bab i alergiii

25
1 BAB I PEMBAHASAN 2.1 DEFINISI Istilah alergi awalnya berasal dari Clemen Von Pirquet yang artinya adalah perubahan kemampuan tubuh dalam merespon substansi asing. Definisi ini memang cukup luas karena mencakup seluruh reaksi imunologi. Alergi saat ini mempunyai definisi yang lebih sempit yaitu penyakit yang terjadi akibat respon sistem imun terhadap antigen yang tidak berbahaya. Alergi merupakan salah satu respon sistem imun yang disebut reaksi hipersensitif. Reaksi hipersensitif merupakan salah satu respon system imun yang berbahaya karena dapat menimbulkan kerusakan jaringan maupun penyakit yang serius. Oleh Coobs dan Gell reaksi hipersensitif dikelompokkan menjadi e mpat kelas. 2.2 KLASIFIKASI dan MEKANISME ALERGI Oleh Coobs dan Gell reaksi hipersensitif dikelompokkan menjadi empat kelas a. Reaksi hipersensitivitas tipe I ( reaksi alergi )  b. Reaksi hipersensitivitas tipe II ( reaksi sitotoksik ) c. Reaksi hipersensitivitas tipe III ( imun kompleks ) d. Reaksi hipersensitivitas tipe IV ( delayed type hypersensitivity ) 2.2.1 Hipersensitivitas Tipe 1 Pada reaksi ini yang paling berperan adalah : sel mast/ basofil dan IgE.

Upload: marwi-vina

Post on 10-Feb-2018

227 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Bab i Alergiii

7/22/2019 Bab i Alergiii

http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-alergiii 1/25

1

BAB I

PEMBAHASAN

2.1 DEFINISI

Istilah alergi awalnya berasal dari Clemen Von Pirquet yang artinya adalah perubahan

kemampuan tubuh dalam merespon substansi asing. Definisi ini memang cukup luas karena

mencakup seluruh reaksi imunologi. Alergi saat ini mempunyai definisi yang lebih sempit

yaitu penyakit yang terjadi akibat respon sistem imun terhadap antigen yang tidak berbahaya.

Alergi merupakan salah satu respon sistem imun yang disebut reaksi hipersensitif. Reaksi

hipersensitif merupakan salah satu respon system imun yang berbahaya karena dapat

menimbulkan kerusakan jaringan maupun penyakit yang serius.

Oleh Coobs dan Gell reaksi hipersensitif dikelompokkan menjadi empat kelas.

2.2 KLASIFIKASI dan MEKANISME ALERGI

Oleh Coobs dan Gell reaksi hipersensitif dikelompokkan menjadi empat kelas

a. Reaksi hipersensitivitas tipe I ( reaksi alergi )

 b. Reaksi hipersensitivitas tipe II ( reaksi sitotoksik )

c. Reaksi hipersensitivitas tipe III ( imun kompleks )

d. Reaksi hipersensitivitas tipe IV ( delayed type hypersensitivity )

2.2.1 Hipersensitivitas Tipe 1

Pada reaksi ini yang paling berperan adalah : sel mast/ basofil dan IgE.

Page 2: Bab i Alergiii

7/22/2019 Bab i Alergiii

http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-alergiii 2/25

2

Reaksi tipe I yang disebut juga reaksi cepat atau reaksi anafilaksis atau reaksi alergi

timbul segera setelah tubuh terpajan dengan alergen. Pada reaksi tipe I, alergen yang

masuk ke dalam tubuh menimbulkan respon imun berupa produksi IgE dan penyakit

alergi seperti rinitis alergi, asma, dan dermatitis atopi .

2.2.2 Hipersensitivitas tipe II

Diperantarai oleh antibodi yang diarahkan untuk melawan antigen target pada

 permukaan sel / komponen jaringan lainnya.

Antigen : 1. molekul intrinsik normal

2. matrik ektraselular 

3. antigen eksogen

Page 3: Bab i Alergiii

7/22/2019 Bab i Alergiii

http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-alergiii 3/25

3

Pengikatan anti bodi yang diikuti salah satu dari 3 mekanisme bergantung antibodi.

2.2.3 Hipersensitivtas Tipe III

Page 4: Bab i Alergiii

7/22/2019 Bab i Alergiii

http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-alergiii 4/25

4

2.2.4 Hipersensitivitas tipe IV

Page 5: Bab i Alergiii

7/22/2019 Bab i Alergiii

http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-alergiii 5/25

5

Page 6: Bab i Alergiii

7/22/2019 Bab i Alergiii

http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-alergiii 6/25

6

Reaksi hipersensitif dimediasi oleh kerja sistem imun dan dapat menimbulkan kerusakan

 jaringan. Sejauh ini dikenal ada empat macam tipe hipersensitif. Tipe I-III dimediasi oleh

antibodi dan dibedakan satu sama lain dengan perbedaan antigen yang dikenali dan juga kelas

dari antibodi yang terlibat pada peristiwa tersebut. Hipersensitif tipe I dimediasi oleh IgE yang

menginduksi aktivasi sel mast. Hipersensitif tipe II dan III dimediasi oleh IgG yang melibatkan

reaksi komplemen dan juga sel-sel fagosit. Tingkat keterlibatan komplemen dan fagosit

Page 7: Bab i Alergiii

7/22/2019 Bab i Alergiii

http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-alergiii 7/25

7

tergantung pada subklas IgG dan sifat antigen yang terlibat. Hipersensitif tipe II tertuju pada

antigen yang terdapat pada permukan atau matrik sel, sedangkan hipersensitif tipe III tertuju

 pada antigen terlarut, dan kerusakan jaringan disebabkan oleh adanya komplek imun. Pada

hipersensitif tipe II yang dimediasi antibodi IgG dimana antibodi berikatan dengan reseptor pada

 permukaan sel akan mengganggu fungsi reseptor tersebut. Gangguan pada reseptor dapat berupa

aktivasi sel yang tak terkontrol maupun fungsi reseptor hilang karena adanya bloking oleh

antibodi itu. Hipersensitif tipe IV dimediasi oleh sel T dan dapat dibagi menjadi tiga grup. Pada

grup pertama, kerusakan jaringan disebabkan oleh aktivasi makrofag akibat rangsangan sel Th1.

Pada mekanisme ini akan terjadi reaksi inflamasi. Pada grup kedua, kerusakan jaringan

disebabkan oleh aktivasi sel TH2 akibat adanya reaksi inflamasi. Pada mekanisme ini eosinofil

mempunyai peranan besar dalam menyumbangkan kerusakan jaringan itu. Pada grup ketiga,

kerusakan jaringan disebabkan oleh aktivitas sel T sitotoksik, CD8.

2.3 Alergi dan IgE

IgE diproduksi oleh sel plasma yang terletak pada lymph node dan daerah yang mengalami

reaksi alergi, yaitu pada germinal senter pada jaringan yang mengalami inflamasi. IgE berbeda

dengan antibodi yang lain dalam hal lokasinya. IgE sebagian besar menempati jaringan dan

 berikatan dengan permukaan sel mast dengan reseptornya yang disebut FcεRI. Ikatan antigen

dengan IgE menyebabkan terjadinya penggabungan silang antar reseptor yang berakibat

tersekresinya mediator kimia dari sel mast. Mekanisme ini menyebabkan terjadinya hipersensitif 

tipe I. Basofil dan eosinofil yang teraktivasi juga mengekspresikan FcεR sehingga dua macam

sel tersebut juga dapat mengikat IgE dan berkontribusi pada munculnya reaksi hipersensitif tipeI.

Agar IgE dapat terbentuk memerlukan antigen serta rute presentasi tertentu. TH2 yang

merupakan subset CD4 dapat membelokkan sisntesis isotipe antibodi dari bentuk IgM menjadi

Page 8: Bab i Alergiii

7/22/2019 Bab i Alergiii

http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-alergiii 8/25

8

IgE. Pada manusia TH2 dari subset CD4 dapat mengubah sintesis antibodi dari IgM menjadi

IgG2 dan IgG4 dan pada mencit dari IgM menjadi IgG1 dan IgG3. Antigen yang secara khusus

dapatmempengaruhi TH2 untuk membelokkan sintesis antibodi menjadi IgE disebut alergen.

Secara umum manusia yang mengalami alergi disebabkan oleh protein alergen kecil yang

terhirup dan memicu produksi IgE pada individu yang peka. Kita sering menghirup berbagai

macam protein namun tidak menginduksi tersintesisnya IgE. Ada beberapa criteria sehingga

 protein mempunyai peran sebagai alergen inhalasi karena dapat mengaktifkan TH2 dalam

memicu perkembangan IgE. Pertamaprotein tersebut harus menimbulkan terjadinya respon pada

sel T. Kedua, protein tersebut harus bersifat sebagai enzim aktif, dan kebanyakan alergen bersifat

 proteasis. Ketiga, protein itu pada kadar yang rendah dapat mempengaruhi subset sel T populasi

CD4 membentuk IL-4. Keempat, protein tersebut mempunyai berat molekul yang rendah

sehingga dapat berdifusi masuk ke mukus. Kelima, protein alergen harus mudah larut. Keenam

 protein tersebut harus tetap stabil dan tidak rusak pada kondisi kering. Ketujuh, alergen tersebut

harus mempunyai peptida yang dapat berikatan dengan MHC kelas II dari host yang mengawali

aktivasi sel T. Hampir semua alergen berupa partikel kecil, dan berupa protein mudah terlarut

contohnya berupa butir serbuk sari dan kotoran tungau. Apabila terjadi kontak antara partikel

alergen dengan mukosa pada saluran pernafasan partikel tersebut segera larut dan

 berdifusimasuk mukosa. Alergen umumnya dipresentasikan pada sistem imun dalam dosis yang

sangat rendah.  Artemisia artemisiifolia merupakan jenis tumbuhan yang mempunyai potensi

menimbulkan alergi dari serbuk sarinya. Diperkirakan setiap tahun seseorang menerima paparan

melalui inhalasi tidak melebihi 1μg. Namun demikian, paparan tersebut dapat menimbulkan

iritasi dan bahkan mengancam hidup seseorang yang peka. Reaksi itu diperantarai oleh antibodi

IgE yang sekresinya dipacu oleh TH2. Sangat penting untuk diketahui bahwa hanya orang-orang

Page 9: Bab i Alergiii

7/22/2019 Bab i Alergiii

http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-alergiii 9/25

9

tertentu yang merespon substansi tersebut dan membuat antibodi IgE melawan substansi itu,

namun tidak bagi yang lain. Nampaknya kehadiran antigen transmukosa pada level yang sangat

rendah merupakan cara yang sangat efisien menginduksi respon IgE yang dipacu oleh TH2.

Produksi antibodi IgE memerlukan bantuan TH2 yang mensekresi IL-4 dan IL-13. Peran TH2

dapat dihambat oleh TH1 yang memproduksi interferon-γ (IFN- γ). Presentasi antigen pada dosis

yang sangat rendah akan memungkinkan terjadinya aktivasi TH2 dan tidak menyebabkan

aktivasi TH1, dan banyak alergen yang masuk sistem respirasi dengan dosis yang sangat rendah.

APC yang dominan pada sistem respirasi adalah sel dendritik. Sel dendritik memproses antigen

yang berupa protein secara efisien dan sel tersebut mengalami aktivasi. Selanjutnya sel dendritik 

akan melakukan migrasi menuju lymph node dan berdiferensiasi menjadi APC yang

mengekspresikan molekul kostimulator dan membantu deferensiasi TH2. Banyak bukti yang

memperkuat bahwa IgE mempunyai peran sebagai pertahanan terhadap parasit. Banyak parasit

yang menginvasi host dengan mensekresi enzim proteolitik yang dapat merusak jaringan

konektif yang memungkinkan parasit menerobos jaringan pada host. Enzim ini diduga

mempunyai peranan mengaktivasi TH2. Alergen utama pada feses  Dermatophagoides

 pteronyssimus yang menimbulkan alergi pada 20% populasi di Amerika Utara berupa sistein

 protease yang mirip dengan enzim papain yang disebut Der p1. Der p1 merupakan suatu enzim

yang dapat memecah okludin. Okludin adalah protein intraseluler komponen tight junction.

Dengan rusaknya intergrasi tight junction di antara sel-sel epitel memungkinkan Der p1

menjangkau beberapa sel yang terletak pada subepitel misalnya APC, sel mast, dan eosinofil.

Molekul alergen semakin kuat pengaruhnya karena daya proteolitik yang dimilikinya terhadap

reseptor tertentu yang terletak pada sel B dan sel T. Der p1 mempunyai kemampuan memecah

komponen IL- 2Rα, CD25, dari sel T. Hilangnya reseptor IL-2 dapat mengganggu survival dan

Page 10: Bab i Alergiii

7/22/2019 Bab i Alergiii

http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-alergiii 10/25

10

aktivitas sel TH1 dan menyebabkan terjadinya aktivitas sel TH2. Protease papain dari buah

 pepaya yang digunakan untuk melunakkan daging dapat menyebabkan alergi bagi seseorang

kontak dengan enzim tersebut. Alergi yang sama terdapat pada kasus asma yang disebabkan oleh

inhalasi enzim subtilisin dari bakteri. Injeksi enzim papain aktif pada mencit menstimuli sintesis

IgE. Kimopapain merupakan enzim yang mirip papain, digunakan pada medis untuk merusak 

intervertebrata discs pada pasien yang menderita linu punggung. Penggunaan kimopapain ini

dapat menyebabkan anafilaksis, merupakan respon sistemik terhadap suatu alergen. Tidak semua

alergen berupa enzim, bahkan ada alergen yang merupakan penghambat enzim, contohnya

alergen yang berasal dari cacing filaria. Pasien penderita penyakit Netherton mempunyai

kecenderungan peningkatan IgE oleh pengaruh enzim protease.Pasien ini mempunyai

karakteristik dengan keadaan IgE tinggi dan menderita berbagai macam alergi. Penderita

 penyakit Netherton awalnya diakibatkan oleh terhambatnya sintesis enzim SPINK5.SPINK5

merupakan enzim yang mempunyai peranan menghambat sintesis protease yang diproduksi oleh

 bakteri. Di antara bakteri yang memproduksi protease adalah Staphylococcus aureus.

SPINK5diperkirakan mempunyai arti penting sebagai agen terapi pada beberapa alergi.

Pengetahuan mengenai protein yang terlibat pada reaksi alergi ini sangat penting pada masalah

kesehatan, bahkan mempunyai arti yang penting pula pada masalah ekonomi. Pernah dilakukan

suatu penelitian terhadap gen yang mengode protein pada kacang Brazil. Gen tersebut diketahui

menyandi protein yang banyak mengandung metionin dan sistein. Gen tersebut selanjutnya

ditransfer ke tanaman kedelai dengan rekayasa genetika untuk tujuan makanan ternak. Rekayasa

ini dilakukan untuk memperkaya kandungan nutrisi kedelai yang sebelumnya kekurangan asam

amino yang kaya sulfur. Selanjutnya diketahui ternyata protein albumin 2S merupakan alergen

utama yang terdapat pada kacang Brazil. Injeksi ekstrak kedelai hasil rekayasa genetika pada

Page 11: Bab i Alergiii

7/22/2019 Bab i Alergiii

http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-alergiii 11/25

11

epidermis akan menimbulkan respon alergi pada seseorang yang alergi terhadap kacang Brazil.

Oleh karena tidak ada jaminan kedelai hasil rekayasa ini aman bagi kesehatan manusia sehingga

saat ini dilarangpenggunaannya.

Page 12: Bab i Alergiii

7/22/2019 Bab i Alergiii

http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-alergiii 12/25

12

Ikatan antigen dengan IgE yang berada pada sel mast menyebabkan sel plasma memproduksi IgE

lebih besar. IgE yang diproduksi sel plasma akan berikatan dengan reseptornya yang berada pada

sel mast dan basofil. Ketika IgE yang ada pada permukaan sel mast mengadakan ikatan silang

yang dihubungkan oleh antigen, sel mast teraktivasi dan mengekspresikan ligan CD40 dan

mensekresi IL-4. IL-4 pada akhirnya berikatan dengan reseptornya yang berada pada sel B yang

teraktivasi. Ikatan IL-4 dengan reseptor yang ada pada sel B menimbulkan class switching yang

mengarah pada pembentukan antibodi IgE lebih banyak. Mekanisme ini terjadi in vivo pada

daerah yang mengalami inflamasi akibat adanya alergen.

Mediator yang sudah ada dalam granul a sel mast  

Terdapat 3 jenis mediator yang penting yaitu histamin, eosinophil chemotactic factor of 

anaphylactic (ECF-A), dan neutrophil chemoctatic factor ( NCF ).

1. Histamin 

Histamin dibentuk dari asam amino histidin dengan perantaraan enzim histidin dekarboksilase.

Setelah dibebaskan, histamin dengan cepat dipecah secara enzimatik serta berada dalam jumlah

kecil dalam cairan jaringan dan plasma. Kadar normal dalam plasma adalah kurang dari 1 ng/μL

akan tetapi dapat meningkat sampai 1-2 ng/μL setelah uji provokasi dengan alergen. Gejala yang

timbul akibat histamin dapat terjadi dalam beberapa menit berupa rangsangan terhadap reseptor 

saraf iritan, kontraksi otot polos, serta peningkatan permeabilitas vaskular.

Manifestasi klinis pada berbagai organ tubuh bervariasi. Pada hidung timbul rasa gatal,

hipersekresi dan tersumbat. Histamin yang diberikan secara inhalasi dapat menimbulkan

kontraksi otot polos bronkus yang menyebabkan bronkokonstriksi. Gejala kulit adalah reaksi

gatal berupa wheal and flare, dan pada saluran cerna adalah hipersekresi asam lambung, kejang

Page 13: Bab i Alergiii

7/22/2019 Bab i Alergiii

http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-alergiii 13/25

13

usus, dan diare. Histamin mempunyai peran kecil pada asma, karena itu antihistamin hanya dapat

mencegah sebagian gejala alergi pada mata, hidung dan kulit, tetapi tidak pada bronkus.

Kadar histamin yang meninggi dalam plasma dapat menimbulkan gejala sistemik berat

(anafilaksis). Histamin mempunyai peranan penting pada reaksi fase awal setelah kontak dengan

alergen (terutama pada mata, hidung dan kulit). Pada reaksi fase lambat, histamin membantu

timbulnya reaksi inflamasi dengan cara memudahkan migrasi imunoglobulin dan sel peradangan

ke jaringan. Fungsi ini mungkin bermanfaat pada keadaan infeksi. Fungsi histamin dalam

keadaan normal saat ini belum banyak diketahui kecuali fungsi pada sekresi lambung. Diduga

histamin mempunyai peran dalam regulasi tonus mikrovaskular. Melalui reseptor H2

diperkirakan histamin juga mempunyai efek modulasi respons beberapa sel termasuk limfosit.

2. Faktor kemotaktik eosinofil-anafilaksis (ECF-A) 

Mediator ini mempunyai efek mengumpulkan dan menahan eosinofil di tempat reaksi radang

yang diperan oleh IgE (alergi). ECF-A merupakan tetrapeptida yang sudah terbentuk dan tersedia

dalam granulasi sel mast dan akan segera dibebaskan pada waktu degranulasi (pada basofil

segera dibentuk setelah kontak dengan alergen).

Mediator lain yang juga bersifat kemotaktik untuk eosinofil ialah leukotrien LTB4 yang terdapat

dalam beberapa hari. Walaupun eosinofilia merupakan hal yang khas pada penyakit alergi, tetapi

tidak selalu patognomonik untuk keterlibatan sel mast atau basofil karena ECF-A dapat juga

dibebaskan dari sel yang tidak mengikat IgE.

3. Faktor kemotaktik neutrofil (NCF) 

Page 14: Bab i Alergiii

7/22/2019 Bab i Alergiii

http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-alergiii 14/25

14

 NCF (neutrophyl chemotactic factor ) dapat ditemukan pada supernatan fragmen paru manusia

setelah provokasi dengan alergen tertentu. Keadaan ini terjadi dalam beberapa menit dalam

sirkulasi penderita asma setelah provokasi inhalasi dengan alergen atau setelah timbulnya

urtikaria fisik (dingin, panas atau sinar matahari). Oleh karena mediator ini terbentuk dengan

cepat maka diduga ia merupakan mediator primer. Mediator tersebut mungkin pula berperan

 pada reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat yang akan menyebabkan banyaknya neutrofil di

tempat reaksi. Leukotrien LTB4 juga bersifat kemotaktik terhadap neutrofil.

Mediator yang terbentuk kemudian  

Mediator yang terbentuk kemudian terdiri dari hasil metabolisme asam arakidonat, faktor 

aktivasi trombosit, serotonin, dan lain-lain. Metabolisme asam arakidonat terdiri dari jalur 

siklooksigenase dan jalur lipoksigenase yang masing-masing akan mengeluarkan produk yang

 berperan sebagai mediator bagi berbagai proses inflamasi (lihat Gambar 12-3).

1. Produk siklooksigenase 

Pertubasi membran sel pada hampir semua sel berinti akan menginduksi pembentukan satu atau

lebih produk siklooksigenase yaitu prostaglandin (PGD2, PGE2, PGF2) serta tromboksan A2

(TxA2).

Tiap sel mempunyai produk spesifik yang berbeda. Sel mast manusia misalnya membentuk 

PGD2 dan TxA2 yang menyebabkan kontraksi otot polos, dan TxA2 juga dapat mengaktivasi

trombosit. Prostaglandin juga dibentuk oleh sel yang berkumpul di mukosa bronkus selama

reaksi alergi fase lambat (neutrofil, makrofag, dan limfosit).

Prostaglandin E mempunyai efek dilatasi bronkus, tetapi tidak dipakai sebagai obat bronkodilator 

karena mempunyai efek iritasi lokal. Prostaglandin F (PGF2) dapat menimbulkan kontraksi otot

Page 15: Bab i Alergiii

7/22/2019 Bab i Alergiii

http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-alergiii 15/25

15

 polos bronkus dan usus serta meningkatkan permeabilitas vaskular. Kecuali PGD2, prostaglandin

serta TxA2 berperan terutama sebagai mediator sekunder yang mungkin menunjang terjadinya

reaksi peradangan, akan tetapi peranan yang pasti dalam reaksi peradangan pada alergi belum

diketahui.

2. Produk lipoksigenase 

Leukotrien merupakan produk jalur lipoksigenase. Leukotrien LTE4 adalah zat yang

membentuk  slow reacting substance of anaphylaxis (SRS-A). Leukotrien LTB4 merupakan

kemotaktik untuk eosinofil dan neutrofil, sedangkan LTC4, LTD4 dan LTE4 adalah zat yang

dinamakan SRS-A. Sel mast manusia banyak menghasilkan produk lipoksigenase serta

merupakan sumber hampir semua SRS-A yang dibebaskan dari jaringan paru yang tersensitisasi.

‘Slow reacting substance of anaphylaxis’  

Secara in vitro mediator ini mempunyai onset lebih lambat dengan masa kerja lebih lama

dibandingkan dengan histamin, dan tampaknya hanya didapatkan sedikit perbedaan antara kedua

 jenis mediator tersebut. Mediator SRS-A dianggap mempunyai peran yang lebih penting dari

histamin dalam terjadinya asma. Mediator ini mempunyai efek bronkokonstriksi 1000 kali dari

histamin. Selain itu SRS-A juga meningkatkan permeabilitas kapiler serta merangsang sekresi

mukus. Secara kimiawi, SRS-A ini terdiri dari 3 leukotrien hasil metabolisme asam arakidonat,

yaitu LTC4, LTD4, serta LTE4.

Faktor aktivasi trombosit (PAF = ‘Platelet activating factor’) 

Mediator ini pertama kali ditemukan pada kelinci dan selanjutnya pada manusia. PAF dapat

menggumpalkan trombosit serta mengaktivasi pelepasan serotonin dari trombosit. Selain itu PAF

 juga menimbulkan kontraksi otot polos bronkus serta peningkatan permeabilitas vaskular.

Aktivasi trombosit pada manusia terjadi pada reaksi yang diperan oleh IgE.

Page 16: Bab i Alergiii

7/22/2019 Bab i Alergiii

http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-alergiii 16/25

16

Serotonin  

Sekitar 90% serotonin tubuh (5-hidroksi triptamin) terdapat di mukosa saluran cerna. Serotonin

ditemukan pada sel mast binatang tetapi tidak pada sel mast manusia. Dalam reaksi alergi pada

manusia, serotonin merupakan mediator sekunder yang dilepaskan oleh trombosit melalui

aktivasi produk sel mast yaitu PAF dan TxA2. Serotonin dapat meningkatkan permeabilitas

 pembuluh darah.

SITOKIN DALAM REGULASI REAKSI ALERGI 

Selain mediator yang telah disebutkan tadi, sel mast juga merupakan sumber beberapa sitokin

yang mempengaruhi sel yang berperan pada reaksi alergi.

Pada individu yang cenderung untuk alergi, paparan terhadap beberapa antigen menyebabkan

aktivasi sel Th2 dan produksi IgE (lihat Gambar 12-4). Individu normal tidak mempunyai

respons Th2 yang kuat terhadap sebagian besar antigen asing. Ketika beberapa individu terpapar 

antigen seperti protein pada serbuk sari ( pollen), makanan tertentu, racun pada serangga, kutu

 binatang, atau obat tertentu misalnya penisilin, respons sel T yang dominan adalah pembentukan

sel Th2. Individu yang atopik dapat alergi terhadap satu atau lebih antigen di atas.

Hipersensitivitas tipe cepat terjadi sebagai akibat dari aktivasi sel Th2 yang berespons terhadap

antigen protein atau zat kimia yang terikat pada protein. Antigen yang menimbulkan reaksi

hipersensitivitas tipe cepat (reaksi alergik) sering disebut sebagai alergen.

Interleukin (IL)-4 dan IL-13, yaitu sebagian dari sitokin yang disekresi oleh sel Th2, akan

menstimulasi limfosit B yang spesifik terhadap antigen asing untuk berdiferensiasi menjadi sel

 plasma yang kemudian memproduksi IgE. Oleh sebab itu, individu yang atopik akan

memproduksi IgE dalam jumlah besar sebagai respons terhadap antigen yang tidak akan

Page 17: Bab i Alergiii

7/22/2019 Bab i Alergiii

http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-alergiii 17/25

17

menimbulkan respons IgE pada sebagian besar orang. Kecenderungan ini mempunyai dasar 

genetika yang kuat dengan banyak gen yang berperan.

Reaksi peradangan alergi telah diketahui dikoordinasi oleh subset limfosit T4 yaitu Th2.

Limfosit ini memproduksi IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, TNFα, serta GM-CSF tetapi tidak 

memproduksi IL-2 atau INF (diproduksi oleh sel Th1). Alergen diproses oleh makrofag (APC)

yang mensintesis IL-1. Zat ini merangsang dan mengaktivasi sel limfosit T yang kemudian

memproduksi IL-2 yang merangsang sel T4 untuk memproduksi interleukin lainnya. Ternyata

sitokin yang sama juga diproduksi oleh sel mast sehingga dapat diduga bahwa sel mast juga

mempunyai peran sentral yang sama dalam reaksi alergi. Produksi interleukin diperkirakan

dapat langsung dari sel mast atau dari sel lain akibat stimulasi oleh mediator sel mast.

Interleukin-4 tampaknya merupakan stimulus utama dalam aktivasi sintesis IgE oleh sel limfosit

B. Pada saat yang sama IL-4 meningkatkan ekspresi reseptor Fcε (FcRII) pada sel limfosit B.

Interleukin-4 ini pertama kali disebut faktor stimulasi sel B (BSF = B cell stimulating 

 factor ). Aktivasi oleh IL4 ini diperkuat oleh IL-5, IL-6, dan TNFα, tetapi dihambat oleh IFNα,

IFNγ, TGFβ, PGE2, dan IL-I0

Dalam reaksi alergi fase cepat, IL-3, IL-5, GM-CSF, TNF dan INF terbukti dapat menginduksi

atau meningkatkan pelepasan histamin melalui interaksi IgE- alergen pada sel basofil manusia

(lihat Gambar 12-6). Sitokin lain yang mempunyai aktivitas sama pada sel mast ialah MCAF

(monocyte chemotactic and activating factor ) dan RANTES (regulated upon activation normal T 

expressed and presumably secreted ). Demikian juga SCF ( stem cell factor ) yaitu suatu sitokin

yang melekat pada reseptor di sel mast yang disebut C-kit, dapat menginduksi pembebebasan

histamin dari sel mast baik dengan atau tanpa melalui stimulasi antigen (lihat Gambar 12-7).

Page 18: Bab i Alergiii

7/22/2019 Bab i Alergiii

http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-alergiii 18/25

18

Pada reaksi alergi fase lambat, IL-3 dan GM-CSF tidak hanya menarik dan mengaktivasi

eosinofil tetapi juga basofil dan efek kemotaktik sitokin ini lebih nyata dibandingkan dengan

komplemen C5a, LTB4 dan PAF.

Mekanisme lain sitokin berperan pula dalam menunjang terjadinya reaksi peradangan pada

alergi. GM-CSF, IL-l, IL-2, IL-3, IL-4, IL-5, IFN, TNF, NGF (nerve growth factor )serta SCF

 berperan dalam pertumbuhan, proliferasi, pertahanan hidup dan diferensiasi limfosit, eosinofil,

 basofil, sel mast, makrofag atau monosit. Pada saat aktivasi, sel-sel ini ditarik ke arah jaringan

yang mengalami peradangan dalam reaksi antigen-antibodi yang ditingkatkan oleh IL-2, IL-5,

GM-CSF, dan EAF (eosinophil activating factor ). Keadaan ini lebih terlihat pada biakan

eosinofil manusia dengan GM-CSF bersama fibroblast. Pada percobaan ini eosinofil menjadi

hipodens dan dapat membebaskan lebih banyak LTC4 bila diaktivasi oleh stimulus seperti fMLP

(formil metionil leukosil fenilalanin).

PENYAKIT OLEH ANTIBODI DAN KOMPLEKS ANTIGEN-ANTIBODI 

(REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE II DAN III) 

  Antibodi, selain IgE, mungkin menyebabkan penyakit dengan berikatan pada target

antigennya yang ada pada permukaan sel atau jaringan (reaksi hipersensitivitas tipe II)

atau dengan membentuk kompleks imun yang mengendap di pembuluh darah (reaksi

hipersensitivitas tipe III)

  Penyakit hipersensitivitas yang diperantarai oleh antibodi (antibody-mediated)merupakan

 bentuk yang umum dari penyakit imun yang kronis pada manusia. Antibodi terhadap sel

atau permukaan luar sel dapat mengendap pada berbagai jaringan yang sesuai dengan

target antigen. Penyakit yang disebabkan reaksi antibodi ini biasanya spesifik untuk 

 jaringan tertentu. Kompleks imun biasanya mengendap di pembuluh darah pada tempat

Page 19: Bab i Alergiii

7/22/2019 Bab i Alergiii

http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-alergiii 19/25

19

turbulansi (cabang dari pembuluh darah) atau tekanan tinggi (glomerulus ginjal dan

sinovium). Oleh karena itu, penyakit kompleks imun cenderung merupakan suatu

 penyakit sistemis yang bermanifestasi sebagai vaskulitis, artritis dan nefritis.

Sindrom klinik dan pengobatan 

Beberapa kelainan hipersensivitas kronik pada manusia disebabkan atau berhubungan dengan

autoantibodi terhadap antigen jaringan kompleks imun. Tatalaksana dan pengobatan ditujukan

terutama untuk mengurangi atau menghambat proses inflamasi dan kerusakan jaringan yang

diakibatkannya dengan menggunakan kortikosteroid. Pada kasus yang berat, digunakan

 plasmapheresis untuk mengurangi kadar autoantibodi atau kompleks imun yang beredar dalam

darah.

Penyakit oleh autoantibodi terhadap antigen jaringan 

Penyakit  Antigen target  Mekanisme  Manifestasi

klinopatologi 

Anemia hemolitik 

autoimun

Protein membran eritrosit

(antigen golongan darah

Rh)

Opsonisasi dan

fagositosis eritrosit

Hemolisis, anemia

Purpura

trombositopenia

autoimun

(idiopatik)

Protein membran platelet

(gpIIb:integrin IIIa)

Opsonisasi dan

fagositosis platelet

Perdarahan

Pemfigus vulgaris Protein pada hubungan

interseluler pada sel

Aktivasi protease

diperantarai antibodi,

Vesikel kulit (bula)

Page 20: Bab i Alergiii

7/22/2019 Bab i Alergiii

http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-alergiii 20/25

20

epidermal(epidemal 

cadherin)

gangguan adhesi

interseluler 

Sindrom

Goodpasture

Protein non-kolagen pada

membran dasar glomerulus

ginjal dan alveolus paru

Inflamasi yang

diperantarai komplemen

dan reseptor Fc

 Nefritis,

 perdarahan paru

Demam reumatik 

akut

Antigen dinding sel

streptokokus, antibodi

 bereaksi silang dengan

antigen miokardium

Inflamasi, aktivasi

makrofag

Artritis,

miokarditis

Miastenia gravis Reseptor asetilkolin Antibodi menghambat

ikatan asetilkolin,

modulasi reseptor 

Kelemahan otot,

 paralisis

Penyakit Graves Reseptor hormon TSH Stimulasi reseptor TSH

diperantarai antibodi

Hipertiroidisme

Anemia pernisiosa Faktor intrinsik dari sel

 parietal gaster 

 Netralisasi faktor 

intrinsik, penurunan

absorpsi vitamin B12

Eritropoesis

abnormal, anemia

(Dikutip dengan modifikasi dari dari Abbas AK, Lichtman AH, 2004) 

Penyakit oleh kompleks imun 

Penyakit  Spesifitas antibodi  Mekanisme  Manifestasi

klinopatologi 

Page 21: Bab i Alergiii

7/22/2019 Bab i Alergiii

http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-alergiii 21/25

21

Lupus eritematosus

sistemik 

DNA, nukleoprotein Inflamasi diperantarai

komplemen dan reseptor 

Fc

 Nefritis, vaskulitis,

artritis

Poliarteritis nodosa Antigen permukaan

virus hepatitis B

Inflamasi diperantarai

komplemen dan reseptor 

Fc

Vaskulitis

Glomreulonefirtis

 post-streptokokus

Antigen dinding sel

streptokokus

Inflamasi diperantarai

komplemen dan reseptor Fc

 Nefritis

(Dikutip dengan modifikasi dari dari Abbas AK, Lichtman AH, 2004) 

Point of interest 

  Antibodi terhadap antigen sel dan jaringan dapat menyebabkan kerusakan jaringan dan

 penyakit (reaksi hipersensitivitas tipe II).

  Antibodi IgG dan IgM yang berikatan pada antigen sel atau jarinagn menstimulasi

fagositosis sel-sel tersebut, menyebabkan reaksi inflamasi, aktivasi komplemen

menyebabkan sel lisis dan fragmen komplemen dapat menarik sel inflamasi ke tempat

terjadinya reaksi, juga dapat mempengaruhi fungsi organ dengan berikatan pada reseptor 

sel organ tersebut. 

  Antibodi dapat berikatan dengan antigen yang bersirkulasi dan membentuk kompleks

imun, yang kemudian mengendap pada pembuluh darah dan menyebabkan kerusakan

 jaringan (reaksi hipersensitivitas tipe III). Kerusakan jaringan terutama disebabkan oleh

 pengumpulan lekosit dan reaksi inflamasi. 

PENYAKIT OLEH LIMFOSIT T (REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE IV) 

Page 22: Bab i Alergiii

7/22/2019 Bab i Alergiii

http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-alergiii 22/25

22

Peranan dari limfosit T pada penyakit imunologis pada manusia telah semakin dikenal dan

diketahui. Patogenesis dan tatalaksana penyakit autoimun pada manusia pada saat ini lebih

ditujukan pada kerusakan jaringan yang disebabkan terutama oleh sel limfosit T.

  Hampir semua penyakit yang diperantarai T cell disebabkan oleh mekanisme autoimun.

Reaksi autoimun biasanya ditujukan langsung terhadap antigen pada sel yang

distribusinya terbatas pada jaringan organ tertentu. Oleh karena itu penyakit T cell 

mediated  cenderung terbatas mengenai organ-organ tertentu dan biasanya tidak bersifat

sistemis. Kerusakan organ juga dapat terjadi menyertai reaksi sel T terhadap reaksi

mikroba, misalnya pada tuberculosis, terdapat reaksiT cell-mediated terhadap M.

tuberculosis, dan reaksi tersebut menjadi kronik oleh karena infeksinya sulit dieradikasi.

Inflamasi granulomatous yang terjadi mengakibatkan kerusakan jaringan pada tempat

infeksi. Pada infeksi virus hepatitis, virusnya sendiri tidak terlalu merusak jaringan, tetapi

sel limfosit T sitolitik (CTL) yang bereaksi terhadap hepatosit yang terinfeksi

menyebabkan kerusakan jaringan hepar.

  Pada penyakit yang diperantarai oleh sel T (T cell-mediated), kerusakan jaringan dapat

disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe lambat yang diperantarai oleh sel T CD4+

atau sel lisis oleh CD8+ CTLs

  Mekanisme dari kerusakan jaringan sama dengan mekanisme yang digunakan oleh sel T

untuk mengeliminasi sel yang berkaitan dengan mikroba. Sel T CD4+ bereaksi terhadap

antigen pada sel atau jaringan, terjadi sekresi sitokin yang menginduksi inflamasi dan

mengaktivasi makrofag. Kerusakan jaringan disebabkan oleh sekresi sitokin dari

makrofag dan sel-sel inflamasi yang lain. Sel T CD8+ dapat menghancurkan sel yang

 berikatan dengan antigen asing. Pada banyak penyakit autoimun yang diperantarai oleh

Page 23: Bab i Alergiii

7/22/2019 Bab i Alergiii

http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-alergiii 23/25

23

sel T, terdapat sel T CD4+ dan sel T CD8+ yang spesifik untuk antigen diri, dan

keduanya berperan pada kerusakan jaringan.

2.4 DIAGNOSIS

Uji Kulit

Dengan uji kulit, alergen penyebab dapat dicari secara invivo. Ada beberapa cara, yaitu

uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-Point Titration/ SET ),

uji cukit ( Prick Test ) dan uji gores (Scratch Test ). Kedalaman kulit yang dicapai pada

kedua uji kulit (uji cukit dan uji gores), sama. SET dilakukan untuk alergen inhalan

dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya.

Kuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi serta dosis inisial untuk 

desensitasi dapat diketahui.

Untuk alergi makanan, uji kulit seperti tersebut di atas biasanya ditegakkan dengan diet

eliminasi dan provokasi (“Challenge Test”). Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari

tubuh dalam waktu lima hari. Karena itu pada “Challenge Test”, makanan yang dicurigai

diberikan pada pasien setelah berpantangan selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya.

Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai

suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan.

Uji kulit untuk alergi makanan yang akhir-akhir ini banyak dilakukan adalah Provocative

 Food Test  atau  Intacutaneus Provocative Food Test (IPFT). Dengan lengkapnya

 pemeriksaan ini, selain jenis alergen penyebab, juga dapat diketahui besarnya konsentrasi

alergen yang dapat menetralkan reaksi akibat alergen tersebut.

Pemeriksaan in vitro

Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula

 pemeriksaan IgE total seringkali menunjukkan nilai normal. Pemeriksaan yang lebih

 bermakna adalah pemeriksaan IgE spesifik dengan RAST ( Radio Allergo Sorbent Test ).RAST berguna untuk pasien dengan dermografisme, dermatitis atopik berat atau pasien

yang tidak bisa atau tidak mau menghentikan penggunaan antihistamin. Kerugiannya

adalah hasil didapat setelah beberapa hari dan biayalebih mahal. Semua hasil tes IgE

harus diinterpretasikan dengan riwayat penyakit pasien, karena  false-positive dan  false-

negative dapat terjadi

Page 24: Bab i Alergiii

7/22/2019 Bab i Alergiii

http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-alergiii 24/25

24

2.4 TERAPI

Antihistamin

Antihistamin generasi pertama efektif dalam terapi rinitis alergi tetapi memiliki efek samping

sedasi sehingga menurunkan performa kerja dan akademis. Antihistamin generasi keduatidak memiliki efek samping sedasi. Antihistamin paling efektif untuk gejala bersin-bersin,

 pruritus nasal dan okular dan rinorrhea, tetapi memiliki efek kecil atau tidak ada efek pada

kongesti nasal. Maka sering dikombinasikan dengan dekongestan oral.

Dekongestan 

Dekongestan bekerja dengan stimulasi reseptor alfa adrenergik. Reseptor ini terdapat pada

 pembuluh darah. Peningkatan stimulasi simpatis menyebabkan vasokonstriksi sehingga

mengurangi kongesti nasal.

Dekongestan topikal efektif dalam mengurangi kongesti nasal. Pemakaian dalam jangka

waktu lama dapat menyebabkan rinitis medikamentosa, yaitu penurunan durasi efek 

dekongestan dan rebound kongesti nasal.6

Kortikosteroid intranasal 

Kortikosteroid intranasal adalah medikasi poten untuk rinitis alergi. Kortikosteroid intranasal

dapat digunakan untuk rhinitis sedang-berat, bahkan untuk anak-anak.

Kortikosteroid topikal bekerja dengan mengurangi jumlah sel mast pada mukosa hidung,

mencegah pengeluaran protein sitotoksik dari eosinofil, mengurangi aktifitas limfosit,

mencegah peningkatan permeabilitas. Hal ini menyebabkan epitel hidung tidak 

hiperresponsif terhadap rangsangan alergen. Kortikosteroid topikal juga efektif dalam

mengurangi gejala konjungtival.

Imunoterapi 

Imunoterapi bertujuan untuk merubah imun sistem dan mungkin dapat menyembuhkan

rhinitis alergi. Imunoterapi subkutan efektif pada pasien rhinitis alergi dan dapat mencegah

sensitisasi baru dan asma

Page 25: Bab i Alergiii

7/22/2019 Bab i Alergiii

http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-alergiii 25/25

25

Imunoterapi subkutan dilakukan dengan injeksi berulang dengan ekstrak alergen. Digunakan

untuk pasien dengan rhinitis alergi berat yang gejalanya tidak dapat dikontrol dengan

farmakoterapi atau mendapat efek samping obat. Meskipun imunoterapi alergen subkutan

efektif, tetapi risiko menginduksi reaksi alergi sistemik mungkin terjadi pada 0,1% dari

 pasien yang diterapi. Pasien hanya diberikan imunoterapi alergen subkutan di klinik yang

disupervisi oleh dokter yang terlatih dan terampil dalam memberikan dosis imunoterapi.

Karena adanya risiko efek samping sistemik yang buruk, pasien harus diobservasi selama 60

menit setelah injeksi, dan injeksi hanya boleh diberikan di tempat yang memiliki peralatan

resusitasi dan tenaga medis yang kompeten.

Imunoterapi sublingual  –  dimana hanya dosis inisial yang memerlukan supervisi medis  –  

 juga efektif untuk dewasa dan anak-anak. Imunoterapi ini lebih aman dari imunoterapi

subkutan karena efek samping yang biasanya hanya di saluran napas atas dan traktus

gastrointestinal; jarang episode anafilaktik, tidak pernah ada kasus kematian yang dilaporkan.

Efek imunologis dan klinis dari imunoterapi subllingual menetap sampai 3 tahun setelah

 penggunaan berulang, sama dengan imunoterapi subkutan.