step 6-7 skenario 2

Upload: ogie-silaen

Post on 10-Feb-2018

294 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

  • 7/22/2019 Step 6-7 Skenario 2

    1/72

    STEP 6

    American Association of Oral & Maxillofacial Surgeons. 9700 W. Bryn Mawr Ave., Rosemont,

    IL 60018.

    Dorland, W. A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran. EGC : Jakarta.

    Rahma, Muswita. 2010. Penanganan Kegawatdaruratan Pada Pasien Trauma Maksilofasial.Skripsi FKM-USU. Medan.

    STEP 7

    1) Trauma Maksilofasial

    Trauma maksilofasial merupakan trauma fisik yang dapat mengenai jaringan keras dan

    lunak wajah. Penyebab trauma maksilofasial bervariasi, mencakup kecelakaan lalu lintas,

    kekerasan fisik, terjatuh, olah raga dan trauma akibat senjata api. Trauma pada wajah

    sering mengakibatkan terjadinya gangguan saluran pernafasan, perdarahan, luka jaringan

    lunak, hilangnya dukungan terhadap fragmen tulang dan rasa sakit. Oleh karena itu,

    diperlukan perawatan kegawatdaruratan yang tepat dan secepat mungkin.

    Kecelakaan lalu lintas adalah penyebab dengan persentase yang tinggi terjadinya

    kecacatan dan kematian pada orang dewasa secara umum dibawah usia 50 tahun dan

    angka terbesar biasanya mengenai batas usia 21-30 tahun. Berdasarkan studi yang

    dilakukan, 72% kematian oleh trauma maksilofasial paling banyak disebabkan oleh

    kecelakaan lalu lintas. Pasien dengan kecelakaan lalu lintas yang fatal harus menjalani

  • 7/22/2019 Step 6-7 Skenario 2

    2/72

    rawat inap di rumah sakit dan dapat mengalami cacat permanen. Oleh karena itu,

    diperlukan perawatan kegawatdaruratan yang tepat dan secepat mungkin. Cedera

    maksilofasial, juga disebut sebagai trauma wajah, meliputi cedera pada wajah, mulut dan

    rahang. Hampir setiap orang pernah mengalami seperti cedera, atau mengetahui

    seseorang yang memiliki.

    Sebagian besar fraktur yang terjadi pada tulang rahang akibat trauma maksilofasial dapat

    dilihat jelas dengan pemeriksaan dan perabaan serta menggunakan penerangan yang baik.

    Trauma pada rahang mengakibatkan terjadinya gangguan saluran pernafasan, perdarahan,

    luka jaringan lunak,hilangnya dukungan terhadap fragmen tulang dan rasa sakit. Namun,

    trauma pada rahang jarang menimbulkan syok dan bila hal tersebut terjadi mungkin

    disebabkan adanya komplikasi yang lebih parah, seperti pasien dengan kesadaran yang

    menurun tidak mampu melindungi jalan pernafasan dari darah, patahan gigi. Kedaruratan

    trauma maksilofasial merupakan suatu penatalaksanaan tindakan darurat pada orang yang

    baru saja mengalami trauma pada daerah maksilofasial (wajah). Penatalaksanaan

    kegawatdaruratan pada trauma maksilofasial oleh dokter umum hanya mencakup

    bantuan hidup dasar (basic life support) yang berguna menurunkan tingkat kecacatan dan

    kematian pasien sampai diperolehnya penanganan selanjutnya di rumah sakit. Oleh

    karena itu, para dokter umum harus mengetahui prinsip dasar ATLS (Advance Trauma

    Life Support) yang merupakan prosedur-prosedur penanganan pasien yang mengalami

    kegawatdaruratan.

    Prinsip-prinsip untuk mengobati patah tulang wajah adalah sama seperti untuk patah

    lengan atau kaki. Bagian-bagian dari tulang harus berbaris (dikurangi) dan ditahan dalam

  • 7/22/2019 Step 6-7 Skenario 2

    3/72

    posisi cukup lama untuk memungkinkan mereka waktu untuk menyembuhkan. Ini

    mungkin membutuhkan enam minggu atau lebih tergantung pada usia pasien dan

    kompleksitas fraktur itu. Menghindari cedera merupakan hal yang terbaik, ahli bedah

    mulut dan maksilofasial menganjurkan penggunaan sabuk pengaman mobil, penjaga

    pelindung mulut, dan masker yang tepat dan helm untuk semua orang yang berpartisipasi

    dalam kegiatan atletik di tingkat manapun.

    A. Definisi Trauma MaksilofasialTrauma maksilofasial adalah suatu ruda paksa yang mengenai wajah dan jaringan

    sekitarnya. Trauma pada jaringan maksilofasial dapat mencakup jaringan lunak dan

    jaringan keras. Yang dimaksud dengan jaringan lunak wajah adalah jaringan lunak

    yang menutupi jaringan keras wajah. Sedangkan yang dimaksud dengan jaringan

    keras wajah adalah tulang kepala yang terdiri dari : tulang hidung, tulang arkus

    zigomatikus, tulang mandibula, tulang maksila, tulang rongga mata, gigi, tulang

    alveolus. Yang dimaksud dengan trauma jaringan lunak antara lain :

    1. Abrasi kulit, tusukan, laserasi, tato.

    2. Cedera saraf, cabang saraf fasial.

    3. Cedera kelenjar parotid atau duktus Stensen.

    4. Cedera kelopak mata.

    5. Cedera telinga.

    6. Cedera hidung.

  • 7/22/2019 Step 6-7 Skenario 2

    4/72

    B.Anatomi Maksilofasial

    Pertumbuhan kranium terjadi sangat cepat pada tahun pertama dan kedua setelah lahir

    dan lambat laun akan menurun kecepatannya. Pada anak usia 4-5 tahun, besar

    kranium sudah mencapai 90% cranium dewasa. Maksilofasial tergabung dalam tulang

    wajah yang tersusun secara baik dalam membentuk wajah manusia.

    Daerah maksilofasial dibagi menjadi 3 bagian. Bagian pertama adalah wajah bagian

    atas, di mana patah tulang melibatkan frontal dan sinus. Bagian kedua adalah midface

    tersebut. Midface dibagi menjadi bagian atas dan bawah. Para midface atas adalah di

    mana rahang atas Le Fort II dan III Le Fort fraktur terjadi dan / atau di mana patah

    tulang hidung, kompleks nasoethmoidal atau zygomaticomaxillary, dan lantai orbit

    terjadi. Bagian ketiga dari daerah maksilofasial adalah wajah yang lebih rendah, di

    mana patah tulang yang terisolasi ke rahang bawah.

    Gambar 1.1 Anatomi Le Fort pada trauma maksilofasial

  • 7/22/2019 Step 6-7 Skenario 2

    5/72

    Tulang pembentuk wajah pada manusia bentuknya lebih kecil dari tengkorak otak.

    Didalam tulang wajah terdapat rongga-rongga yang membentuk rongga mulut (cavum

    oris), dan rongga hidung (cavum nasi) dan rongga mata (orbita).

    a. Bagian hidung terdiri atas :

    Os Lacrimal (tulang mata) letaknya disebelah kiri/kanan pangkal hidung disudut

    mata. Os Nasal (tulang hidung) yang membentuk batang hidung sebelahatas. Dan

    Os Konka nasal (tulang karang hidung), letaknya di dalam ronggahidung dan

    bentuknya berlipat-lipat. Septum nasi (sekat rongga hidung) adalahsambungan dari

    tulang tapis yang tegak.

    b. Bagian rahang terdiri atas tulang-tulang seperti :

    Os Maksilaris (tulang rahang atas), Os Zigomaticum, tulang pipi yangterdiri dari

    dua tulang kiri dan kanan. Os Palatum atau tulang langit-langit, terdiridari dua dua

    buah tulang kiri dan kanan. Os Mandibularis atau tulang rahangbawah, terdiri dari

    dua bagian yaitu bagian kiri dan kanan yang kemudian bersatudi pertengahan

    dagu. Dibagian depan dari mandibula terdapat processus coracoids tempat

    melekatnya otot.

    Facial danger zones (Zona bahaya wajah)

    Secara anatomi, wajah memiliki beberapa serabut-serabut saraf yang tersebar di

    beberapa lokasi di wajah, ada 7 lokasi-lokasi penting di sekitar wajah yang apabila

    terjadi trauma atau kesalahan dalam penanganan trauma maksilofasial akan berakibat

    fatal, lokasi-lokasi tersebut disebut dengan facial danger zone.

  • 7/22/2019 Step 6-7 Skenario 2

    6/72

    C. EpidemiologiDari data penelitian itu menunjukan bahwa kejadian trauma maksilofasial sekitar 6%

    dari seluruh trauma yang ditangani oleh SMF Ilmu Bedah RS Dr.Soetomo. Kejadian

    fraktur mandibula dan maksila terbanyak diantara 2 tulang lainnya, yaitu masing-

    masing sebesar 29,85 %, disusul fraktur zigoma 27,64 % dan fraktur nasal 12, 66 %.

    Penderita fraktur maksilofasial ini terbanyak pada laki-laki usia produktif,yaitu usia

    21-30 tahun, sekitar 64,38 % disertai cedera di tempat lain, dan trauma penyerta

    terbanyak adalah cedera otak ringan sampai berat, sekitar 56%. Penyebab terbanyak

    adalah kecelakaan lalu lintas dan sebagian besar adalah pengendara sepeda motor.

    D. Etiologi Trauma MaksilofasialTrauma wajah di perkotaan paling sering disebabkan oleh perkelahian, diikuti oleh

    kendaraan bermotor dan kecelakaan industri. Para zygoma dan rahang adalah tulang

    yang paling umum patah selama serangan. Trauma wajah dalam pengaturan

    masyarakat yang paling sering adalah akibat kecelakaan kendaraan bermotor, maka

    untuk serangan dan kegiatan rekreasi. Kecelakaan kendaraan bermotor menghasilkan

    patah tulang yang sering melibatkan midface, terutama pada pasien yang tidak

    memakai sabuk pengaman mereka. Penyebab penting lain dari trauma wajah

    termasuk trauma penetrasi, kekerasan dalam rumah tangga, dan pelecehan anak-anak

    dan orang tua.

    Bagi pasien dengan kecelakaan lalu lintas yang fatal menjadi masalah karena harus

    rawat inap di rumah sakit dengan cacat permanen yang dapat mengenai ribuan orang

  • 7/22/2019 Step 6-7 Skenario 2

    7/72

    per tahunnya. Berdasarkan studi yang dilakukan, 72% kematian oleh trauma

    maksilofasial paling banyak disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas (automobile).

    Berikut ini adalah tabel etiologi trauma maksilofasial

    Penyebab pada orang dewasa Persentase (%)

    Kecelakaan lalu lintas 40-45

    Penganiayaan / berkelahi 10-15

    Olahraga 5-10

    Jatuh 5

    Lain-lain 5-10

    Penyebab pada anak Presentase (%)

    Kecelakaan lalu lintas 10-15

    Penganiayaan/ berkelahi 5-10

    Olah raga (termasuk naik sepeda) 50-65

    jatuh 5-10

    E. Klasifikasi Trauma MaksilofasialTrauma maksilofasial dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu trauma

    jaringan keras wajah dan trauma jaringan lunak wajah. Trauma jaringan lunak

    biasanya disebabkan trauma benda tajam, akibat pecahan kaca pada kecelakaan lalu

    lintas atau pisau dan golok pada perkelahian.

  • 7/22/2019 Step 6-7 Skenario 2

    8/72

    a. Trauma jaringan lunak wajahLuka adalah kerusakan anatomi, diskontinuitas suatu jaringan oleh karena

    trauma dari luar.

    Trauma pada jaringan lunak wajah dapat diklasifikasikan berdasarkan :

    1. Berdasarkan jenis luka dan penyebab: Ekskoriasi Luka sayat, luka robek , luka bacok. Luka bakar Luka tembak

    2. Berdasarkan ada atau tidaknya kehilangan jaringan3. Dikaitkan dengan unit estetik

    b. Trauma jaringan keras wajahKlasifikasi trauma pada jaringan keras wajah di lihat dari fraktur tulang yang

    terjadi dan dalam hal ini tidak ada klasifikasi yg definitif. Secara umum dilihat

    dari terminologinya, trauma pada jaringan keras wajah dapat diklasifikasikan

    berdasarkan :

    1. Dibedakan berdasarkan lokasi anatomic dan estetika.a. Berdiri Sendiri : fraktur frontal, orbita, nasal, zigomatikum, maxilla,

    mandibulla, gigi dan alveolus.

    b. Bersifat Multiple : Fraktur kompleks zigoma, fronto nasal dan fraktur

    kompleks mandibula.

    2. Berdasarkan Tipe fraktur

    a. Fraktur simpel

  • 7/22/2019 Step 6-7 Skenario 2

    9/72

    Merupakan fraktur sederhana, liniear yang tertutup misalnya pada

    kondilus, koronoideus, korpus dan mandibula yang tidak bergigi.

    Fraktur tidak mencapai bagian luar tulang atau rongga mulut.

    Termasuk greenstik fraktur yaitu keadaan retak tulang, terutama pada

    anak dan jarang terjadi.

    b. Fraktur kompoun

    Fraktur lebih luas dan terbuka atau berhubungan dengan jaringan lunak.

    Biasanya pada fraktur korpus mandibula yang mendukung gigi, dan

    hampir selalu tipe fraktur kompoun meluas dari membran periodontal ke

    rongga mulut, bahkan beberapa luka yang parah dapat meluas dengan

    sobekan pada kulit.

    c. Fraktur komunisi

    Benturan langsung terhadap mandibula dengan objek yang tajam seperti

    peluru yang mengakibatkan tulang menjadi bagian bagian yang kecil atau

    remuk.

    Bisa terbatas atau meluas, jadi sifatnya juga seperti fraktur kompoun

    dengan kerusakan tulang dan jaringan lunak.

    d. Fraktur patologis keadaan tulang yang lemah oleh karena adanya penyakit penyakit tulang,

    seperti Osteomyelitis, tumor ganas, kista yang besar dan penyakit tulang

    sistemis sehingga dapat menyebabkan fraktur spontan.

  • 7/22/2019 Step 6-7 Skenario 2

    10/72

    3. Perluasan tulang yang terlibat.

    1. Komplit, fraktur mencakup seluruh tulang.

    2. Tidak komplit, seperti pada greenstik, hair line, dan kropresi ( lekuk )

    4 . Konfigurasi ( garis fraktur )

    1. Tranversal, bisa horizontal atau vertikal.

    2. Oblique ( miring )

    3. Spiral (berputar)

    4. Komunisi (remuk)

    5. Hubungan antar Fragmen

    1. Displacement, disini fragmen fraktur terjadi perpindahan tempat

    2. Undisplacement, bisa terjadi berupa :

    a. Angulasi / bersudut

    b. Distraksi

    c. Kontraksi

    d. Rotasi / berputar

    e. Impaksi / tertanam

    Pada mandibula, berdasarkan lokasi anatomi fraktur dapat mengenai

    daerah :

    a. Dento alveolar

    b. Prosesus kondiloideus

    c. Prosesus koronoideus

  • 7/22/2019 Step 6-7 Skenario 2

    11/72

    d. Angulus mandibula

    e. Ramus mandibula

    f. Korpus mandibula

    g. Midline / simfisis menti

    h. Lateral ke midline dalam regio insisivus

    6. Khusus pada maksila fraktur dapat dibedakan:

    a. Fraktur blow-out (fraktur tulang dasar orbita)

    b. Fraktur Le Fort I, Le Fort II, dan Le Fort III

    c. Fraktur segmental mandibula

    F. Patofisiologi Trauma Maksilofasial

    Kehadiran energi kinetik dalam benda bergerak adalah fungsi dari massa dikalikan

    dengan kuadrat kecepatannya. Penyebaran energi kinetik saat deselerasi menghasilkan

    kekuatan yang mengakibatkan cedera. Berdampak tinggi dan rendah-dampak kekuatan

    didefinisikan sebagai besar atau lebih kecil dari 50 kali gaya gravitasi. Ini berdampak

    parameter pada cedera yang dihasilkan karena jumlah gaya yang dibutuhkan untuk

    menyebabkan kerusakan pada tulang wajah berbeda regional. Tepi supraorbital,

    mandibula (simfisis dan sudut), dan tulang frontal memerlukan kekuatan tinggi-dampak

    yang akan rusak. Sebuah dampak rendah-force adalah semua yang diperlukan untuk

    merusak zygoma dan tulang hidung.

  • 7/22/2019 Step 6-7 Skenario 2

    12/72

    Patah Tulang Frontal : ini terjadi akibat dari pukulan berat pada dahi. Bagian anterior

    dan / atau posterior sinus frontal mungkin terlibat. Gangguan lakrimasi mungkin dapat

    terjadi jika dinding posterior sinus frontal retak. Duktus nasofrontal sering terganggu.

    Fraktur Dasar Orbital : Cedera dasar orbital dapat menyebabkan suatu fraktur yang

    terisolasi atau dapat disertai dengan fraktur dinding medial. Ketika kekuatan menyerang

    pinggiran orbital, tekanan intraorbital meningkat dengan transmisi ini kekuatan dan

    merusak bagian-bagian terlemah dari dasar dan dinding medial orbita. Herniasi dari isi

    orbit ke dalam sinus maksilaris adalah mungkin. Insiden cedera okular cukup tinggi,

    namun jarang menyebabkan kematian.

    Patah Tulang Hidung: Ini adalah hasil dari kekuatan diakibatkan oleh trauma langsung.

    Fraktur Nasoethmoidal (noes): akibat perpanjangan kekuatan trauma dari hidung ke

    tulang ethmoid dan dapat mengakibatkan kerusakan pada canthus medial, aparatus

    lacrimalis, atau saluran nasofrontal. Patah tulang lengkung zygomatic: Sebuah pukulan

    langsung ke lengkung zygomatic dapat mengakibatkan fraktur terisolasi melibatkan

    jahitan zygomaticotemporal.

    Patah Tulang Zygomaticomaxillary kompleks (ZMCs): ini menyebabkan patah tulang

    dari trauma langsung. Garis fraktur jahitan memperpanjang melalui

    zygomaticotemporal, zygomaticofrontal, dan zygomaticomaxillary dan artikulasi

    dengan tulang sphenoid. Garis fraktur biasanya memperpanjang melalui foramen

    infraorbital dan lantai orbit. Cedera mata serentak yang umum.

    Patah tulang rahang atas : ini dikelompokkan sebagai Le Fort I, II, atau III

  • 7/22/2019 Step 6-7 Skenario 2

    13/72

    Fraktur Le Fort I adalah fraktur rahang horizontal di aspek inferior rahang atasdan memisahkan proses alveolar dan langit-langit keras dari seluruh rahang atas.

    Fraktur meluas melalui sepertiga bagian bawah septum dan termasuk sinus

    maksilaris dinding lateralis memperluas ke tulang palatina dan piring

    pterygoideus.

    Fraktur Le Fort II adalah fraktur piramida mulai dari tulang hidung danmemperluas melalui tulang lacrimalis; ke bawah melalui jahitan

    zygomaticomaxillary; terus posterior dan lateral melalui rahang atas, bawah

    zygoma itu, dan ke dalam piring pterygoideus.

    Fraktur Le Fort III atau dysjunction kraniofasial adalah pemisahan dari semuatulang wajah dari dasar tengkorak dengan fraktur simultan dari zygoma, rahang,

    dan tulang hidung. Garis fraktur meluas melalui tulang ethmoid posterolaterally,

    orbit, dan jahitan pterygomaxillary ke fosa sphenopalatina.

    Fraktur mandibula: Ini dapat terjadi di beberapa lokasi sekunder dengan bentuk U-

    rahang dan leher condylar lemah. Fraktur sering terjadi bilateral di lokasi terpisah

    dari lokasi trauma langsung.

    Patah tulang alveolar: Ini dapat terjadi dalam isolasi dari kekuatan rendah energi

    langsung atau dapat hasil dari perpanjangan garis fraktur melalui bagian alveolar

    rahang atas atau rahang bawah.

    Fraktur Panfacial: Ini biasanya sekunder mekanisme kecepatan tinggi

    mengakibatkan cedera pada wajah atas, midface, dan wajah yang lebih rendah.

  • 7/22/2019 Step 6-7 Skenario 2

    14/72

    G. Manifestasi Klinis

    Gejala klinis gejala dan tanda trauma maksilofasial dapat berupa :

    Dislokasi, berupa perubahan posisi yg menyebabkan maloklusi terutama padafraktur mandibula.

    Pergerakan yang abnormal pada sisi fraktur. Rasa nyeri pada sisi fraktur. Perdarahan pada daerah fraktur yang dapat menyumbat saluran napas. Pembengkakan dan memar pada sisi fraktur sehingga dapat menentukan

    lokasi daerah fraktur.

    Krepitasi berupa suara pada saat pemeriksaan akibat pergeseran. Laserasi yg terjadi pada daerah gusi, mukosa mulut dan daerah sekitar fraktur. Diskolorisasi perubahan warna pada daerah fraktur akibat pembengkakan. Numbness, kelumpuhan dari bibir bawah, biasanya bila fraktur terjadi

    dibawah nervus alveolaris.

    Pada fraktur orbita dapat dijumpai penglihatan kabur atau ganda, penurunanpergerakan bola mata dan penurunan visus.

    H. Diagnosis

    Anamnesa

    Mendapatkan informasi tentang alergi, obat, status tetanus, riwayat medis dan

    bedah masa lalu, merupakan hal yang paling terakhir, dan peristiwa seputar

    cedera. Aspek yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut: bagaimana

    mekanisme cedera? Apakah pasien kehilangan kesadaran atau mengalami

  • 7/22/2019 Step 6-7 Skenario 2

    15/72

    perubahan status mental? Jika demikian, untuk berapa lama? Apakah gangguan

    penglihatan, kilatan cahaya, fotofobia, diplopia, pandangan kabur, nyeri, atau

    perubahan dengan gerakan mata? Apakah pasien mengalami tinnitus atau vertigo?

    Apakah pasien memiliki kesulitan bernapas melalui hidung? Apakah pasien

    memiliki manifestasi berdarah atau yang jelas-cairan dari hidung atau telinga?

    Apakah pasien mengalami kesulitan membuka atau menutup mulut? Apakah ada

    rasa sakit atau kejang otot? Apakah pasien dapat menggigit tanpa rasa sakit, dan

    pasien merasa seperti kedudukan gigi tidak normal? Apakah daerah mati rasa atau

    kesemutan pada wajah?

    Pemeriksaan Fisik

    A. Inspeksi

    Secara sistematis bergerak dari atas ke bawah :

    Deformitas, memar, abrasi, laserasi, edema. Luka tembus. Asimetris atau tidak. Adanya Maloklusi / trismus, pertumbuhan gigi yang abnormal. Otorrhea / Rhinorrheaf. Telecanthus, Battle's sign, Raccoon's sign. Cedera kelopak mata. Ecchymosis, epistaksisi. Defisit pendengaran. Perhatikan ekspresi wajah untuk rasa nyeri, serta rasa cemas

  • 7/22/2019 Step 6-7 Skenario 2

    16/72

    B. Palpasi

    1. Periksa kepala dan wajah untuk melihat adanya lecet, bengkak,ecchymosis, jaringan hilang, luka, dan perdarahan, Periksa luka

    terbukauntuk memastikan adanya benda asing seperti pasir, batu kerikil.

    2. Periksa gigi untuk mobilitas, fraktur, atau maloklusi. Jika gigi avulsi,mengesampingkan adanya aspirasi.

    3. Palpasi untuk cedera tulang, krepitasi, terutama di daerah pinggiransupraorbital dan infraorbital, tulang frontal, lengkungan zygomatic, dan

    pada artikulasi zygoma dengan tulang frontal, temporal, dan rahang atas.

    4. Periksa mata untuk memastikan adanya exophthalmos atau enophthalmos,menonjol lemak dari kelopak mata, ketajaman visual, kelainan gerakan

    okular, jarak interpupillary, dan ukuran pupil, bentuk,dan reaksi terhadap

    cahaya, baik langsung dan konsensual.

    5. Perhatikan sindrom fisura orbital superior, ophthalmoplegia, ptosis danproptosis.

    6. Balikkan kelopak mata dan periksa benda asing atau adanya laserasi.7. Memeriksa ruang anterior untuk mendeteksi adanya perdarahan, seperti

    hyphema.

    8. Palpasi daerah orbital medial. Kelembutan mungkin menandakankerusakan pada kompleks nasoethmoidal.

    9. Lakukan tes palpasi bimanual hidung, bius dan tekan intranasal terhadaplengkung orbital medial. Secara bersamaan tekan canthus medial. Jika

    tulang bergerak, berarti adanya kompleks nasoethmoidal yang retak.

  • 7/22/2019 Step 6-7 Skenario 2

    17/72

    10.Lakukan tes traksi. Pegang tepi kelopak mata bawah, dan tarik terhadapbagian medialnya. Jika "tarikan" tendon terjadi, bisa dicurigai gangguan

    dari canthus medial.

    11.Periksa hidung untuk telecanthus (pelebaran sisi tengah hidung) ataudislokasi. Palpasi untuk kelembutan dan krepitasi.

    12.Periksa septum hidung untuk hematoma, massa menonjol kebiruan,laserasi pelebaran mukosa, fraktur, atau dislokasi, dan rhinorrhea cairan

    cerebrospinal.

    13.Periksa untuk laserasi liang telinga, kebocoran cairan serebrospinal,

    integritas membran timpani, hemotympanum, perforasi, atauecchymosis

    daerah mastoid (Battle sign).

    14.Periksa lidah dan mencari luka intraoral, ecchymosis, atau bengkak.Secara Bimanual meraba mandibula, dan memeriksa tanda-tanda krepitasi

    atau mobilitas.

    15.Tempatkan satu tangan pada gigi anterior rahang atas dan yang lainnya disisi tengah hidung.

    16.Gerakan hanya gigi menunjukkan fraktur le fort I. Gerakan di sisi hidungmenunjukkan fraktur Le Fort II atau III.

    17.Memanipulasi setiap gigi individu untuk bergerak, rasa sakit, gingival danpendarahan intraoral, air mata, atau adanya krepitasi.

    18.Lakukan tes gigit pisau. Minta pasien untuk menggigit keras pada pisau.Jika rahang retak, pasien tidak dapat melakukan ini dan akan mengalami

    rasa sakit.

  • 7/22/2019 Step 6-7 Skenario 2

    18/72

    19.Meraba seluruh bahagian mandibula dan sendi temporomandibular untukmemeriksa nyeri, kelainan bentuk, atau ecchymosis.

    20.Palpasi kondilus mandibula dengan menempatkan satu jari di salurantelinga eksternal, sementara pasien membuka dan menutup mulut. Rasa

    sakit atau kurang gerak kondilus menunjukkan fraktur.

    21.Periksa paresthesia atau anestesi saraf.Pemeriksaan Penunjang

    1. Wajah Bagian Atas :

    CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D (Cone Beam CT-scan 3D).

    CT-scan aksial koronal.

    Imaging Alternatif diantaranya termasuk CT Scan kepaladan X-ray

    kepala

    2. Wajah Bagian Tengah :

    CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D (Cone Beam CT-scan 3D).

    CT scan aksial koronal.

    Imaging Alternatif diantaranya termasuk radiografi posisi waters dan

    posteroanterior (Caldwells), Submentovertek (Jughandles).

    3. Wajah Bagian Bawah :

    CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D.

  • 7/22/2019 Step 6-7 Skenario 2

    19/72

    Panoramic X-ray.

    Imaging Alternatif diagnostik mencakup posisi :

    - Posteroanterior (Caldwells).

    - Posisi lateral (Schedell).

    - Posisi towne.

    Penatalaksanaan3

    Penatalaksanaan awal pada pasien dengan kecurigaan trauma masilofasial

    yaitu meliputi :

    1. Periksa kesadaran pasien.

    2. Perhatikan secara cermat wajah pasien :

    Apakah asimetris atau tidak.

    Apakah hidung dan wajahnya menjadi lebih pipih.

    3. Apakah ada Hematoma :

    a. Fraktur Zygomatikus

    Terjadi hematoma yang mengelilingi orbita, berkembang secaracepat

    sebagai permukaan yang bersambungan secara seragam.

    Periksa mulut bagian dalam dan periksa juga sulkus bukal atas apakah

    ada hematoma, nyeri tekan dan krepitasi pada dinding zigomatikus.

  • 7/22/2019 Step 6-7 Skenario 2

    20/72

    b.Fraktur nasal

    Terdapat hematoma yang mengelilingi orbita, paling berat kearah

    medial.

    c. Fraktur Orbita

    Apakah mata pasien cekung kedalam atau kebawah ?

    Apakah sejajar atau bergeser ?

    Apakah pasien bisa melihat ?

    Apakah dijumpai diplopia ? Hal ini karena :

    o Pergeseran orbita

    o Pergeseran bola mata

    o Paralisis saraf ke VI

    o Edema

    d. Fraktur pada wajah dan tulang kepala.

    Raba secara cermat seluruh bagian kepala dan wajah : nyeri tekan,

    deformitas, iregularitas dan krepitasi.

    Raba tulang zigomatikus, tepi orbita, palatum dan tulang hidung,pada

    fraktur Le Fort tipe II atau III banyak fragmen tulang kecil sub cutis pada

    regio ethmoid. Pada pemeriksaan ini jika rahang tidak menutup secara

    sempurna berarti pada rahang sudah terjadi fraktur.

  • 7/22/2019 Step 6-7 Skenario 2

    21/72

    e. Cedera saraf

    Uji anestesi pada wajah ( saraf infra orbita) dan geraham atas (saraf gigi

    atas).

    f. Cedera gigi

    Raba giginya dan usahakan menggoyangkan gigi bergerak abnormal

    dan juga disekitarnya.

    Prosedur penatalaksanaan kegawatdaruratan trauma maksilofacial.

    Pada pasien dengan trauma hebat atau multiple trauma akan dievaluasi dan

    ditangani secara sistematis, di titik beratkan pada penentuan prioritas tindakan

    berdasarkan atas riwayat terjadinya kecelakaan dan derajat beratnya trauma.

    1. Apakah Pasien dapat bernapas ?

    Jika sulit : Ada obstruksi. Lidahnya jatuh kearah belakang atau tidak.

    2.Curiga adanya Fraktur Mandibula.

    Kait dengan jari tangan anda mengelilingi bagian belakang palatum durum,

    dan tarik tulang wajah bag tengah dengan lembut kearah atas dan depan

    memperbaiki jalan napas dan

  • 7/22/2019 Step 6-7 Skenario 2

    22/72

    sirkulasi mata. Reduksi ini diperlukan pengetahuan dan ketrampilan yang baik

    juga gaya yang besar jika fraktur terjepit dan jika reduksi tidak berhasil

    lakukan Tracheostomi.

    Untuk melepaskan himpitan tulang pegang alveolus maksilaris dengan forcep

    khusus (Rowes) atau forcep bergerigi tajam yang kuat dan goyangkan.

    3. Jika lidah atau rahang bawah jatuh ke arah belakang

    Lakukan beberapa jahitan atau jepitkan handuk melaluinya,dan secara lembut

    tarik kearah depan, lebih membantu jika posisi pasien berbaring, saat evakuasi

    sebaiknya dibaringkan pada salah satu sisi

    4. Jika cedera rahang yang berat dan kehilangan banyak jaringan

    Pada saat mengangkutnya, baringkan pasien dengan kepalapada salah satu

    ujung sisi dan dahinya ditopang dengan pembalut di antara pegangan.

    5. Jika pasien merasakan lebih enak dengan posisi duduk

    Biarkan posisi demikian mungkin jalan napas akan membaik dengan cepat

    ketika ia melakukannya. Hisap mulutnya dari sumbatan bekuan darah. Jalan

    napas buatan (OPA, ETT) mungkin tidak membantu.

    6. Jika hidungnya cedera parah dan berdarah

    Hisap bersih (suction) dan pasang NPA atau pipa karet tebalyang sejenis ke

    satu sisi.

  • 7/22/2019 Step 6-7 Skenario 2

    23/72

    Jika terjadi perdarahan : Ikat pembuluh darah yang besar atau jika terjadi

    perdarahan yang sulit gunakan tampon yang direndam adrenalin yang dipakai

    untuk ngedep perdarahan yang hebat. Tampon post nasal selalu dapat

    menghentikan perdarahan. Jika perlu gunakan jahitan hemostasis sementara.

    Tujuan Perawatan pasien trauma maksilofasial :

    a. Memperbaiki jalan napas.

    b. Mengontrol perdarahan.

    c. Dapat menggigit secara normal reduksi akan sempurna.

    d. Cegah deformitas reduksi pada fraktur hidung dan zigoma

    7. Pemeriksaan Intra Oral.

    Yang harus di perhatikan pada saat melakukan pemeriksaan intra oral adalah

    adanya floating pada susunan tulang-tulang wajah, seperti :

    Mandibular floating.

    Maxillar floating.

    Zygomaticum floating

    Yang dimaksud dengan floating disini adalah keadaan dimana salah satu dari

    struktur tulang diatas terasa seperti melayang saat dilakukan palpasi, jika

    terbukti adanya floating, berarti ada kerusakan atau fraktur pada tulang

    tersebut.

  • 7/22/2019 Step 6-7 Skenario 2

    24/72

    Pasien dengan trauma maksilofasial harus dikelola dengan segera, dimana

    dituntut tindakan diagnostik yang cepat dan pada saat yang sama juga

    diperlukan juga tindakan resusitasi yang cepat. Resusitasi mengandung

    prosedur dan teknik terencana untuk mengembalikan pulmonary alveolaris

    ventilasi, sirkulasi dan tekanan darah yang efektif dan untuk memperbaiki

    efek yang merugikan lainnya dari trauma maksilofasial. Tindakan pertama

    yang dilakukan ialah tindakan Primary Survey yang meliputi pemeriksaan

    vital sign secara cermat, efisien dan cepat. Kegagalan dalam melakukan salah

    satu tindakan ini dengan baik dapat berakibat fatal.

    Jadi secara umum dapat disimpulkan, penderita trauma maksilofasial dapat

    dibagi dalam 2 kelompok :

    1. Kelompok perlukaan maksilofasial sekunder pada relative trauma kecil,

    misalnya dipukul atau ditendang, dapat di terapi pada intermediate atau area

    terapi biasa pada ruang gawat darurat.

    2. Kelompok perlukaan maksilofasial berat sekunder kedalam trauma tumpul

    berat, misalnya penurunan kondisi secara cepat dari kecelakaan lalulintas atau

    jatuh dari ketinggian, harus diterapi di tempat perawatan kritis pada instalasi

    gawat darurat :

    1.Trauma maksilofasial berat harus di rawat di ruang resusitasi atau kritis area

    diikuti dengan teknik ATLS

  • 7/22/2019 Step 6-7 Skenario 2

    25/72

    2.Yakinkan dan jaga potensi jalan napas dengan immobilisasi tulang leher.

    a. Setengah duduk jika tidak ada kecurigaan perlukaan spinal, atau jika

    penderita perlu melakukannya.

    b. Jaw trush dan chin lift.

    c. Traksi lidah : Dengan jari, O-slik suture atau dengan handuk

    3. Endotrakel intubasi : oral intubasi sadar atau RSI atau krikotiroidotomi

    4. Berikan oksigenasi yang adekuat .

    5.Monitor tanda vital setiap 5 10 menit, EKG, cek pulse oximetry.

    6. Pasang 1 atau 2 infus perifer dengan jarum besar untuk pengantian cairan.

    7. Laboratorium : Crossmatch golongan darah, darah lengkap, ureum

    /elektrolit / kreatinin.

    8. Fasilitas penghentian perdarahan yang berlangsung.

    a. Penekanan langsung. Jepitan hidung,Tampon hidung atau tenggorokan.

    b. Bahan haemostatic asam tranexamid (cyclokapron). Dosis : 25mg/kg BB IV

    bolus pelan selama 5 10 menit.

    Beberapa pegangan pada bedah plastik dapat digunakan dalam menangani

    trauma dan luka pada wajah :

    1. Asepsis.

  • 7/22/2019 Step 6-7 Skenario 2

    26/72

    2. Debridement, bersihkan seluruh kotoran dan benda asing.

    3. Hemostasis, sedemikian rupa sehingga setetes darah pun tidak bersisa

    sesudah dijahit.

    4. Hemat jaringan, hanya jaringan yang nekrosis saja yang boleh dieksisi dari

    pinggir luka.

    5. Atraumatik, seluruh tindakan bedah dengan cara dan bahan atraumatik.

    6. Approksimasi, penjahitan kedua belah sisi pinggir luka secara tepat dan

    teliti.

    7. Non tensi, tidak boleh ada tegangan dan tarikan pinggir luka sesudah

    dijahit. Benang hanya berfungsi sebagai pemegang

    8. Eksposure, luka sesudah dijahit sebaiknya dibiarkan terbuka karena

    penyembuhan dan perawatan luka lebih baik, kecuali ditakutkan ada

    perdarahan di bawah luka yang harus ditekan (pressure).

    2) Penatalaksanaan awal pada trauma thoraxPRIMARY SURVEY

    Airway

    Mulut harus segera dibuka, dibersihkan dan dikeluarkan benda-benda padat dengan

    tangan. Untuk mengeluarkan cairan, maka posisi kepala dan bahu direndahkan dengan

    memiringkan kepala kesamping (hati-hati pada pasien dengan trauma).

  • 7/22/2019 Step 6-7 Skenario 2

    27/72

    Penyebab utama obstruksi jalan nafas bagian atas adalah lidah yang jatuh kebelakang dan

    menutup nasofaring. Selain itu bekuan darah, muntahan, edema atau trauma dapat juga

    menyebabkan obstruksi tersebut. Ada 3 cara untuk membebaskan obstruksi jalan nafas:

    Head tilt: leher diekstensikan sejauh mungkin dengan menggunakan 1 tangan. Chin lift: dagu bagian sentral ditarik kedepan dengan menggunakan tangan yang

    lain.

    Jaw thrust: jari indeks dan lainnya ditempatkan kedua sisi antara sudut rahang dantelinga serta rahang ditarik kedepan.

    Breathing

    Merupakan usaha ventilasi buatan dan oksigenasi dengan inflasi dari mulut-mulut, mulut-

    hidung, atau mulut-alat (S-tube atau bag valve mask). Perhatikan apakah dada pasien

    memperlihatkan gerakan naik turun atau terdengar udara keluar pada waktu ekshalasi.

    Apakah denyut nadi teraba atau suara denyut jantung dan pembuluh darah terdengar

    dengan stetoskop. Bila nadi teraba, lanjutkan dengan 12 kali inflasi/ menit untuk dewasa,

    20 x/ menit untuk anak-anak. Bila nadi tidak teraba, mulai dengan tindakan pijat jantung

    dan pembuluh darah luar (PJL) untuk memberikan bantuan sirkulasi.

  • 7/22/2019 Step 6-7 Skenario 2

    28/72

  • 7/22/2019 Step 6-7 Skenario 2

    29/72

    Penanganan Perdarahan

    o Hentikan perdarahan

    o Posisi syok

    o Pasang 2 infus besar

    o Ambil sample darah, lakukan cross-match dan periksa Hb

    o Beri infus cairan

    Shock hipovolemik didiagnosa ketika ditemukan tanda berupa ketidakstabilan

    hemodinamik dan ditemukan adanya sumber perdarahan.

    Menempatkan pasien dalam posisi kaki lebih tinggi, menjaga jalur pernafasan dan

    diberikan resusitasi cairan dengan cepat lewat akses IV. Cairan yang diberikan

    adalah Ringer Laktat (RL) dengan jarum infus yang terbesar. Tak ada bukti medis

    tentang kelebihan cairan koloid pada syok hipovolemik. Pemberian 2-4 L dalam

  • 7/22/2019 Step 6-7 Skenario 2

    30/72

    20-30 menit diharapkan dapat mengembalikan keadaan hemodinamik.

    Pemasangan infus dilakukan pada 2 tempat. Dapat juga dilakukan pemasangan

    CVP (Central Venous Preasure).

    Bila hemodinamik tetap tidak stabil, berarti perdarahan atau kehilangan cairan

    belum teratasi. Kehilangan darah yang berlanjut dengan Hb

  • 7/22/2019 Step 6-7 Skenario 2

    31/72

    5. orientasi baik.

    Motorik: 1. tidak bergerak sama sekali.

    2. ekstensi dengan stimulasi rasa nyeri.

    3. fleksi abnormal dengan stimulasi rasa nyeri.

    4. menghindar dengan stimulasi rasa nyeri.

    5. terlokalisi pada stimulasi rasa nyeri.

    6. bergerak menurut perintah.

    Interpretasi:

    Berat: skor 13

    Normal: 15

    Lakukan penilaian respon pupil Boleh dilakukan Periksa kesadaran:

    A: awake (sadar penuh)

    V: respon to Verbal

    P: respon to Pain

    U: Unresponsive

  • 7/22/2019 Step 6-7 Skenario 2

    32/72

    Exposure

    Lepaskan semua pakaian untuk memeriksa secara menyeluruh. Cegah hipotermia

    (klorpromazin 25 mg tiap 6 jam/ fenergan 12,5 mg tiap 6 jam).

    SECONDARY SURVEY

    Dilakukan setelah primary survey komplit (ABCDE telah dilakukan dan fungsi

    vital telah kembali normal)

    Tanyakan riwayat trauma

    Lakukan pemeriksaan fisik (head to toe)

    Pemeriksaan neurologis lengkap

    Pemeriksaan lab

    Evaluasi ulang

    A. Pengertian Trauma Thorak

    Trauma thorax adalah luka atau cedera yang mengenai rongga thorax yang dapat menyebabkan

    kerusakan pada dinding thorax ataupun isi dari cavum thorax yang disebabkan oleh benda tajam

    atau bennda tumpul dan dapat menyebabkan keadaan gawat thorax akut. Trauma thorax

    kebanyakan disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas yang umumnya berupa trauma tumpul

    dinding thorax. Dapat juga disebabkanoleh karena trauma tajam melalui dinding thorax.

    Kerangka rongga thorax,meruncing pada bagian atas dan berbentuk kerucut terdiri dari sternum,

    12vertebra thoracalis, 10 pasang iga yang berakhir di anterior dalam segmen tulang rawan dan 2

    pasang yang melayang. Kartilago dari 6 iga memisahkan articulasio dari sternum, kartilago

    ketujuh sampai sepuluh berfungsi membentuk tepi kostal sebelum menyambung pada tepi bawah

  • 7/22/2019 Step 6-7 Skenario 2

    33/72

    sternum.Hipoksia, hiperkarbia, dan asidosis sering disebabkan oleh trauma thorax. Hipokasia

    jaringan merupakan akibat dari tidak adekuatnya pengangkutan oksigen ke jaringan oleh karena

    hipovolemia (kehilangan darah), pulmonaryventilation/perfusion mismatch dan perubahan dalam

    tekanan intratthorax. Hiperkarbia lebih sering disebabkan oleh tidak adekuatnya ventilasi akibat

    perubahan tekanan intrathorax atau penurunan tingkat kesadaran. Asidosismetabolik disebabkan

    oleh hipoperfusi dari jaringan (syok)

    B. Jenis-Jenis Trauma Thorak

    Trauma toraks dapat dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu trauma tembus atau tumpul.

    1. Trauma tembus (tajam)

    Terjadi diskontinuitas dinding toraks (laserasi) langsung akibat penyebab trauma

    Terutama akibat tusukan benda tajam (pisau, kaca, dsb) atau peluru

    Sekitar 10-30% memerlukan operasi torakotomi

    2. Trauma tumpul

    Tidak terjadi diskontinuitas dinding toraks.

    Terutama akibat kecelakaan lalu-lintas, terjatuh, olahraga, crush atau blast injuries.

    Kelainan tersering akibat trauma tumpul toraks adalah kontusio paru.

    Sekitar

  • 7/22/2019 Step 6-7 Skenario 2

    34/72

    1. Akselerasi

    Kerusakan yang terjadi merupakan akibat langsung dari penyebab trauma. Gaya perusak

    berbanding lurus dengan massa dan percepatan (akselerasi); sesuai dengan hukum Newton II

    (Kerusakan yang terjadi juga bergantung pada luas jaringan tubuh yang menerima gaya perusak

    dari trauma tersebut.

    Pada luka tembak perlu diperhatikan jenis senjata dan jarak tembak; penggunaan senjata dengan

    kecepatan tinggi seperti senjata militer high velocity (>3000 ft/sec) pada jarak dekat akan

    mengakibatkan kerusakan dan peronggaan yang jauh lebih luas dibandingkan besar lubang

    masuk peluru.

    2. Deselerasi

    Kerusakan yang terjadi akibat mekanisme deselerasi dari jaringan. Biasanya terjadi pada tubuh

    yang bergerak dan tiba-tiba terhenti akibat trauma. Kerusakan terjadi oleh karena pada saat

    trauma, organ-organ dalam yang mobile (seperti bronkhus, sebagian aorta, organ visera, dsb)

    masih bergerak dan gaya yang merusak terjadi akibat tumbukan pada dinding toraks/rongga

    tubuh lain atau oleh karena tarikan dari jaringan pengikat organ tersebut.

    3. Torsio dan rotasi

    Gaya torsio dan rotasio yang terjadi umumnya diakibatkan oleh adanya deselerasi organ-organ

    dalam yang sebagian strukturnya memiliki jaringan pengikat/fiksasi, seperti Isthmus aorta,

    bronkus utama, diafragma atau atrium. Akibat adanya deselerasi yang tiba-tiba, organ-organ

    tersebut dapat terpilin atau terputar dengan jaringan fiksasi sebagai titik tumpu atau porosnya.

  • 7/22/2019 Step 6-7 Skenario 2

    35/72

    4. Blast injury

    Kerusakan jaringan pada blast injury terjadi tanpa adanya kontak langsung dengan penyebab

    trauma. Seperti pada ledakan bom. Gaya merusak diterima oleh tubuh melalui penghantaran

    gelombang energi.

    C. Pemeriksaan Primary Survey

    Yaitu dilakukan pada trauma yang mengancam jiwa, pertolongan ini dimulai dengan airway,

    breathing, dan circulation.

    1. Open Pneumothorax

    Dapat timbul karena trauma tajam, sedemikian rupa, sehingga ada hubungan udara luar dengan

    rongga pleura, sehingga paru menjadi kuncup. Seringkali hal ini terlihat sebagai luka pada

    dinding dada yang mengisap pada setiap inspirasi (sucking chest wound). Apabila lubang ini

    lebih besar daripada 1/3 diameter trachea, maka pada inspirasi, udara lebih mudah melewati

    lubang pada dinding dada dibandingkan melewati mulut, sehingga terjadi sesak yang hebat.

    Dengan demikian maka pada oper pneumothorax, usaha pertama adalah menutup lubang pada

    dinding dada ini, sehingga open pneumothorax menjadi close pneumothorax (tertutup). Harus

    segera ditambahkan bahwa Apabila selain lubang pada dinding dada, juga ada lubang pada paru,

    maka usaha menutup lubang ini dapat mengakibatkan terjadinya tension pneumothorax. Dengan

    demikian maka yang harus dilakukan adalah:

  • 7/22/2019 Step 6-7 Skenario 2

    36/72

    Menutup dengan kasa 3 sisi. Kasa ditutup dengan plester pada 3 sisinya, sedangkan pada sisi

    yang atas dibiarkan terbuka (kasa harus dilapisi zalf/sofratulle pada sisi dalamnya supaya kedap

    udara)

    Menutup dengan kasa kedap udara. Apabila dilakukan cara ini maka harus sering dilakukan

    evaluasi paru. Apabila ternyata timbul tanda tension pneumothorax, maka kasa harus dibuka

    pada luka yang sangat besar, maka dapat dipakai palastik infuse yang digunting sesuai ukuran.

    2. Tension Pneumothorax

    Berkembang ketika terjadi one-way-valve (fenomena ventil), kebocoran udara yang berasal dari

    paru-paru atau melalui dinding dada masuk ke dalam rongga pleura dan tidak dapat keluar lagi

    (one-way-valve). Akibat udara yang masuk ke dalam rongga pleura yang tidak dapat keluar lagi,

    maka tekanan di intrapleural akan meninggi, paru-paru menjadi kolaps, mediastinum terdorong

    ke sisi berlawanan dan menghambat pengembalian darah vena ke jantung (venous return), serta

    akan menekan paru kontralateral.

    Penyebab tersering dari tension pneumothorax adalah komplikasi penggunaan ventilasi mekanik

    (ventilator) dengan ventilasi tekanan positif pada penderita dengan kerusakan pada pleura

    viseral. Tension pneumothorax dapat timbul sebagai komplikasi dari penumotoraks sederhana

    akibat trauma toraks tembus atau tajam dengan perlukaan parenkim paru tanpa robekan atau

    setelah salah arah pada pemasangan kateter subklavia atau vnea jugularis interna.

    Tension pneumothorax juga dapat terjadi pada fraktur tulang belakang toraks yang mengalami

    pergeseran (displaced thoracic spine fractures). Diagnosis tension pneumotorax ditegakkan

    berdasarkan gejala klinis, dan tetapi tidak boleh terlambat oleh karena menunggu konfirmasi

    radkologi. Tension pneumothorax ditandai dengan gejala nyeri dada, sesak, distres pernafasan,

  • 7/22/2019 Step 6-7 Skenario 2

    37/72

    takikardi, hipotensi, deviasi trakes, hilangnya suara nafas pada satu sisi dan distensi vena leher.

    Tension pneumothorax membutuhkan dekompresi segera dan penanggulangan awal dengan

    cepat berupa insersi jarum yang berukuran besar pada sela iga dua garis midclavicular pada

    hemitoraks yang mengalami kelainan. Tindakan ini akan mengubah tension pneumothorax

    menjadi pneumothoraks sederhana (catatan : kemungkinan terjadi pneumotoraks yang bertambah

    akibat tertusuk jarum). Evaluasi ulang selalu diperlukan. Tetapi definitif selalu dibutuhkan

    dengan pemsangan selang dada (chest tube) pada sela iga ke 5 (garis putting susu) diantara garis

    anterior dan midaxilaris.

    3. Hematothorax massif

    Hematothorax massif yaitu terkumpulnya darah dengan cepat lebih dari 1.500 cc di dalam

    rongga pleura. Hal ini sering disebabkan oleh luka tembus yang merusak pembuluh darah

    sistemik atau pembuluh darah pada hilus paru. Hal ini juga dapat disebabkan trauma tumpul.

    Diagnosis hemotoraks ditegakkan dengan adanya syok yang disertai suara nafas menghilang dan

    perkusi pekak pada sisi dada yang mengalami trauma. Terapi awal hemotoraks masif adalah

    dengan penggantian volume darah yang dilakukan bersamaan dengan dekompresi rongga pleura.

    Dimulai dengan infus cairan kristaloid secara cepat dengan jarum besar dan kemudian pemberian

    darah dengan golongan spesifik secepatnya. Darah dari rongga pleura dapat dikumpulkan dalam

    penampungan yang cocok untuk autotransfusi. Jika pada awalnya sudah keluar 1.500 ml,

    kemungkinan besar penderita tersebut membutuhkan torakotomi segera.

    Keputusan torakotomi diambil bila didapatkan kehilangan darah terus menerus sebanyak 200

    cc/jam dalam waktu 2 sampai 4 jam, tetapi status fisiologi penderita tetap lebih diutamakan.

    Transfusi darah diperlukan selama ada indikasi untuk toraktomi. Selama penderita dilakukan

  • 7/22/2019 Step 6-7 Skenario 2

    38/72

    resusitasi, volume darah awal yang dikeluarkan dengan selang dada (chest tube) dan kehilangan

    darah selanjutnya harus ditambahkan ke dalam cairan pengganti yang akan diberikan. Warna

    darah (arteri atau vena) bukan merupakan indikator yang baik untuk dipakai sebagai dasar

    dilakukannya torakotomi. Luka tembus toraks di daerah anterior medial dari garis puting susu

    dan luka di daerah posterior, medial dari skapula harus di sadari oleh dokter bahwa kemungkinan

    dibutuhkan torakotomi, oleh karena kemungkinan melukai pembuluh darah besar, struktur hilus

    dan jantung yang potensial menjadi tamponade jantung.

    4. Flail Chest

    Terjadi ketika segmen dinding dada tidak lagi mempunyai kontinuitas dengan keseluruhan

    dinding dada. Keadaan tersebut terjadi karena fraktur iga multipel pada dua atau lebih tulang iga

    dengan dua atau lebih garis fraktur. Adanya semen flail chest (segmen mengambang)

    menyebabkan gangguan pada pergerakan dinding dada. Jika kerusakan parenkim paru di

    bawahnya terjadi sesuai dengan kerusakan pada tulang maka akan menyebabkan hipoksia yang

    serius.

    Kesulitan utama pada kelainan Flail Chest yaitu trauma pada parenkim paru yang mungkin

    terjadi (kontusio paru). Walaupun ketidak-stabilan dinding dada menimbulkan gerakan

    paradoksal dari dinding dada pada inspirasi dan ekspirasi, defek ini sendiri saja tidak akan

    menyebabkan hipoksia.

    Penyebab timbulnya hipoksia pada penderita ini terutama disebabkan nyeri yang mengakibatkan

    gerakan dinding dada yang tertahan dan trauma jaringan parunya. Flail Chest mungkin tidak

    terlihat pada awalnya, karena splinting (terbelat) dengan dinding dada. Gerakan pernafasan

  • 7/22/2019 Step 6-7 Skenario 2

    39/72

    menjadi buruk dan toraks bergerak secara asimetris dan tidak terkoordinasi. Palpasi gerakan

    pernafasan yang abnormal dan krepitasi iga atau fraktur tulang rawan membantu diagnosisi.

    Dengan foto toraks akan lebih jelas karena akan terlihat fraktur iga yang multipel, akan tetapi

    terpisahnya sendi costochondral tidak akan terlihat. Pemeriksaan analisis gas darah yaitu adanya

    hipoksia akibat kegagalan pernafasan, juga membantu dalam diagnosis Flail Chest. Terapi awal

    yang diberikan termasuk pemberian ventilasi adekuat, oksigen yang dilembabkan dan resusitasi

    cairan. Bila tidak ditemukan syok maka pemberian cairan kristoloid intravena harus lebih

    berhati-hati untuk mencegah kelebihan pemberian cairan. Bila ada kerusakan parenkim paru

    pada Flail Chest, maka akan sangat sensitif terhadap kekurangan ataupun kelebihan resusitasi

    cairan. Pengukuran yang lebih spesifik harus dilakukan agar pemberian cairan benar-benar

    optimal. Terapi definitif ditujukan untuk mengembangkan paru-paru dan berupa oksigenasi yang

    cukup serta pemberian cairan dan analgesia untuk memperbaiki ventilasi. Tidak semua penderita

    membutuhkan penggunaan ventilator. Pencegahan hipoksia merupakan hal penting pada

    penderita trauma, dan intubasi serta ventilasi perlu diberikan untuk waktu singkat sampai

    diagnosis dan pola trauma yang terjadi pada penderita tersebut ditemukan secara lengkap.

    Penilaian hati-hati dari frekuensi pernafasan, tekanan oksigen arterial dan penilaian kinerja

    pernafasan akan memberikan suatu indikasi timing / waktu untuk melakukan intubasi dan

    ventilasi.

    5. Temponade Jantung

    Tamponade jantung adalah kompresi jantung disebabkan oleh darah atau cairan yang

    terakumulasi di ruang antara miokardium (otot jantung) dan pericardium (lapisan luar jantung).

    Ini merupakan keadaan darurat medis,dengan meningkatnya produksi cairan sehingga akan

  • 7/22/2019 Step 6-7 Skenario 2

    40/72

    menekan jantung lebihkuat dan proses pengisian tidak normal. Jika tidak diobati, ventrikel akan

    terganggu, mengakibatkan shock dan kematian.

    Etiologinya bermacam-macam yang paling sering adalah maligna, perikarditis, uremia dan

    trauma, perdarahan ke dalam ruang pericardial akibattrauma, operasi, atau infeksi, pemasangan

    pacu jantung, tuberculosis, dan penggunaan antikoagulan.

    Patofisiologi Tamponade jantung terjadi bila jumlah efusi pericardium menyebabkan hambatan

    serius aliran darah ke jantung ( gangguandiastolik ventrikel ). Penyebab tersering adalah

    neoplasma, dan uremi. Neoplasma menyebabkan terjadinya pertumbuhan sel secara abnormal

    pada otot jantung. Sehingga terjadi hiperplasia sel yang tidak terkontrol, yang menyebabakan

    pembentukan massa (tumor). Hal ini yang dapatmengakibatnya ruang pada kantong jantung

    (perikardium) terdesak sehingga terjadi pergesekan antara kantong jantung (perikardium) dengan

    lapisan paling luar jantung (epikardium). Pergesekan ini dapat menyebabkan terjadinya

    peradangan pada perikarditis sehingga terjadi penumpukan cairan pada pericardium yang dapat

    menyebakan tamponade jantung. Uremia juga dapat menyebabkan tamponade jantung. Dimana

    orang yang mengalami uremia, didalam darahnya terdapat toksik metabolik yang dapat

    menyebabkan inflamasi (dalam hal ini inflamasi terjadi pada perikardium). Manifestasi klinis

    dari tamponade jantung adalah takikardi, peningkatan volume intravascular, peningkatan tekanan

    vena jugularis.

    D. Pemeriksaan Secondary Survey

    Pemeriksaan secondary survey merupakan suatau kegiatan mencari perubahan-perubahan yang

    dapat berkembang menjadi lebih gawat dan mengancam jiwa apabila tidak segera diatasi dengan

  • 7/22/2019 Step 6-7 Skenario 2

    41/72

    pemeriksaan dari kepala sampai kaki (head to toe) biasanya dilakukan setelah pemeriksaan

    primer (primary survey) dan setelah memulai resusitasi.

    Pemeriksaan sekunder dilakukan untuk mengidentifikasi masalah-masalah yang mungkin tidak

    diidentifikasi sebagai masalah yang mengancam jiwa (masalah-masalah yang tidak

    mengharuskan untuk dilakukan perawatan atau penanganan segera agar korban selamat, tetapi

    mungkin mengancam jiwa jika tidak ditangani) dan juga untuk mendeteksi penyakit atau trauma

    yang diderita pasien sehingga dapat ditangani lebih lanjut.

    1. Fraktur Iga

    Costa merupakan salah satu komponen pembentuk rongga dada yang memiliki fungsi untuk

    memberikan perlindungan terhadap organ didalamnya dan yang lebih penting adalah

    mempertahankan fungsi ventilasi paru.

    Fraktur Costa adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang / tulangrawan yang disebabkan oleh

    rudapaksa pada spesifikasi lokasi pada tulangcosta. Fraktur costa akan menimbulkan rasa nyeri,

    yang mengganggu prosesrespirasi, disamping itu adanya komplikasi dan gangguan lain yang

    menyertai. Diperlukan perhatian khusus dalam penanganan terhadap fraktur ini.

    Pada anak fraktur costa sangat jarang dijumpai oleh karena costa pada anak masih sangat lentur.

    Fraktur costa dapat terjadi dimana saja disepanjang costa tersebut..Dari keduabelas pasang costa

    yang ada, tiga costa pertama paling jarang mengalami fraktur hal ini disebabkan karena costa

    tersebut sangat terlindung. Costa ke 4-9 paling banyak mengalami fraktur, karena posisinya

    sangat terbuka dan memiliki pelindung yang sangat sedikit, sedangkan tiga costa terbawah yakni

    costa ke 10-12 juga jarang mengalami fraktur oleh karena sangat labil.

  • 7/22/2019 Step 6-7 Skenario 2

    42/72

    Secara garis besar penyebab fraktur costa dapat dibagi dalam 2 kelompok :

    a. Disebabkan trauma

    1) Trauma tumpul

    Penyebab trauma tumpul yang sering mengakibatkan adanya fraktur costa antara lain :

    Kecelakaan lalulintas,kecelakaan pada pejalan kaki ,jatuh dari ketinggian, atau jatuh pada dasar

    yang keras atau akibat perkelahian.

    2) Trauma Tembus

    Penyebab trauma tembus yang sering menimbulkan fraktur costa luka tusuk dan luka tembak

    b. Disebabkan bukan trauma

    Yang dapat mengakibatkan fraktur costa, terutama akibat gerakan yang menimbulkan putaran

    rongga dada secara berlebihan atau oleh karena adanya gerakan yang berlebihan dan stress

    fraktur, seperti pada gerakan olahraga : Lempar martil, soft ball, tennis, golf. Fraktur costa dapat

    terjadi akibat trauma yang datangnya dari arah depan, samping ataupun dari arah belakang.

    Trauma yang mengenai dada biasanya akan menimbulkan trauma costa, tetapi dengan adanya

    otot yang melindungi costa pada dinding dada, maka tidak semua trauma dada akan terjadi

    fraktur costa. Fraktur costa yang displace akan dapat mencederai jaringan sekitarnya atau

    bahkan organ dibawahnya. Fraktur pada costa ke 4-9 dapat mencederai intercostalis, pleura

    visceralis, paru maupun jantung, sehingga dapat mengakibatkan timbulnya hematotoraks,

    pneumotoraks ataupun laserasi jantung.

  • 7/22/2019 Step 6-7 Skenario 2

    43/72

    2. Kontusio Paru

    Kontusio paru adalah kelainan yang paling sering ditemukan pada golongan potentially lethal

    chest injury. Kegagalan bernafas dapat timbul perlahan dan berkembang sesuai waktu, tidak

    langsung terjadi setelah kejadian, sehingga rencana penanganan definitif dapat berubah

    berdasarkan perubahan waktu. Monitoring harus ketat dan berhati-hati, juga diperlukan evaluasi

    penderita yang berulang-ulang. Penderita dengan hipoksia bermakna (PaO2 < 65 mmHg atau 8,6

    kPa dalam udara ruangan, SaO2 < 90 %) harus dilakukan intubasi dan diberikan bantuan

    ventilasi pada jam-jam pertama setelah trauma.

    Kondisi medik yang berhubungan dengan kontusio paru seperti penyakit paru kronis dan gagal

    ginjal menambah indikasi untuk melakukan intubasi lebih awal dan ventilasi mekanik. Beberapa

    penderita dengan kondisi stabil dapat ditangani secara selektif tanpa intubasi endotrakeal atau

    ventilasi mekanik. Monitoring dengan pulse oximeter, pemeriksaan analisis gas darah,

    monitoring EKG dan perlengkapan alat bantu pernafasan diperlukan untuk penanganan yang

    optimal. Jika kondisi penderita memburuk dan perlu ditransfer maka harus dilakukan intubasi

    dan ventilasi terlebih dahulu.

    3. Ruptur Aorta

    Ruptur aorta sering menyebabkan kematian penderitanya, dan lokasi ruptura tersering adalah di

    bagian proksimal arteri subklavia kiri dekat ligamentum arteriosum. Hanya kira-kira 15% dari

    penderita trauma toraks dengan ruptura aorta ini dapat mencapai rumah sakit untuk mendapatkan

    pertolongan. Kecurigaan adanya ruptur aorta dari foto toraks bila didapatkan :

    a. mediastinum yang melebar

  • 7/22/2019 Step 6-7 Skenario 2

    44/72

    b. fraktur iga 1 dan 2

    c. trakea terdorong ke kanan

    d. gambaran aorta kabur

    e. penekanan bronkus utama kiri

    f. gambaran pipa lambung (NGT) pada esofagus yang terdorong ke kanan.

    Ruptur aorta disebabkan kekuatan deselerasi yang besar ketika terjadi benturan dan kemudian

    kekuatan tersebut didistribusikan secara tidak merata di sepanjang aorta, mengingat pelekatan

    aorta pada struktur interna. Trauma akselerasi-deselerasi vertikal seperti jatuh dapat

    menyebabkan robeknya aorta asendens dengan tamponade perikardial akut.

    Mekanisme yang menyebabkan ruptur adalah:

    a. shear forces dalam hubungannyadengan segmen mobile arkus aorta dan aorta torakalis

    desendens (mis titik fiksasi padaligamentum arteriosum);

    b. kompresi aorta dan pembuluh darah besar lainnya padakolumna vertebralis; dan

    c. hiperekstensi intraluminal yang cukup besar selama momentubrukan.

    4. Ruptur Diagfragma

    Ruptur diafragma jarang merupakan trauma tunggal biasanya disertai trauma lain, trauma thorak

    dan abdomen, dibawah ini merupakan organ-organ yang paling sering terkena bersamaan dengan

    ruptur diafragma : (1) fraktur pelvis 40%, (2) ruptur lien 25%,, (3) ruptur hepar 25%, (4) ruptur

    aorta pars thorakalis 5-10%.

  • 7/22/2019 Step 6-7 Skenario 2

    45/72

    Beberapa ahli membagi ruptur diafragma berdasarkan waktu mendiagnosisnya menjadi :

    a. Early diagnosis

    Diagnosis biasanya tidak tampak jelas dan hanpir 50% pasien ruptur diafragma tidak

    terdiagnosis dalam 24 jam pertama

    Gejala yang mencul biasanya adanya tanda gangguan pernapasan

    Pemeriksaan fisik yang menudukung : adanya suara bising usus di dinding thorak dan perkusi

    yang redup di dinding thorak yang terkena

    b. Delayed diagnosis

    Bila tidak terdiagnosa dalam 4 jam pertama, biasanya diagnosa akan muncul beberapa bulan

    bahkan tahun kemudian

    Sekitar 80-90% ruptur diafragma terjadi akibat kecelakaan sepeda motor. Mekanisme terjadinya

    ruptur berhubungan dengan perbedaan tekanan yang timbul antara rongga pleura dan rongga

    peritoneum. Trauma dari sisi lateral menyebabkan ruptur diafragma 3 kali lebih sering

    dibandingkan trauma dari sisi lainnya oleh karena langsung dapat menyebabkan robekan

    diafragma pada sisi ipsilateral. Trauma dari arah depan menyebabkan peningkatan tekan intra

    abdomen yang mendadak sehingga menyebabkan robekan radier yang panjang pada sisi

    posterolateral diafragma yang secara embriologis merupakan bagian terlemah.

    75 % ruptur diafragma terjadi disisi kiri, dan pada beberapa kasus terjadi pada sisi kanan yang

    biasanya disebabkan oleh trauma yang hebat dan biasanya menyebabkan gangguan

  • 7/22/2019 Step 6-7 Skenario 2

    46/72

    hemodinamik, hal ini disebabkan oleh karena letak hepar disebelah kanan yang sekaligus

    menjadi suatu proteksi. Pada trauma kendaraan bermotor arah trauma menentukan lokasi injuri

    di kanada dan Amerika Serikat biasanya yang terkena adalah sisi kiri khususnya pada pasien

    yang menyetir mobil, sedangkan pada penumpang biasanya yang terkena sisi kanan.

    Pada trauma tumpul biasanya menyebabkan robekan radier pada mediastinum dengan ukuran 5

    15 cm, paling sering pada sisi posterolateral, sebaliknya trauma tembus menyebabkan robekan

    linear yang kecil dengan ukuran kurang dari 2 cm dan bertahun-tahun kemudian menimbulkan

    pelebaran robekan dan terjadi herniasi.

    Berikut ini mekanisme terjadinya ruptur diafragma : (1) robekan dari membran yang mengalami

    tarikan (stretching ), (2) avulsi diafragma dari titik insersinya, (3) tekanan mendadak pada organ

    viscera yang diteruskan ke diafragma.

    5. Perforasi Eosofagus

    Ruptur esofagus (Boerhaave syndrome) atau perforasi esofagus adalah pecahnya dinding

    esofagus karena muntah-muntah. 90 % penyebab ruptur esofagus adalah iatrogenik, yang

    biasanya diakibatkan oleh instrumentasi medis seperti paraesophageal endoskopi atau

    pembedahan. Dan 10%nya disebabkan oleh muntah-muntah.

    Ruptur esofagus umumnya disebabkan oleh peningkatan mendadak tekanan intraesophageal dan

    tekanan negatif intrathoracic. Penyebab lain dari ruptur esofagus meliputi trauma tajam, pil

    esofagitis, Barretts ulkus, infeksi ulkus pada pasien dengan AIDS, dan pelebaran striktur

    esofagus.

  • 7/22/2019 Step 6-7 Skenario 2

    47/72

    Sebagian besar kasus ruptur esofagus, terjadi pada bagian posterolateral kiri dan meluas sampai

    beberapa sentimeter ke arah distal esofagus. Keadaan ini dikaitkan dengan morbiditas dan

    mortalitas yang tinggi dan berakibat fatal pada ketiadaan terapi. Kadang-kadang gejala non

    spesifik dapat menyebabkan keterlambatan dalam diagnosis dan dapat memberikan hasil yang

    buruk. Penyakit esofagus yang sudah ada sebelumnya bukan merupakan prasyarat untuk ruptur

    esofagus, tapi memberikan kontribusi pada peningkatan angka kematian ruptur esofagus tersebut.

    Ruptur esofagus yang disebabkan oleh trauma akibat benda tajam masih tetap merupakan

    masalah kesehatan masyarakat yang penting di Amerika Serikat dan dunia, meskipun berbagai

    pendidikan dan peraturan telah diberikan sebagai upaya untuk mengurangi terjadinya kasus ini.

    Penyebab ruptur esofagus umumnya disebabkan oleh trauma tajam/tembus, antara lain:

    a. kerusakan iatrogenic dari struktur esofagus atau trauma dari luar

    b. peningkatan tekanan intraesofagus disertai muntah hebat

    c. penyakit esofagus seperti esofagitis korosif, esophageal ulcer dan neoplasma.

    Letak ruptur tergantung dari kasus ruptur esofagus. Ruptur esofagus biasanya terjadi di pharing

    atau esefagus bagian bawah tepat di dinding posterolateral di atas diafragma.

    Gejala ruptur esofagus juga berupa nyeri dada yang hebat pada saat menelan atau bernapas.

    Udara yang masuk ke mediastinum dapat menuju ke leher dan dapat menyebabkan emfisema

    subkutaneus atau ke dalam rongga pleura dan dapat menyebabkan pneumothorak.

    Ruptur esofagus juga bisa disebabkan oleh varises esofagus. Varises esofagus bisa menyebabkan

    hematemesis. Pada kasus ini hematemesis dapat berakibat fatal untuk penderita.

  • 7/22/2019 Step 6-7 Skenario 2

    48/72

    E. Penatalaksanaan Trauma Thorak

    1. Bullow Drainage / WSD

    Pada trauma toraks, WSD dapat berarti :

    a. Diagnostik :

    Menentukan perdarahan dari pembuluh darah besar atau kecil, sehingga dapat ditentukan perlu

    operasi torakotomi atau tidak, sebelum penderita jatuh dalam shock.

    b. Terapi :

    Mengeluarkan darah atau udara yang terkumpul di rongga pleura. Mengembalikan tekanan

    rongga pleura sehingga "mechanis of breathing" dapat kembali seperti yang seharusnya.

    c. Preventive :

    Mengeluarkan udaran atau darah yang masuk ke rongga pleura sehingga "mechanis of breathing"

    tetap baik.

    2. Perawatan WSD dan pedoman latihanya :

    a. Mencegah infeksi di bagian masuknya slang.

    Mendeteksi di bagian dimana masuknya slang, dan pengganti verband 2 hari sekali, dan perlu

    diperhatikan agar kain kassa yang menutup bagian masuknya slang dan tube tidak boleh dikotori

    waktu menyeka tubuh pasien.

    b. Mengurangi rasa sakit dibagian masuknya slang. Untuk rasa sakit yang hebat akan diberi

    analgetik oleh dokter.

  • 7/22/2019 Step 6-7 Skenario 2

    49/72

    c. Dalam perawatan yang harus diperhatikan :

    Penetapan slang.

    Slang diatur se-nyaman mungkin, sehingga slang yang dimasukkan tidak terganggu dengan

    bergeraknya pasien, sehingga rasa sakit di bagian masuknya slang dapat dikurangi.

    Pergantian posisi badan.

    Usahakan agar pasien dapat merasa enak dengan memasang bantal kecil dibelakang, atau

    memberi tahanan pada slang, melakukan pernapasan perut, merubah posisi tubuh sambil

    mengangkat badan, atau menaruh bantal di bawah lengan atas yang cedera.

    d. Mendorong berkembangnya paru-paru.

    Dengan WSD/Bullow drainage diharapkan paru mengembang.

    Latihan napas dalam.

    Latihan batuk yang efisien : batuk dengan posisi duduk, jangan batuk waktu slang diklem.

    Kontrol dengan pemeriksaan fisik dan radiologi.

    e. Perhatikan keadaan dan banyaknya cairan suction.

    Perdarahan dalam 24 jam setelah operasi umumnya 500 - 800 cc. Jika perdarahan dalam 1 jam

    melebihi 3 cc/kg/jam, harus dilakukan torakotomi. Jika banyaknya hisapan bertambah/berkurang,

    perhatikan juga secara bersamaan keadaan pernapasan.

    f. Suction harus berjalan efektif :

  • 7/22/2019 Step 6-7 Skenario 2

    50/72

    Perhatikan setiap 15 - 20 menit selama 1 - 2 jam setelah operasi dan setiap 1 - 2 jam selama 24

    jam setelah operasi.

    Perhatikan banyaknya cairan, keadaan cairan, keluhan pasien, warna muka, keadaan

    pernapasan, denyut nadi, tekanan darah.

    Perlu sering dicek, apakah tekanan negative tetap sesuai petunjuk jika suction kurang baik,

    coba merubah posisi pasien dari terlentang, ke 1/2 terlentang atau 1/2 duduk ke posisi miring

    bagian operasi di bawah atau di cari penyababnya misal : slang tersumbat oleh gangguan darah,

    slang bengkok atau alat rusak, atau lubang slang tertutup oleh karena perlekatanan di dinding

    paru-paru.

    g. Perawatan "slang" dan botol WSD/ Bullow drainage.

    Cairan dalam botol WSD diganti setiap hari , diukur berapa cairan yan g keluar kalau ada

    dicatat.

    Setiap hendak mengganti botol dicatat pertambahan cairan dan adanya gelembung udara yang

    keluar dari bullow drainage.

    Penggantian botol harus "tertutup" untuk mencegah udara masuk yaitu meng"klem" slang pada

    dua tempat dengan kocher.

    Setiap penggantian botol/slang harus memperhatikan sterilitas botol dan slang harus tetap steril.

    Penggantian harus juga memperhatikan keselamatan kerja diri-sendiri, dengan memakai sarung

    tangan.

  • 7/22/2019 Step 6-7 Skenario 2

    51/72

    Cegah bahaya yang menggangu tekanan negatip dalam rongga dada, misal : slang terlepas,

    botol terjatuh karena kesalahan dll.

    h. Dinyatakan berhasil, bila :

    Paru sudah mengembang penuh pada pemeriksaan fisik dan radiologi.

    Darah cairan tidak keluar dari WSD / Bullow drainage.

    Tidak ada pus dariselang WSD.

    3) Gambaran radiologi pada pneumothorax

  • 7/22/2019 Step 6-7 Skenario 2

    52/72

  • 7/22/2019 Step 6-7 Skenario 2

    53/72

  • 7/22/2019 Step 6-7 Skenario 2

    54/72

    4) Kegawatdaruratan pada mataI. Konsep Dasar Penyakit

    1. Pengertian

    Kedaruratan mata adalah sikap keadaan yang mengancam tajam penglihatan

    seseorang berupa penurunan tajam penglihatan sampai terjadinya kebutaan (Roper- hall,

    1990, FI UI 1982, perhimpunan indonesia 1994).

    2. Klasifikasi :

    Berdasarkan konsep penanganan masalah gawat darurat maka kedaruratan mata

    dapat dikelompokkan menjadi beberapa keadaan :

    1. Sight threatening condition

    Dalam situasi ini mata akan mengalami kebutaan atau cacat yang menetap dengan

    penurunan penglihatan yang berat dalam waktu beberapa detik sampai beberapa menit

    saja bila tidak segera mendapatkan pertolongan yang tepat. Cedera mata akibat bahan

    kimia basa (alkali) termasuk dalam keadaan ini. Oklusi arteria sentralis retina merupakan

    keadaan bukan trauma yang termasuk dalam kelompok ini.

    2. Mayor condition

    Dalam situasi ini pertolongan harus diberikan tetapi dengan batasan waktu yang

    lebih longgar, dapat beberapa jam sampai beberapa hari. Bila pertolongan tidak diberikan

    maka penderita akan mengalami hal yang sama seperti disebutkan pada sight threatening

    condition.

    3. Monitor condition

  • 7/22/2019 Step 6-7 Skenario 2

    55/72

    Situasi ini tidak akan menimbulkan kebutaan meskipun mungkin menimbulkan

    suatu penderitaan subyektif pada pasien bila terabaikan pasien mungkin dapat masuk

    kedalam keadaan mayor condition

    3. Etiologi

    Kedaruratan mata dapat terjadi karena dua hal :

    1. Tidak ada hubungannya denga trauma mata, misalnya :

    glaukoma akuta

    oklusi arteria sentralis retina

    2. Disebabkan trauma

    Ada 2 macam trauma yang dapat mempengaruhi mata, yaitu:

    trauma langsung terhadap mata

    trauma tidak langsung, dengan akibat pada mata, misalnya

    - trauma kepala dengan kebutaan mendadak

    - trauma dada dengan akibat kelainan pada retina

    Pembagian sebab-sebab trauma langsung terhadap mata adalah sbb:

    1. Trauma mekanik

    a. Trauma tajam

    Biasanya mengenai struktur diluar bola mata (tulang orbita dan kelopak mata) dan

    mengenai bola mata (ruptura konjungtifa, ruptura kornea)

    b. Trauma tumpul

    Fraktura dasar orbita ditandai enoftalmus. Dapat terjadi kebutaan pasca trauma

    tumpul pada orbita. Hematoma palpebra biasanya dibatasi oleh rima orbita, selalu

    dipikirkan cedera pada sinus paranasal.

  • 7/22/2019 Step 6-7 Skenario 2

    56/72

    c. Trauma ledakan/ tembakan

    Ada 3 hal yang terjadi, yaitu :

    - Tekanan udara yang berubah

    - Korpus alineum yang dilontarkan kearah mata yang dapat bersifat mekanik

    maupun zat kimia tertentu

    - Perubahan suhu/ termis

    2. Trauma non mekanik

    a. Trauma kimia

    Dibedakan menjadi 2, trauma oleh zat yang bersifat asam dan trauma yang bersifat

    basa.

    b. Trauma termik

    Trauma ini disebabkan seperti panas, umpamanya percikan besi cair, diperlukan sama

    seperti trauma kimia

    c. Trauma radiasi

    Trauma radiasi disebabkan oleh inframerah dan ultraviolet

    4. MANIFESTASI KLINIS

    Adapun manifestasi klinisnya adalah sebagai berikut:

    lebam atau hematoma

    oedema

    nyeri

    lakrimasi

    adanya benda asing

    pupil bergeser ( T IO meningkat)

  • 7/22/2019 Step 6-7 Skenario 2

    57/72

    adanya zat kimia

    perubahan visus

    5. KOMPLIKASI

    1. Mengancam penglihatan

    glaukoma kronik

    perdarahan vitreus

    eksoftalmus unilateral

    kelainan saraf

    2. kerusakan permanen

    benda asing (kornea atau intra okuler)

    Abrasi kornea

    Laserasi bola mata

    Infeksi konjungifitis berat, selulitis orbita

    Penyumbatan arteri

    Pengelupasan retina

    Ensoftalmus

    II. PENATALAKSANAAN

    1. Trauma oftalmik

    Jangan lakukan penekanan, bila ada kecurigaan adanya laserasi, cedera tembus,

    ruptur bola mata, penekanan dapat diakibatkan ekstrusi isi intraokule dan kerusakan yang

    tidak dapat diperbaiki,letakkan ibu jari dan jari telunjuk pada atas dan bawah orbita jika

    robekan kelopak mata

  • 7/22/2019 Step 6-7 Skenario 2

    58/72

    2. Cedera bola mata

    Hindari manipulasi mata sampai saat perdarahan, pasang balutan ringan (tanpa

    tekanan) dan perisai logam yang bersandar pada tulang orbita diplester kedahi dan pipi,

    jaga jarak bola mata minimal, pembalutan bilateral, antibiotik, analgesik, anti tetanus dll,

    kolaborasi bila ruptur bola mata sudah teratasi periksakan struktur lain dapat dilakukan,

    penjahitan jika Laserasi kelopak mata

    3. Benda asing

    Benda asing tidak menembus dibawah kelopak mata atas, sehingga memungkinkan

    kelopak mata bawah menyapu benda asing untuk keluar dan angkat kelopak mata atas

    keatas kelopak mata bawah , hati-hati jangan sentuh kornea selanjutnya Lakukan irigasi

    rujuk, tutup mata, jika benda asing gagal keluar . Irigasi benda asing supervisial kornea ,

    pembedahan. Benda asing tertanam alat berujung tumpul hindari gunakan aplikator

    beraujung kapas karena dapat bergesek epitel terlalu banyak lalu ambil benda asing .

    4. Abrasi kornea

    Mengimobilisasi kelopak mata, beri balut tekan mata . Kolaborasi pemberian

    antibiotik, anastesi, dll. Jika terlambat penyembuhan maka monitor efeki anastesi

  • 7/22/2019 Step 6-7 Skenario 2

    59/72

    penyembuhan tanpa jaringan parut (24 s/d 48 jam). Untuk abrasi ekstensif berlapisan

    bagian bawah tidak terkena 24 jam lakukan. Pembalutan sebelah dan monitor epitelisasi

    dan penyembuhan

    5. Luka bakar kimia

    Irigasi segera dengan air bersih atau larutan NaCl, Cuci mata dibawah aliran air

    keran kemudian mengejap-ngejapkan mata dan memasukkan mata kekemudian dalam air

    kemudian bilas terus selama 20 mnt atau sampai bersih dan kolaborasi kemudian balut

    mata bilateral

    6. Ruptur bola mata

    Jangan buat bahaya atau cedera lain pasang perisai tapi hindari manipulasi

    gunakan spekulum mata saat pemeriksaan mata, tekanan vertikal bukan kedepan dan

    Jangan beri tetes mata dan tutup dan lindungi bola mata

    7. Trauma tumpul

    Kompres es, istirahatkan jika kontusio orbita dilakukan bedah kamera pada posisi

    tegak, dan isrirahatkan mata. Kolaborasikan Hifema anterior penurunan dosis pada

    anemia sel sabit dan penggunaan obat anti koagulan,waspadai

    1. Pemeriksaan fisik

  • 7/22/2019 Step 6-7 Skenario 2

    60/72

    Inspeksi :

    Infeksi palpebra lebih teliti bagi memar/ laserasi

    Periksa mata bagi cedera

    Periksa korneabagi laserasi/ kekeruhan

    Inspeksi iris

    Lihat kedalam pupil

    Periksa konjungtifa dan sklera dalam tiap kuadran

    2. Pemeriksaan penunjang

    Pemeriksaan lapang panjang

    Pemeriksaan oftalmoskopi untuk melihat mata

    Pemeriksaan neurologi/ syaraf-syaraf pada mata

    5) Kegawatdaruratan respirasiGagal nafas adalah suatu kegawatan yang disebabkan oleh gangguan pertukaran oksigen dan

    karbondioksida, sehingga sistem pernafasan tidak mampu memenuhi metabolisme tubuh.

    Sumbatan jalan nafas merupakan salah satu penyebab kematian utama yang kemungkinan masih

    dapat diatasi. Penolong harus dapat mengenal tanda-tanda dan gejala-gejala sumbatan jalan nafas

    dan menanganinya dengan cepat walaupun tanpa menggunakan alat yang canggih.

    Sumbatan jalan nafas dapat dijumpai baik di dalam rumah sakit maupun di luar rumah sakit. Di

    luar rumah sakit misalnya penderita tersedak makanan padat sehingga tersumbat jalan nafasnya,

    sedangkan di dalam rumah sakit misalnya penderita tidak puasa sewaktu akan dilaksanakan

    pembedahan sehingga dapat terjadi aspirasi yang dapat menyumbat jalan nafasnya.

  • 7/22/2019 Step 6-7 Skenario 2

    61/72

    2.1 Definisi

    Resusitasi adalah daya upaya untuk mengembalikan fungsi hidup dan kesadaran dari seseorang

    yang sudah mendekati kematian5. Resusitasi paru adalah tindakan dan bantuan untuk

    mengembalikan fungsi paru yang telah gagal.

    2.2 Fisiologi pernafasan1

    Respirasi ialah pertukaran gas-gas antara organisme hidup dalam lingkungan sekitarnya. Pada

    manusia dikenal dua macam respirasi yaitu eksternal dan internal. Respirasi eksternal ialah

    pertukaran gas-gas antara darah dan udara sekitarnya. Pertukaran ini meliputi beberapa proses

    yaitu:

    1. Ventilasi: proses masuk udara sekitar dan pembagian udara tersebut ke alveoli

    2. Distribusi: distribusi dan pencampuran molekul-molekul gas intrapulmoner

    3. Difusi: masuknya gas-gas menembus selaput alveolo-kapiler

    4. Perfusi: pengambilan gas-gas oleh aliran darah kapiler paru yang adekuat.

    Respirasi internal ialah pertukaran gas-gas antara darah dan jaringan. Pertukaran ini meliputi

    beberapa proses yaitu:

    1. Efisiensi kardiosirkulasi dalam darah kaya oksigen

    2. Distribusi kapiler

    3. Difusi, perjalanan gas ke ruang interstitial dan menembus dinding sel

  • 7/22/2019 Step 6-7 Skenario 2

    62/72

    4. Metabolisme sel yang melibatkan enzim

    Fungsi utama respirasi ialah pertukaran O2 dan CO2 antara darah dan udara pernafasan. Fungsi

    tambahan ialah pengendalian keseimbangan asam basa, metabolism hormon, dan pembuangan

    partikel. Paru ialah satu-satunya organ tubuh yang menerima darah dari seluruh curah jantung.

    Secara anatomis sistem respirasi dibagi menjadi bagian atas (upper) terdiri dari hidung, ruang

    hidung, sinus paranasalis, dan faring yang berfungsi menjaring, menghangatkan, dan

    melembabkan udara yang masuk ke saluran pernapasan dan bagian bawah (lower) terdiri dari

    laring, trakea, bronki, bronkioli, dan alveoli.

    Secara fisiologis sistem respirasi dibagi menjadi bagian konduksi dari ruang hidung sampai

    bronkioli terminalis dan bagian respirasi terdiri dari brokioli respiratorius sampai alveoli. Paru

    kanan terdiri dari tiga lobus (atas, tengah, dan bawah) dan paru kiri dua lobus (atas dan bawah).

    2.2.1 Pengangkutan oksigen dan karbon dioksida1

    Oksigen berdifusi dari bagian konduksi paru ke bagian respirasi paru sampai ke alveoli. Setelah

    O2 menembus epitel alveoli, membran basalis dan endotel kapiler, dalam darah sebagian besar

    O2 bergabung dengan hemoglobin (97%) dan sisanya larut dalam plasma (3%).

    Dalam keadaan normal 100 ml darah yang meninggalkan kapiler alveoli mengangkut 20 ml O2.

    Rata-rata dewasa muda normal membutuhkan O2 setiap menitnya 225 ml. oksigen yang masuk

    ke dalam darah dari alveoli sebagian besar diikat oleh Hb dan sisanya larut dalam plasma:

  • 7/22/2019 Step 6-7 Skenario 2

    63/72

    O2 + Hb HB O2 (97%)

    O2 + Plasma Larut (3%)

    Jika semua molekul Hb mengikat O2 secara penuh, maka saturasinya 100%. Jika kemampuan

    setiap molekul Hb hanya mengikat 2 molekul O2, maka saturasinya 50%. Karbon dioksida

    adalah hasil metabolisme aerobik dalam jaringan perifer dan produksinya bergantung jenis

    makanan yang dikonsumsi. Dalam darah sebagian besar CO2 (70%) diangkut dan diubah

    menjadi asam karbonat dengan bantuan enzim carbonic anhydrase (CA). sebagian kecil CO2

    diikat oleh Hb dalam sel eritrosit. Sisa CO2 (23%) larut dalam plasma.

    2.2.2 Pengaruh anesthesia pada respirasi1

    Efek penekan dari obet anestetik dan pelumpuh otot lurik terhadap respirasi telah dikenal sejak

    dulu ketika kedalaman, karakter dan kecepatan respirasi dikenal sebagai tanda klinis yang

    bermanfaat terhadat kedalaman anesthesia.

    Zat-zat anestitik intravena dan abar (volatile) serta opioid semuanya menekan pernapasan dan

    menurunkan respon terhadap CO2. Respons ini tidak seragam, opioid mengurangi laju

    pernapasan, zat abar trikloretilen meningkatkan laju pernapasan. Hiperkapnia atau hiperkarbia

    (PaCO2 dalam darah arteri meningkat) merangsang kemoreseptor di badan aorta dan karotis dan

    diteruskan ke pusat napas, terjadilah napas dalam dan cepat (hiperventilasi). Sebaliknya

    hipokapnia atau hipokarbia (PaCO2 dalam darah arteri menurun) menghambat kemoreseptor di

    badan aorta dan karotis dan diteruskan ke pusat napas, terjadilah nafas dangkal dan lambat

    (hipoventilasi).

  • 7/22/2019 Step 6-7 Skenario 2

    64/72

    Induksi anestesi akan menurunkan kapasitas sisa fungsional (fungsional residual volume),

    mungkin karena pergeseran diafragma ke atas, apalagi setelah pemberian pelumpuh otot.

    Menggigilk pasca anesthesia akan meningkatkan konsumsi O2.

    Pada perokok berat mukosa jalan nafas mudah terangsang, produksi lendir meningkat, darahnya

    mengandung HbCO2 kira-kira 10% dan kemampuan Hb mengikat O2 menurun sampai 25%.

    Nikotin akan menyebabkan takikardia dan hipertensi.

    2.2.3 Volum statik dan kapasitas paru4

    1. Volume tidal, yaitu volume udara inspirasi atau ekspirasi pada setiap daur napas tenang.

    Dewasa 500 ml.

    2. Volume cadangan inspirasi, yaitu volume maksimal udara yang dapatr diinspirasi setelah

    akhir ekspirasi tenang. Dewasa 1500 ml.

    3. Volume cadangan ekspirasi, yaitu volume maksimal udara yang dapat diekspirasi setelah

    akhir ekspirasi tenang. Dewasa 1200 ml.

    4. Volume sisa, yaitu volume udara yang tersisa dalam paru setelah akhir ekspirasi maksimal.

    Dewasa 2100 ml.

    5. Kapasitas inspirasi, yaitu volume maksimal udara yang dapat diinspirasi setelah akhir

    ekspirasi tenang. Dewasa 2000 ml.

    6. Kapasitas sisa fungsional, yaitu volume udara yang tersisa dalam paru setelah ekspirasi

    tenang. Dewasa 3300 ml.

  • 7/22/2019 Step 6-7 Skenario 2

    65/72

    7. Kapasitas vital, yaitu volume maksimal udara yang dapat diekspirasi dengan usaha

    maksimal setelah inspirasi maksimal. Dewasa 3200 ml.

    8. Kapasitas paru total, yaitu volume udara dalam paru setelah akhir inspirasi maksimal.

    Dewasa 5300 ml.

    Fungsi paru:

    1. Membuang CO2 dan mengambil O2 untuk metabolisme tubuh

    2. Mempertahankan pH darah

    3. Mempertahankan keseimbangan suhu tubuh dan kadar H2O

    4. Komponen fonasi suara

    2.3 Kegawat daruratan dalam sistem respirasi2

    Kegawat daruratan dalam sistem respirasi terbagi menjadi dua jenis yaitu:

    1. kegawatdaruratan pada gangguan jalan napas (airway)

    2. kegawatdaruratan pada gangguan ventilasi (breathing)

    2.3.1 Kegawat daruratan pada gangguan jalan napas (airway)

    Obstruksi jalan napas

  • 7/22/2019 Step 6-7 Skenario 2

    66/72

    Tanda-tanda sumbatan jalan napas2

    Pada keadaan penderita yang masih bernafas, mengenali ada tidaknya sumbatan jalan napas

    dapat dilakukan dengan cara lihat (look), dengar (listen), dan raba (feel).

    1. Lihat (look)

    Tentukan apakah pasien mengalami agitasi atau penurunan kesadaran. Agitasi menunjukkan

    kesan adanya hipoksemia yang mungkin disebabkan oleh karena sumbatan jalan napas,

    sedangkan penurunan kesadaran member kesan adanya hiperkarbia yang mungkin disebabkan

    oleh hipoventilasi akibat sumbatan jalan napas.

    Perhatikan juga gerak dada dan perut saat bernapas, normalnya pada posisi berbaring waktu

    inspirasi dinding dada dan dinding perut bergerak keatas dan waktu ekspirasi dinding dada dan

    dinding perut turun. Pada sumbatan jalan napas total dan parsial berat, waktu inspirasi dinding

    dada bergerak turun tapi dinding perut bergerak naik sedangkan waktu ekspirasi terjadi

    sebaliknya. Gerak nafas ini disebut see saw atau rocking respiration.

    Adanya retraksi sela iga, supra klavikula atau subkostal merupakan tanda tambahan adanya

    sumbatan jalan napas. Sianosis yang terlihat di kuku atau bibir menunjukkan adanya hipoksemia

    akibat oksigenasi yang tidak adekuat. Pada penderita trauma perlu dilihat adanya deformitas

    daerah maksilofasial atau leher serta adanya gumpalan darah, patah tulang, gigi, dan muntahan

    yang dapat menyumbat jalan nafas.

    2. Dengar (listen)

    Didengar suara nafas dan ada tidaknya suara tambahan. Adanya suara napas tambahan berarti

    ada sumbatan jalan nafas parsial. Suara nafas tambahan berupa dengkuran (snoring), kumuran

  • 7/22/2019 Step 6-7 Skenario 2

    67/72

    (gargling), atau siulan (crowing/stridor). Snoring disebabkan oleh lidah menutup orofaring,

    gargling karena secret, darah, atau muntahan dan crowing/stridor karena anya penyempitan jalan

    napas karena spasme, edema, dan pendesakan.

    3. Raba (feel)

    Dirabakan hawa ekspresi yang keluar dari lubang hidung atau mulut, dan ada tidaknya getaran di

    leher waktu bernapas. Adanya getaran di leher menunjukkan sumbatan parsial ringan. Pada

    penderita trauma perlu diraba apakah ada fraktur di daerah maksilofasial, bagaimana posisi

    trachea.

    Obstruksi jalan napas dapat disebabkan oleh:

    1. lidah menyumbat orofaring1

    Pada pasien tidak sadar atau dalam keadaan anestesia posisi terlentang, tonus otot jalan napas

    atas, otot genioglossus hilang, sehingga lidah akan menyumbat hipofaring dan menyebabkan

    obstruksi jalan napas baik total atau parsial. Keadaan ini sering terjadi dan harus cepat diketahui

    dan dikoreksi dengan beberapa cara, misalnya manuver tripel jalan napas (triple airway

    maneuver), pemasangan alat jalan napas faring (pharyngeal airway), pemasangan alat jalan napas

    sungkup laring (Laryngeal mask airway), pemasangan pipa trakea (endotracheal tube).

    Manuver tripel jalan napas1

    1. Kepala di ekstensikan pada sendi atlanto-oksipital

    2. Mandibula didorong ke depan pada kedua angulus mandibula

  • 7/22/2019 Step 6-7 Skenario 2

    68/72

    3. Mulut dibuka

    Dengan manuver ini diharapkan lidah terangkat dan jalan napas bebas, sehingga gas atau udara

    lancar masuk ke trakea lewat hidung atau mulut.

    Jalan napas faring1

    Jika triple manuever kurang berhasil, maka dapat dipasang jalan napas mulut-faring lewat mulut

    (oropharyngeal airway) atau jalan napas hidung-faring lewat hidung (naso-pharyngeal airway).

    Oropharyngeal airway : berbentuk pipa gepeng lengkung seperti huruf C berlubang

    ditengahnya dengan salah satu ujungnya bertangkai dengan dinding lebih keras untuk mencegah

    kalau pasien menggigit lubang tetap paten, sehingga aliran udara tetap terjamin.

    Naso-pharyngeal airway : berbentuk pipa bulat berlubang tengahnya dibuat dibuat dari bahan

    karet lateks lembut. Pemasangan harus hati-hati dan untuk menghindari trauma mukosa hidung

    pipa diolesi dengan jelly.

    Sungkup laring

    Sungkup laring (LMA, laryngeal mask airway) ialah alat jalan napas berbentuk sendok terdiri

    dari pipa besar berlubang ujung menyerupai sendok yang pinggirnya dapat dikembang-

    kempiskan seperti balon pada pipa trakea. Tangkai LMA dapat berupa pipa keras dari polivinil

    atau lembek dengan spiral untuk menjaga supaya tetap paten.

    Dikenal 2 macam sungkup laring:

    1. Sungkup laring standar dengan satu pipa napas.

  • 7/22/2019 Step 6-7 Skenario 2

    69/72

    2. Sungkup laring dengan dua pipa yaitu satu pipa napas standar dan lainnya pipa tambahan

    yang ujungnya distalnya berhubungan dengan esofagus.Ukuran Usia Berat (kg)

    1.0 Neonatus 60

    Cara pemasangan LMA dapat dilakukan dengan atau tanpa bantuan laringoskop. Sebenarnya

    alat ini dibuat dengan tujuan diantaranya supaya dapat dipasanga langsung tanpa bantuan alat

    dan dapat digunakan jika intubasi trakea diramalkan bakal mendapat kesulitan. Pemasangan

    hendaknya menunggu anestesia cukup dalam atau menggunakan pelumpuh otot untuk

    menghindari trauma rongga mulut, faring-laring. Setelah alat terpasang, untuk menghindari pipa

    napasnya tergigit, maka dapat dipasang gulungan kain kasa (bite block) atau pipa napas mulut

    faring.

  • 7/22/2019 Step 6-7 Skenario 2

    70/72

    Pipa trakea1

    Pipa trakea (endotracheal tube) mengantar gas analgetik langsung kedalam trakea dan biasanya

    dibuat dari bahan standar polivinil-klorida. Ukuran diameter lubang pipa trakea dalam milimeter.

    Karena penampang trakea bayi, anak kecil, dan dewasa berbeda, penampang melintang trakea

    bayi dan anak kecil dibawah usia 5 tahun hampir bulat, sedangkan dewasa seperti huruf D, maka

    untuk bayi anak digunakan tanpa cuff dan untuk anak besar dewasa dengan cuff, supaya tidak

    bocor.

    Intubasi trakea.

    Intubasi trakea ialah tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam trakea melalui rima glotis,

    sehingga ujung distalnya berada kira-kira dipertengahan trakea antara pita suara dan bifurkasio

    trakea. Indikasi sangat bervariasi dan umumnya digolongkan sebagai berikut:

    1. Menjaga patensi jalan napas oleh sebab apapun.

    Kelaianan anatomis, bedah khusus, bedah posisi khusus, pembersihan sekret jalan napas

    2. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi

    Misalnya, saat resusuitasi, memungkinkan penggunaan relaksan dengan efisien, ventilasi jangka

    panjang.

    3. Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi.

  • 7/22/2019 Step 6-7 Skenario 2

    71/72

    2. Obstruksi oleh karena cairan2

    Muntahan, darah dan sekret di tangani dengan penghisap (suction). Ada 2 macam kateter

    penghisap yang sering digunakan yaitu rigid tonsil dental suction tip atau soft catheter suction

    tip. Untuk menghisap rongga mulut dianjurkan memakai yang rigid tonsil/dental tip sedangkan

    untuk menghisap lewat pipa endotrakeal atau trakheostomi menggunakan yang soft catheter

    suction tip.

    3. Obstruksi pada pasien sadar2

    Penanganan pada obstruksi benda asing pada pasien sadar adalah dengan maneuver back blow

    dan Heimlich.

    2.3.2 Kegawatdaruratan pada Gangguan Ventilasi2

    Gagal nafas adalah ketidakmampuan tubuh dalam mempertahankan tekanan parsial normal O2

    dan atau CO2 didalam darah. Gagal nafas adalah suatu kegawatan yang disebabkan oleh

    gangguan pertukaran oksigen dan karbondioksida, sehingga sistem