laporan kasus appendisitis

48
LAPORAN KASUS APPENDICITIS MASS Pembimbing: dr. Tiur R. Purba Sp.B Disusun oleh: Achya Fadlin (100100002) Gheavita Chandra Dewi (100100045) Kevin Dillian Suganda (100100075) Rizki Masharida Nasution (100100216) Indah Sari Atika Sembiring (100100222) Venusya Dharmalingam (100100422) Thinagari Tambusamy (100100202) Ranjeetha Namasivayam (100100271) Nageintheree Ramaksihnan (100100379) Archanaa Samanthan (100100201) DEPARTEMEN ILMU BEDAH UMUM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Upload: gheavita-chandra-dewi

Post on 05-Sep-2015

148 views

Category:

Documents


11 download

DESCRIPTION

bedah

TRANSCRIPT

LAPORAN KASUSAPPENDICITIS MASSPembimbing:dr. Tiur R. Purba Sp.BDisusun oleh:

Achya Fadlin

(100100002)

Gheavita Chandra Dewi (100100045)

Kevin Dillian Suganda

(100100075)

Rizki Masharida Nasution (100100216)

Indah Sari Atika Sembiring (100100222)

Venusya Dharmalingam (100100422)

Thinagari Tambusamy

(100100202)

Ranjeetha Namasivayam (100100271)

Nageintheree Ramaksihnan (100100379)

Archanaa Samanthan

(100100201)DEPARTEMEN ILMU BEDAH UMUMFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN

2015

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena telah melimpahkan berkatnya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan Laporan Kasus yang berjudul Appendicitis Mass ini.

Adapun tujuan penulisan Makalah Ilmiah ini adalah untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik senior pada Departemen Ilmu Bedah Umum, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan pula terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Tiur R. Purba Sp.B atas kesediaan beliau sebagai pembimbing dalam penulisan makalah ini. Selain itu, penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Yudi atas bimbingannya dalam proses penyempurnaan makalah ini. Besar harapan, melalui makalah ini, pengetahuan dan pemahaman kita mengenai Appendicitis Mass semakin bertambah.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan Laporan Kasus ini baik dari segi isi maupun sistematika penulisan karena keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak untuk menyempurnakan Laporan Kasus ini. Semoga Laporan Kasus ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Juli 2015

Penulis

DAFTAR ISIHalamaniKATA PENGANTAR

DAFTAR ISIiiBAB 1 PENDAHULUANError! Bookmark not defined.1.1.Latar BelakangError! Bookmark not defined.1.2.Tujuan Penulisan2BAB 2 TINJAUAN PUSTAKAError! Bookmark not defined.2.1.DefinisiError! Bookmark not defined.2.2.EtiologiError! Bookmark not defined.2.3.KlasifikasiError! Bookmark not defined.2.4.PatofisiologiError! Bookmark not defined.2.5.DiagnosisError! Bookmark not defined.2.6.PenatalaksanaanError! Bookmark not defined.2.6.1.Non OperatifError! Bookmark not defined.2.6.2.OperatifError! Bookmark not defined.BAB 3 LAPORAN KASUS21DAFTAR PUSTAKA29

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Apendisitis akut merupakan peradangan apendiks vermiformis yang memerlukan pembedahan dan biasanya ditandai dengan nyeri tekan lokal di perut bagian kanan bawah (Anderson, 2002).Komplikasi utama pada apendisitis adalah perforasi apendiksyang dapatberkembang menjadi peritonitisatau abses.Insidens perforasiberkisar 10%sampai 32%.Insidens lebih tinggi pada anak kecil dan lansia(Smeltzer & Bare, 2002).

Berdasarkan dari data di Amerika Serikat pada tahun 1993-2008 menunjukkan bahwa ada peningkatan apendisitis dari 7,68% menjadi 9,38% dari 10.000 orang. Frekuensi tertinggi ditemukan pada rentang usia 10-19 tahun, namun angka kejadian pada kelompok ini mengalami penurunan sebesar 4,6%. Sedangkan pada rentang usia 30-69 tahun mengalami peningkatan kejadian apendisitis sebesar 6,3%. Angka kejadiannya lebih tinggi terjadi pada pria dibanding wanita (Buckius, et al., 2011). Dari 150 kasus di RS Rawalpindi, Islamabad, Pakistan diketahui 47 kasus (31,3%) memiliki apendisitis perforasi, sementara 103 kasus (69,7%) memiliki apendisitis sederhana. Dari kasus tersebut 90 pasien diantaranya adalah laki-laki sementara 60 sisanya adalah perempuan.Diketahui 40 pasien (85,1%) dari apendisitis perforasi memiliki gejala selama lebih dari 24 jam, sementara 7 pasien (14,9%) lainnya memiliki gejala kurang dari 24 jam. Komplikasi yang tinggi padaapendisitis perforasi dapat dibandingkan dengan apendisitis non perforasi dan tidak ditemukan pasien yang mengalami (Dian, et al., 2011).

Faktor-faktor yang mempengaruhi keterlambatan penanganan apendisitis akut dapat mengakibatkan timbulnya komplikasi.Faktor-faktor tersebut dapat berasal dari pasien maupun dari tenaga medis.Faktor yang berasal dari pasien meliputi pengetahuan & mahalnya biaya yang harus dikeluarkan.Sedangkan faktor keterlambatan penanganan yang berasal dari tenaga medis adalah kesalahan diagnosis, keterlambatan merujuk ke rumah sakit, dan penundaan tindakan bedah (Rahmawati, 2009).

Penundaan pada pengobatan apendisitis dapat menyebabkan peningkatan resiko perforasi 60-80% sehingga bakteri dapat meningkat sehingga menyebabkan

sepsis dan kematian (Brennan, 2006).

Hal yang menyebabkan sulitnya membuat diagnosis yang tepat pada masa awal penyakitadalah karena gejala awal apendisitis pada waktu awal tidak spesifik.Selain itu, upaya mencari diagnosis yang tepat dan rasa keinginan menghindari apendisitis dapat menyebabkan penundaan operasi dan meningkatkan kemungkinan perforasi dan morbiditas.Keterlambatan diagnosis apendisitis lebih banyak terjadi pada pasien yang datang dengan keluhan sedikit nyeri pada kuadran kanan bawah, kurangnya pemeriksaan fisik secara menyeluruh dan pasien yang menerima analgesia narkotik. Diagnostik alat bantuyang dapat mengurangi apendisektomi negatif dan perforasi adalah laparoskopi, sistem penilaian, ultrasonografi dan computed tomography(Saber, et al., 2011).

1.2.Tujuan Penulisan

1. Memahami tentang Appendisitis dan penanganannya dari sisi ilmu bedah.

2. Meningkatkan kemampuan dalam penulisan karya ilmiah di bidang kedokteran.

3. Memenuhi salah satu persyaratan kelulusan Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) di Departeman Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara RSUP Haji Adam Malik Medan.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Usus Besar

Usus besar atau kolon yang panjangnya kira-kira satu setengah meter, adalah sambungan dari usus halus dan mulai di katup ileokolik atau ileoseka, yaitu tempat sisa makanan lewat, dimana normalnya katup ini tertutup dan akan terbuka untuk merespon gelombang peristaltik dan menyebabkan defekasi atau pembuangan. Usus besar terdiri atas empat lapisan dinding yang sama seperti usus halus. Serabut longitudinal pada dinding berotot tersusun dalam tiga jalur yang memberi rupa berkerut-kerut dan berlubang-lubang.

Dinding mukosa lebih halus dari yang ada pada usus halus dan tidak memiliki vili. Didalamnya terdapat kelenjar serupa kelenjar tubuler dalam usus dan dilapisi oleh epitelium silinder yang memuat sela cangkir.

Usus besar terdiri dari :

1. Sekum

Sekum adalah kantung tertutup yang menggantung dibawah area katup ileosekal. Apendiks vermiformis merupakan suatu tabung buntu yang sempit, berisi jaringan limfoid, menonjol dari ujung sekum.

2. Kolon

Kolon adalah bagian usus besar, mulia dari sekum sampai rektum. Kolon memiliki tiga bagian, yaitu :a. Kolon asenden

Merentang dari sekum sampai ke tepi bawah hatti sebelah kanan dan membalik secara horizontal pada fleksura hepatika.

b. Kolon transversum

Merentang menyilang abdomen dibawah hati dan lambung sampai ke tepi lateral ginjal kiri, tempatnya memutar kebawah pada flkesura splenik. Kolon desenden Merentang ke bawah pada sisi kiri abdomen dan menjadi kolon sigmoid berbentuk S yang bermuara di rektum.

3. Rektum

Rektum Adalah bagian saluran pencernaan selanjutnya dengan panjang 12 sampai 13 cm. Rektum berakhir pada saluran anal dan membuka ke eksterior di anus.2.1.1 Anatomi Apendiks

Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10cm (4 inci), lebar 0,3 - 0,7 cm dan isi 0,1 cc melekat pada sekum tepat dibawah katup ileosekal. Pada pertemuan ketiga taenia yaitu : taenia anterior, medial dan posterior. Secara klinis, apendiks terletak pada daerah Mc.Burney yaitu daerah 1/3 tengah garis yang menghubungkan spina iliaka anterior superior kanan dengan pusat. Lumennya sempit dibagian proksimal dan melebar dibagian distal. Namun demikian, pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit kearah ujungnya. Persarafan parasimpatis pada apendiks berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti arteri mesentrika superior dan arteri apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari nervus torakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral pada apendisitis bermula disekitar umbilikus.

2.1.2 Fisiologi Apendiks

Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu normalnya dicurahkan kedalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Lendir dalam apendiks bersifat basa mengandung amilase dan musin. Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (Gut Associated Lymphoid Tissue) yang terdapat disepanjang saluran cerna termasuk apendiks ialah IgA.

Immunoglobulin tersebut sangat efektif sebagai perlindungan terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh karena jumlah jaringan limfa disini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya disaluran cerna dan diseluruh tubuh.

Apendiks berisi makanan dan mengosongkan diri secara teratur kedalam sekum. Karena pengosongannya tidak efektif dan lumennya cenderung kecil, maka apendiks cenderung menjadi tersumbat dan terutama rentan terhadap infeksi ( Sjamsuhidayat, 2005).

2.2 Definisi Apendisitis

Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini mengenai semua umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia 10 sampai 30 tahun (Mansjoer, 2000). Sedangkan menurut Smeltzer C. Suzanne (2001), Apendisitis adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran bawah kanan dari rongga abdomen dan merupakan penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat.Apendisitis adalah peradangan dari apendiks vermiformis, dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini dapat mengenai semua umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia antara 10-30 tahun (Kapita Selekta 2000). Jadi, dapat disimpulkan apendisitis adalah kondisi dimana terjadi infeksi pada umbai apendiks dan merupakan penyakit bedah abdomen yang paling sering terjadi.2.2.1 EtiologiApendisitis akut merupakan infeksi bakteria. Berbagai hal berperan sebagai faktor pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang diajukan sebagai faktor pencetus disamping hiperplasia jaringan limf, fekalit, tumor apendiks, dan cacing askaris terdapat pula menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis ialah erosi mukosa apendiks karena parasit sepertiE.histolyca.Apendisitis akut merupakan merupakan infeksi bakteria. Berbagai berperan sebagai faktor pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang diajukan sebagai faktor pencetus disamping hiperplasia jaringan limfe, fekalit, tumor apendiks dan cacing askaris dapat pula menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis adalah erosi mukosa apendiks karena parasit seperti E.histolytica. Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya ini mempermudah timbulnya apendisitis akut. (Sjamsuhidayat, 2005).2.2.2 KlasifikasiKlasifikasi apendisitis terbagi menjadi dua yaitu, apendisitis akut dan

apendisitis kronik (Sjamsuhidayat, 2005).

1. Apendisitis akut.

Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak disertai rangsang peritonieum lokal. Gajala apendisitis akut talah nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral didaerah epigastriumdisekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual dan kadang muntah. Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ketitik mcBurney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat.

2. Apendisitis kronik.

Diagnosis apendisitis kronis baru dapat ditegakkan jika ditemukan adanya :

riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang kronik apendiks secara makroskopik dan mikroskopik. Kriteria mikroskopik apendisitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama dimukosa , dan adanya sel inflamasi kronik. Insiden apendisitis kronik antara 1-5%.2.2.3 PatogenesisApendisitis kemungkinan dimulai oleh obstruksi dari lumen yang disebabkan oleh feses yang terlibat atau fekalit. Penjelasan ini sesuai dengan pengamatan epidemiologi bahwa apendisitis berhubungan dengan asupan serat dalam makanan yang rendah (Burkitt, Quick, Reed, 2007).

Pada stadium awal dari apendisitis, terlebih dahulu terjadi inflamasi mukosa. Inflamasi ini kemudian berlanjut ke submukosa dan melibatkan lapisan muskular dan serosa (peritoneal). Cairan eksudat fibrinopurulenta terbentuk pada permukaan serosa dan berlanjut ke beberapa permukaan peritoneal yang bersebelahan, seperti usus atau dinding abdomen, menyebabkan peritonitis lokal (Burkitt, Quick, Reed, 2007).

Dalam stadium ini mukosa glandular yang nekrosis terkelupas ke dalam lumen, yang menjadi distensi dengan pus. Akhirnya, arteri yang menyuplai apendiks menjadi bertrombosit dan apendiks yang kurang suplai darah menjadi nekrosis atau gangren. Perforasi akan segera terjadi dan menyebar ke rongga peritoneal. Jika perforasi yang terjadi dibungkus oleh omentum, abses lokal akan terjadi (Burkitt, Quick, Reed, 2007).

2.2.4 Gambaran Klinis Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak disertai rangsang peritoneum lokal. Gejala klasik apendisitis ialah nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral di daerah epigastrium di sekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual dan kadang ada muntah. Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke kanan bawah ke titik Mc. Burney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat. Kadang tidak ada nyeri epigastrium, tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita merasa memerlukan obat pencahar. Tindakan itu dianggap berbahaya karena bisa mempermudah terjadinya perforasi (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).

Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal, karena letaknya terlindung oleh sekum, tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak tanda rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih ke arah perut sisi kanan atau nyeri timbul pada saat berjalan karena kontraksi m.psoas mayor yang menegang dari dorsal (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).

Apendiks yang terletak di rongga pelvis, bila meradang, dapat menimbulkan gejala dan tanda rangsangan sigmoid atau rektum sehingga peristaltis meningkat, pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang. Jika apendiks tadi menempel ke kandung kemih, dapat terjadi peningkatan frekuensi kencing karena rangsangan dindingnya (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004). 2.2.5 Diagnosis Pada anamnesis penderita akan mengeluhkan nyeri atau sakit perut. Ini terjadi karena hiperperistaltik untuk mengatasi obstruksi dan terjadi pada seluruh saluran cerna, sehingga nyeri viseral dirasakan pada seluruh perut. Muntah atau rangsangan viseral akibat aktivasi n.vagus. Obstipasi karena penderita takut untuk mengejan. Panas akibat infeksi akut jika timbul komplikasi. Gejala lain adalah demam yang tidak terlalu tinggi, antara 37,5-38,5 C. Tetapi jika suhu lebih tinggi, diduga sudah terjadi perforasi (Departemen Bedah UGM, 2010).

Pada pemeriksaan fisik yaitu pada inspeksi, penderita berjalan membungkuk sambil memegangi perutnya yang sakit, kembung bila terjadi perforasi, dan penonjolan perut bagian kanan bawah terlihat pada apendikuler abses (Departemen Bedah UGM, 2010).

Nyeri tekan (+) Mc. Burney. Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan kuadran kanan bawah atau titik Mc. Burney dan ini merupakan tanda kunci diagnosis.

Nyeri lepas (+) karena rangsangan peritoneum. Rebound tenderness (nyeri lepas tekan) adalah nyeri yang hebat di abdomen kanan bawah saat tekanan secara tiba-tiba dilepaskan setelah sebelumnya dilakukan penekanan perlahan dan dalam di titik Mc. Burney.

Defens muskuler (+) karena rangsangan m. Rektus abdominis. Defence muscular adalah nyeri tekan seluruh lapangan abdomen yang menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietale.

Rovsing sign (+). Rovsing sign adalah nyeri abdomen di kuadran kanan bawah apabila dilakukan penekanan pada abdomen bagian kiri bawah, hal ini diakibatkan oleh adanya nyeri lepas yang dijalarkan karena iritasi peritoneal pada sisi yang berlawanan.

Psoas sign (+). Psoas sign terjadi karena adanya rangsangan muskulus psoas oleh peradangan yang terjadi pada apendiks.

Obturator sign (+). Obturator sign adalah rasa nyeri yang terjadi bila panggul dan lutut difleksikan kemudian dirotasikan ke arah dalam dan luar secara pasif, hal tersebut menunjukkan peradangan apendiks terletak pada daerah hipogastrium.

Pada palpasi, abdomen biasanya tampak datar atau sedikit kembung. Palpasi dinding abdomen dengan ringan dan hati-hati dengan sedikit tekanan, dimulai dari tempat yang jauh dari lokasi nyeri.

Pada perkusi akan terdapat nyeri ketok. Auskultasi akan terdapat peristaltik normal, peristaltik tidak ada pada illeus paralitik karena peritonitis generalisata akibat apendisitis perforata. Auskultasi tidak banyak membantu dalam menegakkan diagnosis apendisitis, tetapi kalau sudah terjadi peritonitis maka tidak terdengar bunyi peristaltik usus. Pada pemeriksaan colok dubur (Rectal Toucher) akan terdapat nyeri pada jam 9-12 (Departemen Bedah UGM, 2010)Selain itu, untuk mendiagnosis apendisitis juga dapat digunakan skor Alvarado, yaitu: Tabel 2.1. Skor Alvarado

Pasien dengan skor awal 4 sangat tidak mungkin menderita apendisitis dan tidak memerlukan perawatan di rumah sakit kecuali gejalanya memburuk.

2.2.6 Pemeriksaan Penunjang Pada pemeriksaan laboratorium darah, biasanya didapati peningkatan jumlah leukosit (sel darah putih). Urinalisa diperlukan untuk menyingkirkan penyakit lainnya berupa peradangan saluran kemih. Pada pasien wanita, pemeriksaan dokter kebidanan dan kandungan diperlukan untuk menyingkirkan diagnosis kelainan peradangan saluran telur/kista indung telur kanan atau KET (kehamilan diluar kandungan) (Sanyoto, 2007).

Pemeriksaan radiologi berupa foto barium usus buntu (Appendicogram) dapat membantu melihat terjadinya sumbatan atau adanya kotoran (skibala) didalam lumen usus buntu. Pemeriksaan USG (Ultrasonografi) dan CT scan bisa membantu dakam menegakkan adanya peradangan akut usus buntu atau penyakit lainnya di daerah rongga panggul (Sanyoto, 2007).

Namun dari semua pemeriksaan pembantu ini, yang menentukan diagnosis apendisitis akut adalah pemeriksaan secara klinis. Pemeriksaan CT scan hanya dipakai bila didapat keraguan dalam menegakkan diagnosis. Pada anak-anak dan orang tua penegakan diagnosis apendisitis lebih sulit dan dokter bedah biasanya lebih agresif dalam bertindak (Sanyoto, 2007).

2.2.7 Diagnosis Banding Pada keadaan tertentu, beberapa penyakit perlu dipertimbangkan sebagai diagnosis banding, seperti:

Gastroenteritis

Pada gastroenteritis, mual, muntah, dan diare mendahului rasa sakit. Sakit perut lebih ringan dan tidak berbatas tegas. Hiperperistaltis sering ditemukan. Panas dan leukositosis kurang menonjol dibandingkan dengan apendisitis akut.

Demam Dengue

Dapat dimulai dengan sakit perut mirip peritonitis. Di sini didapatkan hasil tes positif untuk Rumpel Leede, trombositopenia, dan hematokrit meningkat.

Kelainan ovulasi

Folikel ovarium yang pecah (ovulasi) mungkin memberikan nyeri perut kanan bawah pada pertengahan siklus menstruasi.

Infeksi panggul

Salpingitis akut kanan sering dikacaukan dengan apendisitis akut. Suhu biasanya lebih tinggi daripada apendisitis dan nyeri perut bagian bawah perut lebih difus.

Kehamilan di luar kandungan Hampir selalu ada riwayat terlambat haid dengan keluhan yang tidak menentu. Jika ada ruptur tuba atau abortus kehamilan di luar rahim dengan pendarahan, akan timbul nyeri yang mendadak difus di daerah pelvis dan mungkin terjadi syok hipovolemik.

Kista ovarium terpuntir

Timbul nyeri mendadak dengan intensitas yang tinggi dan teraba massa dalam rongga pelvis pada pemeriksaan perut, colok vaginal, atau colok rektal.

Endometriosis ovarium eksterna

Endometrium di luar rahim akan memberikan keluhan nyeri di tempat endometriosis berada, dan darah menstruasi terkumpul di tempat itu karena tidak ada jalan keluar.

Urolitiasis pielum/ ureter kanan

Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut menjalar ke inguinal kanan merupakan gambaran yang khas. Eritrosituria sering ditemukan.

Penyakit saluran cerna lainnya

Penyakit lain yang perlu diperhatikan adalah peradangan di perut, seperti divertikulitis Meckel, perforasi tukak duodenum atau lambung, kolesistitis akut, pankreatitis, divertikulitis kolon, obstruksi usus awal, perforasi kolon, demam tifoid abdominalis, karsinoid, dan mukokel apendiks. (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004)

2.2.8 PenatalaksanaanPada apendisitis akut, pengobatan yang paling baik adalah operasi appendiks. Dalam waktu 48 jam harus dilakukan. Penderita di obsevarsi, istirahat dalam posisi fowler, diberikan antibiotic dan diberikan makanan yang tidak merangsang peristaltik, jika terjadi perforasi diberikan drain diperut kanan bawah.

1. Tindakan pre operatif, meliputi penderita di rawat, diberikan antibiotic dan kompres untuk menurunkan suhu penderita, pasien diminta untuk tirah baring dan dipuasakan.2. Tindakan operatif : appendiktomi

3.Tindakan post operatif, satu hari pasca bedah klien dianjurkan untuk duduk tegak di tempat tidur selama 2 x 30 menit, hari berikutnya makanan lunak dan berdiri tegak di luar kamar, hari ketujuh luka jahitan diangkat, klien pulang.

Penatalaksanaan pasien dengan apendisitis akut meliputi terapi medis dan terapi bedah. Terapi medis terutama diberikan pada pasien yang tidak mempunyai akses ke pelayanan bedah, dimana pada pasien diberikan antibiotik. Namun sebuah penelitian prospektif menemukan bahwa dapat terjadi apendisitis rekuren dalam beberapa bulan kemudian pada pasien yang diberi terapi medis saja. Selain itu terapi medis juga berguna pada pasien apendisitis yang mempunyai risiko operasi yang tinggi.

Namun pada kasus apendisitis perforasi, terapi medis diberikan sebagai terapi awal berupa antibiotik dan drainase melalui CT-scan pada absesnya. The Surgical Infection Society menganjurkan pemberian antibiotik profilaks sebelum pembedahan dengan menggunakan antibiotik spektrum luas kurang dari 24 jam untuk apendisitis non perforasi dan kurang dari 5 jam untuk apendisitis perforasi.

Penggantian cairan dan elektrolit, mengontrol sepsis, antibiotik sistemik adalah pengobatan pertama yang utama pada peritonitis difus termasuk akibat apendisitis dengan perforasi.

1. Cairan intravena

cairan yang secara massive ke rongga peritonium harus di ganti segera dengan cairan intravena, jika terbukti terjadi toxix sistemik, atau pasien tua atau kesehatan yang buruk harus dipasang pengukur tekanan vena central. Balance cairan harus diperhatikan. Cairan atau berupa ringer laktat harus di infus secara cepat untuk mengkoreksi hipovolemia dan mengembalikan tekanan darah serta pengeluaran urin pada level yang baik. Darah di berikan bila mengalami anemia dan atau dengan perdarahan secara bersamaan.

2.Antibiotik Pemberian antibiotik intraven diberikan untuk antisipasi bakteri patogen, antibiotik initial diberikan termasuk gegerasi ke 3 cephalosporins, ampicillin sulbaktam, dll, dan metronidazol atau klindanisin untuk kuman anaerob. Pemberian antibiotik postops harus di ubeah berdasarkan kulture dan sensitivitas. Antibiotik tetap diberikan sampai pasien tidak demam dengan normal leukosit. Setelah memperbaiki keadaan umum dengan infus, antibiotik serta pemasangan pipa nasogastrik perlu di lakukan pembedahan sebagai terapi definitif dari appendisitis perforasi.

Perlu dilakukan insisi yang panjang supaya mudah dilakukan pencucian rongga peritonium untuk mengangkat material seperti darah, fibrin serta dilusi dari bakteria. Pencucian cukup dengan larutan kristaloid isotonis yang hangat, penambahan antiseptik dan antibiotik untuk irigasi cenderung tidak berguna bahkan malah berbahaya karena menimbulkan adhesive (misal tetrasiklin atau provine iodine), anti biotik yang diberikan secara parenteral dapat mencapai rongga peritonium dalam kadar bakterisid.

Tapi ada juga ahli yang berpendapat bahwa dengan penambahan tetrasiklin 1 mg dalam 1 ml larutan garam dapat mengendalikan sepsis dan bisul residual, pada kadar ini antibiotik bersifat bakterisid terhadap kebanyakan organisme. Walaupun sedikit membuat kerusakan pada permungkaan peritonial tapi tidak ada bukti bahwa menimbulkan resiko perlengketan. Tapi zat lain seperti iodine tidak populer. Setelah pencucian seluruh cairan di rongga peritonium seluruh cairan harus diaspirasi.

Terapi bedah meliputi apendiktomi dan laparoskopik apendiktomi. Apendiktomi terbuka merupakan operasi klasik pengangkatan apendiks. Mencakup Mc Burney, Rocke-Davis atau Fowler-Weir insisi. Dilakukan diseksi melalui oblique eksterna, oblique interna dan transversal untuk membuat suatu muscle spreading atau muscle splitting, setelah masuk ke peritoneum apendiks dikeluarkan ke lapangan operasi, diklem, diligasi dan dipotong. Mukosa yang terkena dicauter untuk mengurangi perdarahan, beberapa orang melakukan inversi pada ujungnya, kemudian sekum dikembalikan ke dalam perut dan insisi ditutup.

Laparoskopik apendiktomi mulai diperkenalkan pada tahun 1987, dan telah sukses dilakukan pada 90-94% kasus apendisitis dan 90% kasus apendisitis perforasi. Saat ini laparoskopik apendiktomi lebih disukai. Prosedurnya, port placement terdiri dari pertama menempatkan port kamera di daerah umbilikus, kemudian melihat langsung ke dalam melalui 2 buah port yang berukuran 5 mm. Ada beberapa pilihan operasi, pertama apakah 1 port diletakkan di kuadran kanan bawah dan yang lainnya di kuadran kiri bawah atau keduanya diletakkan di kuadran kiri bawah. Sekum dan apendiks kemudian dipindahkan dari lateral ke medial. Berbagai macam metode tersedia untuk pengangkatan apendiks, seperti dectrocauter, endoloops, stapling devices.

Mengenai pemilihan metode tergantung pada ahli bedahnya. Apendiks kemudian diangkat dari abdomen menggunakan sebuah endobag. Laparoskopik apendiktomi mempunyai beberapa keuntungan antara lain bekas operasinya lebih bagus dari segi kosmetik dan mengurangi infeksi pascabedah. Beberapa penelitian juga menemukan bahwa laparoskopik apendiktomi juga mempersingkat masa rawatan di rumah sakit. Kerugian laparoskopik apendiktomi antara lain mahal dari segi biaya dan juga pengerjaannya yang lebih lama, sekitar 20 menit lebih lama dari apendiktomi terbuka. Namun lama pengerjaanya dapat dipersingkat dengan peningkatan pengalaman. Kontraindikasi laparoskopik apendiktomi adalah pada pasien dengan perlengketan intra-abdomen yang signifikan.

Penatalaksanaan apendiksitis menurur (Mansjoer, 2000) :

1. Sebelum operasi

( Pemasangan sonde lambung untuk dekompresi

( Pemasangan kateter untuk control produksi urin.

( Rehidrasi

( Antibiotic dengan spectrum luas, dosis tinggi dan diberikan secara intravena.

( Obat-obatan penurun panas, phenergan sebagai anti menggigil, largaktil untuk membuka pembuluh pembuluh darah perifer diberikan setelah rehidrasi tercapai.

( Bila demam, harus diturunkan sebelum diberi anestesi.

2. Operasi

( Apendiktomi.

( Apendiks dibuang, jika apendiks mengalami perforasi bebas,maka abdomen dicuci dengan garam fisiologis dan antibiotika.

( Abses apendiks diobati dengan antibiotika IV,massanya mungkin mengecil,atau abses mungkin memerlukan drainase dalam jangka waktu beberapa hari. Apendiktomi dilakukan bila abses dilakukan operasi elektif sesudah 6 minggu sampai 3 bulan.

3. Pasca operasi

( Observasi TTV.

( Angkat sonde lambung bila pasien telah sadar sehingga aspirasi cairan lambung dapat dicegah.

( Baringkan pasien dalam posisi semi fowler.

( Pasien dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan, selama pasien dipuasakan.

( Bila tindakan operasilebih besar, misalnya pada perforasi, puasa dilanjutkan sampai fungsi usus kembali normal.

( Berikan minum mulai15ml/jam selama 4-5 jam lalu naikan menjadi 30 ml/jam. Keesokan harinya berikan makanan saring dan hari berikutnya diberikan makanan lunak.

( Satu hari pasca operasi pasien dianjurkan untuk duduk tegak di tempat tidur selama 230 menit.

( Pada hari kedua pasien dapat berdiri dan duduk di luar kamar.

( Hari ke-7 jahitan dapat diangkat dan pasien diperbolehkan pulang.

Pada keadaan massa apendiks dengan proses radang yang masih aktif yang ditandai dengan :

( Keadaan umum klien masih terlihat sakit, suhu tubuh masih tinggi

( Pemeriksaan lokal pada abdomen kuadran kanan bawah masih jelas terdapat tanda-tanda peritonitis

( Laboratorium masih terdapat lekositosis dan pada hitung jenis terdapat pergeseran ke kiri.

Sebaiknya dilakukan tindakan pembedahan segera setelah klien dipersiapkan, karena dikuatirkan akan terjadi abses apendiks dan peritonitis umum. Persiapan dan pembedahan harus dilakukan sebaik-baiknya mengingat penyulit infeksi luka lebih tiggi daripada pembedahan pada apendisitis sederhana tanpa perforasi .

Pada keadaan massa apendiks dengan proses radang yang telah mereda ditandai dengan :

( Keadaan umum telah membaik dengan tidak terlihat sakit, suhu tubuh tidak tinggi lagi.

( Pemeriksaan lokal abdomen tidak terdapat tanda-tanda peritonitis dan hanya teraba massa dengan jelas dan nyeri tekan ringan.

( Laboratorium hitung lekosit dan hitung jenis normal.

Tindakan yang dilakukan sebaiknya konservatif dengan pemberian antibiotik dan istirahat di tempat tidur. Tindakan bedah apabila dilakukan lebih sulit dan perdarahan lebih banyak, lebih-lebih bila massa apendiks telah terbentuk lebih dari satu minggu sejak serangan sakit perut.Pembedahan dilakukan segera bila dalam perawatan terjadi abses dengan atau tanpa peritonitis umum.2.2.9 Komplikasi1. Perforasi dengan pembentukan abses

Perforasi disebabkan keterlambatan penanganan terhadap paslen apendisitis akut. Perforasi disertai dengan nyeri yang lebih hebat dan demam tinggi (sekitar 38,3 0C). Biasanya perforasi tidak terjadi pada 12 jam pertama. Pada apendiktektomi yang dilakukan pada pasien usia kurang dari 10 tahun dan lebih dari 50 tahun, ditemukan 50 % nya telah mengalami perforasi . Akibat perforasi ini sangat bervariasi mulai dari peritonitis umum, sampai hanya berupa abses kecil yang tidak akan mempengaruhi manifestasi kliniknya.2. Peritonitis generalisata, masuknya kuman usus ke dalam perut, menyebabkan peritonitis yang bisa berakibat fatal. Peritonitis lokal dapat disebabkan oleh mikroperforasi sementara peritonitis umum dikarenakan telah terjadinya perforasi yang nyata. Bertambahnya nyeri dan kekakuan otot, ketegangan abdomen dan adinamic ileus dapat ditemui pada pasien apendisitis dengan perforasi.3. Masuknya kuman ke dalam pembuluh darah (septikemia) yang bisa berakibat fatal

4. Pada wanita, indung telur dan salurannya bisa terinfeksi yang menyebabkan penyumbatan pada saluran indung telur dan bisa mengakibatkan kemandulan.

5. Apendikal abses (massa apendikal) Perforasi yang bersifat lokal dapat terjadi saat infeksi periapendikal diliputi oleh omentum dan viseral yang berdekatan . Manifestasi kliniknya sarna dengan apendisitis biasa disertai dengan ditemukannya massa di kwadran kanan bawah. Pemeriksaan USG dan CT scan bermanfaat untuk menegakan diagnosis.6.Pieloflebitis dan abses hati (jarang terjadi)

Pielofleblitis adalah trombofleblitis yang bersifat supuratif pada sistem vena portal. Dernam tinggi, menggigil, ikterus yang samar-samar, dan nantinya dapat ditemukan abses hepar, merupakan pertanda telah tetjadinya komplikasi ini. Pemeriksaan untuk menemukan trombosis dan udara di vena portal yang paling baik adalah CT scan. Komplikasi yang sering ditemukan adalah infeksi, perforasi, abses intra abdominal/pelvis, sepsis, syok, dehisensi. Perforasi yang ditemukan baik perforasi bebas maupaun perforasi pada apendiks yang telah mengalami pendindingan, sehingga membentuk massa yang terdiri dari kumpulan apendiks, sekum dan keluk usus. Tujuan utama dari pencegahan tersier yaitu mencegah terjadinya komplikasi yang lebih berat seperti komplikasi intra-abdomen. Komplikasi utama adalah infeksi luka dan abses intraperitonium. Bila diperkirakan terjadi perforasi maka abdomen dicuci dengan garam fisiologis atau antibiotik. Pasca appendektomi diperlukan perawatan intensif dan pemberian antibiotik dengan lama terapi disesuaikan dengan besar infeksi intra-abdomen.

2.2.10 Prognosis

Prognosis pada semua fase apendisitis sangat baik, tingkat mortalitas kurang dari 1%. Secara umum angka kematian pasien apendiks akut adalah 0,2-0,8%, yang lebih berhubungan dengan komplikasi penyakitnya daripada akibat intervensi tindakan.Hal ini dikarenakan diagnosis awal dan tata laksana yang di lakukan dengan baik. Keterlambatan diagnosis akan meningkatkan mortalitas dan morbiditas bila terjadi komplikasi. Serangan berulang dapat terjadi bila apendiks tidak diangkat.BAB 3

LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN

Nama

: Elida Br ManurungJenis Kelamin

: PerempuanUmur

: 43 tahun

No. Rekam Medik: 00.63.73.49Ruangan

: RBIIATanggal masuk: 13 Juli 2015ANAMNESIS

Keluhan utama:

Nyeri perut kanan bawahTelaah:

Hal ini dialami pasien sejak 4 bulan sebelum masuk rumah sakit. Sebelumnya pasien mengeluhkan nyeri perut kanan bawah apabila kaki ditekuk sampai pasien sulit berjalan. Pasien kemudian dirawat di rumah sakit mitra sejati dan kemudian dirujuk ke rumah sakit Adam Malik. Riwayat demam dijumpai, BAB berwarna hitam dijumpai, mual dan muntah disangkal. Sesak nafas disangkal oleh pasien. Pasien kemudian berobat ke Poli Bedah Digestive dan didiagnosa dengan appendisitis mass. RPT: Tidak jelas

RPO: Tidak jelas.

PRIMARY SURVEY

A: clear, snooring (-), gargling (-), crowing (-)

B: spontan, RR = 24 x.i

C: denyut nadi = 72 bpm, tekanan cukup, akral hangat

D: Alert, GCS 15

E: log roll, cegah hipotermi dan secondary survey

SECONDARY SURVEY

Sensorium

: Compos Mentis

Tekanandarah

: 110/70 mmHgNadi

: 92 x/iPernafasan

: 24 x/iSuhu

: 37,0 CPEMERIKSAAN FISIK

Kepala: Mata: pupil isokor 3mm, refleks cahaya (+/+), konjungtiva palpebra inferior pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)ToraksInspeksi: SimetrisPalpasi

: Stem fremitus kanan=kiri, kesan normalPerkusi: Sonor pada kedua lapangan paruAuskultasi: Suara pernapasan vesikuler, suara tambahan (-)

Abdomen: Soepel, nyeri tekan dijumpai pada perut kanan bawahGenitalia: Tidak dijumpai kelainan

Ekstremitas: Superior: Oedem (-), Fraktur (-)Inferior: Oedem (-), Fraktur (-)PEMERIKSAAN PENUNJANG

Hasil pemeriksaan laboratorium

18 Juni 2015

JENIS PEMERIKSAANSATUANHASILRUJUKAN

HEMATOLOGI

DarahLengkap (CBC)

Hemoglobin (HBG)g%14,213.2-17.3

Eritrosit (RBC)105/mm34,934.20 4.87

Leukosit (WBC)103/mm311,054.5 11.0

Hematokrit%41,543 49

Trombosit (PLT)103/mm307150 450

MCVFl84,2085 95

MCHPg28,8028 32

MCHCg%34,2033 35

RDW%12,9011.6 14.8

MPVfL9,07.0 10.2

PCT%0.28

PDWfL9,4

Hitung jenis

Neutrofil%59,337 80

Limfosit%30,220 40

Monosit%8,102 8

Eosinofil%2,101 6

Basofil%0.3000 1

Neutrofil Absolut103/l6,562.7 6.5

Limfosit Absolut103/l3,341.5 3.7

Monosit Asolut103/l0,890.2-0.4

Eosinofil Absolut103/l0.230 0,10

Basofil Absolut103/l0.030 0,1

FAAL HEMOSTASIS

PT + INR

WAKTU PROTROMBIN

PasienDetik12,8

KontrolDetik13.60

INR0,93

APTT

Pasiendetik31,6

Kontroldetik32.7

Waktu Trombin

Pasiendetik11,9

Kontroldetik17.0

GINJAL

Ureummg/ dL15,4