penelitian crossexional

Upload: agussripurwanto

Post on 06-Feb-2018

232 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 7/21/2019 penelitian crossexional

    1/59

    1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang

    Upaya untuk meningkatkan pembelajaran bahasa harus dilakukan, baik

    oleh pemerintah maupun unsur terkait dengan pendidikan. Pembelajaran dalam

    kelas merupakan peristiwa yang berbeda-beda jenisnya. Pembelajaran bahasa

    Indonesia berupa suatu unit rangkaian kurikulum yang terencana dan berurutan,

    atau suatu contoh penerapan metode pengajaran, pola aktivitas, sosial yang terjadi

    dalam kelas, dan pertemuan antara berbagai kepribadian manusia. Banyak hal

    yang terjadi dalam suatu kelas tertentu yang menggambarkan aktivitas rutin yang

    tidak berubah-ubah dan dapat mempersatukan berbagai tuntutan yang berbeda-

    beda dari berbagai dimensi yang berbeda bagi guru tertentu dan para pebelajar

    bahasa yang berada dalam asuhan guru (Prabu dalam Ghazali, 2010:1).

    Pengertian yang disajikan oleh Brown (2007:141) menekankan bahwa

    konsep strategi belajar sebagai tingkah laku yang tidak teramati di dalam diri

    pebelajar. Brown membedakan antara straetegi pembelajaran (learning strategy)

    dan strategi komunikasi (communication strategy). Strategi pembelajaran terkait

    dengan pemrosesan, penyimpanan, dan pengambilan (retrieval)) masukan

    pemerolehan bahasa, sedangkan strategi komunikasi berkenaan dengan keluaran

    pemerolehan bahasa.

    Berdasarkan uraian di atas, kelas bahasa kedua distrukturkan dengan cara-

    cara yang memberikan berbagai kesempatan kepada para siswa untuk berinteraksi

    dan belajar bahasa. Guru dan siswa berinteraksi dalam sejumlah aktivitas bahasayang dapat berkisar dari latihan-latihan bahasa secara mekanis hingga situasi-

    situasi komunikasi autentik. Dengan demikian, strategi belajar bahasa mencakup

    hal-hal yang terkait dengan proses internalisasi sistem bahasa maupun proses

    pemakaian bahasa untuk berkomunikasi.

    Berkomunikasi merupakan hal yang penting sebagai sarana menunjukkan

    eksistensi diri kepada orang lain. Simanjuntak (1987:21) menyatakan

    berkomunikasi juga merupakan sarana menyesuaikan diri dengan lingkungan

  • 7/21/2019 penelitian crossexional

    2/59

    2

    sosial. Misalnya, sejak seorang anak tidak secara langsung dapat berbicara dan

    menulis, tetapi melalui perkembangan-perkembangan atau proses yang

    dialaminya. Dengan demikian, seorang anak mengikuti proses perkembangan

    linguistik mulai tidak dapat berbahasa sampai dengan dapat berbahasa walaupun

    dengan pemahaman dan produksi bahasa yang kurang sempurna karena pada

    hakikatnya pemerolehan bahasa dilakukan secara bertahap.

    Tahap-tahap pemerolehan bahasa yang dilakukan oleh anak harus melalui

    proses tertentu. Proses itu terkait dengan bunyi bahasa, bentukan kata, dan

    struktur kalimat. Ketiga hal tersebut merupakan hal yang utama dalam

    mempelajari bahasa yang dialami oleh anak, baik secara lisan maupun tertulis.

    Steinberg (1990:143) menyatakan bahwa apabila seseorang ingin mempelajari

    bahasa, ia harus memahami tuturan terlebih dahulu sebelum mengujarkannya.

    Begitu pula pada saat mengujarkannya, anak tersebut harus mampu memahami

    makna bahasa yang diujarkan.

    Secara kodrati, anak-anak memiliki kemampuan memahami pembicaraan

    orang lain dan mampu berbicara dengan orang lain. Chomsky (1969:86)

    menyatakan bahwa diri manusia terdapat perangkat untuk berbahasa yang disebut

    language acquisition Device (LAD). Dengan LAD, seorang anak memiliki

    kemampuan berahasa. Di samping itu, dengan LAD, anak memiliki kemampuan

    memahami dan memproduksi sebagai performansi bahasa. Dengan demikian,

    LAD memungkinkan seseorang mengembangkan kemampuan berbahasa dengan

    berbagai cara, baik secara reseptif maupun secara produktif. Kedua kemampuan

    itu ada dalam diri anak dan saling berhubungan. Oleh karena itu, yang paling

    utama yaitu anak memiliki kemampuan menerima tuturan berupa bahasa dari

    orang lain yang disebut masukan. Di sisi lain, anak tersebut dapat memproduksi

    bahasa yang diperoleh dalam bentuk tulisan atau menulis karangan.

    Terkait dengan hal itu, menulis merupakan kegiatan produktif dan

    ekspresif. Melalui menulis, anak dapat mengekspresikan ide dan gagasannya.

    Oleh karena itu, anak harus terampil memilih dan memanfaatkan berbagai

    bentukan kata dan struktur kalimat. Untuk mendapatkan bentukan kata dan

    struktur kalimat bervariasi, anak harus meningkatkan intensitas dan kualitas

  • 7/21/2019 penelitian crossexional

    3/59

    3

    membaca berbagai bahan bacaan. Hal tersebut harus dilakukan secara intensif

    supaya mendapatkan hasil yang baik terutama terkait dengan pemerolehan bahasa.

    Untuk mewujudkan hal itu, anak-anak dilatih menulis karangan bebas (narasi,

    eksposisi, deskripsi, persuasi, argumentasi) dan bertema bebas.

    Keterampilan menulis tidak dapat dikuasai secara otomatis. Keterampilan

    menulis memerlukan latihan dan praktik secara rutin dan berulang-ulang. Hal ini

    dilakukan agar pemerolehan bahasa melalui menulis karangan tersebut berhasil

    sesuai dengan tingkat perkembangan bahasa anak. Perkembanagan bahasa bukan

    hanya diperoleh melalui menulis melainkan juga melalui kegiatan berbahasa

    lainnya, yaitu mendengarkan (menyimak), membaca, dan berbicara.

    Apabila kita menengok kembali kepada pembelajaran bahasa Indonesia,

    saat ini perkembangan bahasa melalui kegiatan menulis rendah. Hal itu diperoleh

    berdasarkan pengamatan yang diketahui bahwa sebagian besar siswa SMPN 1

    Batu sopang kesulitan mengungkapkan ide atau gagasannya terutama dalam

    bentuk tulisan melalui karangan. Kondisi ini diperkuat oleh pengamatan

    sebelumnya bahwa pembelajaran bahasa Indonesia di SMP belum mencapai hasil

    maksimal hingga kini. Dalam pembelajaran bahasa, guru cenderung menekankan

    pembelajaran pada teori dan pengetahuan bahasa daripada mengedepankan

    keterampilan berbahasa, yaitu menulis yang terkait dengan pemakaian bentuk kata

    dan struktur kalimat.

    Dalam menulis karangan, setiap siswa memiliki kemampuan memproduksi

    kalimat meskipun bentuk kata dan struktur kalimat tersebut kadang-kadang tidak

    benar atau kurang tepat. Permasalahan itu tidak dapat dibiarkan tetapi perlu

    pembinaan secara intensif sehingga kesalahan pembentukan kata tidak berulang

    secara terus-menerus karena dalam keterampilan menulis diperlukan penguasaan

    pembentukan kata (penggunaan afiks) dan struktur kalimat.

    Berdasarkan studi awal, pemerolehan bahasa Indonesia khususnya

    pemerolehan afiks pada tingkat Sekolah Menengah pertama (SMP) terdapat

    penyimpangan kebahasaan. Satu di antara penyimpangan tersebut yaitu

    pembentukan afiks. Dalam tulisan (karangan) siswa sering ditemukan penggunaan

    afiks yang kurang tepat. Oleh karena itu, untuk menghindari salah pengertian

  • 7/21/2019 penelitian crossexional

    4/59

    4

    pemakaian afiks harus diperhatikan sehingga pembentukan kata digunakan

    dengan tepat atau benar oleh siswa.

    Kurikulum SMPN 1 Batu Sopang dikembangkan sebagai pedoman dalam

    penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai program yang telah

    ditetapkan. Sesuai dengan ketentuan pemerintah dalam penyusunan kurikulum

    didasarkan pada Undang-undang dan Peraturan Pemerintah yaitu Undang-Undang

    Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

    dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang

    Standar Nasional Pendidikan adalah amanat penyusunan Kurikulum Tingkat

    Satuan Pendidikan (KTSP) pada setiap jenjang pendidikan dasar dan menengah,

    dengan mengacu kepada Standar Isi (SI) yang ditetapkan dengan Peraturan

    Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 tahun 2006 dan Standar Kompetensi

    Lulusan (SKL) yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional

    Nomor 23 Tahun 2006 serta berpedoman kepada panduan penyusunan KTSP

    yang dibuat oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) yang dikeluarkan

    oleh Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Nasioanal dan Pusat

    Kurikulum Departemen Pendidikan Nasional (Tim Pengembang Kurikulum

    SMPN 1 Batu Sopang, 2013:1-2).

    Berdasarkan analisis kondisi sekolah, SMPN 1 Batu Sopang menyusun

    Kurikulum Tingkat Satuan Pendiddikan (KTSP) yang memberi kesempatan

    kepada peserta didik agar:

    1.

    Semua kelas melaksanakan pendekatan pembelajaran aktif pada semua mata

    pelajaran.

    2.

    Mengembangkan berbagai kegiatan dalam proses belajar di kelas berbasis

    pendidikan budaya dan karakter.

    3. Mengembangkan budaya sekolah yang kondusif untuk mencapai tujuan

    pendidikan dasar.

    4. Menyelenggarakan berbagai kegiatan sosisl yang menjadi bagian dari

    pendidikan budaya dan karakter bangsa.

    5. Menjalin kerja sama lembaga pendidikan dengan media dalam memublikasikan

    program sekolah.

  • 7/21/2019 penelitian crossexional

    5/59

    5

    6.

    Memanfaatkan dan memelihara fasilitas untuk sebesar-besarnya dalam proses

    pembelajaran.

    Pada kurikulum tersebut, pada kelas VII, VIII, dan IX SMPN 1 Batu

    Sopang, guru mengajarkan materi afiks bahasa Indonesia. Materi afiks sebagai

    pengenalan awal diajarkan di SMPN 1 Batu Sopang diajarkan di kelas VII. Materi

    afiks yang lebih rumit diajarkan di kelas VIII, dan IX. Pembelajaran afiks tersebut

    diaplikasikan melalui kegiatan menulis yang dalam penelitian ini yaitu menulis

    karangan.

    Subjek penelitian ini adalah siswa SMPN 1 batu sopang kelas, VII, VIII,

    dan IX. Dari segi usia, siswa SMPN 1 Batu Sopang kelas VII berusia 12-14 tahun,

    kelas VIII berusia 13-15, kelas IX berusia 14-17 tahun. Alasan dipilih subjek

    penelitian tersebut karena peneliti mengetahui karakteristik pebelajar SMPN 1

    Batu Sopang. Selain itu, subjek terdiri atas siswa SMA berdasarkan studi awal,

    dengan teknik Disproposionate Stratified Random Sampling diperoleh sampel

    yang representatif.

    Alasan lain yang terkait dengan pemerolehan afiks bahasa Indonesia yaitu,

    pertama, pemakaian afiks dalam kalimat tulisan (karangan) siswa tidak tepat.

    Kedua, belum ada penelitian mengenai urutan pemerolehan afiks dalam kalimat

    bahasa Indonesia bagi siswa SMPN 1 Batu Sopang.

    Penelitian pemerolehan afiks dalam kalimat untuk siswa merupakan

    problematika untuk diteliti karena berdasarkan pengamatan dan studi pustaka

    penulis, belum ada penelitian masalah tersebut. Dengan demikian, masalah

    pemerolehan afiks dalam kalimat bahasa Indonesia siswa SMPN 1 Batu Sopang,

    khususnya pada anak usia SMA menjadi fokus peneltian ini.

    Penelitian yang relevan tentang urutan pemerolehan aspek tertentu bahasa

    Indonesia, seperti (1) Urutan Pemerolehan Kalimat Bahasa Indonesia Sebagai

    Bahasa Asing oleh Bambang Yulianto (1993), (2) Urutan Pemerolehan Konjungsi

    pada Anak Kelas Tinggi Usia Sekolah Dasar Oleh Roelly Ardiansyah (2009), dan

    (3) Perbandingan Urutan Pemerolehan Struktur kalimat Bahasa Indonesia Antara

    Siswa Berbahasa Ibu Bahasa Jawa dengan Siswa Berbahasa Bugis oleh Atik Sri

    Rahayu (2013). Namun, penelitian senada yang meninjau dari sudut pemerolehan

  • 7/21/2019 penelitian crossexional

    6/59

    6

    afiks dalam kalimat bahasa Indonesia, menurut amatan peneliti, belum

    didapatkan.

    Oleh karena itu, penelitian ini bermanfaat, terutama terkait dengan

    penentuan kebijaksanaan pengajaran yang mencakup bahan yang harus disajikan

    lebih awal kepada siswa tingkat tertentu. Di samping itu, dapat dipertimbangkan

    urutan penyajian afiks bagi siswa SMP pada tingkat tertentu. Pemfokusan pada

    afiks dalam penelitian ini didasarkan pada pertimbangan bahwa kata merupakan

    unsur terkecil dalam kalmat. Dengan demikian, sebagai satuan bahasa, kalimat

    secara relatif dapat berdiri sendiri (Cook, 1969:39).

    B.Ruang Lingkup dan Rumusan Masalah

    1. Ruang Lingkup Masalah

    Secara umum masalah pokok penelitian ini adalah urutan pemerolehan

    afiks kata dalam kalimat bahasa Indonesia siswa SMPN 1 Batu sopang. Ruang

    lingkup penelitian ini meliputi pemerolehan afiks kata dalam struktur kalimat

    bahasa Indonesia, yaitu struktur kalimat yang mengacu pada bentuk kata.

    Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat diketahui bahwa dalam lingkup

    jenis pemerolehan bahasa, cakupannya luas. Oleh karena itu, peneliti membatasi

    permasalahan yang akan diteliti yang akan lebih terarah, mendalam, dan

    opersional. Dengan demikian rumusan masalah dalam penelitian ini dibatasi oleh

    satu masalah yaitu urutan pemerolehan afiks bahasa Indonesia siswa SMPN 1

    Batu Sopang, yaitu afiks produktif baik afiks asli maupun asing.

    Istilah afiks kalimat dalam bahasa Indonesia perlu ditegaskan. Berdasarkan

    tata bahasa baku bahasa Indonesia, analisis kata dapat dilihat dari tiga jenis yaitu

    prefis, sufiks, dan simulfiks (Moeliono, 1988:26-27). Berdasarkan letak

    tempatnya ada yang di awal (prefiks), akhir (sufiks), gabungan di awal dan akhir

    (simulfiks). Prefiks terdiri atas ber- me-, ter-, dan sebagainya, sufiks terdiri atas

    -an,- kan, dan sebagainya, simulfiks terdiri ataspeN-an, ber-an, dan sebagainya.

    Penelitian ini mengacu pada afiks dalam bahasa Indonesia karena bagian

    terbesar pekerjaan linguistik lapangan dipenuhi oleh analisis tata bahasa. Hasil

    kebanyakan penelitian merupakan tata bahasa yang sebenarnya, deskripsi semua

  • 7/21/2019 penelitian crossexional

    7/59

    7

    unsur yang bermakna dengan keterangan tentang bentuk-bentuk, fungsi,

    penyebaran, dan mengenai beberapa kelas kata dan inventarisasinya. Sampai

    sekarang ilmu semantik dipisahkan dari bidang ini sebab teknik-tekniknya belum

    dikembangkan untuk mendekatinya secara struktural (Samarin, 1988:275).

    Berdasarkan pendapat tersebut penelitian ini memgacu afiks bahasa Indonesia.

    Berdasarkan uraian tersebut, lingkup permasalahan yang diajukan dalam

    penelitian ini adalah urutan pemerolehan afiks bahasa Indonesia pada urutan kelas

    VII, VIII, dan IX.

    2.

    Rumusan Masalah

    Berdasarkan ruang lingkup masalah tersebut, masalah-masalah dapat

    dirumuskan sebagai berikut.

    Masalah umum : Bagaimanakah perbandingan urutan pemerolehan afiks bahasa

    Indonesia pada siswa SMPN 1 Batu Sopang ? Masalah umum tersebut dapat

    dirinci sebagai berikut.

    1) Bagaimanakah urutan pemerolehan afiks siswa kelas VII SMPN 1 Batu

    Sopang?

    2)

    Bagaimanakah urutan pemerolehan afiks siswa kelas VIII SMPN 1 Batu

    Sopang?

    3) Bagaimanakah urutan pemerolehan afiks siswa kelas IX SMPN 1 Batu

    Sopang?

    3. Tujuan Penelitian

    Sesuai dengan rumusan masalah tersebut, tujuan umum penelitian ini

    adalah menghasilkan deskripsi tentang perbandingan urutan pemerolehan afiks.

    Tujuan umum tersebut dirinci menjadi tujuan khusus sebagai berikut:

    1) Menghasilkan deskripsi tentang urutan pemerolehan afiks siswa kelas VII

    SMPN 1 Batu Sopang.

    2)

    Menghasilkan deskripsi tentang urutan pemerolehan afiks siswa kelas VIII

    SMPN 1 Batu Sopang

    3) Menghasilkan deskripsi tentang urutan pemerolehan afiks siswa kelas IX

    SMPN 1 Batu Sopang

  • 7/21/2019 penelitian crossexional

    8/59

    8

    C. Manfaat Penelitian

    Hasil peneltian ini diharapkan memiliki manfaat, baik secara teoretis

    maupun praktis. Penjelasan dua macam manfaat itu sebagai berikut.

    1. Manfaat Teoretis

    Hasil penelitian ini diharapakan dapat (1) memberikan sumbangan

    pemikiran terhadap pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam

    pemerolehan bahasa dan (2) memberikan sumbangan bagi pengembangan teori

    pemerolehan bahasa terkait dengan pemerolehan afiks dalam kalimat bahasa

    Indonesia siswa SMP.

    2. Manfaat Praktis

    Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis sebagai

    berikut: (1) Siswa kelas VII, VIII, dan IX dapat menulis kalimat bahasa Indenesia

    dengan bentukan kata berafiks dengan tepat. (2) Guru tingkat SMP mendapat

    masukan tentang kemanfaatan afiks dalam kalimat bahasa Indonesia sehingga

    guru dapat memotivasi dan memacu siswa mengembangkan kognisinya dengan

    memberikan masukan bahasa kepada siswa agar siswa tepat dalam menulis kata

    berafiks kalimat bahasa Indonesia. (3) Hasil penelitian ini diharapkan dapat

    dijadikan bahan pertimbangan bagi pengembang kurikulum bahasa Indonesia

    untuk siswa, terutama kebijaksanaan penentuan bahan pengajaran struktur kalimat

    bahasa Indonesia. (4) Penulis buku dapat memanfaatkan hasil penelitian ini

    sebagai bahan pertimbangan penyusunan buku pelajaran bagi siswa dan guru

    bahasa Indonesia.

    D. Asumsi

    Ada beberapa asumsi yang melandasi penelitian ini, yaitu sebagai berikut.

    1) Skor mencerminkan kemampuan (kompetensi) siswa yang digambarkan

    melalui pemerolehan afiks dalam kalimat bahasa Indonesia.

    2)

    Tinggi rendah skor mencerminkan urutan pemerolehan afiks dalam kalimat

    bahasa Indonesia disesuaikan dari derajat kompetensi.

  • 7/21/2019 penelitian crossexional

    9/59

    9

    3)

    Keteraturan berbanding lurus dengan penguasaan, makin teratur struktur

    kalimat, makin tinggi tingkat penguasaan afiks dalam kalimat bahasa

    Indonesia.

    E. Definisi Istilah

    Beberapa istilah pokok yang digunakan perlu dijelaskan maknanya istilah-

    istilah itu adalah sebagai berikut.

    1) Urutan pemerolehan afiks dalam kalimat bahasa Indonesia adalah besaran

    skor (nilai) penguasaan afiks dalam kalimat bahasa Indonesia.

    2)

    Afiks dalam struktur kalimat satuan gramatik terikat dalam suatu kata yang

    berupa prefiks, sufiks, dan simulfiks yang memiliki kesanggupan melekat

    pada satuan-satuan lain yang membentuk kata atau pokok kata baru.

  • 7/21/2019 penelitian crossexional

    10/59

    10

    BAB II

    KAJIAN PUSTAKA

    A.Penelitian yang Relevan

    Penelitian yuang relevan dengan penelitian ini dilakukan oleh Yulianto

    (1993) yang meneliti urutan struktur kalimat bahasa Indonesia sebagai bahasa

    asing. Berdasarkan data yang diperoleh ditemukan persamaan urutan pemerolehan

    struktur kalimat oleh pembelajar tingkat 3, 4, dan 5, yaitu struktur kalimat yang

    sulit. Hal ini bukan berarti bahwa setiap pembelajar memeroleh struktur kalimat

    dalam urutan yang sama persis, melainkan pada umumnya struktur kalimat terentu

    diperoleh lebih awal dan struktur kalimat yang lain diperoleh yang sama persis,

    melainkan pada umumnya struktur kalimat tertentu diperoleh lebih awal dan

    struktur kalimat lain diperoleh kemudian. Dalam hal ini mungkin terdapat pula

    struktur kalimat yang diperoleh dalam waktu yang sama.

    Penelitian yang relevan lainnya dilakukan oleh Ardiansyah (2009) yang

    meneliti urutan pemerolehann konjungsi pada anak kelas tinggi usia sekolah

    dasar. Hasil penelitiannya menemukan persamaan urutan konjungsi pada siswa

    kelas tinggi, yaitu kelas 4, 5, dan 6. Konjungsi tersebut terdapat pada tataran

    konjungsi intrakalimat dan konjungsi antarkalimat.

    Penelitian yang relevan lainnya dilakukan juga oleh Atik Sri Rahayu (2013)

    yang meneliti urutan pemerolehan struktur kalimat bahasa Indonesia antara siswa

    yang berbahasa Jawa dan berbahasa Bugis pada siswa SMA. Hasil penelitiannya

    menemukan persamaan urutan pemerolehan struktur kalimat oleh pembelajar

    tingkat X, XI, dan XII, yaitu struktur kalimat yang sulit. Hal ini bukan berarti

    bahwa setiap pembelajar memeroleh struktur kalimat dalam urutan yang sama

    persis, melainkan pada umumnya struktur kalimat terentu diperoleh lebih awal

    dan struktur kalimat yang lain diperoleh yang sama persis, melainkan pada

    umumnya struktur kalimat tertentu diperoleh lebih awal dan struktur kalimat lain

    diperoleh kemudian. Dalam hal ini mungkin terdapat pula struktur kalimat yang

    diperoleh dalam waktu yang sama.

  • 7/21/2019 penelitian crossexional

    11/59

    11

    Perbedaan ketiga peneliti terdahulu dengan penelitian ini sebagai berikut.

    Pertama,Yulianto meneliti urutan pemerolehan struktur kalimat bahasa Indonesia

    bagi penutur asing pada tingkat sekolah dasar.Kedua,Ardiansyah meneliti urutan

    pemerolehan konjungsi bahasa Indonesia pada anak kelas tinggi Sekolah Dasar.

    Ketiga, Atik Sri Rahayu meneliti urutan pemerolehan struktur kalimat bahasa

    Indonesia antara siswa yang berbahasa Jawa dan berbahasa Bugis. Sedangkan

    penelitian ini meneliti urutan pemerolehan afiks bahasa Indonesia siswa SMP

    Negeri 1 Batu Sopang.

    B.Pemerolehan Bahasa

    1. Hakikat Pemerolehan Bahasa

    Pemerolehan bahasa adalah salah satu cara manusia agar dapat menguasai

    dan menggunakan suatu bahasa yang dipelajari atau bahasa sasaran yang dapat

    disesuaikan dengan perkembangannya. Pemerolehan bahasa memiliki suatu

    permulaan tiba-tiba atau mendadak. Hal itu tampak pada anak usia sekitar satu

    tahun yang mulai menggunakan kata-kata lepas atau kata-kata terpisah dari sandi

    linguistik untuk mencapai berbagai tujuan sosialnya.

    Setiap anak memanfaatkan kapasitasnya bawaan sejak lahir yang braneka

    ragam dalam interaksinya dengan pengalaman-pengalaman dunia fisik dan sosial

    (Slobin, 1991:57). Hal itu muncul secara bersamaan ketika seorang anak

    mengalami perkembangan linguistik dari tidak dapat berbahasa hingga dapat

    berbahasa. Artinya, dengan bawaan sejak lahir melalui interaksi dengan

    lingkungannya, anak memperoleh bahasa secara bertahap. Demikian pula dalam

    pemerolehan bahasa pertama anak mengalami perkembangan bahasa melalui

    interaksi dengan lingkungannya, terutama keluarganya.

    Proses untuk memperoleh suatu bahasa, baik dari pemahaman maupun

    produksi bahasa itu disebut pemerolehan bahasa (Kridalaksana, 2011:178). Setiap

    anak normal memperoleh bahasa di tahun pertama dalam kehidupannya, yaitu

    bahasa pertama. Bahasa pertama digunakan untuk berkomunikasi dengan baik

    ketika anak tersebut memasuki masa sekolah.

    Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa perkembangan

    bahasa anak terjadi secara alamiah dan dipengaruhi faktor lingkungan. Selain itu,

  • 7/21/2019 penelitian crossexional

    12/59

    12

    pemerolehan bahasa pertama menjadi sangat penting karena menyangkut urutan

    pemerolehannya. Jadi, penguasaan bahasa pertama sangat berperan dalam tahap

    perkembangan bahasa selanjutnya.

    Simanjuntak (1987:157) menyatakan bahwa pemerolehan bahasa pertama

    merupakan proses yang terjadi pada anak-anak sewaktu memperoleh bahasa

    ibunya, sedangkan pemerolehan bahasa kedua terjadi pada saat anak mempelajari

    bahasa yang baru setelah mempelajari bahasa ibunya. Bahasa pertama diperoleh

    anak ketika berada dalam lingkungan keluarganya. Sedangkan bahasa kedua

    diperoleh anak setelah menguasai bahasa pertama sebagai bahasa ibu secara

    penuh.

    Selanjutnya, bahasa ibu berarti bahasa yang kali pertama dikuasai atau

    diperoleh anak (Dardjowidjojo, 2003:241). Artinya memperoleh dan memahami

    bahasa berawal dari bahasa pertama anak adalah bahasa Indonesia, bahasa anak

    adalah bahasa Indonesia sekaligus bahasa keduanya.

    Pateda (1990:42) menyatakan bahwa pada umumnya seorang anak yang

    normal memeroleh bahasa melalui bunyi-bunyi bahasa yang didengar di

    sekelilingnya tanpa sengaja dan tanpa perintah. Bunyi-bunyi bahasa itu terus

    berkembang dalam bentuk kata, frasa, klausa, atau kalimat. Perkembangannya itu

    terus terjadi, tahap demi tahap, dan dari tidak sempurna sampai sempurna sesuai

    dengan perkembangan kognitif dan latar belakang sosial atau budaya anak.

    Senada dengan pendapat tersebut, Kridalaksana (2011:178) mengungkapkan

    pemerolehan bahasa merupakan proses pemahaman dan penghasilan bahasa pada

    manusia melalui beberapa tahap, mulai meraban sampai kefasihan penuh. Tahap

    awal pemerolehan bahasa adalah dengan proses pemahaman. Proses ini bisa

    berawal dari lingkungan sekitar, biasanya dari keluarga. Setelah paham, barulah

    memasuki tahap penghasilan bahasa. Misalnya, dengan meniru kemudian lama-

    lama fasih berkomunikasi.

    Pemerolehan afiks dimulai dengan tahap pemahaman. Pada mulanya anak

    hanya mendengarkan orang lain menggunakan afiks dalam kalimat. Setelah itu,

    anak menerima bentuk dan makna serta penggunaannya. Selanjutnya, anak

  • 7/21/2019 penelitian crossexional

    13/59

    13

    memasuki tahap menghasilkan, yaitu anak mampu menggunakan afiks dengan

    tepat.

    Dardjowijoyo (2003:225) mengemukakan bahwa pemerolehan bahasa

    merupakan proses penguasaan bahasa yang dilakukan oleh anak secara natural

    pada waktu dia belajar bahasa ibunya (native language). Artinya, anak memeroleh

    dan memahami bahasa berawal dari bahasa pertama, yaitu bahasa ibu. Untuk

    menguasai bahasa ibunya, anak menemukan ujaran yang dihasilkan oleh penutur

    dewasa dan berusaha menggunakan apabila ada ganjaran (reward) atau

    pembetulan. Dengan cara tersebut anak diharapkan membangun suatu pola

    pengetahuan atau kebiasaan berbahasa yang dipelajarinya.

    Pemerolehan bahasa pertama terjadi apabila anak yang sejak awal tanpa

    bahasa. Pada masa perolehan bahasa, anak lebih mengarah pada fungsi

    komunikasi daripada bentuk bahasa. Pemerolehan bahasa anak dapat dikaitkan

    memiliki ciri kesinambungan dan rangkaian yang bergerak dari ucapan satu kata

    menuju gabungan kata yang lebih rumit, misalnya kata kompleks.

    Pemerolehan bahasa tidak terlepas dari peranti pemerolehan (acquisition

    device) karena peranti pemerolehan tersebut merupakan perlengkapan hipotesis

    berdasarkan masukan data linguistik primer dari suatu bahasa yang menghasilkan

    suatu keluaran yang terdiri atas suatu tata bahasa secara deskriptif terhadap bahasa

    tersebut. Chomsky (1969:34) menyatakan bahwa manusia mempunyai faculties of

    the mind, yaitu semacam ruang-ruang intelektual abstrak dalam benak atau

    otaknya. Satu di antara ruang-ruang ini dijatahkan untuk pemakaian dan

    pemerolehan bahasa.

    Menurur Dardjowidjojo (2000:19), pada saat lahir, anak sudah memiliki

    bekal kodrati dalam bentuk suatu mekanisme abstrak yang dinamakan Language

    Acquasition Device (LAD) yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai

    peranti pemerolehan bahasa. LAD merupakan pemberian biologis yang selalu

    berisi program tentang tata bahasa. Peranti pemerolehan bahasa ini merupakan

    fisiologis otak khusus memproses bahasa. LAD memungkinkan anak untuk

    menguasai bahasa ibu dengan mudah dan cepat. Sedangkan benda yang diperoleh

    adalah kemampuan dan penampilan berbahasa. Kemampuan adalah tata bahasa

  • 7/21/2019 penelitian crossexional

    14/59

    14

    atau pengetahuan bahasa anak yang terdiri atas tiga komponen, yaitu fonologi,

    semantik, dan sintaksis.

    Slobin (dalam Nababan, 1992;101) mengatakan bahwa seorang anak lahir

    dengan seperangkat prosedur dan aturan bahasa yang oleh Chomsky dinamakan

    LAD. Prosedur-prosedur dan kaidah kaidah bahasa yang dibawa sejak lahir

    itulah yang memungkinkan seorang anak mengolah data linguistiknya. LAD

    merupakan bagian fisiologis otak yang khusus berfungsi mengolah masukan

    (input) dan menentukan bagian-bagian yang dikuasai lebih dahulu, seperti bunyi,

    kata, frasa, kalimat, dan seterusnya.

    Senada dengan hal tersebut, MCNeil dalam Brown (2000:24) memaparkan

    bahwa LAD memiliki empat perlengkapan linguistik bawaan, yaitu:

    1) kemampuam membedakan antara bunyi wicara dari bunyi-bunyi lain

    lingkungan sekitar;

    2) kemampuan menata data linguistik ke dalam berbagai kelas yang bisa

    disempurnakan kemudian;

    3)

    kemampuan mengatur pengetahuan atau masukan jenis linguistik; dan

    4)

    kemampuan mengevaluasi secara terus-menerus sistem linguistik yasng

    berkembang untuk membangun kemungkinan sistem linguistik paling

    sederhana berdasarkan masukan linguistik yang tersedia.

    Perangkat LAD bersifat universal, dibawa anak sejak lahir, sehingga dapat

    dikatakan sudah dibekali pengetahuan tertentu tentang bahasa. Hal yang

    diperlukan untuk mengembangkan kemampuan berbahasanya yaitu masukan guna

    mengaktifkan tombol-tombol universal tersebut. Perangkat bahasa inilah yangmemungkinkan anak memeroleh berbagai bahasa. Barangkali seseorang akan

    menyangkal peranti pemerolehan bahasa atau LAD karena pada kenyataannya

    peranti itu tidak kasat mata, tidak diobservasi secara langsung. Meskipun

    demikian, gejala pemerolehan bahasa pada anak dapat diketahui atau dilacak.

    Berdasarkan uraian tersebut peneliti cenderung sependapat dengan batasan

    yang diungkapkan oleh Pateda dan Dardjowidjojo yang menyatakan bahwa

    bahasa seorang anak diperoleh melalui bunyi-bunyi bahasa yang didengar di

  • 7/21/2019 penelitian crossexional

    15/59

    15

    sekelilingnya dalam bentuk kata, frasa, klausa, atau kalimat. Pemerolehan bahasa

    itu terjadi melalui tahapan-tahapan sehingga diperoleh kesempurnaan sesuai

    dengan perkembangan kognitif dan latar belakang sosisl budaya anak. Selain itu,

    pemerolehan bahasa merupakan penguasaan bahasa yang dilakukan oleh anak

    secara alamiah pada waktu anak tersebut belajar bahasa ibunya. Penguasaan

    bahasa ibu oleh seorang anak dilakukan dengan menirukan ujaran yang dihasilkan

    oleh penutur dewasa atau penutur sekitarnya.

    2. Berbagai Pandangan tentang Pemerolehan Bahasa

    Dalam pemerolehan bahasa menurut Ellis (1986:127-129), terdapat tiga

    pandangan, yaitu (1) behaviorisme, (2) nativisme, dan (3) interaksionisme. Brown

    (2000:22) mengungkapkan bahwa terdapat tiga pandangan dalam pemerolehan

    bahasa, yaitu (1) behavioris, (2) nativis, dan (3) fungsional. Yassin (1991;120)

    juga mengungkapkan bahwa teori pemerolehan bahasa selama ini dipengaruhi

    oleh tiga aliran, yaitu (1) aliran behaviorisme, (2) aliran nativisme, dan (3) aliran

    interaksionisme.

    Ketika pendapat tersebut mengungkapkan pandangan pemerolehan bahasa.

    Istilah pandangan fungsional yang digunakan oleh Brown berebeda dengan Ellis

    dan Yassin yang menggunakan istilah pandangan interaksionisme. Senada dengan

    hal itu, Yulianto (2011:17) mengungkapkan bahwa istilah pendekatan fungsional

    yang digunakan oleh Brown sebenarnya tidak jauh berbeda dengan pendapat Ellis

    dan Yassin. Ketiga pandangan tersebut dijelaskan sebagai berikut.

    a. Pandangan Behaviorisme

    Pandangan behaviorisme disebut juga pandangan empirisme. Satu di antara

    tokoh pandangan behaviorisme yaitu Skinner yang terkenal melalui percobaannya

    dengan menggunakan tikus yang diletakkan dalam sebuah kotak yang disebut

    Skinners box. Pandangan ini berpendapat bahwa pemerolehan bahasa didasarkan

    pada stimulus dari luar yang kemudian diikuti oleh respon. Dengan kata lain

    bahasa adalah seperangkat pembiasaan yang dibangun selama bertahun-tahun

    melalui proses trial and error. Pandangan ini berpendapat bahwa tidak ada

    mekanisme mental dan bawaan yang terlibat dalam pemerolehan bahasa

  • 7/21/2019 penelitian crossexional

    16/59

    16

    (Aitchison, 1993:68 dalam Susanto, 2010:18). Orang tua, teman bermain, guru-

    guru yang berada di sekitarnya turut membantu memberikan rangsangan kepada

    anak untuk memperoleh bahasanya. Kemampuan anak dalam mengembangkan

    bahasanya berbeda-beda dengan yang lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa

    kemampuan berbahasa anak bukan bawaan lahir.

    Senada dengan Yulianto (2011:18-19), pelajar dianggap sebagai mesin yang

    memproduksi bahasa, sedangkan lingkungan bahasa dianggap sebagai faktor

    penentu, yakni sebagai rangsangannya. Untuk itu, agar anak dapat mengucapkan

    kata-kata tertentu, ia harus diberi rangsangan berupa kata-kata yang belum pernah

    didengarnya. Misalnya, seorang anak yang menderita kekurangan dalam hal

    pendengaran, ia tidak pernah memperoleh rangsangan yang berupa suara atau

    bunyi. Kalaupun ada rangsangan, rangsangan itu tidak mampu ditangkapnya

    karena alat inderanya tidak berfungsi. Akibatnya, ia tidak dapat mengucapkan

    kata-kata tersebut dan ia tidak pernah bisa menirukan ucapan seseorang karena

    tidak pernah dapat mendengarnya.

    Selanjutnya, pandangan tersebut juga beranggapan bahwa manusia lahir

    dengan tabularasa, suatu keadaan kosong tanpa memiliki pemahaman tertentu

    tentang dunia dan bahasa, seorang anak dibentuk oleh lingkungan sosialnya secara

    perlahan dan dikondisikan melalui berbagai dorongan terpogram (Brown,

    2000:22). Kemampuan berbicara dan memahami bahasa oleh anak diperoleh

    melalui rangsangan dari lingkungannya, baik verbal maupun nonverbal. Anak

    dianggap sebagai penerima pasif dari tekanan lingkungannya, tidak memiliki

    peranan yang aktif di dalam proses perilaku verbalnya. Anak memberikan respons

    kebahasaan melalui pemberian stimuli yang terus diperkuat dan mereka belajar

    memahami ujaran dengan cara memberikan respons terhadap ujaran tersebut

    dengan cara mendapatkan penguatan atas respons terhadap stimulus. Apabila

    respons terhadap stimulus telah disetujui kebenarannya, terciptalah suatu bentuk

    kebiasaan pada diri anak.

    Senada dengan Suhartono (2010) kaum behavioris yakin bahwa dalam

    proses pemerolehan, pembelajaran yang terpenting ialah stimulus respon, dan

    penguatan. Jika respon diikuti oleh konsekuensi yang menguntungkan atau

  • 7/21/2019 penelitian crossexional

    17/59

    17

    disebut juga penguatan, respon tersebut menguat dan jika respon menghasilkan

    konsekuensi negatif atau hukuman, respon tersebut akan melemah. Oleh sebab itu,

    penciptaan kondisi yang memungkinkan anak akan melakukan penubian,

    kompetensi berbahasa itu akan diperoleh. Prinsip penubian sebagai teknik utama

    dalam pemerolehan ini menyiratkan pengakuan bahwa manusia adalah botol

    kosong yang sangat bergantung kepada pajanan kebahasaan.

    Faktor lingkungan (nurture) sangat berperan sebagai pengetahuan dasar

    untuk mendapatkan pengetahuan selanjutnya. Ketika seorang anak Indonesia

    dibawa ke Inggris dan berinteraksi dengan penutur bahasa Inggris. Ia akhirnya

    dapat berbahasa Inggris. Hal itu merupakan bukti bahwa faktor interaksi dengan

    lingkunganlah yang kemungkinan lebih banyak berperan dalam hal pemerolehan

    bahasa anak.

    Anak menangkap tuturan yang ditujukan kepadanya sebagi satu kesatuan

    yang lengkap dan tidak terpisah. Seorang anak juga tidak meniru (meskipun

    kadang-kadang meniru itu perlu) tuturan yang ditujukan kepadanya. Anak

    cenderung menciptakan kembali dengan segala kreativitasnya. Oleh karena itu,

    kadang-kadang muncul kata-kata yang kurang dimengerti. Hal itu disebabkan oleh

    usaha anak dalam merangkai dan menciptakan kembali tuturan yang telah

    diterimanya menurut konsepnya sendiri.

    Faktor pembiasaan juga memegang peranan penting. Hal itu tampak pada

    saat proses mencoba dan salah (trial and error) yang terjadi ketika anak

    mempelajari bahasa yang mengakibatkan suatu pembiasaan. Ketika respons

    positif diberikan terhadap tuturan anak, anak cenderung selalu memakai bentuk

    itu. Sebaliknya, apabila respons negatif yang diberikan anak akan

    memodifikasinya kembali sampai menjadi bentuk yang berterima.

    Uji coba terhadap binatang tidak selamanya dapat digunakan untuk

    membuat rampatan pemerolehan bahasa manusia meskipun faktor utama untuk

    menguasai sesuatu yang sama, yaitu pembiasaan. Namun, pembiasaan yang

    berulang tidak harus trial and error, bisa saja trial and trial, dan yang tidak

    mungkin adalah error and error. Jika pembiasaan pemerolehan bahasa itu selalu

    salah, anak tentu menjadi pendiam, lebih baik diam daripada salah. Pembiasaan

  • 7/21/2019 penelitian crossexional

    18/59

    18

    itu sedikit atau banyak juga harus melibatkan mekanisme mental. Tanpa

    mekanisme mental, pemerolehan bahasa anak hanya sekedar hafalan seperti

    burung beo atau binatang kera yang hanya bisa mengenal aba-aba tertentu supaya

    melakukan sesuatu.

    b.Pandangan Nativisme

    Pandangan nativisme disebut juga pandangan mentalisme atau rasionalisme.

    Tokoh yang paling gencar melancarkan pandangan ini yaitu Chomsky. Chomsky

    menyatakan bahwa setiap manusia telah dibekali peranti pemerolehan bahasa atau

    Language Acquisition Device (LAD) yang bersifat universal. Anak-anak secara

    biologis yang lain (Kess dalam Susanto, 2010:21). Dengan Demikian,

    pemerolehan bahasa tidak ditentukan oleh proses kondisi yang diberikan kepada

    anak, namun ditentukan oleh proses yang berjalan dengan sendirinya sejak anak

    lahir ke dunia seiring dengan kematangan pengetahuan bahasa dan usia anak

    terdsebut. Alat tersebut merupakan pemberian biologis yang telah berisi program

    tentang tata bahasa. Peranti pemerolehan bahasa ini merupakan fisiologis otak

    yang khusus memroses bahasa. Alat ini memungkinkan anak untuk menguasai

    bahasa tanpa memeroleh masukan dari alam sekitarnya.

    Yassin (1991:120) menyatakan bahwa Chomsky sebagai orang pertama

    yang memelopori teori ini mengungkapkan bahwa pemerolehan bahasa itu

    diperoleh sejak manusia dilahirkan atau yang lebih dikenal dengan hipotesis

    bawaan. Hal itu disebut sebagai bawaan bahasa (language faculty) yang bersifat

    genetis dalam komponen otak manusia yang memiliki bentuk tertentu dan

    gramatika yang dapat ditelusuri secara manusia. Dengan demikian, menurut aliran

    ini, keberhasilan belajar ditentukan oleh individu itu sendiri. Jika anak memiliki

    bakat jahat dari lahir, ia akan menjadi jahat, dan sebaliknya, jika anak memiliki

    bakat baik, ia akan menjadi baik. Pendidikan anak yang tidak sesuai dengan bakat

    yang dibawa tidak akan berguna bagi perkembangan anak tersebut.

    Brown (2000:25) juga menyimpulkan kontribusi praktis dari teori-teori

    nativis terkait berbagai temuan tentang sistem kerja bahasa anak. Bahasa anak-

    anak pada setiap tahap selalu sistemis. Hal itu berarti anak-anak secara ajeg

  • 7/21/2019 penelitian crossexional

    19/59

    19

    membentuk hipotesis-hipotesis itu akan direvisi terus-menerus dibentuk ulang

    bahkan kadang-kadang ditinggalkan.

    Berdasarkan urutan tersebut, berarti setiap anak terlahir dengan kesesmetaan

    struktur linguistik yang sudah menyatu. Artinya anak tidak harus memelajari

    ciri-ciri umum struktur semua bahasa manusia karena anak terlahir dengan

    kerangka struktur linguistik (semantik, fonologi, dan sintaksis) yang dibawa sejak

    lahir.

    c. Pandangan Interaksionisme

    Pandangan interaksionisme ini berbeda dengan pandangan behaviorisme

    dan nativisme. Pandangan interaksionisme menganggap pemerolehan bahasa

    merupakan hasil dari satu interaksi antara kemampuan mental pembelajar dan

    lingkungan bahasa (Ellis, 1986:129). Pemerolehan bahasa berhubungan dengan

    interaksi antara masukan (input) dengan kemampuan internal yang dimiliki

    pembelajar. Setiap anak memiliki LAD sejak lahir. Namun, tanpa ada masukan

    yang sesuai tidak mungkin anak dapat menguasai bahasa tertentu secara otomatis.

    Interaksi antara kemampuan mental pembelajar dengan lingkungan bahasa

    tersebut merupakan salah satu bukti perwujudan interaksi verbal yang aktual

    antara pebelajar dengan orang lain.

    Pendekatan interaksionisme oleh van Els et al (1987:31) menyebut sebagai

    pendekatan prosedural. Pendekatan prosedural merupakan interaksi antara faktor

    internal dengan faktor eksternal bersifat sentral. Titik awal pendekatan itu adalah

    kemampuan kognitif anak dalam menemukan struktur bahasa di sekitarnya. Baik

    pemahaman maupun produksi serta komprehensif bahasa pada anak dipandang

    sebagai hasil proses kognitif yang secara terus-menerus berkembang dan berubah.

    Jadi, stimulus merupakan masukan bagi anak yang kemudiian berproses dalam

    otak. Pada otak ini terjadi mekanisme internal yang diatur oleh pengatur kognitif

    yang kemudian keluar perilaku bahasa sebagai hasil pengolahan kognitif.

    Terkait dengan pandangan interaksionisme, Yulianto (1994) dalam

    penelitiannya tentang urutan pemerolehan struktur kalimat bahasa Indonesia

    sebagai bahasa asing mengidentifikasi faktor internal dan faktor eksternal yang

  • 7/21/2019 penelitian crossexional

    20/59

    20

    saling memengaruhi dalam pemerolehan bahasa Indonesia pada pebelajar asing di

    Surabaya Internasional School (SIS).

    Pada penelitian yang lain, yaitu tentang perkembangan fonologi tuturan

    bahasa Indonesia anak, Yulianto (2001) menemukan data yang bersifat

    mendukung terhadap pandangan interaksionisme ini. Dalam penelitiannya

    disimpulkan bahwa bunyi bahasa yang dihasilkan anak didasarkan pada

    kematangan yang bersifat internal. Hal tersebut dicontohkan melalui rangsangan

    bunyi /r/, rangsangan bunyi /r/ ternyata tidak mampu membentuk anak untuk

    menuturkan bunyi tersebut dengan benar.

    Hasil penelitian itu memperkuat pandangan yang diungkapkan oleh

    Dardjowidjojo (2000) yang meneliti Echa. Berdasarkan hasil penelitiannya, bekal

    kodrati dan faktor lingkungan berpengaruh dalam perolehan dalam pemerolehan

    bahasa, keduanya saling mendukung. Perencanaan kalimat juga bisa dipengaruhi

    oleh kodrat bahasa kita. Pada umumnya orang mengikuti cara penyampaian yang

    paling sederhana, kecuali kalau memang ada alasan untuk berbuat lain. Tidak

    mustahil bahwa prinsip kesederhanaan ini dilanggar karena suatu pengertian

    umum yang berlaku pada masyarakat.

    Pandangan interaksionisme ini mengingkari faktor bawaan orang

    perseorangan yang dimilikinya secara alamiah. Pemerolehan bahasa seolah-olah

    hanya merupakan hasil interaksi antara kemampuan mental pebelajar lingkungan

    bahasa.

    Berdasarkan paparan tersebut peneliti mengacu pandangan interaksionisme

    yang mengemukakan bahwa faktor bawaan (aktor internal) maupun faktor

    lingkungan (faktor eksternal) saling berinteraksi memengaruhi pemerolehan

    bahasa. Dalam tahap ini, memiliki kemampuan bawaan sejak lahir untuk

    memelajari bahasa semata tidak banyak bermanfaat jika tidak ada pengaruh dari

    lingkungan. Sebaliknya pengaruh lingkungan semata juga tidak akan berpengaruh

    jika manusia tidak dibekali dengan kemampuan pribadi untuk memeroleh bahasa.

    Namun, tentu saja kenyataan bahwa baik faktor internal maupun eksternal

    merupakan dua hal yang sama-sama memiliki peranan penting dalam

    pemerolehan bahasa manusia. Sebaiknya memerlukan lebih banyak pembuktian

  • 7/21/2019 penelitian crossexional

    21/59

    21

    baik melalui penelitian maupun eksperimen terhadap manusia., khususnya

    terhadap bagaimana manusia dengan makhluk hidup lainnya.

    3. Pemerolehan Bahasa Kedua

    Bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi sehari-hari oleh seseorang di

    dalam lingkungan masyarakat yang diperoleh secara alamiah dan wajar sejak lahir

    disebut bahasa ibu atau bahasa pertama. Pemerolehan bahasa kedua atau Second

    Language Acquisition (SIA) dimaknai ketika seseorang memeroleh sebuah bahasa

    lain setelah terlebih dahulu ia menguasai sampai batas tertentu bahasa

    pertamanya. Pemerolehan bahasa kedua ini menurut Ellis (1986), terjadi dalam

    duasetting yang berbeda, yaitu secara naturalistik (Naturalistic Second Language

    Acquisition). Pemerolehan secara naturalistik adalah pemerolehan yang terjadi

    secara alamiah dan tanpa disadari sebagaimana terjadi dalam pemerolehan bahasa

    pertama, sedangkan pemerolehan dalam lingkungan kelas berlangsung secara

    formal di dalam ruangan kelas dan keformalannya ditandai dengan kehadiran

    pengajar, pebelajar, kurikulum, silabus, materi, dan tujuan serta evaluasi.

    Menurut Suhartono dkk (2010:53) bahasa kedua (B2) adalah bahasa yang

    diperoleh anak setelah memeroleh bahasa lain. Bahasa yang diperoleh itu disebut

    B2 jika bahasa yang diperoleh lebih dulu telah dikuasai dengan relatif sempurna,

    bahasa yang diperoleh disebut bahasa pertama.

    Krashen (dalam Ellis, 1990:33) membedakan antara istilah pemerolehan

    antara istilah pemerolehan bahasa (language acquisition) dengan pembelajaran

    bahasa (language learning). Istilah pemerolehan dipakai untuk padanan istilah

    acquisition, yaitu proses penguasaan bahasa yang dilakukan anak secara natural

    pada waktu dia belajar bahasa ibunya (native language). Istilah tersebut dibedakan

    dengan pembelajaran (learning) yang dilakukan dalam tatanan formal yaitu

    belajar di kelas dan diajar oleh seorang guru. Jadi proses anak belajar menguasai

    bahasa ibu disebut pemerolehan, sedangkan proses seeorang belajar di kelas untuk

    menguasai bahasa disebut pembelajaran.

    Terkait dengan penelitian ini teori pemerolehan bahasa kedua yang

    digunakan yaitu (1) model akulturasi, (2) model monitor, dan (3) model hipotesis

  • 7/21/2019 penelitian crossexional

    22/59

    22

    universal. Alasan penggunaan ketiga model tersebut sebagai berikut. Pertama,

    penelitian ini terkait dengan bahasa sebagai ekspresi budaya yang menunjukkan

    bahwa dalam pemerolehan bahasa terlihat dari cara saling memandang antara

    masyarakat bahasa pertama dan masyarakat bahasa kedua.Kedua, model monitor

    merupakan proses konstruksi kreatif terkait dengan kesempatan berpikir dan

    menerapkan kaidah gramatikal, bentuk dan ketepatan bahasa, dan aplikasi

    pengetahuan bahasa bagi pebelajar dalam pemerolehan struktur kalimat bahasa

    Indonesia.Ketiga, di dalam model hipotesis terdapat kesemestaan linguistik yang

    di dalamnya terdapat ciri-ciri linguistik kaidah bahasa kedua yang mendukung

    urutan perkembangan dan bahasa pertama yang dapat mmbantu penguasaan

    bahasa kedua.

    a. Model Akulturasi

    Akulturasi adalah proses penyesuaian diri terhadap kebudayaan yang baru

    (Brown, 2000:213). Teori ini memandang bahasa sebagai ekspresi budaya yang

    paling nyata dan dapat diamati serta proses pemerolehan terlihat dari cara saling

    memandang antara masyarakat BI dan masyarakat B2. Teori ini dapat digunakan

    untuk menjelaskan bahwa proses pemerolehan B2 telah dimulai ketika anak

    mulai dapat menyesuaikan dirinya terhadap B2, seperti penggunaan kata sapaan,

    nada suara, pilihan kata, dan aturan-atuan yang lain. Dalam teori ini jarak sosial

    dan jarak psikologis anak sangat menentukan keberhasilan pemerolehan bahasa.

    Terkait dengan model ini, model akulturasi dapat digunakan untuk menjelaskan

    bahwa struktur kalimat bahasa kedua telah dimulai ketika siswa dapat

    menyesuiakan dirinya terhadap bahasa kedua (bahasa Indonesia).

    Schummann (dalam Ellis, 1986:251) mendefinisikan akulturasi sebagai

    integrasi dari pebelajar bahasa kedua ke dalam budaya masyarakat bahasa

    tersebut. Akulturasi dan pemerolehan bahasa kedua dipengaruhi oleh variabel-

    variabel sosisl dan psikologis. Kedua istilah ini disebut jarak sosial dan jarak

    psikologis, yaitu hal yang menentukan kualitas kontak dengan masyarakat bahasa

    yang dipelajari. Jarak sosial merupakan hasil sejumlah faktor yang memengaruhi

    pebelajar bahasa kedua sebagai bagian masyarakat sosial yang berhubungan

  • 7/21/2019 penelitian crossexional

    23/59

    23

    dengan kelompok masyarakat bahasa yang dipelajarinya. Jarak psikologis adalah

    hasil berbagai faktor yang berkaitan dengan pebelajar bahasa secara individual.

    Yulianto (2011:47) mengungkapkan bahwa terdapat tiga kemungkinan

    dalam konteks belajar B2. Pertama, konteks yang secara teknis mengacu kepada

    belajar B2: (1) dalam budaya B2 dan (2) dalam budaya yang menggunakan B2

    sebagai bahasa pengantar untuk pendidikan atau pemerintahan. Kedua, konteks

    yang secara teknik berada dalam lingkungan budaya yang menggunakan B2,

    tetapi B2 tidak digunakan sebagai bahasa pengantar.

    Demikian halnya pada proses belajar bahasa kedua di SMP Negeri 1 batu

    sopang. Di kelas guru menggunakan bahasa pengantar bahasa Indonesia.

    Komunikasi di luar sekolah maupun di rumah menggunakan bahasa campuran

    (bahasa Indonesia dan bahasa daerah). Apabila pebelajar di luar lingkungan

    sekolah, yaitu lingkungan keluarganya, pebelajar menggunakan bahasa daerah

    maupun bahasa Indonesia. Begitu pula, jika pebelajar keluar dari lingkungan

    keluarga maupun serta lingkungan sekolah, pebelajar akan mendapatkan bahasa

    daerah dan bahasa Indonesia.

    b.

    Model Monitor

    Model monitor ini dikemukakan Krashen. Istilah lain model monitor ini

    adalah proses kontruksi kreatif (creative construction procces) (Yulianto,

    2011:82). Dalam hipotesis ini dijelaskan ada aspek yang memengaruhi

    penggunaan monitor memerlukan waktu. Pertama, bila waktu tidak cukup,

    penutur tidak memiliki kesempatan berpikir dan menerapkan kaidah gramatikal.

    Kedua, monitor akan aktif bila bentuk dan ketepatan bahasa merupakan hal yang

    penting bagi penutur.Ketiga, monitor mencerminkan aplikasi pengetahuan bahasa

    pada perilaku bahasa. Dalam penelitian ini digunakan hipotesis urutan alamiah,

    hipotesis urutan masukan, dan hipotesis saringan efektif.

    Alasan penggunaan hipotesis urutan alamiah, hipotesis masukan, dan

    hipotesis saringan efektif adalah sebagai berikut. Pertama, urutan pemerolehan

    struktur gramatikal dapat diketahui dengan menghubungkannya dengan struktur

    gramatikal bahasa pertama sehingga unsur struktur gramatikal yang diajarkan

    kepada siswa harus dipertimbangkan urtannya dengan menghubungkannya

  • 7/21/2019 penelitian crossexional

    24/59

    24

    dengan struktur gramatikal bahasa pertama. Kedua, penguasaan bahasa kedua

    akan bertambah jika siswa mengerti pesan makna yang lebih tinggi dari bahasa

    yang telah dikuasainya.Ketiga, motivasi dan sikap positif terbuka terhadap (input)

    merupakan penentu kesuksesan pemerolehan bahasa kedua.

    1. Hipotesis Urutan Alamiah

    Pemerolehan struktut alamiah cenderung lebih dahulu kemudian struktur

    yang lain. Terdapat persamaan pemerolehan antara pebelajar yang satu dengan

    yang lain dalam hal urutan aspek-aspek bahasa tertentu. Urutan tersebut

    dinamakan urutan alamiah. Oleh karena itu, pemerolehan struktur-struktur

    gramatikal tersebut benar-benar dalam urutan yang diramalkan. Namun, dalam hal

    ini tidak berarti bahwa setiap pebelajar akan memeroleh urutan yang sama persis

    (Krashen & Terel dalam Brown, 2007:85). Pandangan tersebut hal yang dilakukan

    pebelajar bahasa adalah sebanyak mungkin komunikasi dan pemerolehan,

    bukan analisis. Hal itu menganjurkan penggunaan aktivitas Respon Fisik Total

    (Total Phsycal respons) pada tingkat awal pembelajaran bahasa, ketika masukan

    yang bisa dimengerti penting untuk memicu pemerolehan bahasa sintaksis.

    Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa hipotesis urutan

    alamiah menyatakan bahwa ada urutan yang alamiah dalam pemerolehan bahasa

    kedua. Hal itu terjadi sebagai hasil strategi pemrosesan yang bersifat universal

    yang diilhami oleh penemuan-penemuan pada penelitian bahasa pertama, yaitu

    adanya urutan alamiah. Demikian pula pada penelitian ini, akan ada urutan

    alamiah dalam pemerolehan afiks kalimat bahasa Indonesia.

    Struktur gramatikal tertentu cenderung diperoleh lebih cepat atau mungkin

    lambat dari struktur gramatikal yang terdapat dalam B2 lebih cepat diperoleh. Hal

    itu menyebabkan seseorang melakukan kesalahan dalam belajar B2 apabila

    pengetahuan struktur gramatika B1 tidak paralel. Jika pengetahuan struktur

    gramatikal B1 mendukung maka kesalahan dalam belajar B2 dapat dihindari.

    Untuk itu, struktur gramatikal bahasa target (B2) diperoleh dalam urutan yang

    dapat diprediksi. Oleh karena itu, unsur struktur gramatikal yang diajarkan kepada

    siswa harus dipertimbangkan urutannya dengan menghubungkan pada struktur

    gramatikal B1.

  • 7/21/2019 penelitian crossexional

    25/59

    25

    Senada dengan pendapat yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya,

    Suhartono (2010:20) mengungkapkan bahwa bukan berarti semua individu

    memeroleh leksikon, awalan, akhiran, atau bentuk-bentuk bahasa lain secara sama

    persis. Ada perbedaan urutan bentuk mana terlebih dahulu diperoleh. Hipotesis ini

    menyatakan bahwa ada urutan alamiah dalam pemerolehan B2 dan ini terjadi

    sebagai hasil strategi pemrosesan yang bersifat universal.

    Penelitian yang mendukung hipotesis urutan alamiah ini dilakukan oleh

    Yulianto (1993) yang meneliti urutan struktur kalimat bahasa Indonesia sebagai

    bahasa asing. Berdasarkan data yang diperoleh ditemukan persamaan urutan

    pemerolehan struktur kalimat oleh pebelajar tingkat 3, 4, dan 5, yaitu struktur

    kalimat sederhana diperoleh siswa paling awal kemudian struktur kalimat yang

    sulit. Hal itu bukan berarti bahwa setiap pebelajar memeroleh struktur kalimat

    dalam urutan yang sama persis, melainkan pada umumnya struktur kalimat yang

    lain diperoleh kemudian. Dalam hal ini mungkin terdapat pula struktur kalimat

    yang diperoleh dalam waktu yang sama.

    Penelitian setipe dilakukan Ardiansyah (2009) yang meneliti urutan

    pemerolehan konjungsi pada anak kelas tinggi usia sekolah dasar. Hasil

    penelitiannya menemukan persamaan urutan konjungsi pada siswa kelas tinggi,

    yaitu kelas 4, 5, dan 6. Konjungsi tersebut pada pada tataran konjungsi

    antarkalimat.

    2. Hipotesis Masukan

    Konstruk dan paradigm pemerolehan bahasa model monitor tercermin juga

    dalam hipotesis masukan. Saryono (1992:55-56) menyatakan bahwa dalamhipotesis ini pebelajar dapat memeroleh B2 dengan satu cara, yaitu mengerti

    makna pesan. Dengan kata lain, pebelajar dapat berbahasa kedua karena memiliki

    pemahaman masukan (Comprehensionable onput), pebelajar telah mendapat

    masukan yang bisa dimengerti maknanya.

    Menurut Yulianto, (2010:86), hipotesis masukan terdiri atas empat

    hipotesis, yaitu sebagai berikut.

  • 7/21/2019 penelitian crossexional

    26/59

  • 7/21/2019 penelitian crossexional

    27/59

    27

    sikap dapat berhubungan dengan pemerolehan bahasa kedua apabila pembelajaran

    memiliki sikap terbuka kepada output.

    Dulay dkk. (1982:46) mengemukakan bahwa sikap yang optimal membuat

    filter membuka lebih lebar dan akibatnya masukan terhadap sasaran lebih

    mendalam. Masukan akan efektif apabila (1) pebelajar memiliki sikap yang benar

    dan (2) guru berhasil menciptakan atmosfer kelas bebas dari perasaan cemas.

    Dengan kata lain, pembelajaran bahasa kedua (input) akan diterima oleh siswa

    apabila memiliki motivasi tinggi dan sikap positif. Siswa akan memperbesar

    saringan afektif apabila siswa termotivasi dan terbangkitkan sikap positifnya pada

    pengajaran bahasa. Hal itu perlu diupayakan dalam pengajaran bahasa sehingga

    pengajaran tersebut mencapai hasil yang optimal.

    c. Model Hipotesis Universal

    Yulianto (2011:90-91) berpendapat bahwa hipotesis universal menyatakan

    bahwa terdapat kesemestaan linguistik yang menentukan jalannya pemerolehan

    B2 seperti berikut ini.

    1.

    Kesemestaan linguistik yang menentukan jalannya pemerolehan B2 seperti

    berikut ini.

    2. Pebelajar lebih mudah memeroleh pola-pola yang sesuai kesemestaan

    linguistik daripada yang tidak. Ciri-ciri linguistik kaidah B2 mendukung

    adanya urutan perkembangan.

    3. Kesemestaan linguistik yang dimanifestasikan oleh B1 dapat membantu

    pengembangan bahasa antara melalui transfer (Ellis, 1986:212)

    Dalam penelitian ini, hasil penelitian kemungkinan terdapat hipotesisuniversal pada pemerolehan struktur asiks kalimat bahasa Indonesia.Penelitian ini

    tidak membedakan antara istilah pembelajaran dengan pemerolehan. Hal itu

    selaras dengan pendapat Ellis (1986) yang mengungkapkan bahwa pemerolehan

    bahasa kedua merujuk pada proses sadar dalam memeroleh bahasa lain selain

    bahasa ibu yang dipelajari secara alamiah atau secara formal.

    Richard dkk. (dalam Yulianto, 2011:4-5) tidak membedakan antara istilah

    pembelajaran bahasa dengan pemerolehan bahasa, language learning

  • 7/21/2019 penelitian crossexional

    28/59

    28

    (pembelajaran bahasa) dirujuk pada language acquisition (pemerolehan bahasa).

    Pemerolehan bahasa adalah pembelajaran dan perkembangan bahasa seseorang.

    Pembelajaran bahasa ibu atau B1 adalah pemerolehan B1, sedangkan

    pembelajaran B2 atau bahasa asing adalah pembelajaran B2.

    C.Pembelajaran Afiks di SMP Negeri 1 Batu Sopang

    Berdasarkan observasi pada bulan Maret 2014, di SMP Negeri 1 Batu

    Sopang menggunakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Pada

    kurikulum tersebut, materi afiks (kata berimbuhan) terdapat pada kelas 7, 8, dan 9.

    Guru mengajarkan kata berimbuhan dalam kalimat yang terpadu dalam setiap

    kompetensi kebahasaan. Materi (afiks) kata berimbuhan yang diajarkan di SMP

    Negeri 1 Batu Sopang meliputi menulis paragraf/karangan, menulis berbagai jenis

    laporan, menulis resensi, menulis surat, menulis cerpen, menulis puisi, dan

    menulis drama.

    D.Kalimat Bahasa Indonesia

    Kalimat dibentuk dari kata-kata. Proses pembentukan kata itu disebut proses

    morfologik. Menurut Ramlan (1983: 44) proses morfologik adalah proses

    pembentukan kata-kata dari satuan lain yang merupakan bentuk dasarnya. Proses

    pembentukan kata ada beberapa jenis di antaranya, (a) proses pembubuhan afiks

    atau afiksasi, (b) proses pengulangan (reduplikasi), (c) proses permajemukan, dan

    (d) proses perubahan zero (Ramlan, 1983:45). Berikut ini akan dibahas secara

    berturut-turut: (1) batasan kalimat, (2) batasan afiks, (3) jenis-jenis afiks, (4)

    proses morfofonemik, dan (5) fungsi dan makna pembubuhan afiks.

    Selain itu, perlu pula dijelaskan bahwa yang dijadikan landasan utama

    bahasanya adalah buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia yang dieditori oleh

    Moeliono dan Dardjowidjojo didukung oleh buku Morfologi karya M. Ramlan.

    Pemilihannya didasarkan pada pertimbangan bahwa buku tersebut menyajikan

    secara menyeluruh dan jelas berbagai jenis afiks bahasa Indonesia dan buku

    tersebut sesuai untuk pembelajaran bahasa Indonesia secara lebih luas untuk

    jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP).

  • 7/21/2019 penelitian crossexional

    29/59

    29

    Sebagai sarana komunikasi, bahasa merupakan perpaduan dua unsur yaitu

    unsur bentuk dan unsur makna. Dengan demikian, kalimat sebagai satuan

    gramatika yang memiliki fungsi bahasa tersebut harus dilihat sebagai perpaduan

    dari keduanya. Apabila dikaitkan dengan hal itu, penjenisan struktur kalimat

    berdasarkan fungsi dan kategori diorientasikan pada unsur bentuk. Sedangkan

    penjenisan struktur kalimat ditinjau dari peran (tindak tuturnya) lebih

    diorientasikan pada unsur makna.

    1. Batasan Kalimat

    Ada banyak batasan kalimat yang dikemukakan para ahli bahasa. Keraf

    (1980:184) menyatakan bahwa kalimat adalah bagian arus ujaran yang dibatasi

    oleh kesenyapan, sedang intonasi menunjukkan selesai. Ramlan (1983:22)

    memberikan batasan yang setara, yaitu kalimat adalah satuan gramatika yang

    dibatasi oleh adanya jeda panjang yang disertai nada akhir turun atau naik. Kedua

    pendapat itu menekankan kepada hakikat bahasa, yaitu lebih merujuk kepada

    bahasa dalam ranah ucapan atau lisan.

    Kridalaksana dkk (1985:163) mengungkapkan ciri-ciri kalimat lebih rinci

    dengan cakupan yang lebih luas. Menurutnya kalimat adalah (1) satuan bahasa

    yang secara relatif dapat berdiri sendiri, (2) mempunyai pola intonasi final, dan

    (3) baik secara aktual maupun secara potensial terdiri atas klausa. Dalam

    pandangan gramatikal yang menganggap tata bahasa sebagai subsistem hierarkhis,

    (4) kalimat hanyalah merupakan salah satu satuan yang tetap terikat oleh satuan

    yang lebih besar, atau berdiri sendiri hanya secara relatif. Akan tetapi, (5) kalimat

    dapat ditandai batasannya baik oleh peneliti maupun secara intuitif olehbahasawan. Dalam ragam tulis (6) kalimat sebagian besar ditandai oleh huruf

    kapital di pangkalnya dan oleh tanda-tanda akhir seperti titik, tanda seru, tanda

    tanya, atau tidak ditandai apa-apa di belakangnya. Hal yang terakhir, misalnya

    terdapat pada kalimat tak lengkap. Keenam ciri kalimat tersebut selintas tidak

    mencerminkan keutamaan ciri tertentu, tetapi menggambarkan seluruh ciri

    tersebut berperan bersama-sama sebagai ciri kalimat. Namun, apabila dicermati

    lebih mendalam ciri (4) dapat dikatakan sebagai rumusan lain bagi ciri (1). Ciri

  • 7/21/2019 penelitian crossexional

    30/59

    30

    (5) merupakan penjelasan bagi ciri (2) dan ciri (6). Akan tetapi ciri (6) tersebut

    mengacu kepada ragam tulis. Dengan demikian, batasan ini melihat kalimat bukan

    hanya dalam ragam lisan melainkan juga ragam tulis. Kalimat secara aktual

    maupun fungsional terdiri atas klausa. Kalimat dapat merupakan bagian satuan

    gramatik yang lebih besar. Kalimat memiliki intonasi final.

    Berdasarkan urutan di atas terdapat pengesampingan unsur makna, Misalnya

    kata bahasawan pada ciri (5) menimbulkan ketidakjelasan makna. Bahasawan

    pada ciri (5) ini mengacu kepada ahli bahasa atau pengguna bahasa. Baik definisi

    yang disampaikan oleh Keraf, Ramlan, maupun Kridalaksana dkk., ketiganya

    tidak menyinggung makna secara eksplisit. Hal ini perlu ditegaskan karena dalam

    pengklasifikasian yang dilakukan oleh Kridalaksana dkk. terdapat pertimbangan

    maknawi sebagai dasarnya. Padahal, pengklasifikasian kalimat harus didasarkan

    pada ciri-ciri kalimat.

    Moeliono dan Dardjowidjojo (1988:254) menyatakan bahwa kalimat adalah

    bagian terkecil ujaran atau teks (wacana) yang mengungkapkan pikiran yang utuh

    secara ketatabahasaan. Dalam wujud lisan, kalimat diiringi oleh alunan titi nada,

    disela oleh jeda, diakhiri oleh intonasi selesai, dan diikuti oleh kesenyapan yang

    memustahilkan adanya perpaduanatau asimilasi bunyi. Dalam wujud tulisan

    berhuruf Latin, kalimat diawali dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda

    titik, tanda tanya, atau tanda seru, dan sementara itu disertakan pula di dalamnya

    berbagai tanda baca yang berupa spasi atau ruang kosong, koma, titik koma, titik

    dua, dan atau sepasang garis pendek yang mengapit bentuk tertentu. Berdasarkan

    uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa kalimat merupakan perpaduan antara

    bentuk (bagian terkecil ujaran teks) dan makna (mengungkapkan pikiran yang

    utuh).

    2. Batasan Afiks

    Menurut Ramlan (1983:48) afiks ialah suatu satuan gramatika terikat yang

    di dalam suatu kata merupakan unsur yang bukan kata dan bukan pokok kata.

    yang memiliki kesanggupan melekat pada satuan-satuan lain untuk membentuk

    kata atau pokok kata baru. Misalnya, kata minuman. Kata itu terdiri dari dua

  • 7/21/2019 penelitian crossexional

    31/59

    31

    unsur, ialah minumyang merupakan kata dananyang merupakan satuan terikat.

    Maka morfeman diduga merupakan afiks.

    Sebelum an ditetapkan sebagai afiks, harus terlebih jauh, apakah an itu

    mampu melekat pada satuan-satuan lain untuk membentuk kata-atau pokok kata

    baru. Dan kata-kata makanan, timbangan, pikiran, satuan, gambaran, dan

    sebagainya, dapatlah ditentukan bahwaan mempunyai kemampuan melekat pada

    satuan-satuan lain, dengan demikian, -an dapat ditentukan sebagai afiks.

    Jadi afiks adalah unsur yang kemungkinan melekat pada satuan-satuan lain

    yang lebih banyak. Setiap afiks tentu berupa satuan terikat, artinya dalam tuturan

    biasa tidak dapat berdiri sendiri, dan secara gramatik selalu melekat pada satuan

    lain. Afiks tidak memiliki arti leksikal.

    3. Jenis-jenis Afiks

    Menurut Ramelan (1983:50) jenis-jenis afiks yang produktif dalam bahasa

    Indonesia dapat digambarkan seperti dalam tabel betikut.

    prefiks infiks sufiks simulfiks

    me-N

    ber-

    di-

    ter-

    peN-

    pe-

    se-

    per-

    ke-

    para-

    maha-

    - -kan

    -an

    -i

    -wan

    peNan

    peran

    beran

    kean

    senya

    Afiks-afiks yang terletak di lajur paling depan disebut prefiks karena selalu

    melekat di depan bentuk dasar; yang terletak di lajur tengah disebut infiks karena

    selalu melekat di tengah kata dasar, dan yang terletak di lajur belakang disebut

    sufiks karena selalu melekat di belakang bentuk dasar. Ketiga macam afiks itu

    biasa disebut awalan, sisipan, dan akhiran.

    Selain ketiga macam afiks itu masih ada satu lagi afiks terpisah atau

    simulfks. Afiks ini sebagiannya terletak di muka bentuk dasar, dan sebagiannya

  • 7/21/2019 penelitian crossexional

    32/59

    32

    lagi terletak di belakangnya. Simulfiks merupakan afiks-afikks yang melekat

    bersama-sama pada suatu bentuk dasar, dan bersama-sama pula mendukung satu

    fungsi baik fungsi gramatik, maupun fungsi semantik. Contoh, afiks ber-danan

    pada berlarian, bertabrakan, bertangisan, berserakan, berhamburan,

    bertabrakan.

    4. Proses Morfofonemik

    Morfofonemik adalah mempelajari perubahan-perubahan yang timbul

    sebagai akibat pertemuan morfem dengan morfem lain. Ada tiga proses

    morfofonemik yaitu, (a) proses perubahan fonem, (b) proses penambahan fonem,

    dan (c) proses hilangnya fonem, Ramlan (1983: 73-95), berikut ini akan diuraikan

    proses morfologis.

    a. Proses Perubahan Fonem

    Proses perubahan fonem, misalnya, terjadi sebagai akibat pertemuan

    morfem meN- danpeN- dengan bentuk dasarnya. Fonem /N/ pada kedua morfem

    itu berubah menjadi /m, n, , /, hingga morfem meN- berubah menjadi mem-,

    men-, meny-, dan meng-, dan morfempeN-berubah menjadipem-, pen-, peny, dan

    peng-. Perubahan-perubahan itu tergantung pada kondisi bentuk dasar yang

    mengikutinya. Kaidah-kaidah perubahan dapat diikhtisarkan sebagai berikut:

    1) Fonem /N/ pada morfem meN- danpeN-berubah menjadi fonem /m/ apabila

    bentuk dasar yang mengikutinya berawal dengan /p, b, f/, misalnya:

    meN + paksa memaksa peN + periksa pemeriksa

    meN + bantu membantu peN + bantu pembantu

    meN + fitnah memfitnah peN + fitnah pemfitnah2) Fonem /N/ pada morfem meN- dan peN-berubah menjadi fonem /n/ apabila

    bentuk dasar yang mengikutinya berawal dengan fonem /t,d,s/. Fonem /s/ di

    sini hanya khusus bagi beberapa bentuk dasar yang berasal dari bahasa asing

    yang masih mempertahankan keasingannya. Misalnya:

    meN + tulis menulis peN + tulis penulis

    meN + duga membantu peN + dengar pendengar

    meN + support mensupport peN + survey pensurvey

  • 7/21/2019 penelitian crossexional

    33/59

    33

    3)

    Fonem /N/ pada morfem meN- dan peN-berubah menjadi fonem // apabila

    bentuk dasar yang mengikutinya berawal dengan /c,s,,j/.Misalnya:

    meN + sapu menyapu peN + cukur pencukur

    meN + syukuri mensyukuri peN + judi penjudi

    meN + cari mencari peN + suluh penyuluh

    meN + jadi menjadi

    4) Fonem /N/ pada morfem meN- danpeN-berubah menjadi fonem // apabila

    bentuk dasar yang mengikutinya berawal dengan /k,g,x,h, dan vokal/.

    Misalnya:

    meN + kacau mengacau peN + kacau pengacau

    meN + garis menggaris peN + gali penggali

    meN + khianati mengkhianati peN + khianat pengkhianat

    meN + habiskan menghabiskanpeN + hias penghias

    meN + angkut mengangkut peN + uji penguji

    peN + bom pengebom

    Di samping proses perubahan, pada kata-kata itu terjadi juga proses

    penambahan, ialah penambahan fonem //.

    Fonem /r/ pada morfem ber- dan per- mengalami perubahan menjadi /l/

    sebagai akibat pertemuan morfem tersebut dengan bentuk dasarnya yang berupa

    morfem ajar:

    ber- + ajar belajar

    per- + ajar pelajar

    Fonem /?/ pada morfem-morfem duduk /dudu?/, rusak /rusa?/, petik /pti?/,

    dan sebagainya, berubah menjadi /k/ sebagai akibat pertemuan morfem-morfem

    itu dengan morfem ke-an, peN-an, dan -i. Misalnya:

    ke-an + duduk kedudukan

    ke-an + rusak kerusakan

    peN-an+ duduk pendudukan

    peN-an + petik pemetik

  • 7/21/2019 penelitian crossexional

    34/59

    34

    -i + duduk duduki

    -i + rusak rusaki

    -i + petik petiki

    b. Proses Penambahan Fonem

    Proses penambahan fonem, a.l. terjadi sebagai akibatt pertemuan

    morfem meN- dengan bentuk dasarnya yang terdiri dari satu suku. Fonem

    tambahannya ialah //, sehingga meN-berubah menjadi menge-. Misalnya:

    meN- + bom mengebom

    meN- + cat mengecat

    Proses penambahan fonem // terjadi juga sebagai akibat pertemuan

    morfem peN- dengan bentuk dasarnya yang terdiri dari satu suku sehingga

    morfem peN- berubah menjadi penge-. Proses perubahan fonem /N/ bisa juga

    menjadi //. Misalnya:

    peN- + las pengelas

    peN- + bur pengebur

    Akibat pertemuan morfem an, ke-an, peN-an dengan bentuk dasarnya,

    terjadi penambahan fonem /?/ apabila bentuk dasar itu berakhir dengan vokal /a/,

    penambahan /w/ apabila bentuk dasar itu berakhir dengan /u,o,aw/, dan terjadi

    penambahan /y/ apabila bentuk dasar itu berakhir dengan /i,ay/. Misalnya:

    -an + hari harian /hariyan/

    -an + lambai lambai /lambayyan/

    -an + terka terkaan /terka?an/

    ke-an + lestari kelestarian / klstariyanke-an + pulau/pulaw kepualauan / kpulawwan

    ke-an + raja kerajaan / kraja?an

    ke-an + pandai/panday kepandaian / kpandayyan

    per-an + hati perhatian / prhatiyan

    per-an + tikai / tikay pertikaian / prtikayyan

    per-an + temu pertemuan / prtmuan

    per-an + toko pertokoan / prtokoan

  • 7/21/2019 penelitian crossexional

    35/59

  • 7/21/2019 penelitian crossexional

    36/59

    36

    per- + ragakan peragakan

    ter- + rasa terasa

    ter- + perdaya terpedaya

    Fonem-fonem /p,t,s,k/ pada awal morfem hilang akibat pertemuan morfem

    meN- dan peN- dengan bentuk dasar yang berawal dengan fonem-fonem itu.

    Misalnya:

    meN + paksa memaksa

    meN + tulis menulis

    meN + sapu menyapu

    meN + karang mengarang

    peN-an + pangkas pemangkas

    peN-an + tulis penulis

    peN-an + sapu penyapu

    peN-an + karang pengarang

    Pada kata memperagakan dan mentertawakan fonem /p/ dan /t/ yang

    merupakan fonem awal bentuk dasar itu hilang karena fonem-fonem itu

    merupakan fonem awal afiks ialah afiks per- dan ter-. Demikian juga pada kata-

    kata menterjemahkan, mensupply, mengkoordinir, penterjemah, pensurvey,

    fonem-fonem /t,s,k/ yang merupakan fonem awal bentuk dasar kata-kata itu

    berasal dari kata asing yang masih mempertahankan keasingannya.

    5. Fungsi Proses Pembubuhan Afiks

    a. Fungsi dan Makna

    Kata makan danminum termasuk golongan kata verbal. Setelah mendapatafiks an menjadi makanan dan minuman, kata tersebut termasuk golongan kata

    nominal. Perubahan golongan kata tersebut disbabkan oleh afiksan.Maka dapat

    dikatakan bahwa afiksanberfungsi mengubah kata verbal menjadi kata nominal,

    atau dengan kata lain berfungsi sebagai pembentuk kata nominal.

    Kata cangkul, gunung, alun, batu, termasuk golongan kata nominal. Setelah

    mendapat afiks meN- menjadi mencangkul, menggunung, mengalun, dan

  • 7/21/2019 penelitian crossexional

    37/59

    37

    membantu. Kata-kata itu termasuk golongan kata verbal. Maka dapat dikatakan

    afiks meN- di sini mempunyai fungsi sebagai pembentuk kata verbal.

    Satuan gramatik beli, tanam, giling, baca, dan edar termasuk satuan

    gramatik yang disebut pokok kata. Setelah mendapat afiks peN-an menjadi

    pembelian, penanaman, penggilingan, pembacaan, danpengedaran, kata-kata itu

    termasuk golongan kata nominal. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa

    afikspeN-anberfungsi sebagai pembentuk kata nominal.

    Dengan demikian proses morfologik itu mempunyai fungsi gramatik, ialah

    fungsi yang berhubungan dengan ketatabahasaan. Di Samping itu proses

    morfologik juga mempunyai fungsi semantik. Misalnya, kata sepeda. Kata ini

    telah memiliki arti leksikal seperti yang dijelaskan dalam kamus. Akibat

    melekatnya afiks ber- pada kata itu, berubahlah arti leksikalnya menjadi

    mempunyai atau menggunakan sepeda. Maka dapatlah dikatakan di sini afiks

    ber- mempunyai fungsi semantik menyatakan makna mempunyai atau

    menggunakan.

    Untuk selanjutnya, fungsi gramatik disebut dengan istilah fungsi, sedangkan

    fungsi semantik disebut makna. Berturut-turut berikut ini akan dibicarakan fungsi

    dan makna jenis-jenis afiks dalam bahasa Indonesia Ramlan (1983:96-161)

    (prefiks, sufiks, dan multifiks).

    b. Afiks me-N

    Semua kata berafiks meN- termasuk golongan kata verbal. Karena itu, afiks

    meN-hanya memiliki satu fungsi saja, ialah sebagai pembentuk kata verba. Yang

    dimaksud verbal ialah kata yang pada tataran klausa mempunyai kecenderungan

    menduduki fungsi predikat dan pada tataran frase dapat dinegatifkan dengan kata

    tidak. Misalnya, kata-kata mengerjakan, memeriksa, subur, panas yang

    menduduki fungsi predikat dalam klausa-klausa di bawah ini:

    Petani mengerjakan sawahnya dengan tekun.

    Udaranyapanas.

    dan yang dapat dinegatifkan dengan kata tidak pada tataran frase menjadi tidak

    mengerjakan, tidak memeriksa, tidak subur, dan tidak panas. Kata verbal dapat

    digolongkan menjadi dua, yaitu (1) kata kerja dan (2) kata sifat. Kedua golongan

  • 7/21/2019 penelitian crossexional

    38/59

    38

    kata itu dibedakan berdasarkan kemungkinannya diikuti frase dengan sangat

    nya. Kata melihat, misalnya, termasuk golongan kata kerja karena kata itu dapat

    diikuti frase di atas, menjadi melihat dengan sangat jelasnya. Tetapi, katagugup,

    misalnya, tidak dapat diikuti dengan frase dengan sangat nya, dan karena itu

    digolongkan kata sifat.

    Akibat pertemuan afiks meN- dengan bentuk dasarnya, timbullah berbagai-

    bagai makna. Makna itu antara lain: (1) apabila bentuknya berupa pokok kata

    menyatakan makna suatu perbuatan yang aktif lagi transitif, maksudnya

    perbuatan itu dilakukan oleh pelaku yang menduduki fungsi subjek dan menuntut

    adanya objek. contoh, mengambil; (2) apabila bentuk dasarnya berupa kata sifat,

    afiks meN- menyatakan makna menjadi seperti keadaan yang tersebut pada

    bentuk dasarnya atau menyatakan proses, contoh, melebar menjadi lebar; (3)

    Apabila bentuk dasarnya berupa kata nominal, afiks meN- menyatakan berbagai-

    bagai makna seperti memakai apa seperti yang tersebut pada bentuk dasar,

    menuju ke tempat yang tersebut pada bentuk dasar, membuat apa yang tersebut

    pada bentuk dasar, dan lain-lain yang dapat disimpulkan melakukan tindakan

    berhubungan dengan apa yang tersebut pada bentuk dasar contoh, menepi

    menuju ke tepi; (4) afiks meN- menyatakan makna dalam keadaan atau

    menyatakan makana statif contoh, mengantukdan menyendiri.

    c. Afiks ber-

    Bentuk dasar kata berafiks ber- mungkin berupa pokok kata, kata sifat, kata

    bilangan, atau kata nominal. Misalnya, bertemu, bergembira berdua, bersepeda,

    dan sebagainya. Makna afiks ber- adalah menyatakan makna (1) menyatakan

    suatu perbuatan yang aktif bila kata berafiks ber- yang bentuk dasarnya berupa

    pokok kata dan kata kerja, contoh, bersandar, berjuang, belajar, dan lain

    sebagainya; (2) kata berafiks ber- yang bentuk dasarnya berupa kata sifat

    menyatakan makna dalam keadaan atau statif contoh, bergembira, berpadu,

    bersedih, dan lain sebagainya; (3) pada kata-kata yang berbentuk bilangan afiks

    ber- menyatakan mana kumpulan yang terdiri dari jumlah yang tersebut pada

    bentu dasar, kecuali pada kata bersatu yang menyatakan makna menjadi satu

    contoh, berdua, berlima, dan sebagainya; (4) apabila bentuk dasarnya berupa kata

  • 7/21/2019 penelitian crossexional

    39/59

    39

    nominal, afiks ber- menyatakan makna meakukan perbuatan yang berhubungan

    dengan apa yang tersebut dalam bentuk dasarnya contoh, bertamu bermakna

    menjadi tamu, berguru, berkaca mata, dan sebagainya; (5) selain itu, apabila

    bentuk dasarnya menyatakan nominal , afiks ber- menyatakan makna mempunyai

    apa yang tersebut dalam bentuk dasar contoh, berayah, berumah,

    berperikemanusiaan, dan sebagainya.

    d. Afiks di-

    Bentuk dasar kata berafiks di- bisa berupa pokok kata, misalnya disayang,

    dicintai, bisa berupa kata nominal, misalnya dicangkul, digunting, dilawan , dan

    sebagainya. Afiks di- fungsinya membentulk kata kerja pasif, sedangkan

    maknanya ialah menyatakan suatu perbuatan yang passif.

    e. Afiks ter-

    Afiks ter- mempunyai fungsi membentuk kata kerja pasif. Makna afiks ter-

    dapat digolongkan sebagai berikut. (1) menyatakan makna aspek perfektifatau

    sudah di . contoh, terbagi, terjepit, tersimpan, dan sebagainya; (2) menyatakan

    makna ketidaksengajaan contoh, terpijak, terjahit, terpegang, dan lain

    sebagainya; (3) menyatakan makna ketiba-tibaan contoh, terbangun, teringat,

    terperosok, dan lain sebagainya; (4) menyatakan makna kemungkinan kata ini

    pada umumnya didahului kata negatif tidak atau tak, contoh, tidak ternilai, tidak

    terduga, tidak terbaca, dan sebagainya; (5) apabila bentuk dasarnya berupa kata

    sifat, afiks ter- menyatakan makna paling contoh, tertinggi, terluas, terjauh,dan

    sebagainya.

    f. Afiks peN-

    Kata berafiks peN- mempunyai fungsi membentuk golongan kata nominal.

    Kata ini bisa dinegasikan dengan kata negatif bukan. Makna afiks peN- adalah:

    (1) apabila bentuk dasarnya berupa pokok kata maknanya yang (pekerjaannya)

    melakuakan perbuatan yang tersebut pada bentuk dasar atau menyatakan makna

    agentif, contohpembaca, pembela, pencukur, dan sebagainya; (2) apabila bentuk

    dasarnya pokok kata juga bisa menyatakan makna alat yang dipakai untuk

    melakukan perbuatan pada bentuk dasar, contoh:pemotong, pemukul, penjahit,

    dan sebagainya; (3) apabila bentuk dasarnya berupa kata sifat, menyatakan makna

  • 7/21/2019 penelitian crossexional

    40/59

    40

    yang memiliki sifat yang tersebut pada bentuk dasarnya, contoh: pemalas,

    penakut, periang,dan sebagainya. (4) apabila bentuk dasarnya berupa kata sifat

    bisa juga menyatakan makna yang menyebabkan adanya sifat yang tersebut pada

    bentuk dasar, misalnya: pengeras, penguat, penghalus, dan sebagainya; (5)

    apabila bentuk dasarnya berupa kata nominal, menyatakan makna yang

    (peekerjaannya) melakukan perbuatan berhubung dengan benda yang tersebut

    pada bentuk dasarnya, misalnya:penyair, pelaut, penggergaji, dan sebagainya.

    g. Afiks pe-

    Afiks pe- pada umumnya bertalian dengan kata kerja berafiks ber-. Afiks

    pe- mempunyai fungsi pembentuk kata nominal. Afikspe-mempunyai makna: (1)

    yang biasa/pekerjaannya gemar melakukan pekerjaan yang tersebut pada bentuk

    dasar, misalnya: pejalan kaki, petani, pegulat, dan sebagainya; (2) orang yang

    (pekerjaannya) di atau sesuatu yang di (dalam perjudian), misalnya:

    pesuruh, petatar, petugas,danpetaruh.

    h. Afiks per-

    Ada dua jenis afik per-, (1) afiks per- yang berfungsi membentuk kata

    nominal (afiks ini tergolong tidak produktif) misalnya: pelajardanpertapa,pada

    kata pelajar, afiks per- mengalami proses morfofonemik; (2) afiks per- yang

    membentuk pokok kata. Bentuk afiksper- yang berfungsi membentuk pokok kata

    mungkin berupa: (a) kata sifat, misalnya perbesar, perluas, petinggi,dan

    sebagainya; (b) kata bilangan, misalnya,persatu, perdua,pertiga, dan sebagainya;

    (c) kata nominal, misalnya, peristri, perkuda, perbudak, dan sebagainya; (d)

    pokok kata, misalnya, perhitungkan, perjuangkan, percakapan, dan sebagainya.

    Afiks per- menpunyai satu makna menyatakan kausatif. Apabila bentuk

    dasarnya berupa kata sifat, kausatif itu berarti membuat jadi lebih daripada apa

    yang tersebut pada bentuk dasar; apabila bentuk dasarnya berupa kata bilangan

    berarti membuat jadi apa yang tersebut pada bentuk dasarnya; dan apabila

    bentuk dasarnya berupa kata nominal berarti membuat jadi atau menganggap

    sebagai apa yang tersebut pada bentuk dasar.

  • 7/21/2019 penelitian crossexional

    41/59

    41

    i. Afiks se-

    Afiks se- (1) ada yang melekat pada bentuk dasar yang berupa kata

    nominal, misalnya serumah, sedunia, seminggu, dan sebagainya; (2) ada yang

    melekat pada bentuk dasar yang berupa kata sifat, misalnya setinggi, seluas,

    sebaik, dan sebagainya; (3) ada juga yang melekat pada golongan kata tambah,

    misalnyasebelum, sesudah, dansetelah.

    Afiks se- pada kata-kata sesampai(nya), setiba(nya), sepulang(mu),

    sekembali(mu), seberangkat(mu) melekat pada bentuk dasar yang berupa kata

    nominal. Kata sampai, tiba, pulang, kembali, berangkat, dalam sampai(nya),

    tiba(nya), pulang(mu), kembali(mu), akibat proses nominalisasi, menjadi kata

    nominal.

    Afiksse- mempunyai makna sebagai berikut: (1) menyatakan makna satu

    misalnya, serombongan, sebuah, sehari, dan sebagainya; (2) menyatakan makna

    seluruh misalnya, sekampung, sedunia, se-balikpapan, dan sebagainya; (3)

    menyatakan makna sama, seperti, misalnyasegunung, sepanjang, serumah, dan

    sebagainya; (4) menyatakan makna setelah, misalnya sesampainya, sepulangku,

    seberangkatku, dan sebagainya.

    j. Afiks ke-

    Afiks ke- melekat pada bentuk dasar yang termasuk kata bilangan, misalnya

    keempat, kelima, dan seterusnya. Ada juga yang melekat pada kata yang bukan

    kata bilangan (jumlahnya terbatas) yang berfungsi membentuk kata nominal,

    misalnya ketua, kekasih,dankehendak,sedangkan pada ketahu afiks ke-berfungsi

    membentuk pokok kata pada kata mengetahui, diketahui, danpengetahuan.Afiks ke- mempunyai dua makna, ialah: (1) menyatakan kumpulan yang

    terdiri dari jumlah yang tersebut pada bentuk dasar, misalnya kedua (orang),

    ketiga pasang, dan sebagainya; (2) menyatakan urutan misalnya, (pegawai)

    kedua, (rumah) ketujuh.

    k. Afiks para-

    Afiks ini melekat pada bentuk dasar kata nominal insane. Maknanya

    menyatakan banyak misalnya,parapemuda,para dokter, dan seterusnya.

  • 7/21/2019 penelitian crossexional

    42/59

    42

    l. Afiks maha-

    Afiks ini pada umumnya melekat pada kata-kata yang menyatakan sifat

    Allah. Makna ini menyatakan sangat atau sifat lebih daripada sifat makhluk

    Misalnya, mahakuasa, maha pengasih, dan seterusnya.

    Afiks maha- juga melekat pada kata nominal, maknanya besar, tertinggi

    karena hubungan dengan bentuk dasarnya sudah terlalu erat, maka maknanya

    tidak begitu jelas lagi. Misalnya, mahasiswa, mahaguru, maharaja, dan

    sebagainya.

    m. Afiks

    kan

    Afiks kan tidak berfungsi membentuk kata, melainkan berfungsi

    membentuk pokok kata. Dengan tambahan prefiks meN-, di-, ter-, atau dengan

    tambahan satuan lain ku-, kau, dan sebagainya, pokok kata itu membentuk suatu

    kata. Bentuk dasarnya mungkin berupa: (1) kata verbal, melarikan melarikan;

    (2) kata sifat, meluaskan luas; (3) kata nominal, mendewakan dewa; (4)

    kata bilangan, menyatuakan satu, (5) pokok kata, membacakan baca.

    Makna afiks kan menyatakan sebagai berikut, (a) makna benefektif

    maksudnya perbutan yang tersebut pada bentuk dasar dilakukan untuk orang lain,

    misalnya membacakan, membelikan, dan sebagainya; (b) makna kausatif yang

    digolongkan menjadi : (1) menyebabkan () melakuakan perbuatan yang tersebut

    pada bentuk dasar, misalnya mendudukkan, menidurkan, dan sebagainya; (2)

    apabila afiks kan bertemu dengan bentuk dasar kata sifat maka bermakna

    menyebabkan () menjadi seperti pada bentuk dasar misalnya, membetulkan,

    meninggikan, dan sebagainya; (3) menyebabkan () jadi atau menganggap ()sebagai apa yang tersebut pada bentuk dasar, misalnya menganaktirikan,

    mengambinghitamkan, dan sebagainya; (4) membawa/ memasukkan () ke

    tempat tersebut pada bentuk dasar, misalnya memenjarakan, memojokkan, dan

    sebagainya.

    n. Afiksi

    Afiks i membentuk pokok kata. Dengan tambahan meN-, di-, ter- atau

    tambahan ku, kau, dan sebagainya, pokok kata itu menjadi suatu kata. Bentuk

  • 7/21/2019 penelitian crossexional

    43/59

    43

    dasar itu mungkin berupa: 1) kata kerja, misalnya menduduki duduk; 2) kata

    sifat, misalnya memanasi panas; 3) kata nominal, misalnya memagari

    pagar; 4) pokok kata, misalnya mengambili ambil. Makna afiks i

    digolongkan sebagai berikut: (a) menytakan perbuatan yang tersebut pada bentuk

    dasar itu dilakukan berulang-ulang misalnya, memukuli; (b) menyatakan makna

    memberi apa yang tersebut pada bentuk dasar pada misalnya menggarami;

    (c) menyatakan tempat misalnya, Orang itu menduduki kursiku. Kata menduduki

    memerlukan objek yang menyatakan makna tempat; (d) menyatakan makna

    kausatif misalnya, mengotori, memanasi, membasahi, dan sebagainya.

    o. Afiksan

    Afiksanbisa melekat pada bentuk dasar yang termasuk golongan: (1) kata

    kerja, makanan makan ; (2) pokok kata, timbangan timbang; (3) kata

    nominal, harian hari; (4) kata bilangan, ribuan ribu. Fungsi afiks an

    sebagai pembentuk kata nominal. Makna afiks andigolongkan sebagai berikut:

    1) menyatakan sesuatu yang berhubungan dengan perbuatan yang tersebut pada

    bentuk dasar. Sesuatu itu mungkin merupakan hasil perbuatan, mungkin

    merupakan alat, dan mungkin suatau perbutan yang tersebut dalam bentuk dasar,

    misalnya timbangan, makanan, garisan, dan sebagainya; 2) menyatakan makna

    tiap-tiap misalnya, (majalah) bulanan, (sewa rumah) bulanan, dan sebagainya;

    3) menyatakan makna satuan yang terdiri dari apa yang tersebut pada bentuk

    dasar misalnya, meteran, literan, puluhan, dan sebagainya; 4) menyatakan makna

    beberapa misalnya, Pedagang itu menukarkan uang ribuan dengan uang

    ratusan; 5) menyatakan makna sekitar misalnya, tahun 60-an.

    p. Afiks -wan

    Afikswan ada yang melekat pada bentuk kata golongan: 1) kata sifat, suka

    relawan suka rela; 2) kata nominal, negarawan negara. Fungsi afikswan

    adalah pembentuk kata nominal. Sedangkan maknanya sebagai berikut, (a)

    menyatakan orang yang ahli pada bentuk dasar, dan tugasnya berhubungan

    dengan hal yang tersebut pada bentuk dasar, misalnyasejarawan, negarawan; (b)

  • 7/21/2019 penelitian crossexional

    44/59

    44

    menyatakan orang yang memiliki sifat yang tersebut pada bentuk dasar,

    misalnya, cendekiawan, sosiawan, relawan, dan sebagainya.

    p. Afiks ke-an

    Ada dua jenis afiks ke-an. 1) Afiks ke-an yang membentuk kata nominal,

    misalnyakekhawatiran, ketulusan, kesiinambungan, dan sebagainya; 2) afiks ke-

    an yang berfungsi membentuk kata verbal, baik yang termasuk golongan kata

    kerja maupun yang termasuk golongan