lp fraktur intari.doc

Upload: igusti-ayu-rai-intari

Post on 17-Oct-2015

113 views

Category:

Documents


16 download

TRANSCRIPT

Praktik Klinik Keperawatan Dewasa II

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN FRAKTURA. KONSEP DASAR PENYAKIT

1. Pengertian Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya. (Smeltzer & Bare, 2002).

Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik. (Price & Wilson, 2006). Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan / atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. (Arif Mansjoer dkk,2000:346) Fraktur adalah pemecahan suatu bagian, khususnya tulang ; pecahan atau ruptur pada tulang (Dorland, 1998 : 446).

2. Epidemiologi

Insiden fraktur terbuka sebesar 4% dari seluruh fraktur dengan perbandingan laki-laki dan perempuan sebesar 3,64 berbanding 1, dengan kejadian terbanyak pada kelompok umur dekade kedua dan ketiga yang relative mempunyai aktivitas fisik dan mobilitas yang tinggi. Pada analisis epidemiologi menunjukkan bahwa 40% fraktur terbuka terjadi pada ekstremitas bawah, terutama daerah tibia, dan femur tengah.3. Faktor Predisposisi

Fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorpsinya. Fraktur dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan puntir mendadak, dan bahkan kontraksi otot ekstrim. Meskipun tulang patah, jaringan sekitarnya juga akan terpengaruh, mengakibatkan edema jaringan lunak, perdarahan ke otot dan sendi, dislokasi sendi, ruptur tendon, kerusakan saraf, dan kerusakan pembuluh darah. Organ tubuh dapat mengalami cedera akibat gaya yang disebabkan oleh fraktur atau akibat fragmen tulang.4. Patofisiologi

Tulang kortikal mempunyai struktur yang dapat menahan kompresi dan tekanan memuntir, fraktur dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan memuntir mendadak dan bahkan kontraksi ekstrem, sehinggga tulang mengalami kegagalan menahan tekanan terutama tekanan membengkok, memutar, dan tarikan. Fraktur akan mempengaruhi jaringan sekitarnya yaitu perusakan pada saraf sensori, kerusakan jaringan lemak dapat menyebabkan luka terbuka sehingga memungkinkan terjadinya infeksi. Untuk kerusakan pembuluh darah dapat menyebabkan perdarahan, inflamasi, dan rupture tendon sehingga terjadinya penekanan saraf akan menyebabkan nyeri. Selain itu juga akan mempengaruhi korteks tulang dan periosteum sehingga akan mengalami deformitas dan pemendekan tulang, hal itu menyebabkan ekstremitas terganggu.

(Chairuddin Rasjad, 1998)

5. Klasifikasi

a. Klasifikasi klinis

Fraktur tertutup ( simple / closed fracture ).

Suatu fraktur yang tidak mempunyai hubungan dengan dunia luar (menyebabkan robeknya kulit.)

Fraktur terbuka ( compound / open fracture ).

Fraktur yang mempunyai hubungan dengan dunia luar melalui luka pada kulit dan jaringan lunak, dapat berbentuk from within (dari dalam) atau from without (dari luar).

Fraktur terbuka dapat dibagi atas tiga derajat (menurut R. Gustillo), yaitu :a. Derajat I

luka < 1 cm

kerusakan jaringan lunak sedikit, tak ada tanda luka remuk

fraktur sederhana, transversal, oblik, atau koinutif ringan

kontaminasi minimal

b. Derajat II

laserasi > 1 cm

kerusakan jaringan lunak, tidak luas, flap/avulse

fraktur kominutif sedang

kontaminasi sedang

c. Derajat III

Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi struktur kulit, otot, dan neurovascular serta kontaminasi derajat tinggi. Fraktur derajat III terbagi atas :

IIIA : Fragmen tulang masih dibungkus jaringan lunak

IIIB : Fragmen tulang tak dibungkus jaringan lunak terdapat pelepasan lapisan periosteum, fraktur kontinuitif

IIIC : Trauma pada arteri yang membutuhkan perbaikan agar bagian distal dapat diperthankan, terjadi kerusakan jaringan lunak hebat.

Fraktur dengan komplikasi (compicated fracture) Fraktur yang disertai dengan komplikasi misalnya malunion, delayed union, infeksi tulang

(Arif Mansjoer dkk, 2000 : 346)

b. Klasifikasi Etiologis

Fraktur traumatik : terjadi karena trauma yang tiba-tiba.

Fraktur patologis : terjadi karena kelemahan tulang sebelumnya akibat kelainan patologis di dalam tulang.

Fraktur stress : terjadi karena adanya trauma yang terus menerus pada suatu tempat tertentu.

c. Klasifikasi komplit / tidak komplit Fraktur komplit adalah patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya mengalami pergeseran (bergeser dari posisi normal)

Fraktur tidak komplit adalah patah hanya terjadi pada sebagian dari garis tengah tulangd. Klasifikasi menurut garis khusus fraktur

Greenstic, fraktur dimana salah satu sisi tulang patah sedang sisi lainnya membengkok.

Transfersal,fraktur sepanjang garis tengah tulang.

Oblik, fraktur membentuk sudut dengan garis tengah tulang (lebih tidak stabil disbanding transfersal).

Spiral, fraktur memuntir seputar batang tulang.

Kominutif, fraktur dengan tulang pecah menjadi beberapa fragmen. Depresi, fraktur dengan fragmen patahan terdorong ke dalam (sering terjadi pada tulang tengkorak dan tulang wajah). Kompresi, fraktur dimana tulang mengalami kompresi (terjadi pada tulang belakang).

Avulsi, tertariknya fragmen tulang oleh ligament atau tendon pada perlekatannya. Epifiseal, fraktur melalui epifisis.

Impaksi, fraktur dimana fragmen tulang terdorong ke fragmen tulang lainnya.

(Smeltzer & Bare, 2002 : 2358)

e. Berdasarkan jumlah garis

Fraktur kominutif : garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan

Fraktur segmental : garis patah lebih dari satu tetapi tidak berhubungan. Bila dua garis patah disebut pula fraktur bifokal

Fraktur multiple : garis patah lebih dari satu tetapi pada tulang yang berlainan tempatnya, misalnya fraktur femur, fraktur kruris, dan fraktur tulang belakang

f. Menurut hubungan antara fragmen dengan fragmen lainnya

Tidak bergeser (undisplaced), garis patah komplit tetapi kedua fragmen tidak bergeser, periosteumnya masih utuh Bergeser (displaced), terjadi pergeseran fragmen-fragmen fraktur yang juga disebut lokasi fragmen, terbagi : dislokasi ad longitudinam cum contractionum (pergeseran searah sumbu dan overlapping)

dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut)

dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling menjauhi)

(Arif Mansjoer dkk, 2000 : 346)

HYPERLINK "http://yayanakhyar.files.wordpress.com/2008/07/jenis-fraktur2.jpg"

INCLUDEPICTURE "http://yayanakhyar.files.wordpress.com/2008/07/jenis-fraktur2.jpg?w=404&h=324" \* MERGEFORMATINET

Gambar 1. Klasifikasi Fraktur

6. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan ekstremitas, krepitus, pembengkakan local, dan perubahan warna.

a. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.

b. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung bergerak secara tidak alamiah (gerakan luar biasa) bukannya tetap rigid seperti normalnya. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau tungkai menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba) ekstremitas yang bisa diketahui dengan membandingkan dengan ekstremitas normal. Ekstremitas tak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot tergantung pada integritas tulang tempat melengketnya otot.c. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur. Fragmen sering saling melingkupi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5 cm (1 sampai 2 inci).d. Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang yang dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya. (uji krepitus dapat mengakibatkan kerusakan jaringan lunak yang lebih berat).

e. Pembengkakan dan perubahan warna local pada kulit terjadi sebagai akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa baru terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera.

7. Pemeriksaan Fisik

a. Inspeksi, cari apakah terdapat : Deformitas, terdiri dari penonjolan yang abnormal, angulasi, rotasi, dan pemendekan

Fuction laesa (hilangnya fungsi), misalnya pada fraktur cruris tidak bisa berjalan Pada fraktur terbuka lihat adanya kerusakan jaringan Lihat adanya pembengkakan. Lihat juga perbedaan ukuran panjang drai tulangb. Palpasi ( apakah terdapat nyeri tekan, cek capillary refillGerakan untuk mencari : Krepitasi, terasabila fraktur digerakkan (baiknya tidak dilakukan karena akan menambah trauma) Nyeri bila digerakkan, baik pada gerakan aktif maupun pasif Seberapa jauh gangguan-gangguan fungsi, gerakan-gerakan yang tidak mampu dilakukan, range of motion, dan kekuatan

8. Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan rontgen : menentukan lokasi / luasnya fraktur / trauma

Fig. 1. Showing the right sided comminuted clavicle fracture.

The signs of a pneumothorax are clearly visible.

Fig. 2. Showing the pneumothorax on a conventional Xthorax.

There are no ribfractures Scan tulang, tomogram, scan CT / MRI: memperlihatkan fraktur; juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan tulang.

Arteriogram : dilakukan bila kerusakan vascular dicurigai.

Hitung darah lengkap : Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multipel). Peningkatan jumlah SDP adalah respon stress normal setelah trauma.

Kreatinin : trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.

Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, tranfusi multiple atau cedera hati.9. Diagnosis / Kriteria Diagnosis

Bila tidak ada riwayat trauma, berarti fraktur patologis. Trauma harus diperinci kapan terjadinya, dimana terjadinya, jenisnya, berat ringan trauma, arah trauma, dan posisi pasie atau ekstrimitas yang bersangkutan (mekanisme trauma). Teliti juga trauma di tempat lain secara sistemik dari kepala, muka, leher, dada, dan perut. Amati pula jika terjadi : Deformitas, terdiri dari penonjolan yang abnormal, angulasi, rotasi, dan pemendekan

Fuction laesa (hilangnya fungsi), misalnya pada fraktur cruris tidak bisa berjalan Lihat juga perbedaan ukuran panjang drai tulang Adanya nyeri tekan Adanya : Krepitasi, terasa bila fraktur digerakkan (baiknya tidak dilakukan karena akan menambah trauma) Nyeri bila digerakkan, baik pada gerakan aktif maupun pasif Seberapa jauh gangguan-gangguan fungsi, gerakan-gerakan yang tidak mampu dilakukan, range of motion, dan kekuatan

10. Terapi

Prinsip penanganan fraktur meliputi reduksi, imobilisasi, dan pengembalian fungsi dan kekuatan. Reduksi fraktur (setting tulang)Mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasi anatomis. Reduksi tertutup dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang ke posisinya dengan manipulasi dan traksi manual. Reduksi terbuka dilakukan dengan pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi alat fiksasi interna (ORIF) dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat, paku, atau batangan logam untuk mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya sampai penyembuhan tulang yang solid terjadi.

Imobilisasi frakturSetelah fraktur direduksi fragmen tulang harus diimobilisasi atau dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna (OREF) meliputi : pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu pin, dan tehnik gips atau fiksator ekterna..Implan logam dapat digunakan untuk fiksasi interna (ORIF) yang berperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur yang dilakukan dengan pembedahan. Mempertahankan dan mengembalikan fungsi.Segala upaya diarahkan pada penyembuhan tulang dan jaringan lunak. Latihan isometric dan setting otot diusahakan untuk meminimalkan atrofi disuse dan meningkatkan aliran darah. Partisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari diusahakan untuk memperbaiki kemandirian fungsi dan harga diri.

Gambar 2. Fiksasi interna

Gambar 3. Fiksasi Eksterna

11.Komplikasi1) Komplikasi awal

Syok hipovolemik atau traumatik : bisa berakibat fatal dalam beberapa jam setelah cedera. Syok hipovolemik atau traumatik akibat pendarahan ( baik kehilangan darah eksternal maupu tak kelihatan) dan kehilangan cairan ekstremitas, toraks, pelvis dan vertebra.

Emboli lemak : dapat terjadi dalam 48 jam atau lebih Sindrom kompartemen : berakibat kehilangan fungsi ekstremitas permanen jika tidak ditangani segera. Sindrom kompartemen merupakan masalah yang terjadi saat perfusi jaringan dalam otor kurang dari yang dibutuhkan untuk kehidupan jaringan. Biasanya pasien akan merasa nyeri pada saat bergerak. Ada 5 tanda syndrome kompartemen:a. Pain: nyeri

b. Pallor: pucat

c. Pulsesness: tidak ada nadi

d. Parestesia: rasa kesemutan

e. Paralysis:kelemahan sekitar lokasi terjadinya syndrome kompartemen.

Infeksi

Tromboemboli emboli paru)

Koagulopati intravaskuler diseminata (KID) : sekelompok kelainan pendarahan dengan berbagai penyebab, termasuk trauma massif. Manifestasi KID meliputi : ekimosis, pendarahan yang tidak terduga setelah pembedahan, dan pendarahan dari membrane mukosa, tempat penusukan jarum infus, saluran gastrointestinal dan kemih2) Komplikasi lambat :

a) Penyatuan terlambat atau tidak ada penyatuan Penyatuan terlambat terjsdi bila penyembuhan tidak terjadi dengan kecepatan normal untuk jenis dan tempat fraktur tertentu. Penyatuan terlambat mungkin berhubungan dengan infeksi sistemik dan distraksi ( tarikan jauh ) fragmen tulang. Pada akhirnya fraktur menyembuh.Hal ini dapat disemabuhkan dengan graft tulang.Dimana graft tulang memberikan kerangka untuk invasi sel-sel tulang.b) Nekrosis Avaskuler Tulang

Nekrosis avaskuler terjadi bila tulang kehilangan asupan darah dan mati. Dapat terjadi setelah fraktur (khususnya kolum femoris), dislokasi, terapi kortikosteroid dosis tinggi berkepanjangan, penyakit ginjal kronik, anemia sel sabit, dan penyakit lain. Tulang yang mati mengalami tulang kolaps atau diabsorpsi dan diganti dengan tulang yang baru.c) Reaksi terhadap alat fiksasi interna

Alat fiksasi interna biasanya diambil setelah penyatuan tulang telah terjadi, namun pada kebanyakan pasien alat tersebut tidak diangkat sampai menimbulkan gejala. Nyeri dan penurunan fungsi merupakan indicator utama telah terjadinya masalah. Masalah tersebut meliputi kegagalan mekanis (pemasangan dan stabilisasi yang tak memadai), kegagalan material (alat yang cacat atau rusak), berkaratnya alat, menyebabkan inflamasi local, respon alergi terhadap campuran logam yang digunakan, dan remodeling osteoporotic di sekitar alat fiksasi (stress yang dibutuhkan untuk memperkuat tulang diredam oleh alat tersebut, mengakibatkan osteoporosis disuse). Bila angkat diangkat, tulang perlu dilindungi dari fraktur kembali sehubungan dengan osteoporosis, struktur tulang yang terganggu dan trauma. Remodeling tulang akan mengembalikan kekuatan structural. (Brunner & Suddath, Keperawatan Medikal Bedah Vol 3, hal 2365 -2368 )B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

I. Pengkajian ( Doenges, 2000 : 761 )

a. Aktifitas / Istirahat

Tanda : keterbatasan/ kehilangan fungsi pada bagian yang terkena (mungkin segera, fraktur itu sendiri, atau terjadi secara sekunder, dari pembengkakan jaringan, nyeri)

b. Sirkulasi

Tanda : hipertensi (kadang-kadang terlihat sebagai respon terhadap nyeri / ansietas) atau hipotensi (kehilangan darah)

Takikardi (respon stress, hipovolemia)

Penurunan / tak ada nadi pada bagian distal yang cedera; pengisian kapiler lambat, pucat pada bagian yang terkenaPembengkakan jaringan atau massa hematoma pada sisi cedera

c. Neurosensori

Gejala : hilang gerakan / sensasi, spasme otot

Kebas / kesemutan (parestesis)

Tanda :deformitas local: angulasi abnormal, pemendekan, rotasi, krepitasi, spasme otot, terlihat kelemahan/ hilang fungsi.

Agitasi (mungkin berhubungan dengan nyeri/ ansietas atau trauma lain).

d. Nyeri / Kenyamanan

Gejala : Nyeri berat tiba-tiba pada saat cedera (mungkin terlokalisasi pada area jaringan / kerusakan tulang; dapat berkurang pada imobilisasi), tak ada nyeri akibat kerusakan saraf.

Spasme / kram otot (setelah imobilisasi).

e. Keamanan

Tanda : laserasi kulit, avulsi jaringan, perdarahan, perubahan warna

Pembengkakan lokal (dapat meningkat secara bertahap atau tiba - tiba).

II. Diagnosa Keperawatana. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik ditandai dengan keluhan nyeri, distraksi, fokus pada diri sendiri / fokus menyempit, wajah menunjukkan nyeri, peilaku berhati-hati, melindungi, perubahan tonus otot, respon otonomik.b. Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan mekanik (tekanan,teriris,gesekan) ditandai dengan keluhan gatal, nyeri, kebas, tekanan pada area yang sakit / area sekitar, gangguan permukaan kulit, invasi struktur tubuh, destruksi lapisan kulit / jaringan.

c. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka neuromuscular : nyeri / ketidaknyamanan, terapi restriktif (imobilisasi tungkai) ditandai dengan ketidakmampuan untuk bergerak sesuai tujuan dalam lingkungan fisik, menolak untuk bergerak, keterbatasan rentang gerak, penurunan kekuatan / kontrol otot.

d. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan aliran darah / emboli lemak, perubahan membran alveolus / kapiler, interstitisial, edema paru kongesti

e. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang terpajannya informasi, salah interpretasi informasi ditandai dengan pertanyaan / permintaan informasi, pernyataan salah konsepsi.

f. Resiko infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan primer, kerusakan kulit, trauma jaringan prosedur invasive, traksi tulang.g. PK Syok Hipovolemik

h. PK Sindrom Kompartemen

III. IntervensiDiagnosa 1 : Nyeri akut

Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik

Ditandai dengan : keluhan nyeri, distraksi, fokus pada diri sendiri / fokus menyempit, wajah menunjukkan nyeri, perilaku berhati-hati, melindungi, perubahan tonus otot, respon otonomik.

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama x 24 jam, diharapkan nyeri yang dialami pasien terkontrol dengan kriteria hasil :

Pasien dapat mengkaji factor penyebab , durasi terjadinya nyeri

Pasien melaporkan nyerinya terkontrol

Pasien dapat menggunakan teknik non-analgetik untuk menangani nyeri.

Intervensi :

1. Lakukan pengkajian secara komprehensif tentang nyeri meliputi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, qualitas, intensitas nyeri dan factor presipitasi.

R/ : mempengaruhi pilihan / pengawasan keefektifan intervensi.

2. Observasi respon nonverbal dari ketidaknyamanan terutama ketidakmampuan untuk berkomunikasi secara efektif.

R/ : Tingkat ansietas dapat mempengaruhi persepsi/ reaksi terhadap nyeri.

3. Gunakan strategi komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri dan penerimaan respon nyeri pasien.

R/ : Strategi komunikasi terapeutik dapat membantu untuk menentukan intervensi yang diperlukan.

4. Kaji efek pengalaman nyeri terhadap kualitas hidup (ex : tidur,aktivitas, kognisi, perasaan, hubungan, pekerjaan)

R/ : Mengetahui pengaruh nyeri terhadap kualitas hidup pasien.

5. Ajarkan menggunakan teknik nonanalgetik (relaksasi progresif, latihan napas dalam, imajinasi visualisasi, sentuhan terapeutik, akupresure)

R/ : memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan rasa kontrol dan dapat meningkatkan kekuatan otot; dapat meningkatkan harga diri dan kemampuan koping.

6. Kontrol factor - factor lingkungan yang yang dapat mempengaruhi respon pasien terhadap ketidaknyamanan (ruangan, suhu, cahaya, dan suara)

R/ : memberikan ketenangan kepada pasien sehingga nyeri tidak bertambah

7. Sediakan informasi tentang nyeri seperti : penyebab nyeri, berapa lama nyeri itu akan berakhir, antisipasi ketidaknyamanan dari prosedur.

R/ : Meningkatkan pengetahuan pasien

8. Laksanakan penggunaan kontrol analgetik, jika perlu.

R/ : Analgetik dapat menurunkan nyeri dan atau spasme otot

Diagnosa 2 : Kerusakan integritas jaringanBerhubungan dengan mekanik (tekanan,teriris,gesekan)Ditandai dengan : rusaknya atau hancurnya jaringan (kornea, membran mucus, integumentum, subkutan)Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama x 24 jam diharapkan luka dapat sembuh dengan kriteria hasil :

Tidak ada bau

Tidak ada kemerahan di sekitar luka.

Tidak terjadi peningkatan suhu tubuh

Luka menjadi kering.

Cairan pada luka telah kering

Intervensi :

1) Catat karakteristik luka

R/ : memberikan informasi tentang masalah yang mungkin disebabkan oleh alat / pemasangan gips, bebat / traksi

2) Catat karakteristik cairan

R/ : untuk mengobservasi adanya cairan yang timbul dari luka3) Berikan masase pada area sekitar luka

R/ : mempunyai efek pengering, yang menguatkan kulit. Krim dan losion tidak dianjurkan karena terlalu banyak minyak dapat menutup perimeter gips, tidak memungkinkan gips untuk bernapas. Bedak tidak dianjukan karena potensial akumulasi berlebihan di dalam gips.

4) Memelihara kepatenan pada saluran drainage

R/ : untuk mengurangi risiko terjadinya infeksi

5) Berikan balutan

R/ : untuk mencegah terkontaminasi dengan lingkungan sekitar

6) Memelihara kesterilan dalam merawat luka.

R/ : untuk mencegah terkontaminasi dengan bakteri

7) Inspeksi perubahan warna dari luka

R/ : memberikan informasi tentang sirkulasi kulit

8) Membandingkan dan mencatat secara teratur adanya perubahan pada lukaR/ : memantau perkembangan luka dan adanya perubahan pada luka

9) Memberi posisi pada bagian yang terluka agar tidak menjadi tegang.

R/ : untuk meminimalkan tekanan pada bagian yang terluka

10) Ajari pasien dan keluarga bagaimana cara merawat luka.

R/ : untuk memberikan informasi kepada keluarga dan pasien tentang cara perawatan luka yang baik dan benar untuk mencegah terjadinya infeksiDiagnosa 3 : Kerusakan Mobilitas Fisik

Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan muskuloskletal

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama .x 24 jam, diharapkan pasien dapat meningkatkan mobilitas, dengan kriteria hasil :

Pasien dapat memperlihatkan keseimbangan saat berjalan.

Pasien dapat menggerakan otot.

Pasien dapat menggerakan sendi.

Pasien dapat berpindah : berjalan

Intervensi :

1. Kaji keterbatasan pergerakan sendi dan efek fungsinya.

R/ : pasien mungkin dibatasi oleh pandangan diri/ persepsi diri tentang keterbatasan fisik actual, memerlukan informasi/ intervensi untuk meningkatkan kemajuan kesehatan

2. Kaji tingkat motivasi pasien untuk memelihara/mengembalikan pergerakan sendi.

R/ : Motivasi diri pasien dapat mempercepat proses menyembuhan

3. Jelaskan kepada pasien/ keluarga tujuan dan rencana latihan

R/ : Memberikan informasi kepada pasien/keluarga tentang tujuan dan rencana sehingga tidak membinggungkan pasien atau keluarga

4. Monitor lokasi dan ketidaknyamanan/nyeri selama pergerakan/aktivitas.

R/ : Nyeri/ketidaknyaman dapat menghambat pergerakan sehingga sebelumnya harus diketahui lokasi dari nyeri

5. Lindungi pasien dari trauma selama latihan.

R/ : mencegah atau mengurangi risiko jatuh pada pasien

6. Lakukan latihan ROM aktif / pasif sesuai indikasi.

R/ : Meningkatkan aliran ke otot dan tulang untuk meningkatkan tonus otot, mempertahankan gerak sendi, mencegah kontraktur /atrofi dan reabsobsi kalsium karena tidak digunakan.

7. Dorong latihan ROM aktif secara teratur menurut jadwal yang direncanakan.

R/ : Meningkatkan aliran ke otot dan tulang untuk meningkatkan tonus otot, mempertahankan gerak sendi, mencegah kontraktur /atrofi dan reabsobsi kalsium karena tidak digunakan.

8. Bantu pasien dalam posisi tubuh optimal untuk pergerakan sendi aktif / pasif.

R/ : Menggurangi atau mencegah risiko jatuh pada pasien

9. Instruksikan kepada pasien/keluarga bagaimana melaksanakan latihan ROM pasif secara sistematis atau ROM aktif

R/ : Meningkatkan pengetahuan pasien/keluarga mengenai latihan ROM aktif / pasif

10. Dorong pasien untuk duduk di tempat tidur, di samping tempat tidur/ di kursi jika ditoleransi

R/ : mencegah / menurunkan insiden komplikasi kulit / pernapasan (contoh dekubitus, pneumonia).

11. Dorong perpindahan , jika memungkinkan.

R/ : mobilisasi dini menurunkan komplikasi tirah baring (contoh flebitis) dan meningkatkan penyembuhan dan normalisasi fungsi organ. Belajar memperbaiki cara menggunakan alat penting untuk mempertahankan mobilitas dan keamanan pasien

12. Kolaborasi dengan terapi fisik dalam mengembangkan dan melaksanakan program latihan.

R/ : berguna dalam membuat aktifitas individual / program latihan. Pasien dapat memerlukan bantuan jangka panjang dengan gerakan, kekuatan, dan aktifitas yang mengandalkan berat badan, juga penggunaan alat

Diagnosa 4 : Resiko infeksi

Resiko infeksi

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama x 24 jam, diharapkan resiko infeksi tidak menjadi aktual, dengan kriteria hasil :

Tidak terjadi tanda - tanda infeksi

Suhu tubuh dalam batas normal

Kadar WBC dalam batas normal (4,10-10,9 10^3/uL)

Intervensi :

1. Kaji tanda- tanda infeksi

R/ : mengetahui dini terjadinya infeksi2. Batasi jumlah pengunjung.

R/ : mengurangi kontaminasi silang.

3. Jaga asepsis selama pasien berisiko.

R/ : meminimalkan kesempatan untuk kontaminasi

4. Sediakan perawatan kulit pada area yang edema

R/ : perawatan kulit pada area yang edema dapat membantu mencegah terjadinya infeksi yang lebih luas.

5. Inpeksi kulit dan membrane mukosa selama kemerahan, panas tinggi atau drainase

R/ : apabila kulit kembali kemerahan dan terdapat drainase purulen menandakan terjadi proses inflamasi bakteri.

6. Inpeksi kondisi luka / bekas operasi.

R/ : Mencegah terjadinya infeksi yang lebih luas

7. Dorong intake cairan.

R/ : mempertahankan keseimbangan cairan untuk mendukung perfusi jaringan.

8. Anjurkan intake nutrisi yang cukup.

R/ : mempertahankan keseimbangan nutrisi untuk mendukung perpusi jaringan dan memberikan nutrisi yang perlu untuk regenerasi selular dan penyembuhan jaringan

9. Dorong istirahat

R/ : Mencegah kelelahan/ terlalu lelah dan dapat meningkatkan koping terhadap ketidaknyamanan

10. Ajarkan pasien dan keluarga tentang tanda dan gejala infeksi dan melaporkan kepada petugas perwatan ketika terdapat tanda dan gejala infeksi.

R/ : Meningkatkan pengetahuan pasien dan keluarga

11. Intruksikan pasien untuk minum antibiotic sesuai indikasi.

R/ : antibiotik dapat menghambat proses infeksi

12. Monitor absolute granulosit, WBC ,dan hasil normal.

R/ : WBC merupakan salah satu data penunjang yang dapat mengidentifikasi adanya bakteri di dalam darah. Sel darah putih akan meningkat sebagai kompensasi untuk melawan bakteri yang mnginvasi tubuh.

Diagnosa 5 : Kurang Pengetahuan

Kurang pengetahuan tentang prosedur.perawatanTujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama .x 24 jam, diharapkan pengetahuan pasien mengetahui prosedur perawatan meningkat dengan kriteria hasil :

Pasien dapat mendiskripsikan prosedur perawatan.

Pasien dapat menjelaskan tujuan prosedur

Pasien dapat menjelaskan langkah langkah pengobatan

Pasien dapat menunjukan prosedur perawatan

Intervensi :

1. Informasikan kepada keluarga tentang kapan dan dimana prosedur perawatan akan dilaksanakan.

R/ : memberikan pengetahuan dasar dimana pasien dapat membuat pilihan berdasarkan informasi.

2. Informasikan kepada pasien tentang berapa lama prosedur atau perawatan yang diharapkan berakhir.

R/ : dapat mengurangi kecemasan pasien sehingga mengurangi beban pikiran pasien.

3. Informasikan kepada pasien tentang siapa yang akan melakukan prosedur/perawatan

R/ : memberi pasien informasi mengenai pelaku prosedur perawatan, sehingga kepercayaan pasien meningkat kepada petugas.

4. Kaji pengalaman pasien sebelumnya dan tingkat pengetahuan yang berhubungan dengan prosedur perawatan.

R/ : pengalaman pasien sebelumnya dapat mempengaruhi perawatan saat ini dapat berkembang menjadi baik maupun buruk tergantung persepsi pasien mengenai pengalaman prosedur perawatan sebelumnya.

5. Jelaskan tujuan prosedur perawatan.

R/ : meningkatkan pengetahuan pasien dan mengurangi tingkat kecemasan pasien.

6. Diskusikan peralatan tertentu yang diperlukan dan fungsinya.

R/ : meningkatkan pengetahuan pasien dan mengurangi tingkat kecemasan pasien mengenai prosedur pengobatan.

7. Sediakan informasi apa yang didengar, dicium, dilihat, dirasakan selama prosedur perawatan.

R/ : meningkatkan pengetahuan pasien dan memberi intervensi yang tepat saat pasien menanyakan informasi mengenai persepsi sensori yang dirasakan pasien.

DAFTAR PUSTAKASmeltzer & Bare. 2001. Keperawatan Medikal Bedah Vol. 3. Jakarta : EGCDoenges, E. Marilynn. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta : EGCPrice & Wilson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Edisi 6. Jakarta : EGCNanda. 2005. Panduan Diagnosa Keperawatan Nanda Definisi dan Klasifikasi 2005 -2006. Editor : Budi Sentosa. Jakarta : Prima Medika

Mansjoer, Arif dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Jakarta : Media AesculapiusLynda Jual Carpenito-Moyet. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta : EGCJohnson,M. 2000. Nursing Outcomes Classification (NOC), second edition, Mosby, Philadelphia

McCloskey, J.C. 1996. Nursing Intervention Classification (NIC), second edition, Mosby, Philadelphia