory Flow

    (FEF)

    + - - -

    Peak Expiratory

    Flow (PEV) + + - -

    Baik untuk penyakit

    obstruktif bagian atas

    Penilaian : (-) : Buruk Kriteria : a.Acceptability

    (+) : Sedang b. Objectivity

    (++) : Baik c.Discrimination

    d.Repeatability

    2.2.3.2Pengukuran FEV1.0dengan Spirometer

    Hasil spirometri dinyatakan sebagai volume udara (FEV1.0) pada suhu dan tekanan

    udara di ruang pemeriksaan atau pada keadaan Ambient Temperature, Pressure,

    Saturated (ATPS). Nilai tersebut perlu dikonversi ke Body Temperature,

  • 7/23/2019 silikosis perusahaan

    14/20

    18

    Pressured, Saturated (BTPS) karena ingin diketahui volume udara pada

    temperatur (T) dan tekanan udara (P)dalam tubuh.Hubungan antara faktor-faktor

    tersebut adalah sebagai berikut (Spirexpert, 2007):

    (2.3)

    dimana:

    n = Jumlah molekul

    R = Konstanta gas ideal

    T = Suhu (oKelvin)

    P = Tekanan (mmHg)

    V = Volume (liter)

    Udara ekspirasi terdiri atas gas CO2dan uap air. Campuran uap air dan gas pada

    keadaan jenuh akan bervariasi sesuai dengan temperatur dan tekanan (Spirexpert,

    2007), maka pada spirometri, volume gas yang didapat adalah volume pada T dan

    P ruangan, perlu dicatat juga temperatur tubuh, dan tekanan barometrik pada saat

    pengukuran. Hal ini sesuai dengan persamaan yang digunakan untuk

    mengkonversi nilai ATPS ke dalam BTPS (Dirgawati, 2007), yaitu:

    (2.4)

    dimana,

    (1) = Kondisi ATPS

    P1 = Tekanan barometrik - Tekanan uap air pada temperatur ambien (mmHg)

    (Tekanan barometrik) - (Tekanan uap air pada Tabel 2.3)

    V1 = Volume gas yang tercatat pada spirometer (L)T1 = Temperatur ruangan saat pengukuran (

    oK)

    (2) = Kondisi BTPS

    P2 = Tekanan barometrik - Tekanan uap air pada temperatur tubuh (mmHg)

    (Tekanan barometrik) - (Tekanan uap air pada Tabel 2.3)

    V2 = Volume gas pada kondisi BTPS (L)

    T2 = Temperatur tubuh (oK)

    V = nRT / P

    P1V1 P2V2

    T2

    =T1

  • 7/23/2019 silikosis perusahaan

    15/20

    19

    Tabel 2.3 Tekanan Uap Air pada Berbagai Temperatur (Lawrence, 1987)

    Temperatur

    (oC)

    Tekanan Uap

    Air (mmHg)

    Temperatur

    (oC)

    Tekanan Uap

    Air (mmHg)

    20 17,54 31 33,70

    21 18,65 32 35,66

    22 19,63 33 37,73

    23 21,07 34 39,90

    24 22,38 35 42,18

    25 23,76 36 44,56

    26 25,21 37 47,07

    27 26,74 38 49,69

    28 28,35 39 52,44

    29 30,04 40 55,32

    30 31,82

    Terdapat beberapa faktor yang berpengaruh terhadap hasil pengukuran spirometer,

    antara lain (Pringadi, 1992):

    1.

    Usia

    Setelah seseorang berusia lebih dari 12 tahun, terjadi peningkatan pada

    pengukuran spirometer yang berkorelasi dengan usia dan tinggi, hingga

    usia 20 tahun pada wanita dan 25 tahun pada pria. Setelah seseorang

    melebihi usia tersebut maka akan terjadi penurunan hasil pengukuran

    spirometer seiring dengan pertambahan usia.

    2. Tinggi Badan

    Semakin tinggi tubuh seseorang maka nilai hasil pengukuran spirometer

    akan semakin tinggi.

    3. Berat badan

    Hasil spirometer menunjukkan korelasi positif dengan berat badan.

    4. Posisi tubuh

    Posisi tubuh pada saat melakukan spirometri akan mempengaruhi hasil

    pengukuran. Pengukuran yang dilakukan dengan posisi berdiri akan

    berbeda dengan posisi duduk atau terlentang.

  • 7/23/2019 silikosis perusahaan

    16/20

    20

    5. Kekuatan Otot

    Kekuatan otot merupakan faktor penting setelah tinggi badan, baik pada

    laki-laki maupun wanita.

    6.

    Ras

    Orang berkulit hitam dari Afrika memiliki volume paru-paru yang lebih

    rendah dibandingkan orang berkulit putih dari Eropa. Orang India,

    Pakistan, Asia, Kepulauan Pasifik dan Indian dari Amerika Utara pada

    umumnya berada di antara orang kulit hitam dan kulit putih.

    7. Jenis kelamin.

    Wanita memiliki nilai spirometri yang lebih rendah dibandingkan dengan

    pria. Pada wanita FEV1.0 dan FVC menurun lebih awal (20 tahun)

    dibandingkan dengan pria yang mulai menurun pada usia 25 tahun.

    Perbedaan ini ada hubungannya dengan perbedaan keadaan fisiologis dan

    anatomis.

    8. Tempat

    Ketinggian tempat pada saat pengukuran dapat mempengaruhi hasil

    pengukuran dengan spirometer. Hal ini disebabkan adanya perbedaan

    tekanan udara antara dataran tinggi dengan dataran rendah.

    9.

    Merokok

    Kebiasaan merokok akan menurunkan FEV1.0 seseorang (Antaruddin,

    2003).

    2.3 Mekanisme Masuknya Debu ke dalam Paru-Paru

    Debu yang terdapat di dalam lingkungan kerja terbagi dua yaitu deposit

    particulate matter yaitu partikel debu yang hanya berada sementara di udara,partikel ini segera mengendap karena daya tarik bumi. Suspended particulate

    matter adalah debu yang tetap berada di udara dan tidak mudah mengendap.

    Partikel debu yang dapat dihirup berukuran 0,1 sampai 10 mikron. Debu yang

    berukuran antara 5-10 mikron bila terhisap akan tertahan dan tertimbun pada

    saluran napas bagian atas, sedangkan yang berukuran antara 3-5 mikron tertahan

    dan tertimbun pada saluran napas tengah. Partikel debu dengan ukuran 1-3 mikron

    disebut debu respirabel merupakan yang paling berbahaya karena tertahan dan

  • 7/23/2019 silikosis perusahaan

    17/20

    21

    tertimbun mulai dari bronkiolus terminalis sampai alveoli. Debu yang ukurannya

    kurang dari 1 mikron tidak mudah mengendap di alveoli karena mudah keluar

    masuk alveoli mengikuti gerak Brown (Yunus, 1997). Debu yang berukuran lebih

    dari 5 mikron akan dikeluarkan semuanya bila jumlahnya kurang dari 10 partikel

    per milimeter kubik udara. Bila jumlahnya 1000 partikel per milimeter kubik

    udara, maka 10% dari jumlah itu akan ditimbun dalam paru-paru (Yunus, 1997).

    Deposisi partikulat di dalam sistem pernapasan dapat dilihat pada Gambar 2.4.

    Gambar 2.4 Deposisi Partikel Debu dalam Berbagai Ukuran pada

    Sistem Pernapasan (American Lung Association, 2007)

    Menurut (Dirgawati, 2007), terdapat 3 faktor yang mempengaruhi masuknya debu

    ke dalam paru-paru, yaitu:

    1.

    Pengaruh Inersia Debu Sendiri

    Inersia dari debu akan menimbulkan kelembaban bagi debu itu sendiri, di

    mana sewaktu bergerak akan melalui belokan-belokan dan akan terdorong

    oleh aliran udara masuk (impinged) ke dalam paru-paru.

    2. Pengaruh Sedimentasi

    Pengaruh sedimentasi terutama terjadi pada bronkus dan bronkiolus,

    karena di tempat tersebut kecepatan udara sangat berkurang, kira-kira

  • 7/23/2019 silikosis perusahaan

    18/20

    22

    hanya 1 cm/detik sehingga gaya tarik bumi dapat bekerja terhadap partikel

    debu dan mengendapkannya.

    3. Gerak Brown

    Gerak Brown berpengaruh pada debu yang berukuran kurang dari 1

    mikron. Partikel tersebut sampai di permukaan alveoli melalui gerakan

    udara.

    2.4 Analisis Risiko Kesehatan

    Analisis risiko adalah suatu metode untuk menilai dan melakukan prediksi apa

    yang akan terjadi akibat adanya pajanan atau pencemaran, terhadap zat berbahaya

    di masa yang akan datang. Metode ini digunakan untuk menilai faktor bahaya

    yang paling berpengaruh buruk terhadap kesehatan sehingga dapat dilakukan

    tindakan pencegahan terhadap menurunnya tingkat kesehatan seseorang akibat

    faktor bahaya tersebut. Analisis risiko kesehatan terdiri atas beberapa tahap, yaitu:

    Identifikasi Bahaya, Evaluasi Pajanan, Evaluasi Dosis-Respon dan Karakterisasi

    Risiko (Gambar 2.5):

    Identifikasi Bahaya

    Evaluasi Pajanan Evaluasi Dosis-Respon

    Karakterisasi Risiko

    Kebijakan Perbaikan

    Gambar 2.5 Tahapan dalam Analisis Risiko Kesehatan (Soemirat, 2000)

    2.4.1 Identifikasi Bahaya

    Identifikasi bahaya adalah proses untuk memperoleh data mengenai masalah

    kesehatan yang dapat terjadi akibat adanya suatu bahan dengan cara mempelajari

    efeknya terhadap manusia ataupun hewan percobaan. Salah satu langkah penting

  • 7/23/2019 silikosis perusahaan

    19/20

    23

    dalam identifikasi bahaya adalah memilih metode yang tepat sehingga

    mendapatkan data akurat mengenai faktor bahaya yang dapat mempengaruhi

    kesehatan manusia (CEPA, 2001). Data penelitian terhadap manusia merupakan

    data yang sangat baik dalam mengevaluasi risiko kesehatan manusia yang

    dikaitkan dengan pajanan terhadap suatu zat.

    Salah satu kelemahan dalam melakukan penelitian di tempat kerja adalah

    pengukuran hanya dilakukan terhadap pekerja dewasa sehingga populasi sensitif

    seperti anak-anak dan manula tidak terukur. Analisis risiko kesehatan terhadap

    pekerja dewasa seringkali mendapatkan hambatan berupa ketidakpastian data

    seperti jumlah dan durasi pajanan, pola hidup meliputi kebiasaan merokok dan

    mengkonsumsi alkohol. Untuk menghindari ketidakpastian tersebut, maka

    sebelum mengidentifikasi bahaya, dilakukan pemilihan terhadap responden yang

    memiliki karakteristik yang serupa.

    2.4.2 Evaluasi Pajanan

    Evaluasi pajanan adalah proses untuk memperoleh frekuensi, durasi dan pola

    pajanan suatu zat terhadap manusia. Dalam menganalisis risiko kesehatan,

    diperlukan asumsi untuk memperkirakan pajanan suatu bahan kimia terhadap

    tubuh. Contohnya dalam menganalisa efek polusi udara terhadap kesehatan,

    diperlukan asumsi berapa lama seseorang menghabiskan waktu di luar ruangan

    sehingga mereka terpajan polutan atau berapa lama mereka menghabiskan waktu

    di tempat dengan kadar polutan yang tinggi.

    2.4.3 Evaluasi Dosis-ResponEvaluasi dosis-respon dilakukan untuk mengevaluasi informasi yang diperoleh

    selama identifikasi bahaya sehingga dapat diperkirakan jumlah zat yang masuk ke

    dalam tubuh dan mempengaruhi kesehatan seseorang. Evaluasi dosis-respon

    dilakukan untuk melihat hubungan yang konsisten antara jumlah zat yang masuk

    (dosis) dengan respon berupa efek kesehatan (Soemirat, 2000).

  • 7/23/2019 silikosis perusahaan

    20/20

    24

    2.4.4 Karakterisasi Risiko

    Karakterisasi risiko dilakukan dengan cara mengumpulkan informasi dari ketiga

    langkah sebelumnya yaitu identifikasi bahaya, penilaian pajanan, dan penilaian

    dosis-respon sehingga dapat diperkirakan efek suatu zat terhadap kondisi

    kesehatan. Dalam mengkarakterisasi risiko, diperlukan analisis dengan cara

    mengembangkan informasi yang didapat selama pajanan dan penilaian dosis-

    respon sehingga diperoleh hasil risiko kesehatan yang diharapkan terjadi pada

    populasi terpajan (CEPA, 2001).

    2.4.4.1 Risiko Relatif (RR)

    Risiko relatif atau RR menghitung risiko menderita sakit (tidak normal) bagi

    mereka yang terpajan agen dibandingkan dengan kelompok yang tidak terpajan.

    Cara menghitungnya adalah dengan membandingkan insidensi antara kelompok

    terpajan dengan kelompok tidak terpajan. RR dinyatakan dengan menggunakan

    Persamaan 2.5 (Soemirat, 2005):

    (2.5)

    dimana,

    a = jumlah orang terpajan dan menderita sakit (tidak normal)

    b = jumlah orang tidak terpajan dan menderita sakit (tidak normal)

    c = jumlah orang terpajan dan tidak menderita sakit (normal)

    d = jumlah orang tidak terpajan dan tidak menderita sakit (normal)

    RR =a/(a+c)

    b/(b+d)